Anda di halaman 1dari 28

KELEMBAGAAN SOSIAL DI PEDESAAN

Oleh : Asri Ayu Rusli


(1668041007)

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan
norma dan nilai sosial dalam masyarakat sebagai peran
penting dalam memberikan stabilitas kehidupan
bermasyarakat. Peran nilai dan norma secara umum
adalah untuk mengatur pola kehidupan masyarakat agar
pola perilaku yang ditunjukkan seimbang, tidak
merugikan, serta tidak menimbulkan ketidakadilan.
Norma merupakan wujud konkret dari nilai yang
merupakan pedoman untuk bersikap dan bertingkah
laku. Didalamnya terdapat hal yang mengharuskan
individu atau masyarakat untuk melakukan tindakan dan
perilaku yang dibenarkan untuk mewujudkan nilai-nilai.
Norma muncul dan tumbuh dari proses kemasyarakatan
sebagai hasil dari proses bermasyarakat. Pada awalnya
aturan itu dibentuk secara tidak sengaja. Lama-kelamaan
norma-norma itu disusun atau dibentuk secara sadar.
Norma dalam masyarakat berisi tata tertib, aturan,
petunjuk standar perilaku yang pantas atau wajar
sehingga norma tidak boleh dilanggar.
Keberadaan norma dan nilai sosial sangat membantu
dalam proses sosialisasi, dimana masyarakat dapat
mewujudkan dirinya dalam berperilaku, bertindak, dan
berpikir secara terarah terhadap nilai-nilai sosial yang
berlaku. Norma yang ada dalam masyarakat memiliki
peranan untuk mengatur, mengendalikan, memberi arah,
dan memberi sanksi bagi tingkah laku masyarakat. Setiap
masyarakat selalu mempunyai aturan agar tercipta suatu
kondisi yang tertib. Pelaksanaan norma akan selalu
dilakukan sejak anak masih kecil. Saat pertama kali anak
bersosialisasi dengan orangtuanya, mereka akan
diajarkan untuk mengikuti perintah orang tuanya, seperti
harus membantu orang tua, tidak boleh berbohong,
berbuat baik dan menyayangi orang lain, dan sebagainya.
Masayarakat memahami dan menyadari bahwa norma
berperan penting dalam kebutuhan masyarakat, baik itu
dalam bertingkah laku, berinteraksi, bertindak, dan lain
sebagainya.
Dari kehidupannya, manusia selalu mengadakan
interaksi baik antar individu, maupun anatara individu
dan kelompok atau kelompok dan kelompok dalam
rangka mencapai tujuan kehidupan masyarakat itu
sendiri. Di antara semua tindakannya yang berpola
(menurut tata aturan nilai dan norma sosial) ini perlu
diadakan pembeda antara tindakan yang dilakukan
menurut pola resmi dan pola yang tidak resmi. Sistem-
sistem ini yang menjadi wahana yang memungkinkan
warga masyarakat melakukan interaksi menurut pola-
pola yang sudah terstruktur didalam masyarakat, yang
dalam istilah sosiologi dinamakan pranata social atau
dalam bahasa Inggris disebut institution.1
Pranata (institution) adalah sistem pola-pola resmi
yang dianut warga masyarakat untuk berintegrasi. Suatu

1
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Antropologi, Jakarta: Rineka
Cipta, hlm. 162.
sistem norma khusus yang menata serangkaian tindakan
berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan yang
khusus dalam kehidupan masyarakat. Seperti seorang
boleh saja mengajar anak membaca dalam keseharian,
tetapi guru mengajar membaca terprogram dan berpola
sesuai aturan akademik guna mencapai satu tujuan
belajar, maka guru dalam lingkup pranata.2
Pranata merupakan suatu konsep dasar dalam
sosiologi, konsep ini digunakan antropologi dengan
istilah “unsur kebudayaan”, guna menganalisa kegiatan
manusia yang dipelajari. Pranata dan lembaga dapat
dibedakan, dimana Pranata adalah sistem norma atau
aturan yang menyangkut suatu aktifitas masyarakat yang
bersifat khusus, sedangkan “lembaga” adalah badan yang
melaksanakannya.3
Kebutuhan dalam kehidupan masyarakat harus
dipenuhi secara sempurna oleh setiap pranata yang ada.
Dengan kebutuhan yang berkisar pada kebutuhan yang
essensial atau kebutuhan yang pokok maka
menghadirkan suatu lembaga sosial yang berfungsi
sebagai sarana pemenuhan kebutuhan masyarakat. Tidak
ada satu lembaga sosial yang lahir tanpa adanya
kebutuhan yang harus dipenuhi.

