Anda di halaman 1dari 19

Perempuan Timor Leste

"Perjalanan Dari Historis Pergerakan Kemerdekaan


ke Langkah Balik Filosofi Buiberisme"
By Bibirak

Bagian I:
Apresiasi Historis
 Perempuan bukan suatu fenomena yang unik dalam perjalanan dunia, jika
eksistensinya disorot dari berbagai sudut pandang dan berdasarkan
pembenaran logika filsafat dan teologis.
Makhluk perempuan menurut  Kitab Kejadian diciptakan oleh sang pencipta
dari tulang rusuk laki-laki. Dari sudut pandang ini perempuan tergantung
pada laki-laki. Dahulu kala perempuan, berdasarkan ajaran ilmu agama
dilahirkan sebagai pendamping laki-laki, dilahirkan untuk menjadi ibu dan
untuk melayani sang laki-laki (baca: suaminya). Pengertian semacam ini
telah menyebabkan sampai beberapa abad perempuan menjadi kaum
tertindas, dalam arti ia hanya berurusan dengan hal-hal (baca: tugas-tugas
domestik) pengurusan urusan dapur dengan tanpa memiliki peluang maupun
akses ke urusan-urusan yang karena kodratnya yang lemah, harus dilindungi
oleh sang laki-laki yang secara kodrati adalah kuat (dimata kaum pria).
Penggolongan perempuan dalam kelompok yang lemah-kuat telah di salah-
artikan sehingga perempuan menjadi tergantung pada sang laki-laki, oleh
karena itu selama ini (baca: terlepas dari teori emansipasi) menjalani kodrat 
negatif dan menjadi dalam soal tertentu, hak milik pribadi sang laki-laki.
Dalam perkembangan umat manusia, seiring dengan pertumbuhan ilmu
pengetahuan yang mendorong dunia semakin meluas timbullah suatu
kesadaran baru bahwa, terlepas dari kodratnya yang lemah-lembutnya (baca:
Feminim!), perempuan bukanlah hanya pendamping laki-laki semata
melainkan teman hidup yang sederajat, sama dalam arti hubungan
horisontal. Dalam perkembangan ini perempuan berusaha melonggarkan
tali-temali kodratnya yang negatif untuk masuk ke dalam kodrat positif.
Perempuan mulai mengaktualisasi dirinya dalam suatu proses hubungan
dialektik dengan laki-laki dalam segala bidang kehidupan.
Perkembangn seperti tersebut di atas, yang merupakan kesadaran baru
perempuan, telah melahirkan Gerakan emansipasi kaum perempuan yang
pokok perjuangannya adalah merebut kemerdekaan perempuan,
memperjuangkan persamaan hak (dignitas) antara perempuan dan laki-laki.
Gerakan emansipasi itu disambut secara variatif oleh masyarakat dunia
berdasarkan nilai-nilai kultural dan keagamaan serta filosofi yang dianut
masing-masing. Sekalipun demikian, secara umum dapat kita pastikan
bahwa perempuan telah berhasil, dalam bidang tertentu, sederajat dengan
laki-laki dan meninggalkan atribut sosiologis pendamping menuju ke
aktualisasi teman hidup yang sederajat.

Bagian II:
Perempuan Timor Timur Dalam Masyarakat
Tradisional: Kehidupan Dan Peranan
Setiap masyarakat manusia memiliki kultur dan filosofisnya sendiri-sendiri
yang mengeluarkan nilai-nilai yang  mengatur kehidupan sosial, hubungan
sosial ekonominya yang pada tataran moral dan hukum disebut sebagai
norma-norma (adat, hukum) kebiasaan lisan dan tertulis yang diikuti oleh
sesama anggota komunitas.
Masyarakat Timor Leste juga dan, kehidupan sosial sebagai komunitas
manusia memiliki struktur sosial yang dipengaruhi oleh nilai-nilai filsafat
dan kultur yang ada padanya. Dalam pengertian ini berbicara Perempuan
Timor Leste adalah menelusuri kembali koridor sosial dan struktur berpikir
dan perilaku kultur yang berkembang dalam masyarakat Timor Leste dimana
merupakan basis-tempat tumbuh dan berkembangnya makhluk manusia
perempuan itu. Seperti masyarakat lain di dunia ini yang pernah dilalui
kehidupan komunitas tradisional, Tradisonal dalam arti masih merupakan
suatu komunitas yang ASLI, belum dipengaruhi oleh nilai-nilai masyarakat
yang lain secara menyolok, cara produksinya masih relatif sederhana yang
berorientasi sub-sistem, masyarakat Timor Leste pada struktur tradisional
dimaksud memiliki cara berpikir yang amat praktis mengenai soal-soal yang 
menyangkut hubungan kehidupan sosialnya. Dalam cara berpikir tradisional
masyarakat Timor Leste, perempuan adalah juga makhluk ciptaan Tuhan.
Masyarakat Timor Leste karena sifatnya yang religius kompleksitas
kehidupan, dalam menangani dan memecahkan berbagai jenis persoalan
selalu berbalik kepandangan teologi-kosmik yang mengatakan bahwa alam
raya semesta ini dimana ia hidup dikuasai oleh makluk halus (baca:
Transenden). Dari cara pandangan teologis-kosmik tadi lahirlah konsep-
istilah Maromak (baca: Tuhan) dengan pengertian bentuk religinya seperti
Fetilisme, Animisme, mistik serta tatacara atau ritual pemujaan dan
penyembahan.
Sistem religius yang berkembang pada waktu itu dalam masyarakat
tradisional Timor Leste adalah suatu keseluruhan sistem sosial dimana
struktur pemerintahan dan keagamaan/religus berada di tangan satu orang,
yang lebih dikenal sebagai lia nain.
