Anda di halaman 1dari 18

KONFLIK AGRARIA DI INDONESIA: CATATAN REFLEKTIF KONFLIK

PERKEBUNAN SAWIT DI KOTAWARINGIN TIMUR1

AGRARIAN CONFLICT IN INDONESIA: A REFLECTION OF PALM


OIL PLANTATION CONFLICT IN EAST KOTAWARINGIN

Imam Syafi’i
Pusat Penelitian Politik (P2P)-LIPI
imamsyafii.sej07@gmail.com

Abstrak
Tulisan ini menjelaskan bahwa permasalahan konflik agraria di sektor perkebunan di Kabupaten Kotawaringin
Timur merepresentasikan buruknya sistem tata kelola SDA di Indonesia. Berbagai permasalahan yang diakibatkan
oleh tumpang tindih kewenangan dan kebijakan dari level pusat hingga daerah menyebabkan munculnya berbagai
pelanggaran hukum seperti pemalsuan dokumen, kriminalisasi, pengrusakan fasilitas. Sementara, negara cenderung
memberikan fasilitas yang memudahkan laju ekspansi perusahaan perkebunan sawit yang ekstraktif. Hal ini
kemudian mempercepat laju kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan dan marginalisasi kelompok masyarakat
adat. Namun demikian, pascarezim otoritarian, munculnya FKKTDM-KT yang diinisiasi oleh DAD memperlihatkan
bahwa institusi berbasis komunitas adat mulai memiliki peran dan posisi di dalam tata kelola sumber daya alam di
wilayah mereka. Keberadaan FKKTDM-KT yang diperkuat melalui Peraturan Daerah baik di level provinsi maupun
kabupaten tidak hanya memperkuat posisi mereka secara kultural juga posisi politik mereka. Hal ini dapat dikatakan
sebagai bagian dari respon mereka untuk membangun strategi menghadapi perusahaan besar dan atau negara
termasuk di dalamnya upaya-upaya penyelesaian konflik di sektor perkebunan.
Kata kunci: tata kelola sda, konflik perkebunan sawit, dan Masyarakat Adat
Abstract
This paper explains that the problem of agrarian conflict in the plantation sector in East Kotawaringin Regency
represents poor natural resource management in Indonesia. Various problems caused by overlapping authority and
policy from central to local level lead to numerous law violation, document forgery, criminalization, and facilities
destruction. Meanwhile, the state tends to provide privilege for the palm oil plantation company to expand its
capital. This might accelerate environmental damage because of land conversion and marginalization of local
community. However, after the authoritarian regime, the emergence of FKKTDM-KT initiated by DAD shows that
traditional community-based institutions is beginning to have a role and position in the management of natural
resources in their territories. The existence of FKKTDM-KT reinforced through better regulation (Peraturan
Daerah) at provincial and regency level not only strengthens their position culturally, but also politically. It can be
considered as part of their response to develop strategies to cope with companies or government including efforts to
resolve the conflict in the plantation sector.
Keyword: natural resources management, palm oil plantation conflict, local community

Pendahuluan asimetris yang melibatkan aktor negara dan


korporasi, yang dihadapkan secara langsung
Mendiskusikan pola-pola pemilikan,
dengan masyarakat. Pada banyak kasus, kehadiran
penguasaan, pemanfaatan dan pengelolan sumber
negara justru dipraktikkan ke dalam sebuah situasi
daya alam (SDA) melalui pendekatan ekonomi
relasional yang mendukung dan mengakomodasi
politik memperlihatkan kecenderungan hubungan1
kepentingan korporasi melalui rezim perizinan

1
Tulisan ini merupakan pengembangan dari (P2P)-LIPI. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
hasil penelitian Penyelesaian Konflik Agraria di Sektor Irine H. Gayatri, S.Sos, M.A. sebagai koordinator tim
Perkebunan Sawit di Kotawaringin Timur Kalimantan serta seluruh anggota tim penelitian konflik sumber
Tengah yang didanai oleh Pusat Penelitian Politik daya alam (SDA) di P2P-LIPI.

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 415


yang cenderung meminggirkan eksistensi komunitas/ semakin melegitimasi secara hukum masuknya
masyarakat. investasi asing untuk melakukan aktivitas
pertambangan di Indonesia. Sementara, Undang-
Praktik ini kemudian menghasilkan sistem
Undang No. 5 tahun 1967 tentang Kehutanan
monopolistik yang dilakukan oleh Negara baik di
merupakan hukum induk yang mengatur unifikasi
level pusat maupun daerah, yang
hukum nasional kehutanan yang mengatur
merepresentasikan warisan lama dari sistem
kegiatan di bidang kehutanan termasuk aktivitas
kolonial. Sistem yang monopolistik ini selalu
pertambangan (bahan ekspor) yang berada di
berkembang dan cenderung dipertahankan
wilayah hutan Indonesia (Pasal 2 ayat 1 tentang
terutama pada rezim otoritarian orde baru. SDA
Hutan Negara; Pasal 3 ayat 2 tentang Hutan
diposisikan sebagai basis industri komoditas yang
Produksi untuk pembangunan, industri dan
“lucrative crops” seperti perkebunan dan
ekspor). Dengan kata lain, ketiga Undang-undang
pertambangan yang dianggap sebagai jalan keluar
ini dapat dikatakan sebagai upaya pemerintahan
untuk mengeluarkan masyarakat dari kemiskinan
Soeharto membuka pintu masuk selebar-lebarnya
karena industri perkebunan dianggap memiliki
untuk melakukan eksploitasi pertambangan oleh
nilai ekonomi yang tinggi dan mampu menyerap
perusahaan-perusahaan asing.
banyak tenaga kerja (Colchestester, dkk., 2006:11-
29; Tadjoeddin, 2007: 11). Di sisi yang lain, pola- Jamal (2002) menyebutkan bahwa di era
pola indutsri ini bersifat desktruktif karena rezim Orde Baru, Soeharto tidak memiliki
pengelolaan yang buruk justru memunculkan perhatian yang lebih terhadap substansi masalah
masalah baru yang saling berkelindan seperti agraria. Bahwa kebijakan agraria di era ini
hilangnya hak atas tanah dan pendapatan, seringkali mengabaikan semangat reforma agraria
kerusakan lingkungan, dan marjinalisasi yang terkandung di dalam UUPA No. 5 Tahun
masyarakat lokal memunculkan konflik yang 1960. Sekalipun Soeharto menetapkan catur tertib
melibatkan korporasi dan masyarakat (Tadjoeddin, pertanahan (tertib hukum pertanahan, tertib
2007: 29). administrasi, tertib penggunaan tanah dan tertib
pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup) namun
Di dalam prinsip “lucrative crops”
praktik-praktik di lapangan tidak sepenuhnnya
pembangunan nasional ala rezim otoritarian orde
berhasil karena mengabaikan kepentingan masyarakat
baru ditandai dengan diterbitkannya tiga (3)
demi kepentingan pribadi dan kelompok
Undang-Undang sejak tahun 1967 (Undang-
perusahaan besar. Dalam konteks ini, peran negara
Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman
sangat dominan melalui sistem birokratik otoritarian
Modal Asing, Undang-Undang No. 5 tahun 1967
yang sentralistik yang mengecilkan eksistensi
tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, Undang-
daerah kecuali sebagai perpanjangan tangan
Undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan
pemerintah pusat (Nordholt dan Klinken, 2007:
Pokok Pertambangan) menjadi ciri khas pembangunan
15).
ekonomi yang didasarkan atas dominasi kuat
rezim militer dengan mengizinkan para kelompok Pasca rezim otoritarian, semangat desentralisasi
kapital melakukan upaya-upaya eksploitatif SDA menentukan format hubungan pemerintah pusat dan
dengan mengabaikan realitas kelompok-kelompok daerah di dalam pengelolaan sumber daya alam.
masyarakat yang lain. Ketiga Undang-undang ini Namun demikian, semangat desentralisasi untuk
memiliki keterkaitan yang kuat untuk mendukung memberikan kesempatan lebih luas bagi daerah
keinginan Pemerintahan Soeharto mencapai tujuan memiliki arti pemindahan kewenangan pusat
ekonominya. Dalam Undang-Undang No. 1 tahun kepada daerah secara sempit sangat terlihat
1967 tentang Penanaman Modal Asing (Pasal 6 berbasis elit. Desentralisasi tidak dibangun dalam
Ayat 1), aktivitas pertambangan tidak disebutkan realitas masyarakat daerah dengan permasalahan-
dari salah satu bidang yang dianggap sebagai permasalahan mendasar yakni pengakuan,
bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak. kesetaraan, keadilan dalam bingkai kemajemukan
Dengan kata lain, pertambangan bukan bidang dan kesejahteraan bersama. Hasilnya, desentralisasi
yang tertutup untuk investasi asing. Hal ini hanya menjadi kendaraan elit menguasai segala
didukung oleh Undang-Undang No. 11 tahunn sumber daya alam lokal. Pada perkembangannya
1967 tentang Pertambangan (Pasal 10 ayat 3) yang permasalahan-permasalahan desentralisasi, demokratisasi

