Anda di halaman 1dari 18

CERITA KAMI

Yayasan Maju Bersama


CERITA KAMI
Edisi perdana terbit Mei 1990
Dewan Redaksi: Edi Cahyono, Esrom Aritonang, Maxim Napitupulu,
Mohammad Arif Rusli, Muhammad Husni Thamrin, Razif.
Logo Cerita Kami, Gambar cover, dan ilustrasi: Semsar Siahaan.
Editor naskah dan Tata Letak: Edi Cahyono.
Penerbit: Yayasan Maju Bersama
ISSN 0854-1779
***********BURUH***********
Sebagai buruh kita sering mendengar seruan penguasa atau lembaga yang
terkait kepada pemilik modal, agar buruh jangan dipandang sebagai faktor
produksi. Tetapi merupakan partner dalam mencapai hasil yang diinginkan.
Sehingga, hubungan buruh-pengusaha akan memperlihatkan wajah yang
manusiawi dan harmonis. Tetapi, sesering itu pula buruh dihadapkan pada
"ketidak-adilan" dan "keprihatinan" yang mendalam bagi nasib buruh.
Buruh semakin terjepit dan jadi makanan empuk kaum pengusaha. Buruh
semakin memperkaya pengusaha dalam cengkeraman kekuasaan kaum
kapitalis.
Buruh selalu ditekan dengan berbagai kewajiban yang harus dilaksanakan
untuk mencapai target produksi yang ditetapkan. Sementara di lain sisi, upah
yang diberikan kepada buruh tidak cukup untuk hidup layak. Adanya upah
minimum yang kelewat rendah di Indonesia menunjukkan tidak adanya
pemerataan dan keadilan. Di negara industri maju, perbandingan upah
tertinggi dan terendah adalah 1:12. Sedang di negara sosialis 1:6. Akan
tetapi, di Indonesia yang ber-Pancasila perbandingan upah sangat mencolok,
mencapai 1:50. Tragisnya lagi kenaikan upah minimum secara regional
bukan merupakan kenaikan nilai upah-riil yang berarti meningkatkan daya
beli pekerja. Ironisnya, upah buruh Indonesia yang terkenal paling murah,
sering ditonjolkan sebagai keunggulan komperatif untuk menarik modal
asing ke Indonesia. (Kompas, 24 September 1991.)
Lemahnya posisi buruh ini, di sisi lain, bisa dilihat dari beberapa peristiwa
pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang dilakukan pengusaha
terhadap buruh. Tindakan PHK sering dilakukan secara sepihak, misalnya
bila buruh dianggap melakukan kesalahan. Akan tetapi seperti apa kesalahan
itu, tak pernah dijelaskan. Suatu berita PHK yang sempat aku baca terjadi
pada Jumirah, ia di PHK karena hamil. (Kompas, 10 Maret 1991.)
Menurutku undang-undang dan peraturan hukum yang bermaksud
melindungi, tidak lebih merupakan konsep belaka. Karena dalam sistem
ekonomi yang telah terjaring dalam lingkungan kapitalisme internasional,
undang-undang hanya berupaya membujuk buruh hidup puas dalam
lingkaran suatu ekonomi non otonom. Undang-undang merupakan produk
kerjasama dan persekutuan antara kaum kapitalis dengan penguasa. Sehingga

1
dapat melahirkan kebijaksanaan menekan upah buruh sekecil mungkin.
Sehingga ketenangan investor dalam mengakumulasi modalnya, dapat
terjaga. Undang-undang yang untuk orang yang tidak paham seolah-olah
menciptakan keadilan sosial bagi buruh, ternyata menempatkan posisi buruh
sangat lemah dan terjepit. (Tasirun  dan Tarbu, "Menteri tenaga kerja kalah
di pengadilan,"  Media Indonesia, 8 Juni 1991.) Merupakan bukti
penyimpangan konsep perburuhan dan lembaga itu sendiri.
Dari beberapa gambaran di atas, persoalan menunjukkan perlu dibentuknya
organisasi buruh yang dapat menjiwai keinginan buruh. Karena dalam
lingkup realitas perburuhan inilah buruh diharuskan menyesuaikan diri
kepada "ketidak-adilan sosial" dengan demikian perlu membentuk organisasi
buruh yang akan memperjuangkan perbaikan nasib buruh.
Klas buruh harus dapat mengembangkan ideologi yang dapat digunakan
sebagai pijakan sehingga dapat bekerjasama dengan sektor-sektor produktif
yang ada. Kita perlu kerjasama dengan pihak-pihak lain untuk mewujudkan
cita-cita tersebut.
Bila buruh tidak bangkit dari penghisapan para kapitalis, maka kondisi buruh
akan semakin buruk, tidak mempunyai suara, tidak tahu bagaimana politik
dilangsungkan, tidak tahu bagaimana perekonomian dikelola, bagaimana
buruh ditekan. Pengusaha tidak akan memberi peluang atau fasilitas lebih
baik kepada buruh bila tidak ada tuntutan dari buruh.
Berapa besar penghisapan yang dilakukan kapitalis, dan berapa yang yang
diberikan kepada buruh sebagai upah, sebagai kejahatan seorang kapitalis
harus segera diketahui oleh buruh. Keadaan seperti itu akan tetap
berlangsung, apabila buruh tidak dalam tubuh yang kuat dan terorganisir.
Dengan organisasi kita dapat melakukan perjuangan buruh. Bentuk
perjuangannya bisa gerakan moral, demonstrasi atau keduanya.
*****

