Anda di halaman 1dari 128

RESUME

KYBERNOLOGI

Disusun Oleh :
MOCHAMAD RONI

UNIVERSITAS PRAMITA INDONESIA


TANGERANG 2019
KATA PENGANTAR

Sebagai gejala social, pemerintah telah di kenal sejak terbentuknya masyarakat

manusia. Selama ratusan tahun, kajian pemerintahan menjadi bagian ilmu pengetahuan

tertentu, katakanlah, Filsafat, atau yang sekarang disebut ilmu politik. Body ok

knowledge yang di negara belanda disebut bestuurskunde, bestuurswetenschap, dan

kemudian Bestuurswetenschappen, dan di Indonesia disebut ilmu pemerintahan, dikenal

sejak tahun 40-an sebagai bahan ajaran, ilmu pemerintahan di tawarkan di berbagai

Lembaga Pendidikan, seperti bestuursacademie, APDN, dan fakultas di bidang social

dan politik. Dilihat dari sudut kelembagaan, mula mula Ilmu pemerintahan berstatus

mata kuliah, lalu jurusan (Jurusan Ilmu Pemerintahan), kemudian program (Program

Magister Ilmu Pemerintahan, Keputusan Mendikbud tanggal 24 September 1998 Nomor

239/U/98 tentang Kurikulum yang berlaku secara nasional Program Magister Ilmu

Pemerintahan). Jauh sebelumnya, Ilmu Pemerintahan dilembagakan sebagai institut

(Institut Ilmu Pemerintahan, 1967) berdasarkan pemikiran yang sama seperti Herman

Finer yang dalam The Theory and Practice of Modern Government (1960, 7)

menyatakan bahwa Government is Politics Plus Administration.


DAFTAR ISI

METODOLOGI ILMU PEMERINTAHAN(MIP) Taliziduhu Ndraha, Kybernolog.................3

PENGERTIAN...........................................................................................................................3

HUBUNGAN METODOLOGI DENGAN FILSAFAT ILMU..............................................10

BAHAN BAKU BOK: DATA................................................................................................13

BAHAN BOK: KONSEP (CONCEPT)...................................................................................17

JARAK KONSEPTUAL..........................................................................................................21

HUBUNGAN ANTAR KONSEP............................................................................................24

BAHAN BOK: TEORI (THEORY)..........................................................................................28

BAHAN (BOK):......................................................................................................................40

OBJEK MATERIA DAN OBJEK FORMA..............................................................................40

BAHAN BOK: VERSTEHEN..................................................................................................50

BAHAN BOK: OBJEK DAN SUBJEK, WAKTU DAN RUANG,........................................68

KONSTRUKSI BOK: ROH DAN RAGA...............................................................................72

KONSTRUKSI BOK: BEBERAPA PERTIMBANGAN........................................................81

KONSTRUKSI BOK: PERTANYAAN.................................................................................87

KONSTRUKSI BOK: JAWABAN KUALITATIF.................................................................99

KONSTRUKSI BOK: JAWABAN KUANTITATIF............................................................111

REKONSTRUKSI BOK: JAWABAN KOMBINATIF........................................................117

REKONSTRUKSI BOK: JAWABAN NORMATIF.............................................................122

EVERY SCIENCE BEGINS AS PHILOSOPHY AND ENDS AS ART...................................124


METODOLOGI ILMU PEMERINTAHAN(MIP) Taliziduhu Ndraha,
Kybernolog

PENGERTIAN

Yang dimaksud dengan Ilmu Pemerintahan di sini adalah Kybernologi.

Kybernologi disebut juga Ilmu Pemerintahan Baru. Apakah Kybernologi itu? Menurut

Pasal 3 Deklarasi Umum Tentang Hak-Hak Asasi Manusia, “Setiap Orang Berhak

Atas Kehidupan, Kebebasan, dan Keselamatan Sebagai Individu” warga suatu

masyarakat. Untuk bisa hidup, manusia membutuhkan alat atau bahan yang

mendukung kehidupannya, seperti makanan, minuman, udara segar, ketertiban,

keadilan, kedamaian, dan sebagainya. Alat atau bahan itu disebut bernilai

(bermanfaat, berguna, bermakna). Pada zaman dahulu kala, nilai diperoleh langsung

dari alam, tetapi lama-kelamaan harus melalui usaha pengolahan sumberdaya,

penggunaan teknologi, dan penciptaan. Usaha manusia untuk memenuhi kebutuhannya

akan nilai di dalam suatu masyarakat membangun subkultur masyarakat yang disebut

subkultur ekonomi (SKE). SKE berfungsi membentuk, menambah dan mencipta nilai

melalui kerja. Sayang sekali, timbul masalah. Kualitas sumberdaya, distribusi

(pemilikan), kesempatan, dan kemampuan mengolahnya berbeda-beda dan tidak

merata, sehingga pada suatu saat di mana-mana terdapat ketimpangan (kesenjangan).

Ada masyarakat yang memiliki nilai dalam jumlah besar (sangat kaya) dan ada yang

nyaris tidak memilikinya (sangat miskin). Kondisi ini oleh naluri kemanusiaan dan

persaudaraan dianggap tidak adil. Konflik sosial yang berlarut-larut yang merusak

masyarakat itu sendiri sering terjadi. Untunglah, masyarakat memiliki naluri

penyesuaian dan penyelamatan diri melalui berbagai cara untuk mengatasi masalah di

atas, antara lain dengan membuat dan menyepakati norma-norma sosial yang mengatur
perilaku warga masyarakat sehingga ketimpangan nilai semakin berkurang dan rasa

keadilan sosial antar warga masyarakat meningkat. Tetapi rupanya kesepakatan saja

tidak cukup. Norma-norma sosial perlu ditaati, ditegakkan, dan jika perlu dipaksakan

dengan kekuatan bahkan kekerasan. Upaya penegakan sebagian norma-norma sosial

tersebut melahirkan subkultur lain yang disebut subkultur kekuasaan (SKK). Pelaku

atau pemeran SKK adalah pemerintah (government). Pada dasarnya, SKK berperan

(berfungsi) mengontrol sumber-sumber dan pengelolaannya, agar bisa menghasilkan

nilai maksimal tanpa merusak sumber-sumber itu sendiri, untuk kemudian diredistribusi

kepada warga masyarakat berdasarkan asas keadilan sosial. Tetapi karena kekuasaan itu

hanya alat, ia pada hakikatnya tidak dapat dan tidak mau mengontrol dirinya sendiri.

Pemangku kekuasaan cenderung menempuh jalan pintas yang disebut korupsi, mudah

menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan kekuasaan dan dirinya sendiri.

Oleh sebab itu, kekuasaan harus dikontrol. Siapa atau lembaga apa yang berfungsi

mengontrol kekuasaan? “Jangan beli kucing dalam karung,” demikian kearifan sosial

kita. “Pembeli kucing” yang membuka karung pada saat transaksi terjadi (di hilir)

adalah masyarakat dalam kualitasnya sebagai pelanggan. Sudah barang tentu, jauh

sebelum ada larangan itu, ada aturan (di hulu) yang menyatakan bahwa penjual harus

membuka karungnya dan memberi kesempatan kepada pelanggan untuk memeriksa

isinya. Pembuat aturan itu adalah masyarakat juga tetapi dalam kualitasnya sebagai

konstituen. Jadi masyarakat berfungsi mengontrol SKK di hulu melalui pembuatan

peraturan, dan di hilir melalui pemantauan dan evaluasi (monev). Konsekuensinya,

masyarakat menuntut pertanggungjawaban SKK atas penyelenggaraan fungsi-

fungsinya. Kepercayaan masyarakat kepada SKK bergantung pada

pertanggungjawaban tersebut. Usaha masyarakat untuk berperan mengontrol SKK di


hulu dan di hilir, yang berdampak pada tingkat kepercayaannya kepada pemerintah,

membentuk subkultur sosial (SKS) di dalam masyarakat.

Interaksi antar tiga subkultur itu disebut pemerintahan (governance), bukan

“kepemerintahan.” Interaksi itu menghasilkan kinerja pemerintahan. Jika kinerja

pemerintahan itu berkualitas good, maka pemerintahan yang bersangkutan disebut

good governance. Jika tidak, bad governance. Interaksi berulang dan terjadi di mana-

mana antar subkultur masyarakat membentuk fenomena pemerintahan. Fenomena itu

merupakan kancah pengkajian bersama (common platform, landasan bersama, objek

materia bersama) berbagai ilmupengetahuan. Landasan bersama itu mempunyai banyak

sudut (sudutpandang). Setiap pengkajian (penelitian) mendarat pada sudut yang

berbeda-beda yang disebut objek forma pengkajian. Ilmu Politik misalnya mendarat

pada sudut kekuasaan. Bestuurskunde yang masuk di Indonesia sejak awal abad ke-20,

sekitar medio abad yang sama didaratkan pada sudut Ilmu Politik, sehingga sampai

sekarang apa yang disebut “Ilmu Pemerintahan” oleh banyak kalangan dianggap

(hanya) merupakan salah satu kajian Ilmu Politik, atau sebagian aksiologinya.

Bestuurskunde (Belanda besturen) yang kemudian berkembang menjadi

Bestuurswetenschap dan Bestuurswetenschappen, di negeri asalnya yaitu Belanda,

tidak mendarati fenomena pemerintahan pada sudut kekuasaan, tetapi pada sudut

manusia: “Ilmu Pemerintahan adalah ilmupengetahuan yang bertujuan memimpin

hidupbersama manusia ke arah kebahagiaan yang sebesar - besarnya, tanpa

merugikan orang lain secara tidak sah,” demikian van de Spiegel sebagaimana

dikutip oleh G. A. Van Poelje dalam bukunya Algemene Inleiding tot de

Bestuurskunde (1953). Jadi sejak awal, Bestuurswetenschap itu lahir di sudut


(ke)manusia(an), bukan di sudut kekuasaan. Bangunan (body-of- knowledge, BOK)

Bestuurswetenschap di masa itu di negeri asalnya berderajat akademik tertinggi

sehingga kepada lulusan program pendidikannya dianugerahi gelar Doktor.

Bencana nasional yang terjadi pada tahun 1965 membawa kesadaran baru bahwa ada

yang tidak beres dalam penyelenggaraan negara. Kesadaran baru ini mendorong usaha

pendaratan-kembali Bestuurswetenschap, Bestuurswetenschap, dan

Bestuurswetenschappen di Indonesia pada sudutpandang yang berbeda, tidak pada

kekuasaan seperti di masa lalu tetapi pada (ke-) manusia (-an), yaitu habitat yang

melahirkannya di negeri asalnya, dan merekonstruksi hasil-hasilnya. Rekonstruksi

tersebut berlangsung senyap, tidak gegap, tetapi pasti, terlebih setelah bencana nasional

tahun 1998, disusul bencana nasional 2004-2005. Hasil rekonstruksi buah pendaratan

itu pada tgl 8 Mei 2000 diberi nama Kybernologi (dari bahasa Greek kybernán,
Inggeris steering, Belanda besturen, mengemudi, diberi akhiran –logy, -logi) dan

diluncurkan oleh Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) di Jakarta pada tgl 22 Mei 2003.

Secara formal, Kybernologi adalah bangunan pengetahuan (body-of-knowledge)

hasil rekonstruksi buah pendaratan Bestuurskunde, Bestuurswetenschap, dan

Bestuurswetenschappen di bumi Indonesia pada sudutpandang kemanusiaan,

tidak pada sudutpandang kekuasaan, dan pengaitannya dengan sudutpandang

lain yang berbeda, misalnya sudutpandang kekuasaan (Gambar 2).


Perbedaan antara Ilmu Pemerintahan sebagai bagian Ilmu Politik dengan Kybernologi,

dapat dibaca dalam Bab I dan Bab II Kybernologi: Sebuah Rekonstruksi Ilmu

Pemerintahan, 2005. Body-of-knowledge (BOK) Kybernologi dengan sisi Ontologi,

Epistemologi, dan Axiologi, terdapat dalam Garis-Garis Besar Program Pembelajaran

Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2009.

Istilah methodology terdiri dari methodos dan logos. Methodos berasal dari meta dan

hodos. Meta berarti beyond, “di luar sana,” yang belum diketahui (unknown),

sedangkan hodos berarti jalan, cara, atau alat. Jadi metodologi adalah jalan (cara, alat)

yang ada (known) yang perlu ditempuh (digunakan) oleh seseorang (knower) untuk

mengetahui (knowing) sesuatu yang belum diketahui. Knowing menghasilkan

pengetahuan (knowledge). Menurut Fred N. Kerlinger dalam Bab I Foundations of

Behavioral Research (1973), ada empat cara (methods of) knowing, yaitu the method of

tenacity, the method of authority, the method of intuition (a priori method), dan the

method of science. Dilihat dari sudut the method of science, Metodologi Ilmu adalah

metodologi yang didasarkan pada hipotesis-dasar berbunyi: “There are real things,

whose characters are entirely independent of our opinion about them.” Bagian sesuatu

yang belum diketahui yang bisa diketahui disebut sesuatu yang dapat diketahui

(knowable), sedangkan bagian yang selebihnya meliputi bagian yang belum diketahui

dan bagian yang tidak dapat diketahui (unknowable). Hubungan antara bagian yang

diketahui dengan bagian yang tidak diketahui itu ialah, semakin diketahui, semakin

tidak diketahui.
Metodologi meliputi tiga komponen, yaitu Metodologi Penelitian, Metodologi Ilmu,

dan Metodologi Pengajaran. Walaupun masih dapat diperdebatkan, Metodologi

Penelitian terdiri dari Metodologi Penelitian Kualitatif dan Metodologi Penelitian

Kuantitatif. Setiap disiplin ilmu memiliki metodologinya sendiri. Jadi ada Metodologi

Ilmu Politik, Metodologi Ilmu Sosial, dan Metodologi Ilmu Hukum, dan seterusnya.

Ilmu Pemerintahan memiliki Metodologi Ilmu Pemerintahan. Metodologi Pengajaran

menyangkut dua hal pokok, Didaktik Pengajaran tentang bahan-ajar, dan Metodik

Pengajaran tentang cara-ajar.


HUBUNGAN METODOLOGI DENGAN FILSAFAT ILMU

“Every science begins as philosophy and ends as art, it arises in hypothesis and flows

into achievement. Philosophy is a hypothetical interpretation of the unknown (as in

metaphysics), or of the inexactly known (as in ethics or political philosophy); it is the

front trench in the siege of truth. Science is the captured territory; and behind it are

those secure regions in which knowledge and art build our imperfect and marvelous

world,” demikian Will Durant dalam The Story of Philosophy (1956). Filsafat Ilmu

meliputi tiga hal. Pertama Ontologi (ontologia, cabang Metafisika; Metafisika sendiri

mempelajari the nature of existence), yaitu sistem pemikiran tentang hakikat sesuatu

objek pengetahuan. Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dalam Pembimbing Ke Filsafat I

Metafisika (1952) menggambarkan hakikat itu sebagai Serbatunggal dan Serbaganda

(Bab IV), Serbazat (Bab V) dan Serbaroh (Bab VI), Serbadua dan Serba(e)sa Bab VII),

Serbasawat dan Serbatuju (Bab IX), Serbatentu dan Serbataktentu (Bab X). Hakikat

lainnya terlihat pada Bab VIII berjudul Perhubungan Sebabakibat. Dalam bab itu STA

berpendapat segala sesuatu serbahubung, khususnya hubungan kausal. Pada suatu saat

suatu hal merupakan akibat dari sesuatu, pada saat lain hal yang sama menjadi sebab

terjadinya sesuatu yang lain pula.

Kedua, Epistemologi (epistēmē, pengetahuan). Epistemologi di sini meliputi apa yang

oleh M. J. Langeveld dalam Menuju Ke Pemikiran Filsafat (1957) disebut Logika (Bab

IV) dan Teori Pengetahuan (Bab V). Ia memasukkan Metodologi dalam Logika.

Epistemologi adalah sistem pemikiran tentang “tau,” “mungkin tau,” “tidak tau,” dan

“bagaimana mengetahui sesuatu.” Kebenaran sebagai carian Epistemologi dibahas oleh

Langeveld dalam Bab III bukunya.

Ketiga, Axiologi (dari áxio, bernilai, berharga) yaitu Teori Nilai meliputi Etika,

Estetika, Kepercayaan, dan sebagainya (Bab VII Langeveld). Oleh sebab itu, sementara
Epistemologi membentuk faktor “tau,” Epistemologi membangun kekuatan “mau” dan

“mampu” dalam diri manusia.

Gambar 4 menunjukkan hubungan antara tiga liputan Filsafat Ilmu tersebut. Gambar 4

juga menunjukkan bahwa Metodologi meliputi Metodologi Penelitian, Metodologi

Ilmu, dan Metodologi Pengajaran, dengan ruang lingkup masing- masing.

Metodologi Penelitian (Research) mempelajari bagaimana menemukan pengetahuan

dari hasil pengamatan terhadap fakta melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif,

Metodologi Ilmu mempelajari bagaimana mengonstruksi (merekonstruksi) pengetahuan

menjadi bangunan pengetahuan (body-of- knowledge, BOK), dan memfungsikannya

sehingga BOK yang bersangkuitan berkualitas ilmu (science). Metodologi Pengajaran

mempelajari bagaimana.
mengusahakan ilmu pengetahuan (scientific enterprise) sehingga bermanfaat

membangun hidup -bersama manusia dalam damai sejahtera. Hubungan antar tiga

metodologi itu lebih lanjut ditunjukkan dalam Gambar 5.


BAHAN BAKU BOK: DATA

Data berasal dari kata datum (tunggal) dan data (jamak), dari dare, a thing given,

individual fact. Fact adalah the quality of existing, or of being real. Factum, facere, to

do. Fakta adalah kualitas keberadaan sesuatu, misalnya fenomena, kejadian, peristiwa,

atau keadaan. Data berfungsi sebagai:

1. Bahan baku dan juga sebagai bahan bangunan. Tanah liat adalah bahan baku

pembuatan batubata, sementara batubata merupakan bahan bangunan.

2. Bahan baku untuk diolah menjadi informasi. Salah satu bentuk informasi adalah

masalah pemikiran. Masalah pemikiran adalah sesuatu yang mendorong atau

membuat orang berfikir, yaitu keingintahuan (curiosity).

3. Jawaban faktual terhadap masalah pemikiran, terutama pemikiran berpendekatan

kualitatif.

4. Bahan mentah pengujian empirik terhadap hipotesis.

5. Alat untuk memaparkan suatu hal secara deskriptif.


6. Alat pendukung permasalahan pemikiran (dari dalamnya dimunculkan masalah

pemikiran).

7. Temuan penelitian.

8. Bahan mentah untuk analisis statistic

Gambar 5 menunjukkan bahwa fakta direkam (ditangkap) dengan alat yang disebut

konsep (concept). Perekaman fakta dapat dilakukan dalam beberapa cara :

1. Perekaman suatu fakta begitu terjadi (begitu “keluar dari sembernya”) tanpa

menggunakan konsep tertentu (belum diketahui atau belum ada konsepnya)

melainkan merekam apa adanya dengan alat (bahasa, simbol, gambar, ungkapan,

dsb) yang ada, sedalam - dalamnya, kualitas serinci-rincinya dikenal. Supaya hal

itu terjadi, fakta yang direkam haruslah terarah (focused) dan seterbatas mungkin

(kasus). Hasilnya adalah data kualitatif “murni”

2. Perekaman fakta dengan menggunakan konsep tertentu yang sudah ada.

Penggunaan konsep tertentu untuk merekam suatu fakta dimungkinan bila fakta

keluar dari sumber yang terjadi berulang-ulang atau terdapat di mana - mana,

sehingga leluasa untuk mendeduksi konsepnya dari konsep yang sudah ada.

Hasilnya adalah data semi-kualitatif.

3. Perekaman fakta dengan menggunakan konsep sebagai alat ukur tertentu.

Sebagai alat ukur, konsep yang digunakan harus valid dan reliable. Valid artinya alat

itu mengukur apa yang dapat diukurnya: kunci roda untuk membuka roda dan bukan

tang, gram untuk mengukur berat dan bukan liter. Reliable artinya penggunaan alat

ukur valid yang sama memberikan hasil yang sama walau digunakan untuk objek,

waktu, dan tempat yang berbeda- beda. Hasilnya adalah data kuantitatif.
Dari keterangan di atas diketahui bahwa akurasi data bergantung pada

1. Kemampuan untuk merekam suatu fakta sedalam-dalamnya sebagaimana adanya

pada saat “keluar dari sumbernya”

2. Validitas dan reliabilitas konsep sebagai alat perekaman dan pengukuran fakta.

3. Kelengkapan atau kebulatan data tentang suatu hal. Setiap fakta harus dapat

direkam dan diukur pada dan dari segala segi sepanjang waktu tertentu. (time

series) sehingga perubahan - perubahannya diketahui

Dimensi-dimensi data:

1. Waktu, kemutakhiran, urutan data menurut waktu, dan periode data (time series).

2. Lokasi atau setting terjadinya fakta yang hendak direkam.

3. Kejelasan sumbernya.

4. Kejelasan substansi fakta (tentang apa).

5. Relevansi data dengan pokok pemikiran.

6. Kompatibilitas data dengan data lainnya.

7. Faktualitas (factuality).

8. Akurasi, reliability.

Jenis-jenis data sebagai berikut:

1. Data Orisinal, yaitu data hasil rekaman terhadap suatu fakta buat pertama kalinya.

Di satu fihak, data orisinal bernilai tinggi, mengingat orisinalitasnya, tetapi di


fihak lain bernilai rendah karena belum teruji benar-tidaknya. Oleh sebab itu, data

orisinal perlu diuji aatau dibuktikan.

2. Data Derivatif, yaitu data yang sama tetapi tangan kedua, ketiga, dan seterusnya.

Data Derivatif di satu fihak bernilai tinggi karena sudah teruji. tetapi di fihak lain

bernilai rendah, karena biasa ketinggalan zaman (out – of - date).

3. Data Primer yaitu data “kasar” (raw data) yang belum diolah.

4. Data Sekunder adalah data olahan dari data primer.

5. Data Kualitatif adalah data hasil perekaman sekenal dan sebulat mungkin seluruh

kualitas suatu fakta sebagaimana adanya pada saat “keluar dari sumbernya,”

dengan alat rekam yang ada, terutama pengamatan dan pengalaman.

6. Data Kuantitatif adalah data hasil rekaman fakta dengan menggunakan konsep

atau konsep-konsep tertentu sebagai alat rekam dan alat ukur.

7. Data Berulang adalah hasil rekaman kejadian atau peristiwa pada sisi

keulangannya, misalnya upacara ulang tahun kemerdekaan.

8. Data Sekalilalu, yaitu hasil rekaman kejadian atau peristiwa pada sisi

kesekalilaluannya, misalnya upacara ulang tahun kesepuluh.

9. Data Kontinyu (continuous data). Disebut demikian jika di antara dua nilai dapat

disisipkan nilai lain, Misalnya usia. Di antara usia 14 dan 15 tahun secara teoretik

dapat disisipkan usia 14⅛ tahun.

Database bukan sekedar bahan baku tetapi bisa jadi bahan bangunan. Data berkualitas

database jika data itu definitif, terstandardisasi, dan merupakan referensi buat data

lainnya. Misalnya data kependudukan.


