Anda di halaman 1dari 15

Industrialisasi, Perkembangan Hubungan Industrial,

dan Gerakan Buruh di Indonesia

Makalah ini Ditujukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah Sosiologi Industri dan Ketenagakerjaan

Oleh:

Khoirunnisa (1406569554)
Noer Fibi Aksani (1406542514)
Rahmalia Rifandini (1406618171)
Anggis Laras Damayanti (1506731025)
Kamilah Dwi Kurniawati (1506687245)
Siti Nurdiyana (1506687125)

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Departemen Sosiologi
Universitas Indonesia
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................... i

BAB I PEMBAHASAN BAHAN BACAAN UTAMA ................................................................1


1.1. Perubahan Industri dan Ekonomi di ASEAN ........................................................................1
1.2. Civil Society, Globalisasi dan Buruh : Kaum Pekerja di Indonesia Pasca Soeharto ..........2
1.2.1. Civil Society ...............................................................................................................2
1.2.2. Globalisasi dan Buruh ................................................................................................4
1.2.3. Kaum Buruh dan Politik di Indonesia ........................................................................4
1.3. Organised Labour After Soeharto .........................................................................................6
1.3.1. The Changing Landscape of Labour Relations .........................................................6
1.3.2. Implications for Worker Organising ..........................................................................8
1.3.3. Organised Labour and Formal Politics...................................................................11

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................13

i
BAB I

PEMBAHASAN BAHAN BACAAN UTAMA

1.1. Perubahan Industri dan Ekonomi di ASEAN


Menurut Data Tren Terkini dalam ketenagakerjaan, hubungan industri dan hukum
ketenagakerjaan di Asia tahun 2006-2015 oleh International Labour Organization, menunjukkan
bahwa kedudukan Indonesia pada presentase tingkat pengangguran muda yaitu berada pada
tingkat paling tinggi 18% jika dibandingkan dengan yang lain. Kemudian, pada tingkat pekerjaan
tidak tetap berada 70% jika dibandingkan dengan negara Asia lainnya.Hal ini menunjukkan
bahwa Ketenegakarjaan di Indonesia masih cukup bermasalah dalam konteksnya di
pekembangan industry dan ekonomi di ASEAN. Menurut Muhaimin Iskandar sebagai Menteri
Tenaga Kerja pada tahun 2013 menyatakan bahwa terdapat empat masalah utama dalam
ketenagakerjaan Indonesia, yaitu terbatasnya kesempatan kerja, rendahnya kualitas angkatan
kerja, besarnya pengangguran dan globalisasi arus barang dan jasa. Terbatasnya kesempatan
kerja disebabkan oleh krisis ekonomi yang diperkirakan akan segera datang sehingga lapangan
pekerjaan semakin sedikit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Februari 2012,
rendahnya kualitas angkatan kerja terindikasi dari perkiraan komposisi angkatan kerja yang
sebagian besar berpendidikan sekolah dasar (SD) ke bawah, yakni 47,87%, sekolah menengah
pertama (SMP) 18,28%, dan yang berpendidikan lebih tinggi, termasuk perguruan tinggi hanya
9,72%. Hal ini berdampak pada daya saing dan kompetensi dalam memperoleh kesempatan
kerja, baik di dalam maupun di luar negeri. Namun berangsur-angsur pekerja dengan pendidikan
tinggi meningkat dari 8,8 juta orang pada 2011 menjadi 10 juta orang pada Agustus 2012.
Persoalan ini harus diantisipasi, karena akan ada ledakan jumlah penduduk yang membutuhkan
banyak lapangan kerja. Tingginya pengangguran ditunjukkan oleh data bulan Februari 2012,
angkatan kerja Indonesia berjumlah 120,41 juta orang. Dari jumlah itu, pengangguran terbuka
mencapai 7,61 juta orang atau 6,32%. Terakhir yaitu arus globalisasi arus barangdan jasa
menunjukkan akan semakin tingginya perpindahan barang dan jasa dari satu negara ke negara
lainnya sehingga harus dipersiapkan dengan baik kualitas para tenaga kerjanya sehingga dapat
bersaing dengan tenaga kerja dari negara lainnya di bursa efek tenaga kerja.

