A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan
norma dan nilai sosial dalam masyarakat sebagai peran
penting dalam memberikan stabilitas kehidupan
bermasyarakat. Peran nilai dan norma secara umum
adalah untuk mengatur pola kehidupan masyarakat agar
pola perilaku yang ditunjukkan seimbang, tidak
merugikan, serta tidak menimbulkan ketidakadilan.
Norma merupakan wujud konkret dari nilai yang
merupakan pedoman untuk bersikap dan bertingkah
laku. Didalamnya terdapat hal yang mengharuskan
individu atau masyarakat untuk melakukan tindakan dan
perilaku yang dibenarkan untuk mewujudkan nilai-nilai.
Norma muncul dan tumbuh dari proses kemasyarakatan
sebagai hasil dari proses bermasyarakat. Pada awalnya
aturan itu dibentuk secara tidak sengaja. Lama-kelamaan
norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar.
Norma dalam masyarakat berisi tata tertib, aturan,
petunjuk standar perilaku yang pantas atau wajar
sehingga norma tidak boleh dilanggar.
Keberadaan norma dan nilai sosial sangat membantu
dalam proses sosialisasi, dimana masyarakat dapat
mewujudkan dirinya dalam berperilaku, bertindak, dan
berpikir secara terarah terhadap nilai-nilai sosial yang
berlaku. Norma yang ada dalam masyarakat memiliki
peranan untuk mengatur, mengendalikan, memberi arah,
dan memberi sanksi bagi tingkah laku masyarakat. Setiap
masyarakat selalu mempunyai aturan agar tercipta suatu
kondisi yang tertib. Pelaksanaan norma akan selalu
dilakukan sejak anak masih kecil. Saat pertama kali anak
bersosialisasi dengan orangtuanya, mereka akan
diajarkan untuk mengikuti perintah orang tuanya, seperti
harus membantu orang tua, tidak boleh berbohong,
berbuat baik dan menyayangi orang lain, dan sebagainya.
Masayarakat memahami dan menyadari bahwa norma
berperan penting dalam kebutuhan masyarakat, baik itu
dalam bertingkah laku, berinteraksi, bertindak, dan lain
sebagainya.
Dari kehidupannya, manusia selalu mengadakan
interaksi baik antar individu, maupun anatara individu
dan kelompok atau kelompok dan kelompok dalam
rangka mencapai tujuan kehidupan masyarakat itu
sendiri. Di antara semua tindakannya yang berpola
(menurut tata aturan nilai dan norma sosial) ini perlu
diadakan pembeda antara tindakan yang dilakukan
menurut pola resmi dan pola yang tidak resmi. Sistem-
sistem ini yang menjadi wahana yang memungkinkan
warga masyarakat melakukan interaksi menurut pola-
pola yang sudah terstruktur didalam masyarakat, yang
dalam istilah sosiologi dinamakan pranata social atau
dalam bahasa Inggris disebut institution.1
Pranata (institution) adalah sistem pola-pola resmi
yang dianut warga masyarakat untuk berintegrasi. Suatu
1
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Antropologi, Jakarta: Rineka
Cipta, hlm. 162.
sistem norma khusus yang menata serangkaian tindakan
berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan yang
khusus dalam kehidupan masyarakat. Seperti seorang
boleh saja mengajar anak membaca dalam keseharian,
tetapi guru mengajar membaca terprogram dan berpola
sesuai aturan akademik guna mencapai satu tujuan
belajar, maka guru dalam lingkup pranata.2
Pranata merupakan suatu konsep dasar dalam
sosiologi, konsep ini digunakan antropologi dengan
istilah “unsur kebudayaan”, guna menganalisa kegiatan
manusia yang dipelajari. Pranata dan lembaga dapat
dibedakan, dimana Pranata adalah sistem norma atau
aturan yang menyangkut suatu aktifitas masyarakat yang
bersifat khusus, sedangkan “lembaga” adalah badan yang
melaksanakannya.3
Kebutuhan dalam kehidupan masyarakat harus
dipenuhi secara sempurna oleh setiap pranata yang ada.