BAHAN BOK: KONSEP (CONCEPT)

Konsep bukan konsepsi dan bukan draft. Konsep adalah pengertian. Sebuah

pengertian bisa terdiri dari beberapa kata atau kalimat. Di satu fihak, konsep adalah

satuan pengetahuan, dan di fihak lain konsep adalah alat untuk merekam, “menangkap”

atau “menjaring” suatu fakta (Gambar 5) pada suatu saat. Menurut kamus, konsep

(concept) adalah “an idea or something formed by mentally combining all its

characteristics or particulars; a construct.” “Basic building blocks of theory,” demikian

Turner sebagaimana dikutip oleh Earl Babbie dalam The Practice of Social Research

(1983, h. 37). “A concept expresses an abstraction formed by generalization from

particulars,” demikian Kerlinger. Contoh abstraksi (ladder of abstraction) terdapat

dalam Djadja Saefullah, Pemikiran Kontemporer Administrasi Publik (2007, h. 13).


Contoh lain terdapat dalam Taliziduhu Ndraha, Research: Teori, Metodologi,

Administrasi I (1985, h. 22).

Tiap konsep memiliki kualitas (characteristic, property, attribute) tertentu, yang dapat

diukur atau dapat diamati. Kualitas adalah isi suatu konsep. Dalam buku- buku tentang

metodologi biasanya nilai (value) yang dianggap sebagai isi suatu konsep. Dalam

Kybernologi, kualitas dibedakan dengan nilai dan norma. Tiap konsep mengandung

minimal satu kualitas. Konsep “buku” berkualitas satu bersifat abstrak, tidak terukur

atau tidak dapat diidentifikasi dengan tepat. Contoh,

jika di atas meja terletak sebuah buku tulis dan sebuah buku gambar yang tentu saja

berbeda, dan seseorang disuruh mengambil buku, maka ia tentu saja sedikit banyak

ragu-ragu, buku mana yang dimaksud di antara dua buku yang ada. Berbeda halnya jika

yang bersangkutan disuruh mengambil buku gambar (konsep berkualitas dua), keragu-

raguan itu hilang. Semakin lengkap kualitas suatu konsep, semakin kualitatif konsep,

dan semakin definitif konsep itu.


Definisi konsep diambil dari teori atau sumber tertentu, dan sedapat-dapatnya tidak dari

kombinasi berbagai teori atau sumber. Sebab pengombinasian definisi dari berbagai

sumber tidak bisa langsung digunakan, harus diuji dulu. Juga tidak dari suatu

kebijakan, undang-undang, atau peraturan, karena ketiganya bukan teori. Yang

menyatakan sesuatu itu definisi konsep(tual) seharusnya penulis sumbernya, bukan

peneliti. Formula sebuah definisi tidak boleh tautologik seperti A = A yang B,

melainkan A = B yang C (ref. Irving M. Copi, Introduction to Logic, 1959, Chapter

Four). A disebut definiendum dan B yang C adalah definiens. Misalnya “segitiga

(definiendum) adalah bidang yang dibatasi oleh tiga garislurus (definiens).” Bagaimana

jika fenomena yang diteliti merupakan fenomena baru atau langka, belum diteliti secara

akademik, atau belum ada definisinya? Misalnya fenomena kepemimpinan kepala desa

pantai rawan tsunami. Katakanlah, konsep “kepemimpinan kepala desa pantai rawan

tsunami” itu belum ada. Jika konsep yang ada hanya definisi konsep “kepemimpinan,”

maka harus dibentuk (dirumuskan) definisi konsep “kepemimpinan kepala desa,” dan

selanjutnya definisi konsep “kepemimpinan kepala desa pantai rawan tsunami.” Proses

pembentukan konsep baru ini disebut conceptualization (konseptualisasi).

Konseptualisasi adalah proses pembentukan konsep (baru) dengan memasukkan

kualitas (karakteristik) yang baru ke dalam konsep yang ada Bersama karakteristiknya,

sehingga definisi konsep yang baru dapat dirumuskan. Jadi dalam definisi konsep

kepemimpinan dimasukkan (ditambahkan) karakteristik kepemimpinan kepala desa,

karakteristik kepemimpinan kepala desa pantai, dan karakteristik kepemimpinan kepala

desa pantai rawan tsunami, melalui analisis berbagai teori yang relevan. Dengan

demikian, kualitas konsep terlengkapi dan diperkaya.

Kerlinger menarik perbedaan dan hubungan antara concept dengan construct. Jika

concept diumpamakan unsur bangunan tertentu, sebuah komoditi, misalnya sebuah


kipas angin, maka construct adalah kipas angin yang sama yang telah dipasang di

dinding atau langit-langit sebuah kamar dan menjadi bagian integral seluruh bangunan.

Jadi construct adalah concept yang telah digunakan menjadi bagian integral bangunan

yang lebih besar. Dalam hubungan ini BOK. Besar kemungkinan, komoditi itu

dimodifikasi atau dipesan khusus hanya untuk bangunan terkait. Bisa juga, konsep yang

terbentuk di lingkungan sebuah bangunan dengan fungsi tertentu, digunakan untuk

bangunan lain dengan fungsi yang berbeda.

Konsep yang nilai kualitasnya bervariasi, disebut variabel (variable). Misalnya salah

satu kualitas konsep PNS adalah kesetiaan. Nilainya bervariasi, berkisar antara 0

dengan 100. Jadi setelah ditimbang, diberi nilai 50 atau 80. Namun demikian yang

disepakati dan ditetapkan sebagai nilai minimal (norma) untuk dapat dijadikan sebagai

bahan pengusulan promosi adalah 91 (“passing grade”). Variabel adalah hasil

operasionalisasi konsep dengan memasukkan satu lagi atau lebih nilai ke dalam konsep

itu (jadi setiap variable mengandung minimal dua nilai, satu nilai saja tidak bervariasi).

Rumusan pernyataan hubungan antara atau antar dua atau lebih variable, disebut

hipotesis. Hipotesis selalu bersifat teoretik. Kerlinger mendefinisikan hipotesis sebagai

“. . . . . a conjectural statement of the relation between two or more variables.

Hypotheses are always in declarative sentence form, and they relate, either generally or

specifically, variables to variables.” Kriteria hipotesis yang baik adalah, “One,

hypotheses are statements about the relations between variables. Two, hypotheses

carry clear implications for testing the stated relations.”


JARAK KONSEPTUAL

Definisi konsep berfungsi menunjukkan dimensi-dimensi konsep. Pada gilirannya

definisi operasional dibuat berdasarkan definisi konsep. Definisi suatu variable

menunjukkan dimensi-dimensi variabel yang bersangkutan. Fungsi definisi konsep

yang lebih pelik adalah fungsinya dalam menemukan jarak konseptual. Misalnya jarak

konseptual antara kepemimpinan (X) dengan komunikasi (Y). Semakin banyak dimensi

komunikasi yang bersentuhan atau sama dengan dimensi.


kepemimpinan (Z), semakin dekat jarak antara kedua konsep itu (Gambar 9). Pada

suatu kondisi, bisa saja X konsentrik dengan Y. Jika itu terjadi, maka X = Y. Jarak

konseptual = nol. Pada kondisi itu, konstruksi hubungan eksternal antar konsep tidak

valid. Pemikiran dianggap valid jika Z minimal lebih besar daripada nol (Gambar 9),

tetapi tidak “tidak terhingga.” “Tidak terhingga” sama dengan nol.

Konsep “jarak konseptual” dibentuk seperti konstruksi konsep “jarak social” dalam

Sosiologi atau “jarak kekuasaan” dalam Ilmu Politik. Jarak konseptual menunjukkan

tingkat atau derajat (variabilitas) keeratan hubungan antara dua atau lebih konsep, dekat

atau jauh. Jika hubungan itu bersifat kausal atau pengaruh,


Gambar 11 Model Performance Clay Carr Setelah Dielaborasi

Sufficient Factors dan Contingent Factors

X--->Y jembatan, objek penelitian; Z1, Z2, Z3, Z4, contingent factors (necessary

factors), tiang penyangga yang menerangkan bagaimana X mempengaruhi Y atau

bagaimana Y bergantung pada X. Untuk menjadikannya model sirkuler, ditambahkan

activity, pelanggan, dan evaluasi sebagai contingent factors baru. Dalam hubungan itu,

feedback adalah Z4. Factor Z tidak bisa diepsilonkan semuanya; jika X1 dan X7 diteliti,

yang bisa dijadikan epsilon hanya X5 dan X6. Jadi “epsilonisasi” variable itu tidak

boleh sembarangan atau suka-suka!

maka semakin dekat hubungan (semakin pendek jarak) antara X dengan Y, maka

semakin langsung pengaruh X terhadap Y, semakin pendek “jembatan” antara X

dengan Y, dan semakin tidak diperlukan tiang penyangga (Z) antara keduanya. Sudah

barang tentu, semakin ringan pula masalahnya. Antara “makan” dengan “kenyang,”

tidak ada yang perlu dipertanyaan, karena jika makan cukup, pasti kenyang, lihat

Gambar 10. Sebaliknyalah yang terjadi bilamana hubungan itu semakin jauh (Gambar

11).
Untuk menemukan jarak konseptual, diperlukan definisi konsep, dan dari definisi

konsep dapat diketahui dimensi-dimensi, baik dimensi X maupun dimensi Y. Derajat

kedekatan antara dimensi X dengan dimensi Y itulah yang menunjukkan hubungan

antar konsep sebagai dasar rekonstruksi teori. Baca Bab XIII Kybernologi Sebuah

Profesi (2007) dan Bab IX Kybernologi Sebuah Metamorphosis, 2008

HUBUNGAN ANTAR KONSEP

Hubungan antar fenomena sejajar dengan hubungan antar konsep X dengan Y

beserta model-modelnya (beberapa di antaranya, ref. Peter Hagul, Chris Manning, dan

Masri Singarimbul, “Penentuan Variabel Penelitian dan Hubungan Antar Variabel,”

dalam Masri Singarimbul dan Sofian Effendi, peny. Metode Penelitian Survai, 1982).

Hubungan itulah yang harus diamati, diuji atau dibuktikan. Hubungan itu memiliki

sifat-sifat atau karakteristik, antara lain sebagai berikut :

1. Hubungan eksklusif dengan hubungan inklusif. Hubungan ini terkait erat

dengan jarak konseptual di atas. Hubungan itu disebut eksklusif, jika konsep yang

satu tidak berada di dalam konsep yang lain, jarak konseptual Z harus lebih besar

daripada nol. Dalam hubungan itu, X tidak berada di dalam Y dan sebaliknya, Y

tidak berada di dalam X. Disebut inklusif jika konsep yang satu berada di dalam

konsep yang lain. Jika hal itu terjadi, katahubung antara yang satu dengan yang

lain adalah “dalam” (peran X dalam Y).


2. Kedua, hubungan kausal dengan hubungan korelasional. Hubungan kausal

(sebab-akibat, cause and effect) adalah hubungan yang terpenting (Gambar 10

dan 11). Babbie menjelaskan hal ini panjang lebar dalam Bab 3 bukunya. Model

dasarnya adalah X---->Y. Jika factor didefinisikan sebagai “one of the elements

contributing to a particular result or situation,” maka X adalah factor (penyebab)

dan Y adalah akibat (result). Penyebab (sebab) atau faktor itu selalu berada di

luar (eksternal) akibat. Dilihat dari sisi ini, tidak ada faktor internal sebagaimana

disangkakan banyak orang. Di dalam organisasi ada uang dan SDM. Uang

(faktor) terhadap SDM (result) di dalam (internal) organisasi, tetapi uang bukan

faktor internal organisasi melainkan dimensi organisasi. “Ada tiga kriteria

hubungan kausal,” demikian Babbie.

1. Yang satu (cause) persis (in time) mendahului yang lain (effect).

2. Yang satu dengan yang lain secara empirik berkorelasi.

3. Korelasi empirik antara yang satu dengan yang lain tidak dipengaruhi oleh

fihak ketiga.

Menurut Babbie lebih lanjut, ada dua macam causes, yaitu necessary cause dan

sufficient cause (Gambar 11). “A necessary cause represents a condition that must

be present for the effect to follow,” woman---->pregnant. “A sufficient cause

represents a condition which, if it is present, inevitably results in in the effect,”

army---->uniform. Yang satu “must,” yang lain “if.” Katahubung antara satu

dengan yang lain adalah “terhadap,” “Pengaruh X terhadap Y,” “Apakah X

berpengaruh terhadap Y?” “Jika. . . . . , maka. . . . . .” Cause dan effect disebut

terminal dan simbol ----> menunjukkan rute antar terminal. Yang menjadi

persoalan sekarang ialah, hubungan itu deterministik atau tidak? Di dalam ruang
perilaku manusia, akibat yang sama ditimbulkan oleh sebab yang berbeda-beda.

Derajat kepastian hubungan pengaruh antara X dengan Y dalam lingkungan

sosial, lebih rendah ketimbang lingkungan fisikal. Kinerja (performance) pada

Gambar 11 memang secara sufficient dipengaruhi oleh tujuh faktor (Gambar 10),

tetapi performance itu sendiri contingent pada Z1Z2Z3 (contingent, necessary

factors). Faktor-faktor itulah yang memastikan kadar kinerja. Dengan demikian,

pemikiran Ilmu-Ilmu Sosial tidak berhenti pada penemuan faktor-faktor sufficient

saja, tetapi harus mengejar faktor-faktor contingent-nya. Dengan perkataan lain,

dalam Kybernologi, implementasi kebijakan merupakan contingent faktor

keberhasuilan kebijakan itu sendiri. Konsekuensinya ialah, implementasi

kebijakan tidak boleh diposisikan sebagai cek kosong yang bebas diisi oleh

implementor sesuka-suka hatinya. Selanjutnya, jika korelasi empirik antara yang

satu dengan yang lain dipengaruhi oleh fihak ketiga, maka hubungan antara yang

satu dengan yang lain disebut korelasional. “Semakin meningkat pendidikan,

semakin semakin meningkat jumlah mobil.” Faktor ketiga adalah “Semakin

meningkat pendapatan.” Yang satu tidak langsung mempengaruhi yang lain,

faktor ketigalah yang melakukannya. Katahubung antara yang satu dengan yang

lain adalah “dengan” (hubungan X dengan Y) dan rumus hipotesisnya “Semakin.

. . . . , semakin. . . . . .”

3. Hubungan positif dengan hubungan negatif. Hubungan antara X dengan Y

disebut positif jika secara empirik nilai yang satu naik diiringi kenaikan nilai yang

lain, atau sebaliknya jika secara empirik nilai yang satu turun, nilai yang lain juga

turun. Hubungan itu disebut negatif, jika secara empirik nilai yang satu naik

sementara nilai yang lain turun, atau sebaliknya.


4. Hubungan langsung dengan hubungan tidak langsung. Hubungan ini erat

terkait dengan debat tentang determinisme perilaku manusia. Di lingkungan

fenomena fisikal, hubungan langsung X---->Y itu dengan derajat kepastian

tinggi. Tetapi mengingat sifat ketergantungan perilaku manusia pada berbagai hal

yang tak terduga, maka nyaris mustahil model perilaku sosial serta-merta bersifat

langsung. Selalu saja diperlukan contingent factor-nya. Derajat kepastian

hubungan antara X dengan Y bergantung pada contingent factor-nya yang paling

individual, kasus demi kasus. Jadi model pemikiran Ilmu-Ilmu Sosial tidak X----

>Y tetapi X---Z--->Y.

5. Hubungan searah dengan hubungan timbalbalik (bukan dua arah) Hubungan

searah misalnya hujan--->jalan licin. Tidak mungkin jalan licin--->hujan.

Hubungan timbal-balik misalnya investasi--->laba. Tetapi bisa juga laba---

>investasi.

6. Hubungan linier dengan hubungan siklik atau sirkuler. Hubungan kelima di

atas berkaitan dengan hubungan keenam ini. Pada umumnya hubungan input---

>output bersifat linier. Hubungan timbal-balik antar lebih dari dua konsep

menjadi sirkuler atau siklik. Dalam hubungan itu salah satu rute adalah feedback

(feedforward). Hubungan linier disebut juga hubungan fungsional, misalnya

input--->output di atas. Model hubungan sirkuler atau siklik menjadi dasar bagi

pemikiran beranalisis jalur (path analysis). Contoh klasik tentang hal ini adalah

Model Lingkaran Setan Kemuskinan (the vicious circle of poverty, lihat

Taliziduhu Ndraha dalam Desain Riset, 1987).


BAHAN BOK: TEORI (THEORY)

Earl Babbie mendefinisikan teori sebagai “a systematic explanation for the

observed facts and laws that relate to a particular aspect of life. . . . ,” sementara

Lawrence Neuman (Social Research Methods, 2003) berpendapat, “Theories tell us

whether concepts are related and, if they are, how they relate to each other.. . . . .

Many theories make a causal statements, or a proposition, about the expected relation

among variables.” “A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions

and propositions that present a systematic view of phenomena by specifying relations

among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena,”

demikian Kerlinger. Donald R. Cooper dan C. William Emori dalam Business

Research Methods (1995), menjelaskan perbedaan dan


hubungan antara propositions dengan hypotheses. “We define a proposition as a

statement about concepts that may be judged as true or false if it refers to observable

phenomena. When a proposition is formulated for empirical testing, we call it a

hypothesis. As a declarative statement, a hypothesis is of a tentative and conjectural

nature.” Menurut Babbie, teori terdiri dari beberapa pernyataan (statements). Pertama

asas-asas atau dalil-dalil (laws). Kedua axioma, yaitu “fundamental assertions,”

kebenaran yang dengan sendirinya benar tanpa perlu diuji atau dibuktikan. Axioma

berfungsi sebagai sebagai fondasi bangunan teori. Ketiga, proposisi, yaitu “conclusions

drawn about the relationship among concepts, based on the logical interrelationships

among the axioms.” Gustav Bergmann dalam Philosophy of Science (1958)

berpendapat bahwa “Theory is a group of laws. The laws that serve as the premises of

these deductions are called the axioms of the theory; these which appear as

conclusions are called theorems.” Lebih lanjut Babbie menunjukkan hubungan timbal-

balik antara teori dengan fakta (observations) seperti Gambar 13. Gambar itu juga

sekaligus menunjukkan perbedaan dan hubungan antara pendekatan kualitatif dengan


pendekatan kuantitatif. Pendekatan kualitatif berjalan dari observasi (fakta) ke teori

melalui

generalisasi empirik (empirical generalization) yang bersifat induktif, dan pendekatan

kuantitatif yang berjalan dari teori ke observasi melalui pengujian hipotesis dan bersifat

deduktif.

Inti dinamik suatu teori adalah hipotesis. Pemikiran bermula dari keingintahuan

(curiosity). Keingintahuan itu dirumuskan dalam bentuk pertanyaan (question).

Kerlinger menyatakan bahwa masalah penelitian “should express a relation between

two or more variables. It asks, in effect, questions like: “Is A related to B?” How are A

and B related to C?” How is A related to B under condition C and D?” Ada yang

cenderung mengambil jalan pintas yang lebih mudah, yaitu mengutip “temuan”

(sebenarnya hipotesis) penelitian orang lain sebelumnya yang berbunyi: “X

mempengaruhi Y,” sehingga yang bersangkutan tinggal melanjutkan dengan

pertanyaan: “Seberapa besar pengaruh X terhadap Y?” Pertanyaan pemikiran dijawab

dengan dua cara. Langsung merekam fakta empirik yang dipertanyakan (ingin

diketahui), yaitu melalui pendekatan kualitatif, atau berkonsultasi dengan teori yang
ada. Pertanyaan dijawab dengan teori berdasarkan alasan, bahwa teori yang ada

merupakan jawaban yang telah teruji dalam masyarakat, bahkan dalam sejarah.

Menurut Earl Babbie dalam The Practice of Social Research, (Bab 2, 1983), dalam

penelitian kuantitatif yang menggunakan metodologi deduktif, masalah (pertanyaan)

penelitian dijawab dengan teori dan hasil deduksi teori berakhir pada hipotesis. Jadi

hipotesis adalah jawaban teoretik terhadap pertanyaan pemikiran. Hipotesis disebut

juga jawaban sementara karena hipotesis perlu diamati, diuji, atau dibuktikan dengan

fakta (secara empirik), agar kualitasnya sebagai “hipō-” “sub-” (under), “supposition,”

(“ponere,” to put under) berubah meningkat menjadi “tithenai,” yang kemudian

menjadi thesis (pernyataan, dalil, proposisi). Berbagai pertanyaan dengan bermacam-

macam hipotesis sebagai jawabannya muncul di lingkungan dunia akademik di

Indonesia.

Adakah jawaban teoretik (hipotesis) terhadap pertanyaan “Seberapa besar. . . . .?”

Tidak ada! Besarnya pengaruh X terhadap Y yang besarannya dinyatakan dengan


koefisien determinasi itu dengan sendirinya keluar dari komputer pada saat

hipotesis “X mempengaruhi Y,” diuji. Jika demikian, pertanyaan “Seberapa besar

pengaruh X terhadap Y?” bukan (tidak layak dijadikan) pertanyaan penelitian.

Apakah “Besarnya pengaruh X terhadap Y diukur pada dimensi-dimensi X,” memenuhi

syarat sebagai sebuah hipotesis? Kerlinger (kemudian dikutip oleh sejumlah penulis

metodologi seperti John W. Creswell dalam Research Design, 1994, dan relatif sama

dengan Donald R. Cooper dan C. William Emory dalam Business Research Methodes,

1995) mendefinisikan hipotesis sebagai “conjectural statement of the relation between

two or more variables,” yang perlu diuji secara empirik. Sudah barang tentu, sifat

“conjectural” di sini tidak berarti terkaan sembarangan, melainkan perkiraan

berdasarkan analisis teoretik yang relevan dan kuat.

“Besarnya pengaruh. . . . . .” tidak menjelaskan apakah ada, dan jika ada, bagaimana

sifat hubungan antara X dengan Y. Ia hanya menyatakan bahwa “ini” diukur pada “itu.”

Oleh sebab itu, kalimat “Besarnya pengaruh X terhadap Y diukur pada dimensi-

dimensi X” bukanlah hipotesis penelitian, melainkan proposisi penelitian (Cooper

dan Emory, op. cit., h. 39), yaitu sekedar “a statement about concept,” bahwa

“besarnya pengaruh. . . . “ (concept), “diukur pada atau ditentukan oleh. . . . .”

(statement). Dalam kalimat itu tidak ada sesuatu yang diuji atau dibuktikan. Hubungan

antara variable dengan dimensinya menurut teori terkait, sudah pasti. Lagi pula fungsi

dimensi dan indikator pada Gambar 14 tidak untuk mengukur, melainkan langkah yang

harus ditempuh untuk mendeduksi dan mengonstruksi alat-ukur yang sesungguhnya

(alat untuk mengukur variabel) yaitu items pertanyaan (rating scale) atau pernyataan

(Likert).
Apakah kalimat yang berbunyi: “Besarnya pengaruh X terhadap Y bergantung pada

dimensi-dimensi X,” sebuah hipotesis?” Kalimat itu bukan hipotesis, karena

keseluruhan dimensi-dimensi X = X. Jawaban itu sama saja dengan: “Besarnya

pengaruh X terhadap Y bergantung pada X.” Jawaban tersebut bersifat tautological,

tidak reliable.