1
1.2. Civil Society, Globalisasi dan Buruh : Kaum Pekerja di Indonesia Pasca Soeharto
1.2.1. Civil Society
Beberapa tulisan mengenaicivil society, pembangunan ekonomi, dan demokrasi pada
umumnya menganggap bahwa: 1. Terdapat suatu hubungan yang dikotomis dan pada dasarnya
bertentangan antara negara dan civil society; 2. Perkembangan ekonomi niscaya menghasilkan
civil society yang lebih kuat yang akan meningkatkan kemampuan untuk menantang,
membatasi, dan menjalankan kontrol atas kekuasaan negara; 3. Persaingan untuk mendapatkan
kekuasaan antara civil society dan negara pada akhirnya mengakibatkan mundurnya negara
dan berkembangnya rezim-rezim politik liberal-demokratis bersamaan dengan matangnya
ekonomi (pasar); 4. Elemen-elemen yang paling progresif dalam civil society adalah kelas
menengah dan/atau kaum borjuis, karena merekalah yang paling mungkin mengembangkan
aspiras-aspirasi dan nilai-nilai liberal-demokratis, dan oleh karena itu, merupakan agen
demokratisasi yang paling mumpuni; 5. Lemahnya kekuasaan negara mengakibatkan semakin
besar kekuatan civil society secara keseluruhan, dan sebaliknya; 6. Globalisasi ekonomi, di
samping akan memajukan perkembangan ekonomi, pada saat yang sama juga akan menghasilkan
tersebarnya nilai-nilai demokratis.
Istilah civil society sendiri memiliki banyak definisi.Menurut Larry Diamond (Wirutomo
dkk, 2012), civil society melingkupi kehidupan sosial terorganisasi yang terbuka, sukarela,
otonom dari negara, lahir secara mandiri, setidaknya berswadaya secara parsial, dan terikat pada
tatanan legal atau seperangkat nilai bersama.Civil society mewujud dalam berbagai organisasi,
baik yang bersifat formal maupun informal. Diamond mengidentifikasi beberapa karakteristik
dari civil society, yang di antaranya: 1. Civil society bukanlah masyarakat parokial sebab
berfokus pada tujuan-tujuan publik; 2. Civil society berhubungan dengan negara dalam beberapa
hal, tetapi tidak berupaya untuk merebutnya atau menjadi bagian darinya; 3. Dalam civil society
melekat pluralisme dan keragaman; 4. Civil society tidak berupaya untuk merepresentasikan
seluruh kepentingan individu atau suatu komunitas; 5. Civil society berbeda dengan civic
community.Namun, istilah civil societydi Indonesia lebih sering digunakan untuk mengacu
terutama pada para pemilik modal atau kelas menengah.
Di era Orde Baru, sebagian besar kelompok-kelompok masyarakatcivil society
keberadaannya disingkirkan oleh pemerintah.Hal ini merupakan ciri utama dari strategi politik
Orde Baru.Namun, munculnya liberalisasi ekonomi tepatnya sejak jatuhnya harga minyak

2
internasional (1980-an) telah meningkatkan kemampuan civil society untuk mengatasi
otoritarianisme rezim Orde Baru.Hal ini ditandai dengan menurunnya kemampuan negara untuk
bertindak sebagai mesin pertumbuhan ekonomi.Akibatnya, pihak swasta memiliki peran yang
semakin penting dalam pertumbuhan ekonomi, sejalan dengan dominasi peran seksi-seksi
birokrasi dan organisasi-organisasi internasional dalam bidang ekonomi.Selain itu, berbagai
perkembangan yang terjadi di luar negeri juga turut memengaruhi munculnya sebuah civil
society yang semakin kuat dan percaya diri.
Jatuhnya Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 seolah-olah memvalidasi asumsi
pandangan liberal mengenai hubungan antara negara dan civil society. Demonstrasi yang
dilakukan oleh mahasiswa dan kaum pekerja, serta dukungan dari kelas menengah terhadap
protes-protes sosial yang pada gilirannya mengakibatkan rezim Orde Baru runtuh dinilai sebagai
hasil dari semakin meningkatnya kemampuan civil society.Namun, ketimbang merupakan hasil
dari vitalitas civil societyyang semakin besar yang disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang
terus meningkat, tantangan yang dihadapi oleh rezim Orde Baru dalam bentuk demonstrasi
massa lebih merupakan hasil dari krisis ekonomi.
Kemudian, jika ditinjau kembali, asumsi bahwa lemahnya kekuasaan negara
mengakibatkan semakin besar kekuatan civil society secara keseluruhan dinilai kurang relevan.
Sebab apa yang terjadi di Indonesia setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto memang
menciptakan negara yang jauh lebih lemah, tetapi di sisi lain justru menghasilkan civil
societyyang terpecah dan tidak teratur. Selain itu, kelompok-kelompok seperti buruh atau petani
masih tetap tersubordinasi dan tidak memiliki pengaruh yang besar dalam agenda reformasi yang
didukung kaum reformis dan kelas menengah.Namun, tidak dipungkiri bahwa banyak perubahan
penting yang terjadi setelah jatuhnya rezim Orde Baru.Salah satu ciri baru dari politik tanpa
kehadiran Soeharto adalah aksesibilitas yang lebih besar terhadap kekuasaan negara bagi
sebagian pihak melalui sejumlah partai politik yang jumlahnya kini semakin banyak.Sebagai
akibatnya, beberapa kemajuan mungkin dapat dicapai berkenaan dengan kekuasaan yang
didasarkan atas hukum. Namun, hanya sedikit kamajuan yang mungkin dapat dicapai, terutama
dalam pencapaian tujuan-tujuan proyek demokratisasi, yang memungkinkan kelompok-
kelompok seperti buruh dapat turut berkontribusi dalam mewujudkan agenda reformasi politik
dan ekonomi di masa depan. Selain itu, hanya terdapat sedikit insentif bagi negara dan para elit

