Anda di halaman 1dari 6

PELAKSANAAN PUTUSAN (EKSEKUSI)

Suatu perkara perdata diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penyelesaian.


Pemeriksaan perkara memang diakhiri dengan putusan, namun tentunya belum selesai
sampai disitu. Putusan itu harus dapat dilaksanakan atau dijalankan. Oleh karena itu,
putusan hakim memiliki kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa
yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara. Yang memberi
kekuatan eksekutorial pada putusan hakim adalah bunyi putusan “Demi Keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 2 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009). Dengan
demikian, semua akta yang tidak memakai kepala dengan rumusan seperti ketentuan pasal
2 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009, tidak mempunyai akibat hukum seperti yang dimaksudkan
dalam Pasal 224 HIR (bahwa grosse akta hipotik dan surat utang notarial yang dikeluarkan
di Indonesia yang berkepala “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Tidak semua putusan hakim dapat dilaksanakan secara paksa oleh pengadilan. Hanya
putusan condemnatoir sajalah yang dapat dilaksanakan. Putusan declaratoir dan constituif
tidak memerlukan sarana pemaksa untuk melaksanakannya. Hal tersebut dikarenakan tidak
dimuat adanya ha katas suatu prestasi, terjadinya akibat hukum tidak tergantung pada
bantuan atau kesediaan dari pihak yang dikalahkan. Untuk itu, tidak diperlukan sarana
pemaksa untuk menjalankannya.

Apabila suatu perkara sudah diputuskan dan telah memperoleh kekuatan hukum yang
pasti, maka pihak yang dikalahkan secara sukarela dapat melaksanakan putusan tersebut.
Dengan demikian, selesailah perkaranya tanpa mendapat bantuan dari pengadilan dalam
melaksanakan putusan tersebut. Akan tetapi, sering terjadi pihak yang dikalahkan tidak
mau melaksanakan putusan hakim secara sukarela sehingga diperlukan bantuan dari
pengadilan untuk melaksanakannya secara paksa. Pihak yang dimenangkan dalam putusan
dapat memohon pelaksanaan putusan (eksekusi) dari pengadilan yang akan
melaksanakannya secara paksa.

Terdapat beberapa jenis pelaksanaan putusan, yaitu:

1. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk membayar


sejumlah uang (diatur dalam Pasal 196 HIR).
2. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu perbuatan (diatur
dalam Pasal 225 HIR). Orang tidak dapat dipaksa untuk memenuhi prestasi yang
berupa suatu perbuatan, akan tetapi, pihak yang dimenangkan dapat meminta
kepada hakim agar kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang.
3. Eksekusi riil, yang merupakan pelaksanaan prestasi yang dibebankan kepada debitur
oleh putusan hakim secara langsung. Pelaksanaan eksekusi riil adalah pelaksanaan
putusan yang menuju kepada hasil yang sama seperti apabila dilaksanakan secara
sukarela oleh pihak yang bersangkutan. Dengan eksekusi riil, yang berhaklah yang
menerima prestasi (misalnya: pembayaran sejumlah uang, melakukan suatu
perbuatan tertentu, menyerahkan benda). Eksekusi mengenai ganti rugi dan uang
paksa bukan eksekusi riil.
Pada praktiknya, pemberlakuan skeskuis riil murni tidak mungkin. Hal tersebut
dikarenakan debitur tiak dapat dipaksa secara langsung untuk memenuhi prestasi
secara pribadi.
Undang-Undang memungkinkan adanya eksekusi riil seperti penambahan daftar
catatan sipil serta pembatalan suatu merek dalam daftar umum kantor hak milik
perindustrian. Eksekusi riil ini tidak diatur dalam HIR, melainkan ditatur dalam
Pasal 1033 Rv.
Pasal 1033 Rv menyatakan bahwa eksekusi riil adalah pelaksanaan putusan hakim
yang memerintahkan pengosongan benda tetap. Apabila pihak yang bersangkutan
tidak melakukannya, maka hakim akan memerintahkan dengan surat kepada juru
sita supaya dengan bantuan panitera/alat kekuasaan negara, agar barang tetap
tersebut dikosongkan oleh orang yang dihukum beserta keluarganya. HIR hanya
mengenal eksekusi riil dalam penjualan lelang (Pasal 200 ayat 11 HIR

selain ketiga eksekusi di atas, dikenal pula “Parate Executie” atau eksekusi langsung. Parate
Executie terjadi apabila seorang kreditur menjual barang-barang tertentu milik debitur
tanpa mempunyai titel eksekutorial (Pasal 1115, 1175 ayat 2 KUHPer).

Putusan yang dapat dilaksanakan/dieksekusi adalah putusan yang dijatuhkan di Indonesia


(Pasal 224 HIR). Putusan hakim asing pada asasnya tidak dapat dijalankan di Indonesia.
Selain putusan hakim, grosse atau akta hipotik dan akta notarial yang memakai kepala
putusan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” juga dapat dilaksanakan.
Akta notarial ini harus berisi kewajiban membayar sejumlah uang. Maka dari itu, grosse
akta hipotik dan surat utang-piutang notarial seperti yang disebutkan dalam Pasal 224 HIR,
memiliki kekuatan hukum seperti putusan pengadilan. Perlu diingat juga bahwa grosse akta
notarial yang mempunyai kekuatan eksekutorial adalah yang berisi kewajiban untuk
memenuhi sejumlah uang.

