Anda di halaman 1dari 89

TANAH UNTUK

PENGGARAP
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan
Hutan Resort Ngadisono, Wonosobo, Jawa Tengah

Ngabidin
Susan Lusiana

FSPI
Federasi Serikat Petani Indonesia
PETANI PRESS
Tentang Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)
FSPI adalah organisasi massa tani yang beranggotakan
serikat-serikat tani di 12 propinsi di seluruh Indonesia.
Sebagai organisasi perjuangan petani yang terdepan
melawan kolonialisme dan imperialisme gaya baru, dalam
perjuangannya FSPI memilih isu-isu penting yang menjadi
fokus utama dari aktivitasnya, yaitu: reforma agraria,
kedaulatan pangan, hak asasi petani, gender, dan pertanian
berkelanjutan yang berbasis keluarga. Perjuangan FSPI
bertujuan untuk mewujudkan struktur agraria yang
berkeadilan dengan melaksanakan reforma agraria sejati
berdasarkan UU Pokok Agraria Tahun 1960. Karena itulah,
kaum tani yang menjadi anggota FSPI adalah petani kecil
berbasis keluarga, buruh tani, masyarakat adat dan kaum
tak bertanah.

Tentang Penulis
Ngabidin aktif sebagai anggota SP Jateng, anggota FSPI.
Perjalanan panjang mengorganisasikan kaum tani di
Wonosobo di dalam Sepkuba juga merupakan andil
besarnya.

Susan Lusiana adalah peneliti pada Lembaga Pengkajian


dan Penelitian FSPI. Penulis bisa dihubungi via e-mail
susan.lusiana@gmail.com

Editor
Mohammed Ikhwan
m.ikhwan@fspi.or.id

Design
Mohammad Iqbal

Foto dan Ilustrasi


FSPI dan istimewa

Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)


Jl. Mampang Prapatan XIV No. 5
Jakarta – Indonesia 12790
Tel. +62 21 7991890 Fax. +62 21 7993426
Email. fspi@fspi.or.id Website. www.fspi.or.id
Uthem Kitri Madhem Sudagri Kunis Wicakri

Orang hidup yang paling utama menanam, yang


menengah berdagang, dan yang paling rendah men-
jadi buruh

Falsafah Jawa
Kata Pengantar

Buku ini merupakan salah satu dari tiga dokumentasi


dan analisis kritis mengenai perjuangan mewujudkan
pembaruan agraria. Ketiga buku ini sendiri
mencerminkan pengalaman kaum tani anggota FSPI
dari sudut pandang internal di tiga lokasi: Bukit
Kijang (Asahan, Sumatera Utara), Ngadisono-Lebak
(Wonosobo, Jawa Tengah) dan Suka Maju (Tanjung
Jabung Timur, Jambi). Sepak terjang perjuangan
kaum tani yang selama ini tak tercatat akhirnya
bisa terukir dengan tinta emas sejarah. Perjuangan
panjang kaum tani mewujudkan pembaruan agraria
sesungguhnya tidak terbatas hanya di tiga buku ini
saja. Beribu-ribu, bahkan berjuta-juta cerita lainnya
masih terpendam dan belum bisa dipublikasikan. Hal
ini sesungguhnya menegaskan betapa signifikannya
peran petani di Indonesia, perjuangannya, jumlahnya,
dan kerja-kerja nyatanya membangun bangsa dan
negara.

Cita-cita kaum tani dan rakyat, yakni pembaruan


agraria, bukanlah barang baru. Pembaruan agraria
telah tertuang sebagai cita-cita dari kemerdekaan
nasional serta konstitusi RI dengan tujuan
kesejahteraan, keadilan, kebahagian dan kemakmuran
rakyat. Sehingga kemudian pada perkembangannya
diwujudkanlah cita-cita ini dalam UUPA 1960,
termasuk beberapa program nasionalisasi terhadap
kekayaan alam dan sumber agraria lainnya yang
selama masa kolonialis dikuasai oleh penjajah.
FSPI memandang bahwa sesuai dengan isi dan
kandungan UUD 1945 dan UUPA 1960, hal-hal yang
perlu diatur dalam agraria meliputi seluruh bumi,
air, dan ruang angkasa serta seluruh kekayaan alam
yang terkandung didalamnya. Dalam pengertian
bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh
bumi di bawah-nya serta yang berada di bawah air.
Kesemuanya tersebut merupakan satu kesatuan
yang tak dapat dipisah-pisahkan. Hubungan antara
bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam di dalamnya adalah
hubungan yang bersifat abadi.

Perkembangan ekonomi-politik negeri ini adalah


sejarah panjang kolonialisme. Dan jelas pula bahwa
sistem ekonomi-politik yang sekarang, neoliberalisme,
adalah bentuk penjajahan baru. Hal ini tepat seperti
yang dikatakan Bapak Pendiri Bangsa kita sebagai
masa neokolonialisme-imperialisme (nekolim). Sistem
ekonomi dan politik negeri ini tetap meminggirkan
kedaulatan rakyat, sehingga nyata sekali bertentangan
dengan cita-cita kaum tani dan rakyat seperti yang
dinyatakan sebelumnya.

Sebut saja kebijakan dan praktek yang sangat


telanjang meminggirkan kedaulatan rakyat: pasar
tanah, privatisasi air, pengebirian hak asasi manusia,
kebijakan perkebunan, penggusuran, pendidikan
mahal dan kesehatan susah. Berbagai UU, mulai
dari UU Penanaman Modal Asing, Perkebunan,
Kehutanan, Migas, Sumber Daya Air, hingga yang
terakhir Penanaman Modal, memperlihatkan
bagaimana kekuasaan saat ini begitu berpihak kepada
segelintir pemodal dan penguasa.

Tapi tentu saja rakyat tak bisa diam begitu saja.


Mengutip kata Soekarno, “Kalau cacing saja pun diinjak
pasti menggeliat-geliat melawan, kesakitan.” Dan
bahwa perjuangan rakyat sesungguhnya bergelora,
beribu-ribu bahkan berjuta-juta, di daerah-daerah,
terorganisasi maupun tidak, terungkap maupun
tidak, dan merupakan contoh nyata perlawanan
rakyat negeri ini terhadap kebijakan dan praktek
neoliberalisme.

Dan rakyat terbukti memiliki kekuatan tak


tertandingi, tercermin dari kelebihan-kelebihan yang
terdokumentasi dari tiga pengalaman pembaruan
agraria di daerah. Di Bukit Kijang, terbukti
kekompakan adalah kata kunci dari perjuangan
kaum tani. Berbagai rintangan, ancaman dan
represi mereka lalui demi mempertahankan lahan
perjuangan mereka. Secara ekonomi, gerakan yang
mereka galang adalah salah satu hal yang paling
fenomenal dalam sejarah kaum tani di Indonesia. Di
Ngadisono-Lebak, terbukti betapa kaum tani berjuang
mendapatkan hak garap saja sudah mengubah
kesejahteraan mereka secara drastis. Hal ini tentu
membakar semangat kaum tani untuk terus berjuang
mewujudkan pembaruan agraria. Di Suka Maju,
walaupun di tanah transmigrasi yang baru tidak
ideal seperti yang dijanjikan, namun kaum tani disini
tetap ulet bertahan. Walau ditelantarkan pemerintah,
kaum tani tetap bisa bersatu dan menemukan solusi
untuk dapat mandiri. Dan untuk mempertahankan
hak-haknya tersebut, akhirnya kaum tani memahami
esensi perjuangan hingga mampu merebut haknya
dan memenangi pertempuran vis-a-vis perusahaan
perkebunan.

Demikian buku-buku yang disajikan dalam


dokumentasi perjuangan mewujudkan pembaruan
agraria FSPI ini kami persembahkan kepada kawan-
kawan seperjuangan. Dan bahwa perjuangan ini
adalah bagian dari perjuangan panjang kita. Kita telah
menunjukkan keberhasilan-keberhasilan perjuangan
di tingkat lokal. Tentu saja, keberhasilan ini adalah
tonggak-tonggak perjuangan sebagai bagian dari
kekuatan besar yang akan kita bangun di masa
depan.

Buku ini juga menyatakan kembali pentingnya


mencatat perjuangan-perjuangan kita sehingga kita
bisa memperbaiki kelemahan atau meneruskan
keberhasilan yang memang telah baik kita
laksanakan. Tugas dokumentasi dan pencatatan
perjuangan-perjuangan adalah tugas para kader-
kader perjuangan, jadi jangan sekali-sekali dilupakan!
Kolaborasi pencatatan dan deskripsi-analitis yang
dicontohkan kader kita Saudara Ngabidin dan penulis
lainnya merupakan hal membangun dalam organisasi
gerakan tani—yang hingga saat ini cenderung
berkarakteristik tradisional. Sehingga menurut saya,
budaya mencatat-menulis seperti yang dilakukan
oleh Saudara Ngabidin dari Wonosobo adalah hal
yang patut diteladani dan harus diteruskan dalam
kerja-kerja organisasi sehari-hari.

Semoga buku ini bisa memberikan inspirasi


perjuangan hingga rakyat berdaulat dalam politik,
berdikari dalam ekonomi serta berkepribadian
dalam budaya. Pengalaman dalam buku ini juga
diharapkan bisa menjadi panduan dan sandaran bagi
kita semua dalam gerakan mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Khusus untuk
kaum tani, perjuangan menegakkan keadilan agraria
demi kedaulatan petani harus terus digelorakan.

Semoga kemenangan selalu menyertai perjuangan


kita!

Jakarta, Desember 2007


Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)
Badan Pelaksana Federasi (BPF)

Henry Saragih
Sekretaris Jenderal
Daftar Isi

Kata Pengantar

Pengantar: Perjuangan Petani Atas Sumber-Sumber


1
Agraria

Potret Pertanian Hutan Wonosobo 5


Kondisi Geografis 5
Kondisi Sosial Ekonomi 9
Pertanian, Nilai Lokal dan Permasalahannya 11
Monokultur Hutan: Kemiskinan, Ketidakadilan dan Ketertindasan
14
Kaum Tani

Derap Langkah Kaum Tani Dalam Penegakan Hak Atas


19
Tanah
Pengorganisasian Kaum Tani Ngadisono 20
Jembatan Perjuangan dengan Penguatan Jaringan 26
Negosiasi Politik: Hak Garap dan PSDHBM, PHBM, serta
29
PSDHLT yang membingungkan

Buah Perjuangan 42
Indikator kesejahteraan: Parameter awal keberhasilan perjuangan 43
Persepsi Kesejahteraan Menurut Kaum Tani Desa Ngadisono dan
48
Lebak
Prestasi dan Pekerjaan Rumah bagi Organisasi Tani 59
Reforma Agraria Sejati:Perjuangan Mutlak Untuk
63
Keadilan Sosial
Rencana Kedepan 63
Epilog 67

Referensi 73
Akronim

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


FSPI : Federasi Serikat Petani Indonesia
JKPM : Jaringan Kerja Pendamping
Masyarakat
FHW : Forum Hutan Wonosobo
JKPM : Jaringan Kerja Pesantren dan
Masyarakat
KPPN : Komisi Pelestarian Plasma Nutfah
KPML : Konsorsium untuk Pembangunan
Masyarakat dan Lingkungan
KPH : Kawasan Pengelolaan Hutan
KTH : Kelompok Tani Hutan
NGO : Non Goverment Organization
(Organisasi Non Pemerintah)
OTL : Organisasi Tani Lokal
PHBM : Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat
Perhutani : Perusahaan Hutan Indonesia
PNS : Pegawai Negeri Sipil
PSDHBM : Pengelolaan sumber daya hutan
bersama dengan masyarakat
PSDHLT : Pengelolaan Sumber Daya Hutan
Lestari dan Terpadu
MDH : Masyarakat Desa Hutan
SD : Sekolah Dasar
SEPKUBA : Serikat Petani Kedu Banyumas
SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
SP JATENG : Serikat Petani Jawa Tengah
TKI : Tenaga Kerja Indonesia
TKW : Tenaga Kerja Wanita
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah


Pengantar:
Perjuangan Petani Atas
Sumber-Sumber Agraria

P erjuangan kaum tani untuk mewujudkan reforma


agraria sejati pada hakikatnya tidak pernah
berhenti dari mulainya petani menyadari segala
ketertindasan yang menimpa kehidupan mereka.
Sejarah mencatat bahwa seiring perubahan zaman,
posisi petani hampir tidak pernah berubah. Satu
hal yang bisa ditarik benang merahnya, bahwa
petani selalu menjadi pihak yang terpinggirkan dan
mengalami penindasan mulai dari zaman feodal,
zaman penjajahan dan bahkan zaman kemerdekaan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari ketertindasan
tersebut tak lain adalah masalah penguasaan atas
sumber-sumber agraria.

Sumber agraria bermakna sangat luas. Dalam


konstitusi, sumber agararia meliputi bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan yang terkandung didalamnya.
Dengan ini sumber agraria tidak hanya meliputi
tanah saja, namun juga meliputi air dan berbagai
kekayaan yang terkandung dalam bumi Indonesia.
Oleh karenanya, air, pertambangan, hasil hutan,
hasil perkebunan, kekayaan laut dan sungai serta
semua kekayaan alam yang ada di bumi pertiwi
ini termasuk kedalam kategori sumber agraria.


Konstitusi negara menjamin bumi, air, ruang angkasa


dan kekayaan alam yang terdapat didalam wilayah
Indonesia dikuasai oleh negara sebagai pengemban
amanat rakyat—dan kesemuanya digunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun pada
kenyataannya, dalam era kemerdekaan sekarang ini,
petani nyata-nyata masih terbelenggu oleh tekanan
dan ancaman yang telah dan akan merampas hak-hak
mereka sebagai warga negara. Ironisnya negara justru
tidak melaksanakan tugasnya sebagai pengemban
amanat rakyat. Negara—dalam beberapa kasus—
bahkan menjadi musuh nyata dari perjuangan kaum
tani yang tengah memperjuangkan hak-haknya dalam
mendapatkan keadilan dalam mengakses sumber-
sumber agraria.

Akses terhadap tanah merupakan salah satu bentuk


hak terhadap alas produksi yang masih diperjuangkan
oleh kaum tani diseluruh nusantara. Selain
perjuangan untuk mendapatkan tanah, petani juga
tengah berjuang mendapatkan dan mempertahankan
haknya atas akses air, benih, teknologi, modal dan
pasar. Dalam realitasnya, tanah merupakan salah
satu sumber agraria utama yang menjadi kunci
kesejahteraan petani. Tanah tidak hanya memiliki
nilai ekonomis sebatas faktor produksi saja. Bagi
petani, tanah sekaligus memiliki nilai filosofis sebagai
bentuk harmonisasi hidup, warisan budaya, ikatan
sosial dan hubungan abadi dengan alam.

Namun demikian, pada faktanya saat ini hak petani


dalam mengakses tanah telah terancam oleh berbagai
kebijakan yang justru hanya berpihak pada segelintir
orang belaka: penguasa modal. Penguasa modal
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah


dengan lihainya memasuki berbagai sektor untuk


bisa meraup keuntungan yang besar diatas tanah
dan bumi Indonesia. Lihat saja sektor pertambangan,
kehutanan, perkebunan dan pertanian yang saat ini
digerakkan untuk menghasilkan keuntungan yang
besar bagi para pemilik modal. Seringkali kepentingan
petani dalam mempertahankan hidupnya di atas
sebidang tanah tergusur karena pengelolan tanah
untuk kepentingan penambangan, perkebunan atau
kehutanan atas nama ekonomi-politik.

Hingga saat ini perjuangan tanah untuk petani di


Indonesia merupakan hal yang awam. Perjuangan ini
mayoritas muncul secara sporadis—namun masif—
seiring dengan perubahan iklim politik pada tahun
1998. Dalam perjuangannya petani bisa menghadapi
lawan yang berbeda, namun satu hal yang sama
yakni lawan tersebut adalah struktur ketidakadilan
yang tersistematis dalam penguasaan, pemilikan dan
penggunaan tanah. Adalah suatu kondisi yang sangat
timpang, ketika lebih dari 20 juta rumah tangga
petani hanya memiliki tanah masing-masing dengan
luasan 0.5 hektar saja—sementara satu persekutuan
perusahaan perkebunan sawit diperbolehkan
menguasai 100.000 hektar1.