3
berbasis-oposisi untuk membangun suatu kerangka politik yang inklusif untuk mewujudkan hal
tersebut.

1.2.2. Globalisasi dan Buruh


Seiring berkembangnya istilah civil society atau masyarakat sipil, kata Globalisasi pun
jugaberkembang beriringan dengannya. Kata globalisasi ini digunakan sebagai cara untuk
menggambarkan beragam perkembangan ekonomi, politik, dan budaya yang nantinya
dihubungkan dengan internalisasi proses produksi dan inansial yang makin meningkat.
Adapun pengaruh dari globalisasi di kaum buruh terlihat pula di negara Indonesia yakni
menurut Winters terjadi perubahan pada para pekerja Indonesia menjadi yang paling rapuh
karena seiring perkembangan globalisasi, para investor dan pemodal dari negara asing menjadi
pelaku ekonomi yang mempunyai mobilitas paling tinggi, dan seriring berjalannya waktu pula
terjadi daya tawar modal yang semakin tinggi yang mana akan memperlemah daya tawar kaum
pekerja Indonesia. Tidak dipungkiri lagi terlihat bahwa para investor internasional yang ada di
Indonesia sering mengatakan bahwa daya tarik Indonesia sebagai tempat produksi adalah pada
buruh atau pekerja dengan harga yang muah serta biasanya tidak terorganisasi.
Sebelum krisis ekonomi tahun 1997, masa pertumbuhan industrialisasi ekonomi di
Indonesia yang berlangsung terus menerus dipengaruhi masa kepemimpinan Orde Baru selama
30 tahun.Hal yang terkait dengan ini adalah munculnya kelas pekerja industi baru di wilayah
perkotaan yang meningkatkan pula keinginan untuk berorganisasi karena didasari atas
pengalaman serta perjuangan hidup para pekerja tersebut selama menjadi pekerja atau buruh di
daerah perkotaan dan semi perkotaan.

1.2.3. Kaum Buruh dan Politik di Indonesia


Sejarah gerakan buruh Indonesia sebagaimana telah dijelaskan oleh Ingleson (1986) dan
Shiraishi (1990) bahwa gerakan buruh tersebut memiliki peranan yang menonjol yang mana
bukan hanya mencakup aspek sosial-ekonominya saja, namun juga berwatak politis. Bila dilihat
sejarahnya, organisasi buruh Indonesia sempat dilumpuhkan pada masa kolonial Belanda pada
1920 yang kemudian bisa bangkit kembali tahun 1945-1949, dan disebut sebagai lasykar buruh
dengan kegiatan terlibat dalam perjuangan mempertahankan tempat kerja serta melawan Belanda
untuk mengambil kembali fasilitas produksi dalam gerakan nasionalis.

