Anda di halaman 1dari 21

1

DESENTRALISASI, OTONOMI DAERAH, DAN MASALAH


DEFORESTASI DI SULAWESI SELATAN

Abstrak

Fokus bahasan pada tulisan ini terutama pada apakah desentralisasi telah
mengadopsi aspirasi masyarakat paling bawah, dan apakah desentralisasi
merupakan ancaman bagi eksistensi mereka atau merupakan peluang untuk
perbaikan kehidupan mereka. Studi kasus melalui studi literatur dilakukan
terhadap masyarakat adat Cerekang di Kabupaten Luwu Timur, Propinsi Sulawesi
Selatan. Berdasarkan beberapa literatur, pemanfaatan sumber daya alam di
Kabupaten Luwu Timur telah mengabaikan aspirasi masyarakat sekitar dan
kelestarian lingkungan. Hal ini menimbulkan dampak lanjutan berupa perubahan
pada kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat adat, seperti terjadinya
pergeseran pola pikir, perubahan orientasi ekonomi dan melemahnya
kelembagaan adat.. Akibatnya, desentralisasi dirasakan tidak memberikan harapan
tetapi menjadi ancaman bagi kelangsungan kehidupan masyarakat adat Cerekang
dengan hutan adatnya. Ke depan, pemerintah Kabupaten Luwu Timur perlu
menyiapkan kebijakan pemanfaatan sumber daya alam yang lebih berimbang dan
transparan dengan banyak menampung aspirasi masyarakat.

Kata kunci: desentralisasi, otonomi daerah, masyarakat adat, Luwu.

Abstract

The focus of the discussion in this paper is mainly on whether decentralization


has adopted the aspirations of the people at the grassroots level, and whether
decentralization is a threat to their existence or an opportunity to improve their
lives. A case study through literature study was conducted on the Cerekang
indigenous people in East Luwu Regency, South Sulawesi Province. Based on
some literature, the use of natural resources in East Luwu Regency has ignored
the aspirations of the local community and environmental sustainability. This has
had a follow-on impact in the form of changes in the social, economic and
cultural life of indigenous peoples, such as a shift in mindset, a change in
2

economic orientation and a weakening of traditional institutions. the custom.


Going forward, the government of East Luwu Regency needs to prepare a more
balanced and transparent policy on the utilization of natural resources by
accommodating the aspirations of the people.

Keywords: decentralization, regional autonomy, indigenous peoples, Luwu.

PENDAHULUAN pendapatan dari hutan di wilayah


mereka (Resosudarmo dan
Desentralisasi adalah salah
Dermawan, 2003; Awang dkk.,
satu mekanisme untuk mendekatkan
2001; Djogo, 2001).
pemerintah dengan rakyatnya
(Marut, 2000) dan merupakan alat Otonomi daerah kini menjadi
untuk memberikan pelayanan publik bagian dari sistem pemerintahan
yang lebih baik dan menciptakan nasional di Indonesia. Pengaturan
proses pengambilan keputusan undang-undang yang mengatur
publik yang lebih demokratis (Sidik, pemerintahan daerah didasarkan
2002), namun pelaksanaannya pada Undang-Undang Nomor 32
ternyata menghadapi banyak Tahun 2004. Undang-undang ini
kesulitan. menggantikan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Otonomi daerah dan
Pemerintahan Daerah karena tidak
desentralisasi kehutanan yang kurang
ada lagi mencerminkan perubahan
persiapan memadai mendorong
kondisi, ketatanegaraan, atau
timbulnya kebijakan daerah yang
tuntutan pelaksanaan otonomi
berorientasi sesaat, kedaerahan dan
daerah. Pelengkap Undang-Undang
memandang hutan sebagai sumber
Nomor 32 Tahun 2004 adalah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang
Undang-undang Nomor 33 Tahun
sangat potensial. Oleh karena itu
2004 tentang Keserasian Keuangan
banyak kabupaten mengeluarkan
antara Pusat dan Daerah.
peraturan yang memperbolehkan
kegiatan yang menghasilkan
3

Undang-undang Nomor 33 daerah dianggap lebih memahami


Tahun 2004 mengambil posisi daerahnya masing-masing, maka
menggantikan UU No. 25 Tahun otonomi daerah ini dimaksudkan
1999, yang juga dikritik karena tidak untuk memberikan kewenangan
mengikuti perkembangan situasi, kepada pemerintah daerah untuk
ketatanegaraan, maupun tuntutan mengelola daerahnya sendiri,
otonomi daerah. Saat ini, kita termasuk di bidang ekonomi. Dengan
mengenal istilah “sentralisasi” dan demikian, pemerintah daerah akan
“desentralisasi”. Terdapat kontinum lebih mampu mengembangkan
antara sentralisasi dan desentralisasi daerahnya sebagai hasil dari otonomi
dalam praktik kehidupan berbangsa daerah yang diberikan.
dan bernegara. .Pada sisi lain, tidak
Desentralisasi pembangunan
mungkin menjalankan pemerintahan
berpusat pada daerah dengan tujuan
hanya berdasarkan asas
agar daerah lebih maju, khususnya
desentralisasi.
perekonomian daerah. Undang-
Menempatkan semua Undang Nomor 32 tahun 2004 dan
kekuasaan di tangan sejumlah kecil Undang-undang nomor 23 tahun
manajer atau mereka yang berada di 2014 yang keduanya disahkan oleh
puncak struktur organisasi dikenal Negara Republik Indonesia memuat
sebagai sentralisasi. Sebelum pengaturan yang berkaitan dengan
pembentukan otonomi daerah, otonomi daerah. Dari undang-undang
pemerintah Indonesia sebelumnya yang ada tersebut terlihat betapa
menggunakan sentralisasi secara pentingnya peran pemerintah daerah.
ekstensif. Desentralisasi, di sisi lain, telah mendelegasikan kontrol daerah
dapat dipahami sebagai transfer kepada pemerintah daerah masing-
sumber daya, otoritas, dan tanggung masing, mereka sangat penting untuk
jawab. pertumbuhan daerah masing-masing.

