Anda di halaman 1dari 20

PEREMPUAN & REFORMA AGRARIA

RINA SAADAH, Lc., M.Si


Ketua Umum DPP Pemuda Tani HKTI
Komisaris Independen BRI Agro
Pengurus KADIN Indonesia 2021 - 2026

Sekolah Kader KOPRI (SKK) VII


Pengurus Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri
Cabang Kota Malang
Jumat, 12 November 2021.
KILAS BALIK
Berdasarkan ketentuan yang dinyatakan empat ayat dalam Pasal 1 UUPA, maka dirumuskan lima
jenis sumber-sumber agraria :
1. Tanah atau permukaan bumi yang merupakan modal alami utama bagi kegiatan pertanian dan
peternakan.
2. Perairan baik berupa sungai, danau atau laut yang merupakan modal alami utama bagi kegiatan
perikanan, baik perikanan budidaya atau tangkap.
3. Hutan yang berarti kesatuan flora dan fauna dalam suatu wilayah di luar kategori tanah pertanian
yang merupakan modal alami utama bagi komunitas-komunitas perhutanan yang hidup dari
pemanfaatan hasil hutan menurut kearifan tradisional.
4. Bahan tambang yang mencakup beragam bahan mineral seperti emas, bijih besi, timah, tembaga,
minyak, gas, intan, batu-batu mulia, fosfat, pasir, batu, dan lain-lain.
5. Udara yang mencakup bukan saja “ruang di atas bumi dan air”, tetapi juga materi udara itu sendiri
yang arti pentingnya terasa semakin besar di tengah perubahan iklim global belakangan ini.
UUPA sendiri menegaskan bahwa sumber-sumber agraria yang berada di wilayah kedaulatan
Republik Indonesia adalah “karunia Tuhan Yang Maha Esa” dan merupakan “kekayaan nasional” (Pasal 1
ayat 2). Dengan kata lain, sumber-sumber agraria mengandung bobot religiusitas dan kebangsaan yang
kental sehingga pengertiannya tidak dapat direduksi sebatas pada nilai ekonominya semata.
Relasi Sosio Agraria
Relasi-relasi sosial di antara subjek-subjek agraria (komunitas, pemerintah,
swasta) — dalam kaitan dengan relasi teknis masing-masing dengan
sumber-sumber agraria—pada dasarnya berkisar pada empat proses :
1. Penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria;
2. Penggunaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria;
3. Pembagian kerja dan relasi produksi yang berlangsung di dalamnya; dan
4. Penciptaan surplus dari ketiga proses tersebut beserta dinamika
akumulasi, ekspansi dan distribusinya.
Dalam konteks inilah, peran perempuan sangat penting dalam sejarah
Agraria di Indonesia, namun jarang disebut bahkan pembangunan agraria
itu sendiri bias gender.
Relasi Sosial Agraria dan Konstruksi Persoalan Agraria
HAK PEREMPUAN DALAM REFORMA AGRARIA
Tujuan reforma agraria adalah untuk menyejahterakan rakyat Indonesia
seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria. Pasal 9 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 1960 telah
memandatkan bahwa “Tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki
maupun wanita, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh
sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik
bagi diri sendiri maupun keluarganya.”

Faktanya, data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2018 menunjukan


tanah yang dimiliki oleh perempuan hanya 15,88 % dari 44 juta bidang.
Begitu juga dengan hasil riset Solidaritas Perempuan tahun 2019, hanya
sejumlah 24,2% bukti kepemilikan tanah yang atas nama perempuan.
Pemicu Ketimpangan Baru
1. Makin kuatnya cengkeraman oligarki  UU Minerba dan UU Ciptaker. Misalnya,
Perubahan UU No 19/2013 ttg Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Pasal 15
2. Pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk
memenuhi kebutuhan pangan nasional  DIHAPUS
3. Pengaturan impor komoditas pertanian  DIHAPUS
4. Dibukanya keran impor kontradiktif dengan cita-cita Reforma Agraria dan
kedaulatan pangan
5. Alih fungsi lahan pertanian dalam UU Ciptaker
6. Pasal 19 (2): Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis
nasional, lahan budi daya pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
7. Dampak: Perampasan tanah-tanah petani utk PSN, sudah mulai terjadi. Pasal ini
akan semakin memperkuat konversi dan pengambilalihan lahan petani
8. Pengadaan tanah untuk PSN juga bisa dilakukan oleh badan usaha
PEREMPUAN DALAM KONFLIK AGRARIA
Perempuan tani terlibat aktif dalam gerakan tani dari masa ke masa. Terlihat dari aksi-
aksi organisasi massa tani baik lokal maupun nasional dalam setiap konflik pertanahan
antara pengusaha dgn rakyat maupun negara dngn rakyat. Perempuan (tani) juga
memberikan kontribusi yg besar dalam perebutan tata kuasa lahan dalam setiap konflik
pertanahan.