Bagaimana dengan kalimat “Besarnya pengaruh X terhadap Y ditentukan oleh dimensi-

dimensi X,” Pernyataan “ditentukan oleh” dalam kalimat hipotetik itu berarti

“besarnya” pengaruh X terhadap Y “bergantung pada” dimensi-dimensi X. Pernyataan

ini mengubah posisi dimensi-dimensi itu, dari dimensi X menjadi faktor yang

menentukan (mempengaruhi) X. Di sini X bergantung pada faktor- faktor itu. Dengan

sendirinya variabel yang tadinya X, berubah menjadi Y atau Z, dan dimensi-

dimensinya menjadi X baru. Model

berubah menjadi
Model Gambar 16 harus dianalisis lebih lanjut, artinya dimensi-dimensi X1, X2, Xn

harus diidentifikasi, kemudian dimensi baru itu berubah lagi menjadi variable bebas,

demikian terus-menerus. Kapan berakhirnya? Oleh sebab itu harus diingat bahwa faktor

berbeda dengan dimensi dan dimensi tidak boleh diperlakukan sebagai faktor atau

variable bebas. Kesalahfahaman tentang faktor dengan dimensi ini sering terjadi.

Misalnya pada hari Sabtu 12 November 2005, di gedung Program Pascasarjana sebuah

universitas besar di Bandung, Ujian Disertasi (biasa juga disebut Ujian Terbuka,

promosi Doktor) mahasiswa Program Doktor atas nama L3G03810 dan L3G03855,

berlangsung. Inilah promosi Doktor ke 5 dan 6 Program tersebut yang dibuka sejak

tahun 2000. Keduanya berhasil mempertahankan naskah disertasi masing-masing

dalam Ujian Naskah Disertasi (Ujian Tertutup) sekitar tiga bulan sebelumnya. Judul

kedua disertasi (sebutlah berturut-turut disertasi promovendus 5 atau D5 dan disertasi

promovendus 6 atau D6) menunjukkan perbedaan dan persamaan. D5 berjudul

Pengaruh Komunikasi, Sumberdaya, Disposisi, dan Struktur Birokrasi Terhadap

Kemandirian Kelompok Tani, sedangkan D6 berjudul Pengaruh Komunikasi,

Sumberdaya, Disposisi, dan Struktur Birokrasi Terhadap Implementasi Kebijakan

Perberasan dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani. Dalam judul kedua disertasi

terdapat kata “pengaruh.” Hal itu berarti promovendi hendak mempelajari hubungan

kausal antara dua atau lebih variabel, antara variabel pengaruh (X) dengan variabel

yang dipengaruhi (Y). Ada empat variabel pengaruh yang diteliti oleh kedua

promovendi, berturut-turut komunikasi (X1), sumberdaya (X2), disposisi (X3) dan

struktur birokrasi (X4). Variabel terpengaruh (Y) berbeda. Y penelitian D5 adalah

kemandirian kelompok tani, sedangkan Y penelitian D6 (dalam naskah disebut Z)

adalah pendapatan petani, sedangkan implementasi kebijakan perberasan variabel

antara Z (yang disebutnya Y). Konstruksi kerangka pemikiran D5 adalah:


Konstruksi teoretik D6 sebagai berikut:

Teori dikonstruksi seperti Gambar 17 untuk menjawab empat pertanyaan masalah

penelitian D5 yang semuanya dimulai dengan pertanyaan: “Bagaimana pengaruh X

terhadap Y?” yang dijawab dengan empat hipotesis “X berpengaruh terhadap Y,” dan

Gambar 18 untuk menjawab enam pertanyaan yang semuanya dirumuskan dengan

“Apakah X berpengaruh terhadap Y?” dan dijawab dengan enam hipotesis: “X

berpengaruh terhadap Y.” Jadi pertanyaan yang berbeda dijawab dengan jawaban yang

sama (Tabel 1).


Segera terlihat bahwa terdapat inkonsistensi antara pertanyaan dengan jawaban pada

D5. Pertanyaan “bagaimana” (“how”) dalam bahasa Indonesia menunjukkan beberapa

makna (arti), yaitu sebagai proses yaitu contingent atau necessary factors yang

diperlukan untuk menghasilkan suatu output, dan sebagai kualitas, misalnya “baik,”

“lancar,” dan sebagainya. Jadi pertanyaan “bagaimana” dalam arti pertama, sangat

penting, dan berkaitan erat dengan pertanyaan “mengapa.” Jika “mengapa” bertanya

tentang penyebab penyakit, “bagaimana” bertanyan tentang cara mencegah dan

mengobatinya. Sudah barang tentu, pertanyaan “bagaimana” dalam arti kedua hanya

layak untuk penelitian kualitatif yang langsung dapat menjawab dengan fakta empirik.

Jawaban “berpengaruh” pada Tabel 1 menunjukkan output, bukan proses atau kualitas.

“Apakah X berpengaruh terhadap Y,” merupakan pertanyaan yang di dalam metodologi

diibaratkan pesawat yang sedang mengalami gangguan di udara dan sibuk mencari

lapangan untuk pendaratan darurat. Atau laksana seorang penjual suatu obat (X) yang

lagi ingin mengetahui penyakit apa (Y) yang bisa disembuhkan dengan obat itu. Inilah

“logika” birokrasi! Birokrasi memiliki kekuasaan atau alat, dan ingin tau, dengan

kekuasaan atau alat itu ia bisa apa. Seharusnya, seorang peneliti Kybernologi ibarat

pesawat yang hendak take off.


Dari FOR (frame-of-reference) fihak yang diperintah, yaitu pelanggan, korban, dan

mangsa pemerintahan ia berangkat. Penyakit apa yang sedang diderita masyarakat?

“Mengapa. . . .” (diagnosis) itulah pertanyaan yang diibaratkan sebagai “take off.”

Pertanyaan itulah yang membawa peneliti ke arah hubungan kausal antara Y dengan X.

Jika terjawab “Disebabkan oleh. . . . . ,” atau “Karena. . . . .” maka terapinya dengan

tepat dapat didefinisikan. Jadi pertanyaan yang jauh lebih tepat ialah “Faktor apa

sajakah yang mempengaruhi Y?” D5 mengutip Edwards III yang menyatakan

bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu

komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi. Kata “factor” berarti “a

maker,” “doer,” “performer,” yang memfaktakan sesuatu, yang membuat sesuatu

menjadi fakta (faktual). Variabel bebas atau variabel yang mempengaruhi

(berpengaruh, X) adalah faktor. Dalam deduksi teoretik disertasinya, D5 memosisikan

komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi sebagai variabel X, tetapi

pada kerangka pemikiran, sebagai dimensi variabel implementasi kebijakan. Jadi

seharusnya, model penelitian D5 seperti model penelitian D6 (Gambar 18). Tetapi

dengan demikian timbul persoalan baru. Mana variabel-antara (intervening variable

sekaligus contingent factors) D5? Andaikata baik D5 maupun D6 memosisikan

implementasi kebijakan sebagai variabel-antara Z, mana dimensi-dimensi variabel,

yaitu aspek-aspek variabel yang hendak diukur? Dimensi implementasi kebijakan

perberasan D6 hanya satu yaitu harga dasar beras. Apakah harga dasar beras dapat

diposisikan sebagai dimensi implementasi kebijakan perberasan?


Dengan demikian, kerangka pemikiran penelitian D5 dan D6 disarankan seperti

Gambar 19 dan Gambar 20. Oleh sebab itu, kalimat “Besarnya pengaruh X

terhadap Y ditentukan oleh. . .” bukan hipotesis penelitian.

Ada juga yang berusaha menjawab pertanyaan “seberapa besar” itu dengan hipotesis

berbunyi: “Semakin tinggi X, semakin tinggi Y” (hubungan positif) atau “Semakin

tinggi X, semakin rendah Y” (hubungan negatif). Jawaban yang berbunyi demikian

bukanlah jawaban terhadap pertanyaan “seberapa besar,” tetapi jawaban terhadap

pertanyaan “bagaimana sifat hubungan antara X dengan

Y.” Pertanyaan ini didahului dengan pertanyaan “Adakah hubungan teoretik antara Y

dengan X?” Barulah kemudian: “jika ada, bagaimana sifat hubungan itu?” “Besarnya
pengaruh,” yang ditunjukkan oleh koefisien hubungan (r) atau pengaruh R) pada

hipotesis berepsilon, bias, tidak sesuai dengan fakta. Lebih-lebih di bidang Ilmu Sosial,

akurasi temuan penelitian, dalam hal ini “besarnya pengaruh,” relative. Penyebabnya

antara lain faktor “science is not portable,” “sufficient factors” yang tidak lengkap,

“contingent factors” yang sulit diidentifikasi mengingat proses social bersifat culture

bound, dan contingent factor diwarnai oleh cultural lag, hubungan antar faktors yang

berbeda-beda dan berubah-ubah, sehingga selalu saja ada faktor yang belum diketahui.

Jika diketahui sekalipun, mungkin sulit diteliti. Hal-hal itu membuka ruang abu-abu

yang disebut factor epsilon. Mengingat epsilon itu, pertanyaan “Bagaimana X

mempengaruhi Y,” atau “Di bawah kondisi apa X mempengaruhi Y,” jauh lebih

penting ketimbang pertanyaan “Seberapa besar” itu, demikian Kerlinger dan Babbie di

atas. Sebab, walaupun koefisien hubungan itu diketahui, selalu saja koefisien itu bias.

Jarak konseptual antara X dengan Y menunjukkan bobot masalah pemikiran, dan pada

gilirannya hal itu menunjukkan tingkat kebutuhan akan eksplanasi atau prediksi

hubungan antar keduanya. Semakin jauh jarak konseptual antara X dengan Y,

semakin tidak pasti hubungan, semakin berat bobot masalah, semakin besar teori

yang diperlukan., pengaruh X terhadap Y (Gambar 21). Adapun abstractness

konsep diukur dengan tingkat operasionalitasnya. Semakin operasional konsep,


semakin berkurang abstractness-nya. Dalam hubungan itu, tingkat abstractness X

sebaiknya setara dengan tingkat abstractness Y, agar “jembatan” (hubungan antara

keduanya) tidak “nungging” atau timpang, tetapi relatif rata (setara). Semakin abstrak

konsep atau variable, semakin jauh jarak konseptual antar konsep atau variabel,

semakin besar teori yang diperlukan untuk menerangkan atau meramalkan

hubungan antara X dengan Y. Semakin banyak konsep yang direkonstruksi,

semakin rumit hubungan yang terjadi, semakin besar teori. Pada tingkat tertentu,

teori seperti itu disebut Teori Besar (Grand Theory). Selanjutnya, semakin besar

atau kuat dukungan variable penyangga (variable antara, contingent factor),

kemerosotan pengaruh X terhadap Y semakin kecil atau semakin lemah, dan

explanatory power pemikiran semakin kuat (masalah pemikiranpun semakin jelas).


BAHAN (BOK):

OBJEK MATERIA DAN OBJEK FORMA

Berbagai pendekatan diperlukan untuk menemukan ruang sasaran atau objek.pemikiran

ilmiah. Suatu pendekatan (pendaratan, approaching) menunjukkan titikpandang

terpandang (Y, fenomena, unknown) dari sebuah sudutpandang pemandang (X,

knower), alat yang digunakan untuk memandang- nya (Z, knowledge, teori), dan

proses (-------> knowing), Gambar 22.

Pendekatan awal Kybernologi bertolak dari sebuah dalil Filsafat Ilmu berbunyi credo et

intelligam (percaya baru tau). Pendekatan ini disebut pendekatan metadisiplin,

karena pada saat Y dipandang, alat memandang bukanlah pengetahuan (teori

Kybernologi), karena Kybernologi pada saat itu secara formal belum ada, melainkan

credo. Kalaupun pemandang X menggunakan alat Z, alat itu bukanlah Kybernologi,

melainkan kompleks disiplin lain, misalnya Teologi, Filsafat, Fisika, Biologi,

Demografi, Sosiologi, Politik, dan sebagainya. Kompleks inilah sumber bangunan

Ontologi Kybernologi (Gambar 23).

Dengan pendekatan metadisiplin itu, terlihat hubungan pemerintahan (Gambar 23.

Hubungan pemerintahan itu terdapat dalam setiap masyarakat. Dalam hubungan

pemerintahan itu berlangsung interaksi antar subkultur masyarakat (Gambar 1).


Dari interaksi itu terbentuk fenomena pemerintahan yang merupakan objek materia

semua disiplin ilmu pengetahuan, dan common platform Ilmu-Ilmu Sosial. Selanjutnya

lihat Gambar 24. Objek forma Kybernologi mulai terkuak tatkala pemandang

mendaratkan pandangannya pada sudut manusia dengan HAM dan kebutuhan dasarnya,

lingkungan dengan keberlanjutannya (Gambar 2). Objek forma semakin jelas manakala

pengakuan, perlindungan, dan pemenuhan kebutuhan itu tidak diletakkan di ruang

peran Ilmu Ekonomi (pasar bebas) tetapi pada peran Negara (Gambar 25)
Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan lama dan pembangunan BOK baru bernama

Kybernologi berlangsung di bawah sejumlah anggapan dasar (Bab 1 Kybernologi

2003). Misalnya anggapan dasar berbunyi: “Pemerintahan Sejajar Dengan Proses

Produksi Dengan Konsumsi,” atau “Jangan Beli Kucing Dalam Karung.” Setelah

konsep-konsep ditemukan dan hubungan antar konsep direkonstruksi, terbentuklah

BOK Kybernologi dalam wujud monodisiplin (Gambar 24). Kybernologipun

mengembangkan dirinya melalui pendekatan-pendekatan lanjutan seperti di bawah ini

(Gambar 26).
Model c Gambar 26 menunjukkan pendekatan multidisiplin. Pendekatan ini digunakan

untuk merekam dan mempelajari suatu masalah dari berbagai sudut yang berbeda guna

menemukan objektivitas pengetahuan dan keseimbangan kebijakan. Model d

digunakan oleh suatu disiplin dalam berinteraksi dengan disiplin lainnya yang berbeda

dalam rangka mengembangkan diri agar tetap dalam paradigma normal science. Model

ini adalah lanjutan model c. Interaksi itu berlangsung dalam bentuk saling meminjam

konsep atau metode. Sudah barang tentu berdasarkan norma, kode etik, dan dengan

teknik yang lazim di dunia akademik. Sebagai contoh adalah scientific movement
berjudul reinventing government akhir abad yang lalu. Gerakan ini meminjam konsep

entrepreneurship

dari ruang Ekonomi-Bisnis, sehingga di Indonesia banyak menimbulkan salah- faham:

“Apa pemerintahan dijual-beli?” Model e adalah pengembangan dan lanjutan model d.

Model e digunakan untuk memupuk kerjasama maupun kerjabersama antar disiplin

secara sistematik. Dengan pendekatan itu, antara Ilmu Politik dengan Kybernologi,

misalnya, muncul kajian hibridal bernama Politik Pemerintahan yang digunakan oleh

IPDN sebagai nama salah satu fakultasnya. Pendekatan sentripetal dari luar ke dalam

ruang Kybernologi itulah yang terlihat pada Pohon Kybernologi. Bab II Kybernologi

Beberapa Konstruksi Utama, 2005) menunjukkan Pohon Kybernologi yang tertanam,

berakar, tumbuh dan berbuah melalui berbagai pendekatan: metadisiplin, monodisiplin,

multidisiplin, inter- disiplin, dan lintasdisiplin (transdisiplin). Kekuatan sentripetal

melahirkan hibrida dari luar (Politik) ke dalam pemerintahan, misalnya Politik

Pemerintahan. Baca juga Bab 35 Kybernologi, 2003.

Dalam perkembangan lebih lanjut, melalui pendekatan yang sama, antar disiplin

misalnya Kybernologi dengan Ilmu Politik, didorong oleh kekuatan sentrifugal dari

dalam Kybernologi, lahir hibrida sebaliknya, yaitu Kybernologi Politik. Kekuatan

sentrifugal tersebut menggerakkan pengkajian lain ke arah berbagai disiplin di luar


Kybernologi: Kybernologi Pertanian dengan Agro-Pemerintahan, Kybernologi

Administrasi dengan Administrasi Pemerintahan, dan seterusnya. Perkembangan ini

direkam dalam Kata Pengantar buku Menuju Ke Pemikiran Kybernologi Pertanian dan

Agro-Pemerintahan (2009). Sebagian Kata Pengantar itu dikutip sebagai berikut. Seri

Kybernologi yang sekarang berada di tangan Pembaca berjudul Menuju Ke Pemikiran

Kybernologi Pertanian dan Agro-Pemerintahan. Bab I sampai dengan bab V berisi dua

hibrida bangunan rekonstruksi buah kajian dengan pendekatan lintasdisiplin antara

Kybernologi dengan Agronomi atau Agronomics. Hibrida pertama disebut Kybernologi

Pertanian dan hibrida kedua oleh Dr Ir A. H. Rahadian, MSi dan Dr Ir Abdul Samad

Melleng, MM, co-writers buku ini, diberi nama kajian Agro-Pemerintahan, dapat

dibaca dalam Bab III, IV, dan V buku ini. Bab III dan Bab IV pernah dimuat dalam Bab

VI dan VII Kybernologi dan Pengharapan (2009), Bab I terdapat dalam Bab IX

Kybernologi Sebuah Metamorphosis (2008), sedangkan Bab II berasal dari Bab Bab IV

Kybernologi Sebuah Rekonstruksi Ilmu Pemerintahan (2005). Kajian Agro-

Pemerintahan adalah kajian tentang kebijakan pemerintahan dilihat dari sudut

Agronomi (Agronomics) guna mengimbangi kajian tentang kebijakan pertanian dilihat

dari sudut kepentingan politik dan birokrasi yang dalam kondisi sekarang sangat

mendominasi pemerintahan. Bangunan rekonstruksi buah pendekatan lintasdisiplin

lainnya terdapat di dalam Kybernologi Politik dan Kybernologi Administrasi (2009).

Penggunaan pendekatan lintasdisiplin didorong oleh dua kebutuhan. Pertama adalah

kebutuhan akan sebuah metodologi yang mampu mengoordinasikan sisi aksiologi

semua disiplin menjadi masukan ilmiah yang memiliki scientific power yang kuat

dalam proses kebijakan publik yang memihak manusia, masyarakat, dan pelanggan.

Nama Max Weber (1864-1920) disebut-sebut berkaitan dengan kebutuhan yang


pertama beserta jawabannya. Hampir seratus tahun yang lalu kebutuhan kedua telah

dirasakan oleh para pelopor Bestuurskunde, Regeerkunde dan Bestuurswetenschap (ref.

Bab I GBPP Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2009). Tentang hal ini, van Poelje

dalam Pengantar Umum Ilmu Pemerintahan (1959) menyatakan:

. . . . . . bahwa berbagai ilmu pengetahuan yang bertalian dengan salah satu bagian

dari penguasaan (beheer) perusahaan partikelir pada akhirnya bermuara pada

suatu ajaran perusahaan umum (algemene bedrijfsleer) yang meliputi

kesemuanya dan bahwa ajaran tentang penguasaan perusahaan- perusahaan

partikelir ini setidak-tidaknya untuk sebagian merupakan syarat bagi adanya

ilmu pengetahuan yang lebih tinggi daripadanya, ialah Ilmu Pemerintahan

(Bestuurskunde, Bestuurswetenschap, dan Bestuurswetenschappen, TN).

Gambar 27 menunjukkan carakerja metodologi lintasdisiplin. Agronomi (Agronomics)

dan Teknologi Civil mewakili berbagai disiplin yang sisi aksiologinya jadi masukan ke

dalam proses kebijakan. Metodologi itu bekerja pada 9 terminal dan 9 rute. Dari

terminal 1 Agronomi melalui rute 1 yaitu pendidikan (pengajaran), keilmuan

(pengetahuan) di bidang pertanian (terminal 2) ditanamkan kepada peserta diklat. Dari

terminal 2 melalui rute 2 pelatihan pertanian terbentuk profesi bidang pertanian

(terminal 3). Dari terminal 3 melalui rute recruitment (rute 3), profesional pertanian

diangkat menjadi pegawai Dinas Pertanian (terminal4). Sebagai pegawai pemerintahan,

PNS Dinas Pertanian wajib memahami proses kebijakan pemerintahan daerah sebagai

dasar implementasi dan monev kebijakan pemerintahan daerah di bidang pertanian.

Melalui rute 4 diklat profesional


pemerintahan, ia diharapkan mampu memahami kebijakan pemerintahan daerah

tersebut (terminal 5). Dari terminal 5 melalui competence building workshop (atau

apapun namanya, rute 5), terbentuk kompetensi PNS Dinas Pertanian sebagai aparat

pemerintahan daerah (terminal 6).Oleh setiap orang yang berdiri di terminal 5 dan

memandang sekeliling, terlihat bahwa pertanian, profesi pertanian, pegawai Dinas

Pertanian, dan sebagainya, hanya sebuah matarantai antar berbagai matarantai

pemerintahan lainnya. Satu dengan yang lain berhubungan interdependen. Kinerja yang
satu ditentukan oleh dan atau bergantung pada kinerja yang lain. Sementara itu

lingkungan berubah dan masa depan tidak menentu. Konstruksi pemikiran tersebut

berakhir pada pertanyaan, apakah pemerintahan itu? Apakah nilai-nilai dasar

pemerintahan? Pertanyaan pertama dijawab dengan definisi:

Pemerintahan adalah proses interaksi antar subkultur ekonomi (SKE),

subkultur kekuasaan (SKK), dan subkultur sosial (SKS dengan dua

kualitasnya yaitu sebagai konstituen dan sebagai pelanggan), di dalam

masyarakat, dalam upaya mengejar kebahagiaan rohani dan jasmani yang

sebesar-besarnya tanpa merugikan orang lain secara tidak sah).

Definisi tersebut adalah kombinasi Teori Governance dengan ide yang terkandung

dalam definisi Regeerkunde menurut van de Spiegel. Dari definisi itulah Kybernologi

yang dalam Gambar 27 terletak pada terminal 9, bermula. Melalui sistem pendidikan

akademik (rute 9), keahlian di bidang pemerintahan ditanamkan di dalam diri

pesertadidik (terminal 8), dan selanjutnya melalui pendidikan diploma (rute 7)

dibentuk profesi pemerintahan (terminal 7). Antara terminal 7 dengan terminal 5, yaitu

pada terminal 6, timbul pertanyaan kedua, yang dijawab dengan definisi: Sistem nilai

dasar pemerintahan adalah Kepamongprajaan. Oleh sebab itu, isi the governance

competence building workshop adalah Kepamongprajaan itu (ref Garis-Garis Besar

Program Pembelajaran Kybernologi dan Kepamongprajaan, 2009).

Kedua adalah penggunaan pendekatan lintasbudaya dengan menggunakan sebuah

teknik pemahaman kualitatif antar budaya yang berbeda yang lazim disebut triangulasi,

guna menemukan bukan hanya pengertian tetapi lebih daripada itu, saling-pengertian

antar budaya yang berbeda itu, bertolak dari serenity, melalui jembatan yang disebut
empathy. Pengertian yang dicapai melalui jembatan itu disebut Verstehen (empathic

understanding), seperti termuat dalam Bab 14

Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama (2005) dan dalam Bab V Kybernologi Politik

dan Kybernologi Administrasi (2009). Demikian pentingnya Verstehen dalam

metodologi sehingga konsep itu ianggap sebagai puncak bahan bangunan Kybernologi.
BAHAN BOK: VERSTEHEN

Ada tiga hal yang melatarbelakangi pentingnya pendekatan ini. Dua di antaranya

berkaitan dengan praktik politik, dan satu yang berkaitan dengan metodologi.

