Anda di halaman 1dari 9

Refleksi Pasca Deklarasi Seabad Korporasi Sawit

Dalam Perspektif Gerakan Sosial


Oleh : Drs Manginar Situmorang,M.Si

Pengantar

Terlepas dari persepsi kita memaknai “konferensi Seabad Perkebunan Sawit”, apakah sekedar
“mencubit” GAPKI atau mungkin pintu masuk bagi “konsolidasi gerakan masyarakat sipil” dan
pada level grass root umumya di Indonesia khususnya di sumatera utara, tetapi secara
pradigmatik kegitan ini dapat juga dimaknai sebagai bentuk aksi “pedang bermata dua”. Bisa
produktif dan bisa juga kontra produktif bagi gerakan rakyat tergantung bagaimana komitmen
dan rancangan tindak lanjut kegiatan tersebut. Sebab pada aras itu sesungguhnya makna
substansi kegiatan tersebut, apalagi isi deklarasi yang dikumandangkan mengandung implikasi
yang luas dan rumit terutama bagaimana mengawalnya agar memiiki gaung bagi perbaikan
system produksi dan bisnis perkebunan (sawit) berbasis pada kesejahteraan bersama dan
keadilan social.

Di satu sisi secara praxis dapat dimaknai sebagai kegiatan yang akan memiliki gaung bagi
bangkitnya gerakan masyarakat sipil untuk suatu perubahan yang mendorong terbangunya
akses masyarakat sipil terhadap terhadap perebutan dan penguasaan/ pengelolaan SDA
(melalui sektor perkebunan) dengan catatan bahwa konferensi itu didasarkan pada motif
kepentingan massa yang telah terorganisir kuat. Tetapi saya sangat meragukan motif
kepentingan massa yang menjadi poros utama dibalik aksi yang kita lakukan. Hal ini tercermin
dari masih lemahnya konsolidasi masyarakat sipil ; kepemimpinan dan keorganisasian ditingkat
grass root (SB,ST dan Komunitas local), dan minimnya partisipasi aktif mereka terlibat dalam
konferensi ini.

Di sisi lain secara teoritis, apa yang kita lakukan ini sebenarnya tidak lebih sebagai ekses negatif
dari proses perkembangan kapitalisme. Kalau berangkat sejarah kapitalisme, pemikiran
alternative dan aksi yang berbasis pada “teori kelas” oleh para pemikir dan teoritisi kanan
dimaknai dan diplintir sebagai moment pendewasaan dan kematangan kapitalisme. Singkatnya
“deklarasi seabab sawit” yang kita sudah persiapkan dengan matang dan menelan biaya yang
cukup besar, bagi mereka tidak lebih sekedar fenomena “kentut kapitalime” yang barang kali
gampang diatasi oleh para kapitalis dengan cara penyemprotan “parfum” yang diproduksinya.
Kita sebagai bagian penggagas aksi barangkali hanya berkontribusi mempercepat proses
“kentut kapitalisme” itu berlangsung. Tentu itu suatu analisis dan statement “pesismisme yang
berpengharapan”. Dalam arti sebagai suatu fakta hal semacam itu adalah suatu yang tidak
terbantahkan, meskipun dibalik itu memuat suatu kritik yang konstruktif tentang bagaimana
seharusnya membangun basis gerakan perlawanan yang lebih berbasis dan produktif.
Oleh sebab itu, kita tidak perlu berpuas diri aplagi lupa diri, bahwa substansi kegiatan tersebut
justru terletak bagi sejauh mana kesiapan kita meletakkan dasar-dasar perjuangan antara lain :
platform kelembagaan (arah perubahan dan cita-cita) skenario perjuangan (Tahapan,
Strategi dan Taktik menuju tercapainya cita-cita) dan pembangunan infrastruktur
(sarana/alat) yang memadai untuk bekerja dan berkarya di sektor perkebunan pasca deklarasi.
Apalagi butir deklarasi kita mengandung implikasi yang cukup luas dan berat serta
membutuhkan “energy” (daya, dana) yang sangat besar untuk memobilisasi dan meningkatkan
partisipasi masyarakat sipil pada isu perkebunan dan mengawal pada level implementasi.