Lia nain itulah yang memerintah komunitasnya baik dalam arti
kepemerintahan, maupun dalam arti religiositas. Segala nilai kehidupan yang
merupakan turunan dijalani secara integratif oleh komunitas itu. Jadi,
berbicara soal Perempuan Timor Leste adalah melihat keberadaan
Perempuan Timor Leste dalam pengertian sistem sosial tradisional yang
berkembang pada waktu itu.
Dalam struktur tradisional masyarakat Timor Leste yang cara produksinya
pada waktu itu adalah cara produksi kolektif  (dalam arti komunitas) primitif
bukan feodalis, perempuan sebenarnya memiliki posisi yang sederajat
dengan sang laki-laki, masyarakat Timor Leste, seperti sudah kami katakan
tadi karena sifatnya yang religius memandang perempuan, sama seperti
makhluk lain dan beserta alam sekitarnya, sebagai ciptaan Maromak (baca:
pengertian teologis Maromak Oan). Namun, cara berpikir masyarakat Timor
Leste Perempuan adalah satu makhluk independen yang adalah sederajat
dengan laki-laki, bukan bagian dari laki-laki. Cara berpikir filsafat-teologis
masyarakat yang berorientasi kosmis mendorong, membenarkan masyarakat
Timor Leste memposisikan makhluk perempuan sebagai teman hidup, bukan
pendamping bukan pula sebagai pelengkap; memposisikan perempuan
sebagai makhluk yang lebih bernilai (baca: dalam soal perekonomian adanya
Barlaque) dan mengakui peranan perempuan dan kehidupan berkeluarga dan
bermasyarakat. Untuk lebih jelas akan kami membahasnya kasus-perkasus.
A. Kehidupan dan Peranan: Pembagian Tugas
Dalam masyarakat tradisonal Timor Leste Perempuan adalah satu makhluk
hidup yang ikut berdinamis dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Selain dari berperan sebagai ibu rumah tangga yang sarat dengan urusan
domestik seperti:
 Urusan Dapur
 Perawatan, pemeliharaan anak-anak dan urusan domestik lain.
Perempuan Timor Leste ikut berperan juga dalam urusan-urusan seperti:
 Industri tekstil (soro tais, tihi kabas, suku ropa)
 Menanam padi, menanam jagung hamos hare du'ut, memanen (karena
tugas laki-laki adalah mempersiapkan sawah dan ladang).
 Ikut menentukan roda kehidupan keluarga dan berperan serta dalam
urusan kemasyarakatan.
 Dalam urusan kemasyarakatan suara-suara perempuan didengar.
Dari uraian seperti tersebut di atas perlu kita menarik kesimpulan bahwa
dalam masyarakat tradisional peranan perempuan sangat dihargai yang
terlihat dari pembagian tugas-kerja. Dari pembagian tugas-kerja satu hal
yang perlu kita tonjolkan adalah berkembangnya  nilai kodrat kemanusiaan,
yakni diserahkan tugas-pekerjaan yang ringan-ringan saja.
Walaupun demikian, peranan perempuan sangatlah dominan dan ia
menjalani suatu kehidupan yang dialektis sejajar dengan kaum laki-laki
dalam peranan ini kodrat negatif dan positif berada dalam suatu tataran yang
berimbang.
B. Sistem Barlaque
Ada sementara pihak yang menilai, bahkan memvonis bahwa dalam tata cara
perkawinan yang bercorak Barlaque (baca: Mas Kawin) perempuan
diperjual-belikan, dan sering diperbudak. Pihak-pihak tersebut
berkesimpulan demikian karena mereka hanya melihat dari satu sisi saja,
yakni dari soal materi (nominal harta), tanpa memandang landasan filosofis
dan kultural daripada sistem Barlaque itu.
Dalam pandangan kami sistem Barlaque harus dipandang sebagai
manifestasi dari nilai-nilai budaya dan filosofis masyarakat yang
mencerminkan betapa tinggi dan suburnya keberadaan perempuan dalam
masyarakat Timor Leste. Dengan praktek Barlaque masyarakat kita,
sekalipun kita menganut garis Patriarcal, menempatkan perempuan sebagai
makhluk terhormat, dengan nilai tertinggi dari sudut lain, sebagai suatu
sistem perlindungan atas kesucian perempuan yang dapat berupa:
a. Sistem Perlindungan Dari Dalam
Dalam artian bahwa si perempuan harus bertugas menjaga kesucian,
martabat
dirinya. Hal itu disebabkan karena cara berpikir masyarakat tradisional
bahwa
keperawanan seorang perempuan adalah kunci kebahagiaan (salah satu).
Rumah tangganya kelak menggambarkan loyalitas kesetiaannya pada
keluarganya dihari esok. Seorang perempuan kesuciannya akan dipandang
buruk masyarakat-komunitasnya sekalipun keberadaannya tetap dihargai.
b. Sistem Perlindungan Dari Luar
Dengan menempatkan Barlaque sebagai alat putusan terakhir keabsahan
suatu hubungan suami istri secara otomatis menjernihkan keabsahan
perkawinan itu menurut agama adat dan berdasarkan partisipasi aktif-
konsensual semua kerabat dari kedua belah pihak, memperluas hubungan
keluarga dan mendorong adanya perlindungan sosial kemasyarakatan
dimana sang perempuan terlindung dari bahaya kejahatan seksual
(perkosaan) dan penyakit prostitusi.
Barlaque dipakai juga sebagai ukuran putusan-vonis atas kejahatan seksual.
Dengan adanya Barlaque diharapakan kaum laki-laki semakin menghargai
kaum perempuan dan akan menghindari godaan kejahatan seksual.
c. Perluasan Keluarga
Merupakan kebiasaan masyarakat Timor Leste dalam urusan kekeluargaan
apa saja seperti lia mate, lia moris selalu melibatkan semua unsur keluarga.
Dalam soal Barlaque lazimnya semua unsur keluarga dari mempelai laki-laki
selalu dan wajib serta dalam memberi sumbangan guna memenuhi nilai
nominal yang diminta keluarga mempelai perempuan. Proses perubahan
Barlaque bukanlah suatu proses yang hari ini langsung jadi diputuskan.