4
Di pertengahan 1960, gerakan buruh yang cukup aktif itu mulai terganggu kembali
karena terbentuknya kepemimpinan masa Orde Baru melalui koalisi kekuatan yang dipimpin
tentara dan ditandai dengan penghancuran Partai Komunis Indonesia (PKI) yang juga
mengakibatkan melemahnya kaum buruh secara signifikan pada salah satu serikat pekerja radikal
yaitu SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) uuga ikut terkena dalam
penghancuran PKI sehingga organisasi buruh yang ada harus disingkirkan.Setelah itu, kontrol
keras terus digulirkan bagi buruh pada awal Orde Baru.
Tahun 1973, organisasi buruh yang masih tersisa didesak membuat Federasi Buruh
Seluruh Indonesia (FBSI) yang hanya boleh difokuskan pada aspek sosial dan ekonomi saja, tdak
diperkenankan mencakup aspek politik. FBSI kemudian pada 1985 berubah menjadi Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia(SPSI) yang lebih mudah terkontrol karena lebih terpusat, dan
hierarkis. Di 1995, kembali mengalami perubahan nama menjadi Federasi Pekerja Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (FPSI).
Sebelum terjadi krisis ekonomi di tahun 1997-1998an, aktivitas-aktivitas organisasi dari
kaum atau perserikatan para buruh atau pekerja ini membentuk suatu upaya untuk mendirikan
serikat buruh yang independen dari negara seperti SBMS (Serikat Buruh Merdeka Setiakawan)
dan SBSI (Serika Buruh Sejahtera Indonesia) yang kegiatannya antara lain memajukan
pendidikan buruh, koperasi, program latihan organisasi, serta kelompok-kelompok diskusi.
Seiring berjalannya waktu, perkembangan serikat atau organisasi perburuhan juga mulai
membentuk aliansi bersama dengan pihak lain seperti organisasi non pemerintah (ornop) dan
juga dengan aktivis mahasiswa, salah satunya adalah Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI).
Namun seiring itu juga ternyata pendekatan keamanan bagi serikat atau aktivis independen
untuk memajukan kaum buruh ini ternyata juga terus diperketat terhadap persoalan-persoalan
kaum buruh, seperti misalnya dilakukan pada masa mantan Menteri Tenaga Kerja, Abdul Latief
(1993-1998) yang memberlakukan Undang-Undang terhadap penggunaan hak mogok.Selain itu,
tidak jarang juga terjadi kekerasan serta intimidasi dari personel keamanan untuk meredam kaum
buruh ketika menggelar aksi-aksinya terkait upah, dan sebagainya.

5
1.3. Organised Labour After Suharto
1.3.1. The Changing Landscape of Labour Relations
Masa Orde Baru berakhir disebabkan oleh penurunan mata uang Indonesia (devaluasi
rupiah) pada tahun 1998 yang mengarahkan Indonesia pada krisis perekonomian yang terjadi
secara besar-besaran. Kondisi ini mengakibatkan pergantian presiden Soeharto dan disintegrasi
korporatisme negara masa pemerintahan Orde Baru. Pada waktu yang sama, posisi ekonomi
buruh saat itu turut dikacaukan dengan krisis ekonomi serta demokratisasi iklim politik Indonesia
yang memperlihatkan terdapat kesempatan baru bagi aktivis buruh. Hal ini dibuktikan dengan
pekerja untuk berorganisasi secara terbuka dan penyediaan ruang bagi serikat buruh untuk
mengambil peran dalam tempat kerja dan forum relasi industri di tingkat nasional.
Dibawah pemerintahan yang baru, terdapat pergantian lokus sistem dari negara ke
negosiasi antara serikat buruh dengan pekerja. Keseimbangan kekuasaan antara daerah dengan
pusat terjadi perubahan setelah dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah, yang ditandai dengan
perubahan tanggung jawab fungsi pemerintahan secara keseluruhan termasuk relasi industri
kepada pemerintahan daerah. Perkembangan ekonomi dan politik ini memiliki dampak yang
berarti bagi pergerakan buruh.
Perubahan iklim politik pasca Soeharto berdampak pada konteks yang dimana para
pekerja berusaha untuk berorganisasi, baik secara langsung yaitu melalui manajemen hubungan
relasi dan secara tidak langsung melalui keterbukaan sistem politik. Sistem hubungan industri di
Indonesia telah direstrukturisasi, menciptakan peluang baru bagi perwakilan buruh yang
menghidupkan kembali serikat buruh, dan untuk berpartisipasi lebih banyak dalam proses
hubungan industrial.
Buruh merupakan posisi bawah dalam hirarki ketenagakerjaan yang dalam situasi
perubahan iklim politik masa Orde Baru turut mengambil keuntungan politis. Namun ketika
krisis ekonomi terjadi, buruh merupakan salah satu pihak yang merasakan besarnya dampak
krisis ekonomi. Sebab, banyak investor di Indonesia yang karena turunnya nilai tukar mata uang
menarik usahanya dan membuat kegoncangan situasi ekonomi ditambah situasi politik di
pemerintahan sedang kacau. Ditandai dengan meningkatnya pengangguran diantara buruh
industri, yang mana hal ini juga menjadi tantangan bagi gerakan buruh diawal masa Reformasi.
Banyak diantara buruh kehilangan pekerjaan sektor formal dan beralih ke sektor pertanian,
sementara itu persentase penduduk yang bekerja di sektor informal meningkat dari 41% menjadi

6
46%. Walaupun demikian, krisis ekonomi yang terjadi telah membuat kebijakan berarti bagi
serikat buruh dan gerakan buruh lainnya untuk bergerak bebas untuk melakukan kampanye dan
berorganisasi.

