KYBERNOLOGI
Disusun Oleh :
MOCHAMAD RONI
manusia. Selama ratusan tahun, kajian pemerintahan menjadi bagian ilmu pengetahuan
tertentu, katakanlah, Filsafat, atau yang sekarang disebut ilmu politik. Body ok
sejak tahun 40-an sebagai bahan ajaran, ilmu pemerintahan di tawarkan di berbagai
dan politik. Dilihat dari sudut kelembagaan, mula mula Ilmu pemerintahan berstatus
mata kuliah, lalu jurusan (Jurusan Ilmu Pemerintahan), kemudian program (Program
239/U/98 tentang Kurikulum yang berlaku secara nasional Program Magister Ilmu
(Institut Ilmu Pemerintahan, 1967) berdasarkan pemikiran yang sama seperti Herman
Finer yang dalam The Theory and Practice of Modern Government (1960, 7)
PENGERTIAN...........................................................................................................................3
JARAK KONSEPTUAL..........................................................................................................21
BAHAN (BOK):......................................................................................................................40
PENGERTIAN
Kybernologi disebut juga Ilmu Pemerintahan Baru. Apakah Kybernologi itu? Menurut
Pasal 3 Deklarasi Umum Tentang Hak-Hak Asasi Manusia, “Setiap Orang Berhak
masyarakat. Untuk bisa hidup, manusia membutuhkan alat atau bahan yang
keadilan, kedamaian, dan sebagainya. Alat atau bahan itu disebut bernilai
(bermanfaat, berguna, bermakna). Pada zaman dahulu kala, nilai diperoleh langsung
akan nilai di dalam suatu masyarakat membangun subkultur masyarakat yang disebut
subkultur ekonomi (SKE). SKE berfungsi membentuk, menambah dan mencipta nilai
Ada masyarakat yang memiliki nilai dalam jumlah besar (sangat kaya) dan ada yang
nyaris tidak memilikinya (sangat miskin). Kondisi ini oleh naluri kemanusiaan dan
persaudaraan dianggap tidak adil. Konflik sosial yang berlarut-larut yang merusak
penyesuaian dan penyelamatan diri melalui berbagai cara untuk mengatasi masalah di
atas, antara lain dengan membuat dan menyepakati norma-norma sosial yang mengatur
perilaku warga masyarakat sehingga ketimpangan nilai semakin berkurang dan rasa
keadilan sosial antar warga masyarakat meningkat. Tetapi rupanya kesepakatan saja
tidak cukup. Norma-norma sosial perlu ditaati, ditegakkan, dan jika perlu dipaksakan
tersebut melahirkan subkultur lain yang disebut subkultur kekuasaan (SKK). Pelaku
atau pemeran SKK adalah pemerintah (government). Pada dasarnya, SKK berperan
nilai maksimal tanpa merusak sumber-sumber itu sendiri, untuk kemudian diredistribusi
kepada warga masyarakat berdasarkan asas keadilan sosial. Tetapi karena kekuasaan itu
hanya alat, ia pada hakikatnya tidak dapat dan tidak mau mengontrol dirinya sendiri.
Pemangku kekuasaan cenderung menempuh jalan pintas yang disebut korupsi, mudah
Oleh sebab itu, kekuasaan harus dikontrol. Siapa atau lembaga apa yang berfungsi
mengontrol kekuasaan? “Jangan beli kucing dalam karung,” demikian kearifan sosial
kita. “Pembeli kucing” yang membuka karung pada saat transaksi terjadi (di hilir)
adalah masyarakat dalam kualitasnya sebagai pelanggan. Sudah barang tentu, jauh
sebelum ada larangan itu, ada aturan (di hulu) yang menyatakan bahwa penjual harus
isinya. Pembuat aturan itu adalah masyarakat juga tetapi dalam kualitasnya sebagai
good governance. Jika tidak, bad governance. Interaksi berulang dan terjadi di mana-
berbeda-beda yang disebut objek forma pengkajian. Ilmu Politik misalnya mendarat
pada sudut kekuasaan. Bestuurskunde yang masuk di Indonesia sejak awal abad ke-20,
sekitar medio abad yang sama didaratkan pada sudut Ilmu Politik, sehingga sampai
sekarang apa yang disebut “Ilmu Pemerintahan” oleh banyak kalangan dianggap
(hanya) merupakan salah satu kajian Ilmu Politik, atau sebagian aksiologinya.
tidak mendarati fenomena pemerintahan pada sudut kekuasaan, tetapi pada sudut
merugikan orang lain secara tidak sah,” demikian van de Spiegel sebagaimana
Bencana nasional yang terjadi pada tahun 1965 membawa kesadaran baru bahwa ada
yang tidak beres dalam penyelenggaraan negara. Kesadaran baru ini mendorong usaha
kekuasaan seperti di masa lalu tetapi pada (ke-) manusia (-an), yaitu habitat yang
tersebut berlangsung senyap, tidak gegap, tetapi pasti, terlebih setelah bencana nasional
tahun 1998, disusul bencana nasional 2004-2005. Hasil rekonstruksi buah pendaratan
itu pada tgl 8 Mei 2000 diberi nama Kybernologi (dari bahasa Greek kybernán,
Inggeris steering, Belanda besturen, mengemudi, diberi akhiran –logy, -logi) dan
diluncurkan oleh Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) di Jakarta pada tgl 22 Mei 2003.
dapat dibaca dalam Bab I dan Bab II Kybernologi: Sebuah Rekonstruksi Ilmu
Istilah methodology terdiri dari methodos dan logos. Methodos berasal dari meta dan
hodos. Meta berarti beyond, “di luar sana,” yang belum diketahui (unknown),
sedangkan hodos berarti jalan, cara, atau alat. Jadi metodologi adalah jalan (cara, alat)
yang ada (known) yang perlu ditempuh (digunakan) oleh seseorang (knower) untuk
Behavioral Research (1973), ada empat cara (methods of) knowing, yaitu the method of
tenacity, the method of authority, the method of intuition (a priori method), dan the
method of science. Dilihat dari sudut the method of science, Metodologi Ilmu adalah
metodologi yang didasarkan pada hipotesis-dasar berbunyi: “There are real things,
whose characters are entirely independent of our opinion about them.” Bagian sesuatu
yang belum diketahui yang bisa diketahui disebut sesuatu yang dapat diketahui
(knowable), sedangkan bagian yang selebihnya meliputi bagian yang belum diketahui
dan bagian yang tidak dapat diketahui (unknowable). Hubungan antara bagian yang
diketahui dengan bagian yang tidak diketahui itu ialah, semakin diketahui, semakin
tidak diketahui.
Metodologi meliputi tiga komponen, yaitu Metodologi Penelitian, Metodologi Ilmu,
Kuantitatif. Setiap disiplin ilmu memiliki metodologinya sendiri. Jadi ada Metodologi
Ilmu Politik, Metodologi Ilmu Sosial, dan Metodologi Ilmu Hukum, dan seterusnya.
menyangkut dua hal pokok, Didaktik Pengajaran tentang bahan-ajar, dan Metodik
“Every science begins as philosophy and ends as art, it arises in hypothesis and flows
front trench in the siege of truth. Science is the captured territory; and behind it are
those secure regions in which knowledge and art build our imperfect and marvelous
world,” demikian Will Durant dalam The Story of Philosophy (1956). Filsafat Ilmu
meliputi tiga hal. Pertama Ontologi (ontologia, cabang Metafisika; Metafisika sendiri
mempelajari the nature of existence), yaitu sistem pemikiran tentang hakikat sesuatu
(Bab IV), Serbazat (Bab V) dan Serbaroh (Bab VI), Serbadua dan Serba(e)sa Bab VII),
Serbasawat dan Serbatuju (Bab IX), Serbatentu dan Serbataktentu (Bab X). Hakikat
lainnya terlihat pada Bab VIII berjudul Perhubungan Sebabakibat. Dalam bab itu STA
berpendapat segala sesuatu serbahubung, khususnya hubungan kausal. Pada suatu saat
suatu hal merupakan akibat dari sesuatu, pada saat lain hal yang sama menjadi sebab
oleh M. J. Langeveld dalam Menuju Ke Pemikiran Filsafat (1957) disebut Logika (Bab
IV) dan Teori Pengetahuan (Bab V). Ia memasukkan Metodologi dalam Logika.
Epistemologi adalah sistem pemikiran tentang “tau,” “mungkin tau,” “tidak tau,” dan
Ketiga, Axiologi (dari áxio, bernilai, berharga) yaitu Teori Nilai meliputi Etika,
Estetika, Kepercayaan, dan sebagainya (Bab VII Langeveld). Oleh sebab itu, sementara
Epistemologi membentuk faktor “tau,” Epistemologi membangun kekuatan “mau” dan
Gambar 4 menunjukkan hubungan antara tiga liputan Filsafat Ilmu tersebut. Gambar 4
dari hasil pengamatan terhadap fakta melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif,
mempelajari bagaimana.
mengusahakan ilmu pengetahuan (scientific enterprise) sehingga bermanfaat
membangun hidup -bersama manusia dalam damai sejahtera. Hubungan antar tiga
Data berasal dari kata datum (tunggal) dan data (jamak), dari dare, a thing given,
individual fact. Fact adalah the quality of existing, or of being real. Factum, facere, to
do. Fakta adalah kualitas keberadaan sesuatu, misalnya fenomena, kejadian, peristiwa,
1. Bahan baku dan juga sebagai bahan bangunan. Tanah liat adalah bahan baku
2. Bahan baku untuk diolah menjadi informasi. Salah satu bentuk informasi adalah
kualitatif.
pemikiran).
7. Temuan penelitian.
Gambar 5 menunjukkan bahwa fakta direkam (ditangkap) dengan alat yang disebut
1. Perekaman suatu fakta begitu terjadi (begitu “keluar dari sembernya”) tanpa
melainkan merekam apa adanya dengan alat (bahasa, simbol, gambar, ungkapan,
dsb) yang ada, sedalam - dalamnya, kualitas serinci-rincinya dikenal. Supaya hal
itu terjadi, fakta yang direkam haruslah terarah (focused) dan seterbatas mungkin
Penggunaan konsep tertentu untuk merekam suatu fakta dimungkinan bila fakta
keluar dari sumber yang terjadi berulang-ulang atau terdapat di mana - mana,
sehingga leluasa untuk mendeduksi konsepnya dari konsep yang sudah ada.
Sebagai alat ukur, konsep yang digunakan harus valid dan reliable. Valid artinya alat
itu mengukur apa yang dapat diukurnya: kunci roda untuk membuka roda dan bukan
tang, gram untuk mengukur berat dan bukan liter. Reliable artinya penggunaan alat
ukur valid yang sama memberikan hasil yang sama walau digunakan untuk objek,
waktu, dan tempat yang berbeda- beda. Hasilnya adalah data kuantitatif.
Dari keterangan di atas diketahui bahwa akurasi data bergantung pada
2. Validitas dan reliabilitas konsep sebagai alat perekaman dan pengukuran fakta.
3. Kelengkapan atau kebulatan data tentang suatu hal. Setiap fakta harus dapat
direkam dan diukur pada dan dari segala segi sepanjang waktu tertentu. (time
Dimensi-dimensi data:
1. Waktu, kemutakhiran, urutan data menurut waktu, dan periode data (time series).
3. Kejelasan sumbernya.
7. Faktualitas (factuality).
8. Akurasi, reliability.
1. Data Orisinal, yaitu data hasil rekaman terhadap suatu fakta buat pertama kalinya.
2. Data Derivatif, yaitu data yang sama tetapi tangan kedua, ketiga, dan seterusnya.
Data Derivatif di satu fihak bernilai tinggi karena sudah teruji. tetapi di fihak lain