416 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016


dan globalisasi diwarnai persaingan antara aktor- modal merespon dengan melakukan represif baik
aktor politik nasional dan aktor lokal terutama di melalui jalur hukum maupun upaya represif yang
dalam perebutan SDA. Partisipasi masyarakat di lain. Eskalasi konflik semakin terbuka yang
tingkat lokal justru dibajak oleh predator lokal melibatkan lebih banyak aktor baik dari
yang justru melanggengkan eksploitasi SDA pemerintah, perusahaan, aparat dan masyarakat.
dengan cara-cara lama (Hadiz, 2010: 40, 49, 69). Konflik tidak hanya menyebabkan kerugian
materi, kerusakan, korban jiwa dan kekerasan
Situasi ini pada akhirnya menjadi salah
yang berlangsung masif. Konflik agraria pada
satu sumber utama konflik SDA yang seringkali
akhirnya memiliki dimensi yang sangat luas baik
disebut sebagai konflik agraria. Dalam tulisan ini,
secara politik, ekonomi, dan sosial-kultur. Oleh
penulis selanjutnya menggunakan istilah konflik
karenanya, penyelesaian konflik juga harus
agraria dikarenakan secara akademik maupun
berangkat dari prasyarat pemahaman terhadap
praktik (hukum) lebih banyak digunakan di dalam
berbagai dimensi-dimensi itu.
berbagai literatur yang merepresentasikan kompleksitas
fenomena konflik yang bersumber dari masalah- Salah satu kasus yang dapat memberikan
masalah agraria sebagaimana definisi agraria di gambaran yang jelas seperti yang diulas di dalam
dalam UUPA No. 5 1960. latar belakang di atas adalah konflik agraria di
sektor perkebunan sawit. Konflik ini melibatkan
Konflik agraria terjadi di hampir seluruh
korporasi dan masyarakat dengan banyak dimensi
wilayah Indonesia terutama sejak runtuhnya rezim
sosial, ekonomi, politik dan lingkungan yang
otoritarian tahun 1998. Semangat desentralisasi
bersumber pada permasalahan penguasaan lahan
pada praktiknya tidak cukup untuk mengakomodasi
oleh korporasi (Colchester, dkk, 2006; Cifor, 2016).
tuntutan (akses) pengelolaan dan pemanfaatan
SDA oleh setiap warga negara. Kontestasi antar Palupi, dkk (2014), di dalam penelitiannya
aktor tidak hanya memunculkan tumpang tindih yang telah diterbitkan dengan judul, Industri
kewenangan antar pemerintah pusat dengan Perkebunan Kelapa Sawit dan Hak Asasi
pemerintah daerah, dan antar instansi pemerintah Manusia: Potret Pelaksanaan Tanggungjawab
dalam bentuk saling silang peraturan pengelolaan Pemerintah dan Korporasi terhadap Hak Asasi
SDA. Saling silang ini karena setiap instansi Manusia di Kalimantan Tengah menyoroti tentang
mempertahankan ego sektoral sehingga makna pelanggaran korporoasi besar perkebunan di dalam
sumber daya alam diartikan secara sempit. mengabaikan hak-hak masyarakat seperti perampasan
Peraturan perundangan-undangan yang dibuat lahan dan kerusakan lingkungan yang membuat
inkonsistensi baik secara horizontal (setara) masyarakat tidak dapat memanfaatkan potensi
maupun vertikal (di atas dan di bawahnya) di hutan dan lahan gambut sehingga mengurangi
dalam pengelolaan sumber daya yang oleh BPN kualitas hidup mereka. Selain itu, tulisan ini juga
disebut sebagai jungle of regulation (Mulyani, memperlihatkan sejauh mana korporasi mengabaikan
2014: 43). hak-hak buruh perkebunan seperti jaminan
kesehatan, sistem pengupahan, jam kerja dan
Kontestasi aktor, perubahan struktur sosial
jaminan kecelakaan kerja (Palupi, 2014: 35-85).
masyarakat dan inkonsistensi peraturan perundang-
undangan menjadi bagian dari faktor yang Astarya (2015), di dalam penelitian
memunculkan tren konflik agraria semakin meningkat. Tesisnya tentang konflik perkebunan di Kabupaten
Pasca orde baru, masyarakat menerjemahkan Landak Kalimantan Barat, memperlihatkan bahwa
partisipasi mereka dengan upaya “reclaiming” konflik terjadi dikarenakan perusahaan tidak
untuk meminta kembali hak atas tanah mereka melaksanakan tanggungjawab membangun perkebunan
yang sebelumnya telah dirampas oleh negara dan rakyat sebagai bagian dari hak yang harus diberikan
atau pemilik modal. Malik, dkk (2003:197-203) kepada masyarakat setempat. Ketidakmampuan negara
menyebutkan rezim Orde Baru yang menumpukan di dalam mengawal pelaksanaan kewajiban-
kemajuan ekonomi negara dari usaha perkebunan kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan
dan pertambangan, memenuhi kebutuhan lahan kemudian membuat konflik ini terus berlangsung
yang luas bersumber dari legalisasi perampasan tanpa ada kejelasan penyelesaiannya.
tanah masyarakat oleh negara. Negara dan pemilik

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 417


Laporan TUK Indonesia, WALHI dan dan secara bersamaan mereka masih tergantung
ELSAM dalam siaran pers 6 November 2016, dengan pola pertanian yang subsisten.
menyebutkan bahwa permasalahan konflik yang
Liberalisasi ekonomi di Indonesia (masa
melibatkan perusahaan perkebunan kelapa sawit
awal terbatas di Jawa dan Sumatera) semakin
meliputi konflik lahan, degradasi lingkungan,
intensif setelah diterbitkannya sebuah undang-
konflik dalam skema kemitraan, dan konflik
undang kolonial yang disebut sebagai Agrarische
perburuhan. Menurut laporan ini, tata kelola
Wet (AW) pada tahun 1870. Undang-Undang ini
perkebunan sawit yang buruk mengakibatkan
menjadi pintu masuk terhadap eksploitasi sumber
penegakan hukum yang lemah dan tidak berpihak
daya alam oleh kelompok-kelompok kapital dan
kepada masyarakat sehingga banyak perusahaan
melatar-belakangi kebijakan lanjutan yang dikenal
perkebunan mengabaikan tanggungjawab sosial
sebagai cultuurstelsel (kerja paksa) yang meluas
dan tanggungjawab lingkungan.
ke daerah lainnya seperti Sumbawa, Bali, Lombok
Salah satu konflik agraria di sektor dan sebagian wilayah Sulawesi dan Kalimantan
perkebunan sawit yang terjadi di Indonesia adalah (Kano, 1997: 36).
konflik perkebunan yang melibatkan masyarakat
Sebelum dikeluarkannya AW, Pemerintah
dan perusahaan perkebunan di Kabupaten
Kolonial terlebih dahulu menerapkan peraturan
Kotawaringin Timur. Studi kasus yang terjadi di
yang disebut Regerings Reglement (RR) tahun
wilayah ini penting untuk dielaborasi sehingga
1854 untuk mengundang para perusahaan-
memberikan gambaran yang lebih variatif tentang
perusahaan Eropa menanamkan modalnya di Jawa.
kompleksitas konflik di sektor perkebunan.
Anggelino (dalam Rajagukguk, 2007: 6) menyebutkan
Berangkat dari studi kasus di Kabupaten
bahwa dalam peraturan ini, Gubernur Jenderal
Kotawaringin Timur, tulisan ini memperlihatkan
dapat menyewakan tanah selama kurang lebih 20
konflik yang melibatkan masyarakat adat Dayak
yang tidak dapat diperjual-belikan kecuali tanah
dan Perusahan perkebunan seperti PT. Bangkit
kecil untuk perluasan kota atau desa (Pasal 62).
Giat Usaha Mandiri (PT. BUM), PT. Windu
Sementara itu, Harsono (2008: 35-36) menyebutkan
Nabatindo Sejahtera (PT. WNS), dan PT. Bumi
bahwa RR yang dimuat dalam Algemeene
Sawit Kencana (PT. BSK). Konflik ini tidak lepas
Maatregel van Bestuur (AMVB) menjadi awal
dari permasalahan penguasaan lahan oleh perusahaan
dibukanya kembali kesempatan para perusahaan
yang mengabaikan realitas lokal sehingga konflik
besar menyewa tanah dari pemerintah kolonial
tidak dapat dihindarkan.
namun tidak serta merta memberikan kesempatan
yang lebih besar dikarenakan jangka waktu 20
Praktik Penguasaan Sumber Daya Alam di
tahun tidak mencukupi untuk pengusahaan tanaman
Sektor Perkebunan: Perspektif Historis
keras yang memerlukan waktu lebih lama. Selain
Permasalahan agraria pada hakikatnya itu, jangka waktu 20 tahun tidak cukup bagi
telah berlangsung sangat lama. Secara historis, perusahaan besar mendapatkan kredit dengan
dapat dilacak sejak era kolonial melalui penerapan jaminan hypotheek.
prinsip-prinsip liberal di dalam pengelolaan
Dikeluarkannya RR ini pada awalnya
sumber daya alam. Breman (1986:7-9) menyebut
ditolak baik oleh kelompok liberal maupun
bahwa sistem ini dibangun dengan memanfaatkan
konservatif di parlemen Belanda. Ketentuan-
pranata tradisional yang ada (masyarakat Jawa).
ketentuan di dalam RR masih banyak yang
Para elit setempat dijadikan sebagai perantara
tumpang tindih antara kerja paksa, sewa tanah, tol,
yang menghubungkan Pemerintah Kolonial
hutan serta penyewaan tanah oleh Pemerintah
dengan para petani penggarap untuk meningkatkan
Kolonial dan penyewaan tanah dari pribumi. Pada
produktivitas ekonomi. Sistem ini memosisikan
pasal 57 disebutkan mengharuskan pemerintah
para elit memiliki hak-hak istimewa, sementara
meregulasikan kerja paksa namun pada pasal 71
petani semakin terjepit dengan berbagai
mencegah campur tangan di dalam kehidupan
kewajiban-kewajiban (pajak) yang harus dipenuhi.
desa, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan jika
Selain itu, sistem ini telah menciptakan ekonomi
sistem tanam paksa diterapkan (Furnivall, 2009:
dualistik karena masyarakat dipaksa untuk
170).
menanam tanaman ekspor (commercial agriculture)