Semoga pada aras yang demikian lokakarya ini berjalan sehingga kita memiliki blueprint untuk
kita terjemahkan dalam kerja dan kinerja kelembagaan, sebagai landasan memobilisir sumber
daya/dana yang ada untuk kepentingan gerakan demi terwujudnya perubahan yang menyentuh
kepentingan rakyat yang menjadi mandat utama kita.

Geopolitik Industri Perkebunan


Dalam kerangka itu, beberapa hal yang ingin disampaikan dalam paper ini sesuai dengan
lontaran gagasan percakapan kita seminggu yang lalu yaitu bagaimana kita dapat memahami
geopolitik industry perkebunan sawit baik dalam konteks regional dan nasional sebagai
landasan menyusun strategi dan taktik perjuangan politik, ekonomi dan social budaya di sector
perkebunan di Sumatera Utara.

Pentingnya geopolitik akan saya elaborasi melalui beberapa argumentasi sebagai berikut; Pertama,
dalam perspektif sejarah, sektor industry perkebunan telah menjadi ajang dinamika perebutan
kekuasaan oleh kekuatan social dan politik yang ada atas nama penguasaan/pemilikan sumber daya
(tanah dan tenaga kerja) dengan legitimasi pembangunan. Sejak jaman kolonial citra kekuasaan
perkebunan melalui kekuasaan “economic organization” digambarkan sebagai “negara dalam negara”.
Demikian pula sejarah juga mencatat dalam konteks sumatera utara pasca kemerdekaaan gerakan
rakyat dan partai politik rakyat juga sempat berpengaruh di perkebunan. Hal ini didukung oleh setting
politik Negara saat itu mengakomodir dan memberikan kesempatan bagi politik berbasis kelas
berpartisipasi dalam politik nasional. Zaman itu dalam sejarah perkebunan disebut jaman keemasan
bagi rakyat sebagai antitesa pengelolaan perkebunan ala kolonial.

Tetapi kemudian jaman regim Orde Baru meluluhlantakkan kekuatan politik rakyat melalui pendekatan
militeristik (BUMIL) dan mengubah struktur ekonomi perkebunan menjadi menjadi “sapi perahan” bagi
eksistensi salah satu partai politik yang berkuasa demi melanggengkan Regim Suharto. Saat ini
ditengah “economic booming” bisnis sawit, tanpaknya Regim SBY punya keinginan yang kuat mau
menguasai/mengelola industry perkebunan mengikuti pola yang diterapkan oleh regim Suharto untuk
mendukung melanggengkan kekuasaannya melalui konsolidasi elit politik partai democrat. (Adi Djondro,
2010).

Dengan situasi yang seperti ini rekomendasi yang kita harapkan adalah sangat penting mengkaji lebih
lanjut claster-claster industry perkebunan baik dari segi luasan, produksi, kepemilikan dikaitkan dengan
dinamika kekuatan social politik kemasyarakatan terutama di tingkat local dalam bingkai ekonomi
nasional serta kaitan dengan kekuatan modal multinasional yang “bermain” di area perkebunan
sehingga kita mengetahui secara jelas siapa-siapa yang bermain dibalik kapitalisasi, matarantai produksi
dan ekspansi perkebunan, bagaimana modus operansi mereka dalam rangka menguasai sumber daya
alam di Indonesia. Adanya Kajian tentang claster ini akan memudahkan kita memetakan posisi “lawan”
dan “kawan”, kekuatan dan kelemahan actor yang bermain sebagai basis pengorganisasian dan
advokasi masyarakat sipil untuk isu perkebunan.

Kedua, kita juga menyaksikan bagaimana ketidakadilan alokasi pengelolaan sumber daya alam
(tanah, tenaga kerja dan sumber agraria) antara korporasi perkebunan dengan sector ekonomi
pertanian rakyat (subsistensi) yang diakibatkan oleh kesesatan kebijakan negara yang bertumpu
pada pradigma pertumbuhan ekonomi dan sentralisme birokrasi dalam mengatur/mengelola
sumber daya alam.

Narasi-narasi yang dikembangkan oleh Pelzer, Mohammad Said, Aan Stoler dll bahwa
Kesesatan kebijakan tersebut banyak menyumbang terhadap eksklasi konflik lahan dan konflik
social di area perkebunan dari jaman colonial diteruskan oleh regim Suharto.

