Anda di halaman 1dari 16

UNIVERSITAS INDONESIA

Kaitan Antara Kewenangan Pemerintah Daerah dengan Otonomi Daerah dalam


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia

KELOMPOK 5
Kelas Reguler C

1. Agatha Moy 1806219633

2. Diana Desiree H. 1806220401

3. Ravel Dillon Chandra 1806220566

4. Ruth Maria Kezia 1806139613

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA REGULER
DEPOK
2020
I. Pendahuluan
Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan kewajiban
bagi negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan dalam pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber
dan penunjang hidup seluruh rakyat dan makhluk hidup lain di Indonesia. Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD45”) sendiri juga telah
memberikan jaminan atas keberlangsungan lingkungan hidup di Indonesia, sehingga
pemerintah harus melaksanakan kewajibannya untuk melindungi dan mengelola
lingkungan hidup di Indonesia.1
Dalam pelaksanaan kewajiban pemerintah untuk melindungi dan mengelola
lingkungan hidup, adanya kelembagaan lingkungan merupakan faktor keberhasilan
pengelolaan lingkungan. Keberadaan kelembagaan pengelolaan lingkungan baik di pusat
maupun di daerah memiliki peran strategis dan signifikan dalam melakukan pengelolaan
lingkungan. Dengan demikian, kelembagaan pengelolaan lingkungan daerah yang
mandiri dan kuat sangatlah diperlukan dan juga merupakan basis utama keberhasilan
pengelolaan lingkungan. Hal ini juga seharusnya dapat terlaksana dengan luasnya
wewenang daerah yang diberikan melalui proses desentralisasi dan otonomi daerah. 2
Meskipun berdasarkan Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD NRI 1945 pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup merukan wewenang negara atau pemerintah pusat,
dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
pemerintah pusat telah memberikan wewenang kepada pemerintah daerah. Hal inilah
yang disebut dengan desentralisasi dan juga otonomi daerah, dimana Pemerintah telah
menyerahkan wewenang pemerintahan kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintah.3 Sehingga, kewenangan daerah dalam penyelenggaraan
berbagai urusan pemerintahan daerah, merupakan kewenangan delegasi.
Karena kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah merupakan kewenangan
delegasi, maka wewenang yang didelegasikan kepada pemerintah daerah, termasuk

1 Shira Thani, "Perananan Hukum Dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," Jurnal
Warta Edisi : 51 (Januari 2017), hlm. 2.
2 Muhammad Akib, “Wewenang Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi Daerah,”
Jurnal Media Hukum 19 (Desember 2012), hlm. 244.
3 Risno Mina, “Desentralisasi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai Alternatif
Menyelesaikan Permasalahan Lingkungan Hidup,” Arena Hukum Vol.2, No.2 (Agustus 2016), hlm. 150.
terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup harus diatur secara jelas dalam peraturan
perundang-undangan. Kejelasan wewenang ini sangatlah penting untuk mencegah adanya
tindakan pemerintahan daerah yang tidak didasarkan pada wewenang yang sah yang
didelegasikan, dan juga dapat mempermudah pemerintah pusat untuk melakukan
pengawasan dan meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah daerah.4
Hal tersebut menunjukkan terbatasnya wewenang daerah yang mengakibatkan
sempitnya ruang gerak pemerintah daerah dan juga kelembagaan lingkungan daerah.
Sehingga, untuk memperkuat wewenang daerah, termasuk wewenang kelembagaan
lingkungan, melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UUPPLH”) telah diberikan beberapa wewenang baru
terhadap pemerintah daerah, seperti menetapkan dan melaksanakan kebijakan Rencana
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“RPPLH”), menetapkan dan
melaksanakan kebijakan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (“KLHS”), menerbitkan,
mengawasi, dan menegakkan izin lingkungan.5
Namun, dengan bertambahnya wewenang pemerintah daerah dan kelembagaan
lingkungan melalui UUPPLH, muncul problematika hukum dan pertanyaan terkait
kewenangan pemerintah daerah dan otonomi daerah dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkingan hidup dan juga problematika hukum lainnya, yang dikarenakan banyaknya
kewenangan baru yang diberikan oleh UUPPLH yang belum tertampung dalam PP
Nomor 38 tahun 2007. Selain itu, pada tahun 2020 juga telah dikeluarkan Undang-
Undang UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UUCK”), dimana diatur juga
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan dan berdampak terhadap wewenang
pemerintah daerah.