418 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016


Baik AW maupun RR, telah memosisikan sempat hilang oleh sistem Daendels maupun
Pemerintah Kolonial semakin leluasa menguasai Raffles. Hak-hak istimewa mereka dipulihkan
tanah-tanah di Jawa seperti tanah-tanah yang kembali dan menjadi bagian penting upaya eksploitasi
terlantar dan tidak dipakai (woeste gronden) serta tanah jajahan. Kolaborasi antara Negara Kolonial,
tanah yang tidak memiliki kepemilikan pribadi elit lokal dan kelompok kapital menciptakan
(eigendom). Melalui Undang-undang ini juga, distribusi kesejahteraan hanya mengalir kepada
Pemerintah Kolonial mengeluarkan ijin kepada mereka namun tidak kepada masyarakat petani
perusahaan-perusahaan untuk menyewa tanah yang selalu terancam kelaparan (Zanden, dkk.,
dengan sistem erpachtrecht selama 75 tahun 2012: 97-101).
(Rachman, 2012: 15). Namun demikian, AW tidak
Di awal kemerdekaan, upaya untuk
cukup mengakomodasi kepentingan perusahaan-
melakukan dekonstruksi pengelolaan dan pemanfaatan
perusahaan Eropa mengeksploitasi tanah-tanah di
sumber daya alam oleh Presiden Soekarno melalui
Jawa. Pemerintah masih mengalami kesulitan
penerbitan Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil
dalam mengeluarkan ijin sewa karena masih
(UUPBH No. 2 tahun 1960) dan Undang-Undang
bersifat dualistis yakni mengakomodasi hukum
Pokok Agraria (UUPA No. 5 tahun 1960).
barat dan hukum adat (tanah ulayat).
Menurut Soemardjan (1984: 106-107) prinsip
Pemerintah Kolonial kemudian mengeluarkan dasar yang terkandung di dalam UUPA No. 5
peraturan pelaksanaan yakni Agrarische Besluit Tahun 1960. Pertama, Tanah pertanian seharusnya
(AB) tahun 1870 (staatblad 1870 no 118) yang ditujukan untuk petani penggarap. Kedua, Hak
memungkinkan semua tanah yang tidak dapat utama atas tanah, misalnya hak milik pribadi
dibuktikan sebagai hak eigendom statusnya adalah khusus untuk warga negara Indonesia.
menjadi milik negara. Peraturan pelaksanaan ini Ketiga, Pemilikan guntai (absentee) yakni
memosisikan sebagian besar tanah yang dikelola pemilikan tanah pertanian yang pemiliknya
dengan sistem adat dan kebiasaan setempat bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak
berganti menjadi tanah milik negara. Hal ini tanah pertanian tersebut, tidak dibenarkan kecuali
karena definisi praksis tentang status tanah bagi mereka yang bertugas aktif dalam dinas
berdasarkan hukum adat tidak sama dengan negara dan dalam hal pengecualian lain. Keempat,
definisi berdasarkan hak eigendom dalam hukum petani-petani yang berada pada situasi ekonomi
Eropa. Peraturan ini semakin menegasikan hak- yang lemah, negara wajib melindungi dari
hak masyarakat pribumi atas tanah yang telah kelompok-kelompok yang memiliki kedudukan
mereka miliki sejak lama. Sementara Pemerintah ekonomi lebih kuat.
Kolonial semakin leluasa menyewakan tanah-
Kedua Undang-undang ini kemudian
tanah tersebut untuk dijadikan lahan-lahan
menjadi legitimasi untuk mencabut segala
perkebunan komersial.
peraturan yang bersumber dari hukum kolonial di
Baik AW maupun AB merupakan titik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya
awal kapitalisasi besar-besaran tanah jajahan. alam sehingga bermanfaat terhadap kesejahteraan
Sistem ini dianggap berhasil mengangkat dan keadilan masyarakat. Pertama, UUPBH No. 2
perekonomian Belanda namun semakin membuat tahun 1960 dibuat untuk mengatur perjanjian
terpuruk ekonomi wilayah jajahan terutama di antara tuan tanah dan penggarap atas dasar
Jawa. Keterpurukan ini disebabkan beban para keadilan dan kepastian hukum yang mampu
petani semakin meningkat. Pertama, petani memiliki melindungi hak dan kewajiban penggarap dan
kewajiban memenuhi tuntutan Pemerintah Kolonial pemilik tanah. Kedua, UUPA No. 5 tahun 1960
untuk penanaman produk-produk ekspor dan merupakan langkah progresif untuk menggantikan
tenaga kerja tambahan. Kedua, secara bersamaan segala peraturan di sektor agraria yang bersumber
petani diwajibkan memenuhi tuntutan dari elit dari hukum kolonial. Undang-undang ini kemudian
lokal sebagai pelaksana tugas sistem ini. Untuk menjadi landasan hukum yang utama untuk
faktor kedua, para kepala desa maupun kelompok mengatur segala potensi sumber daya alam yang
priyayi yang lain sebagai kelompok elit dimiliki Indonesia secara adil lepas dari prinsip-
diuntungkan dengan dilibatkannya kembali mereka prinsip kolonial dan sisa feodalisme di dalam
dalam sistem ekonomi kolonial yang sebelumnya membangun ekonomi nasional. Upaya ini oleh

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 419


Rachman (2012: 14) disebut dan lebih dikenal dan merepresentasikan karakter pemerintahan
dengan land reform sebagai bagian dari revolusi Soeharto dalam upayanya membangun ekonomi
yang memiliki slogan utama ‘tanah tidak lagi nasional yang didasarkan atas dominasi kuat rezim
menjadi media penghisapan oleh yang kuat asing terutama di sektor kehutanan dan
terhadap yang lemah serta diperuntukkan untuk pertambangan. Dalam konteks ini, Robison (2009:
orang-orang yang secara nyata menggarap tanah. 30) menyebut Soeharto membangun kebijakan
ekonomi nasional didasarkan atas empat
Sementara, Wiradi (2007: 9) menyebutkan
paradigma besar yang saling berbenturan satu
bahwa semangat land reform ini menjadi bagian
sama lain yakni; nasionalisme, populisme,
dari politik Soekarno untuk mewujudkan
birokratisme serta predatoris dan liberalisme.
demokrasi terpimpin. Semboyan ‘berdaulat dalam
politik, berdikari di bidang ekonomi dan Menurut Wiradi (2009: 10-11), terbitnya
berkepribadian dalam budaya’ diterjemahkan berbagai Undang-Undang ini menunjukkan watak
Soekarno sebagai upaya pembaharuan sistem rezim orde baru yang pragmatis dan tanpa
agraria yang baik sebagai landasan pembangunan idealisme. Land reform yang di era Soekarno
Indonesia. Oleh karenanya sejak 1961, menjadi landasan dalam pembangunan nasional
pemerintahan Soekarno mengeluarkan berbagai ditinggalkan. Sebagai gantinya, Soeharto menerjemahkan
peraturan dan membentuk berbagai lembaga pembangunan agraria disesuaikan dengan semangat
pendukung seperti panitia land reform, pengadilan revolusi hijau yang pada waktu itu menjadi agenda
land reform dan panitia pengukuran desa lengkap. negara-negara di Asia. Melalui pembangunan 25
tahun, Soeharto membaginya ke dalam perencanaan
Namun demikian, pergantian rezim Orde
pembangunan lima tahun (pelita). Namun demikian,
Lama ke Orde Baru memunculkan rezim Soeharto
semangat untuk menerjemahkan revolusi hijau
dengan menerbitkan UU No. 1/1968 tentang
dengan peningkatan aktivitas pertanian dapat
Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan UU No.
dikatakan tidak sepenuhnya berjalan dengan baik.
6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri
(UU PMDN) sebagai legitimasi negara membuka Kegagalan ini disebabkan karena Soeharto
kesempatan yang lebih luas terhadap para pemilik mengabaikan gagasan reforma agraria sebagai
modal. Kedua UU ini kemudian dicabut dan basis pembangunan. Sekalipun produksi nasional
digantikan oleh UU No. 25 Tahun 2007 yang pada meningkat, namun keadilan sosial diabaikan.
prinsipnya hanya menggabungkan dua UU Dalam dekade 1980-an saat swasembada pangan
terdahulu menjadi satu Undang-undang. tercapai justru saat itulah berbagai macam konflik
agraria mulai meluas. Hal ini memiliki makna
Pada perkembangannya, Negara semakin
bahwa telah terjadi suatu kolaborasi besar yang
memberikan perlindungan dan akses ekstra kepada
melibatkan pemerintah dan pemodal asing.
perusahaan-perusahaan besar dengan mengesahkan
Eksploitasi SDA memasuki era baru di Indonesia
Undang-undang No. 18 Tahun 2014 tentang
yang memosisikan aktivitas pertambangan
Perkebunan. Tidak berhenti di dua undang-undang
menjadi yang utama dengan investasi modal asing
tersebut, pemerintah Orde Baru kemudian
sangat mendominasi. Secara bersamaan ekonomi
menerbitkan tiga macam Undang-Undang sejak
nasional dibangun bersumber atas keuntungan
tahun 1967 yakni Undang-Undang Penanaman
konsesi-konsesi pertambangan yang dilakukan
Modal Asing No. 1 tahun 1967 dan Undang-
oleh pemerintah dan pihak asing. Dari situasi ini,
undang No. 11 Tahun 1970 tentang perubahan dan
Soeharto berharap mampu mengubah ekonomi
tambahannya serta Undang-undang No. 5 Tahun
nasional yang bernilai rendah (pertanian) menjadi
1967 tentang Undang-undang Pokok Kehutanan
industri bernilai tinggi (pertambangan). Dibantu
dan Undang-undang No. 11 Tahun 1967 tentang
oleh birokrat yang patuh, proses merubah ekonomi
Pertambangan. Namun penerbitan ketiga Undang-
nasional memiliki konsekuensi pengambilalihan
Undang ini dianggap sebagai “jalan pintas” yang
kembali tanah-tanah yang sebelumnya telah
menjauh dari semangat reforma agraria (RA) yang
diredistribusikan sebelumnya dan pembukaan
sekalipun bertujuan meningkatkan pertumbuhan
hutan untuk alasan pembangunan. Robinson
ekonomi namun berdampak pada peminggiran
(2009) menyebut para birokrat ini sebagai
pemerataan dan keadilan sosial (Wiradi, 2009: 54)
kelompok “birokratisme predatoris” yang paling