Pertama artikel Sofyan A. Djalil “Harga BBM dan Masa Depan Indonesia,” (Kompas,

121005) “Kali ini saya amat sedih, Pak Effendi, logika opposisi Anda tanpa berempati

sedikit pun pada kesulitan negara yang begitu parah: . . . . . . ,“ kedua, pernyataan Alwi

Shihab “Pasti ada kendala, tetapi persentasenya sangat kecil,” (sehingga dapat

diabaikan) ujar Alwi di Jakarta kemarin (Kompas, 181005), dan ketiga penggunaan

pendekatan kualitatif dalam penelitian pemerintahan pada tingkat pascasarjana di

lingkungan UNPAD (S2 sejak 1996 dan S3 sejak 2000).

Empathy vs Sympathy. Kata empathy berasal dari bahasa Gerik empátheia, affection

(em-, in- dan pathy, pátheia, suffering, feeling), berarti “intellectual identification with

or vicarious experiencing of the feelings, thoughts, or attitudes of another person,”

dan “the imaginative ascribing to an object, as a natural object or work of art, feeling

or attitudes present in oneself.” Makna empathy kemudian dipengaruhi oleh konsep

Jerman Einfühlung. Kata tersebut berkaitan dengan kata sympathy (Latin sympathīa,

Gerik sympátheia, dari sym-, before, syn, co-, with, dan páth(os), suffering, feeling),

berarti “harmony of or agreement in feeling, as between persons or on the part of

one person with respect to another,” dan “a quality of mutual relations between

people or things whereby whatever affects one also affects the other.” Arti kedua ini

mirip sekali dengan ungkapan tat twam asi, semboyan Kementerian Sosial dahulu kala,

yang berarti “aku adalah engkau,” “engkau adalah dia,” dan “dia adalah aku.” Apa

yang dirasakan oleh yang satu, dirasakan juga oleh yang lain. Simpati timbul karena

adanya kesamaan atau ketertarikan.


Apakah hubungan empati dengan simpati? W. Lawrence Neuman dalam Social

Research Methods (1997, 356) menyatakan bahwa “Empathy does not necessarily

mean sympathy, agreement or approval; it means feeling things as another does.”

Thomas A. Schwandt, “Constructivist, Interpretivist Approaches to Human Inquiry,”

dalam Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, (eds), Handbook of Qualitative

Research (1994, 120) menggambarkan empati itu sebagai “getting inside the head

of another,” didukung oleh sikap etik dan emik (amïc). Berdasarakan analisis

hermeneutic (hermeneutics, Teori Pengertian, “a theory of meaning,” Ilmu Penafsiran,

“making the obscure plain,” (lihat Neuman, 1997, 68) dapat dikatakan bahwa empati

adalah konsep metodologi, yaitu cara memahami perasaan, sikap, dan tindakan

subjek yang diamati dengan menggunakan “intellectual identification,” didorong

oleh keingintahuan yang dalam (curiosity), untuk menafsirkan fenomena sosial

sehingga terlihat perbedaan, uniqueness, kualitas, karakteristik, antara yang satu

dengan yang lain sebagaimana adanya, sedangkan simpati merupakan konsep yang

digunakan untuk memahami proses sosial yang terjadi antar pelaku yang berbeda-

beda, yang terjadi berdasarkan adanya ketertarikan atau kesamaan. Jadi seseorang

bisa bersimpati melalui empati, dan bisa juga bersimpati tanpa melalui empati

melainkan melalui kesamaan atau ketertarikan satu dengan yang lain. Dalam Gambar

28, A menggunakan FOR B. Dalam Gambar 29, simpati A terhadap B terbentuk karena

adanya ketertarikan atau kesamaan antara keduanya.


Membangun kebersamaan dan kesepakatan bisa melalui pendekatan kuantitatif dan bisa

juga melalui pendekatan kualitatif. Dengan pendekatan kuantitatif orang berbicara

tentang dan memihak (ke)pada dominasi, mayoritas, kuorum,

pembenaran, voting, kurva normal, rata-rata, generalisasi, statistik, exchange,

bargaining, kekuasaan, dan sebangsanya. Alwi Shihab dalam pernyataannya di atas,

menggunakan pendekatan kuantitatif. Berdasarkan pendekatan kuantitatif, maka yang

kalah, minoritas, yang tidak terdaftar, powerless, tontonan, korban, mangsa, dianggap

tidak ada, atau dapat diabaikan. Pendekatan kualitatif adalah kebalikannya. Pendekatan

ini telah dibahas dalam, Kybernologi (2003), Bab 36, Melalui pendekatan kualitatif

yang dijadikan pegangan oleh peneliti dalam mereproduksi dalam pikirannya “the

feelings, motives, and thoughts behind the action of others,” adalah frame-of-reference

(FOR) subjek yang diamatinya, sedangkan dengan pendekatan kuantitatif, peneliti

menggunakan FORnya sendiri. Dengan pendekatan kualitatif, sekecil apapun hal yang
diamati, ia mempunyai kualitas dan nilai, dan oleh sebab itu ia tidak pernah dianggap

tidak ada, dan kehadirannya tidak pernah terabaikan. Sama seperti tubuh manusia.

Komponennya yang kelihatannya terkecil, terlemah, ternyata memberi sumbangan vital

terhadap keseluruhan.

Terlepas dari persoalan, pendekatan mana yang digunakan, hubungan antara nilai

empati dan simpati dengan kedua pendekatan (kuantitatif dan kualitatif), dapat

digambarkan sebagai berikut (Gambar 30). Gambar 30 menunjukkan hubungan

jalur antara empati dengan simpati. Simpati dapat terbentuk melalui empati (sel 4

melalui sel 3). Yang dimaksud oleh Sofyan A. Djalil dengan empati adalah empati

dalam sel 1, sedangkan simpati yang diharapkan terbentuk melalui pernyataan

Alwi Shihab adalah simpati dalam sel 2.

Alwi

Shihab membenarkan kebijakan pemberian kompensasi BBM langsung tunai kepada

orang terdaftar miskin, kendatipun banyak yang sesungguhnya tidak berhak tetapi

terdaftar, dan sebaliknya banyak yang berhak tetapi tidak terjangkau pendaftaran,

sementara banyak pula orang melarat lanjut usia setelah menempuh perjalanan yang
jauh, antri berjam-jam, berdesakan, bahkan ada mati terinjak- injak, tetapi itu

semua, dianggap tidak apa-apa, karena “persentasenya sangat kecil.” Jika seorang

yang usil bertanya: “Jika orang tua miskin yang terinjak itu, Anda sendiri,

bagaimana?” Dia diam, tidak menjawab, atau dia menjawab dengan ketus: “Boro-boro

saya miskin, bahkan sayalah yang membuat orang miskin dan terinjak. Anda tau, kan,

saya tidak miskin, oleh sebab itu saya tidak bisa me- ‘reproduce in my own mind

the feelings, motives, and thoughts behind the action of other’” (“feelings” dibaca

“sufferings,” “misery”).

Apakah melalui perbedaan (sel 3, Gambar 30) orang bisa tiba pada kebersamaan (sel

4)? Bisa, “through diversity toward unity,” atau E Pluribus Unum, demikian proposisi

satu Eduard C. Lindeman dalam T. V. Smith dan Eduard C. Lindeman, The

Democratic Way of Life (1955, 112), dan demikian juga makna Bhinneka Tunggal Ika.

Bisa, jika sikap terhadap perbedaan bahkan heterogenitas, bertolak dari serenity:

“Menerima secara sadar dan ikhlas apa adanya.” Seperti tajuk doa Reinhold Niebuhr

(1892-1971):

God,

Give us grace to accept with serenity

The things that cannot be changed

Courage to change the things

Which should be changed

And the wisdom to distinguish

The one from the other


Konsep empati dan simpati tidak terpisahkan dengan konsep pengertian

(understanding). Salah satu bentuk understanding adalah empathic understanding

yang dalam bahasa Jerman disebut Verstehen. “It (Verstehen) must mean an act of

sympathetic imagination or empathic identification on the part of inquirers that allowed

them to grasp the psychological state (i.e. motivation, belief, intention, or the like) of

an individual actor,” demikian Schwandt. Bisa saja peneliti bermaksud mengenal

seorang aktor dengan motif ketertarikan (sympathetic imagination) dan bukan karena

ingin mengenalnya sebagaimana adanya. Menurut Max Weber, Verstehen adalah

“empathic understanding or an ability to reproduce in one’s own mind the feelings,

motives, ang thoughts behind the action of others.” Konsep Verstehen terkenal di

lingkungan Humaniora, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Sosial lainnya, dan

dijadikan dasar pendekatan kualitatif Metodologi Penelitian Sosial. Adalah Wilhelm

Dilthey yang mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi Naturwissenschaft yang

tersusun berdasarkan abstract explanation (Erklärung) dan Geisteswissenschaft

yang berakar dalam “an empathetic understanding, or Verstehen, of the everyday lived

experience of people in specific historical settings” (Neuman, 1997, 68). Tujuan

Naturwissenschaft adalah scientific explanation, sedangkan Geisteswissenschaft “the

grasping or understanding (Verstehen) of the “meaning” of social phenomena”

(Denzin dan Lincoln, 1994, 119).

Menurut Schwandt ada dua pendekatan yang digunakan dalam human inquiry.

Pertama, pendekatan constructivist yang berpendapat bahwa “knowledge and truth are

created, not discovered by mind,” dan kedua pendekatan interpretivist, yang

menyatakan “. . . the facts of the world are essentially there for study. They exist

independently of us as observers, and if we are rational we will come to know the


facts as they are.” Lepas dari persoalan tersebut, diperlukan adanya intersubjective,

common meanings---“ways of experiencing action in society which are expressed in

the language and descriptions of institutions and practices.” Oleh sebab itu,

“Accordingly, constructivists and interpretivists in general focus on the processes by

which these meanings are created, negotiated, sustained, and modified within a specific

context of human action. The means or process by which the inquirer

arrives of this kind of interpretation of human action (as well as the ends or aim of the

process), is called Verstehen (understanding)” (Denzin dan Lincoln, 1994, 120).

Jadi jelaslah, Verstehen adalah proses dan temuan proses penafsiran fenomena sosial

dan perilaku manusia melalui pendekatan kualitatif penelitian. Pentingnya Verstehen

itu dijelaskan oleh Max Weber sebagaimana dikutip oleh Neuman (1997, 68):

“Weber argued that social science needed to study meaningful social action,

or social action with a purpose,” karena mengerti tidaknya seseorang akan suatu

hal pada akhirnya menentukan pola perilaku yang bersangkutan. Untuk Indonesia,

konsep Verstehen sebagai metode sangat penting, mengingat budaya Indonesia adalah

budaya yang sangat kaya, sangat beragam, purba, unik, tetapi minat untuk
mengungkapkannya semakin lemah, sementara FOR generasi sekarang jauh berbeda

dengan FOR generasi pelaku budaya pada zamannya. Menurut Metodologi Sejarah,

nilai-nilai purba dapat diungkapkan melalui Verstehen, bilamana peneliti mampu

berempati dengan masa lampau, menempatkan diri seolah-olah berada di masa silam

itu. Hanya saja, biaya penelitian dan pelestariannya mahal. Belum lagi pola perilaku

sosial yang bersifat covert, tertutup, tidak jelas (wayang), “lain di mulut, lain di hati,”

lain yang tersurat, lain yang tersirat. Melalui Verstehen, ada apa di belakang perilaku

manusia, bahkan mungkin di bawah sadarnya sebagaimana adanya, bisa terungkap, bisa

difahami. Verstehen bisa menggambarkan perilaku teror dan menyawab pertanyaan

mengapa seseorang menjadi teroris, tetapi dengan Verstehen orang tidak bisa

membenarkan terorisme. Dilihat dari sudut ini, Metodologi Kualitatif unggul dalam

pengungkapan nilai dan sistem nilai, sementara Metodologi Kuantitatif dapat

digunakan untuk memproses norma. Teknik dan prosedur yang harus ditempuh guna

menemukan Verstehen di belakang dan teori tentang fenomena yang diamati,

diuraikan oleh Anselm Strauss dan Juliet Corbin dalam

Basics of Qualitative Research (1990) dan Joseph A. Maxwell dalam Qualitative

Research Design (1996).


Aplikasi langkah-langkah tersebut pada Gambar 32, diawali dengan pertanyaan tentang

manusia sebagai fihak ketiga: “Manusia, yang diingat apanya?” Sekarang manusia

jadi rebutan. Bahkan penyandang tuna sekalipun. Yang sehari- harinya dipandang

sampah! Kabarnya menjelang pemilu 2009 KPU telah menyiapkan alat dan cara buat

para penyandang tuna dan onggokan sampah ini suatu saat bagi orang lain tahun depan.

Sebenarnya metodologi ini sudah lama digunakan oleh sektor bisnis. Terutama

marketing. Sebuah keluarga kumuh sekali- sekalinya seperti mendadak (padahal sudah

direkayasa sebelumnya) dikunjungi seorang selebriti TV biasanya perempuan

didampingi seorang kamerawan lelaki yang membawa sebuah bingkisan yang berharga

disertai ucapan selamat dan pelukan mesra dari siperempuan. Tentu saja itu bingkisan

apa segepok uang diterima bak jatuh dari langit dengan syukur dan cium tangan oleh

keluarga yang ketiban. Apakah dengan memberikan sebingkis hadiah kepada keluarga

kumuh itu, kemiskinan berkurang? Andalah yang menjawab. Yang penting adalah

udang di balik batunya: guna menaikkan rating TV doang. Siasat partai politik (parpol)

demikian jualah. Parpol lantas menirunya dengan menggunakan label kepedulian kiri

kanan. Itulah yang terbaca tgl 7 Oktober 09 di halaman 8 Kompas, “Narasi Baru Partai

bla bla bla.” Atau label “kemanusiaan,” seperti yang terbaca --- lagi- lagi --- dalam

Kompas, 8 Oktober 09, juga di halaman 8, “Amien Rais Beri Nasihat. . . . ,” agar

kampanye “. . . memunculkan sisi kemanusiaan, tokoh politik bisa berkomunikasi

dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat.” Bukan hanya parpol,

perseorangan juga yang merasa terpanggil untuk dipilih, menggunakan komunikasi

politik dalam bentuk iklan. Bahasa gaulnya taktik tebarpesona. Foto diri berpakaian

rapi dengan senyuman manis, memikat ratusan ribu pemudik. Atau melancarkan “Surat

Buat Semua” (Kompas 5 Agustus 08, halaman 11). Mula-mula ia menyapa sini-sana,

memperkenalkan diri siapa dia, mengidentifikasi dirinya dengan simbol-simbol tertentu


guna menarik simpati, mengapa dia dan bukan orang lain, maunya supaya bla bla bla,

dan bahwa “bersama kita bisa!” mewujudkannya. Memperkenalkan diri saja

menggunakan berbagai cara. Ada yang memperkenalkan diri sebagai “Generasi Baru,”

pembawa “Harapan Baru,” bintang tunggal di angkasa dua nol nol sembilan, ada yang

memromosikan partainya, yang satu dengan semboyan “Berjuang Untuk Rakyat,”

sedangkan yang lain dengan semboyan “Hidup adalah Perbuatan.” Nampaknya,

menjelang setiap pemilihan umum (pemilu), baik nasional maupun lokal (pilkada),

legislatif maupun eksekutif, manusia yang sehari-harinya dianggap sampah, terlunta-

lunta, wuih bau dan joroknya!, mendadak sontak diburu, dicari dirayu dan diiming-

iming oleh Tim Kampanye atau Tim Sukses yang tersebar di mana-mana. Juga oleh

wartawan dan tim konsultan pemilu. Rupanya jasad yang tinggal kulit pembalut tulang

itu semasih bisa nyoblos (nyontreng) atau memberi tanda bahwa ia masih bernyawa,

pasti dikejar, dibutuhkan. Apa pasal? Rupanya ia mempunyai sesuatu yang setara

dengan “Vox Dei,” suara Tuhan. Luarbiasa! Bahwa kendatipun demikian, sesudah itu

kemudian “Vox Populi” hanya dihargai seikatkepala, sebaju kaosoblong, atau

limasepuluh-ribuan buat nyeterik mentari seharian sembari berteriak “Hidup!!!” dan

mendengar slogan-slogan, siapa yang mempersoalkannya? Cacing yang terinjak,

membelalak dibohongi, menggeliat lalu mati, siapa yang peduli? Anti klimaks memang.

Itulah sisi rakyat sebagai pelanggan. Rupanya pada saat-saat menjelang pemilu seperti

sekarang manusia diingat karena butuh suaranya, di waktu sesudahnya manusia diingat

karena butuh telinganya untuk mendengar kebohongan, sementara itu mata manusia

selamanya tidak dibutuhkan supaya ia tidak melihat kenyataan lalu pasrah belaka.

Itulah yang terjadi di ruang politik, dipanggung sandiwara.

Disusul dengan pertanyaan: “Apatah salah Ibu mengandung?”


Apakah di masa lebih tiga dasawarsa Soeharto berkuasa, manusia seutuhnya tidak

diperhatikan? Diperhatikan! Itu termasuk ritual Pancasila, UUD45, dan GBHN. Masih

teringat tiap kali Soeharto “turun kebawah,” berdialog dengan rakyat. Rakyat bertanya,

Soeharto menjawab, rakyat mencurahkan uneg-unegnya, Soeharto menyimak dengan

senyumnya yang memikat. Semuanya lancar sesuai skenario dan arahan sutradara.

Semuanya bertepuk tangan. Tetapi mengapa Mei sembilan-puluhdelapan rakyat yang

sama meng-“impeach”-nya? Sekarangpun begitu. Tidak kurang dari Kementerian

Negara Daerah Tertinggal menetapkan lima prinsip pembangunan daerah tertinggal,

yaitu “berorientasi pada masyarakat,” “sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” “sesuai

dengan adatistiadat dan budaya setempat,” “berwawasan lingkungan,” dan “tidak

diskriminatif.” Tetapi mengapa, mengapa golput semakin membadai, Syamsuddin

Haris menulis tentang korupsi dan delegitimasi DPR (Kompas 5 Agustus 08), dan

Adrianus Meliala berbicara tentang kejahatan Negara (Kompas 23 November 06),

sementara Budiarto Shambazy menyatakan: “Saya janji mau ‘nyoblos’ capres yang

punya resep mengurangi jumlah orang miskin?” (Kompas 7 Oktober 08, halaman 15.

Sebenarnya, pak Budi, gampang. Dengan sebuah tandatangan diubah saja tolokukur,

dan dimainkan statistiknya, jumlah orang miskinpun jamin bisa naik bisa turun dalam

sekejap, walau kemiskinan tetap bahkan semakin berkualitas, hehehe). Jadi ada yang

tidak beres!

Rupanya “bukan salah Ibu mengandung (rakyat begitulah adanya)

melainkan Salah Bapa memandang (menggunakan kacamata kekuasaan).”

Pemerintah ingin supaya mereka yang-diperintah berperilaku tertib, teratur, bersih,

indah, seragam, bila diperintah bergerak serentak, disatukan oleh kepatuhan dan

kesetiaan pada rezim yang berkuasa, ibarat sapulidi yang terikat dengan tali di

pangkalnya. Tetapi sabda alam lain. Kenyataan selalu bersifat jamak dan serbadua,
kapan saja dan di mana saja. Siang dan malam, terang dan gelap, pria dan wanita, benar

dan salah. Setiap eksistensi terdiri dari dua sisi ini. Pemerintah tidak eksis tanpa yang-

diperintah. Hubungan ini merupakan salah satu anggap dasar Teori Governance. Dalam

bahasa Teori Governance, kekuasaan (Negara, Pemerintah) dan kemasyarakatan adalah

dua subkultur yang berbeda yang hadir di dalam setiap masyarakat. Dalam sejarah, di

samping hubungan eksistensial, antara keduanya terbentuk perlahan tapi pasti

hubungan lain yang bersifat kategorial. Dalam kondisi kategorial itu, masing-masing

memiliki referensi yang berbeda tentang hal yang sama. Misalnya “janji” dalam

kampanye. Menurut fihak yang berkampanye, “janji” yang dijualnya kepada pelanggan

adalah “janji,” yang dianggap sudah terpenuhi pada saat “janji” itu dipercaya (dibayar).

Tetapi menurut fihak pelanggan, “janji” adalah “apa yang dijanjikan,” dan oleh sebab

itu ditagih pada suatu saat.

Frame-of-reference (FOR) subkultur yang satu tidak sah untuk digunakan buat

mengukur dan mengevaluasi subkultur yang lain yang FOR-nya berbeda. Menurut

Teori Budaya, bahasa yang digunakan subkultur kekuasaan (SKK) adalah bahasa

authority, force, coercion, violence, sedangkan bahasa subkultur sosial (SKS,

pelanggan) adalah bahasa cacing (diam, elusdada, tutupmulut, jahitmulut, sindiran,

kiasan, dan jika tidak mempan, jika sudah melampaui ambang batas kesabarannya, dia

bisa juga murka tidak alang kepalang

dia adalah semar

dia badai dan topan itu

yang menggeliat karena gencetan

yang bergerak karena penindasan


yang menggilas karena hinaan

yang sanggup mengubah roda zaman

rakyat jelata di mana saja. . . .

(Riantiarno dalam Semar Gugat, 1995).

Oleh perbedaan budaya itu, norma yang dianut oleh satu fihak tidak kompatibel dengan

norma-normanya yang dianut oleh fihak lain yang budayanya berbeda, demikian

sebaliknya, dan bilaman digunakan begitu saja, dipaksakan, timbullah konflik. Jadi

harus digunakan pendekatan empirik lintasbudaya. Demikian juga penelitian

antardisiplin seperti telah dikemukakan dalam pengantar tulisan ini, misalnya antara

ruang Ilmu Politik dengan ruang Ilmu Pemerintahan. Masing- masing ilmu memiliki

metodologinya sendiri. Jadi harus digunakan pendekatan lintasdisiplin.

Sesuai dengan judul, yang ditelusuri dalam tulisan ini adalah Metodologi Ilmu

Pemerintahan (Kybernologi) yang digunakan dalam mempelajari fenomena politik. Di

ruang politik terdapat Pemerintah (A) dengan FORnya sendiri, yang disoroti dengan

menggunakan Metodologi Ilmu Pemerintahan (Gambar 33) oleh yang diperintah (B),

dengan subkultur (FOR) yang berbeda. Sementara fihak A dapat dianggap homogen,

fihak B yaitu masyarakat, heterogen (beragam). FOR fihak A dapat dianggap seragam,

FOR fihak B, beragam, terdiri dari berbagai subkultur.