Umumnya berjalan lambat dan lama. Keluarga laki-laki dan perempuan
harus berkumpul untuk mendiskusikan hal-hal yang mengenai Barlaque dan
pula forum seperti ini sering pula digunakan untuk saling mengenal satu
sama lain dan lebih mengeratkan hubungan perluasan kekeluargaan dimana
sampai perkawinan dilaksanakan maka secara otomatis antara  keluarga
kedua belah pihak terbentur suatu ikatan kekeluargaan struktural-horisontal
sepanjang zaman yang lebih dikenal dalam istilah tradisional Fetosan-
Umane dengan tanggung jawab timbal balik dalam segala urusan yang akan
datang yang akan ditangani secara bersama. Dengan mengamati proses
tersebut di atas dapat dikatakan bahwa fakta perkawinan adalah suatu
fenomena sosial yang membentuk perluasan kekeluargaan berdasarkan
struktur solidaritas persekutuan antar semua unsur keluarga dari kedua belah
pihak. Sejak awal hingga kepemutusan Barlaque yang harus diberikan,
sebenarnya nilai nominal Barlaque yang akan diberi pihak laki-laki tidaklah
berarti apa secara materi. Sebab pihak perempuan selama proses
pembahasan Barlaque selaku tuan rumah harus mengeluarkan biaya makan
dan barang-barang hadiah yang harus diberikan kepada keluarga laki-laki.
Dalam konteks ini bisa kita katakan bahwa Barlaque bukanlah ajang atau
alat jual beli perempuan melainkan suatu forum pertemuan pengukuhan
perluasan keluarga.
Mengenai soal Barlaque ini masih banyak hal-hal yang belum kami
bicarakan disini, mengingat lisan ini hanya berfokus pada soal perempuan.
Maka soal Barlaque akan kami kupas lebih mendalam pada tulisan lain yang
tersendiri.
Kembali pada pokok bahasan bab ini maka dapat kita berkesimpulan
sebagaimana berikut, setelah pembahasan tadi, yakni dalam masyarakat
tradisional perempuan Timor Leste berperan sebagai mana berikut:
1. Sebagai Ibu Rumah Tangga.
2. Sebagai teman-mitra, bukan pendamping, bukan pembantu kaum laki-
laki, ekalipun pembagian tugas kerja selalu memperhatikan sifat
feminim, hal itu tidak mengurangi peranan perempuan dalam
kehidupan keluarga dan bermasyarakat.
3. Sebagai faktor dalam menentukan perluasan keluarga.
4. Dalam hal-hal tertentu menggantikan kedudukan sang suami.
5. Lebih berperanan dalam pendidikan budi pekerti anak-anak.
6. Dalam urusan kemasyarakatan ikut berperan juga berdasarkan
pembagian kerja tadi.
7. Dan lain-lain peranan yang dapat ia mainkan dalam struktur sosial.

Bagian III:
Perempuan Timor Timur Dalam Masyarakat
Adalah sejumlah besar orang, dimana saja pernah berputar jarum-nafas
kolonialisme, memandang kehadiran kolonialis sebagai suatu fenomena
keharusan sejarah dan suatu faktor penentu dalam rangka "memperadabkan"
masyarakat tradisional, yang dalam istilah kaum kolonial adalah makhluk
liar, tidak beradab. Setiap orang yang telah menerima logika kolonialisme
seperti tersebut mudah merubah pola hidupnya yang tradisional, menjadikan
dirinya vector transmisi cara hidup kolonialis, yang sebenarnya adalah racun
dan bius yang mematikan, dengan tujuan mau merubah masyarakat.
Kondisi dan cara berpikir seperti tersebut diatas dialami, dilakukan juga oleh
sebagian elemen dalam masyarakat kita. Ketika pertama kali orang-orang
Portugis mendaratkan kakinya di bumi Timor serta mereka mendapatkan
perlawanan dari rakyat kita secara sporadis (kira-kira sekitar tahu 1640-an,
yang ditandai dengan Revolusi Pertama oleh masyarakat Cailaco, Cova,
Cotobalu). Namun lambat laun karma keunggulan persenjataan kecakapan
tipu daya para pelaut dan prajurit Portugis juga karena adanya beberapa
faktor internal seperti renggangnya Unidade Nasional, beberapa pesisir
pantai ditaklukan dan ada yang memilih menerima kehadiran Portugis.
Setelah beberapa wilayah pesisir diduduki dan dikuasai, orang Portugis yang
pada waktu itu menganut filosofi politik yang bercirikan prinsip:
menaklukan, menjajah dan memberadabkan, maka mulailah, seperti
layaknya kolonialisme lain, memperaktekan politik "devide et impera"
dengan tujuan merubah cara berpikir, cara hidup, kultur-filosofi orang Timor
Leste sebagai kondisi mutlak yang dipandang perlu untuk menguasai Timor
Leste dan mematahkan perlawanan rakyat.
Awalnya memang susah bagi kaum kolonialis untuk merombak koridor 
kebudayaan rakyat Timor Leste! Namun pekerjaan ini menjadi mudah-
gampang-cemerlang dikerjakannya setelah mulai menguasai beberapa suku
(Liurai) di daerah pesisir baik secara penaklukan lewat peperangan yang
tidak seimbang maupun, lewat cara-cara persuasif seperti dagang dan janji-
janji yang muluk.
Sekalipun sejak tahun 1511 hingga 1975 Portugis berhasil mengefektifkan
suatu administratif "de facto" atas Timor Leste itu tidak berarti ia tidak
menghadapi perlawanan dari rakyat Timor Leste. Banyak upaya pergerakan
kemerdekaan seperti Kamanase, Cailaco, Uato-Lari, Manufahi I, Manufahi
II, dipatahkan, dihancurkan oleh kolonialisme Portugis. Kekalahan yang
dialami para pendahulu kita, bukan disebabkan oleh keunggulan
persenjataan kolonialis, melainkan karena tidak bersatunya pergerakan dan
dicetuskan secara sektoral, kedaerahan. Dalam tragedi itu, selain dari putra-
putri terbaik bangsa kita dibunuh, dibantai, dibuang ke Atauro, Weberek,
Angola, Mozambique, ratusan ribu perempuan mengalami pelecehan
seksual, ribuan ibu dan putra-putrinya kehilangan suami, kakak  dan anak.