Adapun yang menjadi pemasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kewenangan pemerintah daerah sekaligus otonomi daerah dalam UUPLH?


2. Bagaimana kelebihan dan kekurangan dari kewenangan pemerintah daerah dalam
PPLH?

4 Muhammad Akib, “Wewenang Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi Daerah,”
Jurnal Media Hukum 19 (Desember 2012), hlm. 244.
5 Ibid, hlm. 245.
3. Bagaimana perubahan kewenangan pemerintah daerah dan otonomi daerah terkait
PPLH dengan adanya UUCK?

II.
III. Pembahasan
A. Kewenangan Pemerintah Daerah sekaligus Otonomi Daerah dalam UU PPLH

Kewenangan Pemerintah Daerah menjadi hal penting dalam menjalankan


perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal tersebut bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan publik dan pemberdayaan
komunitas lokal dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.6
Kewenangan tersebut bersumber atau diperoleh secara atribusi, delegasi, dan mandat.
Van Wijk dan Konijnenbelt mengartikan atribusi sebagai pemberi kewenangan kepada
organ pemerintahan oleh pembuat undang-undang, delegasi sebagai pelimpahan
wewenang dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya, dan mandat
sebagai diizinkannya organ lain menjalankan kewenangan atas nama suatu organ
pemerintahan.7 Kewenangan yang dimiliki Pemerintah Daerah berasal dari kewenangan
atribusi dan delegasi. Pemerintah Daerah mendapatkan kewenangan melalui atribusi
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatur mengenai pemberian
wewenang oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan atau biasa disebut dengan desentralisasi. Sementara itu, kewenangan
melalui delegasi akan diatur dalam peraturan perundang-undangan supaya pemerintah
daerah dapat diawasi, dimintakan pertanggungjawaban, dan dicegah dari tindakan tanpa
wewenang yang sah.

Kewenangan tersebut ada berdasarkan asas desentralisasi dan otonomi daerah.


Desentralisasi menurut Koesoemahatmadja adalah pelimpahan kekuasaan pemerintahan
dari pusat kepada daerah-daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri (daerah-
daerah otonom).8 Desentralisasi sudah muncul di Indonesia sejak penjajahan kolonial
Belanda dengan diberlakukannya Decentralisatie Wet 1903 melalui Koninklijke Besluit
Nomor 39 Tahun 1904 dan Ordonansi Nomor 181 Tahun 1905. 9 Pasal 18 UUD 1945
menjadi dasar keberlakuan desentralisasi di Indonesia yang mengatur tentang pembagian
6 Priyatno Harsasto dan Susilo Utomo, “Democracy, Decentralization, and Efficiency: A Study Of
Bureaucratic Reforms in Indonesia,” E3S Web of Conference 73 (2018), hlm. 3
7 Muhammad Akib, “Wewenang Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi Daerah,”
Jurnal Media Hukum 19 (Desember 2012), hlm. 243.
8 Erwin Hidayah Hasibuan, “Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi Daerah,” De Lega
Lata 2 (Januari-Juni 2018), hlm. 6.
9 Akib, “Wewenang…,” hlm. 240.
negara ke dalam daerah-daerah. Dianutnya desentralisasi kemudian diwujudkan dalam
bentuk kebijakan otonomi daerah. Otonomi memiliki makna membuat perundang-
undangan sendiri, tetapi dalam perkembangannya konsep otonomi daerah juga
mencakup zelbestur (pemerintahan sendiri).10 Otonomi daerah dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.11 Terkait perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menegaskan
bahwa pemerintah daerah, yaitu provinsi dan kabupaten/kota memiliki kewenangan yang
sama dengan pemerintah pusat.