Dengan kebutuhan yang berkisar pada kebutuhan yang
essensial atau kebutuhan yang pokok maka
menghadirkan suatu lembaga sosial yang berfungsi
sebagai sarana pemenuhan kebutuhan masyarakat. Tidak
ada satu lembaga sosial yang lahir tanpa adanya
kebutuhan yang harus dipenuhi.
B. PEMBAHASAN
1. LEMBAGA SOSIAL
a. Definisi Lembaga Sosial
2
Syahrial Syarbaini, Rusdiyanta. 2009. Dasar-dasar Sosiologi,
Yogyakarta: Graha Ilmu, hlm. 69.
3
Ibid, hlm. 69-70.
Istilah Lembaga Sosial, merupakan terjemahan yang
langsung dari istilah asing “social institution”. Akan
tetapi, hingga kini belum ada kata sepakat mengenai
istilah Indonesia yang tepat dapat menggambarkan isi
“social institution” tersebut. Ada yang menggunakan
istilah pranata social, oleh karena “social institution”
menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur
perilaku para anggota masyarakat. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata lembaga memiliki banyak
arti, yaitu lembaga berarti asal sesuatu, dan acuan
sesuatu yang memberi bentuk kepada yang lainnya, serta
badan atau organisasi yang bertujuan melakukan sesuatu
penelitian keilmuan atau melakukan sesuatu usaha.4
Definisi lain berkaitan dengan lembaga sosial atau
lembaga kemasyarakatan adalah sebagai berikut.
Koentjaraningrat, memberikan definisi tentang
lembaga kemasyarakatan dengan istilah social
institution, yang berarti bahwa lembaga kemasyarakatan
merupakan lembaga yang terdiri atas unsur-unsur yang
mengatur perilaku warga masyarakat.5
Soerjono Soekanto, mengartikan lembaga
kemasyarakatan dengan istilah association. Lembaga
kemasyarakatan menurut Soerjono Soekanto adalah
himpunan norma dari segala tingkatan yang berkisar
pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan
masyarakat.6
4
W. J.S. Poerwadarminta.1987.Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 512.
5
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta:
Aksara Baru, hlm. 164
6
Soerjono Soekanto. 2004. Sosiologi Surat Pengantar, Jakarta:
Rajawali Pers, hlm. 218.
Adapun menurut sosiolog Robert Mac Iver dan
Charles H. page mengartikan lembaga kemasyarakatan
sebagai tata cara atau prosedur yang telah diciptakan
untuk mengatur hubungan antarmanusia yang
berkelompok dalam kelompok kemasyarakatan yang
dinamakan association. Leopold Von Wiese dan Howard
Becker, melihat lembaga kemasyarakatan dari sudut
fungsinya. Lembaga kemasyarakatan diatikannya sebagai
jaringan daripada proses-proses hubungan antarmanusia
dan kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara
hubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan
kepentingan manusia dan kelompoknya.7
Menurut W. Hamilton, bahwa lembaga merupakan
tata-cara kehidupan kelompok, yang apabila dilanggar
akan dijatuhi pelbagai derajat sanksi. Kemudian Soerjono
Soekanto (1982) menyimpulkan menurut sudut pandang
sosiologis dengan meletakkan institusi daripada proses-
proses hubungan antar manusia dan antar kelompok
manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-
hubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan
kepentingan-kepentingan manusia dan kelompoknya.
Sumner melihatnya dari sudut kebudayaan, mengartikan
lembaga kemasyarakatan sebagai perbuatan, cita-cita,
sikap dan perlengkapan kebudayaan, yang mempunyai
sifat kekal serta yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Pentingnya adalah
agar ada keteraturan dan integrasi dalam masyarakat.8
11
Syahrial Syarbaini, dkk. 2004. Sosiologi dan Politik, Bogor:
Ghalia Indonesia, hlm. 36-37.