420 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016


diuntungkan secara pribadi dan politik melalui Perkebunan Negara (PN) sebesar 0,06%, dan
kekuasaan pemerintah termasuk dalam kebijakan Perkebunan Besar Swasta (PBS) sebesar 85,85%
pengadaan tanah. (BPS, 2014). Palupi, dkk. (2014: 11-12) menyebutkan
situasi ini memosisikan sektor perkebunan kelapa
Pasca runtuhnya rezim Orde Baru, praktik
sawit memberikan pengaruh yang sangat kuat baik
penguasaan SDA tidak terlepas dari semangat
secara ekonomi, sosial dan budaya serta ekologi
desentralisasi yang memosisikan peran daerah
Kalimantan Tengah. Hal ini disebabkan oleh
semakin besar. Hadiz (2010: 1-3) menjelaskan
perluasan perkebunan kelapa sawit sejak tahun
bahwa desentralisasi tumbuh sebagai gejolak
1993 tidak terkendali yang dilakukan dengan cara
primordialisme daerah menuntut kekuasaan penuh
mengkonversi lahan pertanian yang termasuk di
di dalam mengelola kekayaan daerah yang selama
dalamnya tanah ulayat, lahan garapan masyarakat
ini didominasi oleh pemerintah pusat. Situasi ini
adat, hutan adat dan lahan transmirgrasi.
kemudian berkembang saling berkelindan antara
permasalahan desentralisasi, demokratisasi, dan Kabupaten Kotawaringin Timur menjadi
globalisasi yang memunculkan predator-predator salah satu Kabupaten yang menyumbang luas
lokal yang memanfaatkan sistem lama. Sementara perkebunan kelapa sawit paling tinggi di
Nordholt (2005) menyebutkan bahwa desentralisasi di Kalimantan Tengah. Pada tahun 2014, luas
Indonesia memiliki makna sebagai desentralisasi perkebunan kelapa sawit di wilayah ini mencapai
korupsi, kolusi dan semangat Patrimonialisme 506.131 Ha atau 45% dari total luas perkebunan di
yang dilakukan oleh elit-elit lokal setempat. Kalimantan Tengah (BPS, 2014: 223) dan secara
konsisten menjadi penyumbang Pendapatan Asli
Dalam konteks desentralisasi, Undang-
Daerah (PAD) yang sebelumnya dihasilkan dari
Undang Otonomi Daerah No. 22 dan 25 Tahun
industri kayu. Dalam catatan Dinas Kehutanan dan
1999 menjadi peluang pasca rezim autoritarian di
Perkebunan Kelapa Sawit, terdapat 47 perusahaan
mana elit lokal memiliki kesempatan politik yang
perkebunan yang telah beroperasi di atas lahan eks
lebih luas untuk terlibat di dalam pengelolaan
Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Tentunya hal ini
SDA lokal. Pada tahun 2009 misalkan, pemerintah
menggambarkan perubahan orientasi ekonomi di
pusat mengeluarkan Undang-Undang No. 4 tahun
daerah ini yang berubah dari komiditas hutan
2009 tentang Minerba yang memberikan peluang
(kayu) menjadi kelapa sawit seperti terutama pasca
daerah di dalam pengelolaan SDA mereka
krisis ekonomi 1997. Sepanjang era desentralisasi,
sekalipun pada praktiknya hal ini memunculkan
HPH semakin mudah dikeluarkan oleh Pemerintah
masalah baru terutama tumpang tindihnya
Daerah (Pemda) dan menjadi pintu masuk utama
berbagai peraturan perundang-undangan yang ada.
terhadap eksploitasi hutan dengan dalih peningkatan
PAD dengan mengabaikan aspek-aspel sosial dan
Kotawaringin Timur: Sebagai Arena Konflik
lingkungan seperti rusakhnya hutan dan
Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan perdagangan satwa-satwa langka (Casson, 2001:
Tengah mulai beroperasi sejak tahun 1993. 20; Palupi, 2014: 41)
Peraturan Daerah No. 3 tahun 1993 tentang
Secara keseluruhan, data-data penggunaan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), telah
lahan di Kotawaringin Timur dapat dilihat dari
memberikan peluang baru terhadap para investor
data yang dirilis oleh WALHI yang menyebutkan
memperluas perkebunan kelapa sawit di
bahwa 440.285 Ha lahan hutan di Kotawaringin
Kalimantan Tengah. Hal ini kemudian memberikan
Timur dikuasai oleh perusahaan penguasaan hutan,
pengaruh yang signifikan terhadap laju deforestasi
35.491 ha dikuasai oleh perusahaan pertambangan,
hutan di Kalimantan Tengah. Dalam rentang
dan 506.131 ha dikuasai oleh perusahaan
waktu 10 tahun antara 1998 hingga 2008, rata-rata
perkebunan sawit (Palupi, dkk, 2014: 40). Mengutip
hutan yang beralih fungsi menjadi perkebunan
data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal
kelapa sawit rata-rata seluas 65.349 Ha. Hingga
(BKPM, 2015), dari total keseluruhan lahan hutan
tahun 2014, perkebunan kelapa sawit di
yang dikuasai oleh perusahaan perkebunan sawit
Kalimantan Tengah mencapai 11,12% total luas
tahun 2014, sebesar 391.994 ha sudah digunakan,
perkebunan sawit nasional yang terdiri dari
sementara sisanya masih dalam proses pengalihan
Perkebunan Rakyat (PR) sebesar 14,09%,
fungsi lahan. Angka yang berbeda dikeluarkan

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 421


oleh Sawit Watch (2014) yang menyebutkan sektor pembangunan infrastruktur sebanyak 215
bahwa perkebunan sawit di Kabupaten kasus (45,55%) dan diikuti konflik agraria di
Kotawaringin Timur seluas 646.017 ha yang sektor perkebunan 185 kasus (39,19%) serta sektor
dikuasi oleh hampir 77 perusahaan. Angka yang kehutanan sebanyak 27 kasus (5,72%), pertanian
berbeda juga ditunjukkan di dalam laman website 20 kasus (4,24%), pertambangan 14 kasus (2,97%),
resmi Kabupaten Kotawaringin Timur yang perairan dan kelautan sebanyak 4 kasus (0,85%),
menyebutkan total luas perkebunan sawit pada dan lain-lain 7 kasus (1,48%) (lihat KPA, 2014:
tahun 2014 mencapai 461.273,3 ha yang terdiri 10).
dari 404.360, 7 ha yang dimiliki oleh perusahaan
Lebih lanjut, data-data yang telah dirilis oleh KPA
besar swasta (PBS), dan perkebunan plasma
dalam rentang waktu 10 tahun terakhir antara 2004
masyarakat seluas 56.876,6 ha. Perbedaan angka
hingga penghujung tahun 2014, telah terjadi
luas lahan perkebunan sawit ini pada akhirnya
konflik agraria sebanyak 1.520 kasus dengan
menjadi permasalahan mendasar sebagai salah
luasan areal konflik 6.541.951 ha yang melibatkan
satu sumber konflik akibat dari buruknya tata
977.103 KK. Dengan kata lain konflik agraria
kelola perkebunan di Kabupaten Kotawaringin
terjadi di areal seluas 1.792 Ha yang melibatkan
Timur dan daerah-daerah perkebunan sawit
lebih dari 267 KK terlibat konflik setiap harinya
lainnya.
(KPA, 2014: 12).
Berdasarkan laporan yang ditulis oleh
Sepanjang tahun 2015, KPA kembali
beberapa Non Government Organisation (NGO)
merilis data konflik agraria yang mencapai 252
seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
kasus dengan luas areal konflik 400.430 ha dan
(WALHI), Konsorsium Pembaharuan Agraria
melibatkan sedikitnya 108.714 KK. Di tahun
(KPA), dan Perkumpulan untuk Pembaharuan
2015, lebih banyak terjadi di sektor perkebunan
Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
yakni sebanyak 127 kasus (50%). Sementara, jika
(HUMA) menyebutkan ekspansi perkebunan
di tahun 2014 konflik agraria di sektor
kelapa sawit memberikan sumbangan terbesar
pembangunan infrastruktur berada paling tinggi,
konflik agraria. HUMA. Data yang dikeluarkan
namun di tahun 2015, konflik agraria di sektor ini
oleh Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA),
sebanyak 70 kasus (28%). Kemudian disusul
tren konflik agraria secara nasional terus
konflik agraria di sektor kehutanan sebanyak 24
mengalami tren peningkatan terutama pasca
kasus (9,6%), konflik agraria di sektor
berakhirnya rezim otoritarian Orde Baru.
pertambangan sebanyak 14 kasus (5,2%), konflik
Sepanjang tahun 2014, data KPA memperlihatkan
agraria di sektor pertanian, pesisir dan kelautan
telah terjadi konflik agraria sebanyak 472 kasus
sebanyak 14 kasus (5,2%), serta lain-lain sebanyak
dengan cakupan luas lahan 2.860.977,07 ha dan
9 kasus (4%) (KPA, 2015: 4).
melibatkan 105.887 Kepala Keluarga (KK).
Konflik agraria tertinggi di tahun 2014 terjadi di