Otonomi daerah sebenarnya Semangat mengejar


telah diterapkan di berbagai negara pendapatan dengan mengeksploitasi
selain Indonesia. Karena pemerintah sumber daya hutan ini sering tidak
4

disertai tanggung jawab untuk 1945 yang menyatakan bahwa;


melakukan perlindungan, konservasi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang
rehabilitasi dan reklamasi hutan. terkandung di dalamnya dikuasai
Dampak negatif tindakan ini banyak, oleh negara dan dipergunakan untuk
mulai dari hutan yang gundul dan sebesar-besarnya kemakmuran
menyebabkan banjir, gagal panen rakyat”. Sebagai interpretasi otentik,
sampai pada kehilangan tempat ideologi tersebut kemudian
mencari nafkah bagi penduduk dituangkan dalam UUPA 1960,
sekitar hutan. Tulisan ini membahas ternyata dalam pelaksanaannya telah
tentang potret masyarakat lokal mengalami banyak hambatan baik
sekitar hutan yang hidupnya secara; politis, sosial dan terutama
bergantung pada keberadaan hutan hambatan ekonomis. Sebagai jalan
dalam menghadapi desentralisasi keluar, salah satunya diundangankan
atau otonomi daerah. Undang Undang Nomor 5 Tahun
1967 tentang Ketentuan-Ketentuan
Indonesia dikenal memiliki
Pokok Kehutanan (UU No.5 Tahun
hutan hujan tropis terbesar di dunia
1967), yang telah merubah wajah
setelah Brasil, Amerika Utara dan
hutan di Indonesia. Pelaksanaan hak
Kanada, selama tiga setengah abad
menguasai oleh negara ini, sebagian
masa penjajahan telah diambil
kewenangannya dapat diberikan
manfaatnya bukan untuk kepentingan
dengan penugasan kepada daerah
rakyat Indonesia. Keinginan dan
(medebewind) dan kepada pejabat
harapan para pendiri negara (the
pusat yang berada di daerah
founding fathers), proklamasi
(dekonsentrasi), dan sebagian
kemerdekaan harus membawa
kewenangan yang bersumber pada
perubahan besar bagi bangsa
hak menguasai oleh negara dapat
Indonesia untuk segera mewujudkan
dilimpahkan kepada, Departemen,
masyarakat adil dan makmur, maka
Lembaga Pemerintah Non-
dipandang perlu menetapkan
Departemen, masyarakat hukum
“ideologi tentang hak menguasai
adat, badan hukum tertentu dengan
oleh negara” sebagaimana yang
hak pengelolaan, salah satunya
diatur dalam Pasal 33 ayat 3 UUD
5

adalah dilimpahkan kepada daerah yang telah beroperasi sejak


Departemen Kehutanan. tahun 2000, berdiri pada tanggal 7
Mei 1999, berdasarkan UU No.22
Fokus bahasan terutama pada
Tahun 1999.UU ini disusun untuk
apakah desentralisasi telah mampu
memenuhi tuntutan reformasi,
mengadopsi aspirasi masyarakat
khususnya untuk mendirikan negara
paling bawah dan apakah
Indonesia baru. yang lebih
desentralisasi merupakan ancaman
demokratis, adil, dan makmur.
bagi eksistensi mereka atau
merupakan harapan untuk perbaikan 2. Implementasi Desentralisasi dan
kehidupan mereka. Contoh kasus Masalah Deforestasi di Sulawesi
yang dijadikan subyek penelitian Selatan
adalah masyarakat Cerekang yang
Kabupaten Luwu Timur
bermukim di Desa Manurung,
terbentuk tahun 2003 dengan delapan
Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu
kecamatan yaitu: Burau, Wotu,
Timur, Propinsi Sulawesi Selatan.
Angkona, Malili, Tomoni,
TINJAUAN HISTORIS Mangkutana, Nuha dan Towuti. Visi
Kabupaten baru ini adalah
1. Desentralisasi di Indonesia
mewujudkan Kabupaten Luwu
Menanggapi tuntutan Timur yang sejahtera dan mandiri di
perubahan, kebijakan desentralisasi atas landasan agroindustri dan
dan otonomi daerah Indonesia ekonomi kerakyatan. Salah satu
ditetapkan pada tahun 1999. Sejak misinya adalah meningkatkan
pengesahan kemerdekaan provinsi, pendapatan asli daerah (PAD).
jaringan terdekat memiliki ruang
Kebijakan dalam sektor
untuk mengambil bagian dalam
kehutanan dan perkebunan bertujuan
pembuatan pengaturan terbuka.
untuk mempertahankan kelestarian
Peluang yang sama ada untuk setiap
alam, khususnya hutan, agar dapat
individu dan kelompok di
meningkatkan daya dukung lahan. Di
masyarakat untuk mengungkapkan
samping itu, menjaga, melindungi
cita-citanya.UU no.Pemerintah
dan mempertahankan
6