Gambar 33 menunjukkan A dan B dengan sikap kategorial masing-masing yang tidak

akan memiliki titiktemu. Sikap digambarkan dengan sudut (Gambar 33). Hal itu terjadi

bilamana sudut A = sudut B = 90°. Andaikata salah satu sudut lebih besar daripada 90°,

keduanya pasti ketemu pada suatu titik negatif (titiktemu garis A3A2 dengan garis

B1B) dan itu berarti konflik. Bilamana salah satu sudut A atau B < 90°.keduanya pasti

bertemu pada suatu titiktemu positif. Hal itu terjadi manakala salah satu fihak

mencondongkan sikap ke arah fihak lainnya. Dalam bahasa metodologi disebut: “A

berempati terhadap B,” sebaliknya, atau sama- sama. Semakin majemuk FOR, semakin

berbeda besaran sudut A ketimbang sudut B, semakin sulit menemukan titiktemu X

positif. Semakin berbeda besaran sudut A ketimbang besaran sudut B, semakin jauh

jalan dan jarak yang ditempuh untuk menemukan titiktemu X positif. Titik temu terjadi

entah kapan, entah di mana, jika besaran sudut (A + B) < 180°. Titik temu positif itu

jadi mustahil manakala besaran sudut (A + B) = 180° atau (A + B) > 180°. Artinya

tidak ada kompromi, 100% kategorial. Kondisi itu terjadi, manakala salah satu

mensakralisasi
ideologinya sehingga baginya dua terdiri dari putih dan hitam belaka. Adakah

kemungkin terjadinya “temu” dalam kondisi besaran sudut (A + B) = 180° atau (A + B)

> 180°? Jawabannya ialah “ada,” dengan syarat, yang dicari bukan “titiktemu” X

melainkan “garistemu” Y yang pada Gambar 34 disebut “jembatan.” Jembatan itu bisa

dibangun pada setiap titik yang berseberangan pada garis AX1 dan garis BX2, yaitu

titik-titik A1B1.

Satu-satunya jembatan antar(a) berbagai fihak yang FOR-nya berbeda-beda yang

dapat dilalui oleh suatu fihak tanpa berubah menjadi seperti yang lain, adalah

salingpengertian (mutual understanding). Misalnya ungkapan Jawa yang diucapkan

hari ini Jumat tgl 10, berbunyi “. . . besok. . . ,” jika oleh orang Melayu “besok”

disimak “Sabtu tgl 11,” maka dunia bisa kiamat. Si Melayu murka karena merasa ditipu

mentah-mentah. Padahal sebenarnya yang dimaksudkan oleh si Jawa adalah “kapan-

kapan.” Konflik dapat dihindarkan jika orang Melayu mengerti ungkapan Jawa tersebut

tanpa berubah menjadi orang Jawa, identitasnya tetap orang Melayu. Demikian juga

sebaliknya. Fihak-fihak yang terhubung dengan (berjembatan) suatu pengertian, disebut

saling-mengerti.

Pengertian dan saling-mengerti, cepat atau lambat dapat terbentuk dan tercapai melalui

pelbagai cara di dalam masyarakat. Salah satu cara yang dikenal dalam metodologi

adalah pembentukan pengertian dan pencapaian saling-mengerti melalui empati

(empathy, bukan emphaty). Konsep empati tidak terpisahkan dengan konsep pengertian

(understanding). Salah satu bentuk understanding adalah empathic understanding yang

dalam bahasa Jerman disebut Verstehen. “It (Verstehen) must mean an act of

sympathetic imagination or empathic identification on the part of inquirers that allowed


them to grasp the psychological state (i.e. motivation, belief, intention, or the like) of an

individual actor,” demikian Schwandt. Bisa saja peneliti bermaksud mengenal seorang

aktor dengan motif ketertarikan (sympathetic imagination) dan bukan karena ingin

mengenalnya sebagaimana adanya. Menurut Max Weber, Verstehen adalah “empathic

understanding or an ability to reproduce in one’s own mind the feelings, motives, and

thoughts behind the action of others.”

Dengan menggunakan FOR pemerintah (FOR politik), seorang pejabat atau peneliti

politik dari sebuah universitas besar di Bandung bertanya (berdasarkan laporan bahwa

para PKL kembali mengais di KL semula, lokasi lama, bukan di lokasi baru):

“Seberapa besar pengaruh implementasi kebijakan relokasi terhadap perilaku PKL,”

dan bukan “Mengapa PKL kembali mengais di lokasi lama?” Oleh karena pertanyaan

itu terkait dengan implementasi kebijakan maka perhatian pemikiran terpusat pada

kebijakan dan birokrasi. Peneliti tidak perlu mengenal dan mengerti kondisi pelanggan,

karena bukankah perilaku PKL sudah diketahui, yaitu membangkang, dan

pembangkangan melawan hukum! Tidak kualitatif tetapi kuantitatif. Jembatan antara

A1 dengan B1 tidak terbangun. Angka-angka, persentase, dan grafik, sudah cukup

baginya. Mudah-mudahan melalui penelitian pesanan berbentuk projek dengan

konsultan rekanan yang beken dapat ditemukan alasan pembenaran bahwa biaya

kurang, tenaga kurang, mobil kurang, dsb, sehingga ada dasar untuk meminta semakin

banyak anggaran. . . . . Oleh sebab itu, pertanyaan tersebutlah yang paling disukai.

Tetapi seorang pejabat atau peneliti yang menggunakan FOR pelanggan (FOR

Kybernologi), bertanya “Mengapa PKL kembali mengais di lokasi lama?” Jawaban

terhadap dua macam pertanyaan itu sangat berbeda. Jika fokus perhatian penelitian

berFOR pemerintah terarah pada implementor kebijakan, fokus perhatian penelitian


berFOR pelanggan bertolak dari pengenalan dan pengertian terhadap PKL. Sudah

barang tentu, perhatian terhadap PKL harus jernih dan cerah. PKL jangan dilihat

sebagai pelanggar UU/Perda yang harus diusir dan digelandang oleh satuan PPP,

melainkan sebagai manusia yang ingin hidup meski melarat, dan dilindungi oleh Pasal

27 (2) dan Pasal 34 UUD1945. Jawaban teoretik terhadap pertanyaan “Mengapa PKL

kembali mengais di lokasi lama?” tentu saja menyentuh si implementor: “Karena

kebijakan relokasi PKL tidak diimplementasikan. . . . . . . ” Jawaban hipotetik ini

membangun jembatan yang kokoh antara A1 dengan B1 persoalannya, bagaimana

membangun jembatan? Siapa mengempati siapa? Verstehen tentang apa atau siapa

yang perlu ditemukan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Kybernologi meminjam

konstruksi Ilmu Politik yang menggambarkan body-of-knowledge (BOK) dengan model

atas-bawah (below), struktursupra dengan strukturinfra, dengan menempatkan

kekuasaan di atas dan rakyat di bawah. Rakyat yang di bawah itu berlapis-lapis. Lapis

tengah dan lapis atas ke atas biasanya kekasih kesayangan kekuasaan, karena bisa

menyumbang pajak besar, mudah dirayu dan gampang diajak bertepuktangan.

Sedangkan lapis bawah ke bawah boro-boro menyumbang, bahkan menjadi beban bagi

struktursupra, dan oleh sebab itu dianggap sampah masyarakat (tapi nyontreng atawa

nyoblos sih bisa, mangkanya sudah barang tentu kecuali menjelang pemilu! Iya

nggak?).

Seorang gembala yang kehilangan seekor di antara 100 domba peliharaannya dalam

perjalanan kembali ke kandang pada suatu saat bisa menggunakan metodologi

kuantitatif dan bisa kualitatif. Ia menggunakan metodologi kuantitatif jika ia

berargumentasi: “Domba yang hilang hanya satu persen, masih ada 99% lagi.” Tetapi ia
menggunakan metodologi kualitatif jika ia mengambil keputusan untuk berhenti

sebentar dan mencari seekor yang hilang sampai dapat.

Ini hanya ilustrasi, Tidak dipersoalkan apakah hilangnya si domba karena

kesalahannya sendiri, tidak menaati peraturan. Yang penting ialah maknanya.

Makna ilustrasi di atas ialah, memang keduabelah fihak bisa memulai pemasangan

jembatan dari fihaknya (B1) ke fihak lain (A1), dan sebaliknya. Namun kenyataannya,

manakah yang lebih terbuka, kemungkinan bagi seorang PKL naik ke atas, naik dan

naik lagi untuk memasuki kawasan istana negara atau halaman balaikota untuk

menyampaikan isi hatinya, ketimbang kemudahan bagi presiden atau walikota turun,

turun dan turun lagi untuk mengenal, memahami, dan menyelamatkan manusia

terhilang di liang terbawah?

Mengapa ALLAH peduli terhadap alam semesta

dan Turun melalui FirmanNYA

untuk Menyelamatkan bumi renta

dan manusia berdosa?


Peneliti bisa menggunakan Metodologi Ilmu Pemerintahan berdesain kualitatif seperti

Gambar 35. Melalui metodologi itu, mutual empathic understanding yang sejati tentang

apa saja, kemiskinan, misalnya, dapat terbentuk di dalam benak seorang pemikir. Jika

pejabat atau peneliti menempuh prosedur seperti itu, definisi kekuasaan pasti lain.

Lakukanlah!

BAHAN BOK: OBJEK DAN SUBJEK, WAKTU DAN RUANG,

Pengetahuan manusia terbatas dan tergantung pada objek (sasaran yang ingin

diketahui) dan subjek (fihak yang ingin tau), waktu (time), dan ruang (space). Objek

pengetahuan dipandang dari aras abstrak (lepas dari waktu dan ruang),
(teoretik) adalah keadaan sesuatu (keadaannya) yang ada dan bagaimana adanya, Ada

berarti exist secara objektif lepas dari kesadaran manusia. Pada aras empirik dalam

dimensi waktu dan ruang objek pengetahuan adalah keberadaan sesuatu

(keberadaannya) yang ada dan berada. Berada berarti hadir di dalam waktu dan ruang.

Walau ada jika tidak berada, mustahil diketahui secara empirik.

Adanya sesuatu dalam wujud keadaan (kualitatif dan kuantitatif), sedangkan sesuatu

berada dalam bentuk peristiwa atau kejadian. Peristiwa adalah keberadaan melalui

proses berulang, sedangkan kejadian adalah keberadaan melalui proses sekalilalu,

tidak berulang, unik, khas, kasus, satu-satunya. HUT Kemerdekaan RI berulang setiap

tanggal 17 Agustus tiap tahun (peristiwa), tetapi HUT Kemerdekaan RI tahun 2009

tidak berulang, hanya sekali itu saja (kejadian).


Setiap orang yang ada di dalam keadaan tertentu (sel 1 Gambar 37) berpeluang untuk

berada dalam situasi tertentu (sel 4). Situasi tertentu itu pada gilirannya berfungsi

sebagai variabel dependen (X) yang menimbulkan suasana (Y) tertentu. Suatu situasi

ditandai dengan titikpusat yang disebut S. Misalnya dalam situasi S1 ada mahasiswa M

merasa terlempar ke dalam situasi tidak lulus ujian, namun beroleh kesempatan

mengulang dengan biaya besar. Dalam situasi lain, Sn, ada orang (N) yang jangankan

beroleh kesempatan mengulang, kuliah saja tidak. Jika M hanya menempatkan dirinya

pada situasi S1, ia mungkin gantung diri karena kecewa atau putusasa, Tetapi andaikata

M mampu menempatkan dirinya dalam situasi Sn, ia bisa berkata kepada dirinya

sendiri: “Dibanding dengan mereka, aku masih beruntung. . . . .” Orientasi ke Sn

mengubah suasana hati M dari negatif menjadi positif.

Seseorang sadar mengenal situasi di dalam mana ia berada. Kesadaran senyaris apapun

membawa terang bagi pikiran untuk melihat sesuatu walau masih samar atau tidak

utuh. Melalui kesadaran, orang mengenal sesuatu, berada di dalam waktu dan ruang.

Setiap orang pada suatu waktu berada di dalam sebuah ruang bersituasi. Itu berarti pada

saat itu kesadaran manusia terisi dengan pengalaman. Jika ia merasa sebagai bagian

situasi itu, ia disebut mengalaminya. Dalam hubungan itu, pada saat subjek mengalami

objeknya, jarak antara subjek dengan objek memendek mendekati nol, dan seiring

dengan itu, subjektivitas membesar dan objektivitas mengecil. Subjektivitas membuat

pengetahuan serba relatif, daya generalisasi pengetahuan semakin terbatas.

Suasana “samar dan tidak utuh” dan serba relatif seperti dikemukakan di atas

menggerakkan pikiran untuk melakukan penyelidikan (inquiry). Menurut John Dewey

(Logics, The Theory of Inquiry, 1955),


Inquiry is the controlled or directed transformation of an indeterminate situation

into one that is so determinate in its constituent distinctions and relations as to

convert the elements of the original situation into a unified whole.

Jika inquiry ditafsirkan sebagai proses pemikiran, maka pemikiran adalah transformasi

terkendali suatu situasi yang masih tidak menentu menjadi situasi yang susunan dan

hubungan antar bagiannya jelas, dengan mengubah unsur-unsur situasi awal menjadi

sebuah kesatuan yang menyeluruh. Proses tersebut semakin sulit jika disadari bahwa

pada suatu saat hanya sebagian kecil objek (sasaran) pengetahuan yang terlihat dari

sudut tertentu (sudut A) dengan menggunakan alat dan cara tertentu. Katakanlah

pengetahuan tentang sesuatu (objek) yang dapat direkam oleh seseorang (subjek) dari

sudut A itu, Y. Yang lain “tersembunyi,” sangat jauh sehingga tak terlihat, bahkan

menurut metodologi objek pengetahuan tertentu hanya bisa diketahui bilamana objek

itu “berkenan menampakkan dirinya kepada manusia” (Gambar 2 dan Gambar 3).

“Ada” itu bukan hanya “ada” dalam kesadaran, tetapi juga “ada” di luar kesadaran.

Apakah “ada” di dalam kesadaran itu sama dengan “ada” yang sesungguhnya di luar

kesadaran?

Di samping itu muncul kesulitan lain. Pengamatan terhadap objek yang sama ke sudut

yang lain (A1), memerlukan waktu, dan seiring dengan waktu yang digunakan untuk

itu, Y pun berubah menjadi Y1. Hal itu menunjukkan bahwa perubahan-perubahan

lingkungan eksternal dan kelemahan, keterbatasan, dan kekurangan internal manusia,

menyebabkan bahan pengetahuan yang pada suatu saat dianggap baru, valid dan

reliable, pada saat lain sudah menjadi basi, tidak sahih, tidak dapat dipercaya, dan

metode yang berhasil di lingkungan sebuah masyarakat, ternyata gagal diterapkan di

dalam masyarakat lain. Dimensi waktu mengandung makna ya ng luas sekali. Waktu

bisa berarti time (pukul berapa?), duration (lamanya berapa menit?), kesempatan,
urutan, perasaan (30 menit terasa lama jika menunggu, terasa cepat jika sibuk),

kekuatan (terhitung.mulai kapan, sampai kapan?). Dimensi waktu sangat penting di

lingkungan Ilmu Hukum. Di lingkungan ini, sikap presiden SBY terhadap rekomendasi

Tim 8 Kasus Bibit- Chandra “Cicak Lawan Buaya,” merupakan antiklimaks: jurang

yang sangat curam di celah batukarang yang sangat tajam (VIVANews Rabu

25November09). Pemikiran ilmiah tentang pemerintahan sangat rawan kekeliruan

karena kebijakan apapun yang ditetapkan, pertimbangan akademik yang

melatarbelakanginya selalu saja culture bound (David Easton, The Political System,

1953, 31) dan implementasinya culture lag (G. A. Lundberg, Foundations of Sociology,

1956, 521; dan Emory S. Bogardus, Sociology, 1957, 576). Inilah dimensi ruang.

Salah satu spesi dimensi ini adalah bahasa pemerintahan (Bab 34 Kybernologi, 2003).

Dalam hubungan itu, jika bahasa Indonesia sekarang, di pasar maupun di gedongan,

diibaratkan sebuah rawa, maka rawa yang penuh buaya adalah bahasa politik, bahasa

pemerintah, dan bahasa peraturan, baik yang tertulis di kantor- kantor megah, maupun

yang keluar dari mulut pejabat.

Dengan demikian, untuk sementara selesailah sudah pembicaraan tentang bahan

bangunan BOK. Di bawah ini dalam beberapa pokok bahasan, diuraikan proses

rekonstruksi bahan-bahan tersebut menjadi sebuah bangunan BOK dalam berbagai

bentuk, dari yang paling sederhana, sampai pada bentuk yang kompleks.

KONSTRUKSI BOK: ROH DAN RAGA

Pengetahuan berwujud roh, bukan jiwa. Jiwa terkait dengan hidup dan mati, tetapi roh

abadi. Wujud pengetahuan telah diuraikan dalam bagian 1 sd 10 di atas. Roh itu ada
dan hadir (berada, terlihat, terbaca) dalam raga yang disebut bahasa. Bahasa adalah

salah satu wujud budaya manusia (ref. Bab VIII dan Bab IX Menuju Ke Pemikiran

Kybernologi Pertanian dan Agro-Pemerintahan, 2009).

Ada tiga macam bahasa:

1. Bahasa Isyarat

2. Bahasa Tutur, dan

3. Bahasa Tulis

Bahasa Tulis berbentuk tulisan. Berdasarkan tujuan penulisannya, tulisan dapat

dikelompokkan menjadi :

1. Tulisan Ilmiah, yaitu tulisan yang bertujuan menyebarkan, mengembangkan dan

mewariskan (BOK) pengetahuan dari generasi ke generasi, dan disusun menurut

bentuk dan cara tertentu

2. Tulisan Nonilmiah, yaitu tulisan lainnya . Tulisan Ilmiah meliputi:

 Tulisan Ilmiah Formal, yaitu tulisan ilmiah yang oleh suatu institusi ilmiah

(akademik) ditetapkan sebagai syarat untuk dapat memperoleh suatu nilai

akademik. Oleh sebab itu, isi, bentuk, prosedur, cara penyusunan, teknik

penulisan, pengujian, penilaian, dan sebagainya, ditetapkan oleh institusi

akademik yang bersangkutan.

 Tulisan Ilmiah Nonformal

Tulisan Ilmiah Formal pada hakikatnya merupakan laporan pertanggung

jawaban ilmiah (akademik)

1. Warga institusi akademik yang bersangkutan terhadap institusinya untuk

dapat memperoleh nilai dan atau status akademik tertentu.


2. Institusi yang bersangkutan terhadap masyarakat pelanggan dan lingkungan

hidupnya. Tulisan ini disusun secara mandiri (bukan pesanan) oleh

institusi yang bersangkutan untuk dapat dinyatakan berhasil (Invention and

Innovation, Movement and Reforms) menyelesaikan tugas atau program

akademik tertentu (Research and Development, Public & Civil Service):

Tridharma Perguruan Tinggi.

Tulisan Ilmiah Formal yang diwajibkan bagi warga atau bakal warga institusi

akademik berdasarkan tujuan penulisannya adalah Tulisan Ilmiah Formal yang

diwajibkan.

1. Untuk dapat dianugerahi status atau derajat akademik tertentu,

2. Untuk dapat dinyatakan berhasil menyelesaikan tugas atau program

institusional tertentu yang bersifat internal institusi (Laporan Pertanggung

jawaban Penyelesaian Tugas).

3. Sebagai bukti kelayakan untuk memangku jabatan akademik tertentu

(misalnya jabatan akademik tertinggi Guru Besar). Tulisan ini (Orasi)

diucapkan pada saat upacara pengukuhan jabatan yang diperoleh tenaga

yang bersangkutan dalam Rapat Senat Terbuka.

Tulisan Ilmiah Formal untuk dapat dianugerahi status atau derajat akademik

tertentu meliputi:
1. Term Paper, yaitu tulisan yang diwajibkan kepada seorang atau

sekelompok mahasiswa sebagai bagian kurikulum, untuk dapat lulus

matakuliah tertentu.

2. Status Report (Laporan Akhir Studi) yaitu tulisan yang diwajibkan kepada

seorang atau sekelompok mahasiswa untuik dapat dinyatakan berhasil

menyelesaikan suatu program akademik tertentu.

3. Tulisan yang diwajibkan kepada seorang mahasiswa sebagai syarat untuk

dapat dianugerahi derajat (gelar) akademik tertentu. Di Indonesia saat ini

tulisan itu disebut Skripsi untuk gelar Sarjana (Program Stratum 1), Tesis

untuk gelar Magister atau Master (Program Stratum 2), dan Disertasi

untuk gelar Doktor (Program Stratum 3). Termasuk dalam konsep Disertasi

adalah Naskah Orasi (atau apapun namanya) yang disusun oleh tim

promotor yang dibentuk oleh suatu institusi akademik untuk diucapkan oleh

seseorang tenaga akademik atau yang dianggap layak dipromosikan dan

dianugerahi kehormatan akademik tertinggi (Doktor Kehormatan) oleh

institusi akademik yang bersangkutan, mengingat nilai besar yang telah

disumbangannya bagi pengembangan dunia akademik dan atau

kesejahteraan umat manusia

Tulisan formal butir 1, 2, dan 3, dimaksudkan sebagai matarantai proses

belajar- mengajar guna membentuk pola perilaku akademik warga yang

bersangkutan
tatkala ia bekerja sebagai ilmuwan dan profesional kelak di dalam masyarakat

selesai dari bangku sekolah. Tiga macam tulisan ilmiah formal itu

mengandung substansi yang sama, namun intensitasnya berbeda (Tabel 2).

Mengingat kandidat Doktor telah menempuh pendidikan strata sebelumnya,

maka kualitas akademik Doktor bersifat kumulatif. Kebijakan pendidikan yang

secara bertahap mengarah- kan pendidikan strata tersebut secara linier

(Gambar 38), sejalan dengan Tabel 2.

Tulisan Ilmiah Nonformal adalah komoditi intelektual. Sama seperti

komoditi lainnya, baik Tulisan Ilmiah Formal maupun Tulisan Ilmiah

Nonformal disusun, diproduksi, dipasarkan, dan diwariskan berdasarkan

kebutuhan dan tuntutan masa depan, dengan tetap menjunjung tinggi Kode

Etik Profesional Kybernologi


sebagai berikut:

------------------------------------------------------------------------------------

KODE ETIK PROFESIONAL KYBERNOLOGI

KAMI, PEMBELAJAR KYBERNOLOGI,

PROFESIONAL PEMERINTAHAN,

PERCAYA BAHWA

Seperti halnya cabang ilmu pengetahuan lainnya, Kybernologi

bersumber dari Kuasa dan diamalkan untuk menyatakan

Kasih ALLAH, TUHAN YANG MAHAESA,

bagi sesama Manusia dan Lingkungan, melalui Profesi Pemerintahan

Ilmu Pemerintahan (Bestuurskunde yang kemudian hari berkembang

menjadi Bestuurswetenschap dan Bestuurswetenschappen) adalah

“ilmupengetahuan

yang bertujuan memimpin hidupbersama berkelanjutan manusia


ke arah kebahagiaan yang sebesar-besarnya,

tanpa merugikan orang lain secara tidak sah”

Secara formal, Kybernologi adalah bangunan pengetahuan (body-of-

knowledge)

hasil rekonstruksi buah pendaratan Ilmu Pemerintahan

yang semula tersebut di bumi Indonesia pada sudutpandang

kemanusiaan,

tidak pada sudutpandang kekuasaan,

dan pengaitannya dengan berbagai sudutpandang lain yang berbeda

OLEH SEBAB ITU, KAMI, PEMBELAJAR KYBERNOLOGI,

PROFESIONAL PEMERINTAHAN

BERIKRAR

Menegakkan kemerdekaan berpikir dalam belajar Kybernologi

dan senantiasa menggunakan pertimbangan hatinurani

dalam menjalankan profesi pemerintahan

dengan penuh rasa tanggung jawab

Mengabdikan profesi pemerintahan

bagi terwujudnya Bangsa Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika


3

Mengajarkan Kybernologi guna menanamkan sistem nilai

dan membentuk tenaga-tenaga profesional pemerintahan di dalam

masyarakat

Melakukan penelitian Kybernologi untuk mengejar kebenaran ilmiah

dan tidak untuk mencari alasan pembenaran (atas) suatu hal

Mengembangkan dan mewariskan Kybernologi,

tanpa pengrahasiaan, pemalsuan, dan penyalahgunaan,

dalam rangka menjawab tuntutan perubahan zaman

Menjunjung tinggi keluhuran profesi pemerintahan, kebenaran ilmiah,

dan kehormatan diri selaku profesional pemerintahan

Jakarta, 11 Desember 2009

HUT III YKI

-----------------------------------------------------------------------------------------------

----------------------

Perbandingan tentatif antara Tulisan Ilmiah Formal dengan Tulisan Ilmiah

Nonformal sebagai berikut (Tabel 3).