Sejarah hitam ini telah dibungkus rapi oleh para saksi-saksi sejarah yang
karena merasa diri lebih dekat dengan Potugal menurunkan suatu sejarah
fiktif yang mengajarkan seolah-olah Portugis adalah bangsa yang paling
beradab yang karena ke-Katholik-annya, bukan ke-Kristen-annya, tidak
memusuhi dan membantai budaya rakyat kita. Perjuangan Rakyat kita demi
merebut kembali tanah air kita.
Sejarah pergerakan rakyat kita melawan keganasan, kemunafikan kolonialis
Portugis tidak pernah diturunkan secara tertulis kepada kita ! Hal ini
disebabkan beberapa sesepuh kita, karena telah cukup lama bergaul dengan
Portugis mendapatkan fasilitas, telah beranjak dari MAUKOLI menjadi
JOSE MANUEL GUTERRES, telah beranjak dari NOKOAI menjadi
GREGORIO GUTERRES atau EGAS FREITAS, telah beranjak dari
BIKOLI menjadi ARMANDINA GUSMÃO atau karena telah meninggalkan
sifat religiusitas Maubere dan Buibere yang manifestasi bentuk
keagamaannya adalah animisme, dinamisme dengan corak ritualnya sama
persis dengan Perjanjian Lama. Untuk menerima secara mutlak nilai-nilai
kolonialisme (baca: imperialisme agama) yang terkandung dan bermakna
dalam institusi Katholik, semuanya telah menyebabkan mereka semua,
untuk tidak menghiraukan keganasan kolonialisme Portugis dan lebih
senang memuji-muji kolonialisme Portugis. Karena sifat yang demikian
irasional itu telah melahirkan aktualitas budak, maka budak tidak dapat
berbuat selain dari menyembah keluhuran berhala kolonialisme. Di sisi lain,
para saksi pelaku sejarah yang secara aktif melawan kolonialisme kini
tinggal beberapa orang saja. Kita terancam  mengatasi keganasan kanker
Colonialism and Imperialism yang telah merasuki seluruh tubuh bangsa kita!
Ini adalah juga suatu tantangan bagi seorang atau setiap Perempuan Timor
yang mau menyebut dirinya Buibere.
Pada tahun 1974-1975 kawan Nicolau Lobato ketika itu wakil Presiden
Fretilin,untuk mendapatkan basis legitimasi kultural-historis bagi pergerakan
Fretilin pernah berkunjung ke Manufahi guna bertemu dengan janda Don
Boaventura ketika itu Nicolau Lobato mempresentasikan program politik
Fretilin. Janda yang bijaksana itu seolah-olah menjadi remaja-putri kembali
dengan mata yang bersinar-sinar mengajukan pertanyaan yang amat
sederhana tapi gagah dengan manuver politik dan filosofis kepada sang
Wakil Presiden Fretilin:
Dari ufuk mana matahari terbit?
Dan dari ufuk mana matahari terbenam?
Maka dijawablah oleh sang Wakil Presiden bahwa terbit dari Timur dan
terbenam di Barat si janda tua itu melanjutkan kalau begitu tidak benar (la
los ida!) jalan yang menuju Indonesia.
Dapatkah para Buibere kita memahami betapa tingginya cara berpikir
filosofis dari Rakyat kita? Simak dan analisalah cara berpikir dialektis yang
amat sederhana dan agung itu.
Kembali kepada fakta kehadiran Portugis di bumi Don Boaventura itu.
Kehadiran kolonialis Portugis di bumi Don Boaventura itu membawa
banyak implikasi negatif dari pada positif seperti kolonialisme lain, Portugis
berusaha mendirikan pusat administrasi dan perdagangan di daerah-daerah
strategis yang telah dikuasai dan diduduki guna menarik masuk para native
(masyarakat pribumi) agar ia dapat dengan leluasa mengintrodusir nilai-nilai
peradaban dan kulturnya ke dalam masyarakat native kepada beberapa orang
native yang lebih acceptable (mudah) diberi posisi, kepercayaan tugas untuk
membantu politik "bumi-hangus" terhadap pribumi. Banyak sekolah
didirikan dan banyak pula gereja yang didirikan.
Awalnya politik "bumi-hangus" dijalankan secara persuasif, low profile
(merakyat) dan recruitment (rekrutmen) berdasarkan politik dagang dan
politik "ambil-hati", pada era itu faham animisme dan dinamisme belum
dinominasi sebagai penyembah berhala (denses falses), mengingat posisi
politik militer kolonial yang begitu kuat.
Belakangan sekitar tahun 60-an cara-cara paksa mulai dilakukan Portugis
dengan menetapkan native harus sekolah. Untuk dapat bersekolah semua
harus dibaptis, dan harus meninggalkan nama tradisional yang sarat dengan
penamaan serta mengambil nama-nama yang berbau Portugis. Kalau kita
cermati secara baik putusan yang mewajibkan semua harus sekolah itu
sepintas lalu kelihatannya sangat positif namun dengan syarat harus dibaptis,
membawa kita pada kesimpulan bahwa itu adalah taktik politik kolonial
yang betujuan menghancurkan masyarakat tradisional dan menguasainya
dengan tahap-tahap yang ciri-cirinya sebagai berikut:
1. Memisahkan mereka yang telah dibaptis dari struktur tradisional-
agama-adat.
2. Menarik mereka yang telah dibaptis dengan menggunakan nama
Portugis untuk, sekalipun minimum, hidup menurut nilai Portugis.