Dengan kebijakan agraria yg dihasilkan dari orientasi ekonomi dan politik pemerintah
dari pasca kolonial hingga kini, tidaklah mengherankan jika konflik agraria struktural
terus berlangsung hingga kini. Konflik agraria struktural dilestarikan oleh tidak adanya
koreksi atas putusan-putusan pejabat publik (Presiden-DPR RI, Menteri KLHK, Menteri
ATR/Kepala BPN, Menteri ESDM, Gubrenur dan Bupati dll) yg memasukkan tanah,
sumber daya alam dan wilayah hidup rakyat ke dalam konsesi Badan Usaha (raksasa)
untuk produksi, ekstraksi maupun konversi.
Sepanjang tahun 2020, KPA mencatat terjadi 241 letusan konflik agraria di 359
kampung/desa, melibatkan 135.337 KK di atas tanah seluas 624.272,711 hektar.
Dibanding tahun 2019 sebanyak 279 konflik, turun hanya 14 %. Penurunan ini tidak
signifikan, mengingat negara kita tengah berada dalam pertumbuhan ekonomi yang
menurun drastis ditengah pandemi. Sebagai perbandingan, pada kuartal April-
September tahun 2019 perekonomian kita mencatat pertumbuhan sebesar 5,01 persen,
dan konflik agraria pada periode tersebut 133 letusan konflik. Sementara pada periode
yang sama tahun 2020, di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai
minus 4,4%, justru konflik agraria mencapai 138 kejadian. Ternyata, meskipun krisis
pandemi berlangsung, investasi dan kegiatan bisnis berbasis agraria tetap bekerja secara
masif & represif
Contoh Kasus
Konflik agraria yg terjadi pd perempuan petani Takalar (Sulawesi Selatan) dengan PTPN
XIV, perempuan pesisir dengan Proyek Strategi Nasional Makassar New Port, dan
perempuan adat Pubabu yang berhadapan dengan Pemerintah Provinsi NTT dan masih
banyak lagi. Hal tersebut menunjukkan bahwa konflik agraria berkontribusi pada
menguatnya kekerasan dan ketidakadilan gender.

Lebih lanjut, beberapa pelanggaran hak perempuan dalam konflik agraria seperti adanya
diskriminasi dalam hak akses atas informasi; dikecualikan dalam konsultasi dan
pengambilan keputusan; tidak ada analisis gender terutama kerentanan perempuan
dalam penyusunan dokumen terkait; serta perempuan menanggung lebih berat dan
mendalam dari akibat konflik yang terjadi.
REALITAS KONFLIK AGRARIA

Pemidanaan petani, Pengabaian


Wilayah konflik
KUHP untuk
komunitas dan perspektif
masyarakat adat agraria meredakan konflik masyarakat

Penggunaan hukum pidana


problematik disini, karena dalam
pengunaan dan pe(nyalah)gunaan Dalam banyak wilayah dimana Penggunaan pasal-pasal pidana konteks konflik agraria,
dari hukum pidana untuk terjadi konflik agraria, seringkali juga seringkali digunakan masyarakat lokal seringkali
menghukum petani,komunitas hukum pidana digunakan untuk terhadap masyarakat lokal, petani merupakan korban yang tanahnya
lokal dan komunitas tradisional bentuk-bentuk perbuatan yang dan aktivis agraria untuk menekan digusur secara paksa, tetapi
atau masyarakat adat di Indonesia. sebelumnya bukan merupakan konflik dan memberikan efek jera kemudian mereka dihukum untuk
perbuatan pidana. pada masyarakat lokal sehingga perbuatan-perbuatan yang
tidak melanjutkan konflik. diterapkan sebagai akibat
penerapan aturan-aturan yang
tidak memihak masyarakat lokal.
REFLEKSI TENTANG KRIMINALISASI PETANI