keanekaragaman hayati sebagai suatu semakin merajalela. Meningkatnya


ekosistem hutan serta menciptakan penebangan hutan ini disebabkan
kemitraan antara petani dengan oleh adanya perusahaan kayu lapis
pengelola perkebunan. PT. Panply di Kecamatan Burau
(Pedoman Rakyat Jumat, 30-05-
Dalam rangka mengejar
2003).
PAD, hutan merupakan salah satu
sumber yang dapat diperoleh dengan Penebangan tanpa ijin
mudah dan cepat, baik dengan cara dilakukan oleh perorangan atau
mengeksploitasi hasil hutan maupun perusahaan yang tidak memiliki ijin
dengan cara mengkonversi menjadi dan oleh pemegang ijin tetapi lokasi
lahan pertanian, perkebunan dan penebangannya di luar areal yang
perikanan. Kebijakan ini memicu telah ditentukan. Penebangan tanpa
bangkitnya pengusahaan hutan skala ijin di Luwu Timur banyak dilakukan
kabupaten yang ditandai oleh di kawasan lindung dan hutan
banyaknya surat ijin penebangan konservasi sekitar Danau Towuti di
kayu yang diterbitkan oleh Kecamatan Nuha dan di areal
pemerintah daerah. Pada tahun 1998, konsesi PT. INCO. Penebangan liar
hanya ada empat Hak Pengusahaan ini sangat sulit diberantas karena
Hutan (HPH) besar beroperasi di ex- sudah seperti jaringan mafia
Kabupaten Luwu. Setelah Kabupaten
Ancaman terhadap
Luwu Utara terbentuk, Bupati Luwu
kelestarian sumber daya alam juga
Utara menerbitkan tiga ijin
datang dari aktivitas konversi hutan
pemanfaatan kayu pada tahun
menjadi lahan budidaya. Indikasi
2001/2002 yang kemudian
adanya konversi hutan dapat dilihat
meningkat menjadi 14 ijin pada
dari penyusutan luas hutan rawa dan
tahun 2002/2003 dan 10 ijin pada
mangrove. Pada Gambar 6 tampak
tahun 2003/2004.
bahwa setelah desentralisasi, luas
Penebangan hutan secara sah rawa alami menyusut sangat drastis
dengan ijin dari bupati juga diikuti menjadi sepertujuh dari luas
oleh penebangan tanpa ijin yang sebelumnya (dari 28.005 ha menjadi
7

4.170 ha). Penurunan luas rawa perikanan laut, dan Rp. 20,93 miliar
alami dan mangrove ini disertai oleh merupakan nilai pilihan untuk
peningkatan luas tambak (54%), pelestarian keanekaragaman hayati
kolam (202%) dan sawah (86%).
Demikian pula dengan hutan
mangrove primer, yang berkurang
hampir setengahnya (dari 15.835 ha
menjadi 9.885 ha). (dan yang rusak
meningkat 60% . Berdasarkan peta
penutupan lahan terbaru (2003),
hutan mangrove primer di Luwu
Dari data yang telah
Timur hanya tinggal 2,34 ha,
dipaparkan di atas tampak ada
sedangkan mangrove sekunder
korelasi yang jelas antara
10.164 ha.
implementasi desentralisasi dengan
Sejak tahun 1997, Proyek kelestarian sumber daya alam,
Rehabilitasi dan Pengelolaan khususnya hutan. Dikeluarkannya
Mangrove di Sulawesi telah UndangUndang No. 22 Tahun 1999
menyarankan agar pembukaan tentang desentralisasi yang diikuti
tambak di kawasan mangrove Luwu oleh berdirinya kabupatenkabupaten
Timur perlu dihentikan sambil baru dengan segala kebijakan
menunggu solusi pengelolaan pemerintahnya tampaknya
kawasan yang dapat disepakati melahirkan suatu kecenderungan
semua pihak, termasuk masyarakat politik pengejaran PAD dengan dalih
setempat. Alasannya kawasan untuk mensejahterakan rakyat dan
mangrove di Luwu Timur memiliki menjaga kelangsungan
arti yang sangat penting dan pembangunan.
berdasarkan perhitungan ekonomi
Politik pengejaran PAD yang
kawasan mangrove ini memiliki nilai
menjadi isu sentral (mungkin) di
ekonomi total Rp. 293.967 miliar,
seluruh kabupaten di Indonesia telah
dimana Rp. 355,91 miliar merupakan
membuat pemerintah daerah menjadi
nilai terpakai langsung untuk
8

semakin eksploitatif terhadap sumber petani kecil untuk membuka lahan


daya alam di daerahnya. Kebijakan hutan dan menanaminya dengan
pemberian ijin pendirian pabrik kayu jenis tanaman keras untuk ekspor
lapis yang diikuti pemberian ijin merupakan respons terhadap krisis
penebangan hutan telah merangsang ekonomi. Pada waktu itu nilai tukar
eksploitasi hutan secara berlebih dan rupiah terhadap dolar masih sangat
tidak terkendali (penebangan liar). tinggi sehingga komoditas ekspor
dari sektor pertanian, perkebunan
Demikian juga titik berat
dan perikanan yang dijual dengan
pembangunan di sektor agribisnis
harga dolar mendatangkan
yang diikuti dengan kebijakan
keuntungan besar. Sejak saat itu
pembangunan perkebunan negara,
banyak masyarakat di Sulawesi
swasta dan dukungan bagi
Selatan umumnya dan di ex-
pengembangan kebun-kebun rakyat
Kabupaten Luwu khususnya
telah mendorong konversi lahan-
membuka lahan hutan untuk kebun
lahan hutan yang sebagian dilakukan
kakao, lada, kopi, vanili serta tambak
tanpa perencanaan yang baik. Hal ini
udang dan bandeng.
ditunjukkan oleh adanya
kecenderungan untuk Meskipun nilai tukar rupiah
mengedepankan kepentingan terhadap dolar telah menurun dan
ekonomi tetapi mengabaikan relatif stabil, kegiatan konversi lahan
pertimbangan ekologis dan sosial. hutan masih terus berlangsung dan
Konversi lahan hutan tanpa ijin ada kecenderungan semakin
(perambahan hutan) yang dilakukan menjadi-jadi. Hal ini tampaknya
oleh masyarakat pada mulanya dimotivasi oleh euforia otonomi
merupakan respon terhadap krisis daerah yang berlebihan, yang
ekonomi yang terjadi pada tahun umumnya diartikan sebagai
1997. kebebasan untuk menikmati sumber
daya alam di daerahnya meskipun
Hal ini senada dengan
dengan cara yang tidak ramah
pendapat Sunderlin (2003) yang
lingkungan. Bahkan, kegiatan
menyatakan bahwa kecenderungan
konversi lahan dan pengurasan
9