Terkait kewenangan pemerintah daerah, setidaknya terdapat tiga ketentuan


normatif yang mempertegas bahwa urusan tersebut menjadi urusan daerah otonom. 12
Pertama, Pemerintah Daerah dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 memiliki
kewenangan yang sama dengan Pemerintah Pusat untuk melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang membutuhkan izin lingkungan.
Contohnya seperti di dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 (UU PPLH)
di mana menteri, gubernur, atau walikota dapat menerbitkan izin lingkungan sesuai
dengan kewenangannya.13 Kedua, otonomi daerah merupakan salah satu asas dalam UU
PPLH untuk menjalankan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Penjelasan
pasal tersebut menyebutkan bahwa Pemerintah Daerah mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ketiga, Pasal
10 UU Nomor 32 Tahun 2004 merupakan dasar untuk memaknai keberlakuan otonomi
daerah sebagai salah satu asas UU PPLH.

Kewenangan pemerintah daerah dalam UU PPLH tersebar ke dalam beberapa


pasal. Pasal 63 UU PPLH menjadi pasal yang secara umum menjelaskan apa saja yang
menjadi kewenangan dari pemerintah daerah terkait perlindungan dan pengelolaan
10 Hasibuan, “Kebijakan…,” hlm. 3.
11 Indonesia, Undang-Undang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 Tahun 2004, LN No. 125 Tahun 2004,
TLN No. 4437, Pasal 1.
12 Moh. Hasyim dan Siti Ruhama Mardhatillah, “Asas Otonomi Daerah dalam Penegakan Hukum
Terhadap Izin Lingkungan,” Bina Hukum Lingkungan 5 (Oktober 2020), hlm. 41.
13 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun
2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, Pasal 36.
lingkungan hidup. Pasal 15 UU PPLH mewajibkan pemerintah daerah untuk membuat
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang bertujuan untuk memastikan prinsip
pembangunan berkelanjutan sebagai dasar dalam setiap pembuatan suatu kebijakan,
rencana, dan/atau program. Pentingnya pembuatan KLHS dapat terlihat dari data yang
dimiliki WALHI bahwa meski secara kuantitas bencana ekologis pada tahun 2014
mengalami penurunan, akan tetapi ancaman dan tingkat kerentanan pada sejumlah daerah
akan terus bertambah dan meluas.14 Dari data tersebut, pembuatan KLHS yang baik oleh
pemerintah daerah memegang peran vital dalam melindungi dan mengelola lingkungan
hidup sebagai salah satu pilar pembangunan nasional. Selanjutnya, pemerintah daerah
juga berperan dalam proses pembuatan dan penilaian amdal dan UKL-UPL sehingga
pemerintah daerah nantinya yang berwenang menerbitkan izin lingkungan. Penerbitan
izin lingkungan menjadi salah satu bentuk dari pelayanan public yang menggunakan
prinsip Good Licensing Governance on Based Natural Resource. Prinsip yang dimaksud
antara lain adanya prinsip keberlanjutan, eksploitasi terbatas, akuntabilitas, partisipasi,
transparansi, dan pelayanan terpadu.15 Sebagai satu-satunya pintu penerbitan izin
lingkungan, pemerintah daerah harus memegang erat prinsip-prinsip tersebut supaya izin
yang dikeluarkan tidak berpotensi membahayakan lingkungan hidup. Selain itu,
pemerintah daerah juga berwenang dalam proses pengawasan dan dapat menjatuhkan
sanksi administratif kepada pelanggar peraturan sebagaimana tercantum dalam pasal 76
UU PPLH.

B. Kelebihan dan Kekurangan dari Kewenangan Pemerintah Daerah dalam


PPLH
Pada dasarnya, Undang - Undang No. 32 tahun 2007 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup ini telah memberikan ruang kewenangan yang cukup luas
kepada Pemerintah Daerah dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Akan tetapi,
kewenangan Pemerintah Daerah dalam UUPPLH dianggap sebagai suatu tindakan yang
tidak realistik.16 Kelembagaan pengelolaan lingkungan yang bersifat sektoral dan minim