Perkebunan lebih dilihat semata sebagai “system produksi” dalam kaitanya dengan
perekonomian dunia (pasar) melanjutkan pola yang dikembangkan kolonial tampa mengkaji
dampak social politik dari perkebunan terhadap masyarakat dimana perkebunan itu berada.
Karena komunitas masyarakat sekitar eksistensinya tergantung pada unit produksi, maka
struktur masyarakat dan hubungan social antar komunitas perkebunan merupakan pula
cerminan dari kekuasaan “economic organization” mengatur system produksi perkebunan
tersebut. Oleh karena dengan terabaikanya dimensi perkebunan sebagai “system social”
menyebabkan kemiskinan dan ekploitasi manusia (buruh murah). Oleh karena itu, kajian
dampak positif dan negatif social ekonomi dalam kaitanya dinamika sosial ekonomi regional
menjadi penting dikaji (factor internal) sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari industry
perkebunan (Lukman Sutrisno, 1983).

Ketiga, kita juga mengetahui begitu besarnya sumbangan perkebunan terhadap perekonomian
nasional. Sumbangan perkebunan menopang ekonomi Indonesia saat krisis ekonomi 1997.
Saat itu banyak industry terutama manufakture, kontruksi dan jasa tumbang akibat hantaman
gelombang krisis, tetapi tidak demikian di sector industry perkebunan. Industri perkebunan
malah semakin kokoh mendapatkan “durian runtuh” akibat perbedaan kurs saat masa krisis.
Beberapa tahun kemudian industri perkebunan mampu menopang pertumbuhan ekonomi
yang cukup signifikan sehingga itu pula menjadi landasan legitimasi pemerintah memacu
ekspansi perkebunan sawit terutama 10 tahun belakangan ini sampai mencanangkan sawit
sebagai primadona dengan target ekpansi 20 juta hektar tahun 2020. Kebijakan ini didukung
oleh manipulasi data sumbangsih industry perkebunan dalam mendatangkan investasi,
penyerapan tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan di pedesaan yang kita tentang lewat
konferensi alternative bulan lalu.
Dalam konteks Sumatera Utara, perkebunan menjadi basis utama perekonomian regional dan
menjadi “leading sector” mendinamisir sector lainya. Sektor perkebunan adalah sektor vital
dan banyak menyumbang terhadap perekonomian Sumatera Utara. Hampir 60% kekuatan daya
dorong sektor perkebunan mendinamisir perembangan sektor manufaktur dan jasa. 35-40%
Pendapatan Asli Daerah di sentra kabupaten industri perkebunan sawit di peroleh dari sektor
pertanian dan perkebunan.

Namun sayang, tingginya disparitas distribusi keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha,
perintah pusat dan pemerintah daerah. Keuntungan industri perkebunan kelapa sawit, 80%
keuntungan dinikmati oleh perusahaan (perkebunan swasta), 15% untuk pemerintah pusat,
4,5% untuk pemerintah lokal dan hanya 0,5% ke penanam (buruh) (Wiladi, 2008).

Besarnya pengaruh perusahaan multinasional yang didukung oleh sistem perbankan


internasional mengendalikan mata rantai bisnis sawit sehingga tampaknya neo-kolonialisme
sangat nyata dalam industri perkebunan sawit. Ketimpangan itu pula yang menjadi motif utama
pemprop Sumut memunculkan diskursus Dana Bagi Hasil (DBH) perkebunan . Tetapi sangat
disayangkan isu DBH tidak serta merta direspon dan ditanggapi oleh pihak masyarakat sipil
yang justru menjadi korban dan dikorbankan, malah itu ditangkap oleh pemprop menguatkan
legitimasi dan bergaining ke pemerintahan pusat. Pada hal moment itu sesungguhnya bisa
dimanfaatkan oleh masyarakat sipil di Sumatera Utara untuk merestrukturisasi sifat
perkebunan yang ekploitatif dan sharing keuntungan lewat ”saham bersama” stakeholder
perkebunan. Saya melihat bahwa rendahnya kesadaran kaum intelektual dan gerakan
masyarakat sipil di Sumatera Utara menanggapi isu perkebunan pada hal kurang lebih 140
tahun industri perkebunan di Sumatera Utara.