sumber daya alam ini semakin kecemburuan sosial masyarakat lokal


merajalela karena pemerintah daerah terhadap pendatang. Kekhawatiran
tidak mampu mengendalikannya. ini tidak boleh dipandang remeh
karena menurut data statistik, pada
Subsektor kehutanan Luwu
tahun 2003 di wilayah ex-Kabupaten
Timur di masa datang tampaknya
Luwu Utara, terjadi konflik
akan menemui banyak masalah. Di
antarwarga di 18 desa, antarsuku di
satu sisi, penebangan tanpa ijin
tiga desa dan konflik lainnya di
semakin merajalela dan tidak mampu
sembilan desa (BPS Prop. Sulsel,
dikendalikan, sementara di sisi lain
2003).
ijin hak pengusahaan hutan skala
kecil banyak disalahgunakan untuk Meskipun dalam data tersebut
melakukan penebangan di luar areal tidak disebutkan sumber atau
yang ditentukan. Konflik penyebab konfliknya, sifat dan sikap
kepentingan dengan subsektor masyarakat yang mudah terprovokasi
pertambangan juga mungkin akan berpotensi menyebabkan konflik.
terjadi. Hal ini diindikasikan dengan Apalagi dalam era otonomi daerah,
penemuan deposit marmer di dikotomi antara putera daerah dan
Pegunungan Kawata yang sebagian pendatang masih sangat mengemuka
arealnya merupakan hutan lindung; dan sering dimanfaatkan oleh oknum
deposit marmer, talc dan emas di yang tidak bertanggung jawab untuk
Cagar Alam Faruhumpenai dan mendapatkan keuntungan politik dan
deposit emas di Cagar Alam Kalaena ekonomi sesaat.

Politik pengejaran PAD tanpa PEMBAHASAN


memperhatikan aspirasi masyarakat
Desentralisasi
lokal, seperti yang terjadi pada
pembangunan tambak di pantai timur Indonesia saat ini sedang

Luwu Timur yang sebagian besar menjalankan upaya desentralisasi

dimiliki oleh masyarakat dari luar, di yang paling cepat dan meluas yang

masa mendatang dikhawatirkan pernah ada dalam sejarah, dimotori

dapat menimbulkan konflik akibat oleh kekuatan- kekuatan politik


10

regional yang muncul sejak jatuhnya sejak awal 1970-an (Delay et.al,
pemerintahan Suharto yang 1995; Devas, 1997; Rohdehwold,
sentralistik dan otoriter. Walaupun 1995), namun elemen-elemen
besar dan beragam, Indonesia pada utamanya tidak pernah terlaksana.
waktu itu memiliki sistem Dipicu oleh krismon dan pergolakan
administrasi dan fiskal yang sangat politik yang timbul setelah itu,
terpusat. Dalam fiskal 1999, Indonesia sekarang mengambil
misalnya, pemerintah pusat langkah raksasa dalam desentralisasi
mengumpulkan 94 persen dari politik dan fiskal. Pemerintah
pendapatan pemerintah secara umum merespon kepada permintaan akan
dan sekitar 60 persen dari desentralisasi yang semakin keras
pengeluaran daerah dibiayai oleh ketika DPR dengan cepat menyetujui
transfer dari pusat. Sistem ini dua undang-undang di bulan April
memperlemah hubungan antara 1999 dengan menetapkan tanggal 1
permintaan lokal dan pengambilan Januari 2001 sebagai mulai
keputusan dalam hal pelayanan dilaksanakannya desentralisasi yang
publik lokal, mengurangi drastis, yang bisa dikatakan sebagai
akuntabilitas lokal, dan membuat “big bang” (“ledakan keras”).
alokasi yang bersifat ad hoc dari
Deforestasi
sumberdaya fiskal di seluruh daerah.
Kondisi Hutan di Sulawesi
Di masa lalu, ketidakpuasan
merupakan salah satu yang memiliki
timbul akibat pengendalian
banyak flora dan fauna endemik
pemerintah pusat terhadap
yang hidup di dalam hutan
penghasilan dari sumber daya alam
Indonesia. Ekosistem hutan yang
di daerah serta kurang sensitifnya
baik mampu menyediakan jasa
pemerintah terhadap perbedaan
lingkungan untuk ekosistem yang
antardaerah; ketidakpuasan ini
ada disekitarnya (Turner dkk. 2007).
kemudian memunculkan permintaan
Penurunan fungsi hutan menjadi
yang kuat akan pembagian
ancaman bagi sebuah ekosistem.
kekuasaan. Berbagai proposal untuk
desentralisasi fiskal telah dibuat
11