Salah satu fakta dari pemaparan ini adalah


kisah para petani yang berada di sekitar hutan
resort Ngadisono, yang telah dan masih akan
memperjuangkan apa yang menjadi hak mereka.
Telah lama mereka bersama-sama mewujudkan
reforma agraria sejati dengan cara mereka sendiri
untuk melawan ketidakadilan atas penguasaan,
pemilikan dan penggunaan sumber-sumber agraria.


Perasaan senasib dan kesadaran akan keterdesakan


untuk bertahan hidup menjadi awal bersatunya
kaum tani yang sebagian besar betempat tinggal di
dua desa yang berbatasan langsung dengan Hutan
Resort Ngadisono.

Ngadisono dan Lebak merupakan dua desa yang


terletak dideretan pegunungan yang mengelilingi
kecamatan Kaliwiro, Kabupaten Wonosobo dan
tepatnya berbatasan langsung dengan hutan resort
Ngadisono, Wonosobo. Orang Jawa menyebut
Wonosobo berasal dari kata Wana dan Saba, yang
berarti hutan dan berkumpul atau bermain. Itulah
sebabnya, mengapa sebagian besar wilayah Wonosobo
terdiri dari gunung dan hutan. Hampir seperlima luas
Wonosobo adalah hutan, dan sebagian besar dikelola
oleh Perhutani melalui KPH di daerah Kedu Selatan
dan Kedu Utara. Kedua KPH ini jelas menjadi kekuatan
menguasai kawasan hutan dan menjadikannya basis
produksi untuk tanaman damar dan pinus.
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah


Potret Pertanian Hutan Wonosobo

Kondisi geografis

Desa Ngadisono dan Lebak adalah dua desa


yang berbatasan langsung dengan Hutan Resort
Ngadisono. Hutan Resort Ngadisono berada di
wilayah kecamatan Kaliwiro, sebuah kecamatan yang
berada di bagian selatan Kota Wonosobo. Kecamatan
Kaliwiro berbatasan dengan Kecamatan Leksono,
Kecamatan Kalibawang, Kecamatan Wadaslintang,
dan Kecamatan Sigaluh. Hutan Resort Ngadisono
adalah hutan negara yang dikuasai oleh perum
Perhutani KPH Kedu Selatan. Luas Hutan Resort
Ngadisono yang dikelola oleh Perhutani mencapai
6.491,95 hektar atau mencapai 14.5 persen dari total
keseluruhan KPH Kedu Selatan2.

Peta Wonosobo/Hutan Resort Ngadisono




Hutan Resort Ngadisono berbatasan dengan Desa


Ngadisono dan Lebak di sisi sebelah selatan. Luas
Desa Ngadisono mencapai 451 hektar, hanya 18 hektar
diantaranya yang menjadi lahan persawahan yang
masih menggunakan irigasi sederhana3. Sementara
itu sisanya didominasi oleh lahan tegalan dan kebun
yang hampir seluruhnya ditanami oleh tanaman kayu-
kayuan. Desa Ngadisono sendiri berbatasan langsung
dengan kawasan resort hutan pinus Ngadisono yang
dikelola oleh Perhutani di sebelah bagian barat laut,
berbatasan dengan Desa Grugu di utara, Desa Ngalian
di bagian selatan, Desa Lebak di bagian Barat, dan
Desa Gumelar serta Tracap di sebelah Timur.

Sementara itu, Desa Lebak memiliki total luasan


lahan seluas 551 hektar4. Berbeda dengan Desa
Ngadisono, Desa Lebak yang terkenal dengan sebutan
daerah lumbung padi untuk kawasan Ngadisono dan
sekitarnya memiliki luas lahan sawah yang lebih besar,
yaitu 91 hektar . Sebagian besar, yaitu 91 hektar5.
Sebagian besar lahan persawahannya merupakan
sawah tadah hujan dan sisanya menggunakan
irigasi sederhana. Namun demikian, sama halnya
dengan Desa Ngadisono, sebagian besar lahannya
masih berupa kebun dan tegalan yang ditanami oleh
tanaman hutan dan kayu-kayuan. Desa Lebak persis
berbatasan dengan Desa Ngadisono dan Hutan Resort
Ngadisono di bagian selatan dan timur lautnya.
Di sebelah utara, Desa Lebak berbatasan dengan
Desa Purwosari. Sementara di timur, Desa Lebak
berbatasan dengan Desa Grugu, dan di sebelah barat
berbatasan dengan Desa Ngasinan. Kedua wilayah
ini bisa diakses dengan menggunakan kendaraan
bermotor sekitar 45 menit dari ibu kota kabupaten.
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah


Peta Desa Ngadisono

Peta Desa Ngadisono




Kondisi Sosial Ekonomi

Hingga tahun 2005, jumlah penduduk Desa Ngadisono


mencapai 5.058 jiwa yang terdiri dari 1.316 kepala
keluarga. Sementara itu, Desa Lebak memiliki jumlah
penduduk yang jauh lebih sedikit yaitu 1.492 jiwa yang
tergabung kedalam 376 kepala keluarga6. Mengingat
lahan yang lebih sempit sementara penduduknya
lebih banyak, maka kepadatan Desa Ngadisono lebih
tinggi apabila dibandingkan dengan Desa Lebak.
Demikian juga dengan tingkat mutasi penduduknya,
Desa Ngadisono memiliki tingkat mutasi penduduk
yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan Desa
Lebak. Hal ini disebabkan oleh tingginya jumlah
masyarakat yang pergi dan keluar masuk desa guna
mencari pekerjaan disektor lain, terutama untuk
golongan penduduk berumur 15-19 tahunan7. Oleh
karenanya, kepemilikan lahan di Desa Ngadisono
lebih sedikit dibandingkan dengan penduduk Desa
Lebak—terutama untuk sawah. Dari sisi pendidikan,
sebagian besar penduduk di kedua desa telah
menyelesaikan pendidikan di tingkat sekolah dasar.

Pertanian masih menjadi sektor utama mata


pencaharian masyarakat di kedua desa. Bedanya
di Desa Ngadisono buruh taninya lebih banyak
dibandingkan dengan Desa Lebak. Hal ini diakibatkan
oleh perbedaan budaya dan karakter dari kedua desa
terhadap sistem pertanian. Ngadisono dinilai memiliki
karakter pertanian hutan yang lebih tinggi akibat
dari karakter lahan dan tumbuhannya. Hal tersebut
menyebabkan penduduk Ngadisono tertarik kedalam
banyak sektor daripada berkonsentrasi di dunia
pertanian. Komposisi mata pencaharian cukup
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah


bervariasi mulai dari buruh tani, kuli bangunan,


petani, pekerja sektor angkutan, pedagang, peternak,
pengrajin, penggali batu dan PNS. Selain itu, jumlah
TKI yang bekerja diluar negeri lebih banyak berasal dari
Desa Ngadisono jika dibandingkan dengan TKI dari
Desa Lebak. Hal ini pula yang menyebabkan karakter
masyarakat Desa Ngadisono tampak lebih mudah
dipenetrasi oleh kebudayaan luar. Penyebabnya tak
lain dan tak bukan karena tingginya mobilitas dan
interaksi dengan dunia luar jika dibandingkan dengan
penduduk Desa Lebak.

Sementara itu, masyarakat Desa Lebak dari dulu


sudah dikenal sebagai masyarakat pertanian,
terutama sawah. Ketika sumber mata air berkurang
akibat penanaman pinus oleh Perhutani pada tahun
1976, maka pada periode tahun 1986 hingga tahun 90-
an banyak anggota masyarakat Lebak yang berhijrah
untuk menjadi buruh perkebunan ke Sumatera dan
lahannya dijual kepada penduduk Desa Ngadisono.

Pada sekitar tahun 1990-an, banyak penduduk Desa


Lebak yang berhijrah kembali ke desanya. Pada saat
itu, lahan di desanya sudah banyak dikuasai oleh
penduduk Desa Ngadisono, namun karena karakter
penduduk Desa Ngadisono yang tidak tertarik
terhadap pertanian sawah—selain itu karena alasan
jarak yang cukup jauh, maka penduduk Ngadisono
menjual kembali lahan sawah tersebut kepada
penduduk Desa Lebak. Hal inilah yang menyebabkan
struktur mata pencaharian masyarakat di kedua
desa menjadi berbeda.
10

Pertanian, Nilai Lokal dan Permasalahannya

Kabupaten Wonosobo adalah kabupaten yang


memiliki wilayah yang didominasi oleh pegunungan
dan kawasan hutan. 154 desa (70 persen) di
Wonosobo berada pada perbatasan langsung dengan
kawasan hutan negara. Padahal jumlah penduduk
Kabupaten Wonosobo 80 persen adalah petani, hal ini
menunjukkan betapa dekatnya para petani dengan
kehidupan hutan8.

Petani memang merupakan profesi yang paling dekat


dengan kehidupan hutan. Namun ironisnya banyak
di antara mereka sama sekali tidak bisa menikmati
hasil dari kekayaan hutan, petani justru mengalami
ketakutan akan kekuatan birokrasi yang selama ini
telah dilegalkan untuk mengurusi hutan disekitarnya.
Begitu pula dengan yang terjadi dengan masyarakat
yang berada disekitar Hutan Resort Ngadisono, KPH
Kedu Selatan.

Pertanian di kedua desa pada dasarnya merupakan


tipe pertanian hutan. Hal ini tak lepas dari tipologi
tanah dan ketersediaan sumber daya yang ada. Jika
dilihat dari struktur penduduk dan penggunaan
lahannya, sebagian besar dari penduduk di kedua
desa ini jelas memiliki ketergantungan yang tinggi
terhadap sektor pertanian. Dalam konteks ini,
lokasi yang cukup jauh dari sumber peradaban juga
berpengaruh karena mensyaratkan kemampuan
bertahan hidup yang tinggi.

Produk pertanian dari kedua desa tidak terlalu


jauh berbeda. Untuk tanaman pangan kedua desa
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
11

menghasilkan padi—baik itu padi sawah ataupun


padi gogo—dan juga jagung. Selain tanaman pangan
pokok, produk lainnya yaitu berupa cabe, pisang,
salak, cengkeh, kelapa, kopi, klembak, dan kapulaga.
Untuk produk hasil peternakan rata-rata setiap petani
memiliki ternak berupa kerbau, sapi, kambing, ayam,
itik, entok, kelinci, dan angsa. Hasil pertanian dan
peternakan ini menjadi sumber utama penghidupan
bagi sebagian besar petani yang hidup di kedua
desa.

Dalam melakukan pertanian, baik masyarakat Desa


Ngadisono dan Desa Lebak masih melakukan pertanian
subsisten yang sesekali disisipi oleh pertanian
komersial. Artinya, sebagian besar hasil pertaniannya
dikonsumsi sendiri, dan apabila berlebih maka hasil
pertaniannya akan dijual. Sistem pertanian biasanya
dilakukan dengan sistem multicropping—yang
artinya dalam satu luasan lahan terdapat berbagai
jenis tanaman. Sebagian besar masyarakat masih
menggunakan pupuk kandang sebagai asupan pokok
dari tanamannya.

Di antara kedua desa terdapat perbedaan dalam pola


dan cara memandang pertanian. Di Desa Ngadisono,
masyarakatnya lebih memilih untuk menjadi buruh
tani daripada menjadi petani penggarap, meskipun
mereka diberikan kesempatan untuk mengakses
tanah. Orientasi pada uang cash (tunai) sangat
nampak apabila dibandingkan dengan masyarakat di
Desa Lebak.

Terdapat falsafah Jawa yang mempengaruhi sistem


pertanian di kedua desa ini. Falsafah tersebut
12

menyebutkan bahwa orang hidup yang paling utama


adalah menanam, yang menengah berdagang,
dan yang paling rendah menjadi buruh. Ini jelas
berarti kemuliaan hidup berada di tangan petani.
Namun demikian, semakin hari falsafah ini semakin
memudar—terutama di kalangan pemuda—karena
semakin tidak menjanjikannya sektor pertanian
yang mereka pertahankan. Satu hal lagi, fenomena
ini juga diakibatkan tidak berpihaknya berbagai
kebijakan negara terhadap sektor yang menjadi mata
pencaharian utama mereka. Hanya beberapa petani
yang konsisten saja yang masih mempertahankan
hidupnya melalui sektor pertanian—dan akhirnya
berjuang untuk melawan segala ketidakadilan yang
ada.

Banyak kendala yang menjadikan sektor pertanian


tidak menjanjikan lagi. Beberapa kendala utama yang
ada di antaranya: (1) Ketidakmampuan masyarakat
tani dalam mengakses lahan, air, modal dan sumber-
sumber agraria lainnya seperti benih dan pupuk; (2)
Kurangnya pemahaman dan pengetahuan teknis; (3)
Adanya masalah lingkungan yang disebabkan oleh
pengelolaan hutan oleh Perhutani; dan (4) Harga
produk pertanian yang rendah.

Masalah lain yang muncul adalah adanya ketidakadilan


dalam hal akses terhadap sumber agraria. Ketidak
adilan yang sampai saat ini terjadi di depan mata
para petani adalah dalam hal penguasaan, pemilikan
dan penggunaan tanah. Petani hanya memiliki rata-
rata luasan lahan kurang dari 0.25 hektar, sementara
Perhutani mendominasi pengelolaan ribuan hektar
kawasan hutan yang dulunya menjadi sumber
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
13

penghidupan mereka. Ditahun 2006, 34 persen


penduduk Ngadisono bahkan tidak memiliki lahan
sama sekali, dan sekitar 81 persen penduduknya
hanya menguasai lahan kurang dari 0.5 hektar9.

Setelah kedatangan Perhutani, petani hanya mampu


menjadi buruh penyadap getah pinus. Sementara itu,
kondisi hutan yang semakin rusak akibat ditanami
pinus tidak mampu memberikan sumber penghidupan
seperti masa-masa sebelumnya.

Ketidakadilan semakin menjadi ketika terjadi


penjarahan hutan oleh oknum Perhutani dan diikuti
juga oleh sekelompok petani yang ikut-ikutan
menjarah. Kehidupan petani—yang tidak memiliki
tanah sama sekali dan sangat tergantung menjadi
buruh penyadap—mau tak mau jadi terancam. Represi
dan cap petani sebagai penjarah hutan ini tentunya
memperparah kondisi petani yang sebenarnya sudah
cukup menderita. Hal inilah yang mendorong mereka
untuk sepakat berkumpul, berjuang bersama,
menyatukan kekuatan untuk menghapus segala
ketidakadilan yang ada di depan mata mereka.

Monokultur Hutan: Kemiskinan, Ketidakadilan dan


Ketertindasan Kaum Tani

Resort Ngadisono resmi dikelola oleh pihak Perhutani


sejak tahun 1976-an. Berdasarkan data dari
Perhutani, ,Hutan Resort Ngadisono merupakan hutan
yang dikelompokan kedalam kelompok perusahaan
pinus. Areal total yang ditanami pinus adalah seluas
6.491.95 hektar atau sebesar 14.5 persen dari total
keseluruhan Hutan Resort Ngadisono merupakan
14

hutan yang dikelompokkan ke dalam kelompok


perusahaan pinus. Areal total yang ditanami pinus
adalah seluas 6.491.95 hektar atau sebesar 14.5
persen dari total keseluruhan KPH Kedu Selatan10.

Pada tahun 1985 kawasan tersebut ditanami pinus


yang memiliki umur tebang 20 tahun. Penanaman
hutan pinus secara massal oleh pihak Perhutani
dirasakan membawa banyak dampak negatif bagi
lingkungan dan masyarakat desa. Meskipun secara
pendapatan kasar, sebagian masyarakat desa ada
yang bisa bekerja sebagai buruh sadap Perhutani.
Sekitar 25 persen penduduk desa di sekitar hutan
terlibat dalam proses penyadapan getah pinus
tersebut.