Keempat. Selain dampak sebagaimana diutarakan diatas, industri perkebunan juga


menyumbang terhadap ”bencana” sosial dan ekologis. Kalau dihitung secara nominal jauh lebih
besar kutuknya dari pada berkat yang disumbangkanya. Tetapi persoalanya managemen
pembangunan Indonesia memang sangat jarang mengaudit ongkos-ongkos sosial dan
kerusakan ekologi sistemik yang ditimbulkannya. Demikian juga dalam konsep bisnis di
indonesia masih mengabaikan ”cost sosial” sebagai bagian dalam managemen bisnis. Para ahli
dan arsitek pembangunan kita masih didominasi oleh kaum developmentalis yang
terspesialisasi sehingga tidak lebih dari sekedar ”tukang” yang dikendalikan oleh modal.

Industri perkebunan sebagaimana di ulas dalam konferensi kemarin menyebabkan kerusakan


hutan, dampak ekologi selain mengganggu kehidupan manusia, juga mahkluk biologis lainnya
musnah; struktur kepemilikan perkebunan yang timpang. Praktek pengelolaan kurang
bertanggung jawab seperti penyalahgunaan ijin dan penyimpangan pemanfaatan kawasan
hutan demi mendapatkan keuntungan dari tebangan kayu, perampasan tanah yang
mengancam kehidupan komunitas masyarakat lokal, menurunnya ketahanan pangan akibat
ketidakseimbangan ekosistem serta akibat konversi lahan pertanian pangan ke lahan
perkebunan kelapa sawit; praktek managemen perkebunan yang eksploitatif dan distribusi
hasil secara tidak merata yang memproduksi ketimpangan sosial antara pihak pengusaha
dengan buruh dan masyarakat lokal memicu konflik sosial.
Konflik Struktural dan Konfik Sosial
Keempat argumentasi tersebut berimplikasi pada tingginya konflik struktural, konflik sosial di
sektor industri perkebunan. Pertama, konflik vertikal kepemilikan lahan. Di Sumatera Utara,
semua perusahaan perkebunan besar pernah berkonflik dengan masyarakat lokal. Ada 148
konflik tanah dengan luas 50.000 ha, melibatkan 30.000 kepala keluarga. Konflik lahan
merupakan warisan sejarah perkebunan yang hingga kini belum terpecahkan. Ada empat
faktor yang menjadi sumber konflik; 1. Sebagai dampak langsung kapitalisasi perkebunan; 2.
Keterbatasan administrasi pertanahan menata dinamika status kepemilikan/peralihan hak milik
dan penguasaan atas tanah dan 3. Kemiskinan rakyat disekitar perkebunan mendorong
radikalisasi petani 4. Tindakan represif aparat dalam menangani /menanggulangi konflik lahan
(Kriminalisasi).

Kedua, kehadiran perkebunan memicu konflik horizontal (antar masyarakat) karena pro-kontra
ada yang pro-pengusaha dan anti pengusaha serta konflik vertikal
(kelembagaan/pemerintahan) yang sangat mendukung kehadiran investor dengan tidak
mengindahkan aturan-aturan yang ada. Pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit sering
berlangsung tanpa diketahui banyak pihak, sehingga terlambat merespon atau melakukan
sanggahan dan memperjuangkan dalam mencegah pemberian ijin atau berjuang mendapatkan
kompensasi.

Ketiga, keuntungan ekonomis produksi kelapa sawit tidak didistribusikan secara merata.
Pengupahan sangat diskriminatif tercermin dari kesenjangan pengupahan kepada pihak
managemen dengan pihak buruh perkebunan, upah dibawah ketentuan Upah Minimum,
pelonggaran jaminan kerja dan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja akibat perubahan
organisasi produksi perkebunan yang lebih mengutamakan outsourcing dan buruh harian lepas
dari pada buruh tetap (SKU).

Keempat, pengelolaan yang luas oleh suatu perusahaan perkebunan kelapa sawit, merubah
dinamika perekonomian lokal. Banyak petani yang lahannya terbatas terpelosok dalam proses
pemiskinan. Petani yang sebelumnya pertani subsistensi dengan bercocok tanam padi terpaksa
menkonversikan lahannya dengan menanami kelapa sawit, sementara dari aspek modal dan
pemasaran mereka sangat terbatas sehingga kualitas produksi rendah dimana hasil tidak
sebanding dengan pengeluaran. Dalam posisi yang demikian banyak petani menjual lahannya
ke pihak perkebunan, mengubah pemilik lahan menjadi tenaga upahan atau buruh. Kehidupan
komunitas perkebunan yang berada di sekitar perkebunan sangat tergantung pada ekonomi
buruh yang digaji kecil, sementara itu untuk perdagangan dan jasa berkaitan dengan efek
berantai kehadiran perkebunan, baik sektor hulu dan hilir lebih dikuasai oleh pemodal besar
umumnya dari daerah perkotaan.