Deforestasi adalah salah satu yang paling berkontribusi terhadap


penyebab turunnya fungsi hutan. terjadinya deforestasi dan dapat
Deforestasi merupakan perubahan berkaitan langsung dengan aktor atau
tutupan hutan menjadi tutupan bukan pelakunya (Geist dan Lambin, 2002).
hutan yang terjadi secara permanen. Sunderlin dan Resudarmo (1997)
Definisi deforestasi menurut FAO menyatakan bahwa penyebab
(2000) adalah konversi hutan deforestasi ada tiga tingkatan.
menjadi penggunaan lain dengan Penyebab pertama adalah pelaku
penutupan tajuk dibawah 10%. (actor) yang merupakan pihak yang
Deforestasi telah menjadi masalah melakukan deforestasi
nasional karena berdampak terhadap (petani/perambah hutan, HTI atau
kondisi perekonomian nasional, perusahan HPH dan perkebunan).
kesejahteraan masyarakat dan Penyebab yang kedua adalah
ancaman keanekaragaman hayati penyebab langsung yakni parameter
yang terkandung di dalam hutan yang mempengaruhi keputusan atau
(Nawir dan Rumboko, 2008). perilaku (harga komoditi,
aksessibilitas, pasar, perkembangan
Deforestasi menyebabkan
teknologi dan kebudayaan).
terjadinya degradasi lahan sehingga
menurunkan kualitas dan Dampak Desentralisasi pada
produktivitas suatu lahan. Selain itu, Masyarakat
deforestasi menyebabkan hilangnya
Atas dasar desnetralisasi dan
habitat alami flora dan fauna
pemerataan pembangunan,
endemik. Deforestasi terjadi karena
Pembangunan tambak di sekitar
faktor alami berupa perubahan iklim
hutan adat yang sebagian
atau bencana alam atau faktor
“merampas” lahan milik komunitas
aktivitas/gangguan manusia.
adat Cerekang, telah menimbulkan
Deforestasi yang terjadi akibat
perpecahan di dalam komunitas adat
peristiwa alam dapat berupa kejadian
Cerekang, khususnya dalam hal
cuaca ekstrim, kekeringan dan
tanggapan terhadap pembangunan
kebakaran hutan (Eckert dkk 2015).
tambak di sekitar Cerekang.
Perilaku manusia menjadi penyebab
12

Meskipun sebagian besar setuju Kelompok kedua adalah


(43%), ada cukup banyak yang tidak mereka yang masih memegang teguh
setuju (38%). adat. Untunglah ada masyarakat yang
bersifat moderat (24%) yang
Yang menyatakan tidak
menyatakan hutan Cerekang boleh
setuju umumnya adalah mereka yang
dimanfaatkan tetapi dengan
tidak dapat menikmati atau tidak
pembatasan. Desentralisasi telah
memiliki akses penguasaan tambak
menimbulkan sikap pesimis bagi
karena tidak memiliki biaya untuk
banyak masyarakat di Desa
pembukaan hutan dengan alat berat,
Manurung. Setidaknya hal ini
membayar PBB dan pengurusan ijin.
tergambar dari tanggapan responden
Sebagian yang lain tidak setuju
yang menyatakan enak setelah
dengan pengembangan tambak
desentralisasi hanya 42%, sedangkan
karena lahan pencahariannya yaitu
sisanya menyatakan lebih enak
hutan nipah dan hutan mangrove
sebelum desentralisasi (29%), sama
menjadi berkurang.
saja 19% dan tidak menjawab 10%.
Perubahan pola pikir juga
Hal ini tidak jauh berbeda
tampak dari pendapat masyarakat
dengan temuan Sunderlin dkk (2000)
tentang bagaimana seharusnya hutan
yang melakukan penelitian di enam
Cerekang dikelola. Ternyata 47%
propinsi di luar Jawa yang hasilnya
responden menginginkan hutan
63% responden mengatakan lebih
Cerekang bebas dimanfaatkan dan
buruk, 19% lebih baik dan 18% sama
29% menginginkan dibiarkan apa
saja. Beberapa keluhan yang
adanya. Sebelum reformasi dan
disampaikan sebagai alasan mengapa
desentralisasi, mungkin komposisi
sebelum desentralisasi lebih enak
ini terbalik atau bahkan sebagian
adalah:
besar masyarakat adat menghendaki
hutan Cerekang dibiarkan apa a) Setelah desentralisasi terjadi
adanya. Kelompok pertama adalah peningkatan macam dan jumlah
mereka yang berorientasi ekonomi pajak, seperti tambak atau empang
semata. yang sebelumnya tidak dipajak kini
13

dikenakan dipajak, demikian juga Manurung menggantungkan


pajak bumi dan bangunan nilainya hidupnya sebagai nelayan sambil
meningkat. berkebun; 430 keluarga berkebun
saja dan di antara petani kebun dan
b) Tidak adanya ketegasan hukum
nelayan tersebut; sekitar 110
dan stabilitas keamanan yang
keluarga merupakan perajin atap
mantap, misalnya frekuensi konflik
nipah (Monografi Desa Manurung,
antar kelompok warga meningkat.
2003).
c) Maraknya suap di hampir semua
Pekerjaan sebagai nelayan
urusan perijinan usaha dan terkesan
dan perajin atap nipah sangat
dipersulit.
dipengaruhi oleh keberadaan hutan
d) Pemerintah tidak mampu berbuat mangrove dan nipah di sekitar
banyak dalam kontrol harga sarana Sungai Cerekang. Setelah
produksi tani, sementara harga jual desentralisasi, para perajin atap nipah
hasil pertanian (terutama gabah) merasakan bahan bakunya semakin
tetap rendah. berkurang akibat dikonversinya