Pada awalnya, kedua desa yang berbatasan dengan


Hutan Resort Ngadisono memiliki dukungan dan
keselarasan dengan alam yang cukup baik. Kondisi
hutan yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi
menyebabkan aliran air desa terjamin. Bahkan pada
awal tahun 1980-an, Desa Lebak sempat menjadi
daerah penghasil pangan yang mampu menyuplai
kebutuhan desa-desa disekitarnya. Namun sayang
pada sekitar ahun 1990-an, debit air berkurang
drastis. Hal ini langsung berakibat pada tingginya
konversi lahan sawah menjadi lahan tegalan. Kondisi
ini membuat para petani segera hijrah untuk mencari
sumber penghidupan yang lebih layak. Ada kaum
tani yang pergi ke kota, ke daerah perkebunan sawit
dan ada juga yang menjadi TKI.

Pada tahun 1990-an sebenarnya sudah terbukti bahwa


pinus memiliki banyak dampak negatif baik itu terhadap
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
15

lingkungan, ekonomi, dan kesehatan penduduk.


Dampak negatif tersebut diantaranya: Penanaman
pinus secara monokultur telah berkontribusi
terhadap wabah penyakit malaria dan flu.

Selain itu, penanaman pinus ini juga menyebabkan


kenaikan suhu dan pengurangan kadar air, sehingga
berimbas langsung pada sektor pertanian dan
peternakan. Sepuluh tahun setelah penanaman
ternyata telah terbukti bahwa produksi pangan
menurun akibat menurunnya ketersediaan air.
Padahal seperti yang dipaparkan sebelumnya, petani
bisa menanam jagung, ketela pohon, dan padi.

Para petani di hutan negara hanya diberi kesempatan


menanam tumpang sari di awal penanaman. Setelah
kayu pohon tumbuh besar seperti pinus atau
damar, petani sudah tidak boleh masuk hutan. Jika
diperhitungkan, diperkirakan masyarakat hanya bisa
mengakses kawasan tersebut terbatas untuk waktu
2 tahun saja, dan selanjutnya setelah kayu tumbuh
besar masyarakat malah tidak bisa menikmati
hasilnya.

Sesuai dengan masa tebangnya, seharusnya pinus


yang ditanam oleh Perhutani baru bisa ditebang
pada tahun 2005. Namun pada kenyataannya,
pada tahun 1999 sudah banyak pohon pinus
yang ditebang oleh para penjarah. Penjarah ini
tak lain adalah oknum pegawai Perhutani sendiri
dan juga sekelompok masyarakat di sekitar hutan
yang latah meniru tingkah para oknum tersebut.
Penjarahan ini tentunya menimbulkan letupan-
letupan kecemburuan dan ketegangan sosial antara
16

masyarakat yang ikut menjarah dan masyarakat tani


yang hanya bisa berdiam diri saja. Dampak lainnya
cukup mengerikan: semakin tandusnya tanah dan
kurangnya suplai air membahayakan pertanian dan
peternakan di desa sekitar.

Dan sementara itu, masyarakat yang tidak memiliki


lahan pertanian dan hanya menggantungkan
pendapatannya dari hasil menyadap semakin hari
semakin kesulitan karena pohon pinus yang disadap
semakin berkurang.

Bagi para petani penyadap yang tidak memiliki lahan


sama sekali, untuk memenuhi kebutuhan makan
sehari dua kali saja untuk keseluruhan anggota
pada saat itu sudah sangat sulit. Kondisi yang tidak
jauh lebih baik dialami juga oleh para petani yang
sudah memiliki sedikit lahan pertanian. Sebagai
contoh, menurut Ismail, petani penggarap hutan dari
Dusun Lebak, seorang petani yang memiliki sekitar
0.5 lahan hektar sawah saja masih kesulitan untuk
menyekolahkan anaknya ke tingkat sekolah lanjutan.
Hal ini disebabkan lahan tidak bisa berproduksi
secara maksimal dikarenakan kurangnya supply air
akibat penanaman pinus secara masif yang diakhiri
dengan penjarahan dan penggundulan hutan.

Pada waktu itu, dari luasan sekitar 0.5 hektar sawah


hanya bisa menghasilkan 2 kwintal gabah saja dalam
1 tahun. Menanam padi dilakukan dalam waktu
6 bulan sementara sisanya lahan tersebut dipakai
untuk menanam beberapa tanaman seperti kedelai,
kacang panjang dan jagung dengan hasil yang sangat
rendah. Hal ini dikarenakan oleh luasnya naungan
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
17

pohon pinus yang ditanam sampai batas yang


berdekatan dengan lahan penduduk.

Dalam hal pendidikan, kondisi pada masa 1998-1999


digambarkan sebagai masa yang jauh lebih buruk dari
masa sekarang. Menurut Irwandi, petani penggarap
kawasan hutan yang berasal dari Dusun Ngadiwongso,
pada masa sebelum mendapatkan garapan di hutan
banyak anak–anak di dusun Ngadiwongso tidak mau
pergi kesekolah. Hal ini adalah akibat dari masih
banyaknya petani yang tidak mampu membelikan
sepatu untuk anak-anaknya. Kondisi ini pulalah yang
menyebabkan anak-anaknya enggan pergi kesekolah
karena selain malu, mereka juga tidak memiliki uang
yang cukup untuk membayar biaya sekolah dan uang
saku untuk anak-anaknya.

Hal lainnya juga diungkapkan oleh Tarno, petani


berusia 50 tahun yang berasal dari Dusun Bodoran,
Ngadisono. Menurutnya, kondisi kesehatan
masyarakat sebelum mendapatkan izin penggarapan
kawasan hutan sangat buruk. Selain kekurangan
protein, mereka pun kekurangan bahan pangan. Bahan
pangan yang ada hanya sekedar nasi leyek (nasi yang
terbuat dari ketela, ed). Meskipun nasi leyek ini kaya
akan karbohidrat namun sangat kurang akan kadar
serat dan protein. Hal ini sedikit banyak berimplikasi
pada kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Selain itu, menurutnya masalah kesehatan petani
sangat menyedihkan dengan hanya menggunakan
obat jawa tradisional apabila petani atau keluarganya
sakit. Mereka tidak berani membawanya ke puskesmas
ataupun ke klinik karena kendala keuangan. Di
lain pihak, penjarahan dan penggundulan hutan
18

juga telah mengancam keselamatan hidup rakyat.


Dengan semakin gundulnya hutan, longsor dan banjir
jelas menjadi ancaman bencana bagi masyarakat tani
yang tinggal disekitar hutan.
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
19

Derap Langkah Kaum Tani


Dalam Penegakan Hak Atas
Tanah

Dalam perjuangannya, kaum tani bergerak sesuai


mandat konstitusi yang telah menyuarakan prinsip
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”—dan
satu lagi, prinsip “tanah untuk penggarap” (land to the
tiller). Dalam kasus pertanian hutan di Wonosobo ini,
dapat diidentifikasi tiga tingkatan perjuangan yang
dilakukan oleh kaum tani dalam menegakkan hak
atas tanah. Pertama, perjuangan di tingkat basis yakni
berupa pengorganisasian dan penguatan organisasi,
kedua berupa konsolidasi jaringan pendukung, dan
ketiga ditingkat elit berupa lobi politik dalam masalah
hukum dan kebijakan.

Ketiga level perjuangan tersebut masing-masing


memiliki output yang berbeda. Pada tingkatan
basis yang menjadi outputnya adalah kepemilikan
lahan yang diperoleh dari pendudukan (okupasi/
reklaiming). Level kedua outputnya berupa
solidaritas organisasi lain yang berjaringan dan
bekerja sama dengan kaum tani. Sedangkan untuk
level ketiga, output perjuangan berupa legal drafting
(tuntutan hukum secara tertulis) kepada negara
ataupun upaya-upaya menuju ke arah tersebut.
20

Pengorganisasian Kaum Tani Ngadisono

Telah dipaparkan sebelumnya bahwa pengelolaan


hutan yang tidak memperhatikan dampak ekonomi,
sosial dan budaya masyarakat setempat telah
berakibat pada kesenjangan dan ketegangan sosial.
Kondisi ini semakin nyata ketika pada tahun 1998
dan 1999 terjadi penjarahan hutan besar-besaran
di depan mata kepala petani sendiri. Banyak yang
menengarai fenomena ini sebagai buntut dari euphoria
reformasi yang diterjemahkan rakyat menjadi tindakan
anarkis. Kesenjangan dan ketegangan sosial akibat
penjarahan tersebut telah membawa kesengsaraan
bagi kaum lemah dan terpinggirkan. Sehingga ketika
tanaman kayu di hutan dalam kondisi kritis, situasi
ini akhirnya mulai dimanfaatkan oleh kaum tani
di sekitar hutan dengan menanam beberapa jenis
bahan makanan pokok. Inisiasi memperjuangkan
penggarapan kawasan hutan oleh masyarakat
muncul pertama kali ketika salah satu petani melihat
penderitaan rakyat desa yang begitu nyata.

Suatu pagi di tahun 1999, M. Manzur, seorang petani


dan tokoh masyarakat Desa Ngadisono menemukan
seorang nenek sedang menangis tepat di kawasan
hutan yang baru dijarah pada malam harinya. Nenek
tersebut biasa menyadap pinus di kawasan hutan
yang baru saja dijarah. Ia merasa kebingungan
untuk mencari sumber penghidupan—bahkan cuma
untuk mencukupi makan! Peristiwa ini mendorong
M. Manzur dan segelintir penyadap getah pinus yang
tidak memiliki garapan berinisiatif untuk menggarap
kawasan hutan yang sudah amblas dijarah.
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
21

Untuk bertahan hidup dan untuk mencegah bencana


longsor serta banjir, beberapa orang petani penyadap
menanam tanaman pangan di kawasan hutan pinus
yang sudah dijarah tersebut. Namun baru sekitar
sebulan petani bertani serta menanam beberapa
tanaman pangan seperti jagung, petugas Perhutani
langsung melakukan penangkapan terhadap petani.
Penggarapan kawasan hutan yang sudah gundul
tersebut dianggap sebagai penjarahan tanah negara
karena belum mendapatkan ijin.

Kaum tani kemudian melakukan identifikasi


batas wilayah administrasi dan penggunaan lahan
permukiman, sawah, hutan negara, hutan rakyat,
perkebunan serta penggunaan lahan untuk jalan dan
infrastruktur. Selain itu dilakukan pula pengukuran
dan identifikasi kondisi lereng, jenis tanaman, upaya
konservasi, pengelolaan dan status tanah. Hal ini
dilakukan selain sebagai bekal dalam pendudukan,
juga dipakai sebagai rekomendasi kepada Pemerintah
Daerah untuk penyusunan peraturan daerah tentang
pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat.

Pendudukan terus dilakukan meskipun terjadi


penangkapan dan represi dari pihak Perhutani.
Terjadinya penangkapan justru membuat kaum
tani menjadi lebih bersatu dan berkeinginan kuat
untuk merebut hak–haknya. Hal ini dijadikan
kesempatan oleh para pemimpin kaum tani waktu
itu untuk mengorganisasikan petani yang berasal
dari 5 desa yaitu Desa Grugu, Purwosari, Ngadisono,
Lebak dan Ngalian. Adapun pengorganisasian
ditujukan untuk menyemangati para petani
dalam melakukan pendudukan kawasan hutan.
22

Pengorganisasian juga dilakukan untuk meyakinkan


kaum tani bahwa mengelola kawasan hutan adalah
salah satu upaya menegakkan hak-hak mereka. Untuk
selanjutnya, kaum tani melakukan kesepakatan
untuk membuat petisi penuntutan hak penggarapan
kawasan hutan millik Perhutani. Petisi yang diajukan
akhirnya ditandatangani oleh sekitar 1000 petani
yang berhasil diorganisasikan.

Jumlah pendudukan semakin meluas seiring dengan


lobi politik dan konsolidasi jaringan yang dilakukan
oleh pimpinan kaum tani. M. Manzur sebagai
salah satu tokoh kunci kemudian membentuk dan
mengkoordinasikan pengorganisasian kaum tani
dengan 11 orang petani yang berasal dari 5 desa
tersebut. Selain pertemuan-pertemuan rutin yang
dilakukan untuk mengkonsolidasikan massa tani,
dilakukan juga pengorganisasian untuk melakukan
aksi-aksi massa di depan DPRD Kabupaten Wonosobo.
Kaum tani telah mengorganisasikan beberapa protes
dan aksi yang dilakukan dalam menuntut pemberian
hak pengelolaan kawasan hutan. Kaum tani juga
menuntut pelaksanaan Peraturan Daerah yang telah
diusulkan sebagai alternatif oleh kaum tani. Aksi
massa terbesar yang pernah dilakukan diikuti oleh
sekitar 10.000 massa petani dari seluruh Kabupaten
Wonosobo.

Kerja-kerja pengorganisasian kaum tani akhirnya


bermuara pada terbentuknya OTL Desa Ngadisono
yang kemudian berubah menjadi OTL Mandiri. OTL
ini lahir seiring dengan keberhasilan perjuangan
kaum tani dalam mendapatkan hak garap di kawasan
hutan.
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
23

OTL Mandiri

OTL Mandiri merupakan salah satu OTL anggota


yang berada dalam naungan SEPKUBA di tingkat
kabupaten. Di tingkat propinsi, OTL ini adalah
bagian dari SP Jateng. Di tingkat nasional,
payung organisasi perjuangan petaninya adalah
FSPI. Dan tentu saja, otomatis merupakan
anggota Gerakan Petani Internasional, La Via
Campesina. OTL Mandiri merupakan bentuk
formal dari perjuangan kaum tani Desa
Ngadisono setelah keberhasilan mereka dalam
mendapatkan ijin penggarapan kawasan hutan
seluas 188 hektar di Hutan Resort Ngadisono
pada tanggal 19 Mei 2001. Perjuangan kaum
tani merupakan perjuangan yang sangat berat
yang telah diinisiasi semenjak tahun 1998.
Dengan diberikannya izin penggarapan kawasan
hutan tersebut, masyarakat tani telah berhasil
mewujudkan langkah awal bagi perjuangan
reforma agraria sejati. Langkah selanjutnya diambil
dengan memformalkan perjuangan bersama
sebagai suatu usaha kolektif untuk melindungi
dan menjaga posisi petani secara politis.
Untuk itu pada 25 Juni 2002, didirikanlah
Kelompok Tani Desa Ngadisono di Dukuh
Pasuruan yang dihadiri oleh 40 orang petani.
Struktur organisasi yang tercipta waktu itu
masih sederhana dan hanya terdiri dari ketua,
sekretaris dan bendahara. Setelah mendapatkan
izin penggarapan hutan bersama Perhutani
seluas 188 hektar tersebut, petani masih belum
mendapatkan kejelasan mengenai hak, kewajiban,
24

teknis pengelolaan dan sistem pembagian hasilnya.


Untuk itu, Kelompok Tani Desa Ngadisono
mengajukan dan menuntut kejelasan tersebut.

Dalam kerangka perjuangan mewujudkan refor-


ma agraria sejati, Kelompok Tani Desa Ngadisono
melakukan peleburan dengan para petani anggota
KTH hasil bentukan Perhutani. Hal ini dimaksud-
kan untuk memperkuat barisan perjuangan dan
memperbanyak anggota. Pada 19 Agustus 2003
lahirlah OTL Mandiri yang kemudian pada per-
jalanan selanjutnya menjadi anggota SEPKUBA.
Perkenalan dengan SEPKUBA yang merupakan
salah satu angota SP Jateng sebenarnya sudah
dimulai ketika petani melakukan lobi politik un-
tuk mendapatkan izin garapan di kawasan hu-
tan yang dikelola Perhutani sejak tahun 2000.

Dalam konteks organisasional, tujuan pem-


bentukan OTL adalah untuk mengembangkan
dan meningkatkan perekonomian masyara-
kat petani desa. Peningkatan perekonomian
ini dilakukan melalui pembinaan dan pengem-
bangan OTL Mandiri dalam bidang pertanian,
peternakan, perkebunan dan industri kecil mau-
pun dalam pengembangan kerajinan rakyat.