Kelima, Ekspansi perkebunan sawit yang kurang tertata, berdampak negatif terhadap
pertanian rakyat (padi, ubi dan jagung). Petani pangan “terjepit” ditengah konversi sawit
menyebabkan pergeseran struktur masyarakat pedesaan di sekitar perkebunan. Akibat alih
fungsi (konversi) dari tanaman pangan ke tanaman sawit menyebabkan luas lahan tanaman
pangan berkurang secara signifikan. Aspek sosial kultural juga berubah. Tanaman padi berpusat
pada keharmonisan alam. Selain iklim dan irigasi memerlukan dukungan dari aspek sosial
kutural. Pola pangan (padi ) yang tidak serentak akibat perubahan lingkungan yang dulunya
sama kepentingannya bergeser pada aneka tanaman sawit beresiko bagi petani yang
bertahan di tanaman padi. Rentetan selanjutnya meningkatnya serangan hama karena
populasi hama terutama burung, tikus dan binatang parasit lainya terkonsentrasi pada lokasi
tertentu secara bergiliran. Solidaritas bergeser, sewaktu mengantungkan kehidupan dari
pertanian sawah, masih ditemui solidaritas dalam wujud pola tanam yang serentak, dan
gotong-royong membersihkan saluran irigasi dll. Meningkatnya konflik (laten) horizontal antar
petani akibat perbedaan kepentingan terhadap saluran irigasi. Petani yang mengkonversikan
lahanya berada dekat dengan saluran irigasi, mengalihkan saluran irigasi dari lahan mereka
sehingga menggangu ketersediaan debit air untuk keperluan petani sawah yang ada
disekitarnya.

Selain perubahan ekologis pertanian, petani padi juga belum mendapat dukungan/proteksi
memadai dari kebijakan pemerintah. Kerusakan saluran irigasi masih tetap terbengkalai belum
ada perbaikan yang signifikan. Kelangkahan pupuk. Hal ini terkait dengan belum adanya
perlindungan pemerintah mengawasi sirkulasi pupuk terutama dari monopoli perkebunan
besar. Dampak buruknya adalah terpentalnya petani menjadi buruh tani, buruh perkebunan
atau pun pengerajin. Secara kuantitas lahan semakin berkurang selain terjadi secara alamiah
(pertambahan penduduk) juga lambat dan terhambatnya perkembangan (daya lenting) usaha
tani menyebabkan pergeseran dari petani pemilik menjadi petani keci (gurem), penggarap dan
kemudia menjadi buruh di perkebunan.

Demikian juga Buruh korban PHK akhirnya masuk bekerja di sektor informal. Buruh ”mutasi”
kerja menjadi buruh tani, pengerajin sapu lidi, tepas pedangang musiman, buruh ternak,
pedangan kecil di sekitar perkebunan dan Pekerja Seks Komorsil (PSK). Masalah yang dihadapi
oleh sektor informal sangat kompleks antara lain tidak memiliki akses terhadap modal, tidak
memperoleh pengakuan dan perlindungan dari negara, tidak ada penghasilan yang menetap
sehingga terjebak oleh rentenir dan tingkat kriminalitas yang tinggi. Akibatnya adalah
meningkatnya pengangguran dan pekerja lepas di sekitar perkebunan terutama perempuan.
Pilihan-pilihan pekerjaan bagi mereka adalah menjadi buruh migran di sektor perkotaan
(Pembantu Rumah Tangga), buruh migram ke Malasya (TKI) dan menjadi buruh harian lepas
diperkebunan.

Industri perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara masih rawan pelanggaran hubungan kerja
buruh-majikan. Jauh sebelum UU Ketenagakerjaan 13/2003 diberlakukan, praktek kerja buruh
kontrak telah menjadi langgam kerja di perkebunan. Sejak tahun 1970 sudah ada pembatasan
pengangkatan buruh tetap (SKU) dan ’pengoptimalan’ Buruh Harian Lepas (BHL). Strategi
perusahaan perkebunan dalam memaksimalkan keuntungan adalah membatasi buruh tetap
(SKU) terbatas pada level managemen, optimalisasi BHL pada level buruh.