3. Mereka yang telah di Portugiskan akan bertindak sebagai penyalur
"kuman-kuman" kolonialisme ke struktur tradisional.
Dalam pandangan kaum pembaptisan pribumi untuk menjadikan orang
Kristen Katholik ada satu proses yang wajar harus  dapat menopang
pertumbuhan ke arah kehidupan masyarakat yang positif, karena pada
dasarnya masyarakat Timor Leste adalah masyarakat religius.
Hal yang tidak dapat kami pandang sebagai tindakan positif adalah
pergantian nama tradisional. Bagi kami pergantian ini adalah upaya
menghilangkan indentitas nasional yang telah bermuara pada hancurnya
nilai-nilai kultural kita dan melahirkan krisis kultural yang kita alami.
Proses domestikasi yang dijalankan pihak-pihak kolonial bukan saja telah
merugikan bangsa Timor Leste secara kolektif tetapi secara lebih spesifik
telah pula mengasingkan perempuan Timor Leste sekaligus sebagian dari
kekodratan kultural dan filosofisnya.
Banyak putri terbaik Timor Leste meninggalkan kampung halaman dan
masuk ke dalam pusat-pusat urbanisasi. Ada yang berhasil mencapai
kehidupan yang lebih baik, tapi terasing dari nilai-nilai kewanitaan yang
menjadi ciri khas identitasnya.
Ada yang terbawa gelombang urbanisasi jatuh kedalam dunia hitam menjadi
korban keganasan seksual prajurit dan pejabat kolonial.
Secara gamblang dapat kita katakan bahwa selama proses domestikasi dan
pemaksaan nilai-nilai dari kultur peradaban Portugis, sama seperti kaum
lelaki, Perempuan Timor Leste telah menjadi korban dan budak dari praktek
kolonialisme yang berjalan selama 400 tahun lebih dan apakah selama itu
perempuan Timor Leste tidak bangkit melawan praktek-praktek
kolonialisme Portugis.
Perlawanan perempuan Timor Leste terhadap kolonialisme Portugis secara
terpadu dengan kaum laki-laki pada setiap pergerakan kemerdekaan yang
seperti kami katakan telah sangat kejam dibantai oleh kolonialisme Portugis.
Lebih spesifik walaupun setiap pergerakan dimasa lalu telah dihancurkan
oleh kolonialisme Portugis sekalipun sebagian orang Timor Leste telah
mengasimilasikan diri dengan peradaban Portugis, dapat kita katakan bahwa
rasio pergerakan Portugis secara umum berhasil mempertahankan nafas dan
muatan budak nasional di setiap desa dan setiap pelosok Timor Leste, yang
pada jaman revolusi dan perang kemerdekaan telah menjadi tiang
pendukung dan pokok berteduh pergerakan nasional. Dan disitulah  peranan
perempuan Timor Leste sekalipun bersifat lokal dan mistik, menjadi unsur
utama dan dominan.
Pada masa kolonial, perempuan Timor Leste sama dengan kaum laki-laki,
karena terbelakang secara intelektual  belum mampu mencetuskan suatu
perlawanan yang diwadahi oleh organisasi struktur moderen maka guna
memanifestasi kemuakan dan penolakan kolektif-perorangan pada praktek-
praktek dan kehadiran kolonialis seringkali perempuan Timor Leste
menyalurkan resistensinya lewat tari-tarian populer yang dikenal dengan
tebe-tebe.  Alat musik Babadok yang dimainkan oleh perempuan Timor
Leste, mengkombinasikan gerak-langkah dan pukulan serta berusaha
mengeluarkan irama musikal yang tidak dipahami oleh sang kolonialis
karena sulit ditangkap dan ditafsirkan adalah suatu kritik yang pedas
terhadap Portugis di bumi Loro Sa'e.
Perlawanan semacam itu yang diekspresikan lewat alat-alat Babadok ada
satu bentuk perjuangan manisfestasi dan kritis yang disalurkan lewat
kesenian dan tari-tarian tradisional, ini merupakan suatu perlawanan pasif
yang mulia sifat dan wataknya!
Namun yang patut kita sayangkan adalah terjadinya di era ini, dimana putra-
putri Timor Leste yang sudah berpendidikan tinggi, suatu pelecehan,
prostitusi-komersialisasi tradisi tari-tarian Timor Leste. Banyak dari kita
tidak berusaha melestarikan, memekarkan, menjabarkan filosofi dari setiap
bentuk tari-tarian dan kesenian tradisional, melainkan menjadi kebiasaan
umum, penyakit kronis, mengeksploitir memperagakan tari-tarian pada
event-event tertentu sebagai barang tontonan untuk sekedar menunjukkan
kepada pihak luar bahwa budaya Timor Leste dihargai. Pemanfaatan seperti
ini hanya mengandung tujuan politik dan komersial.
Keadaan seperti tersebut di atas adalah tugas dan tantangan setiap
perempuan Timor Leste yang disebut Buibere untuk menanganinya.

Bagian IV:
Perempuan Timor Timur Pada Awal Revolusi:
Terbentuknya Awal Suatu Emansipasi
Jauh sebelum Revolusi Bunga terjadi dan meruntuhkan rejim  diktator, fasis
peninggalan Salazar, gerakan emansipasi perempuan sudah terdengar dan
dapat dibaca diberbagai buku dan surat kabar yang karena faktor-faktor
konsidensi, pernah sampai ke Timor Leste. Tapi gerakan itu, kelihatannya
kurang begitu menggema di sanubari perempuan Timor Leste, sekalipun
gagasan emansipasi pernah dibacakan oleh beberapa perempuan Timor
Leste.