422 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016


Gambar 1. Grafik Peningkatan Jumlah Konflik Agraria

Sumber: KPA (2014: 12)

Gambar 2. Grafik Peningkatan Luas Areal Konflik Agraria (Ha)

Sumber: KPA (2014: 14)


Tenggara sebanyak 16 kasus (6,4%). Sebaran
Meskipun jumlah kasus konflik agraria di
konflik agraria terjadi hampir di seluruh wilayah
tahun 2015 menurun dibandingkan dengan jumlah
Indonesia. Provinsi Riau tercatat memiliki intensitas
kasus di tahun 2014, namun sebaran dan luasan
yang paling tinggi di antara provinsi yang lain.
konflik agraria masih mengalami peningkatan
Dari keseluruhan konflik, Provinsi Riau memiliki
yang konsisten. Data yang dirilis oleh KPA tahun
intensitas konflik hingga 14,40%. Disusul Provinsi
2015 memperlihatkan konflik terjadi hampir di 35
Jawa Timur dengan 13,60% dan Provinsi Sumatera
provinsi di Indonesia. Provinsi Riau memiliki
Selatan dengan tingkat intensitas sebesar 9,20%.
jumlah kasus yang paling tinggi dibandingkan
Lebih lanjut sebaran konflik dapat dilihat di dalam
wilayah lain sebanyak 36 konfllik (14,4%) disusul
grafik di bawah (lihat Gambar 3).
oleh Jawa Timur sebanyak 34 kasus (13,6%),
Sumatera Selatan 23 kasus (9,2%), Sulawesi

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 423


Gambar 3. Sebaran Wilayah Konflik Agraria 2015 (tingkat provinsi)

Sumber: KPA (2015: 8)

Data-data yang dirilis oleh HUMA seperti yang Dalam beberapa laporan yang SW (2014),
dikutip oleh Zakaria, dkk (2015: 16) menyebutkan tren peningkatan konflik di sektor perkebunan
dari konflik agraria yang terjadi di Indonesia telah kelapa sawit terus mengalami peningkatan setiap
melibatkan sekitar 91.968 orang dari 315 tahunnya. SW mencatat konflik terjadi disebabkan
komunitas secara langsung sebagai korban oleh munculnya sengketa lahan, ketidakjelasan
berhadapan dengan perusahaan besar atau negara. program kemitraan dan degradasi lingkungan yang
Sementara itu, Provinsi Kalimantan Tengah melibatkan perusahaan perkebunan, masyarakat
menempati posisi paling atas yang memiliki adat dan lokal, aparat keamanan dan pasukan
intensitas konflik agraria di sektor perkebunan. paramiliter binaan perusahaan masyarakat
Hingga tahun 2013, HUMA mencatat 67 kasus terutama menyangkut sengketa/ ganti rugi lahan
konflik perkebunan dengan luas lahan mencapai (Palupi, 2014: dkk: 15). Adapun fase-fase konflik
254.671 Ha dan menurut catatan WALHI (2014), di sektor perkebunan seperti yang telah dirilis oleh
Kabupaten Kotawaringin Timur merupakan salah Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), sebagaimana
satu wilayah yang memiliki intensitas konflik di kuti oleh KPA menyebutkan terdapat empat
agraria paling tinggi di antara kabupaten/ kota di fase konflik di dalam sektor perkebunan yang
Provinsi Kalimantan Tengah lainnya (lihat gambar umum terjadi (Nurdin, 2015):
4).

424 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016


Gambar 4. Presentase Konflik Agraria Kalimantan Tengah 2014

Sumber: WALHI (2014)

kurang subur, luas lahan yang tidak sesuai,


(1) Fase normatif. Fase ini menyangkut ijin lokasi
daftar penerima fiktif, pemberian bibit yang
dan ijin prinsip perkebunan yang dikeluarkan
buruk, jumlah pokok tanaman yang sedikit,
oleh bupati, gubernur hingga pemerintah pusat
dan jumlah kredit yang tinggi.
yang seringkali terjadi tumpang tindih. Luas
(4) Fase produksi. Pada fase ini konflik terjadi
lahan yang tertera di dokumen-dokumen
akibat pemotongan yang dilakukan oleh
perijinan yang dikeluarkan oleh pemerintah
perusahaan terhadap petani plasma dinilai
pusat maupun pemerintah daerah tidak sesuai
terlalu tinggi. Berdasarkan data yang
dengan existing luas lahan di lapangan
dikeluarkan oleh Serikat Petani Kelapa Sawit
dan/atau bersinggungan dengan lahan yang
(SPKS), seperti yang dikutip oleh KPA,
telah dikelola oleh masyarakat jauh sebelum
pemotongan yang dilakukan oleh perusahaan
ijin perkebunan dikeluarkan.
dapat mencapai empat persen dalam seiap kali
(2) Fase pembangunan perkebunan. Pada fase ini
panen.
konflik terjadi berawal dari kerjasama yang
dilakukan oleh perusahaan melibatkan masyarakat Temuan-temuan tim penelitian konflik
untuk membangun kebun plasma. Kerjasama SDA Pusat Penelitian Politik LIPI (Gayatri dan
ini dibangun tidak seimbang sehingga Syafi’i, 2015) yang juga mengkomfirmasi temuan
masyarakat seringkali dirugikan di dalam tim WALHI (2014), memperlihatkan konflik
perjanjian ini. Dalam konteks ini, lahan yang perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin
disediakan oleh masyarakat untuk dijadikan Timur berada pada fase pertama hingga fase ketiga
kebun plasma justru dimasukkan ke dalam yang melibatkan perusahaan perkebunan dengan
lahan di dalam dokumen Hak Guna Usaha masyarakat. Temuan-temuan tersebut memperlihatkan
(HGU). bahwa sejak awal perluasaan perkebunan kelapa
(3) Fase konflik. Pada fase ini masih sangat sawit menyisakan permasalahan tentang status
terkait dengan fase kedua tentang kebun kepemilikan lahan (kuasa lahan) seperti tumpang
plasma. Seringkali perusahaan di dalam tindih lahan, klaim sepihak, ganti rugi dan
membangun kebun plasma tidak strategis permasalahan kebun plasma dalam konteks
seperti jauh dari lokasi tempat tinggal petani kemitraan antara perusahaan dan masyarakat
yang sulit diakses, lahan untuk kebun plasma menyangkut mekanisme pembangunan kebun plasma,

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 425


pencemaran air, dan penyerobotan laha oleh posisi DAD memiliki peran penting di dalam
perusahaan. konstelasi konflik di Kalimantan Tengah.
Berdasarkan Perda No. 5 Tahun 2011 Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh
tentang Pengelolaan Usaha Perkebunan Berkelanjutan Pemda Kabupaten Kotawaringin Timur. Konflik
(Bab I, Pasal 1, poin 46), konflik di sektor Perkebunan yang terjadi lebih sering disebut
perkebunan didefinisikan sebagai kondisi tidak sebagai sengketa pertanahan. Hal ini dikarenakan
normal yang terjadi antara perusahaan besar sebagian besar kasus yang telah diproses oleh tim
perkebunan dengan perusahaan perkebunan, terpadu yang dibentuk oleh Pemda menyangkut
perusahaan pertambangan, izin usaha pemanfaatan permasalahan sengketa lahan yang disebabkan
hasil hutan kayu yang selanjutnya disebut oleh buruknya data pertanahan. Terlebih lagi di
IUPHHK, dan dengan masyarakat/ masyarakat wilayah Kalimantan Tengah terdapat dua
adat. Merujuk kepada definisi tersebut, konflik dokumen kepemilikan awal tanah yang diakui
yang terjadi akibat dari situasi tidak normal yang yakni Surat Keterangan Tanah (SKT) yang
melibatkan perkebunan besar swasta (PBS) kelapa dikeluarkan oleh Pemda dan SKT-A yang
sawit dengan masyarakat adat dayak terutama dikeluarkan oleh DAD. Sementara Badan
yang tergabung di dalam komunitas “Dayak Pertanahan Nasional (BPN) sendiri tidak
Misik”. Penggunaan istilah masyarakat adat mengakui keberadaan SKTA. Sejauh ini Tim
“Dayak Misik” dianggap relevan dikarenakan di terpadu upaya inventaris hanya dilakukan ketika
dalam kasus konflik yang terjadi di Kabupaten konflik pertanahan yang melibatkan beberapa
Kotawaringin Timur adalah anggota “Daya Misik” pihak telah muncul di permukaan. Sepanjang
yang tergabung di dalam Forum Koordinasi tahun 2014, Konflik pertanahan yang tercatat oleh
Kelompok Tani “Dayak Misik” Kalimantan Pemda Kabupaten Kotawaringin Timur melalui
Tengah (FKKTDM-KT). Oleh karenanya, Badan Pertanahan Setda mencapai 70 kasus yang
seringkali mekanisme yang digunakan oleh piha- dikategorikan ke dalam empat jenis konflik yakni;
pihak yang terlibat di dalam konflik menggunakan masyarakat dengan perusahaan perkebunan kelapa
mekanisme adat terutama dokumen kepemilikan sawit sebanyak 60 kasus 86,96%, masyarakat
lahan sengketa yang bersumber dari Surat dengan masyarakat 8 kasus atau 10,14 perse serta
Kepemilikan Tanah–Adat (SKT-A) yang masyarakat dengan pemerintah dan perusahaan
dikeluarkan oleh Dewan Adat Dayak di tingkat dengan perusahaan masing-masing 1 kasus atau
desa dan kecamatan. Dalam konteks ini kemudian, 1,45% (lihat gambar 5).