12
Soerjono Soekanto. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar, Depok:
PT. Rajagrafindo Persada, hlm.178-179.
terhadap jalannya pemerintahan. Hal ini ada
benarnya juga, tetapi dalam arti yang lebih luas,
mencakup segala proses yang bersifat mendidik,
mengajak, atau memaksa warga masyarakat agar
mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang
berlaku. Dengan demikian, pengendalian sosial
bertujuan untuk mencapai keserasian antara
stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam
masyarakat atau untuk mencapai keadaan damai
melalui keserasian antara kepastian dengan
keadilan.13
Sifat pengendalian sosial dapat berupa preventif
atau represif dan keduanya. Preventif adalah usaha
pencegahan dngan tujuan mengembalikan keserasian,
melalui proses sosialisasi, pendidikan formal dan
informal; sedangkan represif berwujud penjatuhan
sanksi kepada yang melanggar norma. Namun,
pelaksanaannya adalah dengan cara tanpa kekerasan
(persuative) dan paksaan (coercive). Cara yang
terbaik tergantung kepada orang yang melakukan
pengendalian sosial tersebut.14
Pengendalian sosial dapat ditujukan untuk hal-hal
berikut.
a. Mempertebal keyakinan anggota-anggota
masyarakat akan kebaikan norma-norma tersebut.
b. Memberikan pengharagaan kepada anggota-
anggota masyarakat yang taat pada norma-norma
sosial.
13
Syahrial Syarbaini, dkk. Op.cit, hlm. 37.
14
Ibid, hlm. 37
c. Mengembangkan rasa malu dalam diri atau jiwa
anggota masyarakat bila mereka menyimpang dari
norma sosial dan nilai-nilai yang berlaku.
d. Menimbulkan rasa takut dan menciptakan suatu
sistem hukum dengan sanksi yang tegas bagi
pelanggarnya.15
16
Soerjono Soekanto.2013. Op.cit, hlm. 184-185.
yang sengaja dibentuk untuk tujuan tertentu
(misalnya lembaga hutang piutang).
2) Dari sudut sistem nilai-nilai yang diterima masyarakat
terdiri atas basic institutins (dianggap sebagai
lembaga sosial yang sangat penting untuk
memelihara tata tertib masyarakat, misalnya
keluarga, sekolah, Negara, dan sebagainya) dan
subsidiary institutions (dianggap kurang penting,
misalnya kegiatan rekreasi bagi masyarakat desa).
3) Dari sudut penerimaan masyarakat adalah approved
socially dan sanctioned institutions, yaitu lembaga
yang diterima oleh masyarakat (sekolah) dan lembaga
yang ditolak oleh masyaakat, seperti kelompok
preman.
4) Dari sudut penyebaran adalah general institutions
(misalnya agama Islam, Protestan, Hindu, dan
sebagainya) karena dianut masyarakat tertentu di
dunia.
5) Dari sudut fungsinya adalah operative institutions,
merupakan lembaga yang menghimpun pola-pola atau
tata cara untuk mencapai tujuan, seperti lembaga
industrialisasi, dan (regulatif institutions) bertujuan
mengawasi adat istiadat, seperti kejaksaan,
pengadilan, dan sebagainya.17
18
J. Dwi Narwoko, Bagong Suyanto. 2007. Sosiologi: Teks
Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana, hlm. 215.
dengan yang lain terjadi adanya perbedaan-perbedaan
maupun persamaan-persamaan tertentu. Persamaan dari
brbagai lembaga sosial itu diantaranya, disamping pada
umumnya bertujuan untuk mengatur pemenuhan
kebutuhan warganya, juga karena lembaga itu terdiri
dari seperangkat kaidah dan peranan sosial.
21
Johara Jayadinata, T.,Pramandika I.G.T. 2006. Pembangunan
Desa dalam Perencanaan, Bandung: Penerbit ITB, hlm. 112.
22
Muhammad Zid, Ahmad Tarmiji Alkhudri. 2016. Sosiologi
Pedesaan: Teoretisasi dan Perkembangan Kajian Pedesaan di
Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 10.