3. Data Primer yaitu data “kasar” (raw data) yang belum diolah.
5. Data Kualitatif adalah data hasil perekaman sekenal dan sebulat mungkin seluruh
kualitas suatu fakta sebagaimana adanya pada saat “keluar dari sumbernya,”
6. Data Kuantitatif adalah data hasil rekaman fakta dengan menggunakan konsep
7. Data Berulang adalah hasil rekaman kejadian atau peristiwa pada sisi
8. Data Sekalilalu, yaitu hasil rekaman kejadian atau peristiwa pada sisi
9. Data Kontinyu (continuous data). Disebut demikian jika di antara dua nilai dapat
disisipkan nilai lain, Misalnya usia. Di antara usia 14 dan 15 tahun secara teoretik
Database bukan sekedar bahan baku tetapi bisa jadi bahan bangunan. Data berkualitas
database jika data itu definitif, terstandardisasi, dan merupakan referensi buat data
Konsep bukan konsepsi dan bukan draft. Konsep adalah pengertian. Sebuah
pengertian bisa terdiri dari beberapa kata atau kalimat. Di satu fihak, konsep adalah
satuan pengetahuan, dan di fihak lain konsep adalah alat untuk merekam, “menangkap”
atau “menjaring” suatu fakta (Gambar 5) pada suatu saat. Menurut kamus, konsep
(concept) adalah “an idea or something formed by mentally combining all its
Turner sebagaimana dikutip oleh Earl Babbie dalam The Practice of Social Research
Tiap konsep memiliki kualitas (characteristic, property, attribute) tertentu, yang dapat
diukur atau dapat diamati. Kualitas adalah isi suatu konsep. Dalam buku- buku tentang
metodologi biasanya nilai (value) yang dianggap sebagai isi suatu konsep. Dalam
Kybernologi, kualitas dibedakan dengan nilai dan norma. Tiap konsep mengandung
minimal satu kualitas. Konsep “buku” berkualitas satu bersifat abstrak, tidak terukur
jika di atas meja terletak sebuah buku tulis dan sebuah buku gambar yang tentu saja
berbeda, dan seseorang disuruh mengambil buku, maka ia tentu saja sedikit banyak
ragu-ragu, buku mana yang dimaksud di antara dua buku yang ada. Berbeda halnya jika
yang bersangkutan disuruh mengambil buku gambar (konsep berkualitas dua), keragu-
raguan itu hilang. Semakin lengkap kualitas suatu konsep, semakin kualitatif konsep,
kombinasi berbagai teori atau sumber. Sebab pengombinasian definisi dari berbagai
sumber tidak bisa langsung digunakan, harus diuji dulu. Juga tidak dari suatu
(definiendum) adalah bidang yang dibatasi oleh tiga garislurus (definiens).” Bagaimana
jika fenomena yang diteliti merupakan fenomena baru atau langka, belum diteliti secara
akademik, atau belum ada definisinya? Misalnya fenomena kepemimpinan kepala desa
pantai rawan tsunami. Katakanlah, konsep “kepemimpinan kepala desa pantai rawan
tsunami” itu belum ada. Jika konsep yang ada hanya definisi konsep “kepemimpinan,”
maka harus dibentuk (dirumuskan) definisi konsep “kepemimpinan kepala desa,” dan
selanjutnya definisi konsep “kepemimpinan kepala desa pantai rawan tsunami.” Proses
kualitas (karakteristik) yang baru ke dalam konsep yang ada Bersama karakteristiknya,
sehingga definisi konsep yang baru dapat dirumuskan. Jadi dalam definisi konsep
desa pantai rawan tsunami, melalui analisis berbagai teori yang relevan. Dengan
Kerlinger menarik perbedaan dan hubungan antara concept dengan construct. Jika
dinding atau langit-langit sebuah kamar dan menjadi bagian integral seluruh bangunan.
Jadi construct adalah concept yang telah digunakan menjadi bagian integral bangunan
yang lebih besar. Dalam hubungan ini BOK. Besar kemungkinan, komoditi itu
dimodifikasi atau dipesan khusus hanya untuk bangunan terkait. Bisa juga, konsep yang
Konsep yang nilai kualitasnya bervariasi, disebut variabel (variable). Misalnya salah
satu kualitas konsep PNS adalah kesetiaan. Nilainya bervariasi, berkisar antara 0
dengan 100. Jadi setelah ditimbang, diberi nilai 50 atau 80. Namun demikian yang
disepakati dan ditetapkan sebagai nilai minimal (norma) untuk dapat dijadikan sebagai
operasionalisasi konsep dengan memasukkan satu lagi atau lebih nilai ke dalam konsep
itu (jadi setiap variable mengandung minimal dua nilai, satu nilai saja tidak bervariasi).
Rumusan pernyataan hubungan antara atau antar dua atau lebih variable, disebut
Hypotheses are always in declarative sentence form, and they relate, either generally or
hypotheses are statements about the relations between variables. Two, hypotheses
yang lebih pelik adalah fungsinya dalam menemukan jarak konseptual. Misalnya jarak
konseptual antara kepemimpinan (X) dengan komunikasi (Y). Semakin banyak dimensi
suatu kondisi, bisa saja X konsentrik dengan Y. Jika itu terjadi, maka X = Y. Jarak
konseptual = nol. Pada kondisi itu, konstruksi hubungan eksternal antar konsep tidak
valid. Pemikiran dianggap valid jika Z minimal lebih besar daripada nol (Gambar 9),
Konsep “jarak konseptual” dibentuk seperti konstruksi konsep “jarak social” dalam
Sosiologi atau “jarak kekuasaan” dalam Ilmu Politik. Jarak konseptual menunjukkan
tingkat atau derajat (variabilitas) keeratan hubungan antara dua atau lebih konsep, dekat
X--->Y jembatan, objek penelitian; Z1, Z2, Z3, Z4, contingent factors (necessary
activity, pelanggan, dan evaluasi sebagai contingent factors baru. Dalam hubungan itu,
feedback adalah Z4. Factor Z tidak bisa diepsilonkan semuanya; jika X1 dan X7 diteliti,
yang bisa dijadikan epsilon hanya X5 dan X6. Jadi “epsilonisasi” variable itu tidak
maka semakin dekat hubungan (semakin pendek jarak) antara X dengan Y, maka
dengan Y, dan semakin tidak diperlukan tiang penyangga (Z) antara keduanya. Sudah
barang tentu, semakin ringan pula masalahnya. Antara “makan” dengan “kenyang,”
tidak ada yang perlu dipertanyaan, karena jika makan cukup, pasti kenyang, lihat
Gambar 10. Sebaliknyalah yang terjadi bilamana hubungan itu semakin jauh (Gambar
11).
Untuk menemukan jarak konseptual, diperlukan definisi konsep, dan dari definisi
antar konsep sebagai dasar rekonstruksi teori. Baca Bab XIII Kybernologi Sebuah
beserta model-modelnya (beberapa di antaranya, ref. Peter Hagul, Chris Manning, dan
dalam Masri Singarimbul dan Sofian Effendi, peny. Metode Penelitian Survai, 1982).
Hubungan itulah yang harus diamati, diuji atau dibuktikan. Hubungan itu memiliki
dengan jarak konseptual di atas. Hubungan itu disebut eksklusif, jika konsep yang
satu tidak berada di dalam konsep yang lain, jarak konseptual Z harus lebih besar
daripada nol. Dalam hubungan itu, X tidak berada di dalam Y dan sebaliknya, Y
tidak berada di dalam X. Disebut inklusif jika konsep yang satu berada di dalam
konsep yang lain. Jika hal itu terjadi, katahubung antara yang satu dengan yang
dan 11). Babbie menjelaskan hal ini panjang lebar dalam Bab 3 bukunya. Model
dasarnya adalah X---->Y. Jika factor didefinisikan sebagai “one of the elements
dan Y adalah akibat (result). Penyebab (sebab) atau faktor itu selalu berada di
luar (eksternal) akibat. Dilihat dari sisi ini, tidak ada faktor internal sebagaimana
disangkakan banyak orang. Di dalam organisasi ada uang dan SDM. Uang
(faktor) terhadap SDM (result) di dalam (internal) organisasi, tetapi uang bukan
1. Yang satu (cause) persis (in time) mendahului yang lain (effect).
3. Korelasi empirik antara yang satu dengan yang lain tidak dipengaruhi oleh
fihak ketiga.
Menurut Babbie lebih lanjut, ada dua macam causes, yaitu necessary cause dan
sufficient cause (Gambar 11). “A necessary cause represents a condition that must
army---->uniform. Yang satu “must,” yang lain “if.” Katahubung antara satu
terminal dan simbol ----> menunjukkan rute antar terminal. Yang menjadi
persoalan sekarang ialah, hubungan itu deterministik atau tidak? Di dalam ruang
perilaku manusia, akibat yang sama ditimbulkan oleh sebab yang berbeda-beda.
Gambar 11 memang secara sufficient dipengaruhi oleh tujuh faktor (Gambar 10),
kebijakan tidak boleh diposisikan sebagai cek kosong yang bebas diisi oleh
satu dengan yang lain dipengaruhi oleh fihak ketiga, maka hubungan antara yang
faktor ketigalah yang melakukannya. Katahubung antara yang satu dengan yang
. . . . , semakin. . . . . .”
disebut positif jika secara empirik nilai yang satu naik diiringi kenaikan nilai yang
lain, atau sebaliknya jika secara empirik nilai yang satu turun, nilai yang lain juga
turun. Hubungan itu disebut negatif, jika secara empirik nilai yang satu naik
tinggi. Tetapi mengingat sifat ketergantungan perilaku manusia pada berbagai hal
yang tak terduga, maka nyaris mustahil model perilaku sosial serta-merta bersifat
individual, kasus demi kasus. Jadi model pemikiran Ilmu-Ilmu Sosial tidak X----
>investasi.
atas berkaitan dengan hubungan keenam ini. Pada umumnya hubungan input---
>output bersifat linier. Hubungan timbal-balik antar lebih dari dua konsep
menjadi sirkuler atau siklik. Dalam hubungan itu salah satu rute adalah feedback
input--->output di atas. Model hubungan sirkuler atau siklik menjadi dasar bagi
pemikiran beranalisis jalur (path analysis). Contoh klasik tentang hal ini adalah
observed facts and laws that relate to a particular aspect of life. . . . ,” sementara
whether concepts are related and, if they are, how they relate to each other.. . . . .
Many theories make a causal statements, or a proposition, about the expected relation
among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena,”
statement about concepts that may be judged as true or false if it refers to observable
nature.” Menurut Babbie, teori terdiri dari beberapa pernyataan (statements). Pertama
kebenaran yang dengan sendirinya benar tanpa perlu diuji atau dibuktikan. Axioma
berfungsi sebagai sebagai fondasi bangunan teori. Ketiga, proposisi, yaitu “conclusions
drawn about the relationship among concepts, based on the logical interrelationships
berpendapat bahwa “Theory is a group of laws. The laws that serve as the premises of
these deductions are called the axioms of the theory; these which appear as
conclusions are called theorems.” Lebih lanjut Babbie menunjukkan hubungan timbal-
balik antara teori dengan fakta (observations) seperti Gambar 13. Gambar itu juga
melalui
kuantitatif yang berjalan dari teori ke observasi melalui pengujian hipotesis dan bersifat
deduktif.
Inti dinamik suatu teori adalah hipotesis. Pemikiran bermula dari keingintahuan
two or more variables. It asks, in effect, questions like: “Is A related to B?” How are A
and B related to C?” How is A related to B under condition C and D?” Ada yang
cenderung mengambil jalan pintas yang lebih mudah, yaitu mengutip “temuan”
dengan dua cara. Langsung merekam fakta empirik yang dipertanyakan (ingin
diketahui), yaitu melalui pendekatan kualitatif, atau berkonsultasi dengan teori yang
ada. Pertanyaan dijawab dengan teori berdasarkan alasan, bahwa teori yang ada
merupakan jawaban yang telah teruji dalam masyarakat, bahkan dalam sejarah.
Menurut Earl Babbie dalam The Practice of Social Research, (Bab 2, 1983), dalam
penelitian dijawab dengan teori dan hasil deduksi teori berakhir pada hipotesis. Jadi
juga jawaban sementara karena hipotesis perlu diamati, diuji, atau dibuktikan dengan
fakta (secara empirik), agar kualitasnya sebagai “hipō-” “sub-” (under), “supposition,”
Indonesia.
syarat sebagai sebuah hipotesis? Kerlinger (kemudian dikutip oleh sejumlah penulis
metodologi seperti John W. Creswell dalam Research Design, 1994, dan relatif sama
dengan Donald R. Cooper dan C. William Emory dalam Business Research Methodes,
two or more variables,” yang perlu diuji secara empirik. Sudah barang tentu, sifat
“Besarnya pengaruh. . . . . .” tidak menjelaskan apakah ada, dan jika ada, bagaimana
sifat hubungan antara X dengan Y. Ia hanya menyatakan bahwa “ini” diukur pada “itu.”
Oleh sebab itu, kalimat “Besarnya pengaruh X terhadap Y diukur pada dimensi-
dan Emory, op. cit., h. 39), yaitu sekedar “a statement about concept,” bahwa
(statement). Dalam kalimat itu tidak ada sesuatu yang diuji atau dibuktikan. Hubungan
antara variable dengan dimensinya menurut teori terkait, sudah pasti. Lagi pula fungsi
dimensi dan indikator pada Gambar 14 tidak untuk mengukur, melainkan langkah yang
(alat untuk mengukur variabel) yaitu items pertanyaan (rating scale) atau pernyataan
(Likert).
Apakah kalimat yang berbunyi: “Besarnya pengaruh X terhadap Y bergantung pada
tidak reliable.
dimensi X,” Pernyataan “ditentukan oleh” dalam kalimat hipotetik itu berarti
ini mengubah posisi dimensi-dimensi itu, dari dimensi X menjadi faktor yang
berubah menjadi
Model Gambar 16 harus dianalisis lebih lanjut, artinya dimensi-dimensi X1, X2, Xn
harus diidentifikasi, kemudian dimensi baru itu berubah lagi menjadi variable bebas,
demikian terus-menerus. Kapan berakhirnya? Oleh sebab itu harus diingat bahwa faktor
berbeda dengan dimensi dan dimensi tidak boleh diperlakukan sebagai faktor atau
variable bebas. Kesalahfahaman tentang faktor dengan dimensi ini sering terjadi.