2
***********AWALNYA KEHANCURAN***********
Di Selatan sana ada suatu desa yang penduduknya ayem tentrem, gemah
ripah loh jinawi, toto titi tentrem kerto raharjo. Itu adalah desaku, desa
Banyusumurup di Kelurahan Girirejo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten
Bantul, Yogyakarta, Jawa Tengah.
Masyarakatnya sangat rukun. Dalam bekerja, di sana ada sebutan kerja
sambatan. Maksudnya begini, misalnya di rumah pak Karto esok akan
didirikan rumah. Para tetangga yang mendengar kabar tersebut biasanya
langsung ada yang turut membantu dengan memberi sejumlah beras, atau
lauk pauk, pokoknya sembilan bahan pokok terkumpul dari tetangga untuk
keperluan acara di rumah pak Karto.
Melalui kerja sambatan ini banyak pekerjaan dilakukan oleh penduduk desa.
Mereka bergotong royong, biaya ditanggung bersama. Ada kegiatan jimpitan,
yaitu kegiatan mengumpulkan beras setiap sore hari, sebelum setiap keluarga
menanak nasi, sebanyak sekitar lima sendok makan. Secara bergiliran warga
desa mengambil beras jimpitan tersebut dari rumah ke rumah lalu
dikumpulkan di rumah pak erte (RT). Beras jimpitan yang telah terkumpul
tersebut, bila telah terkumpul cukup banyak, dijual lelang kepada siapa saja
yang membutuhkannya. Uang hasil lelang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat desa.
Di desa tersebut ada juga organisasi karang taruna. Kerja karang taruna yang
saya tahu adalah melakukan membayarkan rekening listrik warga desa, dari
kegiatan itu setiap warga yang dibayarkan rekeningnya dipungut biaya jasa
Rp.150,-/warga. Sama-rata, itulah yang terlihat dalam kehidupan warga desa.
Keindahan hidup tersebut mendadak terkoyak ketika seorang kapitalis dari
kota bertamu ke rumah kepala desa. Kapitalis tersebut berniat membangun
sebuah proyek besar di desa tersebut. Dengan basa-basi dan rayuan yang
ampuh akhirnya si kapitalis berhasil menguasai dua kelurahan, Kelurahan
Jaya dan kelurahan di sebelah timur desaku.
Untuk kelurahanku riwayatnya begini, diawali sang lurah, Darmosukarto,
mengadakan rapat. Dari rapat tersebut terbentuk sebuah panitia. Seorang
penduduk, Suto, kebagian kerja untuk merayu warga supaya warga bersedia
menjual tanahnya yang berada di lereng bukit (sebab si kapitalis tidak
berminat terhadap tanah desa yang sudah penuh dengan rumah penduduk).
Kemudian Noyo menjadi keamanan yang bekerja mendukung aksi si Suto,
paling tidak melindungi tingkah polah Suto. Ada beberapa jagoan yang
bekerja pula membantu pekerjaan Suto, seperti: Aryo Sentono, Sukri Sumitro
dan Darmo S.
Dengan perlahan-lahan mereka bekerja untuk melakukan pengambilalihan
tanah-tanah milik penduduk desa. Dalam melakukan pembelian tanah
masyarakat ditakut-takuti bahwa jika tidak mau menjual tanahnya mereka
akan dihukum. Sehingga akhirnya sang kapitalis berhasil menguasai tanah-
tanah tersebut.

3
Tanah-tanah yang tadinya menjadi sumber kehidupan rakyat petani kini
beralih menghidupi si kapitalis. Matilah mata pencaharian rakyat desaku.
Setelah berhasil menguasai tanah pedesaan, si kapitalis mulai menanam
berbagai pohon seperti akasia, pinus dan pohon kayu putih.
Segelintir warga desa yang sadar bahwa mereka kehilangan tanahnya mulai
merongrong perkebunan si kapitalis. Mereka merusak sebagian tanaman
yang ditanam dalam kebun tersebut. Sehingga si kapitalis gagal memanen
keuntungan dari kebunnya.
Sehingga si kapitalis melakukan cara baru untuk menyelamatkan kebunnya.
Dimulai dengan mengumpulkan warga desaku dan memberikan ðpengarahan
yang isinya kira-kira begini: "saudara-saudara ada kabar gembira buat
saudara-saudara yaitu saudara-saudara akan diberi antara lain:
lahan pertanian,
cangkul dan alat-alat pertanian,
pupuk,
biji-bijian yang diperlukan, dan lain-lain
secara gratis dengan catatan semuanya ditanam disela-sela antara tanaman
yang telah ada di perkebunan tersebut.
Meskipun sebagian warga akhirnya ada yang bercocok tanam sesuai saran si
kapitalis, namun hasilnya sudah tidak dapat diandalkan untuk kebutuhan
hidup sehari-hari. Oleh sebab itu banyak warga desaku yang berhamburan
pergi ke kota-kota besar.
Pergi ke kota-kota besar untuk menjadi buruh pabrik.
Mereka menyebar sebagian ke Tangerang (menjadi buruh di perusahaan
sepatu, pakaian jadi, ikat pinggang, kertas, tekstil, tukang batu, dan tukang
kayu), ke Sumatera (khususnya ke kota Lahat bekerja di perkebunan kopi
dan cengkeh), ke Kalimantan (ke kota Banjarmasin, bekerja di pabrik
tripleks), dan ada yang ikut transmigrasi ke Sulawesi dan menjadi guru
sekolah dasar (SD) di Irian Jaya.
Demikian kisahku sampai menjadi buruh di Tangerang.
*****