e) Semakin sulit mencari nafkah hutan nipah untuk tambak. Para

sebagai akibat hilangnya hutan nelayan juga merasakan semakin

tempat mencari nafkah, menurunnya sulit mencari ikan di sungai dan


populasi ikan, berkurangnya perairan laut sejak adanya konversi

pendapatan dari hutan serta akses hutan nipah dan mangrove secara

terhadap hutan dan hasil hutan ekstensif. Keluhan perajin atap nipah

semakin sulit. tidak boleh diabaikan mengingat


pada tahun 1999, dari 2.278 perajin
Menurut salah seorang tetua
atap nipah di Luwu Timur, 65%
adat, dahulu masyarakat adat
berasal dari Kecamatan Malili yang
Cerekang merupakan masyarakat
terpusat di sekitar Sungai Cerekang
yang memiliki pola hidup sederhana,
(Kab. Luwu Utara dalam Angka,
kekeluargaan dan tidak mengejar
1999). Di samping itu, pekerjaan
kepentingan duniawi (materalistis).
membuat atap nipah ini memiliki
Sekitar 104 keluarga di Desa
prospek yang baik, karena masih
14

banyak rumah penduduk di di Desa Lakawali. Proyek tambak ini


Kabupaten Luwu (45%) dan diikuti oleh pembangunan tambak di
exKabupaten Luwu Utara (40%) sekitar Sungai Cerekang oleh para
yang menggunakan atap nipah. pendatang dengan mengkonversi
sebagian hutan Cerekang yang
Seiring dengan modernisasi
selama ini diklaim sebagai milik
dan perkembangan wilayah, pola
komunitas Cerekang. Para pendatang
hidup masyarakat Cerekang mulai
memperoleh tambak dengan cara
berubah, misalnya dalam hal mencari
membeli kepada penduduk asli
nafkah sudah ada yang menjadi
Cerekang. Sebagian penduduk
pengusaha penggergajian kayu,
setempat mengkapling hutan untuk
pedagang kayu, petambak,
dijual karena tidak memiliki cukup
pengusaha angkutan dan pegawai
modal untuk mengusahakan
negeri atau swasta. Meskipun
tambaknya sendiri. Sebagian besar
demikian, pandangan mereka tentang
petambak pendatang lainnya
hutan adat tidak berubah sampai
memperoleh lahan tambak dengan
pada era reformasi yang diikuti
cara membeli kepada sejumlah
dengan otonomi daerah. Sejak saat
oknum pejabat pemerintah setempat
itu, perubahan gaya hidup
(kecamatan atau desa). Proyek
masyarakat adat Cerekang semakin
tambak ini menimbulkan dua
terlihat nyata. Kegiatan pencaharian
dampak penting, pertama masyarakat
mereka juga tidak lagi subsisten
lokal ikut mengkonversi hutan
tetapi sudah merespon pasar. Seiring
menjadi tambak dan kedua, mereka
dengan perubahan gaya hidup
mengkapling hutan, kemudian
mereka, juga terjadi perubahan
menjualnya kepada pendatang.
pandangan mereka terhadap hutan
Motivasi untuk membuat tambak
Cerekang. Hal ini ditunjukkan oleh
dapat dimengerti karena menurut
kegiatan mereka membuka hutan
penelitian Kulp dan Baruadi (1997)
Cerekang menjadi tambak sebagai
budidaya tambak di Luwu Timur
respon atas proyek tambak yang
memberikan kontribusi pendapatan
dikembangkan oleh pemerintah
48% dari total pendapatan rumah
daerah di sekitar desa mereka, yaitu
15

tangga, sementara kegiatan mencari sejalan dengan kebijakan


kepiting dan udang yang selama ini pembangunan daerah yang bertumpu
mereka kerjakan hanya memberikan pada agroindustri berorientasi ekspor
kontribusi 3% dan membuat atap serta merupakan obyek perolehan
hanya nipah 1%. Tindakan PAD dari retribusi dan pajak. Dari
pengkaplingan dan konversi hutan di gambaran tersebut dapat disimpulkan
sekitar Sungai Cerekang bahwa perubahan motivasi dan
menimbulkan kekhawatiran sebagian orientasi ekonomi masyarakat
besar komunitas adat Cerekang yang Cerekang disebabkan oleh tiga hal
selama ini mengklaim sebagai pokok yaitu: (1) pengaruh
“pemilik” hutan Cerekang dan modernisasi yang merupakan hasil
menggantungkan hidupnya pada pembangunan, (2) penetrasi pasar
hutan tersebut. Kekhawatiran ini yang sampai pelosok desa dan (3)
diekspresikan dengan cara desentralisasi (otonomi daerah).
memasang papanpapan bertuliskan Perubahan penilaian terhadap hutan
“Milik Masyarakat Cerekang” di adat yang bersifat destruktif
areal hutan sekitar Sungai Cerekang disebabkan oleh lemahnya kontrol
agar tidak dikonversi atau dikapling dari kepemimpinan adat serta
dan diperjualbelikan. Pembangunan kebijakan daerah dan nasional yang
tambak oleh pemerintah daerah yang tidak berpihak pada masyarakat adat.
mengabaikan aspek sosial dan Hal ini antara lain ditunjukkan oleh
ekologi ternyata diikuti oleh belum diakuinya secara legal
masyarakat lokal maupun pendatang keberadaan masyarakat adat dan
dengan cara yang sama yaitu hutan adat Cerekang oleh pemerintah
mengkonversi hutan lindung di daerah dan pusat. Sedangkan
sekitar Sungai Cerekang. Kegiatan desentralisasi mempercepat proses
ini tampaknya semakin tidak tersebut karena merupakan
terkendali dan terkesan dibiarkan pembebasan aspirasi masyarakat di
oleh pemerintah daerah dari tingkat daerah yang selama ini merasa
desa sampai kabupaten. Hal ini dikekang oleh pemerintahan yang
mungkin karena kegiatan tersebut sentralistik.
16