Logika itu gerakan emansipasi yang ditangkap dan dipahami oleh beberapa
perempuan Timor Leste, walaupun tidak sempat membaca, melembaga
sebagai suatu gerakan yang berorientasi (beraliran) memperjuangkan hak
persamaan antara perempuan dan laki-laki. Namun, karena "trend"
kolonialisme dengan segala paham, peluang kemewahan, gerakan
emansipasi yang dipahami oleh perempuan Timor Leste adalah suatu way of
life (jalan hidup), mode of thinking (pola berpikir), yang dapat memekar
peluang bagi sang perempuan untuk mengejar dengan tujuan mendapatkan
posisi-posisi dalam struktur kepemerintahan kaum kolonialisme yang hingga
pada saat itu hanya diduduki oleh kaum laki-laki. Tepatnya semua gerakan
emansipasi yang ditangkap, dipahami, dan dibaca mau mengikuti suatu
gerakan yang berorientasi status sosial dan ekonomi, bukan politik,
kebudayaan dan ideologis.
Secara umum, pada jaman itu perempuan Timor Leste tidak begitu peduli
dengan soal-soal politik, kebudayaan dan ideologi. Bagi mereka dan begitu
pula bagi sejumlah kaum pria, yang paling penting mendapatkan gaji yang
memadai guna memopong kehidupan dan segala kebutuhannya. Bagi
mereka yang masih muda-mudi, yang penting happy-happy (bersenang-
senang) setiap hari, week end (akhir pekan) dan entahlah apanya lagi? Soal
idealisme, bagi mereka adalah barang busuk, untuk tidak dikatakan langka.
Apalagi idealisme atau ideologi yang berorientasi membawa mereka "back
to basic" cultural. Peduli amat?
Ketika Revolusi Bunga berhasil di Portugal, seperti reformasi sekarang,
suasana di Timor Leste, terutama di Dili, yang tadinya lebih ornamental
dengan pesta-pesta, olahraga, rekreasi dan pacaran di pantai dan lain-lain,
berubah drastis! Semua orang, tua-muda, laki-perempuan, dimana saja
berada dan bertemu suka membicarakan politik, berdiskusi politik,
menganalisa keadaan, singkat kata, emansipasi menjadi gerakan politik dan
tujuan "selera jaman" serta kepentingan pribadi.
Partai-partai politik bermunculan; serba warna-warni, asal jadi asal berkoar
agar tidak ketinggalan "irama musik politik". Pada saat suasana yang serba
ornamental/serba tak menentu itu, sejumlah perempuan Timor Leste
dibawah pimpinan kawan Mukia (Rosa Bonaparte), yang adalah kader
Fretilin tampil ke depan umum mencoba memecahkan "lingkaran setan" itu.
Maka dibentuklah OPMT (Organizaçao Pupular da Mulher Timor) sebagai
wadah untuk mengartikulasi selera emansipasi perempuan Timor Leste
dalam konstalasi politik Timor Leste.
Dengan terbentuknya OPMT maka gerakan emansipasi perempuan di Timor
Leste lebih diarahkan ke urusan politik kemerdekaan Timor Leste, dimana
peranan perempuan diperjelas dalam platform politik yang mengarahkan
perempuan untuk turut serta dalam pergerakan kemerdekaan Timor Leste.
Dan karena kemerdekaan total yang diinginkan Fretilin dan OPMT, maka
lebih kedepan lagi, OPMT menempatkan diri bukan saja sebagai gerakan
sosial-politik, melainkan sebagai suatu gerakan yang memiliki orientasi
pencarian identitas nasional (baca: gerakan kultural), sebagai motivator
kesadaran kolektif basis utama Nation and Caracter Building, hanya untuk
mempermudah orientasi kultural gerakan, maka kaum Buibere diangkat dan
dipopulerkan, ketika itu juga ia menemukan bentuk awal manifestasinya
pada pengambilan nama tradisionalnya/asli oleh para anggota OPMT guna
menggugurkan nama yang diharuskan kolonialisme Portugis.
Awal emansipasi, benih pertama telah ditebarkan, sekalipun OPMT/Fretilin
tidak sempat memodulirkan Buibere. Jika ada, kita tidak pernah
mengetahuinya, maka sudilah kawan-kawan sesepuh menjelaskannya.

Bagian V:
Perempuan Timor Dalam Perjalanan Sejarah
23 Tahun: Ibu, Gerilyawan, Korban Dan
Sekalipun hingga detik ini basis filosofis OPMT-Buibere tidak pernah kita
ketahui, cukup amatlah bijaksana, jika kita katakan bahwa lahirnya OPMT
telah membawa suatu wacana-cakrawala baru bagi emansipasi perempuan
Timor Leste dalam orientasi kemerdekaan Timor Leste.
OPMT bukanlah suatu struktur isapan jempol ! Sejak awal revolusi
kemerdekaan para anggota OPMT yang masih muda-belia bergabung
dengan para anggota-anggota UNETIM membentuk Brigade Pendidikan
terjun ke desa-desa yang paling pelosok di Timor Leste untuk hidup bersama
rakyat, bekerjasama rakyat dan bertukar teori (baca: ilmu politik revolusi)
dengan rakyat. Mereka pergi ke desa-desa paling pelosok hanya berbekal
pakaian dan manual politik! Tidak ada uang, barang mewah yang mereka
bawa serta dalam tas-tasnya.
Karena komitmen ini, banyak suara "miring" muncul disana-sini, yang
dicetuskan oleh elite politik dan pastor Timor Leste. Namun mereka tidak
peduli, sebab bagi mereka HARGA DIRI pribadi tidaklah apa-apa
dibandingkan dengan HARGA DIRI kaum HINA-DINA dan tertindas yang
adalah  mayoritas Rakyat Timor Leste.
Tahap-tahap awal revolusi perempuan yang bergabung dalam OPMT sangat
berperan dalam pendidikan budi-pekerti Rakyat Timor Leste secara umum
dan khususnya mengangkat kembali citra, harkat dan martabat perempuan
Timor Leste yang bertahun-tahun diinjak-injak, dirobek-robek, diporak-
porandakan oleh kolonialisme Portugis.