Initial Development in Habibie Interregnum


Terdapat dua institusi legislatif yang membentuk hubungan industrial pada masa
pemerintahan Habibie yaitu, implementasi konvensi internasional perburuhan (ILO) yang
diratifikasi melalui Keputusan Presiden No 87 Tahun 1998 mengenai Kebebasan Asosiasi dan
Perlindungan Hak Organisasi. Pemberlakuan keputusan presiden memunculkan peraturan-
peraturan terhadap serikat buruh seperti syarat bentuk serikat buruh. Peraturan Menteri PER-
05/MEN/1998 menginstruksikan bahwa serikat buruh harus menyamakan prinsip dengan
Pancasila. Sebagaimana yang terjadi pada Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia yang
memiliki gagasan ideologi kiri, tidak diberikan izin pendirian karena bertolak belakang dengan
keputusan menteri.
Institusi legislatif kedua yang turut membentuk hubungan industrial pada masa peralihan
pemerintahan (interregnum) Habibie ialah munculnya implementasi keputusan Kementerian
Ketenagakerjaan No 25 Tahun 1997. Peraturan Kementerian Ketenagakerjaan memiliki
kontradiksi dalam hal mengatur serikat buruh, dibuktikan dengan Peraturan Kementerian
Ketenagakerjaan tahun 1998 dengan Peraturan Kementerian Ketenagakerjaan tahun 1997. Dalam
Peraturan Kementerian Ketenagakerjaan tahun 1998 menjamin hak pekerja untuk membentuk
serikat buruh di level perusahaan dan berlandaskan pada ideologi Pancasila, dari dan untuk buruh
terkecuali pekerja yang berada di posisi manajemen atau pihak yang menciptakan konflik dengan
serikat buruh. Sementara itu, dalam Peraturan Kementerian Ketenagakerjaan tahun 1997 serikat
buruh memiliki hak untuk melakukan negosiasi kolektif atas buruh dan melakukan tindakan
sebagai perkumpulan partai dalam hubungan industrial.
Namun dalam pelaksanaannya, perubahan kebijakan pemerintah terhadap kebebasan
serikat buruh mengalami penundaan selama dua tahun, yaitu pada tahun 2000 implementasi
kebijakan baru dilaksanakan dengan efektif. Selain itu, terdapat perbedaan pandangan antara
Habibie dengan Kementerian Ketenagakerjaan, yang mana Kementerian Ketenagakerjaan
merasa bahwa inisiasi reformasi keberadaan serikat buruh yang dilakukan Habibie sulit
berprogresif mengingat situasi ekonomi dan politik yang sedang sulit.

7
The Labour Law Reform Package and Its Impact
Inisiasi legislative yang dilakukan oleh Habibie ditandai sebagai permulaan perubahan
kerangka legal bagi sistem hubungan industrial. Pada periode 1999 hingga 2004 terdapat empat
konvensi ILO yang diratifikasi oleh pemerintah, yang mana tiga diantaranya merupakan
peraturan mengenai buruh. Reformasi perburuhan telah membawa perubahan bagi organisasi
buruh yang lebih aktif, tidak seperti pada masa Orde Baru yang cenderung sentral pada kerangka
korporat.