Dalam menjalankan organisasi, OTL


membentuk kepengurusan yang periode masa
kepengurusannya selama 10 tahun. Jabatan
tersebut dapat diberhentikan sebelum masa
akhir jabatan sesuai dengan musyawarah
anggota. Dalam masa akhir jabatan, pengurus
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
25

OTL wajib mempertanggungjawabkan kerja-kerja


organisasi di hadapan musyawarah anggota.

Untuk mempermudah koordinasi di tingkat akar


rumput (grassroot), maka dibentuklah anak
OTL yang dibagi menurut wilayahnya seperti
OTL Setia Wana Asri, OTL Sari Manggis, OTL
Puncak Sari, OTL Duren Sari, OTL Supitan, dan
OTL Aditya Wana Asih. Hingga saat ini terdapat
sekitar 600 KK petani yang menjadi anggota
OTL Mandiri. Anggota OTL Mandiri ini tersebar
di beberapa desa yaitu Desa Ngadisono, Grugu,
Purwosari, Lebak dan Ngalian. Hingga saat ini
OTL Mandiri memiliki anggota sekitar 600 KK
dengan jumlah anggota lebih dari 1000 petani.

Pada mulanya, OTL dibentuk sebagai implementasi


dari perjuangan ekonomi yang bertujuan untuk
memantapkan swadaya kelompok sehingga mampu
menjadi pusat pelayanan kegiatan petani (dan
akhirnya diharapkan bisa meningkatkan taraf
hidup dan kesejahteraan petani). Namun pada
perkembangannya, organisasi juga turut menjadi
wadah yang memiliki fungsi penyuluhan dan
pendidikan di bidang teknis pertanian, perdagangan,
pengolahan pascapanen serta pemasaran produk
pertanian, khususnya produk pangan11.

Hal ini selaras dengan perjuangan petani di tingkat


nasional ataupun internasional yang dalam
pelaksanaannya berawal dari perjuangan ekonomi
yang menginginkan adanya perombakan, pemulihan
26

dan penataan model pembangunan ekonomi-politik


secara umum serta kebijakan agraria dan turunannya:
kebijakan pertanian yang lebih sektoral. Berangkat
dari perjuangan ekonomi-politik tersebut, perjuangan
petani bertranformasi menjadi perjuangan politis
yang bertumpu pada realitas ketidakadilan yang
selalu dihadapi kaum tani. Selanjutnya, cita-cita dan
prinsip perjuangan akan bermuara pada perwujudan
budaya rakyat sehari-hari yang berkeadilan sosial.

Pengorganisiran Massa Tani :

1. Pendudukan lahan
2. Pertemuan rutin
3. Pendidikan dan penyadaran petani
4. Pemetaan dan identifikasi wilayah
5. Pengorganisasian petisi
6. Pengorganisasian Aksi
7. Pembentukan OTL

Jembatan Perjuangan dengan Penguatan Jaringan

Perjuangan kaum tani bukanlah suatu hal yang


mudah dan tanpa tantangan. Posisi kaum tani
yang lemah menjadi salah satu syarat perlunya
berjaringan dalam perjuangan. Dalam perjuangan
kaum tani di Hutan Resort Ngadisono, penguatan
jaringan difokuskan pada dua lapisan, yaitu lapisan
vertikal dan lapisan horizontal. Pada lapisan vertikal,
OTL memperkuat posisi politis dan legalnya melalui
peneguhan keanggotaannya sebagai bagian dari
perjuangan tani regional, nasional dan bahkan
internasional. Sementara itu, dalam lapisan
horizontal penguatan jaringan dilakukan dengan
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
27

mengkonsolidasikan visi, misi, strategi dan tujuan


perjuangan OTL kepada NGO yang memiliki visi dan
misi yang serupa.

Dalam implementasinya, kerja perjuangan petani


lebih dulu dilakukan melalui penguatan jaringan
lapisan horizontal. Melalui kerja sama dan aliansi
dengan beberapa NGO seperti Arupa, Ko Ling,
JKPM maupun SEPKUBA (yang pada akhirnya pola
hubungannya berubah menjadi penguatan jaringan
lapisan vertikal), kaum tani mendesakkan berbagai
tuntutannya kepada para pembuat kebijakan.
Jaringan dan lobi dilakukan baik dengan para
pengambil kebijakan seperti Pemerintah Daerah dan
DPRD dan juga dengan musuh-musuh perjuangan.
Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah kerja-
kerja perjuangan dan sekaligus menjalankan kerja-
kerja taktis maupun strategis.

Kuatnya jaringan yang telah dibentuk oleh OTL


Mandiri akhirnya membuahkan kerjasama yang
kompak di lapisan horizontal antara kaum tani dengan
beberapa pihak NGO (Arupa, Bina Desa, JKPM dan
KPML) yang mampu memberikan bantuan advokasi
dan pendidikan. Selain itu, kontribusi lain yang
diberikan oleh para petani bersama dengan pihak
pemerintah, NGO, Perhutani dan akademisi antara
lain melalui FHW (Forum Hutan Wonosobo) yang
dibentuk sebagai suatu lembaga yang mengawasi
dan mengatur mekanisme sistem pengelolaan
kawasan hutan bersama masyarakat. Unsur lain
yang juga perlu digarisbawahi di sini adalah adanya
kedekatan kaum tani dengan para pemimpin
Perhutani. Hal ini sangat signifikan menyangkut hal
28

lobi politik dan meningkatkan posisi tawar petani


dalam rangka mewujudkan cita-cita perjuangannya.

Pada perkembangannya, seiring dengan terbentuknya


organisasi tani, maka sesaat setelah pembentukan
OTL pada Agustus 2003, kaum tani langsung tak
membuang waktu untuk mendeklarasikan dirinya
sebagai bagian dari perjuangan petani di tingkat
Kabupaten, SEPKUBA, yang sudah berdiri sejak
18 September 2000. Secara otomatis, OTL Mandiri
menjadi basis dari SP Jateng yang notabene adalah
anggota FSPI. Perjuangan dari OTL mandiri juga
merupakan bagian perjuangan dari pergerakan
petani tingkat internasional yang tergabung dalam
La Via Campesina. Implementasi dari penguatan
jaraingan lapis vertikal ini juga merupakan salah
satu sukses perjuangan kaum tani Ngadisono
yang terus bisa dijaga dan terus dikembangkan.

Penguatan Jaringan :

1. Penguatan jaringan lapisan horizontal


2. Penguatan jaringan lapisan vertikal:
Menjadi anggota SEPKUBA; SP Jateng;
FSPI; La Via Campesina
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
29

Negosiasi Politik: Hak Garap dan PSDHBM, PHBM,


serta PSDHLT yang membingungkan

Gerakan pendudukan dan pengorganisasian massa


tani ternyata mengakibatkan teror pada segelintir
pemimpin tani. Mengingat kondisi yang membahayakan
kaum tani, maka dalam perjuangannya petani
cenderung memilih jalan diplomatis dibanding jalan
yang radikal. Namun demikian, pada kenyataan
di lapangan masih terjadi penggarapan kawasan
hutan oleh petani yang luasannya makin meningkat.
Melalui proses pembentukan Peraturan Daerah yang
mengatur pemberian hak garap kawasan hutan oleh
masyarakat, kaum tani Ngadisono memperjuangkan
hak dalam mengakses tanah di kawasan hutan
Perhutani.

Untuk mengawal pembentukan embrio Peraturan


Daerah yang akan mengijinkan pengelolaan kawasan
hutan oleh masyarakat, maka pada tanggal 9 Agustus
2000, melalui salah seorang wakilnya yaitu M. Manzur,
petani menghadap ke KPPN Kabupaten Kebumen
untuk meminta ijin pengolahan kawasan hutan lebih
awal. Petani kemudian bersepakat untuk mendesak
pihak Perhutani untuk memberikan izin penggarapan
kawasan hutan di Hutan Resort Ngadisono.

Dalam proses teknisnya kaum tani membentuk


satu tim kecil yang terdiri dari 11 orang yang
mewakili 5 desa. Dalam perjuangannya, tim kecil ini
mengupayakan suatu perjuangan reforma agraria
sejati secara bertahap yaitu dengan pembuktian
bahwa penggarapan kawasan hutan oleh petani bukan
merupakan pilihan yang salah dalam melestarikan
30

hutan dan mengurangi tingkat kemiskinan.

Klaim utama yang diajukan untuk perolehan akses


tanah tersebut adalah mengenai hak warga negara
dalam menguasai bumi, air dan kekayaan yang ada
didalamnya. Hal tersebut sesuai dengan bunyi pasal
33 ayat 3 UUD 1945 dan sila kelima Pancasila.
Selanjutnya petani menekankan bahwa dalam
pengelolaan hutan secara lestari adalah sepenuhnya
menjadi kemampuan mereka sendiri. Hal ini terbukti
dari lebih bertahannya hutan rakyat dibandingkan
dengan hutan negara. Hal ini karena secara psikologis
rakyat merasa memiliki sehingga memunculkan
keinginan untuk memelihara dan merawat hutan
tersebut. Hal ini kontras dengan praktek yang secara
psikologis tidak merasa memiliki hutan tersebut,
karena hanya mengeksploitasi hutan untuk diambil
hasilnya demi laba semata. Akhirnya proses yang
terjadi malah merusak hutan itu sendiri.

Perjuangan masyarakat petani pun tidak serta merta


mendapatkan berhasil. Setelah melakukan dialog
dengan pihak administrator Perhutani, ternyata apa
yang diajukan oleh petani sama sekali tidak mendapat
tanggapan. Langkah selanjutnya yang diambil petani
adalah dengan mendesak DPRD untuk membantu
proses negosiasi dengan pihak Perhutani. Atas
desakan petani, DPRD memerintahkan Perhutani
untuk bersikap kooperatif dengan petani yang pada
waktu itu sudah berjaringan dengan SEPKUBA dan
JKPM. Pada akhirnya, Perhutani mau bernegosiasi
dengan pihak petani atas tekanan DPRD tersebut.

Negosiasi ini juga dimaksudkan sebagai sebuah


Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
31

upaya yang dilakukan oleh inisiator pembentukan


sistem pengelolaan hutan oleh Pemerintah Daerah—
bukan oleh Perhutani—bersama masyarakat
atau yang dikenal dengan PSDHBM (Pengelolaan
Sumber Daya Hutan Bersama dengan Masyarakat).
Sistem PSDHBM ini pada awalnya dimulai oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Wonosobo bersama
kalangan akademisi, NGO serta masyarakat
desa hutan dan juga pelaku bisnis kehutanan.

Lahirnya ide ini dilatarbelakangi oleh ketidakmampuan


Perhutani dalam mengelola hutan dengan
memperhatikan perspektif lingkungan, ekonomi
dan sosial-budaya masyarakat yang berbatasan
dengan kawasan hutan. Seluruh bahan dan rencana
pengelolaan sumber daya hutan berbasiskan
masyarakat ini sudah mulai dikonsolidasikan dari
November 1999 hingga tahun 2000. Hanya pihak
Perhutani saja yang masih belum menunjukkan itikad
baik sehingga kesannya proses ini selalu tertunda
terus.

Negosiasi dengan kaum tani Desa Ngadisono


akhirnya dilakukan pada 19 Mei 2001, ketika petani
sudah secara cukup luas menempati kawasan
Hutan Resort Ngadisono. Dalam negosiasi tersebut
dihasilkan kesepakatan penggarapan kawasan
hutan oleh petani seluas 188 hektar. Luasan ini
merupakan kawasan Hutan Resort Ngadisono yang
berada dibawah pengelolaan Perhutani resort Kedu
Selatan. Dalam negosiasi ini disepakati bahwa
Perhutani akan menanami kawasan hutan yang
tadinya sudah ditanami pinus (selanjutnya sebagian
besar diganti jati) dan petani diperbolehkan untuk
32

melakukan pertanian tumpang sari diatas kawasan


tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan syarat petani
harus menjaga dan membantu upaya pelestarian
hutan. Jati yang selanjutnya ditanam oleh Perhutani
sebanyak 60 persen dari luas total kawasan hutan,
sementara sisanya masih tetap ditanami pinus.

Dalam negosiasi ini tidak ditentukan secara detail hak


dan kewajiban petani, dan juga berapa lama ketentuan
ini berlaku. Namun demikian, banyak masyarakat di
Kabupaten Wonosobo yang melihat kesepakatan ini
merupakan suatu keberhasilan dalam perjuangan
rakyat tani. Setelah perijinan penggarapan kawasan
hutan diterima, kaum tani Desa Ngadisono kemudian
melakukan pembagian pengelolaan kawasan hutan
dengan sistem undian. Masing-masing anggota
mendapatkan rata-rata 12 x 100 meter persegi.

Perkembangan berikutnya semakin memberikan


angin segar kepada kaum tani. Pada tanggal 20
Oktober 2001, Peraturan Daerah No. 22 Tahun 2001
tentang PSDHBM disahkan. Peraturan Daerah ini
merupakan kerja keras dari petani yang mendesakkan
penghentian pengelolaan hutan oleh Perhutani.

Namun demikian, terjadi perubahan situasi politik dan


pertentangan birokrasi dalam pelaksanaan PSDHBM.
Hal ini berakibat pada stagnanasi implementasi
PSDHBM di lapangan. Oleh karenanya, petani terus
memperjuangkan pelaksanaan Peraturan Daerah
No. 22 Tahun 2001 tentang PSDHBM baik secara
praksis—aksi-aksi langsung—maupun cara-cara
diplomasi. Secara diplomatis, melalui SEPKUBA
muncul solidaritas antarpetani, juga kajian dan
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
33

kampanye mengenai pengguliran rencana PSDHBM


dengan dukungan Pemerintah Daerah. Kemudian
dengan aksi-aksi langsung, petani bertahan di
kawasan hutan dan memperkuat barisan melalui
pembentukan OTL Desa Ngadisono pada 25 Juni 2002.

Hingga Agustus 2002 petani masih merasa


kebingungan mengenai pola pengelolaan hutan—
mana yang legal dan mana yang tidak. Masih terdapat
ketidakjelasan antara program yang diinisiasi oleh
Pemerintah Daerah dengan program yang diinisiasi
oleh Perhutani. Akhirnya pada akhir Agustus 2002
diadakan pertemuan multipihak guna menentukan
langkah ke depannya.

Dalam perjalanannya, 20 desa lainnya di Wonosobo


akhirnya ikut menuntut adanya pemberian hak
akses kawasan hutan untuk petani seperti yang
terjadi di Ngadisono. Namun, PSDHBM yang sudah
diperkuat dengan Peraturan Daerah tak juga kunjung
dilaksanakan. Malah Perhutani mengadakan
program tandingan serupa yang pengelolaannya
tidak melibatkan Pemerintah Daerah, dan keukeuh
menjadikan dirinya sendiri sebagai pengelola utama.
Nama program Perhutani ini dikenal dengan istilah
PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat).

Kaum tani yang berasal dari 20 desa di Wonosobo


menolak skema yang ditawarkan oleh Perhutani dan
bertekad tetap mendukung diberlakukannya Perda
tentang PSDHBM. Setelah pada tanggal 18 Januari
2003 dilakukan konsolidasi kaum tani di Ngadisono,
maka selanjutnya dalam waktu dekat kaum tani
kembali melakukan konsolidasi di Gedung Sanggar
34

Kegiatan Belajar, Wonosobo. Hadir pada waktu itu


NGO Arupa sebagai fasilitator. Hasil dari pertemuan
ini menyetujui bahwa apa yang telah dilakukan
oleh OTL Mandiri Ngadisono yakni (1) Pembentukan
kelompok; (2) Penandatanganan kesepakatan dengan
Perhutani; sampai pada (3) Perencanaan tanam dan
penataan kawasan hutan tanpa diintervensi oleh
Perhutani; harus segera dilakukan dan didesakkan
kepada pemerintah dan harus pula disetujui oleh
pihak Perhutani.

Kaum tani berulang kali membanjiri kantor DPRD


Kabupaten Wonosobo untuk menyampaikan
dukungannya terhadap rencana implementasi
PSDHBM baik dengan cara dialog, demonstrasi,
dan dengan melayangkan surat pernyataan sebagai
tanda dukungan. Seperti yang telah dipaparkan,
protes terbesar diikuti oleh sekitar 10.000 petani dari
seluruh Wonosobo.