B. PEMBAHASAN
1. LEMBAGA SOSIAL
a. Definisi Lembaga Sosial

2
Syahrial Syarbaini, Rusdiyanta. 2009. Dasar-dasar Sosiologi,
Yogyakarta: Graha Ilmu, hlm. 69.
3
Ibid, hlm. 69-70.
Istilah Lembaga Sosial, merupakan terjemahan yang
langsung dari istilah asing “social institution”. Akan
tetapi, hingga kini belum ada kata sepakat mengenai
istilah Indonesia yang tepat dapat menggambarkan isi
“social institution” tersebut. Ada yang menggunakan
istilah pranata social, oleh karena “social institution”
menunjuk pada adanya unsur-unsur yang mengatur
perilaku para anggota masyarakat. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata lembaga memiliki banyak
arti, yaitu lembaga berarti asal sesuatu, dan acuan
sesuatu yang memberi bentuk kepada yang lainnya, serta
badan atau organisasi yang bertujuan melakukan sesuatu
penelitian keilmuan atau melakukan sesuatu usaha.4
Definisi lain berkaitan dengan lembaga sosial atau
lembaga kemasyarakatan adalah sebagai berikut.
Koentjaraningrat, memberikan definisi tentang
lembaga kemasyarakatan dengan istilah social
institution, yang berarti bahwa lembaga kemasyarakatan
merupakan lembaga yang terdiri atas unsur-unsur yang
mengatur perilaku warga masyarakat.5
Soerjono Soekanto, mengartikan lembaga
kemasyarakatan dengan istilah association. Lembaga
kemasyarakatan menurut Soerjono Soekanto adalah
himpunan norma dari segala tingkatan yang berkisar
pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan
masyarakat.6

4
W. J.S. Poerwadarminta.1987.Kamus Umum Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 512.
5
Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta:
Aksara Baru, hlm. 164
6
Soerjono Soekanto. 2004. Sosiologi Surat Pengantar, Jakarta:
Rajawali Pers, hlm. 218.
Adapun menurut sosiolog Robert Mac Iver dan
Charles H. page mengartikan lembaga kemasyarakatan
sebagai tata cara atau prosedur yang telah diciptakan
untuk mengatur hubungan antarmanusia yang
berkelompok dalam kelompok kemasyarakatan yang
dinamakan association. Leopold Von Wiese dan Howard
Becker, melihat lembaga kemasyarakatan dari sudut
fungsinya. Lembaga kemasyarakatan diatikannya sebagai
jaringan daripada proses-proses hubungan antarmanusia
dan kelompok manusia yang berfungsi untuk memelihara
hubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan
kepentingan manusia dan kelompoknya.7
Menurut W. Hamilton, bahwa lembaga merupakan
tata-cara kehidupan kelompok, yang apabila dilanggar
akan dijatuhi pelbagai derajat sanksi. Kemudian Soerjono
Soekanto (1982) menyimpulkan menurut sudut pandang
sosiologis dengan meletakkan institusi daripada proses-
proses hubungan antar manusia dan antar kelompok
manusia yang berfungsi untuk memelihara hubungan-
hubungan tersebut serta pola-polanya, sesuai dengan
kepentingan-kepentingan manusia dan kelompoknya.
Sumner melihatnya dari sudut kebudayaan, mengartikan
lembaga kemasyarakatan sebagai perbuatan, cita-cita,
sikap dan perlengkapan kebudayaan, yang mempunyai
sifat kekal serta yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Pentingnya adalah
agar ada keteraturan dan integrasi dalam masyarakat.8

Elly M. Setiadi, Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi


7

Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi,


dan Pemecahannya, Jakarta: Prenadamedia Group, hlm. 288.
8
Abdulsyani. 2002. Sosiologi Skematika, Teori, dan Terapan,
Jakarta: PT. Bumi Aksara, hlm. 76.
Norma apabila diwujudkan dalam hubungan antara
manusia dinamakan “social organization” (organisasi
sosial). Di dalam perkembangan selanjutnya, norma
tersebut berkelompok-kelompok pada berbagai keperluan
manusia, seperti keperluan pekerjaan, pendidikan,
kekeluargaan, dan sebagainya. Dalam kehidupan selalu
ada norma. Jadi, lembaga sosial terdapat dalam setiap
masyarakat, baik masyarakat sederhana maupun
masyarakat modern, merupakan himpunan daripada
norma-norma dari tingkatan yang berkisar pada suatu
kehidupan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Wujud
konkrit lembaga sosial adalah asosiasi (association).
b. Fungsi Lembaga Sosial
Suatu lembaga social yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan pokok dari manusia, pada dasarnya
mempunyai beberapa fungsi, yaitu:
1) Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat,
bagaimana mereka harus bertingkah laku atau
bersikap di dalam menghadapi masalah dalam
masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan
yang bersangkutan. Hal ini tentunya berkaitan
dengan persoalan benturan antar-kepentingan dan
perbedaan antar-individu amupun antar-kelompok.
2) Menjaga kesatuan dari masyarakat yang
bersangkutan. Artinya selain lembaga sosial berfungsi
untuk memberikan pedoman atau arah bagi tata
kelakuan juga untuk menjaga kestabilan sosial agar
dalam kehidupan social tidak terjadi disintegrasi
(perpecahan). Integrasi social akan tercapai jika
masing-masing anggota masyarakat menggunakan
norma sebagai pedoman untuk bertingkah laku atau
tetap berpegang teguh pada aturan yang berlaku,
utamanya yaitu aturan dalam pergaulan.
3) Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk
mengadakan sistem pengendalian sosial (social
control), yaitu artinya sistem pengawasan masyarakat
terhadap tingkah laku anggotanya. Artinya sistem
pengawasan atas tingkah pekerti para anggota
masyarakat di dalam kelompok sosial. Dengan
demikian, lembaga sosial tidak hanya berfungsi
sebagai pedoman tetapi juga berfungsi sebagai alat
pengendali atas berbagai bentuk penyimpangan
sosial. Fungsi pengendaliannya terletak pada
indikator akan adanya tingkat penyimpangan
sehingga perilaku mana yang dianggap sesuai dengan
aturan pergaulan sosial.9