1.3.2. Implications for Worker Organising


Serikat pekerja dan aktivis LSM buruh mengkampanyekan melawan aspek dari agenda
pemerintah yang memperbarui undang-undang ketenagakerjaan, dimana mereka percaya bahwa
hal tersebut akan memberikan kerugian bagi pekerja. Mereka khususnya menkritisi elemen dari
sistem yang baru, seperti pengadilan industri yang baru, mereka berargumen bahwa hal itu akan
membuat penyelesaian perselisihan lebih sulit bagi pekerja dan serikat pekerja, dan memprotes
pencabutan undang-undang pro-buruh dari tahun 1950an dan beberapa peraturan yang disahkan
pada masa awal reformasi.Salah satu protes paling emosional terhadap agenda legislatif
pemerintah terjadi setelah keputusan menteri no.1.150/2000 tentang pemutusan hubungan kerja
(PHK).Pada tanggal 3 Mei 2006 ribuan pekerja yang tergabung dengan KSPI menduduki jalan-
jalan di Jakarta Pusat sebelum meruntuhkan gerbang setinggi tiga meter di luar kompleks
parlemen untuk mengajukan protes menentang amandemen undang-undang no. 13/2003 (Jakarta
Post, 2 Mei 2006).Protes dengan ukuran sebesar ini dimungkinkan karena terjadinya ledakan
jumlah serikat pekerja di Indonesia dan kemampuan mereka untuk mengorganisir pekerja tanpa
adanya campur tangan pemerintah.Ruang lingkup serikat buruh juga berkembang secara
dramatis pada masa pasca suharto. Di bawah orde baru, serikat pekerja telah menargetkan
pekerja kerah biru yang dipekerjakan di sektor swasta. Setelah jatuhnya suharto, terjadi
pergeseran aktivitas serikat pekerja yang kecil namun signifikan dari sektor manufaktur yang
berorientasi padat karya dan ekspor dan ke sektor swasta kerah putih, seperti sektor keuangan
dan jurnalisme, dan sektor publik.
Pemerintahan Habibie mencabut larangan mengenai serikat buruh di perusahaan milik
negara yang menunjukkan pelepasan yang lebih kuat dari struktur dan pola hubungan industrial
yang baru daripada perluasan serikat pekerja sektor swasta kerah putih. Karyawan di perusahaan

8
milik negara sampai sekarang belum tergabung, karena tidak memenuhi syarat untuk
keanggotaan serikat pekerja seluruh indonesia.
Pada awal tahun 2003, semua pegawai negeri secara formal diberi izin untuk membentuk
serikat pekerja, yang menandai berakhirnya pembatasan formal pemerintah mengenai kebebasan
berserikat mereka di bawah undang-undang ketenagakerjaan baru.Gerakan buruh Indonesia terus
berjuang di sejumlah bidang setelah reformasi.Kepadatan serikat pekerja tetap diabaikan,
meskipun terjadi peningkatan besar dalam jumlah serikat pekerja dan perluasan kegiatan serikat
pekerja.Meskipun serikat pekerja kerah putih telah berkembang dengan cepat, kepadatan serikat
pekerja tetap sangat rendah dalam pekerjaan kerah putih karena serikat buruh masih dianggap
sebagai provinsi pekerja kerah biru.
Di sisi lain, kemampuan serikat pekerja untuk mewakili anggota mereka di tempat kerja
serikat pekerja juga menyebabkan perdebatan yang terus berlanjut karena banyak serikat pekerja
belum membentuk proses internal yang efektif dan transparan atau untuk mengumpulkan cukup
uang melalui iuran untuk mendanai operasi serikat pekerja sehari-hari.

The Evolution of the Federation of All-Indonesia Workers Union


Besarnya intervensi pemenrintah dalam serikat pekerja resmi pada periode Soeharto,
mungkin mengejutkan bahwa hal ini tetap bertahan hingga rezim pemerintahan tersebut jatuh.
Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, FSPSI pertama retak pada akhir Agustus 1998
dengan sembilan dari 13 serikat pekerja industri menginggalkannya dan membentuk FSPSI-
Reformasi. Kemudian ketika serikat pekerja sektor tekstil, footwear, dan pakaian keluar dari
FSPSI-Reformasi pada tahun 1999, federasi ini sudah mulai menunjukkan kemunduran. Hal ini
ditandai pada tahun 2003 ketika Kongres Serikat Pekerja Indonesia, KSPI (konfederasi kedua
dari tiga konfederasi lain yang dibentuk oleh 11 serikat pekerja dagang, termasuk sembilan
serikat pekerja sektoral yang tadinya di FSPSI-Reformasi. KSPI dengan cepat memperoleh
afiliasi dengan International Confederation of Free Trade Unions (ICFTU).FSPSI ini kemudian
direstrukturasi dan menjadi Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, KSPSI yang mana
merupakan konfederasi serikat pekerja dagang terbesar di Indonesia saat ini.
Menurut Teri Caraway (2008), warisan FSPSI dan afiliasi-afiliasi mereka memberikan
beberapa keuntungan karena statusnya sebagai serikat pekerja yang bersejarah. Untuk mewarisi
keanggotaan FSPSI dan kursi mayoritas dalam berbagai komite tripartit, para pemimpin KSPSI
dan KSPI berusaha memelihara jaringan-jaringan birokratis dan politis yang penting.Lebih jauh,