Proses yang berlarut-larut ini, mendorong dari


kekuatan yang bersifat dukungan berubah menjadi
desakan yang datang silih berganti, seperti halnya
beberapa kelompok-kelompok masyarakat dari desa-
desa dari berbagai kecamatan seperti Desa Gunung
Tugel di Kecamatan Leksono, Desa Bogoran di
Kecamatan Wonosobo, Desa Jangkrikan di Kecamatan
Kepil, Desa Kreo, Tieng dan Tambi di Kecamatan
Kejajar, Desa Ngadisono di Kecamatan Kaliwiro, Desa
Ngalian di Kecamatan Wadaslintang dan berbagai
desa lainnya terutama desa-desa di sekitar kawasan
hutan kembali melakukan aksi unjuk rasa12.

Perjuangan kaum tani tak berhenti di situ. Dalam


Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
35

perkembangannya datang masalah lain, yaitu


ketidakrelaan Perhutani melepaskan perannya
dalam penguasaan hutan. Dengan kekuatannya
Perhutani disinyalir telah mempengaruhi proses
pembekuan Peraturan Daerah tentang PSDHBM ini.
Hal ini bisa dimaklumi karena dalam PSDHBM ini
peran Perhutani dikebiri dengan adanya konsentrasi
penggarapan kawasan hutan oleh Pemerintah Daerah
di bawah Dinas Kehutanan. Secara legal Peraturan
Daerah ini tidak diakui oleh negara dan selanjutnya
dibekukan oleh Kementrian Dalam Negeri, dengan
alasan berbenturan dengan UU No. 41 Tahun 1999
yang menyebutkan kewenangan Perhutani dalam
pengelolaan kawasan hutan di Jawa.

Kesepakatan pengelolaan hutan antara Pemerintah


Daerah dan Perhutani tidak kunjung tercapai, tidak
PSDHBM (yang diprakarsai oleh Pemda dan didukung
rakyat) dan tidak pula PHBM (diprakarsai oleh
Perhutani sendiri). Sementara itu, untuk memperkuat
barisan dan memperkuat kekuatan petani dalam
memperjuangkan hak-haknya, Kelompok Petani Desa
Ngadisono melakukan peleburan dengan OTL Hutan
yang secara sejarah dibentuk oleh Perhutani. 6 OTL
Hutan akhirnya bergabung dan melebur dengan OTL
Ngadisono membentuk OTL Mandiri yang secara
resmi didirikan dengan penandatangan Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga pada tanggal 19
Agustus 2003.
36

FOTO Pertemuan dengan staff FSPI, SP Jateng dan Sepkuba

Berbagai kegiatan advokasi, pengorganisasian, dan


pendidikan dilakukan di tengah ketidakpastian
kesepakatan pengelolaan hutan. Namun, kaum
tani anggota OTL Mandiri terus berjuang untuk
menduduki kawasan hutan yang dikelola Perhutani
secara parsial. Perjuangan kaum tani bahkan sempat
mengakibatkan teror dan intimidasi terhadap salah
satu pimpinan kelompok, M. Manzur.

Saat yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Perjuangan


panjang kaum tani akhirnya berbuah pada tanggal
28 Agustus 2003. Pada tanggal tersebut tercapai
kesepakatan kembali antara OTL Mandiri dengan
Perhutani mengenai penggarapan kawasan hutan
bersama dikawasan Blok 11 C yang memberi ruang
kepada petani. Dalam perjalanannya, skema yang
diberlakukan di Blok 11 C ini selanjutnya menjadi model
pengembangan PSDHLT (Pengelolaan Sumber Daya
Hutan Lestari dan Terpadu). PSDHLT disepakati pada
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
37

Oktober 2006 namun mekanismenya secara teknis


masih belum terbentuk secara rinci hingga saat ini.

PSDHLT ini dirumuskan oleh FHW, yang menyebutkan


bahwa sistem pembagian keuntungan diatur oleh
masyarakat, Pemerintah Daerah dan Perhutani
melalui Forum Hutan Desa. FHW adalah kelompok
kerja lintas sektoral di tingkat kabupaten dengan
misi menempatkan sektor kehutanan sebagai core
(inti) pembangunan dalam rangka menyelamatkan
lingkungan, pengembangan ekonomi, dan kehidupan
sosial MDH (Masyarakat Desa Hutan). FHW terdiri dari
unsur Pemerintah Daerah, DPRD, tokoh masyarakat,
Perhutani dan NGO. Forum ini sendiri terbentuk
pada tahun 2005. Tujuan didirikannya forum ini
adalah untuk menyelesaikan dan merumuskan
bagaimana sistem terbaik yang harus dilakukan dalam
pengelolaan kawasan hutan di Wonosobo. Secara
struktural, kerja dari FHW ini diimplementasikan
oleh Forum Hutan Wilayah di tingkat kecamatan dan
di bawahnya ada Forum Hutan Desa.

Negosiasi Politik:
1. Pengajuan hasil pemetaan partisipatif
2. Pengawalan dalam pembuatan Peraturan
Daerah
3. Penyusunan draft tuntutan dan argumen
4. Negosiasi perolehan hak garap 1
5. Dialog, aksi demonstrasi, dan deklarasi
tuntutan
6. Negosiasi mekanisme hak garap 2
38

Penataan Produksi Pasca Perolehan Hak Garap

Blok 11 C merupakan kawasan hutan yang dulunya


ditanami pinus, yang kira-kira luasnya 75 hektar.
Dalam kesepakatan pengelolaan, sekitar 600 keluarga
petani diberikan hak menggarap kawasan hutan
selama 50 tahun dengan masing-masing keluarga tani
mendapatkan 1.200 meter persegi—dan kaum tani
diberikan kebebasan untuk memilih jenis komoditas
yang ditanam. Setelah melalui pembicaraan bersama,
akhirnya petani sepakat untuk menanam kayu albasia
dengan umur tebang 6-8 tahun. Jarak tanam yang
disepakati adalah 6 X 2 meter, dimana di antara dua
pohon albasia milik petani ditanami pohon mahoni
milik Perhutani.

Foto Penanaman pertama Albasia di Blok 11 C bertepatan dengan ulang tahun FSPI yang ke-5

Selain menanam albasia, petani berhak untuk


menanami sela-sela yang kosong dengan tanaman
palawija seperti jagung, ketela, ubi, pisang, nanas,
dan salak. Namun seiring berjalannya waktu, sistem
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
39

bagi hasil ini ternyata masih belum disepakati secara


hitam diatas putih. Terdapat beberapa inisiasi yang
masih belum disepakati, yakni yang terkait dengan
masih digodoknya kesepakatan-kesepakatan yang
akan dikeluarkan pada peluncuran PSDHLT.

Lebih jauhnya, dalam implemetasi penggarapan


kawasan hutan oleh OTL Mandiri di Blok 11 C
hingga saat ini masih belum mendapatkan kejelasan.
Kesepakatan di tingkat desa belum tercapai dengan
alasan hasil dari pengelolaan hutan masih belum
bisa diperhitungkan mengingat tingkat pembagian
hasil akan diperhitungkan sesuai dengan tingkat
pengeluaran dari masing-masing pihak. Oleh karena
itu, perhitungan hanya akan dilakukan ketika kayu
sudah mencukupi umur tebang. Tak pelak, hal ini
dirasakan cukup merugikan masyarakat setempat.

Meskipun belum tercapai kesepakatan, muncul usul


pembagian hasil belakangan ini. Perinciannya adalah
pembagian 75 : 25 untuk tiap tanaman utama yang
ditanam. Misalkan untuk albasia yang ditanam oleh
kaum tani, 75 persen pendapatan diberikan kepada
petani dan 25 persennya untuk Perhutani. Sementara
itu, untuk mahoni yang ditanam pihak Perhutani, 75
persen diberikan kepada Perhutani dan 25 persen
untuk petani.
40

Foto Blok 11 C saat ini ditanami tanaman Albasia dan tumpang sari

Dengan melihat kronologis dan hasil yang dicapai oleh


OTL Mandiri tersebut maka kita dapat mengetahui
bahwa perjuangan panjang petani masih belum
berakhir. Adapun keberhasilan diplomatis yang telah
dilakukan merupakan langkah awal bagi petani untuk
mewujudkan cita-cita reforma agraria sejati, yaitu
tanah dan sumber agraria untuk petani. Perjuangan
diplomatis saat ini tengah mengalami ancaman
terutama dalam penentuan skema teknis PSDHLT
yang sistem pembagiannya dilakukan berdasarkan
jumlah kepemilikan modal.

Perjuangan masih terus dilakukan, salah satunya


dibuktikan dengan majunya kaum tani Ngadisono
menuntut implementasi reforma agraria sejati dari
pemerintah. Hal ini dibuktikan pada aksi yang yang
diikuti kaum tani Ngadisono bersama puluhan ribu
petani se-Jawa Tengah pada tanggal 18 Juli 2007 lalu
di Semarang.
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
41

Foto Aksi petani di Semarang, 18 Juli 2007

Petani adalah subjek yang sangat dekat dengan


alam, sehingga ketika alam dikelola oleh petani,
maka kelestarian alam bisa lebih terjamin pada
praktek-prakteknya. Apa yang telah dicapai saat ini
seharusnya bisa memacu semangat petani untuk
terus berjuang untuk mendapatkan haknya. Selagi
terus berjuang, petani harus membuktikan bahwa
di tangan petani, alam akan lestari, kesejahteraan
akan tercapai dan tatanan hidup akan tertata baik
secara ekonomi, sosial dan politis melalui mode
produksi yang mengutamakan prinsip keadilan dan
keberlanjutan.
42

Buah Perjuangan

Perjuangan OTL Mandiri hingga saat ini jelas masih


jauh dari kata tuntas. Meskipun demikian, apa yang
telah berhasil diperjuangkan dewasa ini menjadi modal
besar dan pembuktian kepada dunia bahwa petani
ternyata bisa mengolah alam secara berkelanjutan,
dan manfaatnya sangat besar bila dilihat dari sisi
ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan.

Upaya kaum tani dalam mengakses kawasan hutan


memang telah diperoleh, meskipun keberhasilan
yang dicapai masih secara parsial dan dalam luasan
lahan yang masih sangat minimal. Namun terbukti
pencapaian tersebut telah menampakkan hasil
signifikan berupa peningkatan beberapa indikator
kesejahteraan. Meskipun demikian, masih banyak
ketertinggalan dan keterpinggiran yang dialami oleh
rakyat tani yang menunjukkan bahwa perjuangan
mereka masih harus diteruskan. Ilustrasi sederhana
dari kaum tani mungkin begini: luasan lahan
yang sangat terbatas saja sudah meningkatkan
pendapatan rakyat tani, apalagi jika rakyat tani bisa
mendapatkan hak dan luasan lahan yang lebih layak.
Oleh karenanya, rakyat tani masih terus meneriakkan
perwujudan dari reforma agraria sejati yang mereka
rasakan belum tercapai hingga saat ini.
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
43

Indikator kesejahteraan: Parameter awal keberhasilan


perjuangan

Pengelolaan kawasan hutan oleh Perhutani sangat


mempengaruhi kehidupan ekonomi rakyat sekitar.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penanaman
pinus secara massal di kawasan hutan yang tadinya
berupa hutan alam telah menyebabkan penurunan
suplai air untuk konsumsi dan kebutuhan pertanian.
Hal ini terjadi di kedua desa yang berbatasan
langsung dengan Hutan Resort Ngadisono ini. Selain
berpengaruh pada suplai air, terjadi pula peningkatan
suhu yang cukup drastis. Hal ini berimbas pada
pola tanam dan sektor peternakan sebagai sumber
pendapatan rakyat di kedua desa.

Penampungan getah pinus juga mengakibatkan


tertampungnya air hujan dan mengakibatkan beberapa
genangan air di banyak titik. Hal ini berakibat pada
meningkatnya wabah malaria dan flu di desa sekitar.
Dampak lain lagi tentu pada mininmya sumber
pendapatan rakyat yang juga membawa dampak
pada tingkat pendidikan yang dinikmati oleh anak-
anaknya.

Sempitnya penguasaan tanah, kondisi tanah yang


tandus serta berkurangnya suplai air menyebabkan
masyarakat kesulitan untuk menghasilkan bahan
pangan. Bahkan beberapa media massa telah
mencatat beberapa kali peristiwa kelaparan melanda
Ngadisono dan Lebak. Sulitnya mendapatkan bahan
pangan, terutama beras, menjadikan masyarakat
Desa Ngadisono dan Lebak ini sebagai pengkonsumsi
nasi leyek, yang mengakibatkan banyak masalah
44

kesehatan di kedua desa. Kurangnya nutrisi dalam


nasi leyek mengakibatkan banyak anak-anak
terjangkit penyakit beri-beri. Wabah ini tercatat
pernah menghantui desa-desa sekitar Hutan Resort
Wonosobo pada dekade 1980-an hingga 1990-
an. Keberhasilan kaum tani dalam mendapatkan
izin penggarapan kawasan hutan tercatat sebagai
sebuah batu loncatan bagi terwujudnya reforma
agraria sejati. Dan tak bisa dipungkiri, hal ini telah
membawa perubahan pada struktur kepemilikan dan
penggunaan lahan.

Dalam jangka waktu 1998-2004, di Desa Ngadisono


terjadi peningkatan yang cukup signifikan dalam
luasan tegalan, pekarangan, sawah tadah hujan, dan
lahan yang digunakan untuk sarana dan fasilitas
umum. Hal ini tak terlepas dari peran petani dalam
melakukan penggarapan kawasan hutan yang dikelola
Perhutani. Sementara itu dalam kurun waktu yang
sama, di Desa Lebak terjadi peningkatan jumlah sawah
tadah hujan yang sangat tinggi. Selain peningkatan
jumlah sawah tadah hujan, terjadi di Desa Lebak
terjadi pula penambahan luas lahan pekarangan dan
irigasi sederhana yang cukup signifikan.
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
45

Peningkatan sawah tadah hujan dan penurunan


luas irigasi teknis ditengarai akibat rusaknya sarana
irigasi karena beberapa sebab (kurang perawatan,
penyusutan) dan belum pulihnya suplai air dari
kawasan hutan yang pada akhirnya mempertinggi
angka perubahan lahan sawah menjadi tegalan.
Meningkatnya luasan tegalan dan sawah tadah hujan
secara otomatis meningkatkan hasil produksi tanaman
yang ada di atasnya. Berdasarkan perhitungan
kasar yang dilakukan oleh petani sendiri, dengan
penanaman tanaman palawija diatas tanah seluas
1200 meter persegi tersebut, minimal dalam waktu
4 bulan keluarga petani tidak perlu menghawatirkan
bahan pangan pokoknya.

Tabel 2.
Jumlah produksi palawija di Desa Ngadisono dan Desa Lebak
Tahun 1998 dan 2004

Ngadisono Lebak
Produksi
Palawija (Ton)
1998 2004 1998 2004

Padi 73.5 322.5 84 382.4


Jagung 8.4 21 12.6 48
Ubi Kayu 580 2314 370 1928
Sumber : Kaliwiro dalam angka, 1998 dan 2004

Selain peningkatan dalam produk palawija seperti


yang tercantum pada Tabel 2, petani juga bisa
menanam tanaman lainnya seperti pisang, nanas dan
salak. Peningkatan kesejahteraan juga bisa dilihat dari
jumlah ternak yang dimiliki petani. Petani mengakui
dengan ditanaminya kawasan hutan dengan pohon
46

albasia maka petani mendapatkan kesempatan yang


besar untuk memberi makan kambing karena tidak
kesulitan untuk mencarikan makan untuk kambing
tersebut (daun albasia bisa langsung digunakan
sebagai pakan ternak terutama kambing, ed).

Pada Tabel 2 dapat dilihat jumlah ternak di kedua desa


pada tahun1998 (sebelum mendapatkan hak garap)
dan tahun 2004. Terdapat peningkatan signifikan
pada jumlah ternak kambing terutama di di Desa
Lebak. Idem juga dengan jumlah ayam dan angsa.
Sementara itu terjadi penurunan dalam kepemilikan
sapi dan kerbau terutama di Desa Ngadisono. Hal
ini sebagai akibat jenis makanan yang lebih banyak
tersedia hanya terbatas untuk kambing. Selain itu,
faktor lain yang menjadi alasan adalah berkurangnya
jumlah petani di Desa Ngadisono dengan laju yang
sangat cepat.