Lembaga pemerintahan desa lama keberadaannya
semakin terdesak dan tergantikan oleh lembaga
pemerintahan desa baru. Keberadaan beberapa lembaga
baru ini memang sesuai dengan tuntutan perkembangan,
namun untuk lembaga-lembaga baru lainnya belum tentu
sesuai. Lembaga-lembaga baru di desa-desa saat ini
sebenarnya tidak seluruhnya telah dapat disebut lembaga
dalam arti yang sebenarnya, melainkan merupakan
badan-badan, organisasi-organisasi, atau kegiatan-
kegiatan yang bersifat sementara yang keberadaannya
berkaitan dengan pelaksanaan suatu program
pembangunan tertentu.23
23
Ibid, hlm. 10-11.
24
Ibid, hlm. 11.
tanaman juga akan menyebabkan perbedaan tipe
komunitas. Selanjutnya D. Whittlesey dalam Aminudin
(1990) mengemukakan tentang Sembilan corak sistem
pertanian yaitu: 1) bercocok tanam di lading berpindah,
2) bercocok tanam tanpa irigasi menetap, 3) bercocok
tanam menetap dan intensif dengan irigasi sederhana
dan tanaman pokok padi, 4) bercocok tanam menetap
dan intensif dengan irigasi sederhana tanpa padi, 5)
bercocok tanam sekitar lautan tengah, 6) pertanian buah-
buahan, 7) pertanian komersial dengan mekanisasi
berdasarkan tanaman gandum, 8) pertanian komersial
dengan mekanisasi, dan 9) pertanian perkebunan dengan
menkanisasi.25
Selain komunitas desa pertanian, terdapat pula
komunitas desa nelayan. Factor penentu struktur
komunitas desa nelaya adalah pemilikan sarana
menangkap ikan (perahu, jaring-jaring, harpun, dan
lainnya). Secara umum terdapat dua strata pokok dalam
struktur masyarakat desa nelayan yaitu juragan dan
buruh nelayan. Selain itu terdapat pula strata komando
kapal yang posisinya ada ditengah-tengah kedua strata
tersebut. Kondisi komunitas desa nelayan ini ternyata
lebih miskin dibanding komunitas desa pertanian.
c. Kelembagaan Pertanian
Kelembagaan pertanian adalah kelembagaan mikro
yang terdiri dari kelompok petani lokal yang di dalamnya
memiliki ikatan sosial dan aturaan-aturan atau norma,
serta dibentuk karena memiliki tujuan yang sama.
Sebuah lembaga tentu memiliki sasaran serta tujuan
25
Ibid, hlm. 11.
yang jelas. Tujuan-tujuan disini mencakup beberapa
aspek penting dalam pelaksanaannya yang sesuai dengan
kesepakatan bersama. Kelembagaan ini juga memerlukan
sumber daya manusia (SDM) yang dapat mengelola dan
mengatur kehidupan atau jalannya suatu lembaga
tersebut.26
Kelembagaan pertanian dibentuk pada dasarnya
mempunyai beberapa fungsi utama, yaitu: (a)
interorganisational task untuk mediasi masyarakat dan
Negara. (b) resource tasks mencakup mobilisasi
sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal, material,
informasi) dan pengelolaannya dalam pencapaian tujuan
masyarakat, (c) tugas pelayanan service tasks, mencakup
permintaan pelayanan yang menggambarkan tujuan
pembangunan atau koordinasi permintaan masyarakat
lokal, dan (d) extra-organisational task, memenuhi
permintaan lokal terhadap birokrasi atau organisasi luar
masyarakat serta dalam kaitannya dengan campur
tangan kelembagaan luar. (Esman dan Uphoff, 1985;
Garkovich, 1989).27
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa lahan
mempunyai arti yang sangat penting bagi petani karena
dari lahan mereka dapat mempertahankan hidup
bersama keluarganya melalui kegiatan bercocok tanam.