Dari sekian banyak karya nyata yang dihasilkan OPMT  secara hilir ada
yang menjadi kebanggaan kita hari ini yakni mereka telah ikut membentuk
kesadaran kolektif kita semua untuk memperjuangkan kemerdekaan, karena
komitmen dan konsistensi mereka pada opsi gerakan kemerdekaan yang
berwatak kerakyatan telah ikut meluhurkan, memekarkan, mengabdikan
ideologi kemerdekaan dengan darah, pengorbanan dan penderitaan batin
ketika ratusan ribu dari mereka diperkosa sebelum dibunuh oleh para tentara
Indonesia yang ketika itu menurut Gereja Timor Leste adalah "malaikat"
yang datang untuk membebaskan Timor Leste dari komunisme! Diantara
perempuan-perempuan yang telah gugur mendahului kita semua perlu
kiranya kami sebutkan nama Mukia dan Goreti sekedar peringatan untuk
kita semua.
Namun ada pula karya nyata mereka yang telah dihiasi dengan darah, air
mata, pendiritaan yang kini, demi menyenangkan hati para pelopor integrasi
yang kini menjadi pejuang kemerdekaan, sangat ironis, kita khianati. Seperti
pembubaran RDTL (Republik Demokratik Timor Leste) dan pelarangan
pengibaran bendera yang telah dijahit dengan penuh kasih sayang dan
dikibarkan dengan semangat yang bergelora oleh OPMT, teristimewa kawan
Mukia yang telah gugur sebagai perempuan pertama Timor Leste di depan
moncong senjata tentara Indonesia!
Haruslah kita semua, teristimewa mereka yang kini menyebut dirinya
Buibere menerima kenyataan itu!
Memang betul banyak karya mereka yang masih kita perhitungkan, masih
kita
banggakan!
Mereka telah pergi, untuk memekarkan ideologis kemerdekaan, mereka
telah mendahului kita dengan membayar harga yang harus dibayar, hanya
karena membela hak rakyat tertindas! Siapkah kita untuk membayar
HARGA yang HARUS kita BAYAR? Ataukah partisipasi kita dalam
perjuangan ini hanyalah karena faktor selera ikut-ikutan, ataukah sekedar
"hiburan politik"?
Banyak daripada OPMT telah tiada! Ada yang mati terkena peluru, granat,
mortir dan bom! Ada yang gugur karena epidemi! Ada yang mati karena
kelaparan, ada yang gugur pada saat ditahan, disiksa, dan diperkosa! Semua
perbuatan agresor telah menjadikan mereka mati, tapi ideologi mereka, tidak
pernah mati! Sebab tubuh, badan boleh mati tetapi gagasan tidak pernah
mati, dan tidak dapat dibunuh!
Mereka telah mati tetapi semangat mereka yang bergelora masih
mendampingi kita semua, kita yang berjuang di Jawa, Bali, ibu-ibu, adik-
adik perempuan yang berjuang di seluruh Timor Leste!
Mereka telah tiada namun gerakan emansipasi yang mereka cetuskan, yang
mereka kembangkan, yang mereka mekarkan, yang mereka hiaskan dengan
darah dan pengorbanan,  berjalan dan berkembang terus tiada henti-
hentinya! Banyak dari perempuan Timor Leste gugur sebagai gerilyawati;
ribuan lain gugur sebagai pembawa surat, makanan kepada para gerilyawan
yang masih bergerilya, ratusan lainnya gugur di medan clandestin, ratusan
lainnya gugur karena ditahan, disiksa dan diperkosa!
Jatuhnya begitu banyak korban dan berkembangnya organisasi perempuan
sebagai wadah pergerakan perempuan dalam kemerdekaan Timor Leste
adalah dari sekian banyak karya yang telah dikaryakan oleh para pendahulu
kita, awal dari segala awal pergerakan yang berwatak kerakyatan, yang
berorientasi pembebasan kaum tertindas! Tiada organisasi lain yang dapat
bertahan pada jaman pancaroba selain dari organisasi yang berorientasi
pembebasan kaumnya dan seluruh kaum tertindas. Memang akan hadir yang
lain, tapi hukum sejarah akan menggilasnya!
Untuk menutup bab ini perlu kami tegaskan bahwa kelahiran OPMT adalah
tanda kelahiran emansipasi perempuan Timor Leste sebagai makhluk
manusia yang juga memiliki kemauan untuk merdeka untuk mencetuskan
arah sejarah.
Bagian VI:
Perempuan Timor: Penemuan Kembali
Identitas Ke-Buibere-An Sebagai Batu Pen
Seperti telah kami katakan OPMT telah mencetuskan semangat dan dedikasi
kaum perempuan untuk mengambil bagian aktif dalam gerakan
kemerdekaan! OPMT telah mengambil peranan Buibere sebagai simbol,
tanda ibu yang mencerminkan gerak langkah suatu kolektivitas yang
menyelusuri terowongan kebiadaban kolonialisme menuju ke jendela dan
gapura kemerdekaan!
OPMT telah mencetuskan panggilan Buibere untuk mengidentifikasi
gerakan perempuan secara kolektif!
Banyak telah mereka lakukan tapi ada pekerjaan yang terlupakan, bukan
karena kekhilafan, melainkan karena banyaknya pekerjaan revolusi yang
harus mereka tangani! Maka lebih bijaksana jika kita katakan pekerjaan
mereka belum selesai! Adakah kewajiban kita untuk selesaikan? Lalu, apa
yang harus kita selesaikan?
Ada dua tugas mulia yang harus kita selesaikan, yakni:
1. Melanjutkan pergerakan kemerdekaan hingga tercapai kemerdekaan
total 100%
2. Melengkapi penamaan/simbol Buibere sebagai alur pergerakan.
Untuk pasal yang pertama, kita harus secara serius menceburkan diri dalam
lautan darah pergerakan. Kita harus menjadi alat pergerakan kaum tertindas.