Misalnya pada hari Sabtu 12 November 2005, di gedung Program Pascasarjana sebuah
universitas besar di Bandung, Ujian Disertasi (biasa juga disebut Ujian Terbuka,
promosi Doktor) mahasiswa Program Doktor atas nama L3G03810 dan L3G03855,
berlangsung. Inilah promosi Doktor ke 5 dan 6 Program tersebut yang dibuka sejak
dalam Ujian Naskah Disertasi (Ujian Tertutup) sekitar tiga bulan sebelumnya. Judul
Perberasan dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani. Dalam judul kedua disertasi
terdapat kata “pengaruh.” Hal itu berarti promovendi hendak mempelajari hubungan
kausal antara dua atau lebih variabel, antara variabel pengaruh (X) dengan variabel
yang dipengaruhi (Y). Ada empat variabel pengaruh yang diteliti oleh kedua
terhadap Y?” yang dijawab dengan empat hipotesis “X berpengaruh terhadap Y,” dan
berpengaruh terhadap Y.” Jadi pertanyaan yang berbeda dijawab dengan jawaban yang
makna (arti), yaitu sebagai proses yaitu contingent atau necessary factors yang
diperlukan untuk menghasilkan suatu output, dan sebagai kualitas, misalnya “baik,”
“lancar,” dan sebagainya. Jadi pertanyaan “bagaimana” dalam arti pertama, sangat
penting, dan berkaitan erat dengan pertanyaan “mengapa.” Jika “mengapa” bertanya
mengobatinya. Sudah barang tentu, pertanyaan “bagaimana” dalam arti kedua hanya
layak untuk penelitian kualitatif yang langsung dapat menjawab dengan fakta empirik.
Jawaban “berpengaruh” pada Tabel 1 menunjukkan output, bukan proses atau kualitas.
diibaratkan pesawat yang sedang mengalami gangguan di udara dan sibuk mencari
lapangan untuk pendaratan darurat. Atau laksana seorang penjual suatu obat (X) yang
lagi ingin mengetahui penyakit apa (Y) yang bisa disembuhkan dengan obat itu. Inilah
“logika” birokrasi! Birokrasi memiliki kekuasaan atau alat, dan ingin tau, dengan
kekuasaan atau alat itu ia bisa apa. Seharusnya, seorang peneliti Kybernologi ibarat
Pertanyaan itulah yang membawa peneliti ke arah hubungan kausal antara Y dengan X.
tepat dapat didefinisikan. Jadi pertanyaan yang jauh lebih tepat ialah “Faktor apa
perberasan D6 hanya satu yaitu harga dasar beras. Apakah harga dasar beras dapat
Gambar 19 dan Gambar 20. Oleh sebab itu, kalimat “Besarnya pengaruh X
Ada juga yang berusaha menjawab pertanyaan “seberapa besar” itu dengan hipotesis
Y.” Pertanyaan ini didahului dengan pertanyaan “Adakah hubungan teoretik antara Y
dengan X?” Barulah kemudian: “jika ada, bagaimana sifat hubungan itu?” “Besarnya
pengaruh,” yang ditunjukkan oleh koefisien hubungan (r) atau pengaruh R) pada
hipotesis berepsilon, bias, tidak sesuai dengan fakta. Lebih-lebih di bidang Ilmu Sosial,
akurasi temuan penelitian, dalam hal ini “besarnya pengaruh,” relative. Penyebabnya
antara lain faktor “science is not portable,” “sufficient factors” yang tidak lengkap,
“contingent factors” yang sulit diidentifikasi mengingat proses social bersifat culture
bound, dan contingent factor diwarnai oleh cultural lag, hubungan antar faktors yang
berbeda-beda dan berubah-ubah, sehingga selalu saja ada faktor yang belum diketahui.
Jika diketahui sekalipun, mungkin sulit diteliti. Hal-hal itu membuka ruang abu-abu
mempengaruhi Y,” atau “Di bawah kondisi apa X mempengaruhi Y,” jauh lebih
penting ketimbang pertanyaan “Seberapa besar” itu, demikian Kerlinger dan Babbie di
atas. Sebab, walaupun koefisien hubungan itu diketahui, selalu saja koefisien itu bias.
Jarak konseptual antara X dengan Y menunjukkan bobot masalah pemikiran, dan pada
gilirannya hal itu menunjukkan tingkat kebutuhan akan eksplanasi atau prediksi
semakin tidak pasti hubungan, semakin berat bobot masalah, semakin besar teori
keduanya) tidak “nungging” atau timpang, tetapi relatif rata (setara). Semakin abstrak
konsep atau variable, semakin jauh jarak konseptual antar konsep atau variabel,
semakin rumit hubungan yang terjadi, semakin besar teori. Pada tingkat tertentu,
teori seperti itu disebut Teori Besar (Grand Theory). Selanjutnya, semakin besar
knower), alat yang digunakan untuk memandang- nya (Z, knowledge, teori), dan
Pendekatan awal Kybernologi bertolak dari sebuah dalil Filsafat Ilmu berbunyi credo et
Kybernologi), karena Kybernologi pada saat itu secara formal belum ada, melainkan
semua disiplin ilmu pengetahuan, dan common platform Ilmu-Ilmu Sosial. Selanjutnya
lihat Gambar 24. Objek forma Kybernologi mulai terkuak tatkala pemandang
mendaratkan pandangannya pada sudut manusia dengan HAM dan kebutuhan dasarnya,
lingkungan dengan keberlanjutannya (Gambar 2). Objek forma semakin jelas manakala
peran Ilmu Ekonomi (pasar bebas) tetapi pada peran Negara (Gambar 25)
Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan lama dan pembangunan BOK baru bernama
Produksi Dengan Konsumsi,” atau “Jangan Beli Kucing Dalam Karung.” Setelah
(Gambar 26).
Model c Gambar 26 menunjukkan pendekatan multidisiplin. Pendekatan ini digunakan
untuk merekam dan mempelajari suatu masalah dari berbagai sudut yang berbeda guna
digunakan oleh suatu disiplin dalam berinteraksi dengan disiplin lainnya yang berbeda
dalam rangka mengembangkan diri agar tetap dalam paradigma normal science. Model
ini adalah lanjutan model c. Interaksi itu berlangsung dalam bentuk saling meminjam
konsep atau metode. Sudah barang tentu berdasarkan norma, kode etik, dan dengan
teknik yang lazim di dunia akademik. Sebagai contoh adalah scientific movement
berjudul reinventing government akhir abad yang lalu. Gerakan ini meminjam konsep
entrepreneurship
secara sistematik. Dengan pendekatan itu, antara Ilmu Politik dengan Kybernologi,
misalnya, muncul kajian hibridal bernama Politik Pemerintahan yang digunakan oleh
IPDN sebagai nama salah satu fakultasnya. Pendekatan sentripetal dari luar ke dalam
ruang Kybernologi itulah yang terlihat pada Pohon Kybernologi. Bab II Kybernologi
Dalam perkembangan lebih lanjut, melalui pendekatan yang sama, antar disiplin
misalnya Kybernologi dengan Ilmu Politik, didorong oleh kekuatan sentrifugal dari
direkam dalam Kata Pengantar buku Menuju Ke Pemikiran Kybernologi Pertanian dan
Agro-Pemerintahan (2009). Sebagian Kata Pengantar itu dikutip sebagai berikut. Seri
Kybernologi Pertanian dan Agro-Pemerintahan. Bab I sampai dengan bab V berisi dua
Pertanian dan hibrida kedua oleh Dr Ir A. H. Rahadian, MSi dan Dr Ir Abdul Samad
Melleng, MM, co-writers buku ini, diberi nama kajian Agro-Pemerintahan, dapat
dibaca dalam Bab III, IV, dan V buku ini. Bab III dan Bab IV pernah dimuat dalam Bab
VI dan VII Kybernologi dan Pengharapan (2009), Bab I terdapat dalam Bab IX
Kybernologi Sebuah Metamorphosis (2008), sedangkan Bab II berasal dari Bab Bab IV
dari sudut kepentingan politik dan birokrasi yang dalam kondisi sekarang sangat
semua disiplin menjadi masukan ilmiah yang memiliki scientific power yang kuat
dalam proses kebijakan publik yang memihak manusia, masyarakat, dan pelanggan.
Bab I GBPP Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2009). Tentang hal ini, van Poelje
. . . . . . bahwa berbagai ilmu pengetahuan yang bertalian dengan salah satu bagian
dan Teknologi Civil mewakili berbagai disiplin yang sisi aksiologinya jadi masukan ke
dalam proses kebijakan. Metodologi itu bekerja pada 9 terminal dan 9 rute. Dari
(terminal 3). Dari terminal 3 melalui rute recruitment (rute 3), profesional pertanian
PNS Dinas Pertanian wajib memahami proses kebijakan pemerintahan daerah sebagai
tersebut (terminal 5). Dari terminal 5 melalui competence building workshop (atau
apapun namanya, rute 5), terbentuk kompetensi PNS Dinas Pertanian sebagai aparat
pemerintahan daerah (terminal 6).Oleh setiap orang yang berdiri di terminal 5 dan
pemerintahan lainnya. Satu dengan yang lain berhubungan interdependen. Kinerja yang
satu ditentukan oleh dan atau bergantung pada kinerja yang lain. Sementara itu
lingkungan berubah dan masa depan tidak menentu. Konstruksi pemikiran tersebut
Definisi tersebut adalah kombinasi Teori Governance dengan ide yang terkandung
dalam definisi Regeerkunde menurut van de Spiegel. Dari definisi itulah Kybernologi
yang dalam Gambar 27 terletak pada terminal 9, bermula. Melalui sistem pendidikan
dibentuk profesi pemerintahan (terminal 7). Antara terminal 7 dengan terminal 5, yaitu
pada terminal 6, timbul pertanyaan kedua, yang dijawab dengan definisi: Sistem nilai
dasar pemerintahan adalah Kepamongprajaan. Oleh sebab itu, isi the governance
teknik pemahaman kualitatif antar budaya yang berbeda yang lazim disebut triangulasi,
guna menemukan bukan hanya pengertian tetapi lebih daripada itu, saling-pengertian
antar budaya yang berbeda itu, bertolak dari serenity, melalui jembatan yang disebut
empathy. Pengertian yang dicapai melalui jembatan itu disebut Verstehen (empathic
Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama (2005) dan dalam Bab V Kybernologi Politik
metodologi sehingga konsep itu ianggap sebagai puncak bahan bangunan Kybernologi.
BAHAN BOK: VERSTEHEN
Ada tiga hal yang melatarbelakangi pentingnya pendekatan ini. Dua di antaranya
berkaitan dengan praktik politik, dan satu yang berkaitan dengan metodologi.
Pertama artikel Sofyan A. Djalil “Harga BBM dan Masa Depan Indonesia,” (Kompas,
121005) “Kali ini saya amat sedih, Pak Effendi, logika opposisi Anda tanpa berempati
sedikit pun pada kesulitan negara yang begitu parah: . . . . . . ,“ kedua, pernyataan Alwi
Shihab “Pasti ada kendala, tetapi persentasenya sangat kecil,” (sehingga dapat
diabaikan) ujar Alwi di Jakarta kemarin (Kompas, 181005), dan ketiga penggunaan
Empathy vs Sympathy. Kata empathy berasal dari bahasa Gerik empátheia, affection
(em-, in- dan pathy, pátheia, suffering, feeling), berarti “intellectual identification with
dan “the imaginative ascribing to an object, as a natural object or work of art, feeling
Jerman Einfühlung. Kata tersebut berkaitan dengan kata sympathy (Latin sympathīa,
Gerik sympátheia, dari sym-, before, syn, co-, with, dan páth(os), suffering, feeling),
one person with respect to another,” dan “a quality of mutual relations between
people or things whereby whatever affects one also affects the other.” Arti kedua ini
mirip sekali dengan ungkapan tat twam asi, semboyan Kementerian Sosial dahulu kala,
yang berarti “aku adalah engkau,” “engkau adalah dia,” dan “dia adalah aku.” Apa
yang dirasakan oleh yang satu, dirasakan juga oleh yang lain. Simpati timbul karena
Research Methods (1997, 356) menyatakan bahwa “Empathy does not necessarily
Research (1994, 120) menggambarkan empati itu sebagai “getting inside the head
of another,” didukung oleh sikap etik dan emik (amïc). Berdasarakan analisis
“making the obscure plain,” (lihat Neuman, 1997, 68) dapat dikatakan bahwa empati
adalah konsep metodologi, yaitu cara memahami perasaan, sikap, dan tindakan
dengan yang lain sebagaimana adanya, sedangkan simpati merupakan konsep yang
digunakan untuk memahami proses sosial yang terjadi antar pelaku yang berbeda-
beda, yang terjadi berdasarkan adanya ketertarikan atau kesamaan. Jadi seseorang
bisa bersimpati melalui empati, dan bisa juga bersimpati tanpa melalui empati
melainkan melalui kesamaan atau ketertarikan satu dengan yang lain. Dalam Gambar
28, A menggunakan FOR B. Dalam Gambar 29, simpati A terhadap B terbentuk karena
kalah, minoritas, yang tidak terdaftar, powerless, tontonan, korban, mangsa, dianggap
tidak ada, atau dapat diabaikan. Pendekatan kualitatif adalah kebalikannya. Pendekatan
ini telah dibahas dalam, Kybernologi (2003), Bab 36, Melalui pendekatan kualitatif
yang dijadikan pegangan oleh peneliti dalam mereproduksi dalam pikirannya “the
feelings, motives, and thoughts behind the action of others,” adalah frame-of-reference
menggunakan FORnya sendiri. Dengan pendekatan kualitatif, sekecil apapun hal yang
diamati, ia mempunyai kualitas dan nilai, dan oleh sebab itu ia tidak pernah dianggap
tidak ada, dan kehadirannya tidak pernah terabaikan. Sama seperti tubuh manusia.
terhadap keseluruhan.