Dari tahun 1998 hingga 2004 telah terjadi perubahan


struktur mata pencaharian di kedua desa. Di Desa
Ngadisono terjadi konversi besar-besaran dari
penduduk yang awalnya menjadi petani menjadi
buruh bangunan, buruh industri, pekerja jasa
transportasi atau keluar daerah/keluar negeri untuk
menjadi TKI/TKW. Fenomena serupa juga terjadi di
Desa Lebak, karena kaum tani banyak yang berpindah
menjadi buruh di sektor industri. Namun demikian
Desa Lebak masih memiliki jumlah masyarakat yang
besar dan masih bertahan di desanya.
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
47

Tabel 3.
Jumlah ternak di Desa Ngadisono dan Desa Lebak
Tahun 1998 dan 2004

Ngadisono Lebak
Jumlah Ternak
(ekor)
1998 2004 1998 2004
Sapi 149 96 54 62

Kerbau 19 7 12 13

Kambing 964 968 554 828

Ayam 3903 5338 1898 2273

Itik 202 189 206 216

Angsa 7 47 6 115
Sumber : Kaliwiro dalam angka, 1998 dan 2004

Elemen kesejahteraan lainya yang bisa diperhatikan


adalah tingkat pendidikan masyarakat di kedua desa.
Dari tabel 4 dapat dilihat terjadinya peningkatan
akses terhadap pendidikan, meskipun yang masih
mendominasi adalah tamatan SD, namun terjadi
peningkatan yang signifikan terutama di tingkat
SMP. Dari sisi pendidikan, Desa Ngadisono memiliki
peningkatan yang sangat cepat bila dibandingkan
dengan Desa Lebak. Hal ini dimungkinkan karena
jarak dan tingkat pendapatan dari penduduk
Ngadisono yang terlihat lebih tinggi.

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya,


penduduk Ngadisono memiliki diversifikasi
mata pencaharian yang lebih banyak dan lebih
memungkinkan bisa mengakses uang cash yang lebih
banyak dibandingkan penduduk Desa Lebak.
48

Tabel 4.
Tingkat pendidikan di Desa Ngadisono dan Desa Lebak
Tahun 1998 dan 2005

Ngadisono Lebak
Tingkat Pendidikan
1998 2005 1998 2005

Tamat SD 1965 1904 570 602

Tamat SMP 93 449 44 79

Tamat SMA 104 292 33 31

Tamat PT 13 67 2 1

Sumber:Kaliwiro dalam angka, 1998 dan 2005

Persepsi Kesejahteraan Menurut Kaum Tani Desa


Ngadisono dan Lebak

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pengelolaan


hutan bersama masyarakat telah disepakati meliputi
luasan kawasan seluas 188 hektar dari Hutan
Resort Ngadisono. Namun dalam implementasinya,
kesepakatan ini masih belum jelas ujung dan
pangkalnya. Sehingga, para petani mengajukan usul
penggarapan kawasan hutan seluas 75 hektar yang
termasuk ke dalam Blok 11 C. Luasan kawasan
11 C inilah yang diangkap sebagai suatu progres
keberhasilan yang diklaim OTL Mandiri.

Penggarapan kawasan hutan blok 11 C telah melibatkan


sekitar 600 KK yang dari 5 dusun yang berasal dari dua
desa. Dusun tersebut dianataranya Dusun Ngadisono
desa Ngadisono, Dusun Payadan Desa Ngadisono,
Dusun Ngadiwongso Desa Ngadisono, Dusun
Bodoran Desa Lebak, dan Dusun Lebak Desa Lebak.
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
49

Secara singkat kita telah mengetahui karaketeristik


masyarakat di lima dusun di kedua desa tersebut
melalui pola ragam data dan observasi sepintas.
Selanjutnya, melalui penilaian persepsi masyarakat
tentang kesejahteraan maka dapat dilihat pula
indikator keberhasilan dari perjuangan kaum tani di
atas kawasan hutan seluas 75 hektar tersebut.

Hingga tahun 2005, sebagian besar petani yang


mendapatkan tanah hanya memiliki lahan milik
pribadi dengan jumlah luasan kurang dari 0.5 hektar.
Di Desa Ngadisono, jumlah keluarga yang memiliki
tanah hanya 870 KK dari total 1.316 KK, atau sekitar
66 persen. Berarti sisanya adalah keluarga tani yang
tidak memiliki lahan sama sekali. Sebagian besar
rumah tangga memiliki lahan kurang dari 0.1 hektar
(30%), lalu 0.11-0.2 hektar (20%), 0.21-0.3 hektar
(14%), 0.31-0.4 hektar (10%), 0.41-0.5 hektar (7%),
0.51-0.6 hektar (5%), lebih dari 1 hektar (5%), 0.61-
0.7 hektar (4%), 0.71-0.8 hektar (2%), 0.81-0.9 hektar
(2%), 0.91-1 hektar (1%)13.

Bagi anggota petani penerima garapan kawasan


hutan, luasan yang dimiliki bisa bervariasi mulai
dari 1.000 meter persegi hingga ada yang mencapai
sekitar 1 hektar. Lahan milik kaum tani yang terpisah
dari kawasan hutan sebagian besar berupa tegalan
atau kebun. Ada juga sebagian petani yang memiliki
sawah, namun dalam kegiatan pertaniannya sawah
tersebut hanya berfungsi dalam setengah tahun saja.
Sisanya, sawah tersebut berubah fungsi menjadi
tegalan mengingat kurangnya suplai air yang mampu
menutupi kebutuhan air tanaman. Letak lahan milik
kaum tani ini sebagian besar berbatasan langsung
50

dengan kawasan hutan yang dikelola Perhutani.

Luasan kawasan hutan yang diperoleh ketika OTL


mendapatkan hak penggarapan adalah 1.200 meter
persegi per KK. Namun, pada kenyataannya setelah
dua tahun penggarapan berjalan, terdapat transaksi
ilegal yang memindahtangankan surat izin penggara-
pan kawasan yang diberikan oleh Perhutani.

Surat izin penggarapan ini biasanya diperbaharui


setiap dua tahun sekali, dan setiap pergantiannya ini
dimanfaatkan bagi sejumlah oknum Perhutani dan
kaum tani untuk menambah luasan kawasan. Oleh
karenanya, saat ini terjadi perbedaan kepemilikan
kawasan yang dikelola bersama antara petani dan
Perhutani. Luasannya bervariasi mulai dari 1.200
meter persegi, 2.400 meter persegi dan juga 3.600
meter persegi. Banyak para petani yang sudah
mendapatkan surat izin penggarapan tanah malah
menjual kembali hak garap tersebut. Dari beberapa
kasus yang terjadi, setiap 1 bagian (1.200 meter
persegi) biasanya dijual dengan harga Rp 250.000.
Hal ini tentunya berpotensi menyebabkan polarisasi
hak garap kawasan hutan antara masyarakat yang
memiliki modal/uang dan yang tidak.

Dari sisi pendapatan, umumnya petani yang sudah


menggarap kawasan hutan mengalami peningkatan
yang cukup. Selain pohon albasia dan mahoni,
tanaman tumpang sari diantara kedua pohon utama
tadi juga berpengaruh penting bagi peningkatan
pendapatan kaum tani. Pada waktu kayu masih
berumur 1-2 tahunan, kawasan tersebut juga masih
bisa ditanami padi gogo. Sehingga pada awalnya,
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
51

produksi padi gogo meningkat dan mampu menambah


persediaan untuk menutupi kebutuhan makanan
keluarga tani. Seiring dengan semakin besarnya
pohon albasia, maka padi gogo semakin berkurang
dan tanaman tumpang sari berganti menjadi jagung,
pisang, ubi kayu, ubi, jahe dan cabe—namun dengan
jumlah yang terbatas. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin besar tanaman kayu baik itu milik petani
ataupun Perhutani, maka pemenuhan kebutuhan
pangan masyarakat menjadi semakin terancam.

Selain itu, pohon mahoni yang ditanam oleh Perhutani


secara tidak langsung dirasakan sebagai alat pengusir
bagi petani. Mahoni yang memiliki masa tebang 60
tahun lambat laun akan menaungi kawasan hutan
dan tidak memberikan kesempatan untuk tanaman
lainnya untuk ditanam di tempat yang sama. Hal ini
menjadi pemikiran kaum tani untuk bisa menyiasati
terutama dalam hal tanaman yang akan ditanam
pada periode selanjutnya (masa setelah pohon albasia
dipanen atau ditebang).

Setelah petani mendapat garapan kawasan hutan,


kemampuan petani dalam membeli dan memelihara
ternak juga semakin membaik. Hampir setiap keluarga
memiliki hewan ternak, terutama kambing. Biasanya
masing-masing keluarga memiliki minimal 2 ekor
kambing. Ada dua alasan penting mengapa kambing
yang selalu dipilih sebagai ternak andalan kaum
tani. Pertama, selain kemudahan pakan dari rumput
yang bisa ditemukan petani di dalam kawasan hutan,
kambing pun bisa mengkonsumsi daun dan dahan
albasia yang patah. Kedua, kotoran kambing bisa
dijadikan sebagai pupuk kandang yang sangat berguna
52

bagi petani untuk mengolah kawasan hutannya.


Juga dengan menggunakan pupuk kandang, petani
sekaligus bisa menghemat pengeluaran untuk usaha
taninya— dan terhindar dari pemakaian pupuk kimia
yang menguras kocek.

Foto Usaha Peternakan yang dilakukan warga

Irwandi, petani dari Kampung Ngadiwongso, mengaku


hasil produksi pertaniannya bisa meningkat dua
kali lipat. Sebelumnya ia menggarap lahan seluas
sekitar 1.500 meter persegi. Menurutnya, produksi
padi dan kacang di sawah bisa meningkat akibat
adanya perbaikan lingkungan di kawasan hutan,
meningkatnya suplai air dan meningkatnya akses
cahaya matahari yang dulu tertutupi oleh naungan
pohon pinus. Sementara itu pada garapannya di
kawasan hutan, ia bisa menanam jagung, ubi kayu,
pisang dan jahe. Ia menyebutkan bahwa apabila dulu
padi hasil sawahnya tidak mencukupi makan, tapi
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
53

sekarang padi tersebut mampu mencukupi makan


selama 1 musim (sekitar 6 bulan, ed), selain itu ia
menambahkan bahwa ia mampu meningkatkan
pendapatan sehari-harinya dari hasil penjualan nasi
leyek yang dihargai sekitar Rp 2.500 per kilogram.

Bagi Ismail, petani yang memiliki lahan pribadi seluas


1 hektar dan mendapatkan garapan kawasan hutan
seluas 2400 meter persegi, penambahan luas garapan
di kawasan hutan telah mampu meningkatakan rata-
rata pendapatan sebesar 1 juta untuk tiap tahunnya.
Begitu pula menurut Saryono, petani dari Dusun
Ngadisono, yang mendapatkan garapan di kawasan
hutan seluas 3.600 meter persegi. Menurutnya,
penambahan garapan di kawasan hutan mampu
meningkatkan pendapatan keluarga. Jika sebelumnya
ia hanya mendapatkan rata-ratanya Rp 5.000 per
harinya, kali ini ia mampu menghasilkan uang rata-
rata sekitar Rp 15.000 hingga Rp 20.000 per hari.

Pada tahun 2002-2004 terjadi peningkatan dalam


jumlah konsumsi sehari-hari (terutama konsumsi
selain pangan, ed). Pada jangka waktu tersebut, petani
juga bisa menanam beras dan hal ini berimbas pada
pengurangan beban keluarga untuk pengeluaran
konsumsi pangan, terutama beras. Pada tahun-tahun
berikutnya petani memang sudah tidak mampu
menanam beras kembali, namun pendapatan petani
tetap bisa dipertahankan oleh penanaman komoditas
selain padi gogo, meskipun sedikit banyak kedaulatan
pangan mereka terancam.

Selanjutnya berdasarkan informasi sekretariat OTL


Mandiri dapat diketahui bahwa ada pergeseran dari
54

konsumsi pangan dari sebagian besar keluarga petani.


Semula sebagian besar keluarga tani hanya mampu
mengkonsumsi nasi leyek dengan lalapan dan sambal,
kini mereka mampu makan nasi dengan tempe dan
tahu sebagai lauknya. Selain itu, pengeluaran untuk
kebutuhan sandang pun meningkat. Rata-rata
pengeluaran sandang kaum tani sekarang ini adalah
sekitar Rp 50.000 hingga Rp 70.000 per potongnya.
Konsumsi sandang bervariasi menurut umur, petani
yang berumur lebih dari 40 tahun bisanya membeli
sandang sebanyak 2 kali dalam satu tahunnya,
sementara yang berusia kurang dari 40 tahun bisa
mencapai 3 kali pembelian tiap tahun.

Selain itu, berdasarkan informasi dari pengajar


Sekolah Dasar setempat, setelah mendapatkan
garapan di kawasan hutan umumnya siswa mampu
menabung di sekolah. Walaupun belum terhitung
dengan rinci, hal ini menunjukkan adanya korelasi
positif antara luasan kawasan hutan yang digarap
kaum tani dengan tingkat tabungan anak-anaknya.

Meningkatnya pendapatan berimbas langsung pada


peningkatan tingkat pendidikan terutama bagi
anak-anak petani. Tarno, petani yang mendapatkan
luas garapan di kawasan hutan seluas 5.000 meter
persegi mengatakan bahwa dirinya kemudian mampu
menyekolahkan keempat anaknya hingga tingkat
SLTP. Saat ini anaknya yang bungsu berencana
untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTA.
Anggota OTL yang berasal dari Dusun Bododoran—
Zainuddin, mengatakan bahwa tingkat pendidikan
sudah relatif membaik, karena rata-rata anak petani
mampu menyelesaikan pendidikannya hingga tingkat
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
55

SLTP. Irwandi juga menyebutkan bahwa saat ini


banyak anak-anak terutama anak perempuan dari
Ngadiwongso yang bersekolah di tingkat SLTP, dan
orang tua mereka sudah mampu membelikan sepatu
dan memberikan uang saku sejumlah dua kali lipat
dari yang sebelumnya. Rata-rata uang saku yang
diberikan bisanya mencapai Rp 1.000 per harinya.
Informasi lainnya menujukkan bahwa kemampuan
dan kelancaran murid dalam membayar SPP dan
iuran wajib pesantren telah semakin meningkat.
Pembayaran bisa dilakukan sebelum jatuh tempo
dan juga rutin.

Selanjutnya, tingkat kesejahteraan dalam bidang


kesehatan dapat dilihat dari kemampuan petani dalam
hal mengakses sarana kesehatan. Tarno mengatakan
sebelum mendapatkan garapan di kawasan hutan, ia
hanya mampu menggunakan obat Jawa tradisional
untuk menyembuhkan penyakit yang dideritaya. Paling
tidak, mereka mampu menyembuhkan penyakitnya
dengan pergi ke dukun dan hanya menggunakan obat
warung biasa. Sementara itu, saat ini mereka sudah
bisa pergi atau membawa sanak keluarganya yang
sakit ke Puskesmas, mengingat keluarga tani sudah
memiliki tingkat pendapatan yang lumayan.

Sementara itu Ismail mengatakan bahwa petani


jauh lebih merasa aman saat ini. Dibandingkan
dulu pada saat hutan ditanami pinus dan digunduli,
petani sering merasa terancam karena intaian
bencana longsor dan banjir sewaktu-waktu. Namun
saat ini menurutnya kondisinya telah membaik,
hutan telah hijau kembali sehingga kondisi alam
bisa dikembalikan normal, dan mereka berharap
56

bencana longsor dan banjir dapat dihindarkan.