Peningkatan
populasi, Over- Kelangkaan
Konflik
kebijakan eksploitasi SDA

Kelangkaan SDA (overeksploitasi, kerusakan alam dan lingkungan, kebijakan yang tidak tepat) --> peningkatan angka konflik sumber daya alam,
meningkatnya populasi, berkurangnya akses thd SDA --> kejadian-kejadian yang yang berkaitan dengan perebutan sumber daya alam, penangkapan petani,
demonstrasi petani, gugatan masyarakat adat

Konflik atas sumber daya alam, merupakan salah satu jenis konflik yang kronis dan mengancam negara-negara dunia menjadi negara gagal apabila tidak
dapat mengatasinya
PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM AGENDA
REFORMA AGRARIA
Perempuan mempunyai peran signifikan dalam pengelolaan tanah & sumber agraria,
mulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan hingga panen. Sayangnya, peran
produktif perempuan belum sepenuhnya diakui & diperhitungkan, sistem hukum &
budaya patriarki yang berlaku menyebabkan perempuan masih mengalami diskriminasi
& terpinggirkan dalam hal kepemilikan & penguasaan tanah.

Padahal dalam UUPA No. 5 tahun 1960 & TAP MPR No IX tahun 2001 tentang
Pembaruan Agraria & Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang menjamin prinsip keadilan
termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan,
dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam. Ironisnya reforma agraria yg
dicanangkan belum mampu membongkar politik agraria yang patriaki yg selama ini
meminggirkan kaum perempuan.
Perempuan seringkali memiliki keterbatasan dalam pengambilan keputusan atas kontrol
penggunaan lahan serta hasilnya. Hak perempuan atas tanah yg masih diatur oleh sistem
hukum formal & hukum adat menjadi salah satu penyebabnya. Ada tiga argumen kuat yg
menjadi alasan perempuan harus memiliki hak atas tanah dan properti :
1. argumen kesejahteraan;
2. argumen kesetaraan dan pemberdayaan; dan
3. argumen praktik dan strategis berbasis gender.
Contoh, kepemilikan tanah di Sumatera Selatan, dimana laki-laki memiliki kendali atas 84%
lahan yg tersedia sedangkan perempuan hanya menguasai 16%. Adapun alasan dibalik kondisi
ini adalah terbatasnya akses perempuan terhadap informasi, akses & partisipasi dalam proses
pengambilan keputusan, fasilitas & saluran untuk keluhan serta mekanisme pelaporan &
terbatasnya akses perlindungan hak perempuan.
Kesenjangan gender ini menyebabkan perempuan kehilangan haknya atas beberapa akses,
diantaranya: akses pendidikan, dimana persentase penduduk perempuan usia 15 tahun ke
atas yang tidak atau belum pernah sekolah adalah 8,06%, sedangkan laki-laki sejumlah 3,72%
(data susenas 2015).
REFORMA AGRARIA DAN UU PERTANAHAN
YANG ADIL GENDER
Pengalihan fungsi lahan berdampak pada hilangnya kedaulatan perempuan atas sumber-sumber kehidupan,
hilangnya hak ekonomi, sosial, & budaya yg terkandung di dalam tanah yang selama ini mereka kelola. Hal ini juga
berdampak pada beban kerja perempuan, karena peran gendernya yang selama ini memastikan ketersediaan
makanan dalam keluarga, namun sejak pengalihan fungsi lahan perempuan tidak dapat lagi mengakses lahan
pertaniannya. Selain itu, pengalihan fungsi lahan yang dilakukan oleh pemerintah sering kali menuai konflik yang
mana menempatkan perempuan dan anak sebagai korban. Perempuan dan anak kehilangan rasa amannya dan
terpaksa terjebak dalam konflik sosial atau konflik agraria yang melibatkan intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi
serta trauma yang mendalam.
Konflik agraria berdampak pemiskinan secara massal karena dipaksa untuk keluar dari tanah miliknya yang dikuasai
secara turun temurun sebagai sumber penghidupan. Padahal UUPA 1960 yang merupakan payung hukum (Lex
Generalis) bagi pengelolaan kekayaan agraria yg diacu dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi “bumi dan air
dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.
Prinsip UUPA adalah menempatkan tanah untuk kesejahteraan rakyat dan mengatur pembatasan penguasaan tanah,
kesempatan sama bagi setiap warga negara baik laki – laki maupun perempuan untuk memperoleh hak atas tanah,
pengakuan hukum adat, serta warga negara asing tak punya hak milik. Untuk itu dibutuhkan suatu kebijakan nasional
untuk mewujudkan hal tersebut, salah satunya melalui reforma agraria yang bertujuan agar terbangunnya struktur
masyarakat yang lebih berkeadilan.
Artinya baik UUPA 1960, TAP MPR RI No IX tahun 2001 tentan Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan SDA sampai dengan Perpres 86 tahun 2018
tentang Reforma Agraria sebenarnya sudah bagus. Persolan terbesarnya
ada pada pelaksanaannya. Ada banyak konflik kepentingan—KKN disektor
ini yang melibatkan eksekutif-legislatif-yudikatif-pebisnis hitam. Sehingga
sulit untuk berjalan maksimal. Itulah “OLIGARKI”.
PROGRES POLITIK REFORMA AGRARIA JOKOWI
Tahun 2017 - 2019 -- PTSL 28 juta bidang tanah di seluruh wilayah Indonesia terdaftar
1) Target 2017: 5 juta bidang tanah dengan output Peta Bidang Tanah atau PBT serta
Sertipikat Hak Atas Tanah atau SHAT.
2) Tahun 2020 Realisasi PTSL 86,2 persen