Terlepas dari persoalan, pendekatan mana yang digunakan, hubungan antara nilai
empati dan simpati dengan kedua pendekatan (kuantitatif dan kualitatif), dapat
jalur antara empati dengan simpati. Simpati dapat terbentuk melalui empati (sel 4
melalui sel 3). Yang dimaksud oleh Sofyan A. Djalil dengan empati adalah empati
Alwi
orang terdaftar miskin, kendatipun banyak yang sesungguhnya tidak berhak tetapi
terdaftar, dan sebaliknya banyak yang berhak tetapi tidak terjangkau pendaftaran,
sementara banyak pula orang melarat lanjut usia setelah menempuh perjalanan yang
jauh, antri berjam-jam, berdesakan, bahkan ada mati terinjak- injak, tetapi itu
semua, dianggap tidak apa-apa, karena “persentasenya sangat kecil.” Jika seorang
yang usil bertanya: “Jika orang tua miskin yang terinjak itu, Anda sendiri,
bagaimana?” Dia diam, tidak menjawab, atau dia menjawab dengan ketus: “Boro-boro
saya miskin, bahkan sayalah yang membuat orang miskin dan terinjak. Anda tau, kan,
saya tidak miskin, oleh sebab itu saya tidak bisa me- ‘reproduce in my own mind
the feelings, motives, and thoughts behind the action of other’” (“feelings” dibaca
“sufferings,” “misery”).
Apakah melalui perbedaan (sel 3, Gambar 30) orang bisa tiba pada kebersamaan (sel
4)? Bisa, “through diversity toward unity,” atau E Pluribus Unum, demikian proposisi
Democratic Way of Life (1955, 112), dan demikian juga makna Bhinneka Tunggal Ika.
Bisa, jika sikap terhadap perbedaan bahkan heterogenitas, bertolak dari serenity:
“Menerima secara sadar dan ikhlas apa adanya.” Seperti tajuk doa Reinhold Niebuhr
(1892-1971):
God,
yang dalam bahasa Jerman disebut Verstehen. “It (Verstehen) must mean an act of
them to grasp the psychological state (i.e. motivation, belief, intention, or the like) of
seorang aktor dengan motif ketertarikan (sympathetic imagination) dan bukan karena
motives, ang thoughts behind the action of others.” Konsep Verstehen terkenal di
yang berakar dalam “an empathetic understanding, or Verstehen, of the everyday lived
Menurut Schwandt ada dua pendekatan yang digunakan dalam human inquiry.
Pertama, pendekatan constructivist yang berpendapat bahwa “knowledge and truth are
menyatakan “. . . the facts of the world are essentially there for study. They exist
the language and descriptions of institutions and practices.” Oleh sebab itu,
which these meanings are created, negotiated, sustained, and modified within a specific
arrives of this kind of interpretation of human action (as well as the ends or aim of the
Jadi jelaslah, Verstehen adalah proses dan temuan proses penafsiran fenomena sosial
itu dijelaskan oleh Max Weber sebagaimana dikutip oleh Neuman (1997, 68):
“Weber argued that social science needed to study meaningful social action,
or social action with a purpose,” karena mengerti tidaknya seseorang akan suatu
hal pada akhirnya menentukan pola perilaku yang bersangkutan. Untuk Indonesia,
konsep Verstehen sebagai metode sangat penting, mengingat budaya Indonesia adalah
budaya yang sangat kaya, sangat beragam, purba, unik, tetapi minat untuk
mengungkapkannya semakin lemah, sementara FOR generasi sekarang jauh berbeda
dengan FOR generasi pelaku budaya pada zamannya. Menurut Metodologi Sejarah,
berempati dengan masa lampau, menempatkan diri seolah-olah berada di masa silam
itu. Hanya saja, biaya penelitian dan pelestariannya mahal. Belum lagi pola perilaku
sosial yang bersifat covert, tertutup, tidak jelas (wayang), “lain di mulut, lain di hati,”
lain yang tersurat, lain yang tersirat. Melalui Verstehen, ada apa di belakang perilaku
manusia, bahkan mungkin di bawah sadarnya sebagaimana adanya, bisa terungkap, bisa
mengapa seseorang menjadi teroris, tetapi dengan Verstehen orang tidak bisa
membenarkan terorisme. Dilihat dari sudut ini, Metodologi Kualitatif unggul dalam
digunakan untuk memproses norma. Teknik dan prosedur yang harus ditempuh guna
manusia sebagai fihak ketiga: “Manusia, yang diingat apanya?” Sekarang manusia
jadi rebutan. Bahkan penyandang tuna sekalipun. Yang sehari- harinya dipandang
sampah! Kabarnya menjelang pemilu 2009 KPU telah menyiapkan alat dan cara buat
para penyandang tuna dan onggokan sampah ini suatu saat bagi orang lain tahun depan.
Sebenarnya metodologi ini sudah lama digunakan oleh sektor bisnis. Terutama
marketing. Sebuah keluarga kumuh sekali- sekalinya seperti mendadak (padahal sudah
didampingi seorang kamerawan lelaki yang membawa sebuah bingkisan yang berharga
disertai ucapan selamat dan pelukan mesra dari siperempuan. Tentu saja itu bingkisan
apa segepok uang diterima bak jatuh dari langit dengan syukur dan cium tangan oleh
keluarga yang ketiban. Apakah dengan memberikan sebingkis hadiah kepada keluarga
kumuh itu, kemiskinan berkurang? Andalah yang menjawab. Yang penting adalah
udang di balik batunya: guna menaikkan rating TV doang. Siasat partai politik (parpol)
demikian jualah. Parpol lantas menirunya dengan menggunakan label kepedulian kiri
kanan. Itulah yang terbaca tgl 7 Oktober 09 di halaman 8 Kompas, “Narasi Baru Partai
bla bla bla.” Atau label “kemanusiaan,” seperti yang terbaca --- lagi- lagi --- dalam
Kompas, 8 Oktober 09, juga di halaman 8, “Amien Rais Beri Nasihat. . . . ,” agar
dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat.” Bukan hanya parpol,
politik dalam bentuk iklan. Bahasa gaulnya taktik tebarpesona. Foto diri berpakaian
rapi dengan senyuman manis, memikat ratusan ribu pemudik. Atau melancarkan “Surat
Buat Semua” (Kompas 5 Agustus 08, halaman 11). Mula-mula ia menyapa sini-sana,
menggunakan berbagai cara. Ada yang memperkenalkan diri sebagai “Generasi Baru,”
pembawa “Harapan Baru,” bintang tunggal di angkasa dua nol nol sembilan, ada yang
menjelang setiap pemilihan umum (pemilu), baik nasional maupun lokal (pilkada),
lunta, wuih bau dan joroknya!, mendadak sontak diburu, dicari dirayu dan diiming-
iming oleh Tim Kampanye atau Tim Sukses yang tersebar di mana-mana. Juga oleh
wartawan dan tim konsultan pemilu. Rupanya jasad yang tinggal kulit pembalut tulang
itu semasih bisa nyoblos (nyontreng) atau memberi tanda bahwa ia masih bernyawa,
pasti dikejar, dibutuhkan. Apa pasal? Rupanya ia mempunyai sesuatu yang setara
dengan “Vox Dei,” suara Tuhan. Luarbiasa! Bahwa kendatipun demikian, sesudah itu
membelalak dibohongi, menggeliat lalu mati, siapa yang peduli? Anti klimaks memang.
Itulah sisi rakyat sebagai pelanggan. Rupanya pada saat-saat menjelang pemilu seperti
sekarang manusia diingat karena butuh suaranya, di waktu sesudahnya manusia diingat
karena butuh telinganya untuk mendengar kebohongan, sementara itu mata manusia
selamanya tidak dibutuhkan supaya ia tidak melihat kenyataan lalu pasrah belaka.
diperhatikan? Diperhatikan! Itu termasuk ritual Pancasila, UUD45, dan GBHN. Masih
teringat tiap kali Soeharto “turun kebawah,” berdialog dengan rakyat. Rakyat bertanya,
senyumnya yang memikat. Semuanya lancar sesuai skenario dan arahan sutradara.
Haris menulis tentang korupsi dan delegitimasi DPR (Kompas 5 Agustus 08), dan
sementara Budiarto Shambazy menyatakan: “Saya janji mau ‘nyoblos’ capres yang
punya resep mengurangi jumlah orang miskin?” (Kompas 7 Oktober 08, halaman 15.
Sebenarnya, pak Budi, gampang. Dengan sebuah tandatangan diubah saja tolokukur,
dan dimainkan statistiknya, jumlah orang miskinpun jamin bisa naik bisa turun dalam
sekejap, walau kemiskinan tetap bahkan semakin berkualitas, hehehe). Jadi ada yang
tidak beres!
indah, seragam, bila diperintah bergerak serentak, disatukan oleh kepatuhan dan
kesetiaan pada rezim yang berkuasa, ibarat sapulidi yang terikat dengan tali di
pangkalnya. Tetapi sabda alam lain. Kenyataan selalu bersifat jamak dan serbadua,
kapan saja dan di mana saja. Siang dan malam, terang dan gelap, pria dan wanita, benar
dan salah. Setiap eksistensi terdiri dari dua sisi ini. Pemerintah tidak eksis tanpa yang-
diperintah. Hubungan ini merupakan salah satu anggap dasar Teori Governance. Dalam
dua subkultur yang berbeda yang hadir di dalam setiap masyarakat. Dalam sejarah, di
hubungan lain yang bersifat kategorial. Dalam kondisi kategorial itu, masing-masing
memiliki referensi yang berbeda tentang hal yang sama. Misalnya “janji” dalam
kampanye. Menurut fihak yang berkampanye, “janji” yang dijualnya kepada pelanggan
adalah “janji,” yang dianggap sudah terpenuhi pada saat “janji” itu dipercaya (dibayar).
Tetapi menurut fihak pelanggan, “janji” adalah “apa yang dijanjikan,” dan oleh sebab
Frame-of-reference (FOR) subkultur yang satu tidak sah untuk digunakan buat
mengukur dan mengevaluasi subkultur yang lain yang FOR-nya berbeda. Menurut
Teori Budaya, bahasa yang digunakan subkultur kekuasaan (SKK) adalah bahasa
kiasan, dan jika tidak mempan, jika sudah melampaui ambang batas kesabarannya, dia
Oleh perbedaan budaya itu, norma yang dianut oleh satu fihak tidak kompatibel dengan
norma-normanya yang dianut oleh fihak lain yang budayanya berbeda, demikian
sebaliknya, dan bilaman digunakan begitu saja, dipaksakan, timbullah konflik. Jadi
antardisiplin seperti telah dikemukakan dalam pengantar tulisan ini, misalnya antara
ruang Ilmu Politik dengan ruang Ilmu Pemerintahan. Masing- masing ilmu memiliki
Sesuai dengan judul, yang ditelusuri dalam tulisan ini adalah Metodologi Ilmu
ruang politik terdapat Pemerintah (A) dengan FORnya sendiri, yang disoroti dengan
menggunakan Metodologi Ilmu Pemerintahan (Gambar 33) oleh yang diperintah (B),
dengan subkultur (FOR) yang berbeda. Sementara fihak A dapat dianggap homogen,
fihak B yaitu masyarakat, heterogen (beragam). FOR fihak A dapat dianggap seragam,
akan memiliki titiktemu. Sikap digambarkan dengan sudut (Gambar 33). Hal itu terjadi
bilamana sudut A = sudut B = 90°. Andaikata salah satu sudut lebih besar daripada 90°,
keduanya pasti ketemu pada suatu titik negatif (titiktemu garis A3A2 dengan garis
B1B) dan itu berarti konflik. Bilamana salah satu sudut A atau B < 90°.keduanya pasti
bertemu pada suatu titiktemu positif. Hal itu terjadi manakala salah satu fihak
berempati terhadap B,” sebaliknya, atau sama- sama. Semakin majemuk FOR, semakin
positif. Semakin berbeda besaran sudut A ketimbang besaran sudut B, semakin jauh
jalan dan jarak yang ditempuh untuk menemukan titiktemu X positif. Titik temu terjadi
entah kapan, entah di mana, jika besaran sudut (A + B) < 180°. Titik temu positif itu
jadi mustahil manakala besaran sudut (A + B) = 180° atau (A + B) > 180°. Artinya
tidak ada kompromi, 100% kategorial. Kondisi itu terjadi, manakala salah satu
mensakralisasi
ideologinya sehingga baginya dua terdiri dari putih dan hitam belaka. Adakah
> 180°? Jawabannya ialah “ada,” dengan syarat, yang dicari bukan “titiktemu” X
melainkan “garistemu” Y yang pada Gambar 34 disebut “jembatan.” Jembatan itu bisa
dibangun pada setiap titik yang berseberangan pada garis AX1 dan garis BX2, yaitu
titik-titik A1B1.
dapat dilalui oleh suatu fihak tanpa berubah menjadi seperti yang lain, adalah
hari ini Jumat tgl 10, berbunyi “. . . besok. . . ,” jika oleh orang Melayu “besok”
disimak “Sabtu tgl 11,” maka dunia bisa kiamat. Si Melayu murka karena merasa ditipu
kapan.” Konflik dapat dihindarkan jika orang Melayu mengerti ungkapan Jawa tersebut
tanpa berubah menjadi orang Jawa, identitasnya tetap orang Melayu. Demikian juga
saling-mengerti.