Genealogi tulisan dapat diringkas demikian:
Fungsi tulisan. Tulisan berfungsi, baik bagi penulis maupun bagi pembacanya. Khusus

bagi penulisnya, tulisan berfungsi sebagai:

1. Satu di antara tiga matarantai utama yang terlihat pada (raga) proses belajar-

mengajar (learning process) adalah membaca, menulis, dan menerangkan,

dengan model membaca----->menulis----->menerangkan.

2. Cermin: setiap orang berkaca (“ngaca”) pada tulisannya.

3. Alat komunikasi ilmiah antar pelaku dan institusi akademik.

4. Informasi ilmiah.

5. Warisan ilmiah.

6. Sumber akademik antar generasi.

7. Produk dan komoditas intelektual.

8. Karya seni: produk artistik dan kreatif dengan kualitas mandiri, orisinal, langka,

inovatif, dan unik.

9. Rekaman (bukti) perkembangan intelektual masyarakat dan perubahan kondisi

pribadi penulis (misalnya, ketikan yang salah menunjukkan kekurang telitian atau

ketergesa-gesaan).
KONSTRUKSI BOK: BEBERAPA PERTIMBANGAN

Konstruksi BOK disebut juga desain BOK. Sama seperti bangunan fisik, konstruksi

bangunan pengetahuan (BOK) ditentukan oleh beberapa pertimbangan:

1. Hakikat BOK.

2. Fungsi BOK (untuk apa dan untuk siapa bangunan didirikan, tujuan),

3. Hubungan antar BOK

Hakikat BOK terdiri dari lima pilar:

1. BOK sebagai representasi (sampel) dunia yang diketahui (populasi, universe,

the known).

2. BOK merupakan ekspresi (pernyataan diri, ekspresi tentang sesuatu), dengan

menggunakan cara/alat tertentu).

3. BOK adalah seperangkat alat menghadapi (memecahkan, mengatasi, dan

menyelesaikan masalah).

4. BOK sebagai simbol sesuatu di belakang atau di dalamnya, mungkin sebuah

rahasia, sebuah misteri, atau sebuah maksud yang tersembunyi (udang di balik

batu).

5. BOK tidak lain dan tidak bukan, adalah tanda yang disepakati bersama dan

ditaati, untuk membedakan satu dengan yang lain, atau sebuah isyarat guna

menunjukkan sesuatu.

Rekonstruksi pengetahuan menjadi BOK bertujuan meningkatkan kualitas

pengetahuan (knowledge) menjadi ilmu (ilmupengetahuan, science). Pengetahuan

berkualitas ilmu manakala BOK mampu berfungsi sebagai alat/cara untuk:

1. Mengidentifikasi suatu objek. Semakin tua dunia, semakin aneh perilakunya.

Semakin jauh orang berjalan, semakin banyak yang dilihat. Semakin sering
keluar pertanyaan “Apa ini,” “apa itu?” kemampuan mengidentifikasi sesuatu

objek keingintahuan (curiosity), semakin penting. Alat untuk mengidentifikasi

sesuatu adalah konsep (concept). Semakin definitif konsep, semakin tajam ia

mengidentifikasi. Formula umum hasil identifikasi berbunyi “A adalah B yang

C.” Definisi itu menunjukkan keadaan A. “Spidol (A) adalah alat tulis (B) buat

whiteboard (C).” Dari sini objek yang satu dengan objek yang lain mulai

dapat dibandingkan dan dibedakan.

2. Mendeskripsi sesuatu objek. Orang tidak cukup hanya mengetahui bahwa

suatu A, ada. Lebih jauh perlu dikenal keberadaannya (Gambar 36).

Pengenalan keberadaan (karakteristik) A itu bermula pada penggalian

kualitasnya (Gambar 7), sampai pada nilai dan norma. Semakin terungkap

karakteristik suatu objek, semakin kualitatif pengenalan terhadap objek itu.

Dalam bahasa kualitatif, kualitas itu ditimbang guna diberi nilai, sedangkan

dalam bahasa kuantitatif disebut dimensi yang akan diukur baik langsung

ataupun tidak. Sebagaimana halnya definisi, kualitas juga bisa berubah dari

waktu ke waktu dan berbeda yang satu dibanding dengan yang lain.

3. Menjelaskan hubungan antar objek. Penjelasan hubungan antar konsep

merupakan inti Teori Hubungan, sementara Teori Hubungan adalah nyawa

konstruksi BOK. Itulah sebabnya pertanyaan pemikiran “Apa ini,” “apa itu?”

disusul dengan pertanyaan “Adakah hubungan antara. . . . . dengan . . . . . .?”

baru kemudian pertanyaan “Jika ada, bagaimana sifat hubungan itu?”

Korelasional? Kausal?

4. Meramal (memprediksi) apa yang akan terjadi atau apa yang dapat

terjadi. Terjadinya sesuatu merupakan sebuah proses. Proses dalam


Kybernologi tidak linier (input-throughput-output saja) tetapi sirkuler atau

siklik. Circle atau cycle (cyclic) itu menurut hukum sistem (Gambar 40).

Sesuatu disebut “akan terjadi” jika terjadinya pasti, tinggal menunggu waktu.

Semua variabel terkendali (misalnya di dalam laboratorium), termasuk waktu.

Sistem tertutup. Disebut “dapat terjadi” bilamana

berbagai contingent factors, termasuk waktu dan conditio sine qua non lainnya

tersedia dan bekerja. Peramalan harus memeperhatikan dan memperhitungkan

setiap terminal dan rute sistem (Gambar 40). Model peramalan seperti Gambar

41.

5. Mendiagnosis penyebab terjadinya sesuatu. Bagi banyak orang, terutama

lapisan elit yang hidupnya senang dan gemerlap, sesuatu yang ada dan berada,

dipandang sebagai sesuatu yang “given,” yang hak, tidak perlu dipertanyaakan,

yang diterima sebagai keistimewaan. Mereka tidak perlu bertanya “Mengapa?

Bagi sebagian lagi, walau tidak terucapkan karena takut, malu, atau pasrah,

pertanyaan itu selalu mendera. Ingin keluar dari dinanestapa. Diagnosis


bermula dari anggapan bahwa dunia yang diketahui (the known, Y) adalah

akibat (konsekuensi, dampak) sesuatu penyebab (faktor) yang belum

diketahui. Bukan hanya sekedar bertanya “Mengapa. . . . .?” atau “Faktor apa. .

. . . . . ?” tetapi lebih daripada itu, ingin tau penyebab dengan harapan,

pengetahuan tentang penyebab mengarahkan pemikiran pada solusi atau

terapinya. Dengan perkataan lain, pertanyaan “Mengapa. . . . .” mengarahkan

pemikiran pada hubungan kausal.

Kombinasi Gambar 40 dengan Gambar 41 menunjukkan model kausal

eksplanatori lengkap sebagai berikut:

6. Mengujicoba suatu gagasan, kebijakan atau rencana berisi sistem nilai

tertentu, berdasarkan desain yang lazim disebut desain eksperimental.

Campbell dan Stanley dalam Experimental and Quasi- Experimental Designs

for Research (1966) mendefinisikan desain itu sebagai “. . . . portion of

research in which variables are manipulated and their effects upon other

variables observed.” Pada garisbesarnya, unsur desain eksperimental mirip

desain kausal di atas (Gambar 41). Perbedaannya terletak pada variabel bebas.

Pada model kausal, X diteliti sebagaimana adanya, given, sedangkan pada

model eksperimental, variabel tersebut dimanipulasi (direkayasa dengan

sengaja), diberlakukan secara sadar, untuk kemudian efeknya terhadap


variabel tergantung diamati dengan teliti. Ada empat unsur khusus desain

eksperimenntal.

a. Perlakuan (treatment), yaitu variabel bebas yang hendak diujicobakan,

diberi simbol X.

b. Rancangan waktu, yaitu waktu yang ditetapkan dan diperlukan untuk

perlakuan, diberi simbol T.

c. Kelompok Tes (yang diberi treatment) dan Kelompok Kontrol (yang tidak

diberi treatment), diberi simbol Rt dan Rk (R = responden). Kelompok

Kontrol berfungsi sebagai tolok ukur.

d. Observasi (sebelum, sepanjang, dan sesudah treatment) diberi symbol Ob,

Oc, dan Oa Uji coba tidak diberitahukan kepada responden, dan dijalankan

seolah-olah kegiatan rutin, supaya perilaku responden serealistik mungkin,

tidak terpengaruh, namun bisa juga diberitahukan atau disosialisasi, jika

lingkungan hendak diubah (ref Taliziduhu Ndraha, Bab V Desain Riset,

1987)

7. BOK harus mampu membangun dirinya sendiri secara heuristik. Kekuatan

sentripetal dari luar (Politik---->Pemerintahan ----> Politik Pemerintahan)

diimbangi dengan kekuatan sentrifugal dari dalam (Kybernologi---->Politik

----> Kybernologi Politik) Dengan demikian, pada suatu waktu di depan,

Pohon Kybernologi ada dua batang. Pohon pertama yang ada sekarang seperti

tertera di h. xxxvi Kybernologi (2003) dan Kybernologi Beberapa Konstruksi

Utama (2005, h. 19) yang tumbuh dan berbuah oleh kekuatan sentripetal

(Politik Pemerintahan), dan pohon kedua yang tumbuh dan mulai berbuah

oleh kekuatan sentrifugal (Kybernologi Politik). Buah kedua pohon itulah


yang pada suatu saat menunjukkan Kybernologi berada pada paradigma

normal di dalam masyarakat ilmu pengetahuan.

8. Sama seperti manusia, BOK harus siap mengontrol dirinya (“check-up”)

secara menyeluruh, agar BOK tetap sehat, kuat, dan tetap berperan dalam

menghadapi perubahan pesat dan tidak menentu (selalu pada posisi normal

science) di depan. Jika perlu, BOK merekonstruksi durinya, seperti halnya

Ilmu Pemerintahan, dari BOK yang bagian Ilmu Politik menjadi Kybernologi.

Memang, seperti halnya semua “makhluk hidup,” terkadang grafik kehidupan

fluktuatif (turun-naik), maju-mundur, dan timbul tenggelam, tak terhindarkan.

Yang penting adalah kesiapan mengantisipanya: BOK serba-cuaca.

Keseluruhan ilmupengetahuan membentuk sebuah masyarakat: masyarakat

ilmupengetahuan. Di dalamnya termasuk Seni dan Teknologi. Hubungan antar BOK

analog dengan hubungan antar warga (hubungan antar BOK) di dalam sebuah

masyarakat. Dalam hubungan itu, setiap BOK perlu membangun hubungan (akses)

dengan BOK lainnya, ebagai wadah dan jalur bekerjasama dan saling kontrol antar

BOK. Sudah barang tentu, dalam praktik, kerjasama antar BOK berarti kerjasama antar

institusi, komunitas ilmuwan, dan pelaku BOK terkait dalam masyarakat ilmu

pengetahuan.
KONSTRUKSI BOK: PERTANYAAN

Konstruksi BOK bermula pada kesadaran. Suatu saat pojok yang sebelumnya bagi

seseorang gelap, apakah secara berangsur ataupun mendadak, terang-benderang. Itu

membuatnya berteriak “Eureka!” Ia melihat sesuatu: ia sadar, ia mengetahui, namun ia

bimbang. Prosesnya sebagai berikut:

1. Dari gelap (tidak tau) menjadi terang (tau).

2. Dalam terang ia melihat sesuatu hal (John Dewey, How We Think, 1933).

3. Ia melihat adanya sesuatu yang lain.

4. Ia dapat membedakan sesuatu itu dengan sesuatu yang lain (the sense of

discrimination); ia melihat perbedaan antara keduanya.

5. Dapat saja ia membiarkan pengalamannya itu berlalu, tetapi ia memilih untuk

mengamatinya: ia tertarik, ia ingin tau (curious). Max Black “Observation and

Experiment,” dalam Maurice Mandelbaum, Francis W. Grammlich, dan Alan

Ross Anderson, eds, Philosophic Problems (1958) menyatakan: “. . . . If one trait,

more than any other, is characteristik of the scientific attitude, it ia reliance upon

the data of experience.” Inilah dasar sikap ilmiah (scientific attitude). Sikap

ilmiah berlanjut pada sikap ragu- ragu (skeptis, skeptic, skepticism), namun yang

ditempuh adalah sikap positif (positive thinking, “setiap celaka ada gunanya),

yang berbuahkan skeptisisme positif, bukan skeptisisme negatif pesimistik.

Mengapa skeptis? Karena seringkali kenampakan (appearance, kedua rel

keretaapi di kejauhan terlihat bertemu kedua ujungnya) tidak sesuai dengan


realitas (reality, yang sesungguhnya), demikian Bertrand Russell, “Philosophy

and Common Sense,” dalam Mandelbaum di atas.

6. Ia mengamati apa yang terjadi pada yang lain jika yang satu berubah.

7. Ternyata yang satu berkaitan dengan yang lain.

8. Ia mengamati sifat hubungan tersebut, di bawah kondisi mana sifat itu terlihat,

dalam hal apa saja hubungan itu berlangsung, sejauh mana kebenarannya?

Skeptisisme positif berubah menjadi sikap kritis (Greek krinein, Ingg. to judge,

discern, menimbang; lalu kritikos, criticus, critique, dan critisism).

Dengan kesadaran, keingintahuan, ketidakpastian, ketidakjelasan, keragu- raguan

untuk menerima begitu saja apa yang dianggap diketahui, dan kesenjangan antara das

Sollen dengan das Sein, membentuk sebuah jaringan pertanyaan demi pertanyaan yang

pada gilirannya menuntut jawaban demi jawaban. Boleh dikatakan, tanya-jawab yang

tak berkesudahan itulah yang menggerakkan dan mendorong proses knowing manusia,

memperluas dan memperdalam ruang the known. Setiap hal yang mengandung,

menunjukkan, atau membangkitkan keingintahuan, ketidakpastian, ketidakjelasan,

keragu-raguan, dan kesenjangan, disebut bermasalah. Proses yang perlu ditempuh guna

menemukan masalah, disebut permasalahan:


Jika pemikiran didasarkan pada pendakat Max Black di atas, maka permasalahan

adalah infrastruktur setiap BOK. Permasalahan yang menjadi pertimbangan utama,

bangunan seperti apa yang dapat atau perlu dibangun di atasnya. Sudah barang tentu,

berbeda halnya jika pemikiran didasarkan pada pendekatan spekulatif seperti Will

Durant yang telah dikutip di atas, yang menyatakan bahwa setiap ilmu berawal dari

Filsafat dan berakhir sebagai Seni. Atau seperti Gustav Bergmann dalam Philosophy of

Science (1958, 31, 35). Bagi para pemikir spekulatif, fondasi bangunan adalah dalil,

scientific laws, axioma, theorema (a sight, theorein, to look at, theoria, pegangan, dan

anggapan-dasar).

Masalah ada dalam bentuk pernyataan, dan berada (hadir) dalam bentuk pertanyaan

(Gambar 44). Pertanyaan hadir untuk dijawab. Dengan menggunakan model Gambar

44, maka menjawab pertanyaan melalui pemikiran berarti pemikiran bertujuan:

1. Mencari, mengejar, dan berupaya mengetahui sesuatu yang dapat menjawab

pertanyaan yang bersangkutan: memenuhi rasa ingin tau.


2. Memastikan, menepatkan, dan meningkatkan akurasi jawaban: mengurangi

ketidakpastian.

3. Menjelaskan, menerangkan: mengurangi ketidakjelasan.

4. Memilih yang terbaik: mengurangi keragu-raguan.

5. Merancang langkah-langkah pengurangan kesenjangan

Tidak setiap pertanyaan memerlukan jawaban yang ditemukan melalui pemikiran

metodologikal. Tingkat kebutuhan akan jawaban metodologikal bergantung pada dua

hal, yaitu jarak konseptual (horizontal) dan tingkat abstractness konsep (vertikal), lihat

Gambar 21. Semakin jauh jarak konseptual antar konsep, semakin berat masalah yang

dihadapi, dan semakin layak untuk dipikirkan. Semakin tinggi tingkat abstractness

konsep terkait, semakin sulit mengejar, memastikan, dan menjelaskannya. Semakin

abstrak konsep dan semakin jauh jarak konseptual, semakin besar jawaban yang

dibutuhkan. “Dahaga” dengan “minum” (air) adalah konsep yang tingkat abstractness-

nya rendah. Tidak diperlukan pemikiran mjendalam untuk menerangkan bahwa dengan

minum air, dahaga hilang. Jarak konseptual antara dua konsep itu juga sangat dekat

dengan derajat kepastian yang tinggi. Tetapi “dahaga” akan pengetahuan dengan

“minum” dari proses belajar- mengajar, adalah dua konsep dengan tingkat abstractness

tinggi dan jarak konseptual yang jauh. Belum lagi kemungkinan bahwa semakin

seseorang merasa tau, semakin ragu dia bahwa dia tau, semakin tau dia bahwa semakin

banyak yang dia tidak tau.

Di antara enam pertanyaan pada Gambar 44 (“5W1H”), ada tiga yang terpenting, yaitu

“apa,” “mengapa,” dan “bagaimana.” Pertanyaan “apa” mengarahkan pemikiran pada

fenomena (objek) yang mengandung kegelapan (ketidaktahuan), ketidakpastian,


ketidakjelasan, keragu-raguan, dan kesenjangan, dan pada aspek fenomena yang

dipertanyakan, “apa yang terjadi atau terlihat.” Katakanlah

jawaban terhadap pertanyaan “apa” itu adalah “Y.” Terhadap “Y” pada gilirannya dapat

diajukan “5W1H.” Misalnya “Hal apa yang berhubungan dengan “Y,” “adakah
hubungan antara “Y” dengan sesuatu hal lain, dan jika ada “bagaimana sifat hubungan

itu,” “seberapa kuat” hubungan itu,” “hubungan itu signifikan di bawah kondisi seperti

apa,” dan seterusnya. Modelnya ----Y----.Pertanyaan “mengapa” membawa pemikiran

terarah ke hubungan kausal antara “Y” dengan satu atau beberapa “hal yang

menyebabkan, melatarbelakangi atau melatardepani keberadaan atau terjadinya “Y” itu.

Penyebab (faktor) kejadian atau latar keberadaan “Y” itu disebut saja “X.” Jadi

modelnya X----->Y. Pertanyaan “bagaimana” diajukan untuk mengetahui “proses atau

perihal kejadian atau keberadaannya,” “lokasi,” “waktu,” dan “pelaku,” dengan model:

X--?-->Y.

Tabel 4 menunjukkan beberapa model bangunan masalah. Model X----->Y dalam arti

dengan alasan tertentu memasangkan Y dengan suatu X tertentu, oleh Herman

Soewardi dalam Prapasca S3 Ilmu-Ilmu Sosial (Bandung, Agustus 2005, ref. Bab XV

Kybernologi Beberapa Konstruksi Utama, 2005) disebut spurious:

Adapun kesalahan metodologi yang paling fatal adalah level pemikiran yang tak

meningkat, ialah tetap pada level pemikiran S2, dengan studi-studi yang bersifat

verifikatif tanpa dasar. (Oleh mahasiswa) Diupayakan agar ditemukan hubungan antara

2 dan tiga variabel, secara signifikan, berlandaskan uji statistikal tertentu. Ini adalah

variabel-variabel yang dipasang-pasangkan tanpa landasan teori yang benar. Maka bila

ada suatu hubungan kausalitas yang signifikan, karena tanpa landasan teori yang

“sound,” kajian itu bersifat spurious atau kosong. ……. (h. 11).

Dengan uraian ini, mudah-mudahan tidak lagi terjadi “asal pasang” saja, yang biasanya

kini terjadi pada tingkatan S2, bahkan terus terjadi pada tingkat S3. “Asal pasang,”

suatu hubungan antara X dengan Y tanpa dilandasi dengan teori hanya akan
menghasilkan hubungan yang spurious, atau suatu signifikansi tanpa dasar logika (h.

12)

Yang dimaksud oleh pakar Filsafat Ilmu dan Sosiologi Pertanian ini dengan hubungan

yang spurious adalah bangunan pertanyaan antara X dengan Y tanpa teori yang

menjelaskan mengapa X yang dihubungkan dengan Ydan bukan X1, adakah hubungan

(kausal) antara X dengan Y, dan jika ada, bagaimana X mempengaruhi Y atau

bagaimana Y dipengaruhi oleh X, yaitu faktor-faktor yang oleh gurubesar senior

UNPAD tersebut diberi nama contingent factors (variabel Z).

Pemasang-masangan sembarangan itu di beberapa kalangan akademik diikuti dengan

pertanyaan: “Seberapa besar pengaruh X terhadap Y,” dan seterusnya, seperti telah

diuraikan di atas. Hubungan kausal itu kemudian memang teruji, koefisien dan

signifikansinya dapat dihitung menurut analisis statistik. Setiap konstruksi teoretik yang

dimulai dari pemasang-masangan secara sembarangan dua atau lebih konsep atau

variabel sebagai dasar bagi konstruksi kerangka pemikiran: X----->Y adalah spurious.

Sifat spurious berarti 1. not genuine, authentic, or true; 3. having a similar

appearance but a different structure. – synonim false, sham. Teruji, tetapi kosong,

tidak sesuai dengan fakta. Kepalsuan itu terlihat jika pemikiran mengikuti alurpikir

yang genuine. Alurpikir disebut genuine jika penemuan Y disusul dengan pertanyaan

berkerangka ?----->Y atau X----->? dan dijawab dengan teori. Teorilah yang

menjelaskan apa saja (X1X2X3Xn) yang menyebabkan Y atau apa saja yang dapat

disebabkan oleh Y jika fungsinya berubah dari variabel tergantung menjadi variabel

bebas (X):
X----->Y1. Ada kemungkinan, dengan menggunakan teori tertentu model yang

ditemukan adalah kerangka yang berbeda ketimbangan model spurious. Dengan

alurpikir yang spurious ditemukan X----->Y, sedangkan dengan alurpikir yang

genuine ditemukan pertama, X1---->Y atau kedua, X----->Y1. Sudah barang

tentu, dalam kemungkinan kedua Y berubah menjadi X yang dapat menyebabkan

apa saja (Y1Y2Y3Yn). Penggunaan alurpikir spurious sebagai instrumen

pembelajaran, dapat difahami, tetapi tidak dalam proses kebijakan!