Hasil penelitian KPS (2008) dari 236.000 buruh perkebunan, 80.000 buruh belum memperoleh
jaminan pekerjaan (job security). Sebagian besar adalah buruh perempuan (70%) dan tidak
memiliki kepastian kerja (buruh kontrak), upah antara Rp 15.000 s/d Rp 22.000/hari (jauh
dibawah UMP: Rp 40.000/hari) , jam kerja tinggi serta tidak memperoleh jaminan sosial tenaga
kerja. Mereka kebanyakan bekas petani, buruh tani, petani penggarap dan pengangguran yang
tidak tertampung di pertanian rakyat di sekitar perkebunan dan terdapat juga anak-anak
dibawah usia kerja. Dari sisi pengupahan, keadaan upah buruh perkebunan jauh mengalami
kemerosotan. Sejarah menunjukkan bahwa tahun 1950-an dikenal sistem pengupahan berbasis
kebutuhan pokok. Selain upah dalam bentuk nominal, ada juga upah berupa kebutuhan pokok
keluarga yang dikenal dengan ”Catu 11” yang terdiri dari beras, gula, teh, ikan asin, kain,
minyak tanah, minyak goreng, garam, sabun, kacang ijo dan susu. Saat ini sistem pengupahan di
perkebunan adalah warisan Regim Suharto yaitu pengupahan berbasis ekploitasi yang dikenal
dengan pengupahan berbasis kebutuhan minimal (UMP-UMK) dan peningkatan upah setiap
tahun disesuaikan dengan kondisi pasar. Saat ini UMP yang diterima buruh di Sumatera utara
termasuk upah di perkebunan adalah Rp. 1.050.000,- per bulan. Meskipun ada peningkatan
upah UMP setiap tahun, tapi dalam realitasnya tidak memiliki korelasi yang kuat dengan
peningkatan kebutuhan buruh dan masyarakat. Hal itu berarti kehidupan buruh di perkebunan
masih dibawah standart hidup layak.

Demikian halnya hak buruh atas kesehatan dan keselamatan kerja (safety jobs). Hasil riset KPS
(2008) menunjukka bahwa fakta dilapangan dari 6 perkebunan besar disumatera utara,
ditemukan 47 kasus kecelakaan terindentifikasi selama 4 bulan terakhir (Jan sampai April
2008). 47 kasus tersebut, 32 (68,08%) korban diantaranya dikategorikan kecelakaan ringan
seperti tertusuk duri sawit, ketimpa pelepah, gigitan serangga berbisa dan keseleo akibat jalan
licin. 11 (23,40%) cacat kebanyakan cacat mata (mengecil, mengalami rabun bahkan buta)
kena tatal (getah karet) yang sudah terkontaminasi dengan zat kimiawi, kotoran berondolan
sawit dan tertimpa tandan buah segar, tubuh terkena bahan (TBS) kimiawi beracun akibat
tingginya interaksi pada saat penyemprotan dan 2 orang buruh (4,25%) jiwanya melayang, 1
orang kena sengatan listrik dan 1 orang lagi tertimpa tandan buah segar waktu memanen.

Dari segi operasional managemen perkebunan keseluruhan praktek kerja buruh berbasis pada
penghisapan.  Mulai dari  rekruitmen warisan,  pemberlakuan sanksi kerja dikonversikan
dengan pengurangan upah,  kriminalisasi, mutasi dan  PHK bagi buruh yang kritis terhadap
perusahaan  sampai penggunaan managemen kekerasan  dalam bentuk pengerahan aparat
keamanan termasuk premanisme lokal  secara berlapis untuk mengendalikan buruh demi
maksimalisasi keuntungan perusahaan.

Proses rekruitmen pekerja, pihak perkebunan tidak mengalami kendala karena kelimpahan
tenaga kerja terampil dan murah . Sebagaimana strategi perusahaan, kelicinanya menyesuaikan
diri dengan budaya setempat seperti merekrut Mandor atau Asisten kebun dari orang yang
“berpengaruh” di lingkungan sekitar sekaligus merekrut pekerja yang dekat denganya atau
lewat “kesukuan” sehingga sangat efektif sebagai alat control.