9
meskipun kehilangan banyak subsidi negara sebelumnya, KSPSI masih memiliki aset fisik yang
dikumpulkan oleh FSPSI selama masa Soeharto.KSPSI (dan banyak serikat pekerja yang
terafiliasi di dalamnya) menahan akses ke company-based check-off system, dimana biasanya
pekerja secara otomatis dikurangi iuran serikat pekerja/koperasi dari upahnya. Ketika
pembayaran wajib dari iuran serikat pekerja/koperasi tidak lagi diperintahkan dalam unionised
workplaces, serika-serikat pekerja baru mengalami kesulitan dalam meyakinkan pekerja untuk
memulai check-off system. Bagaimanapun, serikat pekerja di Indonesia juga mewarisi struktur
dan kultur organisasional yang dicirikan dengan ketidakdemokratisan dan kurangnya
transparansi.

International Influence
Aspek penting dari semua perkembangan ini adalah kekuatan intervensi internasional.
Sistem hubungan industrial indonesia telah dipengaruhi oleh perdebatan dan organisasional
internasional sebelum dan selama orde baru.Bentuk gerakan buruh Indonesia pada akhir tahun
1998 sangat dipengaruhi oleh badan-badan perburuhan internasional, termasuk organisasi buruh
internasional (ILO).Gerakan buruh internasional menempuh dua agenda utama di bidang
reformasi indonesia. Yang pertama yaitu melibatkan promosi satu puncak organisasi serikat
pekerja.ILO juga terus melakukan advokasi pembentukan satu dewan serikat buruh puncak yang
akan mempertemukan tiga konfederasi serikat pekerja yang ada (Boulton, 2006).
Wilayah utama pengaruh internasional lainnya menyangkut promosi bentuk serikat buruh
yang berfokus pada tawar menawar di tempat kerja dan kepentingan sosial ekonomi pekerja dan
bukan pada politik.Serikat pekerja yang paling diuntungkan dari intervensi internasional adalah
serikat pekerja tengah-guna-usaha untuk mengembangkan kehadiran di tingkat tempat kerja yang
kuat.Pilihan yang dibuat oleh organisasi buruh internasional sehubungan dengan alokasi dana
dan bantuan program oleh karena itu menyukai beberapa jenis serikat pekerja atas yang lain,
pada bagian menentukan serikat pekerja yang bertahan dan karakteristik yang mereka
kembangkan.

Impact on Labour NGO


Organisasi buruh akar rumput mempengaruhi keterlibatan pergerakan buruh intenasional
di Indonesia sekaligus menciptakan independensi bagi mereka.Kelompok pekerja yang
sebelumya bergantung pada donatur, sekarang mampu bergerak secara independen dan

10
menciptakan serikat buruh yang legal.Cara yang paling mudah dan popular bagi kelompok
pekerja untuk mendapatkan status legal setelah rezim Orde Baru adalah dengan menjadi aliansi
independen. Akan tetapi, beberapa kelompok ternyata memilih bentuk serikat buruh yang lain.
Contohnya adalah Serikat Buruh Regional yang terbentuk beberapa minggu sebelum keruntuhan
rezim Soeharto yang didirikan oleh kelompok pekerja.Kelompok pekerja ini disponsori oleh
LSM Humanika, dan merupakan salah satu contoh serikat buruh yang terbentuk berdasarkan
wilayah. Beberapa serikat buruh yang disponsori oleh LSM membentuk aliansi pada level yang
lebih tinggi. Contohnya adalah Aliansi Buruh untuk Perubahan yang mendanai organisasinya
sendiri dan bergerak secara independen.Bentuk asosiasi serikat buruh lainnya terdiri dari
kelompok pelajar dan buruh LSM, serta beberapa serikat buruh kecil. Salah satu contohnya
adalah Komite Aksi Serikat Buruh Independen yang dibentuk tahun 2003, yang kemudian
berganti nama menjadi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia.
Meskipun hal ini menimbulkan banyak konflik dan mengurangi pengaruh LSM pada
serikat buruh, LSM melanjutkan peran krusialnya dalam rekonstruksi organisasi buruh.LSM akar
rumput telah menciptakan hubungan institusional dengan gerakan buruh, membantu mereka
dalam hal riset, pendidikan dan pelatihan, peraturan tenaga kerja, dan prosedur
organisasional.Serikat buruh dan LSM juga sudah memulai bekerjasama dalam kampanye
advokasi publik.Kemudian mereka juga melibatkan diri dalam berbagai seminar dan lokakarya.