Target utama pelaksanaan PTSL adalah menghasilkan desa/kelurahan serta


kota/kabupaten lengkap. Capaian 2020:
• 284 desa dari 11 Provinsi yang diusulkan menjadi desa/kelurahan lengkap dengan
validasi buku tanah
Capaian Program Perhutanan Sosial sebagai bagian
Program Reforma Agraria - Joko Widodo 2014 - 2020

Objek TORA Perhutanan Sosial Kerangka Hukum PS dan UU CiptaKerja


1) Skema inventarisasi dan verifikasi (Inver) PerMen LHK 83/2016 ttg Perhutanan Sosial UU 11/2020 memberi kemudahan TORA
melalui Penyelesaian Penguasaan Tanah
(skema Hutan Adat,Hutan Desa,Hutan melalui penataan kawasan hutan (Pasal 129
dalam Kawasan Hutan (PPTKH), dan
2) Skema Non Inver melalui pelepasan Kemasyarakatan,Hutan Tanaman Rakyat, ayat (1),dilaksanakan dalam rangka
kawasan Hutan Produksi yang dapat dan Kemitraan Kehutanan) Pengukuhan Kawasan Hutan.
Konversi (HPK) tidak produktif.

Total Luas PS hingga 2020:


Perbandingan pemberian hak pemanfaatan
4.4 juta hektar
hutan melalui PS
M asyarakat,1,75 Luas Capaian PS (dalam
juta ha,4%
hektar)
Tahun 2020,
600000,17%

Tahun 2018,
1300000,
37%
Swasta, 40,96 juta Tahun 2019,
ha,96% 1600000,
46%

Swasta, 40,96 juta ha M asyarakat,1,75 juta ha


Tahun 2018 Tahun 2019 Tahun 2020
PERBAIKAN – DIMULAI DARI MANA
1. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor, dst 
FAKTANYA? –muncul aturan baru yang merusak
2. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan mempertahankan
kepemilikan tanah untuk rakyat  FAKTANYA?
3. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang
timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang
guna menjamin terlaksananya penegakkan hukum --> FAKTANYA?
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai