Dengan kebijakan agraria yg dihasilkan dari orientasi ekonomi dan politik pemerintah
dari pasca kolonial hingga kini, tidaklah mengherankan jika konflik agraria struktural
terus berlangsung hingga kini. Konflik agraria struktural dilestarikan oleh tidak adanya
koreksi atas putusan-putusan pejabat publik (Presiden-DPR RI, Menteri KLHK, Menteri
ATR/Kepala BPN, Menteri ESDM, Gubrenur dan Bupati dll) yg memasukkan tanah,
sumber daya alam dan wilayah hidup rakyat ke dalam konsesi Badan Usaha (raksasa)
untuk produksi, ekstraksi maupun konversi.
Sepanjang tahun 2020, KPA mencatat terjadi 241 letusan konflik agraria di 359
kampung/desa, melibatkan 135.337 KK di atas tanah seluas 624.272,711 hektar.
Dibanding tahun 2019 sebanyak 279 konflik, turun hanya 14 %. Penurunan ini tidak
signifikan, mengingat negara kita tengah berada dalam pertumbuhan ekonomi yang
menurun drastis ditengah pandemi. Sebagai perbandingan, pada kuartal April-
September tahun 2019 perekonomian kita mencatat pertumbuhan sebesar 5,01 persen,
dan konflik agraria pada periode tersebut 133 letusan konflik. Sementara pada periode
yang sama tahun 2020, di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai
minus 4,4%, justru konflik agraria mencapai 138 kejadian. Ternyata, meskipun krisis
pandemi berlangsung, investasi dan kegiatan bisnis berbasis agraria tetap bekerja secara
masif & represif
Contoh Kasus
Konflik agraria yg terjadi pd perempuan petani Takalar (Sulawesi Selatan) dengan PTPN
XIV, perempuan pesisir dengan Proyek Strategi Nasional Makassar New Port, dan
perempuan adat Pubabu yang berhadapan dengan Pemerintah Provinsi NTT dan masih
banyak lagi. Hal tersebut menunjukkan bahwa konflik agraria berkontribusi pada
menguatnya kekerasan dan ketidakadilan gender.
Lebih lanjut, beberapa pelanggaran hak perempuan dalam konflik agraria seperti adanya
diskriminasi dalam hak akses atas informasi; dikecualikan dalam konsultasi dan
pengambilan keputusan; tidak ada analisis gender terutama kerentanan perempuan
dalam penyusunan dokumen terkait; serta perempuan menanggung lebih berat dan
mendalam dari akibat konflik yang terjadi.
REALITAS KONFLIK AGRARIA
Peningkatan
populasi, Over- Kelangkaan
Konflik
kebijakan eksploitasi SDA
Kelangkaan SDA (overeksploitasi, kerusakan alam dan lingkungan, kebijakan yang tidak tepat) --> peningkatan angka konflik sumber daya alam,
meningkatnya populasi, berkurangnya akses thd SDA --> kejadian-kejadian yang yang berkaitan dengan perebutan sumber daya alam, penangkapan petani,
demonstrasi petani, gugatan masyarakat adat
Konflik atas sumber daya alam, merupakan salah satu jenis konflik yang kronis dan mengancam negara-negara dunia menjadi negara gagal apabila tidak
dapat mengatasinya
PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM AGENDA
REFORMA AGRARIA
Perempuan mempunyai peran signifikan dalam pengelolaan tanah & sumber agraria,
mulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan hingga panen. Sayangnya, peran
produktif perempuan belum sepenuhnya diakui & diperhitungkan, sistem hukum &
budaya patriarki yang berlaku menyebabkan perempuan masih mengalami diskriminasi
& terpinggirkan dalam hal kepemilikan & penguasaan tanah.
Padahal dalam UUPA No. 5 tahun 1960 & TAP MPR No IX tahun 2001 tentang
Pembaruan Agraria & Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang menjamin prinsip keadilan
termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan,
dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam. Ironisnya reforma agraria yg
dicanangkan belum mampu membongkar politik agraria yang patriaki yg selama ini
meminggirkan kaum perempuan.