4
***********KISAH BURUH KURUS***********
Entah sampai kapan nasibku akan berubah?
Begitu suara yang sering kuucapkan dan kudengar. Berawal dari tuntutan
ekonomi dan malunya sebagai penganggur, kini aku bekerja sebagai buruh di
perusahaan PMDN yaitu PT WPP yang memproduksi karung plastik dan
terpal.
Sejak tanggal 11 Juli 1991 aku telah menjadi buruh resmi di perusahaan
tersebut. Sebelumnya aku baca adanya lowongan di koran Suara Merdeka
tanggal 9 Juli 1991 bahwa di perusahaan PT WPP membutuhkan tenaga
STM untuk ditempatkan di bagian listrik. Karena aku cukup memenuhi
persyaratan maka aku mencoba melamar pada hari itu juga. Dan setelah
diadakan test wawancara dan test kejuruan maka dua hari setelah itu aku
masuk kerja. Dengan penuh harap dan semangat pada waktu itu, seakan hari
cerah terpampang di depan mata. Dengan upah pertama Rp.2.000,-/hari. Jika
dibanding dengan buruh-buruh yang lain upah ini dianggap golongan yang
tinggi/besar.
Tapi itu tak berlangsung lama, sebelum sebulan masa training habis (masa
training 3 bulan) pihak pengusaha merubah perjanjian kerja. Perjanjian
semula (pada waktu masuk kerja pertama) bahwa upah aku Rp.2.000,- dan
dirubah menjadi upah pokok Rp.1.600,- dan Rp.400,- sebagai tunjangan
jabatan. Karena aku tak punya kekuatan maka aku terpaksa menerima
perjanjian tersebut dan aku menandatangani juga. Mulai saat itu aku sadar
bahwa buruh-buruh yang ada di perusahaan tersebut lemah dan tak punya
kekuatan untuk menolak semua peraturan-peraturan yang dibuat pengusaha
walaupun itu sangat mengikat. Dan semakin lama semakin kejam pihak
pengusaha mengeluarkan peraturan-peraturan. seperti:
Buruh dilarang kawin sebelum 3 tahun bekerja dan menunda kehamilan
setelah 2 tahun kawin, (semua buruh perempuan tanda-tangan dan semua
tanda-tangan perjanjian tersebut dipegang oleh pengusaha dan buruh tak
satupun yang memegang perjanjian tersebut.
Perjanjian borong yang isinya bahwa setelah 3 bulan apabila pihak
pengusaha tidak berkenan maka pihak pengusaha berhak mengeluarkan tanpa
syarat apapun.
Semua buruh yang terlambat masuk kerja lebih dari lima menit dipotong
Rp.500,-
Walaupun peraturan-peraturan tersebut tidak berjalan terus-menerus, tapi
sempat membuat kerugian terutama potongan-potongan tersebut sampai
mencapai 1 juta rupiah lebih. Dan uang potongan tersebut dibelikan
dispencer dengan dalih untuk kepentingan karyawan. Tapi sebenarnya buruh-
buruh tersebut ingin rekreasi tapi tidak diberi dan rekreasi itu gagal.
Berpijak pada hal-hal di atas maka ingin rasanya aku belajar mengenai buruh
karena selama ini aku belum mengerti tentang buruh. Apalagi kalau waktu di
sekolah itu buruh kelihatan diperhatikan tapi kenyataannya adalah
sebaliknya. Buruh adalah obyek penindasan yang paling empuk bagi para

5
pengusaha. Dengan keinginan belajar, kebetulan salah seorang teman
mengajak aku ikut training mengenai perburuhan. Dengan tiga kawan di
perusahaan kami berangkat mengikuti training di kota S.
Usai mengikuti training kami berusaha untuk mempraktekkan semua yang
didapat selama training. Dan kemudian dibentuk suatu arisan bergilir, 2
minggu sekali. Anggota-anggota kami adalah kawan-kawan buruh satu
perusahaan.
Pada Juni 1992 kami pernah melakukan aksi mogok di salah satu bagian CL
(circulair loom). Di perusahaan ini terdapat 3 bagian yaitu: extruder, cl,
finishing. Walau tuntutan tidak dipenuhi, dari sini dapat dilihat bahwa para
buruh di WPP telah ada rasa kritis dan berjuang melawan pengusaha.
Setelah kejadian pemogokan di atas kemudian pihak pengusaha mulai
mencari orang-orang yang membahayakan (penggerak buruh). Dan pada
pertengahan Agustus 1992 aku dipanggil pengusaha. maka upahku dipotong
yaitu uang jabatan dihilangkan, dan dengan terpaksa aku menandatangani
surat pernyataan.
Dengan perasaan berat dan marah aku tetap masuk kerja seperti biasa dan
bertekad semakin giat untuk menyebarkan semangat perlawanan, semangat
yang bisa membangkitkan buruh. Pihak pengusaha juga semakin kuat pula
mengintai gerak-gerikku. Dengan demikian kerap kali aku menandatangi
pernyataan-peryataan yang memberatkan pihak buruh, misalnya:
pernyataan tidur waktu masuk malam.
pernyataan tidak masuk kerja sekali
pernyataan mutasi ke gudang, dan masih banyak lagi.
Dengan pernyataan mutasi ke gudang ini aku sangat marah dan muak melihat
pengusaha. aku bekerja di gudang ini selama satu hari dan kemudian aku
dipanggil pengusaha untuk menandatangani surat pernyataan lagi yang
isinnya bahwa aku tetap di bagian listrik dengan sanksi: apabila melanggar
peraturan perusahaan lagi maka aku bersedia dikeluarkan tanpa syarat
apapun dan tidak boleh menuntut apapun. Surat pernyataan ini bermaterei
Rp.1000,- dan dibubuhi tanda-tangan ketua SPSI unit PT. WPP sebagai
saksi.
Setelah penandatangan pernyataan tersebut pihak pengusaha memberi tugas
yang pengerjaanya banyak di ruang listrik. Hal ini membuat aku tidak bisa
masuk ke bagian-bagian lain dan ini seolah-olah memenjarakan aku dalam
ruang 3 x 4 meter.
Begitulah kisah buruh yang tak punya kekuatan. Walaupun begitu aku tetap
akan menggerakkan buruh agar para buruh tidak dalam hidup yang penuh
khayal. kesimpulan:
Pengusaha adalah bukan mitra kerja buruh tetapi penjajah, penghisap dan
penindas buruh.
Pengusaha takut dengan gerakan buruh yang bersatu untuk merebut hak-
haknya.
Motto.