Seperti telah dikemukakan di atas, “bertanya” adalah dasar ajar, fondasi pembelajaran.

Filsafat bermula dari dan pada “tanya.” “Gayung (harus) bersambut,” demikian

peribahasa, dalam arti “penyambutan” bergantung pada “gayung” dan

“pelemparannya.” Ketepatan merumuskan pertanyaan (soal) dan teknik

penyampaiannya menunjukkan kadar intelektualitas, sementara ketepatan merumuskan

jawaban dan teknik penanggapannya menunjukkan tingkat kearifan. Bukan hanya

bentuk tetapi juga isi, motif dan tujuan tanya-jawab, agar tidak terjerumus ke debat

kusir belaka. Tanya-jawab yang berputar-putar tanpa ujungpangkal seperti alurpikir

lingkaran-setan-kemiskinan (the vicious circle of poverty) tidak bermanfaat, walau dari

panggung kedengarannya keren. Tanya- jawab harus terkendali; dikendalikan oleh

kebutuhan akan konklusi yang tepat. Dialogues of Plato seperti “Apology,” “Crito,”

“Phaedo,” “Symposium,” dan “Republic,” adalah contoh dialog yang sehat. Sudah

barang tentu, dalam suatu batas, pada suatu tingkat, semakin sukar suatu pertanyaan

dijawab (diterangkan), semakin layak pertanyaan itu dipelajari menurut

Metodologi. Perlu dikemukakan di sini bahwa semua pertanyaan layak diajukan, baik

melalui pendekatan kualitatif, maupun kuantitatif. Pertanyaan “mengapa” misalnya,

dapat dijawab melalui Metodologi Kualitatif dan juga Metodologi Kuantitatif.


Perbedaan utamanya ialah, temuan kualitatif hanya berlaku untuk kasus yang

bersangkutan, sedangkan temuan kuantitatif pada sampel, di bawah kondisi tertentu,

berlaku untuk populasinya.

Unit BOK terkecil adalah tulisan ilmiah formal (Gambar 39). Disertasi diambil sebagai

contoh, berdasarkan anggapan bahwa rekonstruksi Disertasi adalah model yang

merupakan bekal bagi seorang ilmuwan profesional dalam menjalankan fungsi

pengembangan BOK sebagai ilmu, maupun pengusahaan BOK sebagai komoditi

ilmiah.

Seperti telah disinggung, ada dua cara pendekatan rekonstruksi tulisan ilmiah formal:

kualitatif dan kuantitatif (Gambar 37). Dua pendekatan itu terhubung pada fungsi fakta

(empirik, “the quality of existing or of being real,” Babbie: “some phenomenon that has

been observed”) dalam proses pemikiran manusia. Jika fakta difungsikan sebagai bahan

baku atau bahan bangunan (pembentukan) teori, maka pendekatan yang ditempuh

adalah kualitatif. Manakala fakta difungsikan sebagai alat untuk menguji

(membuktikan) teori, maka pendekatannya adalah kuantitatif. Kedua pendekatan itu

bergulir ibarat sebuah roda yang oleh Babbie disebut “the wheel of science:”
Roda Babbie ini digunakan di sini sebagai model pemikiran. Pendekatan kuantitatif

berawal pada pertanyaan yang terungkap dari dalam fakta, dijawab dengan teori,

melalui hipotesis teori diuji dengan fakta pada sampel. Hasil analisis data pada sampel

kemudian digeneralisasikan pada populasi. Dari sini teori terlihat, didukung (sesuai

dengan) atau tidak (tidak sesuai) oleh fakta. Pendekatan kualitatif bermula pada

pertanyaan dan langsung dijawab dengan fakta hasil observasi. Melalui metodologi

yang bervariasi dan rumit, antara lain adalah yang lazim disebut “grounded,” fakta

diinterpretasi (reduksi, kategorisasi, dan triangulasi), direkonstruksi (induktif), ---

empirical generalization --- sehingga terbentuklah konsep (baru) dan teori (baru).

Contoh klasik tentang hal ini terdapat dalam Barney G. Glaser dan Anselm L. Strauss,

The Discovery of Grounded Theory: Strategies for Qualitative Research (1974), lihat

Bab 36 Kybernologi (2003). Ada juga yang tidak langsung menjawabnya dengan fakta,

melainkan dengan teori yang ada, seadanya. Inilah yang model kualitatif yang

menggunakan hipotesis kerja (working hypothesis).


Pemikiran Kybernologi yang bertujuan membangun empathic understanding, mutual

understanding (Verstehen) antar manusia, mengembangkan model “single- wheel of

science” tersebut menjadi “double-wheel of science” (Gambar 47). Hubungan antar

Verstehen kemudian diobservasi dari waktu ke waktu, dari ruang ke ruang, dengan

menggunakan “working hypotheses,” (desain observasi) ditafsirkan, direkonstruksi, dan

terbentuklah konsep atau teori baru. Gambar 47 menunjukkan bahwa pada gilirannya

roda kuantitatif bergerak dari F1 ke Verstehen, sedangkan pada giliran lain roda

kualitatif bergerak dari F2 ke teori.

(lihat tanda panah). Sudah barang tentu gaya perjalanan yang satu dibanding dengan

yang lain, berbeda. Hal itu akan diuraikan di bawah. Cukuplah bila ditandaskan di sini
bahwa pertanyaan apapun tidak boleh dan tidak bisa dikonstruksi berdasarkan (di atas)

dugaan dan atau asumsi sebagaimana dilakukan oleh banyak kandidat yang

menggunakan metodologi kuantitatif. Misalnya: “Y belum berhasil.” “Diduga, Y belum

berhasil karena X lemah.” Dugaan itu berangkat dari asumsi bahwa “Jika X

ditingkatkan, maka Y berhasil” (dari naskah Disertasi kandidat NPM 170 730067 XXX,

dan diluluskan). Dalam metodologi kuantitatif, teori yang menerangkan adanya

hubungan kausal antara X dengan Y.

Dengan demikian, setiap pertanyaan mempunyai dua macam jawaban dasar: jawaban

kualitatif dan jawaban kuantitatif. Derivat dari dua jawaban tersebut adalah jawaban

kuantitatif-kualitatif atau jawaban kualitatif-kuantitatif. Gambar 46 dan 47

menunjukkan hubungan antara dua pendekatan itu.


KONSTRUKSI BOK: JAWABAN KUALITATIF

Konstruksi BOK berpendekatan kualitatif bermula pada konsep kualitas (Gambar 7),

Semakin terungkap kualitas (karakteristik, perilaku) suatu hal atau sebuah fenomena,

semakin kualitatif konsep yang ditemukan. Pengungkapan itu dilakukan melalui

pendalaman, mulai dari perilaku yang terlihat ke nilai dan norma, sampai pada hakikat

(Gambar 32).

Seperti dikemukakan di atas, jawaban terhadap pertanyaan yang dijadikan fondasi BOK

kualitatif bisa (langsung) berupa fakta, dan bisa juga berupa teori yang relevan dan

aktual. Baik fakta maupun teori telah diuraikan di atas. Di bawah ini beberapa isu

tentang fakta disinggung lagi sepanjang berkaitan dengan BOK kualitatif.

1. Fakta tentang apa.

2. Bagaimana (sebagai apa) fakta itu terlihat.

3. Fakta menurut FOR siapa.

4. Fakta ditangkap menurut alat apa.

5. Fungsi fakta.
Fakta Tentang Apa?

Jawaban terhadap pertanyaan tersebut terdapat dalam Gambar 23 tentang Ontologi

Kybernologi. Gambar 23 itu menunjukkan bahwa basis Program Studi Ilmu-Ilmu

Politik terletak pada terminal 5, yang dihuni oleh sejumlah disiplin, seperti

1. Ilmu Administrasi Publik..

2. Ilmu Hubungan Internasional.

3. Ilmu Perbandingan Politik.

4. Teori Politik, dan menurut versi Universitas Gadjah Mada.

5. Ilmu Pemerintahan.

adalah Political Sciences, sementara basis Program Studi Ilmu-Ilmu Sosial terletak

pada terminal 3, yang dihuni oleh berbagai cabang ilmu seperti

1. Sociology.

2. Social Psychology.

3. Anthropology.

4. Social Anthropology.

dan seterusnya, seperti UNESCO, The University Teaching of Social Sciences (1954).

yang disebut Social Sciences, lepas dari perdebatan tentang isi konsep Social Sciences

itu apakah meluas ke Ilmu Ekonomi, Ilmu Hukum, dan sebagainya, atau tidak.

Terminal 4 membentuk linkage antara terminal 3 dengan terminal 4. Dalam analisis ini,

konstruksi pemikiran G. A Lundberg dalam Foundations of Sociology (1956), sangat

menarik. Berbicara tentang “foundations” suatu cabang ilmu pengetahuan, adalah juga

berbicara tentang “foundations” semua ilmu pengetahuan. Artinya kerangka

“foundations” semua ilmu pengetahuan, sama. Jika demikian, basis setiap program

pembelajaran suatu cabang ilmu pengetahuan adalah Filsafat Ilmu disiplin yang
bersangkutan, dalam hal ini Filsafat Ilmu (di bidang) Ilmu Pemerintahan

(Kybernologi). Lihat juga Karl Pearson, The Grammar of Science, (1951).

Berdasarkan kerangka pemikiran itu, pemikiran Kybernologi dipusatkan pada

masyarakat dalam hubungannya dengan Ontologi Ilmu Pemerintahan berBOK

Kybernologi itu (tidak berBOK Ilmu-Ilmu Politik), lihat GBPP Kybernologi dan

Kepamongprajaan (2009). Menurut perkembangan pemikiran terakhir, Kybernologi

dikembalikan pada definisi asli ketika dilahirkan (definisi materia), yaitu “ilmu yang

bertujuan menuntun hidup bersama manusia dalam upaya mengejar kebahagiaan

rohani dan jasmani yang sebesar-besarnya tanpa merugikan orang lain secara

tidak sah” (G. A. van Poelje, Algemene Inleiding tot de Bestuurskunde, 1953),

sedangkan secara formal Kybernologi didefinisikan sebagai bangunan pengetahuan

(body-of-knowledge) hasil rekonstruksi buah pendaratan Bestuurskunde,

Bestuurswetenschap, dan Bestuurswetenschappen di bumi Indonesia pada

sudutpandang kemanusiaan dan lingkungannya, dan pengaitannya dengan

berbagai sudutpandang yang berbeda, antara lain sudutpandang kekuasaan. Oleh

sebab itu, fakta BOK Kybernologi adalah fakta tentang masyarakat, yang bermula pada

terminal 1 dan 2, pada manusia dan lingkungannya, berdasarkan credo bahwa manusia

itu adalah ciptaan ALLAH, TUHAN YANG MAHAESA, yang didudukkan di bumi

menjadi penduduk dunia.

Bagaimana (Sebagai Apa) Fakta itu Terlihat?

Jawaban kualitatif bersumber pada masyarakat dan lingkungan hidupnya sebagaimana

berakar dari kualitasnya sebagai manusia. Sasaran observasi adalah manusia atau

sepotong alam. Apakah yang terlihat pada sasaran (fenomenon) itu dapat disebut fakta?

Berdasarkan Max Black yang menyatakan bahwa “if one trait, more than any other, is
charakteristic of the scientific attitude, it is reliance upon the data of experience,” arti

fakta sebagai “the quality of existing or of being real,” dan Babbie yang mendefinisikan

fakta sebagai “some phenomenon that has been observed,” maka jawabannya adalah

tidak atau belum tentu. Gambar 5 menunjukkan bahwa rekaman “fakta sebagaimana

terlihat di permukaan” yaitu data, harus diolah dulu, dan info yaitu hasil pengolahannya

harus diuji terus- menerus, agar “fakta yang sesungguhnya di dalam” atau “di

seberang sana,” yaitu “kuman di seberang lautan,” dan bukan hanya “gajah di pelupuk

mata,” terungkap. Seperti kata pepatah: “Dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa

tau.”

Yang menjadi pertanyaan dalam hubungan itu ialah, rekaman seperti apa (sejauh mana)

di permukaan yang dapat menunjukkan fakta yang sesungguhnya, mengingat waktu,

kesempatan dan keterbatasan manusia? Dengan pertanyaan lain: “Apakah induksi tak

lengkap bisa menunjukkan fakta yang sesungguhnya?” Apakah jawabannya, ibarat

eksplorasi minyak bumi, “sampai sumber minyaknya.


ditemukan?” Gambar 49 menunjukkan bahwa dengan segala kelemahan, kekurangan

dan keterbatasannya, subjek tidak mampu atau tidak sempat melakukan perekaman

induktif lengkap (sempurna, 360°), melainkan induksi taklengkap. Induksi taklengkap

itu dianggap mampu mencapai Y manakala proses pemikiran (baca: rekonstruksi BOK)

mengikuti disiplin yang ketat, sebagaiamana terlihat pada Gambar 32 dan yang

berikutnya. Jika tidak, rekonstruksi hanya sampai di Z dan tidak menjawab pertanyaan.

Fakta sebagaimana terlihat adalah fakta sebagaimana objek memperlihatkan dirinya

yang “transendental,” atau semampu subjek menerobos kabut antara subjek dengan

objek untuk bisa mencapai fakta yang sesungguhnya? Mampukan subjek dengan segala

keterbatasan, kelemahan dan kekurangannya mengetahui fakta yang benar? Bagaimana

supaya objek bersedia membuka dirinya dan memperlihatkan kualitasnya sebagaimana

adanya? Dunia bisnis mengenal konsep yang disebut perilaku komoditi. Konsep ini

mengandung arti, bahwa barangpun --- sepotong lingkungan --- walau tak bernyawa,

mempunyai perilaku, yaitu kenampakannya, dayatariknya, warna, aroma, cahaya,

getaran, gerakan, harga, ukuran, bobot, sifat, jarak, dan sebagainya. Fakta yang direkam

adalah perilaku komoditi, yang dianggap mewakili karakteristik atau kualitasnya

(penjelasan mengenai karakter dan karakteristik, lihat Bab XI Kybernologi Sebuah

Metamorphosis (2008).

Fakta Menurut FOR Siapa?

Pertanyaan ini erat berkaitan dengan upaya mendaratkan pemikiran pada Kybernologi

(lihat juga Bab XV Kybernologi Sebuah Metamorphosis, 2008). Menurut Gambar 2,

pemikiran mendarat pada Kybernologi bilamana kualitas yang dipertanyakan adalah

kualitas manusia (Gambar 23), bukan kualitas kekuasaan. Itupun masih abstrak. Di
antara tiga subkultur, SKS itulah yang lebih penting, dan di antara dua kualitas SKS,

yaitu masyarakat sebagai konstituen dan masyarakat selaku pelanggan, masyarakat

sebagai pelanggan itulah yang terpenting. Jadi pemikiran disebut mendarat pada

Kybernologi jika yang dipermasalahkan adalah kualitas masyarakat sebagai pelanggan,

dan bukan kualitas pemerintah sebagai provider layanan pemberdayaan. Misalnya

“taraf kehidupam masyarakat A rendah” dan bukan “efektivitas program pemberdayaan

masyarakat rendah,” sehingga yang dipertanyakan adalah “mengapa taraf kehidupan

masyarakat A rendah?” dan bukan “mengapa efektivitas program pemberdayaan

masyarakat rendah?” “Taraf kehidupan masyarakat rendah,” menurut siapa? Setiap

subkultur dalam masyarakat memiliki frame-of-references (FOR) yang berbeda satu

dengan yang lain. FOR masyarakat selaku pelanggan berbeda dengan FOR masyarakat

selaku konstituen. Kekuatan yang membentuk FOR suatu subkultur bermacam-macam,

misalnya kepentingan, kebutuhan, pengalaman, pendidikan, perbedaan, perbandingan,

sejarah, kepercayaan, dan seterusnya. Kualitas SKS terlihat oleh sipemikir

sebagaimana SKS mengungkapkan dirinya yang “transendental,” menurut FOR-

nya dan direkam pada saat SKS memperagakannya (memperagakannya

kembali). Oleh sebab itu persoalan yang menentukan seperti telah disebut di atas ialah

bagaimana supaya objek bersedia membuka dirinya dan memperlihatkan kualitasnya

(kembali) sebagaimana adanya? Jawabannya, dengan berempati itulah (Gambar 32 dan

yang berikutnya).

Fakta Ditangkap dan Direkam Menurut (Dengan) Alat Apa? Mengingat “lain

padang lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya,” apakah alat/cara yang berhasil

digunakan terhadap objek yang satu ternyata berhasil untuk objek lainnya yang

berbeda? Jika tidak, diperlukan kreativitas tinggi dan persediaan peralatan yang
memadai dalam menghampiri sasaran yang berlain- lainan. Ada dua sikap ekstrim yang

dapat ditempuh oleh subjek dan objek

1. Subjek membiarkan dirinya terbuka penuh, kosong, ibarat tabula rasa (meja lilin)

yang siap ditulisi apa saja oleh siapa saja kapan dan di mana saja. “Siapa saja” di

sini adalah objek yang dalam hal ini berubah peran menjadi subjek yang

memancarkan rangsangan terhadap subjek yang pada gilirannya berubah peran

menjadi objek. Seperti papan ingatan (fieldnotes) seorang pengunjung sebuah

rumahadat di Tanah Karo tahun 50-an sebagaimana ditulisi oleh perilaku dua

orang, seorang tuarenta dan seorang perempuan usia 30-an: “Seorang lelaki

tuarenta di ruang depan berkata dengan lirih: ‘meja aku haus.’ Seorang

perempuan usia 30-an datang dari ruang belakang membawa sepotong ruas

bambu dan meletakkannya di sebuah bangku kecil, lalu pergi, tanpa kata, tanpa

menoleh ke situarenta. Lelaki tuarenta minum dari ruas bambu itu, juga tanpa

kata. O ya, saya ditemani oleh seorang Karo, teman kelas.” Di sini diri subjek

sendiri yang ditulisi (menjadi alat perekam) oleh objeknya.

2. Subjek sekuat tenaga membangun citra, menebar pesona, mengalunkan janji yang

memukau, melancarkan hipnotisme politik, dan melambaikan simbol yang indah,

agar objek merasa terbuai, tanpa sadar berubah dan memberikan respons atau

reaksi yang sesuai dengan keinginan subjek. Di sini, diri objek diubah oleh

pengaruh subjek, sehingga objek menunjukkan fakta yang sesuai dengan

keinginan subjek. Fakta difungsikan sebagai alat pembenaran, bukan kebenaran

Apakah Fungsi Fakta Dalam BOK Kualitatif?

Ada dua macam fakta. Fakta sebagai sebagai pemuncul pertanyaan dan fakta sebagai

jawaban terhadap pertanyaan. Fakta memenuhi seluruh bangunan (BOK, Gambar 48).
Seperti dikemukakan di atas, jawaban terhadap pertanyaan yang dijadikan fondasi BOK

kualitatif bisa (langsung) berupa fakta, dan bisa juga berupa teori yang relevan dan

aktual. Baik fakta maupun teori telah diuraikan di atas.

Di Bawah Kondisi Apa Pertanyaan Dijawab Langsung Dengan Fakta dan Di

Bawah Kondisi Apa Dengan Teori?

Pertanyaan dijawab langsung dengan fakta, manakala masyarakat sasaran eksplorasi

pemikiran adalah masyarakat atau kasus yang belum dikenal (terra incognita) sehingga

belum ada teori yang menjelaskan fenomenanya. Oleh karena teorinya belum ada,

maka tidak ada hipotesis sebagai masukan (input), melainkan hipotesis sebagai

keluaran (produk) pemikiran. Pertanyaan dijawab dulu dengan teori, bilamana

masyarakat atau kasus yang bersangkutan telah dikenal sehingga sudah ada teori yang

menjelaskannya. Jika demikian, hipotesis sebagai masukan dapat dirumuskan, dan

hipotesis sebagai keluaran juga dapat dihasilkan. Dengan demikian model BOK

kualitatif sebagai berikut (Gambar 50):


Jawaban teoretik (Gambar 50 dan Gambar 51), yang disebut juga hipotesis kerja, tidak

seperti hipotesis statistik yang dirumuskan untuk diuji dengan data empirik, melainkan

“disimpan” untuk kemudian pada gilirannya digunakan sebagai bahan pembahasan dan

penafsiran data empirik. Yang dimaksud dengan data empirik di sini adalah buah

pengamatan lapangan terhadap fokus (objek) pemikiran, dan bukan hasil observasi

terhadap hipotesis kerja. Pencarian dan penggunaan data tentang hipotesis kerja untuk

diolah menjadi bahan bangunan BKO kualitatif, sama saja dengan upaya mengujinya di

lapangan.

Oleh sebab itu pemahaman tentang fokus pemikiran dan metodologi yang tepat guna

menemukan faktanya, merupakan kunci keberhasilan rekonstruksi BOK kualitatif.

Sebuah Disertasi yang menggunakan bahan bangunan dari Teori George


C. Edwards III dalam Implementing Public Policy (1980), diambil sebagai contoh.

Berbicara tentang “approach to studying implementation,” terhadap pertanyaan “What

are the preconditions for successful policy implementation,” Edwards menyampaikan

jawaban, bahwa ada “four critical factors or variables in implementing public policy:

communication, resources, dispositions or attitudes, and bureaucratic strukture,” seperti

Gambar 1 di atas. Empat faktor itulah yang oleh penulisnya dalam Preface disebut

sebagai “four critical factors affecting policy implementation. . . . .” Sayang sekali,

Edwards membahas empat faktor tersebut lengkap dengan dimensi-dimensi dan

indikator-indikator masing-masing, dalam Bab 2, 3, 4, 5, dan hubungan antar faktor di

Bab 6, tetapi tidak menjelaskan secara eksplisit dimensi dan indikator implementasi

kebijakan yang justru merupakan fokus perhatian. Para mahasiswa terpaksa

menggunakan teori lain di luar Edwards, seperti teori yang menyatakan bahwa dimensi-

dimensi implementasi kebijakan adalah organization, interpretation, dan application

(OIA). Yang menjadi persoalan metodologikal di sini adalah validitas penjelasan

hubungan antara variabel X dengan variabel Y beserta pengukurannya, pada model

X----->Y, jika tiap variabel dijelaskan oleh teori dari sumber yang berbeda (misalnya X

diterangkan dengan teori Edwards, sedangkan Y oleh teori Jones). Apakah definisi,

dimensi, indikator, dan hubungan antar variabel sebuah model harus dijelaskan dengan

teori dari sumber yang sama (misalnya Edwards)?

Memang, Edwards tidak menjelaskan dimensi dan indikator implementasi kebijakan

secara eksplisit, tetapi bila diperhatikan sungguh-sungguh, hal itu secara implisit

terdapat di Bab 1 bukunya. Di sana dinyatakan bahwa Policy implementation. . . . . is

the stage of policymaking between the establishment of a policy --- such as the passage

of a legislative act, the issuing of an executive order, the handling down of a judicial
decision, or the promulgation of a regulatory rule --- and the consequences of the policy

for the people whom it affects Definisi implementasi kebijakan tersebut menunjukkan

bahwa dimensi-dimensi implementasi adalah keseluruhan langkah-langkah yang perlu

ditempuh oleh semua fihak terkait, sejak penetapan kebijakan (policy adoption) sampai

efek yang diharapkan dari kebijakan itu (policy outcomes) dirasakan oleh masyarakat

yang bersangkutan. Penggunaan Metodologi Kualitatif dalam penelitian terhadap

langkah-langkah tersebut di dalam masyarakat setempat, sangat tepat. Joseph A.