Gambar 5

Sumber: Gayatri dan Syafi’i (2015)

426 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016


Di antara 60 kasus konflik yang melibatkan PBS 8,33% yang dianggap telah selesai (lihat Gambar
sawit dengan masyarakat (adat) tidak semua kasus 6). Sayangnya, Badan Pertanahan Setda
telah diupayakan penyelesaiannya oleh Tim Kotawaringin Timur ini tidak melakukan
Terpadu yang menangani konflik tersebut. kategorisasi lebih lanjut terkait dengan prioritas
Sebanyak 61,67% kasus masih dalam fase kasus yang harus diselesaikan. Hal ini mungkin
penyelesaian konflik, sebanyak 14 kasus atau terjadi dikarenakan tim ini lebih memprioritaskan
23,33% dinyatakan masih dalam pantauan. Dari penyelesaian konflik yang terjadi kepada
60 kasus tersebut hanya terdapat 5 kasus atau mekanisme pengadilan.
Gambar 6

Sumber: Gayatri dan Syafi’I (2015)

Konflik Perkebunan Sawit di Kotawaringin kemanfaatan bagi masyarakat dibandingkan dengan


Timur: Respon Masyarakat Adat Dayak sistem kepemilikan yang sepenuhnya ditentukan
Terhadap oleh negara. Mempertentangkan kepemilikan
tradisional dan atau bahkan menghilangkan sama
Pasca berakhirnya rezim otoritarian,
sekali hak guna tradisional serta mengganti dengan
desentralisasi dan otonomi daerah memberikan
sistem hukum formal justru kontraproduktif
peluang kepada aktor-aktor lokal untuk
(Angelsen, dkk, 2010:155) dan berpotensi
menerjemahkan ulang konsep dan praktik
menimbulkan konflik sosial (Haug, 2007: 30-32).
pengelolaan SDA mereka yang sebelumnya merupakan
Dalam konteks ini, yang seharusnya adalah
wewenang pusat dan bersumber dari hukum
pembangunan usaha perkebunan kelapa sawit
tunggal negara. Aktor-aktor lokal kemudian
tidak hanya bersumber pada hak-hak yang
menuntut pengakuan dari kelembagaan-kelembagaan
diberikan oleh hukum negara semata namun
pertanahan yang berlaku di masyarakat (adat) yang
mampu mengakomodasi hak-hak yang bersumber
sebelumnya diabaikan oleh negara.
pada pengakuan terhadap kepemilikan tanah dan
Gerakan kembali ke UUPA 1960 yang atau hutan adat di mana usaha perkebunan itu
mengakui hak perorangan turun-temurun (erfelijk dibangun.
individueel bezit), hak komunal (communal bezit),
Temuan-temuan tim LIPI menunjukkan
hak milik-mutlak (eigendom), hak ulayat
bahwa konflik agraria pasca rezim autoritarian
(beschikkingsrecht), dan kelembagaan pertanahan
menunjukkan bahwa buruknya rezim perizinan di
tradisional lainnya menjadi relevan dengan asas
dalam pengelolaan SDA sebagai warisan panjang

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 427


sistem kolonial yang akut. Temuan-temuan Tim berbasis komoditas, yang ekstraktif telah merubah
P2KK LIPI tahun 2011-2013, menunjukkan bahwa cara pandang dan hidup mereka dengan berbagai
konflik agraria memiliki akar yang kuat terhadap simbol-simbil kearifan lokal di dalam mengelola
praktik-praktik ekonomi-politik sektor agraria SDA (Syafi’i dan Gayatri, 2015).
sejak era kolonial. Bahwa sejak Pemerintah
Dalam konteks ini, temuan-temuan tim
Kolonial, pola penguasaan tanah yang koruptif
P2P LIPI memperlihatkan respon masyarakat adat
hanya bertujuan untuk kepentingan ekonomi
Dayak untuk melakukan negosiasi dan adaptasi
kolonial yang justru semakin memarginalkan
terhadap transformasi ekonomi yang terjadi yakni
masyarakat. Temuan tim ini kemudian
dari ekonomi tradisional yang menggantungkan
merekomendasikan bahwa membenahi persoalan
sepenuhnya terhadap pengelolaan alam/hutan
agraria (reforma agraria) berarti membenahi
menjadi ekonomi ekstraktif yang bekerja
sistem hukum, kebijakan dan kelembagaan terkait
sebaliknya yang membuat degradasi lingkungan.
dengan tata kelola agraria (Mulyani, 2014).
Situasi ini kemudian yang melatarbelakangi
Selain itu, temuan-temuan Tim P2P LIPI munculnya sebuah organisasi dari komunitas lokal
juga melihat bahwa konflik agraria pasca rezim di Kalimantan Tengah yaitu FKKTDM-KT yang
autoritarian merupakan bentuk respon masyarakat diinisiasi DAD. Dengan demikian, FKKTDM-KT
menyikapi upaya indutsri ekstraktif seperti indutsri dapat dikatakan sebagai upaya masyarakat adat
pertambangan dan perkebunan yang mengancam Dayak di Kalimantan Tengah untuk beradaptasi
kehidupan mereka. Studi pada level mikro yang terhadap perubahan yang disebabkan oleh
dilakukan Tim P2P LIPI di Bima Nusa Tenggara keberadaan perkebunan besar yang berlangsung di
Barat, dalam kasus konflik pertambangan wilayah mereka. Dalam Surat Edaran yang
misalnya, tim ini mengkonfirmasi temuan Tim dikeluarkan oleh Dewan Adat Dayak, Nomor
P2KK LIPI sebelumnya bahwa konflik yang 02/FKKTDM-KT/IX2014, disebutkan latar
terjadi memiliki dimensi persoalan hukum, belakang pendirian forum ini sebagai berikut
kebijakan dan kelembagaan terutama terkait (Gayatri dan Syafi’i, 2015):
dengan carut marut pemberian ijin konsesi “…keprihatinan bahwa tanah sebagai harta
eksplorasi tambang yang tidak transparan dan yang sangat berharga bagi petani masyarakat
tidak memenuhi dokumen Analisi Mengenai adat dayak yang lahir, hidup, mengusahakan
Dampak Lingkungan (AMDAL) yang berlanjut dan bertempat tinggal di tanah adat tidak
kepada permasalahan kriminalisasi dan mendapat pengakuan dan perlindungan oleh
pengrusakan fasilitas publik (Gayatri dan Adaba, hukum/negara sebagai hak yang sah… fakta
2014). terkini memperlihatkan bahwa tanah adat
masyarakat dayak sudah semakin sempit dan
Pada kasus konflik agraria di sektor terancam habis diambil oleh pihak lain dengan
perkebunan di Kotawaringin Timur Kalimantan mudah. Pengambil-alihan tanah adat
Tengah, menggambarkan permasalahan yang masyarakat Dayak oleh pihak lain semakin
paling mendasar akibat dari tumpang tindih tidak terkendali dengan mengatasnamakan
kewenangan antar instansi pemerintah, saling pembangunan dalam bentuk kehadiran
silang peraturan perundang-undangan di dalam investasi/investor (HPH, PBS, Tambang), serta
tata kelola SDA dan masalah korupsi. Konflik proyek transmigrasi. (lihat; dokumen
Pembentukan Dayak Misik Kalimantan
agraria di sektor perkebunan sawit merupakan
Tengah)”
warisan konflik masa lalu yang bersifat laten.
Praktik-praktik relasi asimetris antara negara Keberadaan FKKTDM-KT kemudian
(oknum birokrat) dan korporasi cenderung memiliki posisi strategis di dalam penyelesaian
mengabaikan keberadaan masyarakat lokal, dalam konflik perkebunan di Kalimantan Tengah.
hal ini adalah masyarakat adat Dayak Kalimantan Setidaknya melalui forum ini, komunitas “Dayak
Tengah. Semakin tingginya ekspansi ekonomi Misik” memiliki posisi kuat di dalam
ekstraktif di sektor perkebunan telah mengakibatkan memperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan,
masyarakat adat Dayak terpinggirkan dan tercerabut penghargaan dan perlindungan dari negara/hukum
dari akar sosial-kultur mereka. Pembangunan kepada seluruh masyarakat adat suku Dayak di
industri perkebunan, dan juga industri lain dalam mempertahankan hak-hak tradisional