Lebih jauhnya, respon masyarakat terhadap keadaan


hasil buah perjuangan ini berbeda-beda. Berhubungan
dengan motivasi untuk bertani, komentar mereka
juga cukup bervariasi setiap desa dan tingkatan umur
petani. Irwandi dan Zainuddin petani berumur 70 dan
60 tahunan bertekad untuk terus bertani sepanjang
sisa hidupnya. Mereka mengaku motivasi untuk
bertani semakin bertambah seiring penambahan
garapan di kawasan hutan. Irwandi mengatakan
bahwa ia bahkan menyuruh anak-anaknya untuk
bertani di pekarangan. Zainuddin menyebutkan ia
ingin melanjutkan menanam kakao dan kapulaga bila
albasia yang ditanam sudah bisa dipanen/ditebang.
Umur kakao bisa mencapai 20-25 tahun dan pada
sekitar tahun keempat sudah bisa dipanen.

Namun, saat ini masih terdapat juga petani yang


merasa insentif pertanian di kampungnya memang
sangat tidak memadai apabila dibandingkan dengan
menjadi buruh kontrak di perkebunan sawit di
Sumatera. Penduduk yang sudah menjadi buruh di
sumatera selalu pulang dengan sukses dan berhasil
membangun rumah yang permanen dan lebih bagus
dibandingkan dengan penduduk lainnya. Sehingga
peran dari berbagai pihak diperlukan untuk lebih
meningkatkan motivasi petani dalam meneruskan
kehidupan taninya secara mandiri.

Kondisi ini juga berhubungan dengan persepsi para


kaum muda di 5 dusun tersebut. Di Dusun Ngadisono,
Payadan dan Bodoran, hampir 50 persen pemuda-
pemudi melakukan migrasi keluar kota untuk mencari
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
57

pekerjaan. Sebagian besar menjadi buruh perkebunan,


pembantu rumah tangga dan menajdi TKI/TKW.
Kalaupun tidak keluar, banyak pemuda-pemudi yang
bekerja menjadi buruh industri dan bekerja di sektor
transportasi dan jasa di Kabupaten Wonosbo. Berbeda
dengan ketiga dusun tadi, di dusun Ngadiwongso dan
Lebak, untungnya masih banyak pemuda yang mau
mencari mata pencaharian dengan bertani, selain itu
nilai plusnya adalah kaum perempuannya yang lebih
banyak terlibat dalam sektor pertanian.

Secara sosial, adanya peningkatan pendapatan


dari peningkatan jumlah panen pertanian telah
menciptakan kelas baru yang dikenal dengan istilah
bakul. Bakul (dalam Bahasa Jawa berarati pedagang
kecil di desa, ed) juga merupakan istilah lain dari
tengkulak. Bakul memiliki fungsi sebagai pengumpul
dan pembeli produk pertanian di tingkat desa dan
biasanya juga menjadi lembaga sosial yang mampu
memberikan pinjaman berupa uang cash yang bisa
dibayar oleh hasil panen yang akan datang.

Selain bakul, di Dusun Lebak terdapat lembaga sosial


lainnya yang mampu menutupi keperluan sosial,
misalnya jika terjadi bencana atau ada anggota
masyarakat yang segera memerlukan uang. Lembaga
sosial warisan kebudayaan luhur dan kearifan lokal
tersebut tak lain adalah lumbung padi. Lumbung ini
tentunya dikelola oleh anggota masyarakat langsung
di tingkat dusun-dusun. Saat ini, terdapat sekitar
2 ton gabah kering didalam lumbung padi kaum
tani tersebut. Untuk menjalankan lumbung padi
ini, setiap musim panen atau 6 bulan sekali, kaum
tani wajib menyisihkan sekitar 20 persen dari hasil
58

panennya untuk disimpan di lumbung padi. Simpanan


inilah yang digunakan sebagai cadangan untuk
mendapatkan bantuan uang, ataupun persiapan jika
terjadi bencana. Fungsi lain dari lumbung padi ini
juga sebagai penyedia benih bagi penanaman padi—
yang notabene adalah komoditas pertanian yang
sangat dibutuhkan di daerah ini. Ismail menyebutkan,
dengan lumbung padi ini, kaum tani akhirnya tidak
mengalami kesulitan dalam mendapatkan benih
padi.

Foto Lumbung Padi: Sumber pangan dan kelembagaan sosial desa

Semua petani mengakui adanya peningkatan status


sosial yang mereka dapatkan dalam kehidupan di
desanya. Sehingga jurang kesenjangan sosial yang ada
semakin berkurang pada saat ini. Meskipun secara
ekonomi, jelas pendapatan mereka tetap lebih kecil
apabila dibandingkan dengan petani pemilik lahan
yang besar. Namun dilihat dari aspek sosial dan politik
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
59

serta kehidupan sehari-hari di level desa, mereka


mendapatkan posisi yang tinggi di mata masyarakat
umum. Keterlibatan mereka dalam organisasi tani
menjadikan mereka lebih dihargai di mata masyarakat
desa. Mereka sering dilibatkan sebagai pengurus dan
aparat desa yang seringkali menentukan kebijakan-
kebijakan desa. Bisa dikatakan, kaum tani berperan
cukup penting dalam proses pengambilan keputusan
(decision making process). Selain itu, Irwandi malah
menyebutkan bahwa secara sosial para petani
penggarap di kawasan hutan sudah mampu menyamai
petani pemilik lahan yang luas, terutama dalam hal
pengeluaran biaya sosial seperti kendurian. Hal ini
terlihat jelas dari mulai setaranya jenis makanan
yang disuguhkan oleh tuan rumah yang mengadakan
kenduri, baik itu diadakan oleh petani penggarap di
kawasan hutan maupun petani pemilik lahan yang
luas.

Prestasi dan Pekerjaan Rumah bagi Organisasi Tani

Organisasi tani telah membawa perubahan dalam


kehidupan petani. Dengan berorganisasi petani
menjadi kuat secara politis. Para petani merasa
aman dalam melakukan penggarapan di kawasan
hutan. Selain itu dengan berkelompok, petani bisa
merencanakan pola penanaman bersama-sama.
Meskipun saat ini belum melakukan sistem pertanian
yang komunal. OTL Mandiri telah memberikan
dampak yang positif terhadap perjuangan masyarakat
tani, walaupun masih ada beberapa petani yang
mengeluhkan besarnya biaya berorganisasi.

Dalam memperjuangkan reforma agraria sejati, OTL


60

Mandiri melakukannya secara bertahap. Setelah


mendapatkan izin garapan di kawasan seluas 188
hektar, kaum tani melakukan penguatan organisasi
dan terus melakukan advokasi serta lobi politik
untuk mendapatkan kepastian mengenai waktu
dan mekasime penggarapan kawasan hutan di
Blok 11 C resort Ngadisono seluas 75 hektar.
Dalam perjalanannya, organisasi menghadapi
banyak kendala baik itu internal ataupun ekstermal.
Permasalahan internal terdapat pada kemampuan
anggota dalam mengelola kawasan hutan secara
maksimal. Selain itu, tingkat kesadaran petani akan
hak dan kewajibannya pun masih kurang. Faktor
internal lainnya yang menjadi kendala bagi majunya
organiasasi ini adalah kurang kompaknya petani
dalam penggarapan kawasan hutan, hingga akhirnya
menyebabkan kurang maksimalnya peningkatan
kehidupan ekonomi yang diraih dari penggarapan
kawasan hutan tersebut.

Selain itu, masalah keuangan organisasi masih


menjadi kendala karena saat ini organisasi masih
belum mempunyai sumber keuangan selain iuran
angggota yang seringkali macet. Iuran anggota
sebelumnya telah ditetapkan yaitu meliputi simpanan
pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela.
Simpanan pokok sebesar dua puluh lima ribu rupiah
(Rp 25.000) dapat dibayar lima kali dalam satu tahun,
sementara untuk simpanan wajib dibayar satu bulan
sekali sebesar seribu rupiah (Rp 1.000), dan simpanan
sukarelanya dibayar oleh setiap anggota setiap satu
kali hasil panenan.

Sementara itu kendala eksternal yang dihadapi


Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
61

adalah kemungkinan adanya intimidasi dari pihak


perhutani untuk menggangu aktivitas pertanian
masyarakat tani di hutan dan mengancam perjuangan
petani untuk tahapan selanjutnya. Beberapa kasus
pengorganisiran petani di KPH Kedu Selatan lainnya
disinyalir menjadi upaya Perhutani untuk mengatur
kebebasan petani dalam menanam, mengatur dan
menggarap kawasan hutan. Salah satunya yaitu kasus
pendataan dan pemberian kartu tanda anggota petani
hutan oleh Perhutani. Perjuangan OTL Ngadisono
masih belum usai. Oleh karena itu, strategi dan taktik
harus diperkuat guna menangkis semua tantangan
dan ancaman baik yang datang dari dalam organisasi
ataupun dari luar organisasi.

Beberapa pemikiran dan rencana kerja tengah


didiskusikan oleh kelompok saat ini. Para petani
masih merasa perjuangan masih harus diteruskan,
terutama dari segi pembenahan ekonomi OTL,
penataan produksi, rencana advokasi, dan penentuan
sharing profit yang akan disepakati serta rencana
perluasan dan advokasi penguasaan lahan untuk
petani. Hal ini perlu dilakukan karena meskipun telah
terjadi peningkatan yang cukup signifikan, namun
kenyataannya tingkat kesejahteraan petani masih
rendah. Sebagian besar petani masih mengeluhkan
beberapa kekurangan terutama dalam kehidupan
ekonominya.

Pemberian hak garap di hutan memang telah


memberikan peningkatan kesejahteraan hidup pada
para petani, namun itu bukan berarti petani sudah
sejahtera. Untuk menyimpulkan, terdapat beberapa
indikator yang menunjukkan belum tuntasnya
62

perjuangan kaum tani diantaranya :


1.Terjadinya penjualan kembali surat hak garap
kawasan hutan
2.Terancamnya kedaulatan pangan akibat
semakin tingginya tanaman hutan (mahoni,
albasia) terutama tanaman hutan milik
Perhutani
3.Terancamnya petani terusir dari kawasan
hutan akibat penanaman pohon mahoni milik
Perhutani yang memiliki umur tebang 60
tahun
4.Terancamnya petani oleh mekanisme PSDHLT
yang memiliki sistem bagi hasil usaha yang
berdasarkan kekuatan kapital.

Kondisi tersebut jelas menunjukkan masih jauhnya


perjuangan reforma agraria sejati dari kesuksesan.
Reforma agraria sejatinya tidak terhenti pada
perjuangan mendapatkan hak garap atau tanah
belaka, namun juga perjuangan untuk bisa
menata pola produksi dan pasca produksi setelah
mendapatkan tanah tersebut. Hanya melalui reforma
agraria sejati kaum tani yakin bahwa kemiskinan
akan benar-benar terhapus, keadilan sosial akan
tercapai dan ketimpangan atas akses sumber agraria
akan terhapuskan.
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
63

Reforma Agraria Sejati:


Perjuangan Mutlak Untuk
Keadilan Sosial

Reforma agraria sejati merupakan tujuan akhir dari


perjuangan rakyat tani. Oleh karena itu OTL Mandiri
tidak seharusnya berpuas diri pada titik keberhasilan
yang dicapai sekarang. Adanya rencana pemerintah
untuk membagikan 60 persen dari luasan 9.25 juta
hektar tanah (termasuk di dalamnya kawasan hutan)
kepada petani telah mendorong semangat OTL Mandiri
untuk memperjuangkan reforma agraria sejati—yang
berupa akses penguasaan dan pemilikan lahan. Hal
ini pula yang tengah diorganisasikan kaum tani, dan
sementara dengan menggunakan sistem penggarapan
kawasan hutan bersama Perhutani.

Rencana Kedepan

Terdapat beberapa agenda makro perjuangan kaum


tani dalam dinamika kegiatan OTL Mandiri. Agenda
tersebut meliputi: (1) Penguatan organisasi, terutama
untuk pendidikan dan pemberdayaan kaum tani;
dan (2) Agenda penataan ekonomi organisasi. Dalam
implementasinya, penataan ekonomi organisasi
saat ini berada dalam tahap realisasi di lapangan.
Dengan potensi penanaman albasia yang sangat
luas, organisasi telah menginisiasi pembentukan
koperasi produksi penggergajian kayu (sawmill, ed).
64

Selain bertujuan untuk meningkatkan semangat


berorganisasi dan mengikat persatuan di antara
anggota, koperasi ini juga bertujuan untuk
membangun kemandirian ekonomi organisasi.
Sehingga dalam menjalankan kegiatan-kegiatannya,
organisasi petani tidak harus didampingi oleh NGO
terus, apalagi tergantung secara finansial seperti
pengalaman selama ini. Dengan merebut produksi
dan melaksanakan penataan ekonomi berasaskan
ekonomi kerakyatan, maka diharapkan kemandirian
kaum tani bisa ditegakkan dalam kerangka organisasi
tani.

Agenda selanjutnya adalah perjuangan untuk


merebut kepemilikan dan selanjutnya memperjelas
hak penguasaan kawasan hutan yang sudah digarap.
Hingga saat ini, anggota kelompok sedang mencari
celah diplomasi untuk ‘menaikkan’ status menjadi
kepemilikan atas alas produksi kaum tani tersebut.

Sementara, dalam dinamikanya, perseteruan


kepentingan di internal FHW masih terus berjalan.
Melalui Mekanisme PSDHLT pun, petani masih
belum memiliki posisi yang cukup kuat untuk
mewujudkan reforma agraria sejati yang bertujuan
untuk mewujudkan prinsip “tanah untuk petani”
(land to the tiller).

Mekanisme pengelolaan kawasan hutan yang ada di


atas tanah negara selama ini masih tetap bias pada
kepentingan segelintir tangan penguasa modal. Secara
prinsipil, ketiga mekanisme pengelolaan hutan yang
telah ataupun akan direkomendasikan (PSDHBM,
PHBM maupun PSDHLT) masih memiliki fondasi
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
65

yang sama. Secara tegas, fondasi ketiga mekanisme


tersebut masih bertentangan dengan prinsip reforma
agraria sejati dalam domain (pelaku), prinsip dan
mekanisme pelaksanaannya.

Persamaan dari ketiga model pengelolaan hutan


dapat dilihat dari subjek yang dilibatkan—yang
masih melibatkan kepentingan pemodal yang berasal
dari pihak swasta serta pelaku bisnis dalam proses
penggarapan kawasan hutan. Memang dalam
PSDHBM dan PSDHLT tidak tertulis secara formal
mengenai keterlibatan pihak swasta ini, namun
demikian terdapat celah dalam implementasi
dan kebijakan hukumnya yang memungkinkan
masuknya sektor swasta—dan celah ini berpotensi
besar tidak bisa dikendalikan hingga tetap berakibat
meminggirkan kepentingan rakyat. Hal ini bisa juga
terlihat pada pasal 32 dalam Peraturan Daerah yang
mengatur tentang PSDHBM.

Persaman yang kedua adalah masalah prinsip


penguasaan kawasan hutan yang sudah dibuka. Ketiga
bentuk pengelolaan pada prisipnya hanya memberikan
hak parsial kepada kaum tani dan masyarakat hutan
yang tinggal di sekitar hutan tersebut (hak garap
atau hak pakai). Tidak ada jaminan ataupun itikad
dari pemerintah untuk membagikan penguasaan,
pemilikan dan kebebasan penggunaan kawasan hutan
yang sudah terbuka tersebut. Penguasaan, pemilikan
dan penggunaan lahan merupakan tiga hal yang tidak
terpisahkan yang menjadi parameter berhasilnya
reforma agraria sejati. Apa yang didapat oleh petani
dari ketiga model pengelolaan diatas hanya berupa
hak garap saja tanpa menjamin hak kepemilikan dan
66

kebebasan penggunaan lahan oleh petani sendiri.

Persamaan yang ketiga dalam hal mekanisme


pelaksanaannya. Dalam perumusan kontrak ketiga
macam sistem pengelolaan tersebut seringkali
petani dalam posisi yang lemah akibat proporsi suara
yang sedikit. Akibatnya, dalam kontrak petani tetap
menjadi pihak yang termarginalkan dan berpotensi
dieksploitasi. Sebagai contoh, masalah keamanan
baik itu dari bencana, kebakaran ataupun penjarahan
sepenuhnya menjadi tanggung jawab petani.