Pengertian dan saling-mengerti, cepat atau lambat dapat terbentuk dan tercapai melalui
pelbagai cara di dalam masyarakat. Salah satu cara yang dikenal dalam metodologi
(empathy, bukan emphaty). Konsep empati tidak terpisahkan dengan konsep pengertian
dalam bahasa Jerman disebut Verstehen. “It (Verstehen) must mean an act of
individual actor,” demikian Schwandt. Bisa saja peneliti bermaksud mengenal seorang
aktor dengan motif ketertarikan (sympathetic imagination) dan bukan karena ingin
understanding or an ability to reproduce in one’s own mind the feelings, motives, and
Dengan menggunakan FOR pemerintah (FOR politik), seorang pejabat atau peneliti
politik dari sebuah universitas besar di Bandung bertanya (berdasarkan laporan bahwa
para PKL kembali mengais di KL semula, lokasi lama, bukan di lokasi baru):
dan bukan “Mengapa PKL kembali mengais di lokasi lama?” Oleh karena pertanyaan
itu terkait dengan implementasi kebijakan maka perhatian pemikiran terpusat pada
kebijakan dan birokrasi. Peneliti tidak perlu mengenal dan mengerti kondisi pelanggan,
konsultan rekanan yang beken dapat ditemukan alasan pembenaran bahwa biaya
kurang, tenaga kurang, mobil kurang, dsb, sehingga ada dasar untuk meminta semakin
banyak anggaran. . . . . Oleh sebab itu, pertanyaan tersebutlah yang paling disukai.
Tetapi seorang pejabat atau peneliti yang menggunakan FOR pelanggan (FOR
terhadap dua macam pertanyaan itu sangat berbeda. Jika fokus perhatian penelitian
barang tentu, perhatian terhadap PKL harus jernih dan cerah. PKL jangan dilihat
sebagai pelanggar UU/Perda yang harus diusir dan digelandang oleh satuan PPP,
melainkan sebagai manusia yang ingin hidup meski melarat, dan dilindungi oleh Pasal
27 (2) dan Pasal 34 UUD1945. Jawaban teoretik terhadap pertanyaan “Mengapa PKL
membangun jembatan? Siapa mengempati siapa? Verstehen tentang apa atau siapa
kekuasaan di atas dan rakyat di bawah. Rakyat yang di bawah itu berlapis-lapis. Lapis
tengah dan lapis atas ke atas biasanya kekasih kesayangan kekuasaan, karena bisa
Sedangkan lapis bawah ke bawah boro-boro menyumbang, bahkan menjadi beban bagi
struktursupra, dan oleh sebab itu dianggap sampah masyarakat (tapi nyontreng atawa
nyoblos sih bisa, mangkanya sudah barang tentu kecuali menjelang pemilu! Iya
nggak?).
Seorang gembala yang kehilangan seekor di antara 100 domba peliharaannya dalam
berargumentasi: “Domba yang hilang hanya satu persen, masih ada 99% lagi.” Tetapi ia
menggunakan metodologi kualitatif jika ia mengambil keputusan untuk berhenti
Makna ilustrasi di atas ialah, memang keduabelah fihak bisa memulai pemasangan
jembatan dari fihaknya (B1) ke fihak lain (A1), dan sebaliknya. Namun kenyataannya,
manakah yang lebih terbuka, kemungkinan bagi seorang PKL naik ke atas, naik dan
naik lagi untuk memasuki kawasan istana negara atau halaman balaikota untuk
menyampaikan isi hatinya, ketimbang kemudahan bagi presiden atau walikota turun,
turun dan turun lagi untuk mengenal, memahami, dan menyelamatkan manusia
Gambar 35. Melalui metodologi itu, mutual empathic understanding yang sejati tentang
apa saja, kemiskinan, misalnya, dapat terbentuk di dalam benak seorang pemikir. Jika
pejabat atau peneliti menempuh prosedur seperti itu, definisi kekuasaan pasti lain.
Lakukanlah!
Pengetahuan manusia terbatas dan tergantung pada objek (sasaran yang ingin
diketahui) dan subjek (fihak yang ingin tau), waktu (time), dan ruang (space). Objek
pengetahuan dipandang dari aras abstrak (lepas dari waktu dan ruang),
(teoretik) adalah keadaan sesuatu (keadaannya) yang ada dan bagaimana adanya, Ada
berarti exist secara objektif lepas dari kesadaran manusia. Pada aras empirik dalam
(keberadaannya) yang ada dan berada. Berada berarti hadir di dalam waktu dan ruang.
Adanya sesuatu dalam wujud keadaan (kualitatif dan kuantitatif), sedangkan sesuatu
berada dalam bentuk peristiwa atau kejadian. Peristiwa adalah keberadaan melalui
tidak berulang, unik, khas, kasus, satu-satunya. HUT Kemerdekaan RI berulang setiap
tanggal 17 Agustus tiap tahun (peristiwa), tetapi HUT Kemerdekaan RI tahun 2009
berada dalam situasi tertentu (sel 4). Situasi tertentu itu pada gilirannya berfungsi
sebagai variabel dependen (X) yang menimbulkan suasana (Y) tertentu. Suatu situasi
ditandai dengan titikpusat yang disebut S. Misalnya dalam situasi S1 ada mahasiswa M
merasa terlempar ke dalam situasi tidak lulus ujian, namun beroleh kesempatan
mengulang dengan biaya besar. Dalam situasi lain, Sn, ada orang (N) yang jangankan
beroleh kesempatan mengulang, kuliah saja tidak. Jika M hanya menempatkan dirinya
pada situasi S1, ia mungkin gantung diri karena kecewa atau putusasa, Tetapi andaikata
M mampu menempatkan dirinya dalam situasi Sn, ia bisa berkata kepada dirinya
Seseorang sadar mengenal situasi di dalam mana ia berada. Kesadaran senyaris apapun
membawa terang bagi pikiran untuk melihat sesuatu walau masih samar atau tidak
utuh. Melalui kesadaran, orang mengenal sesuatu, berada di dalam waktu dan ruang.
Setiap orang pada suatu waktu berada di dalam sebuah ruang bersituasi. Itu berarti pada
saat itu kesadaran manusia terisi dengan pengalaman. Jika ia merasa sebagai bagian
situasi itu, ia disebut mengalaminya. Dalam hubungan itu, pada saat subjek mengalami
objeknya, jarak antara subjek dengan objek memendek mendekati nol, dan seiring
Suasana “samar dan tidak utuh” dan serba relatif seperti dikemukakan di atas
Jika inquiry ditafsirkan sebagai proses pemikiran, maka pemikiran adalah transformasi
terkendali suatu situasi yang masih tidak menentu menjadi situasi yang susunan dan
hubungan antar bagiannya jelas, dengan mengubah unsur-unsur situasi awal menjadi
sebuah kesatuan yang menyeluruh. Proses tersebut semakin sulit jika disadari bahwa
pada suatu saat hanya sebagian kecil objek (sasaran) pengetahuan yang terlihat dari
sudut tertentu (sudut A) dengan menggunakan alat dan cara tertentu. Katakanlah
pengetahuan tentang sesuatu (objek) yang dapat direkam oleh seseorang (subjek) dari
sudut A itu, Y. Yang lain “tersembunyi,” sangat jauh sehingga tak terlihat, bahkan
menurut metodologi objek pengetahuan tertentu hanya bisa diketahui bilamana objek
itu “berkenan menampakkan dirinya kepada manusia” (Gambar 2 dan Gambar 3).
“Ada” itu bukan hanya “ada” dalam kesadaran, tetapi juga “ada” di luar kesadaran.
Apakah “ada” di dalam kesadaran itu sama dengan “ada” yang sesungguhnya di luar
kesadaran?
Di samping itu muncul kesulitan lain. Pengamatan terhadap objek yang sama ke sudut
yang lain (A1), memerlukan waktu, dan seiring dengan waktu yang digunakan untuk
itu, Y pun berubah menjadi Y1. Hal itu menunjukkan bahwa perubahan-perubahan
menyebabkan bahan pengetahuan yang pada suatu saat dianggap baru, valid dan
reliable, pada saat lain sudah menjadi basi, tidak sahih, tidak dapat dipercaya, dan
dalam masyarakat lain. Dimensi waktu mengandung makna ya ng luas sekali. Waktu
bisa berarti time (pukul berapa?), duration (lamanya berapa menit?), kesempatan,
urutan, perasaan (30 menit terasa lama jika menunggu, terasa cepat jika sibuk),
lingkungan Ilmu Hukum. Di lingkungan ini, sikap presiden SBY terhadap rekomendasi
Tim 8 Kasus Bibit- Chandra “Cicak Lawan Buaya,” merupakan antiklimaks: jurang
yang sangat curam di celah batukarang yang sangat tajam (VIVANews Rabu
melatarbelakanginya selalu saja culture bound (David Easton, The Political System,
1953, 31) dan implementasinya culture lag (G. A. Lundberg, Foundations of Sociology,
1956, 521; dan Emory S. Bogardus, Sociology, 1957, 576). Inilah dimensi ruang.
Salah satu spesi dimensi ini adalah bahasa pemerintahan (Bab 34 Kybernologi, 2003).
Dalam hubungan itu, jika bahasa Indonesia sekarang, di pasar maupun di gedongan,
diibaratkan sebuah rawa, maka rawa yang penuh buaya adalah bahasa politik, bahasa
pemerintah, dan bahasa peraturan, baik yang tertulis di kantor- kantor megah, maupun
bangunan BOK. Di bawah ini dalam beberapa pokok bahasan, diuraikan proses
bentuk, dari yang paling sederhana, sampai pada bentuk yang kompleks.
Pengetahuan berwujud roh, bukan jiwa. Jiwa terkait dengan hidup dan mati, tetapi roh
abadi. Wujud pengetahuan telah diuraikan dalam bagian 1 sd 10 di atas. Roh itu ada
dan hadir (berada, terlihat, terbaca) dalam raga yang disebut bahasa. Bahasa adalah
salah satu wujud budaya manusia (ref. Bab VIII dan Bab IX Menuju Ke Pemikiran
1. Bahasa Isyarat
3. Bahasa Tulis
dikelompokkan menjadi :
Tulisan Ilmiah Formal, yaitu tulisan ilmiah yang oleh suatu institusi ilmiah
akademik. Oleh sebab itu, isi, bentuk, prosedur, cara penyusunan, teknik
Tulisan Ilmiah Formal yang diwajibkan bagi warga atau bakal warga institusi
diwajibkan.
Tulisan Ilmiah Formal untuk dapat dianugerahi status atau derajat akademik
tertentu meliputi:
1. Term Paper, yaitu tulisan yang diwajibkan kepada seorang atau
matakuliah tertentu.
2. Status Report (Laporan Akhir Studi) yaitu tulisan yang diwajibkan kepada
tulisan itu disebut Skripsi untuk gelar Sarjana (Program Stratum 1), Tesis
untuk gelar Magister atau Master (Program Stratum 2), dan Disertasi
untuk gelar Doktor (Program Stratum 3). Termasuk dalam konsep Disertasi
adalah Naskah Orasi (atau apapun namanya) yang disusun oleh tim
promotor yang dibentuk oleh suatu institusi akademik untuk diucapkan oleh
bersangkutan
tatkala ia bekerja sebagai ilmuwan dan profesional kelak di dalam masyarakat
selesai dari bangku sekolah. Tiga macam tulisan ilmiah formal itu
kebutuhan dan tuntutan masa depan, dengan tetap menjunjung tinggi Kode
------------------------------------------------------------------------------------
PROFESIONAL PEMERINTAHAN,
PERCAYA BAHWA
“ilmupengetahuan
knowledge)
kemanusiaan,
PROFESIONAL PEMERINTAHAN
BERIKRAR
masyarakat
-----------------------------------------------------------------------------------------------
----------------------
1. Satu di antara tiga matarantai utama yang terlihat pada (raga) proses belajar-
4. Informasi ilmiah.
5. Warisan ilmiah.
8. Karya seni: produk artistik dan kreatif dengan kualitas mandiri, orisinal, langka,
pribadi penulis (misalnya, ketikan yang salah menunjukkan kekurang telitian atau
ketergesa-gesaan).