1.3.3. Organised Labour and Formal Politics


Perkembangan dalam beberapa dekade setelah keruntuhan rezim Orde Baru telah
mengubah gerakan buruh di Indonesia.Tidak hanya secara industrial, namun juga secara politik,
sebab beberapa serikat buruh telah terbebas dari batas-batas yang ditetapkan oleh BUMN.Pada
rezim Orde Baru, serikat buruh hanya dianggap sebagai organisasi sosio-ekonomi dan
keterlibatannya di dalam politik dianggap tabu.Pada saat itu, SPSI dilarang untuk
mengembangkan hubungan dengan partai politik apapun atau dilarang terlibat dalam kegiatan
politik apapun. Ketika Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan (SBM-SK) muncul sebagai
organisasi serikat buruh independen pertama pada rezim Orde Baru, mereka terpecah belah
akibat adanya debat mengenai politisasi. Muchtar Pakpahan, pembentuk SBSI, beranggapan
bahwa tujuan utama serikat buruh adalah untuk mencapai perubahan sosio-ekonomi tanpa
berafiliasi kepada partai politik apapun. Aktivis buruh LSM mengecam upaya Orde Baru yang

11
membatasi kebebasan berserikat pekerjanya dan bernegosiasi secara kolektif. Mereka
berargumen bahwa pembatasan serikat buruh untuk terlibat dalam kegiatan politik akan
mengurangi kemampuan serikat buruh memenuhi kepentingan anggota-anggotanya.

Inisiatif para anggota serikat buruh untuk terjun ke politik formal merupakan sebuah
topik yang kontroversial dan memicu perdebatan.Banyak yang beranggapan bahwa para pekerja
dan aktivis serikat buruh tidak melihat adanya relasi antara perjuangan di tempat kerja dengan
politik di dalamnya.Perdebatan mengenai komposisi dan fungsi dari serikat buruh ini kemudian
berubah menjadi sistem politik desentralisasi yang menciptakan kesempatan buruh untuk
berpolitik.Beberapa serikat buruh besar mulai bersaing untuk mendapatkan posisi eksekutif dan
legislatif dan berencana maju ke pemilihan umum tingkat nasional.Para aktivis serikat buruh
yang mempromosikan keterlibatan buruh dalam politik merupakan resiko dari politik formal,
yang kadang disebut politik praktis, di mana tujuannya untuk memenuhi agenda dari serikat
buruh saja. Para aktivis tersebut juga menyadari bahwa resistensi terhadap politik dalam gerakan
buruh berarti bahwa gerakan buruh tidak dapat menjamin suatu posisi dalam proses pembuatan
kebijakan yang menyejahterakan para buruh itu sendiri.

Tinjauan Kritis
Dampak yang muncul dalam serikat buruh sebagai respon perubahan sistem ekonomi dan
politik`yaitu terdapat fragmentasi gerakan buruh pasca Soeharto. Alasan utama trejadinya
fragmentasi ialah terbentuknya kesempatan yang luas dalam berpolitik menyebabkan elit
organisasi gerakan buruh terserap ke dalam organisasi partai politik. Selain itu, gerakan buruh
belum memiliki pola gerakan yang terarah dengan target tujuan yang jelas serta sistematis.
Gerakan buruh hanya mengandalkan militansi dan mobilisasi massa, sehingga hal ini menjadikan
serikat buruh di Indonesia menjadi tidak efektif. Para aktivis buruh di Indonesia cenderung lebih
mengedepankan sikap reaktif daripada solutif dalam merespon kebijakan pemerintah mengenai
ketenagakerjaan.

12
DAFTAR PUSTAKA

Buku Paket dan Informasi Publik Ketenagakerjaan Indonesia, Kebijakan dan Tantangan tahun
2013

Ford, Michele. (2009). Workers and Intellectuals : NGOs, Trade Unions, and the Indonesian
Labour Movement . Singapore: NUS Press Ch.7. Organised Labour After Suharto

Hadiz, Vedi. (2005) .Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca Suharto. Bab 1.3.
Civil Society, Globalisasi dan Buruh: Kaum Pekerja di Indonesia Pasca Soeharto. Jakarta:
LP3ES.

Presentasi Current Trends in Employment, and Industrial Relations & Labour Laws in Asia oleh
Pong-Sul Ahn,ILO DWT for East and South Asia and The Pacific dari Organisasi
Ketenagakerjaan Internasional (ILO) tahun 2015

13

Anda mungkin juga menyukai