24/1997 & Permen Agraria 5/99


wilayah adat merupakan tanah bukan
Posisi Masyarakat Adat dalam
negara yang harus diakui
Desentralisasi
keberadaannya. Sedangkan menurut
Dalam TGHK, hutan adat UUK merupakan hutan negara.
Cerekang termasuk Hutan Lindung,
Disamping tidak adanya
Hutan Produksi Terbatas dan Areal
kepastian juga menimbulkan rasa
Penggunaan Lain. Meskipun TGHK
ketidakadilan bagi sebagian
bukan merupakan status, melainkan
masyarakat yang tinggal di wilayah
hanya penunjukkan kawasan hutan
tersebut sehingga sering
yang tidak memiliki kekuatan
menimbulkan kasus penjarahan dan
hukum, tetapi pada masa sentralistik
penebangan liar. Hak-hak
ditakuti dan ditaati sehingga kawasan
masyarakat masih belum tuntas
hutan Cerekang yang termasuk
diatur dalam UUK, akibatnya sering
dalam Hutan Lindung dan Hutan
terjadi konflik antara masyarakat
Produksi Terbatas tidak dibuka atau
dengan para investor yang masuk ke
diubah fungsinya. Setelah reformasi
wilayah tersebut. Untuk
dan desentralisasi, pemerintah daerah
menghindarkan konflik sekaligus
maupun masyarakat tidak takut lagi
sebagai salah satu upaya
sehingga tidak mentaati lagi TGHK.
pemeliharaan hutan, diperlukan
Hal ini juga dapat dilihat dari pemetaan kembali kawasan hutan
kebijakan pemerintah daerah adat.
membangun tambak di dalam Hutan
Adanya ketidakpastian status
Lindung dan Hutan Produksi
hutan dan ketidaktegasan pemerintah
Terbatas sekitar hutan Cerekang.
daerah serta tidak diselesaikannya
Pengaturan Hutan Adat dalam
penataan batas secara benar oleh
UndangUndang Tentang Kehutanan
pemerintahan di masa sentralisasi
(UUK) No 41/1999 bertentangan
telah mendorong sebagian
dengan Undang-Undang Pokok
masyarakat berani mengkapling
Agraria (UUPA) No 5/1960.
hutan untuk diolah atau dijual.
Menurut UUPA dan turunannya (PP
17

Bahkan, ada anggota masyarakat perkotaan) dan “kesadaran beragama


adat Cerekang yang sudah mulai ikut formal”.
mengkapling dan menjual lahan
Sebagian masyarakat
hutan komunal. Perilaku
Cerekang yang telah menganut
pengkaplingan dan penjualan lahan
agama Islam secara kuat,
hutan adat milik komunal
menganggap kepercayaan dan ritual-
menunjukkan semakin melemahnya
ritual adat sebagai suatu
lembaga adat.
kemusyrikan yang harus ditinggalkan
Hal ini antara lain karena (Lapar-Desantara, 2003).
sanksi hukum adat yang hanya
Sebagai contoh, sikap
berupa ancaman mendapat murka
masyarakat yang menganggap buaya
dari alam. Desentralisasi diduga telah
di Sungai Cerekang sebagai
memicu percepatan pergeseran
keturunan manusia dan sikap
penilaian masyarakat terhadap hutan
mengkeramatkan hutan dianggap
adat. Dahulu mungkin sebagian besar
bertentangan dengan pengetahuan
masyarakat sepakat bahwa hutan
modern dan agama formal.
Cerekang adalah milik bersama
Ketidakpastian hukum atas hutan
(komunal) masyarakat Cerekang,
adat dan masyarakat adat Cerekang
tetapi pada saat disurvei pada awal
pada masa orde baru menjadi
tahun 2004, ternyata 49% responden
semakin tidak pasti setelah masa
mengatakan bahwa hutan tersebut
otonomi daerah dan ironisnya justru
dapat dimiliki secara perorangan,
setelah UUK disahkan. Meskipun
sementara yang menyatakan milik
pada masa orde baru tidak ada
komunal hanya 25%, milik
kepastian hukum atas hutan adat dan
pemerintah 13% dan selebihnya
masyarakat adat Cerekang, tetapi
(13%) tidak tahu. Pranata adat yang
masyarakat pada masa itu masih
semakin ditinggalkan oleh
merasa takut untuk melanggar
masyarakatnya juga disebabkan oleh
TGHK atas hutan Cerekang.
modernisasi yang ditandai dengan
meningkatnya pengetahuan luar Disamping itu pemerintah