KONSTRUKSI BOK: BEBERAPA PERTIMBANGAN
Konstruksi BOK disebut juga desain BOK. Sama seperti bangunan fisik, konstruksi
1. Hakikat BOK.
2. Fungsi BOK (untuk apa dan untuk siapa bangunan didirikan, tujuan),
the known).
menyelesaikan masalah).
rahasia, sebuah misteri, atau sebuah maksud yang tersembunyi (udang di balik
batu).
5. BOK tidak lain dan tidak bukan, adalah tanda yang disepakati bersama dan
ditaati, untuk membedakan satu dengan yang lain, atau sebuah isyarat guna
menunjukkan sesuatu.
Semakin jauh orang berjalan, semakin banyak yang dilihat. Semakin sering
keluar pertanyaan “Apa ini,” “apa itu?” kemampuan mengidentifikasi sesuatu
C.” Definisi itu menunjukkan keadaan A. “Spidol (A) adalah alat tulis (B) buat
whiteboard (C).” Dari sini objek yang satu dengan objek yang lain mulai
kualitasnya (Gambar 7), sampai pada nilai dan norma. Semakin terungkap
Dalam bahasa kualitatif, kualitas itu ditimbang guna diberi nilai, sedangkan
dalam bahasa kuantitatif disebut dimensi yang akan diukur baik langsung
ataupun tidak. Sebagaimana halnya definisi, kualitas juga bisa berubah dari
waktu ke waktu dan berbeda yang satu dibanding dengan yang lain.
konstruksi BOK. Itulah sebabnya pertanyaan pemikiran “Apa ini,” “apa itu?”
Korelasional? Kausal?
4. Meramal (memprediksi) apa yang akan terjadi atau apa yang dapat
siklik. Circle atau cycle (cyclic) itu menurut hukum sistem (Gambar 40).
Sesuatu disebut “akan terjadi” jika terjadinya pasti, tinggal menunggu waktu.
berbagai contingent factors, termasuk waktu dan conditio sine qua non lainnya
setiap terminal dan rute sistem (Gambar 40). Model peramalan seperti Gambar
41.
lapisan elit yang hidupnya senang dan gemerlap, sesuatu yang ada dan berada,
dipandang sebagai sesuatu yang “given,” yang hak, tidak perlu dipertanyaakan,
Bagi sebagian lagi, walau tidak terucapkan karena takut, malu, atau pasrah,
diketahui. Bukan hanya sekedar bertanya “Mengapa. . . . .?” atau “Faktor apa. .
research in which variables are manipulated and their effects upon other
desain kausal di atas (Gambar 41). Perbedaannya terletak pada variabel bebas.
eksperimenntal.
diberi simbol X.
c. Kelompok Tes (yang diberi treatment) dan Kelompok Kontrol (yang tidak
Oc, dan Oa Uji coba tidak diberitahukan kepada responden, dan dijalankan
1987)
Pohon Kybernologi ada dua batang. Pohon pertama yang ada sekarang seperti
Utama (2005, h. 19) yang tumbuh dan berbuah oleh kekuatan sentripetal
(Politik Pemerintahan), dan pohon kedua yang tumbuh dan mulai berbuah
secara menyeluruh, agar BOK tetap sehat, kuat, dan tetap berperan dalam
menghadapi perubahan pesat dan tidak menentu (selalu pada posisi normal
Ilmu Pemerintahan, dari BOK yang bagian Ilmu Politik menjadi Kybernologi.
analog dengan hubungan antar warga (hubungan antar BOK) di dalam sebuah
masyarakat. Dalam hubungan itu, setiap BOK perlu membangun hubungan (akses)
dengan BOK lainnya, ebagai wadah dan jalur bekerjasama dan saling kontrol antar
BOK. Sudah barang tentu, dalam praktik, kerjasama antar BOK berarti kerjasama antar
institusi, komunitas ilmuwan, dan pelaku BOK terkait dalam masyarakat ilmu
pengetahuan.
KONSTRUKSI BOK: PERTANYAAN
Konstruksi BOK bermula pada kesadaran. Suatu saat pojok yang sebelumnya bagi
2. Dalam terang ia melihat sesuatu hal (John Dewey, How We Think, 1933).
4. Ia dapat membedakan sesuatu itu dengan sesuatu yang lain (the sense of
more than any other, is characteristik of the scientific attitude, it ia reliance upon
the data of experience.” Inilah dasar sikap ilmiah (scientific attitude). Sikap
ilmiah berlanjut pada sikap ragu- ragu (skeptis, skeptic, skepticism), namun yang
ditempuh adalah sikap positif (positive thinking, “setiap celaka ada gunanya),
6. Ia mengamati apa yang terjadi pada yang lain jika yang satu berubah.
8. Ia mengamati sifat hubungan tersebut, di bawah kondisi mana sifat itu terlihat,
dalam hal apa saja hubungan itu berlangsung, sejauh mana kebenarannya?
Skeptisisme positif berubah menjadi sikap kritis (Greek krinein, Ingg. to judge,
untuk menerima begitu saja apa yang dianggap diketahui, dan kesenjangan antara das
Sollen dengan das Sein, membentuk sebuah jaringan pertanyaan demi pertanyaan yang
pada gilirannya menuntut jawaban demi jawaban. Boleh dikatakan, tanya-jawab yang
tak berkesudahan itulah yang menggerakkan dan mendorong proses knowing manusia,
memperluas dan memperdalam ruang the known. Setiap hal yang mengandung,
keragu-raguan, dan kesenjangan, disebut bermasalah. Proses yang perlu ditempuh guna
bangunan seperti apa yang dapat atau perlu dibangun di atasnya. Sudah barang tentu,
berbeda halnya jika pemikiran didasarkan pada pendekatan spekulatif seperti Will
Durant yang telah dikutip di atas, yang menyatakan bahwa setiap ilmu berawal dari
Filsafat dan berakhir sebagai Seni. Atau seperti Gustav Bergmann dalam Philosophy of
Science (1958, 31, 35). Bagi para pemikir spekulatif, fondasi bangunan adalah dalil,
scientific laws, axioma, theorema (a sight, theorein, to look at, theoria, pegangan, dan
anggapan-dasar).
Masalah ada dalam bentuk pernyataan, dan berada (hadir) dalam bentuk pertanyaan
(Gambar 44). Pertanyaan hadir untuk dijawab. Dengan menggunakan model Gambar
ketidakpastian.
hal, yaitu jarak konseptual (horizontal) dan tingkat abstractness konsep (vertikal), lihat
Gambar 21. Semakin jauh jarak konseptual antar konsep, semakin berat masalah yang
dihadapi, dan semakin layak untuk dipikirkan. Semakin tinggi tingkat abstractness
abstrak konsep dan semakin jauh jarak konseptual, semakin besar jawaban yang
dibutuhkan. “Dahaga” dengan “minum” (air) adalah konsep yang tingkat abstractness-
nya rendah. Tidak diperlukan pemikiran mjendalam untuk menerangkan bahwa dengan
minum air, dahaga hilang. Jarak konseptual antara dua konsep itu juga sangat dekat
dengan derajat kepastian yang tinggi. Tetapi “dahaga” akan pengetahuan dengan
“minum” dari proses belajar- mengajar, adalah dua konsep dengan tingkat abstractness
tinggi dan jarak konseptual yang jauh. Belum lagi kemungkinan bahwa semakin
seseorang merasa tau, semakin ragu dia bahwa dia tau, semakin tau dia bahwa semakin
Di antara enam pertanyaan pada Gambar 44 (“5W1H”), ada tiga yang terpenting, yaitu
jawaban terhadap pertanyaan “apa” itu adalah “Y.” Terhadap “Y” pada gilirannya dapat
diajukan “5W1H.” Misalnya “Hal apa yang berhubungan dengan “Y,” “adakah
hubungan antara “Y” dengan sesuatu hal lain, dan jika ada “bagaimana sifat hubungan
itu,” “seberapa kuat” hubungan itu,” “hubungan itu signifikan di bawah kondisi seperti
terarah ke hubungan kausal antara “Y” dengan satu atau beberapa “hal yang
Penyebab (faktor) kejadian atau latar keberadaan “Y” itu disebut saja “X.” Jadi
perihal kejadian atau keberadaannya,” “lokasi,” “waktu,” dan “pelaku,” dengan model:
X--?-->Y.
Tabel 4 menunjukkan beberapa model bangunan masalah. Model X----->Y dalam arti
Soewardi dalam Prapasca S3 Ilmu-Ilmu Sosial (Bandung, Agustus 2005, ref. Bab XV
Adapun kesalahan metodologi yang paling fatal adalah level pemikiran yang tak
meningkat, ialah tetap pada level pemikiran S2, dengan studi-studi yang bersifat
verifikatif tanpa dasar. (Oleh mahasiswa) Diupayakan agar ditemukan hubungan antara
2 dan tiga variabel, secara signifikan, berlandaskan uji statistikal tertentu. Ini adalah
variabel-variabel yang dipasang-pasangkan tanpa landasan teori yang benar. Maka bila
ada suatu hubungan kausalitas yang signifikan, karena tanpa landasan teori yang
“sound,” kajian itu bersifat spurious atau kosong. ……. (h. 11).
Dengan uraian ini, mudah-mudahan tidak lagi terjadi “asal pasang” saja, yang biasanya
kini terjadi pada tingkatan S2, bahkan terus terjadi pada tingkat S3. “Asal pasang,”
suatu hubungan antara X dengan Y tanpa dilandasi dengan teori hanya akan
menghasilkan hubungan yang spurious, atau suatu signifikansi tanpa dasar logika (h.
12)
Yang dimaksud oleh pakar Filsafat Ilmu dan Sosiologi Pertanian ini dengan hubungan
yang spurious adalah bangunan pertanyaan antara X dengan Y tanpa teori yang
menjelaskan mengapa X yang dihubungkan dengan Ydan bukan X1, adakah hubungan
pertanyaan: “Seberapa besar pengaruh X terhadap Y,” dan seterusnya, seperti telah
diuraikan di atas. Hubungan kausal itu kemudian memang teruji, koefisien dan
signifikansinya dapat dihitung menurut analisis statistik. Setiap konstruksi teoretik yang
dimulai dari pemasang-masangan secara sembarangan dua atau lebih konsep atau
variabel sebagai dasar bagi konstruksi kerangka pemikiran: X----->Y adalah spurious.
appearance but a different structure. – synonim false, sham. Teruji, tetapi kosong,
tidak sesuai dengan fakta. Kepalsuan itu terlihat jika pemikiran mengikuti alurpikir
yang genuine. Alurpikir disebut genuine jika penemuan Y disusul dengan pertanyaan
berkerangka ?----->Y atau X----->? dan dijawab dengan teori. Teorilah yang
menjelaskan apa saja (X1X2X3Xn) yang menyebabkan Y atau apa saja yang dapat
disebabkan oleh Y jika fungsinya berubah dari variabel tergantung menjadi variabel
bebas (X):
X----->Y1. Ada kemungkinan, dengan menggunakan teori tertentu model yang
Seperti telah dikemukakan di atas, “bertanya” adalah dasar ajar, fondasi pembelajaran.
Filsafat bermula dari dan pada “tanya.” “Gayung (harus) bersambut,” demikian
bentuk tetapi juga isi, motif dan tujuan tanya-jawab, agar tidak terjerumus ke debat
kebutuhan akan konklusi yang tepat. Dialogues of Plato seperti “Apology,” “Crito,”
“Phaedo,” “Symposium,” dan “Republic,” adalah contoh dialog yang sehat. Sudah
barang tentu, dalam suatu batas, pada suatu tingkat, semakin sukar suatu pertanyaan
Metodologi. Perlu dikemukakan di sini bahwa semua pertanyaan layak diajukan, baik
Unit BOK terkecil adalah tulisan ilmiah formal (Gambar 39). Disertasi diambil sebagai
ilmiah.
Seperti telah disinggung, ada dua cara pendekatan rekonstruksi tulisan ilmiah formal:
kualitatif dan kuantitatif (Gambar 37). Dua pendekatan itu terhubung pada fungsi fakta
(empirik, “the quality of existing or of being real,” Babbie: “some phenomenon that has
been observed”) dalam proses pemikiran manusia. Jika fakta difungsikan sebagai bahan
baku atau bahan bangunan (pembentukan) teori, maka pendekatan yang ditempuh
bergulir ibarat sebuah roda yang oleh Babbie disebut “the wheel of science:”
Roda Babbie ini digunakan di sini sebagai model pemikiran. Pendekatan kuantitatif
berawal pada pertanyaan yang terungkap dari dalam fakta, dijawab dengan teori,
melalui hipotesis teori diuji dengan fakta pada sampel. Hasil analisis data pada sampel
kemudian digeneralisasikan pada populasi. Dari sini teori terlihat, didukung (sesuai
dengan) atau tidak (tidak sesuai) oleh fakta. Pendekatan kualitatif bermula pada
pertanyaan dan langsung dijawab dengan fakta hasil observasi. Melalui metodologi
yang bervariasi dan rumit, antara lain adalah yang lazim disebut “grounded,” fakta
empirical generalization --- sehingga terbentuklah konsep (baru) dan teori (baru).