6
Persatuan dan kekompakan antar buruh adalah potensi yang kuat untuk
melawan pengusaha.
Mogok adalah senjata ampuh bagi buruh.
(16 Januari 93)
*****

7
***********LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL***********
Saat ini aku tinggal di sebuah desa di Kabupaten Tangerang. Seperti halnya
desa-desa lain di Tangerang, desa tempatku tinggal ini pun merupakan
lingkungan pemukiman buruh. Karena di sekitar desa ini ada 20 perusahaan
kecil dan 5 perusahaan besar. Desa ini tidak seberapa luas, maka cukup
padatlah desa tempatku tinggal. Karena sebagian besar buruh-buruh pabrik
tersebut para pendatang, maka mau tidak mau mereka berebut rumah
kontrakan untuk tempat berteduh. Ada beberapa penduduk setempat yang
memanfaatkan situasi dengan menjadi pengusaha rumah kontrakan, mereka
memanfaatkan tanah-tanah kosong dan mendirikan rumah kontrakan yang
sangat sederhana, dan disewakan dengan harga yang cukup mahal untuk
upah seorang buruh.
Aku dan beberapa teman menyewa sebuah kamar berukuran 4 x 4 dengan
harga 30 ribu per bulan. Karena temanku ada 5 orang, maka kami membayar
dengan cara patungan. Kami menempati kamar beralas lantai tanpa tempat
tidur, dengan alas tikar plastik.
Setiap malam kami tidur berjejer dengan alas tikar dan selimut seadanya.
Setiap pagi hari kami harus bangun dengan terburu-buru, berebut_ ke kamar
mandi, karena selain kamar yang kami tempati, masih banyak kamar-kamar
lain yang serupa, padahal kamar mandi dan WC hanya satu, sehingga kami
harus antri untuk mendapat giliran mandi atau mencuci dan buang air. Kalau
kami kesiangan bangun, otomatis mendapat jatah mandi belakangan dan
kesiangan untuk mempersiapkan segalanya untuk berangkat kerja. Apabila
musim hujan datang, kami tambah sengsara karena atap selalu bocor
walaupun sudah kami laporkan pada pemilik rumah kontrakan tapi sampai
saat ini belum juga diperbaiki, sering kebanjiran, WC penuh sehingga baunya
masuk ke dalam kontrakan. Jalan yang kami lalui berlobang-lobang dan
becek karena truk-truk pabrik yang mengangkut bahan baku dan hasil
produksi, karena cukup berat, sering merusak jalan.
Masa Laluku
Di sebelah kota Yogyakarta ada sebuah desa yang bernama Banyusumurup,
Kelurahan Girirejo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul. Di desa itulah
aku dilahirkan dan dibesarkan oleh kedua orang tuaku, aku dibesarkan di
tengah-tengah keluarga yang hidup cukup sederhana. Kedua orang tuaku
petani kecil, saudaraku semua tujuh orang. Kakakku tiga orang, dua laki-laki
dan satu perempuan, sedang adikku tiga orang laki-laki. Aku anak keempat.
Karena orang-tuaku tidak mampunyai banyak tanah jadi setiap hari harus
kerja keras banting tulang untuk menghidupi keluarga. Yah.. kerja apa saja
yang penting bisa menghasilkan uang untuk kebutuhan hidup sehari-hari,
maklum anaknya banyak. Maka dari itu kedua orang tuaku tidak bisa
menyekolahkan anaknya lebih tinggi. Karena jerih payahnya hanya cukup
buat makan dan kebutuhan sehari-hari.
Mungkin karena tidak tega melihat beban yang dipikul oleh kedua orang-
tuaku, akhirnya ketiga kakakku satu demi satu pergi merantau ke Jakarta.

8
Kemudian tinggal aku dan ketiga adikku yang masih menjadi beban orang
tuaku.
Waktu pun berlalu dengan cepatnya, setelah lima tahun di Jakarta, kakakku
yang paling tua pulang, mengabarkan bahwa dia telah berhasil dalam
usahanya, dia membuka usaha jahit, terletak di tepi jalan Hankam, Pondok
Gede.
Karena aku di rumah menganggur, diajaklah aku pergi meninggalkan desaku.
Inilah awal kepergianku ke pinggiran kota Jakarta. Pada tanggal 10-11-82
kutinggalkan desa kelahiranku dengan diiringi doa kedua orang tuaku, aku
diajak ke kontrakan kakakku di Bojong Nangka. Setelah beberapa hari
kemudian aku dikursuskan menjahit, sekitar sepuluh bulan lamanya aku
mengikuti kursus. Mulailah aku bantu-bantu kakak menjahit. Tiga tahun
lamanya aku ikut bersamanya. Setelah tiga tahun bekerja tanpa upah tetap
aku berhenti kerja, karena aku akan menikah dengan penduduk asli Bojong
Nangka.
Aku menikah pada 25 Oktober 1986. Kami hidup berumah-tangga yang
bahagia. Pada tanggal 22 Agustus 1988 lahirlah seorang bayi mungil yang
kami beri nama Rita Apriyani. Dengan kehadirannya bertambahlah
kebahagiaan kami berdua. Tapi sayang kebahagiaan itu tidak berlanjut lama,
karena suamiku jatuh sakit, walaupun kami sekeluarga sudah berusaha keras
mengobatinya, tetapi tidak berhasil. Sakit suamiku semakin hari semakin
parah dan akhirnya tidak tertolong lagi. Suamiku meniggal, Kamis, 25
Oktober 1988. Waktu itu anakku baru berumur 4 bulan 3 hari. Sejak itu aku
menjalani hidup bersama mertua karena anakku masih kecil, jadi aku belum
bisa meninggalkan anakku untuk bekerja. Makan dan kebutuhanku sehari-
hari ditanggung kakakku dan saudara suamiku.
Setelah anakku berumur 1 tahun, barulah aku mulai bekerja. Kebetulan
seorang tetanggaku membutuhkan tenaga penjahit, aku pun mulai kerja
setiap hari. Setelah bekerja kebutuhan sehari-hari bisa terpenuhi, tanpa
mengharapkan bantuan dari orang lain. Aku pun merasa bangga bisa
membesarkan anak tanpa suami.
Selama 3 tahun lamanya kujalani hidup bersama mertua. Disebabkan terjadi
salah-paham antara aku dengan mertuaku, akhirnya kuputuskan untuk pulang
kampung.
Kembali aku menganggur di kampungku, mau bertani tidak punya tanah,
juga tidak ada lapangan kerja. Di kampung aku hanya dapat bertahan selama
2 bulan, dan ku putuskan untuk kembali meninggalkan kampungku.
Pilihanku sekarang adalah wilayah industri Tangerang. Pertimbanganku,
karena di kota ini sudah ada adikku, yang bekerja sebagai buruh di perusahan
kimia. Aku berharap ada tersedia lapangan kerja untukku. Sementara putriku
kutitipkan ke orangtuaku. Akhirnya aku dapat kerja di PT. Sutra Indah
Utama. Di perusahaan tersebut aku hanya dapat bertahan selama 4 bulan,
karena upahku terlalu murah aku ke luar dan mencari pekerjaan di tempat
lain yang upahnya lebih baik. Awal September 1991 aku mulai bekerja di