Ketentuan tentang pembagian kerja, peraturan kerja sangat tergantung Kepada Asisten kerja
dan Mandor, tidak ada sistem kenaikan golongan, kenaikan gaji berkala dan spesialisasi
pekerjaan. Buruh membutuhkan makan untuk hidup; kendati upah tidak cukup, mereka
menerima sistem kontrak dan outsourcing menerima saja jam kerja panjang dan kadang tanpa
shift dari semestinya 7 jam menjadi 10 s/d 15 jam per-hari lewat kerja lembur karena upah
tidak mencukupi. Hak-hak buruh yang hilang; cuti haid, cuti hamil, jaminan social, tunjangan
hari raya, PHK sewenang-wenang, serikat buruh semakin sulit mengorganisir buruh.

Kesimpulan dan Rekomendasi


Dari analisis dan argumentasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa industri perkebunan tidak
semata isu yang hanya berkaitan dengan dimensi sosial ekonomi, tetapi ia sekaligus sangat
kental isu politik kekuasaan lewat pengendalian sumber daya alam dan kekuatan-kekuatan
sosial politik kemasyarakatan.

Bagi aktor-aktor yang berada dibelakang industri perkebunan (modal, birokrasi, elit kekuasaan,
partai politik, kekuatan sosial politik kemasyarakatan) hal ini adalah semacam “arena
pertarungan” bagaimana merebut pengaruh untuk dapat menguasai dan mengelola SDA atas
nama pembangunan. Dengan demikian sangat penting mengekplorasi lebih lanjut dimensi
ideologi dibalik kapitalisasi dan ekspansi perkebunan baik dalam konteks lokal, nasional dan
internasional.

Begitu juga analisis kelompok-kelompok kepentingan yang menjadi komprador modal


multinasional baik dari kalangan birokrasi, elit kekuasaan lokal berbasis partai politik yang
secara langsung atau tidak langsung turut mendisain ekspansi sawit melalui skema politik
kepemimpinan lokal. Ini adalah pertarungan bagaimana penguasan informasi dan “teritori”
yang didukung oleh kekuatan massa (grass root) yang mempunyai kans untuk memenangkan
pertarungan, sekaligus menarik keuntungan bagi golonganya sesuai dengan ideologi yang
dianutnya.

Dalam perspektif yang demikian pula barangkali kita (NGO) dapat menarik pelajaran tentang
bagaimana memainkan isu perkebunan sebagai amunisi penting mendapatkan pengaruh politik
lokal dan konsolidasi gerakan masyarakat sipil mau tidak mau harus memiliki analisis dan
informasi yang akurat, yang didukung oleh penguasaan teritori (pangkalan) yang strategis
melalui infrastruktur (organisasi) yang menjadi sarana kita berjuang.

Dalam kerangka itu, salah satu stategis awal membangun gerakan sosial dalam konteks isu
perkebunan mendesak untuk mendesain sedemikian rupa Pusat Studi Kajian Perkebunan di
Sumatera Utara, apakah dengan jalan mengoptimalisasi praktek kajian yang ada di lembaga
masing-masing atupun pilihan membentuk yang baru hal ini barangkali yang perlu didiskusikan
dalam lpokakarya ini.

Yang terpenting adalah bahwa eksistensi kajian dan riset sangat mendesak kita disain yang akan
menjadi landasan kita kita melakukan pemngorganisasian masyarakat sipil, advokasi kebijakan
terutama dikaitkan dengan “otonomi daerah” dan kampanye internasional mendukung
gerakan sosial tersebut.
Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang cukup besar membutuhkan sumber daya dan sumber dana
yang besar pula dan tidak mungkin dilakukan melalui pola dan langgam kerja NGO. Dengan
demikian penting dipikirkan juga stategi dan taktik reposisi peran terumana menyangkut
“ketegangan” fungsional antara NGO dengan organisasi sosial kemasyarakatan dimana ia
mendapatkan mandat. Perdebatan mengenai pola hubungan itu sesungguhnya bukanlah suatu
gagasan baru. Dari sudut gagasan saya kira kita yang hadir di sini sudah atau paling tidak punya
kesamaan pemahaman. Tetapi persoalanya bagaimana pola hubungan itu terlembagakan
dalam struktur organisasi, kepemimpinan dan langgam kerja keorganisasian lokakarya ini juga
diharapkan bisa menjawabnya.

Medan, 17 April 2011

Anda mungkin juga menyukai