Contoh klasik tentang hal ini terdapat dalam Barney G. Glaser dan Anselm L. Strauss,
The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research (1974), lihat
Bab 36 Kybernologi (2003). Ada juga yang tidak langsung menjawabnya dengan fakta,
melainkan dengan teori yang ada, seadanya. Inilah yang model kualitatif yang
Verstehen kemudian diobservasi dari waktu ke waktu, dari ruang ke ruang, dengan
terbentuklah konsep atau teori baru. Gambar 47 menunjukkan bahwa pada gilirannya
roda kuantitatif bergerak dari F1 ke Verstehen, sedangkan pada giliran lain roda
(lihat tanda panah). Sudah barang tentu gaya perjalanan yang satu dibanding dengan
yang lain, berbeda. Hal itu akan diuraikan di bawah. Cukuplah bila ditandaskan di sini
bahwa pertanyaan apapun tidak boleh dan tidak bisa dikonstruksi berdasarkan (di atas)
dugaan dan atau asumsi sebagaimana dilakukan oleh banyak kandidat yang
berhasil karena X lemah.” Dugaan itu berangkat dari asumsi bahwa “Jika X
ditingkatkan, maka Y berhasil” (dari naskah Disertasi kandidat NPM 170 730067 XXX,
Dengan demikian, setiap pertanyaan mempunyai dua macam jawaban dasar: jawaban
kualitatif dan jawaban kuantitatif. Derivat dari dua jawaban tersebut adalah jawaban
Konstruksi BOK berpendekatan kualitatif bermula pada konsep kualitas (Gambar 7),
Semakin terungkap kualitas (karakteristik, perilaku) suatu hal atau sebuah fenomena,
pendalaman, mulai dari perilaku yang terlihat ke nilai dan norma, sampai pada hakikat
(Gambar 32).
Seperti dikemukakan di atas, jawaban terhadap pertanyaan yang dijadikan fondasi BOK
kualitatif bisa (langsung) berupa fakta, dan bisa juga berupa teori yang relevan dan
aktual. Baik fakta maupun teori telah diuraikan di atas. Di bawah ini beberapa isu
5. Fungsi fakta.
Fakta Tentang Apa?
Politik terletak pada terminal 5, yang dihuni oleh sejumlah disiplin, seperti
5. Ilmu Pemerintahan.
adalah Political Sciences, sementara basis Program Studi Ilmu-Ilmu Sosial terletak
1. Sociology.
2. Social Psychology.
3. Anthropology.
4. Social Anthropology.
dan seterusnya, seperti UNESCO, The University Teaching of Social Sciences (1954).
yang disebut Social Sciences, lepas dari perdebatan tentang isi konsep Social Sciences
itu apakah meluas ke Ilmu Ekonomi, Ilmu Hukum, dan sebagainya, atau tidak.
Terminal 4 membentuk linkage antara terminal 3 dengan terminal 4. Dalam analisis ini,
menarik. Berbicara tentang “foundations” suatu cabang ilmu pengetahuan, adalah juga
“foundations” semua ilmu pengetahuan, sama. Jika demikian, basis setiap program
pembelajaran suatu cabang ilmu pengetahuan adalah Filsafat Ilmu disiplin yang
bersangkutan, dalam hal ini Filsafat Ilmu (di bidang) Ilmu Pemerintahan
Kybernologi itu (tidak berBOK Ilmu-Ilmu Politik), lihat GBPP Kybernologi dan
dikembalikan pada definisi asli ketika dilahirkan (definisi materia), yaitu “ilmu yang
rohani dan jasmani yang sebesar-besarnya tanpa merugikan orang lain secara
tidak sah” (G. A. van Poelje, Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde, 1953),
sebab itu, fakta BOK Kybernologi adalah fakta tentang masyarakat, yang bermula pada
terminal 1 dan 2, pada manusia dan lingkungannya, berdasarkan credo bahwa manusia
itu adalah ciptaan ALLAH, TUHAN YANG MAHAESA, yang didudukkan di bumi
berakar dari kualitasnya sebagai manusia. Sasaran observasi adalah manusia atau
sepotong alam. Apakah yang terlihat pada sasaran (fenomenon) itu dapat disebut fakta?
Berdasarkan Max Black yang menyatakan bahwa “if one trait, more than any other, is
charakteristic of the scientific attitude, it is reliance upon the data of experience,” arti
fakta sebagai “the quality of existing or of being real,” dan Babbie yang mendefinisikan
fakta sebagai “some phenomenon that has been observed,” maka jawabannya adalah
tidak atau belum tentu. Gambar 5 menunjukkan bahwa rekaman “fakta sebagaimana
terlihat di permukaan” yaitu data, harus diolah dulu, dan info yaitu hasil pengolahannya
harus diuji terus- menerus, agar “fakta yang sesungguhnya di dalam” atau “di
seberang sana,” yaitu “kuman di seberang lautan,” dan bukan hanya “gajah di pelupuk
mata,” terungkap. Seperti kata pepatah: “Dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa
tau.”
Yang menjadi pertanyaan dalam hubungan itu ialah, rekaman seperti apa (sejauh mana)
kesempatan dan keterbatasan manusia? Dengan pertanyaan lain: “Apakah induksi tak
dan keterbatasannya, subjek tidak mampu atau tidak sempat melakukan perekaman
itu dianggap mampu mencapai Y manakala proses pemikiran (baca: rekonstruksi BOK)
mengikuti disiplin yang ketat, sebagaiamana terlihat pada Gambar 32 dan yang
berikutnya. Jika tidak, rekonstruksi hanya sampai di Z dan tidak menjawab pertanyaan.
yang “transendental,” atau semampu subjek menerobos kabut antara subjek dengan
objek untuk bisa mencapai fakta yang sesungguhnya? Mampukan subjek dengan segala
adanya? Dunia bisnis mengenal konsep yang disebut perilaku komoditi. Konsep ini
mengandung arti, bahwa barangpun --- sepotong lingkungan --- walau tak bernyawa,
getaran, gerakan, harga, ukuran, bobot, sifat, jarak, dan sebagainya. Fakta yang direkam
Metamorphosis (2008).
Pertanyaan ini erat berkaitan dengan upaya mendaratkan pemikiran pada Kybernologi
kualitas manusia (Gambar 23), bukan kualitas kekuasaan. Itupun masih abstrak. Di
antara tiga subkultur, SKS itulah yang lebih penting, dan di antara dua kualitas SKS,
sebagai pelanggan itulah yang terpenting. Jadi pemikiran disebut mendarat pada
dengan yang lain. FOR masyarakat selaku pelanggan berbeda dengan FOR masyarakat
kembali). Oleh sebab itu persoalan yang menentukan seperti telah disebut di atas ialah
yang berikutnya).
Fakta Ditangkap dan Direkam Menurut (Dengan) Alat Apa? Mengingat “lain
padang lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya,” apakah alat/cara yang berhasil
digunakan terhadap objek yang satu ternyata berhasil untuk objek lainnya yang
berbeda? Jika tidak, diperlukan kreativitas tinggi dan persediaan peralatan yang
memadai dalam menghampiri sasaran yang berlain- lainan. Ada dua sikap ekstrim yang
1. Subjek membiarkan dirinya terbuka penuh, kosong, ibarat tabula rasa (meja lilin)
yang siap ditulisi apa saja oleh siapa saja kapan dan di mana saja. “Siapa saja” di
sini adalah objek yang dalam hal ini berubah peran menjadi subjek yang
rumahadat di Tanah Karo tahun 50-an sebagaimana ditulisi oleh perilaku dua
orang, seorang tuarenta dan seorang perempuan usia 30-an: “Seorang lelaki
tuarenta di ruang depan berkata dengan lirih: ‘meja aku haus.’ Seorang
perempuan usia 30-an datang dari ruang belakang membawa sepotong ruas
bambu dan meletakkannya di sebuah bangku kecil, lalu pergi, tanpa kata, tanpa
menoleh ke situarenta. Lelaki tuarenta minum dari ruas bambu itu, juga tanpa
kata. O ya, saya ditemani oleh seorang Karo, teman kelas.” Di sini diri subjek
2. Subjek sekuat tenaga membangun citra, menebar pesona, mengalunkan janji yang
agar objek merasa terbuai, tanpa sadar berubah dan memberikan respons atau
reaksi yang sesuai dengan keinginan subjek. Di sini, diri objek diubah oleh
Ada dua macam fakta. Fakta sebagai sebagai pemuncul pertanyaan dan fakta sebagai
jawaban terhadap pertanyaan. Fakta memenuhi seluruh bangunan (BOK, Gambar 48).
Seperti dikemukakan di atas, jawaban terhadap pertanyaan yang dijadikan fondasi BOK
kualitatif bisa (langsung) berupa fakta, dan bisa juga berupa teori yang relevan dan
pemikiran adalah masyarakat atau kasus yang belum dikenal (terra incognita) sehingga
belum ada teori yang menjelaskan fenomenanya. Oleh karena teorinya belum ada,
maka tidak ada hipotesis sebagai masukan (input), melainkan hipotesis sebagai
masyarakat atau kasus yang bersangkutan telah dikenal sehingga sudah ada teori yang
hipotesis sebagai keluaran juga dapat dihasilkan. Dengan demikian model BOK
seperti hipotesis statistik yang dirumuskan untuk diuji dengan data empirik, melainkan
“disimpan” untuk kemudian pada gilirannya digunakan sebagai bahan pembahasan dan
penafsiran data empirik. Yang dimaksud dengan data empirik di sini adalah buah
pengamatan lapangan terhadap fokus (objek) pemikiran, dan bukan hasil observasi
terhadap hipotesis kerja. Pencarian dan penggunaan data tentang hipotesis kerja untuk
diolah menjadi bahan bangunan BKO kualitatif, sama saja dengan upaya mengujinya di
lapangan.
Oleh sebab itu pemahaman tentang fokus pemikiran dan metodologi yang tepat guna
jawaban, bahwa ada “four critical factors or variables in implementing public policy:
Gambar 1 di atas. Empat faktor itulah yang oleh penulisnya dalam Preface disebut
Bab 6, tetapi tidak menjelaskan secara eksplisit dimensi dan indikator implementasi
menggunakan teori lain di luar Edwards, seperti teori yang menyatakan bahwa dimensi-
X----->Y, jika tiap variabel dijelaskan oleh teori dari sumber yang berbeda (misalnya X
diterangkan dengan teori Edwards, sedangkan Y oleh teori Jones). Apakah definisi,
dimensi, indikator, dan hubungan antar variabel sebuah model harus dijelaskan dengan
secara eksplisit, tetapi bila diperhatikan sungguh-sungguh, hal itu secara implisit
the stage of policymaking between the establishment of a policy --- such as the passage
of a legislative act, the issuing of an executive order, the handling down of a judicial
decision, or the promulgation of a regulatory rule --- and the consequences of the policy
for the people whom it affects Definisi implementasi kebijakan tersebut menunjukkan
ditempuh oleh semua fihak terkait, sejak penetapan kebijakan (policy adoption) sampai
efek yang diharapkan dari kebijakan itu (policy outcomes) dirasakan oleh masyarakat
Maxwell dalam Qualitative Research Design (1996, 17) berpendapat bahwa dengan
sama tetapi kemungkinan besar berbeda dengan faktor-faktor teoretik yang ditemukan
oleh Edwards di masyarakat Amerika. Bukankah faktor yang berbeda ini merupakan
Jadi yang perlu diobservasi dan direkam pada implementasi kebijakan tersebut adalah
keseluruhan langkah-langkah, proses dan urutannya, yang perlu (dalam hal ini yang
sedang atau sudah) ditempuh oleh semua fihak terkait, sejak penetapan kebijakan
(policy adoption) sampai efek yang diharapkan dari kebijakan itu (policy outcomes)
urutan kejadian yang terlihat dari waktu ke waktu. Jika urutan kejadian empirik itu
kausal: Y adalah effect dan X adalah cause, dengan model X---->Y, demikian Babbie
(1983, 57). Selanjutnya lihat John W. Creswell, Research Design Qualitative and
Quantitative Approaches (1994), dan Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Basics of
Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques (1990). Ringkasan
Strategies for Qualitative Research (1974) terdapat dalam Bab 36 Kybernologi (2003).
KONSTRUKSI BOK: JAWABAN KUANTITATIF
Pada dasarnya tidak ada pertanyaan yang khas kualitatif atau kuantitatif. Pada (di atas)
fondasi yang sama dapat dibentuk BOK kualitatif dan kuantitatif. Setiap pertanyaan
yang dapat dijawab dengan suatu teori, layak dijadikan fondasi BOK kuantitatif.
dan 56.
Apakah epsilon itu? Epsilon (*Gambar 56) adalah huruf kelima abjad bahasa Latin
desired. Eksplorasi pustaka (Gambar 55) yang kaya dengan teknologi informasi yang
semakin canggih, membuka cakrawala pengetahuan yang luas dan dalam sebagai
sumber jawaban yang seolah tak terbatas. Dalam hubungan itu, ada beberapa
kemungkinan:
faktor X1, X2, dan X3, entah itu sufficient factors atau necessary (contingent)
subjek, sifat objek (sosial dan humaniora yang padat-nilai), dan kondisi
lingkungan yang berubah-ubah, diperkirakan masih ada faktor lain yang tidak
diketahui, tidak dapat diketahui, atau tidak sempat diketahui, yaitu Xn. Di sini Xn
bukanlah epsilon.