Perempuan seringkali memiliki keterbatasan dalam pengambilan keputusan atas kontrol
penggunaan lahan serta hasilnya. Hak perempuan atas tanah yg masih diatur oleh sistem
hukum formal & hukum adat menjadi salah satu penyebabnya. Ada tiga argumen kuat yg
menjadi alasan perempuan harus memiliki hak atas tanah dan properti :
1. argumen kesejahteraan;
2. argumen kesetaraan dan pemberdayaan; dan
3. argumen praktik dan strategis berbasis gender.
Contoh, kepemilikan tanah di Sumatera Selatan, dimana laki-laki memiliki kendali atas 84%
lahan yg tersedia sedangkan perempuan hanya menguasai 16%. Adapun alasan dibalik kondisi
ini adalah terbatasnya akses perempuan terhadap informasi, akses & partisipasi dalam proses
pengambilan keputusan, fasilitas & saluran untuk keluhan serta mekanisme pelaporan &
terbatasnya akses perlindungan hak perempuan.
Kesenjangan gender ini menyebabkan perempuan kehilangan haknya atas beberapa akses,
diantaranya: akses pendidikan, dimana persentase penduduk perempuan usia 15 tahun ke
atas yang tidak atau belum pernah sekolah adalah 8,06%, sedangkan laki-laki sejumlah 3,72%
(data susenas 2015).
REFORMA AGRARIA DAN UU PERTANAHAN
YANG ADIL GENDER
Pengalihan fungsi lahan berdampak pada hilangnya kedaulatan perempuan atas sumber-sumber kehidupan,
hilangnya hak ekonomi, sosial, & budaya yg terkandung di dalam tanah yang selama ini mereka kelola. Hal ini juga
berdampak pada beban kerja perempuan, karena peran gendernya yang selama ini memastikan ketersediaan
makanan dalam keluarga, namun sejak pengalihan fungsi lahan perempuan tidak dapat lagi mengakses lahan
pertaniannya. Selain itu, pengalihan fungsi lahan yang dilakukan oleh pemerintah sering kali menuai konflik yang
mana menempatkan perempuan dan anak sebagai korban. Perempuan dan anak kehilangan rasa amannya dan
terpaksa terjebak dalam konflik sosial atau konflik agraria yang melibatkan intimidasi, kekerasan dan kriminalisasi
serta trauma yang mendalam.
Konflik agraria berdampak pemiskinan secara massal karena dipaksa untuk keluar dari tanah miliknya yang dikuasai
secara turun temurun sebagai sumber penghidupan. Padahal UUPA 1960 yang merupakan payung hukum (Lex
Generalis) bagi pengelolaan kekayaan agraria yg diacu dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi “bumi dan air
dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.
Prinsip UUPA adalah menempatkan tanah untuk kesejahteraan rakyat dan mengatur pembatasan penguasaan tanah,
kesempatan sama bagi setiap warga negara baik laki – laki maupun perempuan untuk memperoleh hak atas tanah,
pengakuan hukum adat, serta warga negara asing tak punya hak milik. Untuk itu dibutuhkan suatu kebijakan nasional
untuk mewujudkan hal tersebut, salah satunya melalui reforma agraria yang bertujuan agar terbangunnya struktur
masyarakat yang lebih berkeadilan.
Artinya baik UUPA 1960, TAP MPR RI No IX tahun 2001 tentan Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan SDA sampai dengan Perpres 86 tahun 2018
tentang Reforma Agraria sebenarnya sudah bagus. Persolan terbesarnya
ada pada pelaksanaannya. Ada banyak konflik kepentingan—KKN disektor
ini yang melibatkan eksekutif-legislatif-yudikatif-pebisnis hitam. Sehingga
sulit untuk berjalan maksimal. Itulah “OLIGARKI”.
PROGRES POLITIK REFORMA AGRARIA JOKOWI
Tahun 2017 - 2019 -- PTSL 28 juta bidang tanah di seluruh wilayah Indonesia terdaftar
1) Target 2017: 5 juta bidang tanah dengan output Peta Bidang Tanah atau PBT serta
Sertipikat Hak Atas Tanah atau SHAT.
2) Tahun 2020 Realisasi PTSL 86,2 persen
Tahun 2018,
1300000,
37%
Swasta, 40,96 juta Tahun 2019,
ha,96% 1600000,
46%