9
PT. Singa Indo Garment Industries (SIGI), sebagai penjahit borongan sampai
sekarang.
Tempat kerja
PT. SIGI terletak di kawasan Batuceper, di Jalan Lio Baru No. 30 Batujaya,
Batuceper, Tangerang. Modal perusahaan ini dimiliki oleh dua orang, satu
dari Indonesia dan satu lagi dari Singapura. 90% produk perusahaan ini di
ekspor ke luar negeri. Di perusahaan ini dihasilkan celana dan jaket jins.
Jumlah buruh 250 orang, bekerja di 5 bagian:
Bagian jahit 150 Orang
Bagian gosok 10 Orang
Bagian Paking 20 Orang
Bagian Buang benang 75 Orang
Bagian cutting 5 Orang
Di perusahaan ini digunakan mesin jahit sebanyak 200 unit, yang digunakan
secara aktif 150 unit dan dibagi menjadi 7 bagian:
Mesin jahit jarum tunggal 86 unit
Mesin jahit jarum ganda 40 unit
Mesin jahit make-up 4 unit
Mesin Obras 10 unit
Mesin lobang kancing 3 unit
Mesin pasang kancing 3 unit
Mesin corong 4 unit
Masing-masing mesin mengunakan tenaga listrik sebesar 250 watt/jam,
kecuali mesin make-up sebanyak 4 buah, yang masing-masing menggunakan
listrik 400 watt/jam. Jumlah lampu yang digunakan sebanyak 240 buah yang
masing-masing menggunakan listrik sebesar 40 watt/jam, 4 unit mesin
setrika kecil yang menbggunakan daya listrik sebesar 800 watt/jam dan 8 unit
setrika besar yang mengunakan daya sebesar 1200 watt/jam.
Pola Perekrutan Tenaga Kerja
Di perusahaan tempatku bekerja terdapat tiga cara perekrutan tenaga kerja:
Tenaga keja diambil dari sebuah yayasan di daerah Tegal, Jawa Tengah.
Mereka dibeli oleh pengusaha Rp.50.000,-/orang. Mengapa mereka bersedia
dibeli dan dipekerjakan di perusahaan? Sedangkan upahnya hanya cukup
buat makan! Yah... karena mereka di desa nganggur, mau bertani tidak punya
tanah, mau dagang tidak punya modal. Karena orang-tua kami miskin dan
akhirnya masuk mendaftarkan diri ke yayasan. Oleh pemilik yayasan mereka
dijual kepada pengusaha, dan dipekerjakan sebagai buruh di perusahaan
garmen. Sekitar 50% dari seluruh tenaga kerja yang dipekerjakan sebagai
buruh di perusahaan berasal dari Yayasan Tegal tersebut, sebagian besar
buruh perempuan. Mengapa harus perempuan? yah.. sebagai perempuan, dia
biasanya penurut, tidak banyak menuntut, tidak suka bikin ulah. Mereka
konon selalu menurutkan apa kata pengusaha.
Tenaga kerja didatangkan dari Medan, menjadi tempat asal para mandor di
perusahaan. Jumlahnya sekitar 25% dari seluruh buruh. Tenaga buruh yang

10
didatangkan dari daerah ini mendapatkan penghasilan yang lebih besar dan
menempati bagian-bagian yang porsi jahitannya dibayar mahal, sekitar 10
kali lipat dari ongkos borongan jahitan buruh lainnya. Selain itu buruh dari
Medan ini lebih dekat hubungannya dengan mandor, yah.. mungkin karena
satu daerah mereka saling bantu.
Sisa 25% buruh lainnya didapatkan dengan membuka lowongan kerja, maka
berdatanganlah tenaga kerja melamar di perusahaan tersebut. Mereka datang
dari berbagai daerah dan ada juga penduduk setempat (Tangerang). Bagi
mereka yang bisa mendatangkan tenaga kerja, jika si buruh tersebut betah
bekerja sampai tiga bulan, maka yang menjadi calo tersebut mendapatkan
uang jasa Rp.10.000,-/orang dari perusahaan.
Produksi
Jumlah produksi yang dihasilkan dalam jam kerja sehari sebanyak 1.000
potong celana atau jaket, yang dipasarkan ke luar negeri. Untuk satu potong
celana misalnya diperlukan bahan kain sebanyak 150 cm, seharga Rp.6.000,-;
benang 2 gulung seharga Rp.750,-; satu restleting Rp.250,- dan kancing
Rp.250,- jadi total satu potong celana dibutuhkan bahan baku sebesar
Rp.7.250,-. Untuk sepotong jaket menghabiskan bahan sebanyak, kain 150
cm Rp.6.000,-; Benang Rp.750,-; kancing 12 buah Rp.3.000,- jadi total
bahan baku untuk jaket Rp.9.750,-. Maka untuk satu pasang Jaket dan celana
Rp.17.000,- tambah buat upah buruh sebesar Rp.500,-/potong. Harga jual 1
potong celana atau jaket sebesar Rp.30.000,- dan setiap hari dihasilkan 1.000
potong. Hasil kotor sehari sebesar Rp.30.000.000,- bila keuntungan
bersihnya hanya 10%, berarti 3 juta sehari, sedangkan biaya yang
dikeluarkan untuk buruh @ Rp.3.500,-/hari maka ongkos buruh menjadi
Rp.875.000,- jadi keuntungan yang diambil bersih oleh perusahaan tempatku
bekerja sebesar Rp.2.125.000,- yang berarti hampir 2,5 kali yang diterima
buruh.
Kondisi kerja dan upah
Jam kerja selama 7,5 jam/hari, istirahat 1 jam. Upah buruh dibayar
berdasarkan sistim borongan, jika tidak mencapai target buruh hanya
mendapatkan gaji pokok, bagi karyawan lama Rp.2.100,-; bagi karyawan
baru Rp.1.600,-; Uang makan dan transpot Rp.1.000,- sehari, premi hadir
Rp.15.000,,- satu bulan, jika tidak masuk dalam satu bulan premi hadir
hilang, THR tergantung masa kerjanya, untuk 1 Tahun masa kerja
Rp.40.000,-; 2 Tahun masa kerja Rp.60.000,-. Pembayaran upah buruh
langsung dari bagian personalia.
Kondisi lingkungan kerja, masih kurang baik, seragam kerja tidak dikasih,
dan di perusahaan ini tidak ada tunjangan-tunjangan seperti di perusahaan
lain seperti:
cuti haid
cuti hamil
cuti tahunaan
tidak ada astek (asuransi tenaga kerja)

11
tidak ada Pengurus Unit Kerja (PUK) SPSI
tidak ada kantin
Sehingga pada jam istirahat seluruh buruh makan di warung-warung di
pinggir jalan yang disediakan oleh pendunduk setempat. Mereka makan
sepiring nasi, sayur, sapotong tempe atau tahu seharga Rp.400,-; minumnya
teh es yang seharga Rp.100,- inilah makan buruh setiap harinya. Sehabis
makan siang mereka duduk-duduk bergerombol di bawah pohon yang ada di
sekitar pabrik. Bagi yang tinggal di mes mereka pulang ke mes, karena di
perusahaan ini disediakan mes. Banyak buruh memilih mes karena mereka
hanya mendapat upah setiap harinya rata-rata Rp.3.500,-. Dengan upah
sebesar itu mereka harus mengatur kebutuhan makan tiga kali sehari, bayar
kontrak rumah, beli sabun, beli pasta gigi, dan kebutuhan lainnya.
Perusahaan ini juga menyediakan tempat ibadah, kamar mandi, WC, semua
ada 5 pintu, tapi semua itu tidak begitu terawat, bila ada WC yang mampet
cuma ditutup sama genteng dan orang-orang yang tinggal di mes, membuang
sampah di sembarang tempat.*****
***MENGAPA KETERGANTUNGAN BURUH SANGAT
TINGGI****
Mengapa hal ini bisa terjadi? dengan melihat kenyataan pada saat
ini, kehidupan buruh rata rata sangat memprihatinkan posisinya atau
kedudukannya sangat lemah. Betapa tidak banyak bukti-bukti yag
terpampang di depan mata. Suatu contoh pemogokan kerja di PT. X. Dan apa
akibatnya setelah terjadi ppemogokan tersebut. Banyak keresahan, was-was
dan lain lain. Tidak jarang pula waktu mereka melakukan aksi selalu
didatangkan pihak-pihak keamanan yang seharusnya melindungi para buruh.
Tetapi apa yang terjadi? Sebagian para buruh di intimidasi, ditakut-takuti dan
bahkan ada yang dianiaya.
Kalau dipikir sebenarnya salah siapa, apa kami salah bila menuntut yang jadi
semestinya. Oleh karena majikan ini tidak bisa diajak berdamai, dalam artian,
sebenarnya jalur-jalur yang semestinya sudah ditempuh, tapi apa kata
mereka: harap bersabar. Bersabar! Apa kami harus bersabar sampai mati.
Apakah kami ini kurang tahu diri. Saya rasa tidak begitu. Bagaimanapun juga
penyesuaian atau keadilan harus ditegakkan. Tidak mungkin kami akan diam
dalam kepuasan selama hak-hak kami tadak terpenuhi. Itulah suatu misal
yang terjadi pada umumnya. Oleh karena sebagai mata pencaharian tetap,
mereka sebagian bertahan dengan keadaan yang sekarang. Walau sering
sebagian mengadakan pemogokan kerja karena menuntut haknya. Suatu
misal: ada seorang buruh di-PHK, bagaimanapun juga karena kehidupannya
tergantung sebagai buruh, mereka akan terus pontang-panting mencari
pekerjaan. Padahal mencari pekerjaan saat ini bukalah hal yang mudah. Oleh
sebab itulah mengapa ketergantungan buruh sangat tinggi. Ini karena dia bisa
makan, bisa tidur karena bekerja sebagai buruh.
Dari berbagai fakta yang ada, hidup sebagai buruh selalu diwarnai keresahan
dan ketakutan. Mereka bisa saja bersatu menghimpun kekuatan untuk bersatu

12
menuntut haknya. Tapi akhir dari semua itulah yang perlu pemikiran yang
panjang. Apalagi pada sebuah pabrik yang karyawannya berjumlah ribuan,
hal ini masih harus memerlukan perjuangan yang panjang dan terus menerus.
Watak manusia tiap detiknya selalu berubah, begitu juga dengan seorang
buruh. Kadang nyalinya menjadi ciut manakala sebuah kenyataan yang tidak
diinginkan menimpanya.
Buruh akan menjadi berani bila ada yang melandasinya dalam arti, ada yang
mengarahkannya, ada yang membibingnya, ada yang ikut membantu
memecahkan masalah dan ada yang memberi semangat dan juga dorongan.
Dengan melihat gejala yang terjadi pada saat ini, keyataan buruh selalu
berjuang sendiri. Rata-rata mereka ini sudah menyadari hak-hak dengan
sepenuhnya, dan kesiapan mental untuk menghadapi apapun yang terjadi
dalam arti meskipun pada akhirnya keberhasilan itu tak akan berpihak
padanya dan pada akhirnya resiko dari perjuangan itu akan dipikul sendiri.
Dan dalam perjuangan untuk merubah nasibnya tidak jarang kawan sendiri
akan menjadi musuh dalam selimut, inilah yang paling berbahaya dan ini
pula yang paling ditakuti oleh mereka. Maka mereka yang benar-benar sadar
akan berusaha dengan ke hati-hatian yang tinggi pula. Dan mereka pun
berusaha untuk mencari sandaran yang bisa diajak untuk berkompromi. Ini
memang dilakukan untuk menjaga kemungkinan yang tidak diinginkan.
Karena kesadaran mau memberikan petunjuk serta langkah-langkah yang
harus dilakukan, sehingga ketaatan itu akan menjadi lebih mantap. Dan pada
mereka akan berjuang demi harkat dan martabatnya sebagai buruh.
Merekapun akan merasakan bahwa hidup sebagai buruh yang dijalaninya tak
ubahnya terjebak dalam perangkap. Oleh karena itulah mereka berusaha
untuk menerobos perangkap itu walau apapun yang akan terjadi. Itulah
sebabnnya mereka menjadi berani.
Kebosananpun datang menjelang, karena yang dihadapi setiap harinya hanya
itu itu saja, suara bising mesin, bau-bau kimia, kapas-kapas yang
berhamburan dan masih banyak lagi. Inipun bisa disebut sebagai motivasi
yang mendorong mereka untuk berjuang memperbaiki nasibnya. Dan
mengapa ketergantungan masih ada?
Akhir dari perjuangan belum tentu membawa keberhasilan. Suatu contoh
mereka mengadakan aksi mogok, bagaimanapun juga kerugian itu akan
dirasakan buruh lebih besar, dari pada pihak majikan, karena apa? pada
waktu mengadakan pemogokan pihak penggusaha tidak jarang
mendatangkan pihak-pihak keamanan yang semestinya pihak ini membantu
buruh. Alasannya karena untuk mengamankan situasi, padahal apa yang
terjadi malah sebaliknya, pihak buruh selalu diinterogasi bahkan sampai pula
dianiaya. Apakah ini manusiawi?
Buruh yang posisinya selalu tidak menguntungkan bagaimanapun juga akan
selalu dirugikan lebih besar. Itulah sekilas dari apa yang dirasakan oleh para
buruh.
(7 Pebruari 1991)

13
*****

14
***********LEMAHNYA POSISI BURUH***********
Fakta menunjukkan bahwa posisi buruh sangat lemah. Bahkan dilemahkan.
Lemah dalam arti misalnya perbandingan kesempatan kerja dengan angkatan
kerja yang masuk. Dalam kondisi yang lemah seperti itu semakin
dilemahkan. Artinya pertama soal hak berserikat, banyak pembatasan baik di
tingkat pengaturan maupun tingkat pelaksanaan peraturan.
Satu-satunya wadah bagi buruh untuk berserikat adlah SPSI yang resmi
diakui pemerintah. Padahal keberadaan SPSI tidak banyak memberikan
harapan bagi buruh sendiri. SPSI kurang bisa menyalurkan aspirasi buruh.
Secara konseptual SPSI berangkat dari, oleh dan untuk buruh. Tetapi dalam
prakteknya belum pernah SPSI memihak buruh. Pada proses pembentukan
SPSI, buruh tidak punya suara. Segalanya harus mendapatkan persetujuan
terlebih dahulu dari pengusaha, dan bukan tidak mungkin pengusaha akan
mendekati pengurus SPSI (tingkat unit perusahaan) dan menjajikan fasilitas
yang lebih dari buruh lainnya. Kalau sudah seperti itu posisi buruh semakin
terpojok.
Dan pemerintahpun menciptakan pola hubungan antara buruh dengan
pengusaha yang kita kenal HIP (Hubungan Industrial Pancasila). Pola
hubungannya adalah keselarasan/harmoni. Artinya bahwa konflik tidak
dikenal. Tidak ada kontradiksi antara buruh dengan pengusaha. Tapi kalau
dilihat bagaimana operasionalnya, banyak peraturan yang merugikan buruh,
bahkan memperlemah posisi buruh, antara lain KEPMEN 342/MEN/1986
tentang Pedoman/petunjuk umum pemerantaraan Perselisihan Hubungan
Industrial. Pada level operasional konflik secara implisit diakui, tapi justru
buruh diperlemah. Sedangkan diideologinya konflik tidak diakui.
Peraturan Perburuhan selalu mengebawahkan kaum buruh itu merupakan
hasil akhir rekayasa sistimatik penguasa untuk menjinakan atau
membungkam kaum buruh demi stabilitas pembangunan industrial.
Ruang gerak buruh yang sangat terbatas, hanya bisa menghadapi mekanisme
proses produksi yang kaku, bisu dan seringkali tidak adil.
Tidak bisa dipungkiri, buruh-buruh yang bekerja itu, tidak hanya sekedar
bekerja bakti di perusahaan-perusahaan pemilik modal. Lebih dari itu buruh-
buruh ingin mendapatkan upah dan fasilitas kesejahteraan lain. Upah
memang menjadi tujuan obyek manusia kerja dan sarana memenuhi
kebutuhan hidupnya. Dengan demikian sudah selayaknya bahkan menjadi
suatu keharusan bahwa upah setiap buruh harus senantiasa berpijak pada
pertimbangan seorang buruh bisa memenuhi kebutuhan hidup secara layak,
yang meliputi kebutuhan pokok (Kebutuhan Fisik Minimum/KFM) dan
Kebutuhan Non Fisik Minimum (Kebutuhan Hidup Minimum) yang meliputi
pendidikan, rekreasi dan persiapan akan masa depan.
Tetapi kenyataannya nilai hidup seorang buruh hanya dinilai sebesar
Rp.2.600,- per hari (untuk wilayah regional Jabar) dan Rp.3.100,- untuk
wilayah Jakarta. Apakah betul uang sebesar Rp.2.600,- bisa memungkinkan