2. Dari kajian pustaka diketahui bahwa Y dipengaruhi oleh X1, X2, dan X3, tetapi
Adanya epsilon dalam arti ini membawa konsekuensi metodologik yang serius.
Konsekuensinya ialah, sekuat dan sesignifikan apapun pengaruh X1 dan X2, baik
mengandung bias, baik kuantitas (tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya,
kuat atau efektif, padahal ternyata lemah atau gagal). Respons seorang responden
ditawarkan X1, X2, dan X3, baik sufficient maupun contingent factors. Semakin
banyak pilihan, perhatian responden semakin terbagi dan tersebar. Kendatipun
sufficient factors lengkap, tidak biased, atau semua variabel bebasnya di bawah kontrol
intervening) culture bound, sehingga pada gilirannya mengalami culture lag. Ini lebih
buruk ketimbang bias! Mengenai culture-bound lihat David Easton, The Political
System (1953), dan culture-lag lihat Emory S. Bogardus, Sociology (1954) dan G. A.
Hipotesis dalam Gambar 55 dan Gambar 56 bisa terlihat bagai sebuah bangunan yang
keren dengan dua ruangan di dalamnya yaitu ruangan X dan ruangan Y. Hubungan
Sesungguhnya menurut Babbie, hubungan yang memberi kesan seperti itu “not
daerah terlihat angka kelahiran bayi tinggi dan banyak burung bangau beterbangan.
Pengamatan ini dijadikan dasar untuk membangun hipotesis berbunyi “Semakin banyak
burung bangau, semakin tinggi angka kelahiran bayi,” disusul dengan jawaban terhadap
pertanyaan “Dari mana datangnya bayi,” yaitu “Dibawa burung bangau.” Jadi
burung bangau dan banyaknya bayi, disebut “hubungan yang genuine.” Bukankah
ruang politik dan ruang bisnis dipenuhi oleh anggapan-anggapan yang spurious
tersebut? Oleh sebab itu, setiap pernyataan tentang hubungan antara X dengan Y harus
disertai dengan penjelasan (explanations) yang terbuka dan teruji (testable) guna
Oleh sebab itu, pernyataan memerlukan penjelasan. Menurut Babbie, ada dua model
adalah penjelasan yang “probe the multiplicity of reasons that would account for a
perhaps unique, considerations that lie behind a given action.” BOK kualitatif, terlebih
explaining general classes of actions or events.” Istilah nomothetic berasal dari bahasa
general or universal law.” Dengan mudah dapat ditebak bahwa BOK kuantitatif bersifat
nometetik.
Sebagaimana BOK kuantitatif terdiri dari bahan bangunan bernama teori, setiap teori
hubungan antar variabel, demikian juga setiap konsep dan variabel harus definitif. Hal
sesuatu yang lain di dalam himpunan (kelas) yang sama. Jauh di atas telah
yang B, “spidol adalah spidol untuk white board,” melainkan A = B yang C, “spidol
adalah alattulis untuk white board,” guna membedakannya dengan kapurtulis yang
sehimpunan dengan spidol (himpunan alattulis) untuk black board (ref. Irving M. Copi,
anggota lainnya. A disebut definiendum dan B yang C adalah definiens. Contoh lain
“segitiga (definiendum) adalah bidang yang dibatasi oleh tiga garislurus (definiens).”
(PP), dan Peraturan Daerah (Perda) penuh batasan-batasan atau ketentuan. Ketentuan
adalah peraturan daerah provinsi dan atau peraturan daerah kabupaten/kota,” bentuknya
validitas dan reliabilitas bangunan BOK. Untuk menjaga kualitas BOK --- Kebebasan
Akademik dan Etika Ilmu Pengetahuan ---, epsilon hubungan spurious, dan tautologi,
pelanggan tanpa pilihan. Namun demikian, dalam learning process, seterbatas apapun
sebuah BOK, ada gunanya. Anggapan dasarnya ialah, seseorang yang ternyata mampu
Ruang bagi temuan akademik tersedia di Gambar 56. Yang dimaksud dengan temuan
akademik adalah hasil proses penjawaban teoretik terhadap pertanyaan mulai dari
hipotesis dan pengujiannya dengan data empirik, sampai pada pembahasan. Bahan yang
dibahaa dalam proses pembahasan adalah hasil uji hipotesis. Jadi proses uji hipotesis
3. Penafsiran (interpretasi).
Konstruksi sebuah BOK sejajar dengan pembangunan sebuah rumah, terdiri dari
beberapa tahap:
Sudah barang tentu, dilihat dari sudut BOK sebagai bangunan penjelasan, BOK
seragam dalam periode yang sama, terbuka lebar. Ibarat ribuan rumah yang dibangun
dengan tipe, konstruksi, dan bahan bangunan yang sama! Inilah malapetak BOK
seragam “seberapa besar,” dan teori yang itu-itu saja, “Edwards III,” terlihat seperti
barang cetakan yang dijual dipasar swalayan yang megah. BOK dewasa ini cenderung
berubah dari BOK akademik menjadi barang komoditi bisnis. Jika demikian, mana nilai
Kybernologi memandang proses kebijakan tidak dari sudut Politik tetapi dari sudut
Teori Governance. Dari sudut ini proses kebijakan itu ibarat naik gunung, sesudah tiba
di puncak, harus turun lagi, demikian terus-menerus. Atau seperti naik pesawat terbang
tinggi. Di awang-awang, apapun di bawah tidak terlihat. Saat turun pada ketinggian
tertentu, bumi di bawah memang terlihat, tetapi sama terlihat jauh, sangat jauh, tidak
jelas, sama semua, seragam, hijau pekat. Barulah ketika mendarat semuanya nampak,
semakin dekat semakin jelas. Bukan hanya jelas, tetapi berbeda-beda. Bukan hanya
berbeda-beda dari pandangan mata, tetapi dilihat dari nilai dan rasa, ada ketimpangan,
ada kesenjangan antara yang sini dibanding dengan yang sana. Bahkan ada yang
merosot dan terhilang jika yang kemarin dibanding dengan yang sekarang. Sudah
barang tentu, pengalaman penerbangan yang lalu dijadikan masukan bagi persiapan
penerbangan berikutnya.
Proses kebijakan seperti take-off dan landing pesawat. Dari policy agenda (identifikasi
masalah) sampai pada policy adoption (penetapan kebijakan) itulah take-off mengudara
setinggi-tingginya (ketok palu dan tepuk tangan, tandatangani daftar hadir dan terima
uang), dan dari policy adoption sampai pada policy outcome melalui policy
implementation itulah landingnya. Sudah barang tentu pula, hasil evaluasi policy
terhadap policy outcome, dijadikan masukan bagi policy agenda berikutnya. Take-off
itu penetapan das Sollen bagi semua orang, landing adalah realisasinya menjadi fakta
(das Sein) bagi setiap orang, yang kondisi kebutuhan, dan kepentingannya berbeda.
Sebagaimana halnya pesawat tidak cukup hanya take-off tetapi harus landing, demikian
juga kebijakan (harapan semua orang) yang telah ditetapkan, harus diimplementasikan
kasus baru, atau sesuatu yang unik, cukup dijawab dengan BOK kualitatif, yang
bersifat ideografik, pertanyaan lain yang bersifat umum tidak cukup hanya dijawab
dengan BOK kuantitatif, yang nomotetik, tetapi perlu dilengkapi dengan BOK
kepentingannya berbeda, maka mau tidak mau perlu digunakan BOK kualitatif.
Seperti diketahui, demi efisiensi dan penghematan ruang, rekayasa bangunan sejak
rumah dikombinasikan dengan fungsi kantor atau fungsi toko, sehingga terbentuklah
bangunan rukan atau ruko. Pembahasan kuantitatif sehebat apapun, jika temuan
tidak mendarat, dan tidak sekaya rekonstruksi BOK kuantitatif yang pembahasannya
kuantitatif fungsi kantor atau toko, sehingga BOK kuantitatif dapat dikombinasikan
Pilihan itu pada gilirannya menentukan di mana letak ruang kualitatif dan di mana
ruang kuantitatif di dalam BOK yang sama. Dengan perkataan lain, di dalam BOK
yang sama, komponen kuantitatif masuk di mana dan komponen kualitatif masuk di
mana. .
Gambar 57 menunjukkan bahwa kendatipun policy adoption (Gambar 58) yang oleh
apa-apa. Hasil akhir proses kebijakan bukanlah output yang berbentuk kebijakan,
peraturan, rencana atau pidato, melainkan outcome sebagaimana dirasakan atau dialami
(pembenaran), sengaja atau tidak, bisa membawa bias yang sangat besar, seolah-olah
keberhasilan itu adalah kinerja pembuat kebijakan (SKK), dan jika gagal adalah
kesalahan pelanggan kebijakan (SKS, mana ada kekuasaan yang menyalahkan dirinya
sendiri dan secara otonom bersedia menanggung risikonya? Paling-paling minta maaf!).
Gambar 60 pendalaman terhadap hal yang khusus (*) mengacu pada komponen BOK
3. Penafsiran (interpretasi).
masuk ke dalam BOK pada tahap (ruang) identifikasi masalah dan pada tahap (ruang)
pembahasan (Gambar 60). Telah dikemukakan juga bahwa pada BOK Kualitatif
kemudian melalui penafsiran serta rekonstruksi data, hadir sebagai temuan melalui
proses conceptualization dan dalam bentuk grounded theory. Maka terbentuklah BOK
gabungan antara keduanya (combined BOK), Gambar 60. Bagaimana halnya dengan
sisi evaluasi dan feedback pada segitiga kebijakan pada Gambar 58?
Jika sisi ini direkonstruksi menjadi BOK ketiga, terdiri dari komponen apa saja? Input
buat sisi ini adalah buah pendaratan kualitatif dan penjelasan ideografik. Outputnya
adalah pertanyaan seputar pelanggan yang nyata, yang paling membutuhkan, pada
dukungan hidup yang paling dibutuhkan, aspirasi setiap orang yang kondisi, kebutuhan,
dan kepentingannya satu dibanding dengan yang lain yang berbeda-beda. BOK ini
didasarkan pada faham demokrasi dan ajaran HAM dan lingkungan hidupnya. Output
ini pada gilirannya menjadi masukan bagi policy agenda berikutnya. Untuk evaluasi
pada proses (throughput) diperlukan tolokukur dan tolakukur yang disepakati bersama
yang disebut norma. Oleh sebab itu BOK ketiga ini disebut BOK Normatif.
BOK, dan BOK normatif. Ini bermula pada Gambar 58, 59, dan 60. dan yang
sebelumnya, pada sisi evaluasi dan feedback. BOK normatif berawal pada
kualitas, hasil observasi atau eksplorasi terhadap keberadaan dan perilaku suatu living
Kualitas itu kemudian diolah, ditimbang, dipilah dan dipilih, diberi nilai. Nilai-nilai
yang berguna bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan bersama manusia di dalam
Nilai-nilai tersebut kemudian disepakati menjadi pola perilaku setiap orang di dalam
masyarakat pada setiap lingkungan. Nilai yang disepakati itu disebut norma. Dengan
demikian, pola perilaku setiap orang dalam ruang SKE, SKK, dan SKS adalah nilai
yang disepakati bersama itu, dan bukan hanya norma aturan hukum positif yang dibuat
oleh SKK. Nilai-nilai sisa yang belum atau tidak disepakati pada masyarakat-
masyarakat lokal, menjadi isu dan agenda bagi proses kebijakan pada tingkat nasional.
Pada tingkat inilah bermula BOK kuantitatif seperti telah diuraikan di atas. Baik BOK
abstrak teoretik, sedangkan yang lain menjawab sebagaimana adanya pada tingkat
Pentingnya BOK normatif ini bahkan menjadi bahan pertanyaan fundamental bagi
Babbie, dengan meletakkannya pada ruang “social regularities,” setara dengan natural
law atau axioms. Sosial regularities itulah yang kemudian menjadi dasar pembangunan
BOK Sosiologi modern yang mampu menerangkan perilaku sosial dan melakukan
normatif.
EVERY SCIENCE BEGINS AS PHILOSOPHY AND ENDS AS ART
Pernyataan Will Durant yang mengawali bagian 2, mengakhiri bab I buku ini.
Jika Filsafat diibaratkan fondasi bangunan yang tidak kelihatan namun menentukan
bangunan. Seni menentukan seperti apa bangunan itu terlihat oleh, dan apa makna
bangunan itu bagi pelanggannya (Seni Pemerintahan, lihat Bab 19, kaitkan dengan
Teknologi Pemerintahan Bab 30 Kybernologi 2003). BOK itu sendiri hanya merupakan
Gambar 4 dan Gambar 5. Seni Pemerintahan terajut oleh proses penggunaan Ilmu
dalam hal ini Kybernologi: titik-titik yang membentuk proses empirik pemerintahan