Selain itu dalam penentuan tanaman, petani


penggarap tidak bisa leluasa untuk menanami
kawasan hutan garapannya sesuai dengan apa yang
dikehendakinya. Hal ini jelas bertentangan dengan
prinsip-prinsip yang diusulkan kaum tani sebagai
kedaulatan pangan, yakni hak menentukan sendiri
produksi dan konsumsi pertanian sendiri, yang
didasarkan kebutuhan sosial, ekonomi, politik dan
budaya kaum tani di daerah tersebut. Juga masih
terdapat intervensi dari pihak lain (terutama pihak
yang berkepentingan: Pemerintah Daerah, Perhutani,
swasta) terhadap peningkatan profit dalam hal
jenis tanaman yang dibudidayakan. Masalah akses
sumber agraria lainnya pun tidak dibahas, misalnya
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam
kawasan hutan tersebut. Dan oleh karenanya, petani
masih mengalami kesulitan dalam menggarap karena
terkadang dihadang keterbatasan-keterbatasan,
terutama masalah air.

Oleh karenanya, perjuangan untuk mewujudkan


reforma agraria sejati—untuk mendapatkan
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
67

hak penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah


yang adil—adalah merupakan tugas yang sangat
berat. Reforma agraria sejati mustahil terwujud
apabila rakyat tani hanya berpuas diri dengan sistem
pengelolaan hutan ini saja.

Sementara itu, agenda perencanaan dan penataan


sistem produksi saat ini tengah digodok. OTL Mandiri
berencana untuk mengubah tanaman utama setelah
masa albasia habis. Hal ini juga mengingat ancaman
tidak langsung dari pihak Perhutani—yang telah
mananam pohon Mahoni pada kawasan hutan yang
dikelola bersama. Jika petani terus menanami dengan
albasia maka hanya akan memungkinkan untuk 3-
4 kali penanaman saja di masa depan, mengingat
mahoni akan semakin membesar dan menghambat
cahaya matahari bagi tumbuhan di bawahnya. Untuk
itu, inisiasi untuk menanaminya dengan komoditas
lain sedang dalam pembahasan hingga saat ini.

Epilog

Perjuangan yang dilakukan oleh OTL Mandiri, di


Kabupaten Wonosobo bukanlah perjuangan yang
sudah berakhir. Mendapatkan hak garap sudah
membawa peningkatan taraf hidup bagi rakyat tani,
maka reforma agraria sejatilah yang jelas-jelas akan
memberikan kesejahteraan dan keadilan sosial yang
jauh lebih besar dari yang sudah dicapai saat ini.
Reforma agraria sejati sebagai cita-cita kaum tani
merupakan tujuan akhir dari perjuangan saat ini—
baik itu di level lokal, nasional dan bahkan global.
Reforma agraria sejati merupakan satu-satunya jalan
untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh
68

rakyat Indonesia melalui proses pembebasan dari


eksploitasi kekuatan ekonomi-politik besar dan
penindasan kekuasaan politik kelas yang dominan.

Reforma agraria sejati dipercaya untuk merombak


struktur sosial masyarakat yang masih penuh
ketidakadilan saat ini. Reforma agraria sejati
nantinya akan menciptakan tatanan masyarakat
yang adil sejahtera dengan basis pertanian yang kuat
(yang sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia
yang merupakan negara agraris) dengan menjamin
perlindungan penguasaan lahan dan sumber-sumber
agraria lainnya seperti air, benih, teknologi, energi,
modal dan pasar oleh rakyat pada umumnya, dan
kaum tani pada khususnya.

Dari kasus OTL Mandiri dapat ditarik kesimpulan


bahwa penguasaan lahan yang sangat minim telah
berakibat fatal pada kemiskinan rakyat di pedesaan.
Di sisi sosial budaya dan kearifan lokal, kemiskinan
sebagai wujud cobaan dan derita mungkin bisa
membuat manusia semakin kuat dan tegar. Tapi di
sisi lain, kemiskinan yang terjadi bukan datang begitu
saja dari langit. Ini adalah proses yang struktural,
proses yang sistematis, yang dilakukan segelintir
pihak belaka untuk mengekalkan penindasan
terhadap rakyat keci. Untuk itu selain diperlukan
gerakan sosial yang kuat dari rakyat sendiri, negara
juga sebagai pelindung rakyat wajib menghentikan
proses pemiskinan itu dan mulai memberikan
“kail” pada rakyatnya untuk bisa bertahan dan
membangun negeri. Dari pemaparan OTL Mandiri
ini kita bisa melihat bahwa kaum tani bukanlah
kaum yang malas, yang tak mau bekerja. Bahkan
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
69

tanpa diberikan privilese pun, kaum tani bergerak


maju merebut hak-haknya, berproduksi, bahkan
mulai menata perekonomiannya secara mandiri.

Dengan mendapatkan izin penggarapan seluas 1200


meter persegi per KK saja, kesejahteraan petani
sudah bisa meningkat. Selain itu, kualitas lingkungan
menjadi lebih baik dan mampu memberikan daya
dukung yang maksimal terhadap area sekitarnya. Hal
ini merupakan bukti bahwa akses petani terhadap
lahan merupakan salah satu cara yang tepat dalam
pengentasan kemiskinan dan pelestarian lingkungan.
Namun harus disadari bahwa apa yang dicapai
sekarang pun memang belumlah cukup. Perjuangan
yang dilakukan OTL Mandiri ini merupakan awal
yang harus menjadi pemacu untuk menuntaskan
perjuangan yang sesungguhnya, yaitu perjuangan
reforma agraria sejati.

Cita-cita kaum tani adalah adanya perombakan,


pembaruan, pemulihan, dan penataan dalam
struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan
sumber-sumber agraria. Selanjutnya, jika dan
hanya jika struktur penguasaan, pemilikan dan
penggunaan sumber-sumber agraria ini diatur secara
adil maka kedaulatan pangan dan keadilan sosial
akan tercapai. Struktur penguasaan, pemilikan
dan penggunaan sumber agraria yang berkeadilan
sosial mengandung nilai-nilai dan prinsip, seperti14:

1.Tidak adanya konsentrasi kepemilikan dan


penguasaan agraria pada segelintir orang saja
2.Tidak adanya monopoli dalam produksi dan
distribusi produksi
70

3.Adanya jaminan terhadap hukum, terutama


penguasaan dan kepemilikan sumber agraria
bagi kaum tani, buruh, nelayan, masyarakat
adat, dan rakyat kecil secara umum
4.Adanya jaminan bahwa usaha-usaha yang
dilakukan dalam lapangan agraria haruslah
memajukan kemakmuran dan martabat
manusia.

Tanah merupakan faktor utama yang bisa mengangkat


kaum tani dari keterpurukan, yang sudah dimulai
sejak jaman feodal hingga sekarang. Namun
demikian, tanah bukanlah satu-satunya syarat yang
harus dipenuhi. Sumber-sumber agraria lainnya juga
menjadi syarat bagi terwujudnya kesejahteraan dan
keadilan sosial.

Akses terhadap air dan kelestarian lingkungan,


infrastruktur, teknologi, energi, benih, permodalan dan
pemasaran menjadi unsur dari pelaksanaan reforma
agraria sejati. Ilustrasinya sebagai berikut: Adalah
tidak mungkin sesorang yang sudah mendapatkan
kail akan memperoleh ikan apabila ikan, umpan,
sungai dan airnya tidak ada. Artinya seseorang
yang sudah memiliki tanah ada kemungkinan akan
melepaskan lahan yang sudah dimilikinya apabila
kondisinya tidak mendukung untuk melakukan
kegiatan produksi, dan seterusnya.

Belajar dari pengalaman diplomasi OTL mandiri, satu


hal yang pasti bahwa negara harus mencabut segala
peraturan dan perundangan yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip reforma agraria sejati.
Sudah secara jelas reforma agraria sejati mandat
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
71

dari pasal 27 ayat 2 dan pasal 33 ayat 3 UUD 1945.


Bahwa rakyat berhak mendapatkan penghidupan
yang layak dan rakyat pada hakikatnya merupakan
pemilik sejati dari bumi, air dan kekayaan alam
Indonesia. Selain UUD 1945, Pancasila terutama sila
kelima dan UUPA tahun 1960 merupakan landasan
hukum yang tinggi sebagai legitimasi hukum dari apa
yang diperjuangkan oleh rakyat tani.

Yang harus benar-benar ditekankan untuk tercapainya


reforma agraria sejati adalah adanya pemenuhan
terhadap syarat-syarat reforma agraria sejati yaitu
Pertama, adanya kemauan politik pemerintah. Kedua,
data yang lengkap dan teliti. Ketiga, organisasi rakyat
yang kuat. Keempat, elite penguasa yang terpisah dari
elite bisnis. Kelima, dari atas sampai ke bawah harus
memahami, minimal pengetahuan elementer tentang
agraria. Dan keenam, didukung militer (dan polisi)15.

Berdasarkan syarat-syarat tersebut, kaum tani dan


FSPI sebagai organisasi rakyat tani bertanggungjawab
untuk memperkuat perjuangan yang sedang
dilakukan sekarang ini. Terdapat beberapa hal yang
sudah, sedang dan harus dilakukan oleh rakyat tani
dan organisasi tani untuk mencapai reforma agraria
sejati, diantaranya :

1.Membangun Organisasi Massa Tani yang


Kuat melalui pendidikan rakyat tani
2.Perjuangan menuju “tanah untuk petani”
3.Alih teknologi untuk kepentingan petani
4.Permodalan mandiri
5.Membangun pasar domestik
72

Perjuangan reforma agraria sejati adalah perjuangan


yang sangat berat dan akan terus berlangsung.
Perjuangan jangan sampai berhenti di satu titik hanya
ketika seberkas keberhasilan telah tercapai. Terus
rebut, pertahankan, dan ciptakan tatanan baru yang
berkeadilan sosial untuk kesejahteraan rakyat!

_________________________________________________________________________________________
1 Data diperoleh dari kompilasi Data BPS tahun 2003 dan dari tulisan Elisha Kartini Samon
(2007) yang berjudul “Peningkatan harga minyak goreng di Indonesia: Analisis singkat
faktor penyebab dan solusi”
2 Ngabidin, 2007
3 Data monografi Desa Ngadisono, 2006
4 Data monografi Desa Lebak, 2006
5 Ibid
6 Monografi Desa Ngadisono, 2006
7 Ibid
8 Ngabidin, 2007
9 Monografi Desa Ngadisono, 2006
10 Ngabidin, 2007
11 Konstitusi OTL Mandiri
12 Perjalanan panjang PSDBHM, 2005
13 Monogrsfi Desa Ngadisono, 2006
14 Catatan Akhir tahun FSPI, 2006
15 Gunawan Wiradi, 2004
Tanah Untuk Penggarap
Perjuangan Reforma Agraria di Kawasan Hutan Resort Ngadisono,
Wonosobo, Jawa Tengah
73

Referensi

1. Pandangan Dan Sikap Federasi Serikat Petani


Indonesia (FSPI) No: 007/12/FSPI/2006
2. Konstitusi OTL Mandiri, Wonosobo
3. Makalah Bupati Kuningan: Pelaksanaan PHBM di
Kabupaten Kuningan, Oktober 2003
4. Anonim. 1998. Kaliwiro dalam Angka. Biro Pusat
Statistik. Wonosobo
5. Anonim. 2005. Kaliwiro dalam Angka. Badan Pusat
Statistik.Wonosobo
6. Anonim. 2005. Sejarah Panjang Perjalanan Proses
Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Kabupaten
Wonosobo
7. Anonim, 2006. Monografi Desa Ngadisono.
Sekretariat Desa Ngadisono. Ngadisono-Wonosobo
8. Anonim, 2006. Monografi Desa Lebak. Ngadisono-
Wonosobo
9. Anonim, 2006. Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Lestari. Pemda Wonosobo
10. Arif, K.H.A.2006. Inisiatif Kerja Multipihak Dalam
Kelembagaan CBFM. Wonosobo.
11. Ngabidin. 2007. Draft Buku Pergerakan
Petani Serikat Petani Kedu Banyumas. SEPKUBA:
Wonosobo
12. Samon, K. 2007. Peningkatan Harga Minyak
Goreng di Indonesia : Analisis Singkat Faktor Penyebab
dan Solusi. FSPI : Jakarta (Draft Makalah)
13. Wiradi, G. 2004. Reforma Agraria untuk Pemula.
Bina Desa. Jakarta
Akronim

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah


FSPI : Federasi Serikat Petani Indonesia
JKPM : Jaringan Kerja Pendamping
Masyarakat
FHW : Forum Hutan Wonosobo
JKPM : Jaringan Kerja Pesantren dan
Masyarakat
KPPN : Komisi Pelestarian Plasma Nutfah
KPML : Konsorsium untuk Pembangunan
Masyarakat dan Lingkungan
KPH : Kawasan Pengelolaan Hutan
KTH : Kelompok Tani Hutan
NGO : Non Goverment Organization
(Organisasi Non Pemerintah)
OTL : Organisasi Tani Lokal
PHBM : Pengelolaan Hutan Bersama
Masyarakat
Perhutani : Perusahaan Hutan Indonesia
PNS : Pegawai Negeri Sipil
PSDHBM : Pengelolaan sumber daya hutan
bersama dengan masyarakat
PSDHLT : Pengelolaan Sumber Daya Hutan
Lestari dan Terpadu
MDH : Masyarakat Desa Hutan
SD : Sekolah Dasar
SEPKUBA : Serikat Petani Kedu Banyumas
SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
SP JATENG : Serikat Petani Jawa Tengah
TKI : Tenaga Kerja Indonesia
TKW : Tenaga Kerja Wanita
Cita-cita kaum tani dan rakyat, yakni pembaruan agraria, bukanlah
barang baru. Pembaruan agraria telah tertuang sebagai cita-cita dari
kemerdekaan nasional serta konstitusi RI dengan tujuan kesejahteraan,
keadilan, kebahagian dan kemakmuran rakyat. Sehingga kemudian pada
perkembangannya diwujudkanlah cita-cita ini dalam UUPA 1960, terma-
suk beberapa program nasionalisasi terhadap kekayaan alam dan sumber
agraria lainnya yang selama masa kolonialis dikuasai oleh penjajah.

Namun perkembangan ekonomi-politik di negeri ini tetap saja mengikuti


jalur historisnya sebagai jalan panjang kolonialisme. Hingga sekarang,
praktek dan kebijakan neoliberalisme kembali menelanjangi kedaulatan
rakyat. Sebut saja prakteknya: pasar tanah, privatisasi air, pengebirian
hak asasi manusia, kebijakan perkebunan, penggusuran, pendidikan
mahal dan kesehatan susah. Juga bisa kita lihat dari berbagai UU yang
disahkan pemerintah, mulai dari UU Penanaman Modal Asing, Perkebu-
nan, Kehutanan, Migas, Sumber Daya Air, hingga yang terakhir Penana-
man Modal, memperlihatkan bagaimana kekuasaan saat ini begitu berpi-
hak kepada segelintir pemodal dan penguasa.

Namun terbukti perjuangan rakyat tak pernah surut. Buku yang Anda
pegang sekarang adalah salah satu dari tiga buku dokumentasi dan anali-
sis kritis mengenai perjuangan mewujudkan pembaruan agraria. Ketiga
buku ini sendiri mencerminkan pengalaman kaum tani anggota Federasi
Serikat Petani Indonesia (FSPI) dari sudut pandang internal di tiga lokasi:
Bukit Kijang (Asahan, Sumatera Utara), Kawasan Hutan Resort Ngadisono
(Wonosobo, Jawa Tengah) dan Suka Maju (Tanjung Jabung Timur, Jambi).
Sepak terjang perjuangan kaum tani yang selama ini tak tercatat, akhirnya
bisa terukir dengan tinta emas dalam sejarah!

Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI)


Jl Mampang Prapatan XIV No. 5
Jakarta 12790 Indonesia
Tel:+62 21 7991890, Fax: +62 21 7993426
Email: fspi@fspi.or.id
Website: www.fspi.or.id

Anda mungkin juga menyukai