Pelaksanaan putusan hakim di perkara perdata dilakukan panitera dan juru sita dipimpin
oleh Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 54 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009, 195 ayat 1, 195
ayat 2 HIR). Untuk dapat dilaksanakan, suatu putusan hakim secara paksa oleh Pengadilan
Negeri, pihak yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan supaya putusan dilaksanakan. Selanjutnya,
Ketua Pengadilan Negeri memanggil pihak yang dikalahkan untuk ditegur agar memenuhi
puutsan dalam waktu 8 hari setelah teguran tersebut.
Jika sudah lewat 8 hari dan pihak yang dikalahkan belum memenuhi isi puutsan, maka
Ketua Pengadilan Negeri karena jabatannya memberi surat perintah supaya disita barang-
barang milik orang yang dikalahkan atau barang tetap sebanyak jumlah nilai uang yang
tersebut dalam putusan untuk menjalankan putusan (Pasal 197 ayat 1 HIR).

SITA EKSEKUTORIAL

Eksekusi sebuah putusan dimulai dengan sita eksekutorial yang mengutamakan fungsi
penjualan harta kekayaan. Perlu diingat pula bahwa pelaksanaan putusan harus diminta oleh
pihak yang bersangkutan dan tidak dapat dilaksanakan secara ex officio (tidak dijalankan
secara sukarela).

Barang-barang yang dapat disita secara eksekutorial adalah barang bergerak yang dimiliki
pihak yang dikalahkan (Pasal 197 ayat 1 HIR). Barang bergeraklah yang harus didahulukan
untuk disita secara eksekutorial. Sita eksekutorial tidak boleh dijalankan kepada hewan dan
alat-alat yang digunakan untuk mencari mata pencaharian (Pasal 197 ayat 8 HIR). Barang
bergerak yang termasuk adalah uang, surat berharga, dan barang bergerak yang bertubuh.
Dalam hal penyitaan barang tetap, wajib diberitahukan kepada lurah melalui berita acara
penyitaan untuk diumumkan. Pemberitahuan ini dimaksudkan agar barang yang disita itu
tidak diperjualbelikan (Pasal 198 HIR).

Pihak yang dikalahkan atau pihak yang mengakui sebagai pemilik barang yang disita secara
eksektorial, dapat mengajukan perlawanan terhadap sita eksekutorial, baik mengenai
barang tetap maupun bergerak (Pasal 207 dan 208 HIR). Perlawanan ini dapat diajukan
baik secara tertulis maupun lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan
tidak akan menghambat dimulainya pelaksanaan putusan, kecuali apabila Ketua Pengadilan
Negeri memutuskan untuk menangguhkan pelaksanaan. Suatu bantahan perihal pokok
perkara yang telah diputuskan dalam putusan hakim, tidak dapat digunakan untuk melawan
sita eksekutorial.

PENJUALAN (LELANG)

Lelang adalah penjualan di muka umum harta kekayaan debitur yang telah di sita eksekusi
atau dengan kata lain menjual di muka umum barang sitaan milik debitur, yang dilakukan
di depan juru lelang atau penjualan lelang dilakukan dengan perantaraan atau bantuan
kantor lelang (juru lelang) dan cara penjualannya dengan jalan harga penawaran semakin
meningkat, atau semakin menurun melalui penawaran secara tertulis (penawaran dengan
pendaftaran).

Dari definisi tersebut, dapat ditemukan bahwa terdapat 2 macam lelang, antara lain adalah:

1. Penjualan dengan perantaraan kantor lelang (Pasal 200 ayat 1 HIR).


2. Penjualan oleh orang yang melakukan penyitaan atau roang yang ditetapkan secara
khusus oleh Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 200 ayat 2 HIR), yaitu apabila
penjualan itu berhubungan dengan eksekusi putusan yang isinya menghukum
membayar sejumlah uang yang jumlahnya tidak lebih dari Rp 300,00 di luar biaya
perkara.

Penjualan terhadap barang bergerak dilakukan sesudah diadakan pengumuman dan tidak
boleh dilakukan sebelum hari ke-8 setelah barang disita (Pasal 200 ayat 6 HIR).
Ketua menentukan cara pembagian hasil penjualan di antara kreditur sesudah debitur dan
para kreditur dipanggil dan didengar. Terhadap putusan hakim terkait pembagian ini, dapat
dimintakan banding (Pasal 204 HIR).

Hak orang yang dijual barangnya pindah kepada pembeli segera setelah perjanjian jual beli
ditutup. Kantor Lelang harus memberi surat keterangan kepada pembeli (Pasal 200 ayat 10
HIR). Orang yang barang tetapnya dijual, harus meninggalkan barang tersebut (Pasal 200
ayat 11 HIR).

Segera setelah hasil penjualan mencapai jumlah yang tersebut dalam putusan ditambah
dengan biaya melaksanakan putusan, penjualan dihentikan (Pasal 200 ayat 5 HIR).

REFERENSI:

1. Mertokusumo, Soedikno. 2013. Hukum Acara Perdata Indonesia. Jogjakarta:


Penerbit Cahya Atma Pustaka.
2. Sutantio, Retnowulan, dan Iskandar Oeripkartawinata. 1989. Hukum Acara Perdata
dalam Teori dan Praktek. Bandung: Penerbit Mandar Maju.
3. Herzien Inlandsch Reglement.

Anda mungkin juga menyukai