14 Risno Mina, “Desentralisasi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Sebagai Alternatif
Menyelesaikan Permasalahan Lingkungan Hidup,” Arena Hukum 9 (Agustus 2016), hlm. 155.
15 Vica J. E. Saica, “Wewenang Pemerintah Daerah dalam Pemberian Izin Lingkungan Hidup,” Jurnal
Sasi 20 (Januari-Juli 2014), hlm. 79.
16 Muhammad Akib, “Wewenang Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi Daerah,”
Jurnal Media Hukum 19 (Desember 2012), hlm. 245.
nya kewenangan yang dimiliki kabupaten/kota telah menimbulkan kelemahan dalam
pengendalian pencemaran udara yang seringkali terjadi di daerah ( lokal ). Terjadinya
pencemaran air bersih yang ditimbulkan oleh adanya aktivitas industri, begitu pula
maraknya aksi penggundulan hutan yang mengakibatkan terjadinya bencana tanah
longsor, banjir bandang dan sejenisnya dan semua itu merupakan dampak dari sempitnya
alokasi kewenangan pengelolaan dan pengendalian lingkungan hidup yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah. Selain itu, adanya keterbatasan wewenang pemerintah daerah dalam
hal fungsi. Kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam UUPPLH No 32
Tahun 2009 tidak mungkin dilaksanakan oleh kelembagaan lingkungan yang tugas dan
fungsinya hanya sebagai perumus kebijakan dan koordinasi.
Penyelenggaraan urusan tersebut memerlukan kelembagaan lingkungan selain
sebagai perumus kebijakan dan koordinasi, yaitu juga harus memiliki fungsi operasional
yaitu sebagai pelaksana kebijakan. Mengingat aspek lingkungan hidup melibatkan banyak
dinas-instansi, maka kelembagaan lingkungan tetap harus dilengkapi dengan tugas dan
fungsi koordinasi antar instansi pemerintah.17 Maka dari itu, perlu adanya keseimbangan
yang sejajar antara fungsi yang bersifat koordinasi sekaligus fungsi operasional. Jadi
tidak hanya fungsi koordinasi saja ataupun hanya fungsi operasional saja. Hal tersebut
dikarenakan fungsi koordinasi diperlukan dalam hal perencanaan dan pelaksanaan yang
melibatkan banyak dinas-instansi, sedangkan fungsi teknis operasional sangat dibutuhkan
dalam hal adanya pengawasan dan penegakan hukum. 18 Oleh karena itu, materi muatan
kewenangan pemerintah daerah tersebut seharusnya tidak diatur dengan Peraturan
Pemerintah, tetapi diatur dalam Undang - Undang karena berkaitan dengan adanya
pembagian kekuasaan pemerintahan secara vertikal antara pusat dan daerah. Kemudian,
untuk nomenklatur kelembagaan lingkungan daerah nya sendiri pun sangat tergantung
pada fungsi dan tugas yang berbeda - beda tersebut. Oleh karena itu, nomenklatur
19

kelembagaan lingkungan daerah ini sebaiknya diusahakan sama daan tidak beragam
untuk memudahkan adanya koordinasi dan pengawasan. Dengan adanya nomenklatur
yang berbeda - beda tersebut, maka akan lebih berpotensi untuk menimbulkan kelemahan