Maxwell dalam Qualitative Research Design (1996, 17) berpendapat bahwa dengan

metodologi kualitatif, “causal explanations” dapat dikembangkan. Analisis data yang

terekam melalui observasi dan eksplorasi terhadap hubungan antar langkah,

menunjukkan ada-tidaknya faktor-faktor empirik setempat di Indonesia, yang mungkin

sama tetapi kemungkinan besar berbeda dengan faktor-faktor teoretik yang ditemukan

oleh Edwards di masyarakat Amerika. Bukankah faktor yang berbeda ini merupakan

temuan akademik yang berharga?

Jadi yang perlu diobservasi dan direkam pada implementasi kebijakan tersebut adalah

keseluruhan langkah-langkah, proses dan urutannya, yang perlu (dalam hal ini yang

sedang atau sudah) ditempuh oleh semua fihak terkait, sejak penetapan kebijakan

(policy adoption) sampai efek yang diharapkan dari kebijakan itu (policy outcomes)

dirasakan oleh masyarakat yang bersangkutan. Hipotesis yang menjadi dasar

pembuatan grounded theory direkonstruksi dari hasil pengamatan terfokus terhadap

urutan kejadian yang terlihat dari waktu ke waktu. Jika urutan kejadian empirik itu

memenuhi syarat “X precede Y in time,” maka antara Y dengan X terdapat hubungan

kausal: Y adalah effect dan X adalah cause, dengan model X---->Y, demikian Babbie

(1983, 57). Selanjutnya lihat John W. Creswell, Research Design Qualitative and

Quantitative Approaches (1994), dan Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Basics of
Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques (1990). Ringkasan

Barney G. Glaser dan Anselm L. Strauss, The Discovery of Grounded Theory:

Strategies for Qualitative Research (1974) terdapat dalam Bab 36 Kybernologi (2003).
KONSTRUKSI BOK: JAWABAN KUANTITATIF

Pada dasarnya tidak ada pertanyaan yang khas kualitatif atau kuantitatif. Pada (di atas)

fondasi yang sama dapat dibentuk BOK kualitatif dan kuantitatif. Setiap pertanyaan

yang dapat dijawab dengan suatu teori, layak dijadikan fondasi BOK kuantitatif.

Perbedaannya terdapat pada bangunan struktursupranya seperti terlihat pada Gambar 55

dan 56.
Apakah epsilon itu? Epsilon (*Gambar 56) adalah huruf kelima abjad bahasa Latin

(Greek) ê psilon, artinya bare, simple ê, unaspirated; lawannya aspirate, articulate,

desired. Eksplorasi pustaka (Gambar 55) yang kaya dengan teknologi informasi yang

semakin canggih, membuka cakrawala pengetahuan yang luas dan dalam sebagai

sumber jawaban yang seolah tak terbatas. Dalam hubungan itu, ada beberapa

kemungkinan:

1. Katakanlah dari eksplorasi pustaka diketahui bahwa Y bergantung pada faktor-

faktor X1, X2, dan X3, entah itu sufficient factors atau necessary (contingent)

factors, atau dua-duanya.. Mengingat keterbatasan, kekurangan dan kelemahan

subjek, sifat objek (sosial dan humaniora yang padat-nilai), dan kondisi

lingkungan yang berubah-ubah, diperkirakan masih ada faktor lain yang tidak

diketahui, tidak dapat diketahui, atau tidak sempat diketahui, yaitu Xn. Di sini Xn

bukanlah epsilon.

2. Dari kajian pustaka diketahui bahwa Y dipengaruhi oleh X1, X2, dan X3, tetapi

dengan alasan akademik-metodologik yang sah, hanya X1 dan X2 yang

digunakan sebagai bahan bangunan. Di sini X3 dijadikan (adalah) epsilon.

Adanya epsilon dalam arti ini membawa konsekuensi metodologik yang serius.

Konsekuensinya ialah, sekuat dan sesignifikan apapun pengaruh X1 dan X2, baik

masing-masing maupun bersama-sama terhadap Y (koefisien determinasi), koefisien itu

mengandung bias, baik kuantitas (tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya,

menurut statistik besar padahal sesungguhnya kecil), maupun kualitasnya (dianggap

kuat atau efektif, padahal ternyata lemah atau gagal). Respons seorang responden

terhadap X1 dan X2, misalnya berbeda dengan responsnya bilamana kepadanya

ditawarkan X1, X2, dan X3, baik sufficient maupun contingent factors. Semakin
banyak pilihan, perhatian responden semakin terbagi dan tersebar. Kendatipun

sufficient factors lengkap, tidak biased, atau semua variabel bebasnya di bawah kontrol

(misalnya di laboratorium), contingent (necessary) factornya (variabel antara,

intervening) culture bound, sehingga pada gilirannya mengalami culture lag. Ini lebih

buruk ketimbang bias! Mengenai culture-bound lihat David Easton, The Political

System (1953), dan culture-lag lihat Emory S. Bogardus, Sociology (1954) dan G. A.

Lundberg, Foundations of Sociology (1956).

Hipotesis dalam Gambar 55 dan Gambar 56 bisa terlihat bagai sebuah bangunan yang

keren dengan dua ruangan di dalamnya yaitu ruangan X dan ruangan Y. Hubungan

antara dua ruangan ini dinyatakan dengan “Semakin . . . , semakin. . . . ” Pernyataan

tersebut membawa kesan seolah-olah terdapat hubungan kausal antara Y dengan X.

Sesungguhnya menurut Babbie, hubungan yang memberi kesan seperti itu “not

genuine, authentic, or true,” melainkan spurious (spurious relationship). Di suatu

daerah terlihat angka kelahiran bayi tinggi dan banyak burung bangau beterbangan.

Pengamatan ini dijadikan dasar untuk membangun hipotesis berbunyi “Semakin banyak

burung bangau, semakin tinggi angka kelahiran bayi,” disusul dengan jawaban terhadap

pertanyaan “Dari mana datangnya bayi,” yaitu “Dibawa burung bangau.” Jadi

banyaknya burung bangau menyebabkan banyaknya bayi. Setelah diamati ternyata,

faktor lingkunganlah yang

menyebabkan X dan Y. Hubungan antara lingkungan pedesaan dengan banyaknya

burung bangau dan banyaknya bayi, disebut “hubungan yang genuine.” Bukankah

ruang politik dan ruang bisnis dipenuhi oleh anggapan-anggapan yang spurious

tersebut? Oleh sebab itu, setiap pernyataan tentang hubungan antara X dengan Y harus
disertai dengan penjelasan (explanations) yang terbuka dan teruji (testable) guna

mencegah pernyataan yang spurious dan membangun pernyataan yang genuine.

Oleh sebab itu, pernyataan memerlukan penjelasan. Menurut Babbie, ada dua model

penjelasan. Penjelasan dengan model ideografik (ideographic model of explanation)

adalah penjelasan yang “probe the multiplicity of reasons that would account for a

specific behavior,” “aims at explanation through the enumeration of very many,

perhaps unique, considerations that lie behind a given action.” BOK kualitatif, terlebih

yang menggunakan model interpretivist, berisi penjelasan ideografik ini. Selanjutnya,

penjelasan dengan model nomotetik (nomothetic model) adalah penjelasan yang

“consciously seeks to discover those considerations that are most important in

explaining general classes of actions or events.” Istilah nomothetic berasal dari bahasa

Greek, nomothetikόs, artinya “pertaining or involving the study or formulation of

general or universal law.” Dengan mudah dapat ditebak bahwa BOK kuantitatif bersifat

nometetik.

Sebagaimana BOK kuantitatif terdiri dari bahan bangunan bernama teori, setiap teori

mengandung pernyataan tentang hubungan antar konsep, dan hipotesis mengandung

hubungan antar variabel, demikian juga setiap konsep dan variabel harus definitif. Hal

itu penting guna membedakannya sekaligus menggambarkan hubungannya dengan

sesuatu yang lain di dalam himpunan (kelas) yang sama. Jauh di atas telah

dikemukakan bahwa formula sebuah definisi tidak boleh tautologik seperti A = A

yang B, “spidol adalah spidol untuk white board,” melainkan A = B yang C, “spidol

adalah alattulis untuk white board,” guna membedakannya dengan kapurtulis yang

sehimpunan dengan spidol (himpunan alattulis) untuk black board (ref. Irving M. Copi,

Introduction to Logic, 1959,


Chapter Four), dengan catatan bahwa B adalah sebuah himpunan yang berisi A dan

anggota lainnya. A disebut definiendum dan B yang C adalah definiens. Contoh lain

“segitiga (definiendum) adalah bidang yang dibatasi oleh tiga garislurus (definiens).”

Perulangan penjelasan dalam bentuk A = A itu dalam metodologi disebut tautology

atau redundancy. Biasanya, Pasal 1 tiap Undang-Undang (UU), Peraturan Pemerintah

(PP), dan Peraturan Daerah (Perda) penuh batasan-batasan atau ketentuan. Ketentuan

Pasal 1 butir 10 UU 32/04 berbunyi: “Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda

adalah peraturan daerah provinsi dan atau peraturan daerah kabupaten/kota,” bentuknya

tautologik dan bukanlah definisi konsep Perda.

Dengan demikian, epsilon, pernyataan spurious, dan tautologi, membatasi keberlakuan,

validitas dan reliabilitas bangunan BOK. Untuk menjaga kualitas BOK --- Kebebasan

Akademik dan Etika Ilmu Pengetahuan ---, epsilon hubungan spurious, dan tautologi,

harus dijadikan masukan terbuka dalam ruang pembahasan bangunan (baca:

marketing, penawaran, servicing) dan diberi label “keterbatasan bangunan.”

Konsekuensinya ialah, bangunan BOK tidak bisa langsung ditawarkan kepada

pelanggan tanpa pilihan. Namun demikian, dalam learning process, seterbatas apapun

sebuah BOK, ada gunanya. Anggapan dasarnya ialah, seseorang yang ternyata mampu

membangun BOK X----->Y, ia diharapkan mampu membangun BOK lainnya.

Ruang bagi temuan akademik tersedia di Gambar 56. Yang dimaksud dengan temuan

akademik adalah hasil proses penjawaban teoretik terhadap pertanyaan mulai dari

hipotesis dan pengujiannya dengan data empirik, sampai pada pembahasan. Bahan yang

dibahaa dalam proses pembahasan adalah hasil uji hipotesis. Jadi proses uji hipotesis

belum dapat disebut pembahasan. Pembahasan itu sendiri meliputi:


1. Identifikasi keterbatasan penelitian dari sudut metodologi (politik, birokrasi, teori,

responden, komunikasi dan teknologi informasi, dsb).

2. Epsilon (apa yang terjadi bila epsilon dijadikan bahan bangunan).

3. Penafsiran (interpretasi).

4. Reformulasi konsep (conceptualization) dan hipotesis.

5. Rekonstruksi teori yang digunakan.

6. Apakah hipotesis teruji?.

7. Apakah BOK berfungsi?.

Konstruksi sebuah BOK sejajar dengan pembangunan sebuah rumah, terdiri dari

beberapa tahap:

Sudah barang tentu, dilihat dari sudut BOK sebagai bangunan penjelasan, BOK

kuantitatif lebih nomotetik ketimbang ideografik, sementara BOK kualitatif,

sebaliknya. Konsekuensinya ialah, kemungkinan sejumlah BOK nomotetik dibangun

seragam dalam periode yang sama, terbuka lebar. Ibarat ribuan rumah yang dibangun

dengan tipe, konstruksi, dan bahan bangunan yang sama! Inilah malapetak BOK

kuantitatif, jika boleh disebut demikian. Himpunan Disertasi berpendekatan kuantitatif,

misalnya, dengan variabel yang sama “implementasi kebijakan. . . . ,” pertanyaan yang

seragam “seberapa besar,” dan teori yang itu-itu saja, “Edwards III,” terlihat seperti
barang cetakan yang dijual dipasar swalayan yang megah. BOK dewasa ini cenderung

berubah dari BOK akademik menjadi barang komoditi bisnis. Jika demikian, mana nilai

tambah akademik, orisinalitas, kreativitas, pembaharuan, dan kemajuan

ilmupengetahuan? Upaya apa yang perlu ditempuh guna mencegah kecenderungan

inflastag itu di depan?

REKONSTRUKSI BOK: JAWABAN KOMBINATIF

Kybernologi memandang proses kebijakan tidak dari sudut Politik tetapi dari sudut

Teori Governance. Dari sudut ini proses kebijakan itu ibarat naik gunung, sesudah tiba

di puncak, harus turun lagi, demikian terus-menerus. Atau seperti naik pesawat terbang

tinggi. Di awang-awang, apapun di bawah tidak terlihat. Saat turun pada ketinggian

tertentu, bumi di bawah memang terlihat, tetapi sama terlihat jauh, sangat jauh, tidak

jelas, sama semua, seragam, hijau pekat. Barulah ketika mendarat semuanya nampak,

semakin dekat semakin jelas. Bukan hanya jelas, tetapi berbeda-beda. Bukan hanya

berbeda-beda dari pandangan mata, tetapi dilihat dari nilai dan rasa, ada ketimpangan,

ada kesenjangan antara yang sini dibanding dengan yang sana. Bahkan ada yang

merosot dan terhilang jika yang kemarin dibanding dengan yang sekarang. Sudah

barang tentu, pengalaman penerbangan yang lalu dijadikan masukan bagi persiapan

penerbangan berikutnya.

Proses kebijakan seperti take-off dan landing pesawat. Dari policy agenda (identifikasi

masalah) sampai pada policy adoption (penetapan kebijakan) itulah take-off mengudara

setinggi-tingginya (ketok palu dan tepuk tangan, tandatangani daftar hadir dan terima

uang), dan dari policy adoption sampai pada policy outcome melalui policy

implementation itulah landingnya. Sudah barang tentu pula, hasil evaluasi policy
terhadap policy outcome, dijadikan masukan bagi policy agenda berikutnya. Take-off

itu penetapan das Sollen bagi semua orang, landing adalah realisasinya menjadi fakta

(das Sein) bagi setiap orang, yang kondisi kebutuhan, dan kepentingannya berbeda.

Sebagaimana halnya pesawat tidak cukup hanya take-off tetapi harus landing, demikian

juga kebijakan (harapan semua orang) yang telah ditetapkan, harus diimplementasikan

sehingga outcomenya mencapai setiap orang yang kondisi kebutuhan, dan

kepentingannya berbeda. Sementara sebuah pertanyaan tentang suatu peristiwa khusus,

kasus baru, atau sesuatu yang unik, cukup dijawab dengan BOK kualitatif, yang

bersifat ideografik, pertanyaan lain yang bersifat umum tidak cukup hanya dijawab

dengan BOK kuantitatif, yang nomotetik, tetapi perlu dilengkapi dengan BOK

ideografik yaitu BOK kualitatif. Kebijakan itu bersifat nomotetik. Supaya

implementasinya bisa mencapai setiap orang yang kondisi kebutuhan, dan

kepentingannya berbeda, maka mau tidak mau perlu digunakan BOK kualitatif.

Seperti diketahui, demi efisiensi dan penghematan ruang, rekayasa bangunan sejak

puluhan tahun terakhir menggunakan konstruksi kombinatif, dengan menggabung

beberapa fungsi sekaligus ke dalam lingkungan sebuah bangunan. Misalnya fungsi

rumah dikombinasikan dengan fungsi kantor atau fungsi toko, sehingga terbentuklah

bangunan rukan atau ruko. Pembahasan kuantitatif sehebat apapun, jika temuan

akademik disandarkan pada uji hipotesis belaka, terlebih jika hipotesisnya

direkonstruksi dari fenomena sosial masyarakat yang budayanya berbeda, hasilnya

tidak mendarat, dan tidak sekaya rekonstruksi BOK kuantitatif yang pembahasannya

dikombinasikan dengan bahan bangunan kualitatif setempat.


BOK juga demikian. BOK kualitatif diibaratkan fungsi rumah, sedangkan BOK

kuantitatif fungsi kantor atau toko, sehingga BOK kuantitatif dapat dikombinasikan

dengan BOK kualitatif sehingga terbentuklah BOK-Kuantitatif- Kualitatif atau BOK

Kualitatif-Kuantitatif. Pilihan bergantung pada pertimbangan mana yang dominan.

Pilihan itu pada gilirannya menentukan di mana letak ruang kualitatif dan di mana

ruang kuantitatif di dalam BOK yang sama. Dengan perkataan lain, di dalam BOK

yang sama, komponen kuantitatif masuk di mana dan komponen kualitatif masuk di

mana. .

Gambar 57 menunjukkan bahwa kendatipun policy adoption (Gambar 58) yang oleh

sementara kalangan dianggap sebagai bukti keberhasilan politik kekuasaan (SKK),


terletak di puncak dengan segala kemegahannya, dilihat dari sudut governance belum

apa-apa. Hasil akhir proses kebijakan bukanlah output yang berbentuk kebijakan,

peraturan, rencana atau pidato, melainkan outcome sebagaimana dirasakan atau dialami

oleh setiap orang terutama warga lapisan “sampah masyarakat.”

Penjelasan nomotetik yang bermula dari fenomena umum, berorientasi kepentingan,

atau bertujuan mencari kecenderungan dan rata-rata untuk digeneralisasikan

(pembenaran), sengaja atau tidak, bisa membawa bias yang sangat besar, seolah-olah

keberhasilan itu adalah kinerja pembuat kebijakan (SKK), dan jika gagal adalah

kesalahan pelanggan kebijakan (SKS, mana ada kekuasaan yang menyalahkan dirinya

sendiri dan secara otonom bersedia menanggung risikonya? Paling-paling minta maaf!).
Gambar 60 pendalaman terhadap hal yang khusus (*) mengacu pada komponen BOK

Kuantitatif (Tabel 5) yang memerlukan bantuan BOK Kualitatif untuk membahasnya:

1. Identifikasi keterbatasan penelitian dari sudut metodologi (politik, birokrasi, teori,

responden, komunikasi dan teknologi informasi, dsb).

2. Epsilon (apa yang terjadi bila epsilon dijadikan bahan bangunan).

3. Penafsiran (interpretasi).

4. Reformulasi konsep (conceptualization) dan hipotesis.

5. Rekonstruksi teori yang digunakan.

6. Apakah hipotesis teruji?

7. Apakah BOK berfungsi?

Dengan demikian, pada BOK Kuantitatif (quantitative dominant), komponen kualitatif

masuk ke dalam BOK pada tahap (ruang) identifikasi masalah dan pada tahap (ruang)

pembahasan (Gambar 60). Telah dikemukakan juga bahwa pada BOK Kualitatif

(qualitative dominant), komponen kuantitatif berfungsi sebagai jawaban teoretik, dan

kemudian melalui penafsiran serta rekonstruksi data, hadir sebagai temuan melalui

proses conceptualization dan dalam bentuk grounded theory. Maka terbentuklah BOK

gabungan antara keduanya (combined BOK), Gambar 60. Bagaimana halnya dengan

sisi evaluasi dan feedback pada segitiga kebijakan pada Gambar 58?

Jika sisi ini direkonstruksi menjadi BOK ketiga, terdiri dari komponen apa saja? Input

buat sisi ini adalah buah pendaratan kualitatif dan penjelasan ideografik. Outputnya

adalah pertanyaan seputar pelanggan yang nyata, yang paling membutuhkan, pada

dukungan hidup yang paling dibutuhkan, aspirasi setiap orang yang kondisi, kebutuhan,

dan kepentingannya satu dibanding dengan yang lain yang berbeda-beda. BOK ini

didasarkan pada faham demokrasi dan ajaran HAM dan lingkungan hidupnya. Output
ini pada gilirannya menjadi masukan bagi policy agenda berikutnya. Untuk evaluasi

pada proses (throughput) diperlukan tolokukur dan tolakukur yang disepakati bersama

yang disebut norma. Oleh sebab itu BOK ketiga ini disebut BOK Normatif.

REKONSTRUKSI BOK: JAWABAN NORMATIF

Gambar 61 menunjukkan BOK kombinatif, meliputi BOK kuantitatif, BOK kualitatif.

BOK, dan BOK normatif. Ini bermula pada Gambar 58, 59, dan 60. dan yang

sebelumnya, pada sisi evaluasi dan feedback. BOK normatif berawal pada

kualitas, hasil observasi atau eksplorasi terhadap keberadaan dan perilaku suatu living

organism, outward (masyarakat) dan inward (hatinurani)-nya, ke luar dan di dalamnya.

Kualitas itu kemudian diolah, ditimbang, dipilah dan dipilih, diberi nilai. Nilai-nilai

yang berguna bagi kelangsungan hidup dan kesejahteraan bersama manusia di dalam

masyarakat (governance), baik nilai sosial maupun nilai hatinurani, diidentifikasi.

Nilai-nilai tersebut kemudian disepakati menjadi pola perilaku setiap orang di dalam
masyarakat pada setiap lingkungan. Nilai yang disepakati itu disebut norma. Dengan

demikian, pola perilaku setiap orang dalam ruang SKE, SKK, dan SKS adalah nilai

yang disepakati bersama itu, dan bukan hanya norma aturan hukum positif yang dibuat

oleh SKK. Nilai-nilai sisa yang belum atau tidak disepakati pada masyarakat-

masyarakat lokal, menjadi isu dan agenda bagi proses kebijakan pada tingkat nasional.

Pada tingkat inilah bermula BOK kuantitatif seperti telah diuraikan di atas. Baik BOK

kuantitatif maupun BOK kualitatif, tidak menjawab “bagaimana seharusnya sesuatu,”

melainkan “bagaimana kenyataannya, faktanya,” yang satu menjawab pada tingkat

abstrak teoretik, sedangkan yang lain menjawab sebagaimana adanya pada tingkat

praktik, BOK normatiflah yang berkompeten menjawabnya.

Pentingnya BOK normatif ini bahkan menjadi bahan pertanyaan fundamental bagi

Babbie, dengan meletakkannya pada ruang “social regularities,” setara dengan natural

law atau axioms. Sosial regularities itulah yang kemudian menjadi dasar pembangunan

BOK Sosiologi modern yang mampu menerangkan perilaku sosial dan melakukan

prediksi ke depan dengan menggunakan ketiga BOK, kuantitatif, kualitatif, dan

normatif.
EVERY SCIENCE BEGINS AS PHILOSOPHY AND ENDS AS ART

Pernyataan Will Durant yang mengawali bagian 2, mengakhiri bab I buku ini.

Jika Filsafat diibaratkan fondasi bangunan yang tidak kelihatan namun menentukan

tingkat kekokohan bangunan, maka Seni terlihat melalui seluruh penampakan

bangunan. Seni menentukan seperti apa bangunan itu terlihat oleh, dan apa makna

bangunan itu bagi pelanggannya (Seni Pemerintahan, lihat Bab 19, kaitkan dengan

Teknologi Pemerintahan Bab 30 Kybernologi 2003). BOK itu sendiri hanya merupakan

sebuah matarantai bangunan yang lebih besar sebagaimana ditunjukkan melalui

Gambar 4 dan Gambar 5. Seni Pemerintahan terajut oleh proses penggunaan Ilmu

dalam hal ini Kybernologi: titik-titik yang membentuk proses empirik pemerintahan

dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat.

Anda mungkin juga menyukai