Akan tetapi, masyarakat selalu berproses dari waktu ke
waktu, baik dari segi pertambahan penduduk maupun
dalam tatanan sosialnya. Kelembagaan pertanian mesti
d. Kelembagaan Nelayan
Kelembagaan nelayan merupakan kelembagaan
mikro yang terdiri dari kelompok nelayan lokal yang di
dalamnya memiliki ikatan social dan aturaan-aturan atau
norma, serta dibentuk karena memiliki tujuan yang sama.
Dimana tujuan tersebut terbentuk karena adanya
tuntutan melakukan suatu usaha untuk mendatangkan
hasil dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Dilihat dari perspektif antropologis, masyarakat
nelayan berbeda dari masyarakat lain, seperti
masyarakat petani, perkotaan atau masyarakat di
dataran tinggi. Perspektif antropologis ini didasarkan
pada realitas social bahwa masyarakat nelayan memiliki
pola-pola kebudayaan yang berbeda dari masyarakat lain
sebagai hasil dari interaksi mereka dengan lingkungan
beserta sumber daya yang ada didalamnya. Pola-pola
kebudayaan itu menjadi kerangka berpikir atau referensi
perilaku masyarakat nelayan dalam menjalani kehidupan
sehari-hari (Kusnaidi, 2005).
Dilihat, dimensi pekerjaan, masyarakat nelayan
terdiri atas 2 kelompok, yaitu: kelompok yang terkait
(langsung) dan yang tidak terkait dengan aktifitas
kelautan/perikanan. Kelompok yang terkait (langsung)
dengan aktifitas kelautan/perikanan terdiri dari 2 sub
kelompok, yaitu: sub kelompok pencari/penangkap hasil
kelautan/perikanan dan pembudidaya hasil
kelautan/perikanan. Sedangkan pencari hasil
kelautan/perikanan meliputi pemilik alat
produksi/tangkap seperti toke, juragan, bos, atau nama
lain. Mereka pun beragam, bias berada pada lapisan atas,
menengah, atau bawah. Kemudian juga masuk di
dalamnya nelayan pekerja (buruh), nelayan mandiri, dan
pedagang ikan (kecil, menengah, dan besar). Selanjutnya
pembudidaya hasil kelautan/perikanan mencakup pemilik
alat produksi, pekerja (buruh), nelayan pembudidaya
mandiri, dan pedagang hasil budidaya
kelautan/perikanan (kecil, menengah, dan besar).28
Kelompok yang tidak terkait (langsung) dengan
aktifitas kelautan/perikanan seperi pedagang/pemilik
warung makanan, pedagang kebutuhan sehari-hari,
petugas koperasi, dan sebagainya. Dilihat dari dimensi
sosial budaya, masyarakat nelayan dapat dibedakan
antara: (1) kelompok yang melihat sumber daya
kelautan/perikanan tidak terbatas, kapan saja selagi
musim baik bias dieksploitasi, dan tidak memiliki
perencanaan. (2) kelompok yang melihat sumber daya
kalautan/perikanan terbatas, namun untuk jenis tertentu
sumber daya dapat dibudidayakan, dan memiliki
perencanaan (Damsar dan Nia Elfina, 2005).
C. PENUTUP
a. Kesimpulan
Lembaga Sosial merupakan lembaga yang terdiri
atas unsur-unsur yang mengatur perilaku warga
b. Saran
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa lembaga
mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat karena dari adanya lembaga masyarakat
dapat memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahankan
hidup bersama keluarganya melalui kegiatan dari
lembaga yang ada. Akan tetapi, masyarakat selalu
berproses dari waktu ke waktu, baik dari segi
pertambahan penduduk maupun dalam tatanan sosialnya.
Perubahan sosial pada masyarakat pun akan berubah.
Untuk itu kelembagaan mesti perlu mendapatkan
pengembangan kapasitas sebagai sarana pendorong
proses perubahan dan inovasi.
DAFTAR PUSTAKA