17 Ibid.
18 Muhammad Akib, “Wewenang Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi Daerah,”
Jurnal Media Hukum 19 (Desember 2012), hlm. 246.
19 Ibid, hlm. 247
hukum terutama akan menyulitkan Pemerintah Daerah dalam menjalankan apa yang
menjadi tugasnya. Juga belum adanya pengaturan yang jelas antara tata hubungan
kelembagaan dengan lembaga lainnya baik antar daerah maupun kelembagaan di tingkat
pusat. 20
Sedangkan untuk kelebihan nya sendiri, dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, kewenangan Pemerintah Daerah
mulai dapat mengeluarkan sendiri izin pembuangan limbah. Hal tersebut dapat dilihat
dalam Pasal 59 ayat (4) yang dirumuskan sebagai berikut : “ Pengelolaan Limbah B3
wajib mendapat izin dari Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota, sesuai dengan
kewenangannya. “ dan selanjutnya di dalam Pasal 59 ayat (5) dirumuskan: ”Menteri,
Gubernur, atau Bupati/Walikota wajib mencantumkan persyaratan lingkungan hidup yang
harus dipenuhi dan kewajiban yang harus dipatuhi pengelola limbah B3”. 21
Selain itu,
dalam UUPPLH, Pemerintah Daerah juga berwenang untuk menyelenggarakan sendiri
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Dalam hal tersebut, kewenangan
daerah yang dimaksud adalah pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas - luasnya
untuk mengatur dan mengurus jalannya pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan
tugas pembantuan. 22
Dengan demikian, pemerintah daerah dalam menjalankan
kewenangannya mempunyai tanggung jawab penuh untuk menjalankan
otonomi/kekuasaannya pemerintahan nya sendiri, tidak bergantung pada pihak lain.
Kemudian, adapun pelaksanaan kewenangan pemerintahan daerah dalam pengelolaan
lingkungan hidup berdasarkan tanggung jawab dalam UU No. 32 Tahun 2009 pun juga
lebih bervariasi dan/atau beragam, diantaranya adalah sebagai berikut : perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, penanggulangan, pemulihan, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum.23
UU No.32 Tahun 2009 telah memberi tanggung jawab yang lebih kepada
pemerintah daerah dalam hal pengelolaan lingkungan hidup. Untuk memperkuat
wewenang pemerintah daerah, termasuk wewenang kelembagaan lingkungan maka

20 Ibid.
21 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun
2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, Pasal 59.
22 Moh. Hasyim dan Siti Ruhama Mardhatillah, “Asas Otonomi Daerah dalam Penegakan Hukum
Terhadap Izin Lingkungan,” Bina Hukum Lingkungan 5 (Oktober 2020), hlm. 45.
23 Ibid, hlm. 46
terdapat beberapa kewenangan baru yang telah diberikan dan dipercayakan melalui
UUPPLH, seperti menetapkan dan dan melaksanakan kebijakan Rencana Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), menetapkan dan melaksanakan Kebijakan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), menerbitkan, mengawasi, dan menegakan
izin lingkungan. 24