428 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016


mereka di dalam mengelola kekayaan alam di mengingkari bahwa telah ada pengukuran yang
sekitar lingkungan yang telah sejak lama mereka disaksikan oleh pihak-pihak yang terkait dan
tempati. meminta diadakan pengukuran ulang.
Ketidakjelasan ini berlanjut hingga tahun 2012
Dalam kerangka yang lebih besar, lahirnya
ketika PT BSK 2 memilih untuk menempuh jalur
FKKTDM-KT dapat dikatakan sejalan dengan
hukum karena merasa ganti rugi lahan telah
Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN)
dilakukan kepada petani lain bernama Waing dan
yang dicanangkan oleh pemerintah. Mulyani, dkk
Yusuf (kelompok petani kedua) dengan bersumber
(2011: 156-157) menyebutkan bahwa PPAN
pada SKT-A yang sama namun nama yang
bertujuan untuk memberikan aset dan pembukaan
berbeda. Meskipun pada akhirnya, kelompok
akses kepada masyarakat dengan membentuk
petani yang pertama meminta tim independen dari
lembaga partisipatif seperti Kelompok Masyarakat
Polres dan Bappeda Kotawaringin Timur untuk
(Pokmas) dan Kelompok Tani dan Gabungan
melakukan investigasi, tim ini kemudian
Kelompom Tani (Gapoktan). Namun program ini
membuktikan bahwa ganti rugi yang dilakukan
tidak selalu berlangsung mulus. Dalam kasus yang
oleh PT BSK 2 kepada kelompok petani kedua
terjadi di Kalimantan Tengah, kesepakatan yang
dilakukan di tanah yang berbeda. PT BSK 2 tetap
dirumuskan oleh FKKTDM-KT bahwa setiap
menolak melakukan ganti rugi kepada kelompok
DAD di level desa dapat mengeluarkan SKT-A
petani pertama. Pada akhirnya, kelompok petani
memunculkan permasalahan tersendiri. Pertama,
pertama meminta DAD untuk membantu
SKT-A sebagai salah satu dokumen awal
menyelesaikan permasalahan ini melalui mekanisme
kepemilikan tanah adat tidak memiliki mekanisme
adat. Hingga tahun 2015, kasus ini masih terus
sejak penentuan bahwa itu tanah adat, pembuatan
berlangsung dan belum mendapatkan titik temu
dokumen hingga pewarisan yang jelas. Fakta
(Gayatri dan Syafi’i, 2015: 73).
bahwa seringkali ditemukan SKT-A ganda di
lahan yang sama hampir pasti menimbulkan Pada kasus yang lain yang melibatkan PT
sengketa yang berujung pada konflik. Kedua, Bangkit Giat Usaha Mandiri (PT BUM) dan
Sekalipun SKT-A ini merupakan dokumen yang masyarakat konflik terjadi di Desa Tumbang
diakui oleh DAD yang dilindungi oleh Perda Kalang, Kecamatan Antang Kalang. Menurut
Gubernur Kalimantan Tengah, SKT-A tidak Gayatri dan Syafi’i (2015: 66-69), PT. BUM di
otomatis diakui oleh BPN sehingga di dalam wilayah ini pada awalnya merupakan perusahaan
beberapa kasus yang ada, kepemilikan dokumen dengan ijin penanaman indutsri karet di tahun
yang bersumber pada hukum yang berbeda sudah 1994. Namun, pada tahun 1997, pemilik PT. BUM
pasti berujung pada konflik. mengurus perijinan untuk penanaman pohon
kelapa sawit. Pada perkembangannya, kelompok
Dalam konteks yang pertama, konflik
petani yang dipimpin oleh Hardi yang merupakan
yang terjadi antara PT Bumi Sawit Kencana 2 (PT.
Kepala Desa Tumbang Kalang, melaporkan PT.
BSK 2) dan beberapa petani bernama Yahman,
BUM dikarenakan telah melanggar Hak Guna
Ismadi, Suto dan Sukardi (kelompok petani
Usaha (HGU), penyerobatan lahan tanpa ganti
pertama) yang tergabung di dalam FKKTDM-KT
rugi, dan mengabaikan pembangunan kebun
di Kecamatan Mentaya Hulu memperlihatkan hal
plasma untuk masyarakat. Dalam dokumen HGU,
tersebut terutama terkait dengan dokumen ganda.
PT. BUM seharusnya mengelola lahan untuk
Awalnya para petani tersebut menuntut ganti rugi
perkebunan sawit seluas 10.000 Ha, namun yang
lahan yang akan digunakan oleh PT BSK 2
tertera di dalam company profile PT. BUM
sehingga kedua pihak sepakat melakukan
tercatat seluas 50.000 Ha. Artinya, PT. BUM telah
pengukuran lahan yang difasilitasi oleh
melanggar dokumen HGU yang mereka miliki.
Pemerintah Desa Kawan Batu untuk mengetahui
Selain itu, PT. BUM sebenarnya mendapatkan izin
secara pasti besaran ganti rugi yang akan diberikan
pelepasan kawasan hutan sejak tahun 1998, namun
oleh perusahaan. Pada bulan November 2008,
perusahaan tersebut baru mengurus HGU pada
perwakilan petani dan PT BSK 2 bersama tim
tahun 2003 sementara di dalam izin pelepasan
yang dibentuk oleh pemerintah desa melakukan
tersebut mengharuskan PT. BUM menyelesaikan
pengukuran namun setelah itu proses ganti rugi
HGU setahun setalah izin ini keluar. Dengan kata
belum dilakukan. Pada Maret 2009, PT BSK 2

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 429


lain PT. BUM tidak tertib administrasi sehingga Selain permasalahan-permasalahan yang
dapat dianggap telah melanggar ketentuan huku muncul setelah beroperasinya ketiga perusahaan
yang berlaku. Pada konteks penyerobotan lahan, yang disebut di atas, permalahan lingkungan juga
PT. BUM dianggap telah mengambil lahan Hardi tidak dapat diabaikan. Kebutuhan lahan yang luas
dan beberapa masyarakat desa seluas 2.350 Ha dari ketiga perusahaan tersebut telah
tanpa ganti rugi. Meskipun kemudian PT. BUM mengalihfungsikan tidak hanya lahan hutan dan
menawari ganti rugi sebesar Rp. 150.000.000,-, lahan pertanian yang berakibat pada terancamnya
Hardi dan masyarakat tetap menolaknya. Alasan kebutuhan pangan masyarakat dan kelestarian
penolakan mereka dikarenakan PT. BUM sudah lingkungan. Selain itu, perkebunan sawit juga
melakukan banyak pelanggaran terutama kesepakatan membutuhkan suplai air yang banyak sehingga
yang telah dibuat mereka bersama Kepala Desa, mengganggu debit air sungai yang mengalir
Ketua Adat Dayak, Camat, dan masyarakat termasuk di dalamnya adalah pencemaran air
setempat terutama terkait dengan kewajiban kebun sungai.
plasma dang anti rugi lahan serta kesewang-
Berangkat dari beberapa kasus yang
wenangan PT. BUM kepada karyawan yang juga
diuangkap di atas, penulis melihat bahwa konflik
berasal dari Desa Tumbang Kalang berupa
yang melibatkan masyarakat adat dayak yang
pemotongan gaji dan kemudian pemecatan.
tergabung di dalam FKKTDM-KT merupakan
Konflik kemudian memuncak dan pecah saat ada
bagian dari respon masyarakat adat melihat
insiden protes oleh karyawan. Dalam aksi protes
perkembangan industri perkebunan kelapa sawit di
tersebut, salah satu Humas PT. BUM dianggap
wilayahnya. Respon ini dapat dilihat sebagai
melakukan intimidasi berupa upaya menambrak
upaya memperbaharui terus menerus strategi
salah satu peserta protes dengan motor. Hal ini
mereka berhadapan dengan perusahaan besar dan
kemudian membuat massa yang ikut protes
juga kepada negara. Bahwa, pola-pola
melakukan pembakaran kantor PT. BUM dan
pengembangan usaha perkebunan sawit yang
beberapa fasilitas kantor lainnya di Kecamatan
dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar
Antang Kalang. Insiden ini kemudian berlanjut
memiliki kencederungan ekspansif yang sama di
kepada penangkapan dua petani yang dianggap
wilayah lain, namun penguatan eksistensi
sebagai pelaku pembakaran yang kebetulan adalah
masyarakat adat oleh DAD yang kemudian
adik dari Kepala Desa Tumbang Kalang.
didukung secara politik oleh Pemerintah Daerah
Pada kasus yang lain di Kecamatan baik di level provinsi dan kabupaten melalui
Cempaga Hulu, konflik melibatkan PT. Windu penerbitan Perda yang melindungi eksistensi
Nabatindo Sejahtera (PT. WNS) dengan salah satu mereka merupakan keberhasilan mereka
anggota petani FKKTDM-KT. Permasalahan menegosiasikan kembali eksistensi mereka di
konflik ini pada dasarnya tidak berbeda jauh dalam mengelola sumber daya alamnya. Sejauh ini
dengan kasus-kasus yang lain. Selain permasalahan penulis melihat, upaya ini memang tidak
pelanggaran dokumen seperti PT. WNS yang sepenuhnya berhasil, namun tidak dapat dikatakan
dianggap melanggar wilayah operasi di areal hutan gagal, dikarenakan FKKTDM-KT cukup memiliki
produksi eks lahan PT. INHUTANI III tanpa posisi dan peran yang sangat kuat tidak hanya di
pelepasan izin pelepasan kawasan hutan, tidak ada dalam diskursus pembangunan di wilayah mereka,
izin rekomendasi Gubernur karena wilayah operasi namun juga dalam penyelesaian konflik di sektor
PT. WNS berada di dua wilayah Kabupaten perkebunan. Namun demikian, melihat komposisi
Kotawaringin Timur dan Kabupaten Katingan dan DAD bukan tidak mungkin FKKTDM-KT dalam
belum dimilikinya dokumen HGU oleh PT. WNS kerangka gerakan “Dayak Misik” dikooptasi oleh
serta operasi wilayah PT. WNS berada di wilayah kepentingan elit mereka mengingat anggota DAD
DAK-DR yang diperuntukkan untuk pengembangan juga sebagai elit politik berada di jabatan-jabatan
tanaman kayu sengon dan sungkai. Selain itu, publik di berbagai level baik tingkat provinsi
pelanggaran yang dilakukan oleh PT. WNS adalah maupun kabupaten/kota sehingga memiliki banyak
penyerobatan lahan masyarakat, tidak diselesaikannya kepentingan.
proses ganti rugi lahan dang anti rugi tanam
tumbuh (Gayatri dan Syafi’i, 2015: 71).