(misalnya sekolah yang bias daerah belum merasakan


18

kepentingan atas kawasan tersebut dilakukan secara sah maupun


sehingga tidak mengganggu melanggar hukum.
keberadaan hutan adat dan
Tampaknya, Kabupaten
masyarakat adat Cerekang tersebut.
Luwu Utara maupun Luwu Timur
Dengan desentralisasi, masyarakat
yang dibentuk sebagai implementasi
tidak takut lagi dan pemerintah
dari UU No. 22/1999 belum siap
daerah memiliki motivasi untuk
melakukan pengelolaan sumber daya
“merambah” kawasaan hutan adat
alam hutan secara baik. Hal ini
Cerekang. Akibatnya masyarakat
ditunjukkan oleh kacaunya
adat Cerekang terancam dan tidak
pemanfaatan kawasan hutan, di mana
memiliki kepastian atas nasibnya di
TGHK yang ada tidak dipatuhi
masa mendatang.
secara konsisten sehingga
KESIMPULAN menimbulkan ketidakpastian hukum
atas status kawasan hutan, termasuk
Meskipun fenomena
status hutan adat Cerekang. Tata
perambahan hutan dan penebangan
pemerintahan Kabupaten Luwu
tanpa ijin telah dimulai sejak krisis
Utara/ Timur yang belum siap telah
ekonomi dan merupakan respon
membawa perubahan pada
terhadap reformasi yang berlebihan.,
kehidupan sosial, ekonomi dan
Kecenderungan ini bertambah parah
budaya masyarakat sekitar hutan dan
setelah era desentralisasi. Hal ini
masyarakat adat, seperti terjadinya
terjadi karena pemerintah daerah
pergeseran pola pikir, perubahan
tidak mampu mengendalikannya.
orientasi ekonomi dan melemahnya
Sementara, kebijakan daerah yang
kelembagaan adat. Hal ini justru
berorientasi sesaat dan menganggap
akan sangat merugikan bagi
hutan sebagai sumber PAD yang
pengelolaan hutan, karena secara
sangat potensial telah mengakibatkan
perlahan tetapi pasti, kearifan
meningkatnya penebangan hutan
tradisional mereka dalam mengelola
(baik berijin maupun tidak), dan
hutan akan punah.
konversi hutan untuk perkebunan,
pertanian dan perikanan, baik yang
19

Meskipun dengan adanya pemerintah Kabupaten Luwu Timur


desentralisasi banyak putera daerah perlu mempersiapkan kebijakan yang
duduk di Dewan Perwakilan Rakyat lebih berimbang antara
Daerah dan pemerintahan daerah, memperhatikan kepentingan
sehingga diharapkan dapat lebih ekologis, sosial dan ekonomi. Dalam
mengerti dan mampu menangkap waktu dekat, pembangunan tambak
aspirasi masyarakatnya, namun di kawasan mangrove pantai timur
kenyataannya masih banyak aspirasi perlu segera dihentikan dan jika akan
masyarakat yang belum diperhatikan. dikembangkan perlu dicari
kesepakatan antara masyarakat lokal,
Hal ini terjadi karena
masyarakat adat dan investor
tampaknya pemerintah daerah lebih
sehingga di masa datang tidak
mengedepankan politik pengejaran
menimbulkan konflik. Dalam rangka
PAD dengan segala upaya
kepastian hukum status kawasan
eksploitasi terhadap sumber daya
hutan, perlu segera disiapkan rencana
alam. Dari penelitian ini juga dapat
tata ruang termasuk di dalamnya
ditangkap aspirasi masyarakat adat
rencana konversi hutan harus jelas
Cerekang bahwa dengan adanya
dan transparan dengan melibatkan
desentralisasi mereka menaruh
masyarakat. Untuk menyelamatkan
harapan besar untuk dapat lebih
hutan adat Cerekang, perlu dilakukan
diakui keberadaannya dan dapat
pemetaan kembali dengan cara
meningkatkan kesejahteraannya,
partisipatif yang disertai dengan
tetapi sebaliknya juga dapat
penataan batas definitif. Di samping
ditangkap rasa kekhawatiran mereka
itu, keberadaan masyarakat adat dan
yang menganggap bahwa
hutan adat Cerekang perlu
desentralisasi juga merupakan
dikukuhkan dan dibina agar mereka
ancaman bagi keberlangsungan
dapat meningkatkan
kehidupan mereka dan bagi
kesejahteraannya tanpa harus
keberadaan hutan adat mereka.
mengorbankan hutan adatnya.
Ke depan, dalam melakukan
pengelolaan sumber daya alam,
20

Administration and
Development, 17(3): 251-68.

Diamond, Larry. 1999. Developing


Democracy toward
Consolidation. Baltimore and
London: The John Hopkins
University Press. Dimock, E.
Marshall. Administrasi
Negara. Erlangga : Jakarta

Fauzi, Noer, et.al., 2000, Otonomi


Daerah dan Sengketa Tanah,
Pergeseran Politik di Bawah
Problem Agaria, Cetakan I,
DAFTAR PUSTAKA LAPERA, Yogyakarta. Gani,
Abdul, “Corat-coret tentang
Departemen Kehutanan, 1986,
Pemikiran Hukum di
Sejarah Kehutanan Indonesia
Indonesia”, Makalah,
II-III Periode 1942 - 1983,
Seminar Sehari, Universitas
Jakarta.
Merdeka, Madiun.
Delay, S., Lamb, D. and Devas, N.
Harsono, Boedi, 2003, Menuju
1995. ‘Funding System for
Penyempurnaan Hukum
Daerah Percontohan’, Report
Tanah Nasional (dalam
to the Government of
Hubungannya dengan
Indonesia, Development
TAPMPR RI
Administration Group,
No.IX/MPR/2001, Penerbit
University of Birmingham
Universitas Trisakti, Jakarta.
Devas, N. (1997), ‘Indonesia: What
Heriman, 2001, Pengelolaan
Do We Mean by
Sumberdaya Hutan dalam
Decentralization?’ Public
Perspektif Otonomi Daerah
21

(Studi Kasus Kabupaten


Sawahlunto Sijunjung,
Provinsi Sumatera Barat),
Tesis, Program Pascasarjana
Universitas Barwijaya,
Malang

Anda mungkin juga menyukai