C. Perubahan Kewenangan Pemerintah Daerah dan Otonomi Daerah terkait PPLH


dengan adanya UUCK
Diundangkannya UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UUCK”) pada
tanggal 2 November 2020 lalu memberikan perubahan yang signifikan terhadap peran
dan fungsi pemerintah daerah, terutama dari sisi kewenangan pemerintah daerah dalam
berbagai klaster. Salah satu klaster yang terdampak oleh adanya UUCK adalah klaster
terkait penyederhanaan perizinan berusaha yang menyangkut izin lokasi dan tata ruang,
izin lingkungan, serta perizinan bangunan gedung. Klaster ini juga merupakan salah satu
klaster yang konteksnya berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.
Salah satu contohnya adalah keberadaan Pasal 17 UUCK yang mengubah
ketentuan pada UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Pasal 17 UUCK ini
secara spesifik memangkas kewenangan pemerintah daerah dalam hal tata ruang pada
Pasal 10 dan 11 UU No. 26 Tahun 2007 menjadi tiga wewenang utama, yakni (a)
pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota; (b) pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; dan (c) kerja
sama penataan ruang antar kabupaten/kota. 25 Wewenang tersebut juga hanya dapat
dilaksanakan oleh pemerintah daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria
yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Pasal 18 UUCK yang mengubah ketentuan pada UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga memberikan batasan kepada
kewenangan pemerintah daerah dalam hal memberikan perizinan berusaha di wilayah
pesisir laut. Pasal 20 UU No. 27 Tahun 2007 sebelumnya memberikan kewenangan bagi
24 Muhammad Akib, “Wewenang Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi Daerah,”
Jurnal Media Hukum 19 (Desember 2012), hlm. 249.
25 Indonesia, Undang-Undang Cipta Kerja, UU No. 11 Tahun 2020, LN No. 245 Tahun 2020, TLN No.
6573, Pasal 17.
pemerintah daerah untuk memfasilitasi pemberian izin usaha terkait pemanfaatan laut
kepada masyarakat lokal dan tradisional.26 Dengan adanya UUCK, kini kewenangan
tersebut dialihkan kepada pemerintah pusat.27
Selain itu, keberadaan Pasal 22 UUCK yang mengubah ketentuan pada UU No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga
membatasi kewenangan pemerintah daerah dalam memberikan penilaian terhadap
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (“Amdal”) yang diterbitkan oleh suatu
perusahaan. Pasal 22 UUCK ini secara spesifik menghapus Pasal 29, 30, dan 31 UU No.
32 Tahun 2009 yang pada mulanya memberikan kewenangan kepada pimpinan
pemerintah daerah untuk menentukan keanggotaan Komisi Penilai Amdal serta
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan keputusan
kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup.28 Dihapuskannya pasal-pasal tersebut
dalam UUCK mengakibatkan pemerintah daerah tidak lagi memiliki kewenangan untuk
memberikan keputusan terkait layak atau tidaknya Amdal dari suatu rencana usaha atau
kegiatan, ataupun menentukan siapa saja pihak-pihak yang menjadi anggota Komisi
Penilai Amdal.29 Pasal 22 UUCK juga mengubah ketentuan pada Pasal 26 UU No. 32
Tahun 2009, yang hanya memberikan peluang bagi masyarakat yang terkena dampak
langsung terhadap rencana usaha/kegiatan untuk ikut terlibat dalam proses penyusunan
dokumen Amdal.30
Adanya perubahan dan penghapusan kewenangan pemerintah daerah di UUCK
akan berimplikasi kepada penyelenggaraan pemerintah daerah, terutama dalam klaster
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kekuasaan pemerintah daerah tidak lagi
secara penuh didasarkan atas undang-undang, melainkan bergantung kepada norma,
standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sistem tersebut
tentunya akan menyederhanakan regulasi pusat dan daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah daerah, serta mengatasi persoalan tumpang tindih
26 Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil, UU No. 27 Tahun 2007,
LN No. 66 Tahun 2007, TLN No. 4723, Pasal 20.
27 Indonesia, Undang-Undang Cipta Kerja, UU No. 11 Tahun 2020, LN No. 245 Tahun 2020, TLN No.
6573, Pasal 18.
28 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun
2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, Pasal 29.
29 Indonesia, Undang-Undang Cipta Kerja, UU No. 11 Tahun 2020, LN No. 245 Tahun 2020, TLN No.
6573, Pasal 22.
30 Ibid.
kewenangan antar lembaga pemerintahan dengan memfokuskan kekuasaan kepada
pemerintah pusat. Akan tetapi di sisi lain, sistem tersebut akan meminggirkan pemerintah
daerah sebagai elemen yang perlu diberdayakan dalam menyelenggarakan kekuasaan
pemerintah. Penyederhanaan regulasi oleh UUCK seharusnya dilaksanakan dengan tetap
memberikan peluang bagi pemerintah daerah untuk berpartisipasi dalam memecahkan
persoalan dan menentukan kebijakan yang berlaku di daerah.31

IV.