430 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016


Penutup Perkebunan Terhadap Hak Masyarakat
Sekitar Atas Pembangunan Kebun di
Beberapa konflik agraria di sektor
Kabupaten Landak Kalimantan Barat
perkebunan kelapa sawit yang terjadi di Kabupaten
(Tesis pada Program Studi Magister Ilmu
Kotawaringin Timur memperlihatkan bahwa
Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta).
pengelolaan SDA di Indonesia masih sangat buruk
Sumber: http://e-journal.uajy.ac.id/7480/
sehingga menimbulkan permasalahan agraria
1/MIH002063.pdf
sangat kompleks. Selain karena permasalahan
tumpang tindih kewenangan dan kebijakan baik di Badan Pertanahan Setda Kabupaten Kotawaringin
level pusat maupun daerah terutama pasca Timur dengan Judul. (2014). “Pengaduan
otonomi daerah. Tumpang tindih kebijakan dan Sengketa Pertanahan di Kabupaten Kotawaringin
kewenangan ini kemudian mengakibatkan Timur tahun 2014”. Kotawaringin Timur:
berbagai pelanggaran hukum seperti pemalsuan Badan Pertanahan Setda Kabupaten
dokumen, kriminalisasi, pengrusakan fasilitas Kotawaringin
seolah menjadi problem turunan yang tidak
Breman, Jan. (1986). Penguasaan Tanah dan
terpisahkan dari buruknya sistem tata kelola sektor
Tenaga Kerja di Jawa Masa Kolonial.
perkebunan. Dalam konteks ini, negara cenderung
Jakarta: LP3ES Indonesia.
memberikan fasilitas yang mempermudah laju
ekspansi perusahaan perkebunan. juga karena sifat Casson, Lionel. (2001). Libraries in the Ancient
indutsri perkebunan sawit yang ekstraktif World. New Haven: Yale University Press.
mempercepat laju kerusakan lingkungan akibat Cifor. (2016). Konflik Perusahaan-Masyarakat di
alih fungsi lahan dan permasalahan sosial lainnya Sektor Perkebunan Indutsri Indonesia.
terutama terkait dengan marginalisasi kelompok Bogor: Info Brief No. 144, Juni 2016.
masyarakat (adat).
Colchestester, Marcus, dkk. (2006). Promised
Namun demikian, melihat kasus konflik di Land: Palm Oil and Land Acquisition in
Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kalimantan Indonesia-Implications for local communities
Tengah pada umumnya, bedirinya FKKTDM-KT and indigenous peoples. England: Forest
yang diinisiasi oleh DAD memperlihatkan bahwa People Programe dan Bogor: Perkumpulan
institusi berbasis komunitas adat mulai memiliki Sawit Watch
peran dan posisi di dalam tata kelola sumber daya
alam terutama pasca rejim autoritarian. Furnivall, J.S. (2009). Hindia Belanda: Studi
Kemunculan organisasi ini dapat dilihat sebagai Tentang Ekonomi Majemuk terjemahan
respon terhadap semakin kuatnya laju perkebunan Samsudin Berlian. Jakarta: Freedom
kelapa sawit di wilayah mereka. Terlebih Institute.
keberadaan FKKTDM-KT diperkuat melalui Gayatri, Irine H dan Imam Syafi’i (ed). (2015).
Perda baik di level provinsi maupun kabupaten “Penyelesaian Konflik Agraria di Sektor
tidak hanya memperkuat posisi mereka secara Perkebunan Sawit di Kotawaringin Timur
kultural juga posisi politik mereka di dalam Kalimantan Tengah”. Laporan Penelitian
pengelolaan sumber daya alam berhadapan DIPA Tematik P2P LIPI.
langsung dengan perusahaan besar dan negara
termasuk di dalamnya upaya-upaya penyelesaian Gayatri, Irine H dan Pandu Yushina Adaba (ed).
konflik di sektor perkebunan. (2014). “Partai Politik, Pemilihan Umum
dan Ketimpangan Sosial & Ekonomi di
Daftar Pustaka Indonesia”. Laporan Hasil Penelitian INPID
dan LIPI.
Angelsen, Arild, (ed.). (2010). Mewujudkan REDD+:
Strateggi Nasional dan Berbagai Pilihan Haug, Michaela. (2007). Kemiskinan dan
Kebijakan. Bogor: Center for International Desentralisasi di Kutai Barat: Dampak
Forestry Research. Otonomi Daerah terhadap Kesejahteraan
Dayak Benuaq (Bogor: Center for
Astarya, Riri. (2015). “Penyelesaian Konflik International Forestry Research).
Pelaksanaan Tanggungjawab Perusahaan

Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016 431


Harsono, Boedi. (2008). Hukum Agraria Indonesia: Rajagukguk, Erman. (2007). “Indonesia: Hukum
Sejarah Pembentukan Undang-undang Tanah di Zaman Penjajahan” makalah
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya disampaikan dalam Seminar Antar bangsa,
Jilid I Hukum Tanah Nasional. Jakarta: “Tanah Keterhakisan Sosial dan Ekologi:
Djambatan. Pengalaman Malaysia dan Indonesia”,
Dewan Bahasa dan Pustaka Institut Alam
Kano, Hiroyoshi. “Tanah dan Pajak, Hak Milik
dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti
dan Konflik Agraria: Tinjauan Sejarah
Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 4-5
Perbandingan” dalam Noer Fauzi Rachman
Desember.
(peny.). (1997). Tanah dan Pembangunan:
Risalah dari Konferensi INFID ke 10. Robinson, J.A. et.al. (2006). Political foundations
Jakarta: Pustaka Sunar Harapan dan of the resources curse. Journal of
INFID. Development Economics, Vol. 79, pp.
447-468.
Konsorsium Pembaharuan Agraria. (2015). Reforma
Agraria dan Penyelesaian Konflik Agraria Sawit Watch. (2014). “Kaleidoskop Perkebunan
Disandera Birokrasi. Jakarta: Konsorsium Sawit 2014: Tugas Menyelesaikan
Pembaharuan Agraria. Warisan Konflik di Sektor Perkebunan
Sawit” Tandan Sawit edisi No. 8/
Konsorsium Pembaharuan Agraria. (2014).
Desember 2014.
Membenahi Masalah Agraria: Prioritas
Kerja Jokowi-JK Pada 2015. KPA: Jakarta. Soemardjan, Selo. (1984). Budaya Sastra. Jakarta:
Rajawali Press
Mulyani, Lilis (ed). (2011). Strategi Pembaruan
Agraria Untuk Mengurangi Kemiskinan: Tadjoeddin, M Zulfan. (2007). A Future Resource
Latar Belakang, Konsep, dan Implementasi Curse in Indonesia: The Political Economy
Program Pembaruan Agraria Nasional of Natural Resources, Conflict and
(PPAN). Jakarta: Gading Inti Prima. Deevelopment. Oxford: Crise Working
Paper No. 35
Mulyani, Lilis (ed). (2014). Memahami Konflik
Agraria dan Penanganannya di Indonesia. TUK Indonesia, Walhi dan Elsam. (2016).
Jakarta: Gading Inti Prima. “Reforma Agraria, Evaluasi Perizinan
Perkebunan Kelapa Sawit”. Sumber:
Mulyani, Lilis. (2014). Masalah Agraria Kontemporer:
http://elsam.or.id/2016/11/reforma-agraria-
Tantangan Kebijakan Agraria di Indonesia.
evaluasi-perizinan-perkebunan-kelapa-
Sumber: http://u.lipi.go.id/ 1396916220.
sawit/ diakses pada 25 Desember 2016.
Nurdin, Iwan. (2015) “Memahami Konflik Agraria
WALHI. (2014). Database Konflik Agraria tahun
Perkebunan” di dalam FGD yang dilaksanakan
2014.
oleh P2P–LIPI di Ruang Rapat Besar
Widya Graha Lt. 11 pada tanggal 1 Wiradi, Gunawan. (2009). Reforma Agraria
Oktober 2015. Perjalanan yang Belum Berakhir. Bandung:
KPA, Sajogyo Institute, dan Akatiga.
Nordholt dan Klinken (ed) (2007). Politik Lokal di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Zakaria, R Yando dan Iswari, Paramita. Tanpa
Tahun. “Laporan Hasil Assessment:
Palupi, Sri. dkk. (2014). Industri Perkebunan
Pelembagaan Mekanisme Penyelesaian
Sawit dan Hak Asasi Manusia: Potret
Sengketa di Kalimantan Tengah”. Jakarta:
Pelaksanaan Tanggung Jawab Pemerintah
The Samdhana Institute dan Kemitraan.
dan Korporasi terhadap Hak Asasi
Manusia di Kalimantan Tengah. Jakarta: Zanden, Jan Luiten van dan Marks, Daan. (2012).
The Institute for Ecosoc Rights. Ekonomi Indonesia 1800-2010: Antara
Drama dan Keajaiban Pertumbuhan.
Rachman, Noer Fauzi. (2012). Land Reform Dari
Jakarta: KITLV dan Kompas.
Masa ke Masa. Yogyakarta: Tanah Air
Beta.

432 Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 18 No. 3 Tahun 2016

Anda mungkin juga menyukai