15
buruh untuk bisa hidup layak. Apabila ada kenaikan upah yang secara
berkala ada, ternyata tidak ada artinya karena kaenaikan upah itu juga
diimbangi dengan kenaikan biaya kebutuhan hidup yang bahkan kenaikannya
jauh lebih tinggi dengan kenaiakan upah buruh. Buruh dihadapkan pada
suatu lingkaran setan yang mencekiknya. Proses perbaikan itu hanya besifat
tambal sulam. Buruh dijadikan obyek eksploitasi kapitalis demi kepentingan
sendiri. Buruh hanya dibentuk untuk bisa sekedar bertahan hidup untuk
mempertahankan kelangsungan proses produksi. Artinya buruh hanya
dianggap sebagai faktor produksi.
Jadi adalah wajar, apabila buruh berteriak menuntut hak-haknya. Wajar
apabila buruh menuntut hak-haknya yang seharusnya menjadi milik buruh,
tapi dirampas secara tidak adil.
Dalam usahanya untuk mendapatkan hak-haknya itu buruh seringkali
terbentur pada kondisi yang tidak menguntungkan. Buruh tidak hanya
berhadapan dengan pengusaha, namun harus berhadapan dengan
DEPNAKER, SPSI, APINDO, Aparat Keamanan, baik dalam waktu
bersamaan ataupun secara terpisah. Hadirnya unsur-unsur di luar buruh-
pengusaha pun didukung oleh aparat hukum.
Akibatnya hasil yang diperoleh adalah hasil yang sangat minimal, dan
rumusan kesepakatan itu seringkali tidak jelas kapan waktu pelaksanaannya.
Dan resiko lain seperti mutasi ke bagian lain yang bukan bidangnya, skorsing
yang dapat dipastikan sebagai langkah awal PHK sepihak.
Beberapa tekanan terhadap upaya buruh yang menuntut hak-haknya terjadi
melalui cara-cara berikut:
Pertama, melalui campur tangan pihak keamanan dalam berbagai
perselisihan perburuhan, bukan rahasia lagi bahwa para buruh yang vokal,
yang menutut perbaikan nasibnya, diinterogasi dan diintimidasi. Kedua,
beberapa peraturan mengkatagorikan pemogokan buruh yang terutama
disertai tindakan pengrusakan sebagai tindak pidana. Sebaliknya
penekanan/pelanggaran peraturan ketentuan upah dan hak-hak buruh lainya
yang jelas-jelas menentang peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah tidak
dapat digolongkan sebagai tindak pidana. Ketiga, semakin menggejalanya
rekayasa pemerintah untuk mengisolasikan buruh dari kelompok masyarakat
lain yang bersimpati pada nasib buruh. Itu terutama tampak pada pernyataan
berbagai pihak yang menuduh pemogokan buruh sebagai "rekayasa" pihak
ketiga.
Seakan-akan buruh hanyalah sebuah robot yang tidak mempunyai suara hati
untuk mengukur kondisi batas yang tidak tertanggung lagi dari penderitaan
akibat perampasan hak-haknya secara tidak adil.
Padahal pemogokan kawan-kawan buruh adalah penampakan dari keluhan
ketidak-adilan. Tuduhan rekayasa pihak ketiga adalah penggelapan fakta dan
pelarian dari akar masalah. Dalam rangka itu tindakan sistimatis juga selalu
diterapkan terhadap para buruh yang mencari pembelaan hukum,
dicurigainya pendidikan hukum untuk buruh, dan cap-cap lainya.

16
Buruh adalah manusia. Seperti manusia lainya buruh perlu ruang untuk
mengekspresikan dirinya. Namun fakta historis yang mencengkeram buruh
dengan hadirnya berbagai peraturan (kewajiban) di pabrik-pabrik tempat
bekerja, membuat buruh tidak mempunyai peluang untuk itu. Buruh
mempunyai waktu yang sangat minim untuk memikirkan hal-hal lain, yang
menyangkut dirinya sebagai manusia yang wajar, yang sadar akan posisinya.
Berangkat dari kesadaran akan hak-haknya buruh perlu wadah yang betul-
betul bisa menyampaikan aspirasinya.
Sudah saatnya buruh mengorganisir diri agar bisa membela hak-haknya dan
memperbaiki nasibnya. Kita harus mempunyai keyakinan bahwa kekuatan
sendirilah kekuatan kawan-kawan buruhlah yang akan bisa memghancurkan
ketidak-adilan.
BERSATULAH KAWAN-KAWAN BURUH...!!!
(21 Juni 1993)
***

17
PUISI
***********SEJUTA PENGGANTI***********
biar kau pecat aku
keputusanku adalah keinginan merdeka
yang biasa menyatu dalam luka dan juang
tak kan terhempas dari vonis yang menyiksa
dari banyaknya luka yang berharga
setiap kata yang kutabur
adalah kuman para majikan
setiap jalan yang kutempuh
adalah keyakinan pembebasan tiap penindasan
biar kau peralat tiap aparat
perjuanganku tak kan pernah sekarat
dari setiap penindas yang sekarat
karena otak-otaknya sudah mengkarat
biar kau pecat aku, tidaklah masalah
biar kau tindas aku, tidaklah berubah
toh, perjuanganku tidak sendiri
yang bermula dari penindasan
tak kan berhenti karena aku di bui
karena akan tumbuh sejuta pengganti
(25 Juni 1993)
ooo0ooo

18

Anda mungkin juga menyukai