31 Victor Imanuel W. Nalle, “Bagaimana UU Cipta Kerja merusak desentralisasi yang dibangun setelah
reformasi” https://theconversation.com/bagaimana-uu-cipta-kerja-merusak-desentralisasi-yang-dibangun-setelah-
reformasi-148091, diakses 3 Januari 2021.
V. Penutup
A. Kesimpulan
Kewenangan pemerintah daerah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup merupakan kewenangan delegasi yang bersumber dari kewenangan atribusi, yang
berasal dari dilaksanakannya desentralisasi dan otonomi daerah. Otonomi daerah itu
sendiri merupakan wujud dari adanya asas desentralisasi, dan merupakan salah satu asas
dalam UU PPLH yang menjadi prinsip untuk pemerintah daerah dalam menjalankan
kewenangannya. Kewenangan pemerintah daerah dalam UU PPLH secara umum
tercantum dalam Pasal 63 UU PPLH dan secara spesifik tersebar ke beberapa pasal,
termasuk kewenangan membuat KLHS, menerbitkan izin lingkungan, pengawasan dan
penjatuhan sanksi administratif.
Dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, kewenangan pemerintah
daerah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup memiliki kelebihan serta
hasil yang positif, meskipun masih terdapat kekurangan dalam implementasinya.
Kelebihan dari pelaksanaan otonomi daerah ini adalah pemerintah daerah memiliki
tanggung jawab penuh untuk menjalankan otonominya, dan juga dapat menetapkan dan
melaksanakan kebijakan RPPLH dan KLHS, serta menerbitkan, mengawasi, dan
menegakkan, izin lingkungan. Namun, masih terdapat kekurangan yang disebabkan oleh
keterbatasan wewenang pemerintah daerah yaitu dalam hal pengendalian pencemaran
udara yang seringkali terjadi di daerah.
Sekarang dengan ditetapkannya UUCK, kewenangan pemerintah daerah dan
otonomi daerah dalam kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi
lebih terbatasi. Hal tersebut didasarkan atas keberadaan Pasal 22 UUCK yang mengubah
dan menghapus substansi dari UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dengan adanya Pasal 22 UUCK ini, pemerintah daerah
tidak lagi memiliki kewenangan untuk menentukan keanggotaan Komisi Penilai Amdal
serta tidak lagi memiliki kewenangan untuk memberikan keputusan terkait layak atau
tidaknya Amdal dari suatu rencana usaha atau kegiatan.
B.
C. Saran
Pemerintah pusat harus kembali meninjau dan merevisi undang-undang dan juga
peraturan pemerintah terkait yang mengatur tentang kewenangan daerah, dan
menyelaraskannya dengan UUPPLH karena terdapat perbedaan wewenang pemerintah
daerah, karena masih terdapat ketidakselarasan ruang lingkup wewenang. Selain itu,
terdapat juga kelemahan pada pengimplementasian disentralisasi dan otonomi daerah
dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diakibatkan keterbatasan
wewenang pemerintah daerah, sehingga kami menyarankan agar wewenang pemerintah
daerah dapat diperluas agar dapat pengendalian pencemaran udara dengan lebih
maksimal, dengan catatan pengawasan dari pemerintah pusat juga harus diperkuat.
Sehingga, UUCK yang juga harus segera direvisi
Daftar Pustaka
Jurnal
Akib, Muhammad. “Wewenang Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era
Otonomi Daerah.” Jurnal Media Hukum 19 (Desember 2012). Hlm. 239 - 250.
Harsasto, Priyatno dan Susilo Utomo. “Democracy, Decentralization, and Efficiency: A
Study Of Bureaucratic Reforms in Indonesia.” E3S Web of Conference 73 (2018). Hlm. 1
- 4.
Hasibuan, Erwin Hidayah. “Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Era Otonomi
Daerah.” De Lega Lata 2 (Januari-Juni 2018). Hlm. 1 - 16.
Hasyim, Moh. dan Siti Ruhama Mardhatillah. “Asas Otonomi Daerah dalam Penegakan
Hukum Terhadap Izin Lingkungan.” Bina Hukum Lingkungan 5 (Oktober 2020). Hlm. 40
- 60.
Mina, Risno. “Desentralisasi Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Sebagai
Alternatif Menyelesaikan Permasalahan Lingkungan Hidup.” Arena Hukum 9 (Agustus
2016). Hlm. 149 - 165.
Thani, Shira. "Perananan Hukum Dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup." Jurnal Warta Edisi : 51 (Januari 2017). Hlm. 2.
Saica, Vica J. E.. “Wewenang Pemerintah Daerah dalam Pemberian Izin Lingkungan
Hidup.” Jurnal Sasi 20 (Januari-Juli 2014). Hlm. 68 - 80.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Pemerintahan Daerah. UU No. 32 Tahun 2004. LN No. 125
Tahun 2004. TLN No. 4437.
_________. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059.
_________. Undang-Undang Cipta Kerja, UU No. 11 Tahun 2020, LN No. 245 Tahun
2020, TLN No. 6573.
_________. Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil, UU No. 27
Tahun 2007, LN No. 66 Tahun 2007, TLN No. 4723.
Internet
Nalle, Victor Imanuel W. “Bagaimana UU Cipta Kerja merusak desentralisasi yang dibangun
setelah reformasi” https://theconversation.com/bagaimana-uu-cipta-kerja-merusak-
desentralisasi-yang-dibangun-setelah-reformasi-14809. Diakses 3 Januari 2021.

Anda mungkin juga menyukai