Untuk pasal yang kedua, kita perlu menduduki terminologi Buibere secara
kontekstual agar kita masing-masing memahami apa arti Buibere dan
bagaimana menjadi Buibere di era pancaroba ini dengan segala multi-krisis!
Kalau demikian, apa itu Buibere? Pertanyaan ini harus dijawab secara
kontekstual menurut logika dan selera sebagaimana berikut:
1. Buibere adalah lambang/simbol kultural yang mencerminkan suatu
gerakan kultural yang bernafas, berorientasi penanaman kembali identitas
nasional secara positif secara rasional sebagai alat untuk Nation and
Character Building!
Kenapa dikatakan secara positif dan secara rasional? sebab seorang Buibere
tidak harus menerima atau menolak sesuatu nilai, tanpa terlebih dahulu
memahami sejarah! Memahami sejarah, berarti mengetahui kenapa keadaan
ini atau itu mesti terjadi dan kenapa keadaan ini dan itu yang harus dipilih!
Hal itu berarti kita mau kembali ke basis, mau menemukan kembali identitas
kita, tidak berarti kita harus secara membabi buta, lompat sini, lompat sana,
asal menolak apa yang berbau asing! Praktek itu tidak benar, dan tidak
mencerminkan filosofi hidup para pendahulu kita!
Kembali ke basis kultural berarti mencari yang pokok, yang utama, yang
adalah milik kita dan mempertahankan yang adalah nilai-nilai positif dan
sumber-asal yang telah mendarah-daging dengan kultur!
Suatu contoh yang amat kongkrit adalah mengenai dua soal ini, dalam
pengertian Buibere sebagai gerakan kultural:
a. Soal Penamaan -- Kembali menggunakan nama-nama asli tradisonal tidak
berarti kita harus kembali, menjadi animist atau dinamist! Menggunakan
nama-nama asli/tradisional berarti mengidentifikasi diri sebagai orang Timor
Leste secara penamaan (baca: suatu unsur dari kebudayaan = bahasa
lisan/tulisan) dan tetap menjadi orang Kristen/Katholik, Hindu Budha, Islam
sebagai manifestasi dari dipertahankan ajaran Kristus-Katholik atau agama
lain sebagai nilai universal (baca: dalam pengertian Teologi lintas budaya)
bukan  menetapkan Katholikisme atau ajaran agama lain sebagai wujud dari
imperialisme agama!
b. Soal Agama -- Menyangkut agama kita perlu meluruskan bahwa
animisme, dinamisme, terlepas dari unsur negatif yang selayanya terdapat
pada semua agama lama, adalah juga bentuk agama, yang secara teologis
dan filosofis kosmis mengakui adanya existencia trancedental. Ia juga
memiliki ritual-ceremoni persembahan. Bedanya dengan agama Katholik,
Kristen dan Islam hanya karena belum memiliki unsur kenabian!
Dalam hal ini setiap agama yang adalah nilai universal tidak boleh
mematikan nilai-nilai religiositas tradisonal. Nilai-nilai religius tradisional
harus diakui dan diterima sebagai unsur pemerkaya spiritualitas.
2. Buibere Adalah Lambang-Simbol Gerakan Politik (ideologi) Sosial
(ekonomi).
Apa itu artinya?
Menjadikan diri seorang Buibere adalah menceburkan diri dalam suatu
gerakan keberpihakan kepada yang lemah, yang hina-dina, singkat kata yang
tertindas. Hal itu disebakan karena faktor sejarah, filosofi dan keadaan
ekonomi-sosial telah menjadikan arti kata Buibere (sama dengan Maubere)
setiap orang yang tidak berpendidikan, kurang beruntung, singkat kata dalam
pandangan kolonial yang belum diasimilasi, yang masih liar, yang buta
huruf dan lain sebagainya!
Untuk berjuang demi kaum tertindas setiap orang harus melakukan bunuh
diri status sosial dan hidup sesuai dengan kaum tertindas. Hanya demikian ia
dapat membebaskan dan terhindar dari bahaya menggunakan kaum tertindas
sebagai obyek untuk mengejar nama dan popularitas!
Dari uraian di atas Buibere adalah suatu gerakan politik-ideologi yang dapat
kita jabarkan sebagaimana berikut:
1. Buibere adalah: semua perempuan Timor Leste yang berjuang untuk
kemerdekaan total Timor Leste.
2. Buibere adalah: lambang- simbol-institusi-realisasi semua perempuan
yang bekerja sebagai buruh pabrik, pekerja, petani, ibu rumah tangga,
pelajar, mahasiswa, sarjana dan Doktor, pasca sarjana dan Profesor
dimanapun berada (yang telah melakukan bunuh diri status sosial
Timor Leste).
3. Buibere adalah: setiap Perempuan seperti tesebut di atas yang telah
mengangkat dirinya berjuang demi pembebasan kaum tertindas
dimanapun kaum tertindas itu berada. Ini adalah proses Emansipasi
Internasional!
4. Buibere adalah: setiap Perempuan seperti tersebut di atas yang
berpihak kepada kaum tertindas dan berjuang demi membebaskannya.
3. Apa Yang Menjadi Filosofi Hidup Buibere?
Dari uraian yang panjang lebar seperti tercantum dalam bab-bab di atas
filosofi Buibere selain dari menjiwai gerakan Buibere sebagai gerakan
kultural, gerakan politik (sosial-ekonomi) dan ideologi filosofi hidup (sosial)
Buibere adalah:
Setia-kawanan (Solidaritas aktif antar sesama, dan antar sesama kaum
terindas dengan dasar utama: membagikan segala sesuatu yang dimiliki
dengan para kaum tertindas! Buibere selalu berorientasi kerakyatan dalam
setiap bidang kehidupan.
ABST, JL. Cempaka Putih Barat No. H13, Jakarta Pusat,
INDONESIA
Telefon: (021) 42879850 (Internasional: 00-62-21-4287-9850)
E-Mail: ABST-Timor@marxistworker.org
25.11.1999

Anda mungkin juga menyukai