Fungsi-funsi diatas menyatakan bahwa apabila


seseorang hendak mempelajari kebudayaan dan
masyarakat tertentu, maka harus pula diperhatikan
secara teliti lembaga-lembaga sosial di masyarakat yang
bersangkutan.

c. Proses Pertumbuhan Lembaga Sosial


Lembaga sosial tumbuh karena kebutuhan
masyarakat untuk tujuan mendapatkan keteraturan
kehidupan bersama. Jika kelompok masyarakat tidak
memiliki lembaga sosial, maka kehidupan bersama akan
mengalami kekacauan. Hal ini dikarenakan masing-
masing anggota masyarakat berbuat sekehendaknya di
luar batasan tatanan nila-nilai dan norma-norma yang
9
Elly M. setiadi, Usman Kolip. Op.cit, hlm. 290.
berlaku di dalam kelompok tersebut. Karena tujuan untuk
mencapai keteraturan sosial semata, akhirnya didalam
kehidupan masyarakat tersebut menciptakan nilai-nilai
dan norma-norma baik yang bersifat formal maupun
bersifat informal yang dikemas dalam pranata sosial atau
lembaga sosial.
Proses pelembagaan adalah proses yang harus
dilewati oleh suatu norma kemasyarakatan (norma sosial)
yang baru untuk menjadi bagian dari salah satu lembaga
sosial. Norma ini ditanamkan ke dalam kelompok untuk
dikenal, diakui, dihargai, dan kemudian ditaati dalam
kelompok sebagai petunjuk atau pedoman untuk perilaku
sehari-hari.10
Ada dua unsur yang menandai proses pertumbuhan
lembaga sosial, yaitu norma-norma dalam masyarakat
dan sistem pengendalian sosial.
1) Norma-norma Masyarakat
Agar kehidupan masyarakat teratur, maka
diperlukanlah norma. Permulaannya norma dibentuk
tidak sengaja, namun kemudian dalam
perkembangannya dibuat dengan sadar. Norma yang
ada dalam masyarakat mempunyai kekuatan
mengikat yang berbeda-beda. Untuk membedakan
kekuatan mengikatnya suatu norma tersebut, maka
secara sosiologis dikenal adanya empat pengertian,
yaitu sebagai berikut.
a. Cara (usage), menunjukkan pada suatu bentuk
perbuatan. Norma ini agak lemah dibandingkan
dengan kebiasaan, lebih menonjolkan kepada
bentuk hubungan individu dalam masyarakat,
10
Ibid, hlm. 298.
penyimpangannya tidak dihukum dengan berat,
tetapi hanya sekedar celaan. Misalnya, cara-cara
minum waktu bertamu.
b. Kebiasaan (folkways), menunjukkan pada
perbuatan yang diulang-diulang dalam bentuk yang
sama. Mempunyai kekuatan mengikat dari cara
(usage) yang merupakan sebagai bukti bahwa
orang banyak menyukai perbuatan itu. Contohnya,
kebiasaan memberikan hormat kepada orang lain.
c. Tata-kelakuan (mores), apabila kebiasaan tidak
semata-mata dianggap sebagai cara
berperikelakuan saja, tetapi juga diterima sebagai
norma-norma pengatur. Tata kelakuan
mencerminkan sifat-sifat yang hidup ari kelompok
manusia.yang dilaksanakan sebagai alat pengawas
oleh masyarakat terhadap anggota-anggotanya.
Tata kelakuan sangat penting karena dapat
memberi batas kepada kelakuan individu,
mengidentifikasi individu dengan kelompoknya, dan
dapat menjaga solidaritas antara anggota
masyarakat.
d. Adat istiadat (custom). Suatu tata kelakuan yang
kekal dan kuat integrasinya dengan pola-pola
perikelakuan masyarakat. Anggota yang melanggar
dapat dikenakan sanksi yang keras. Misalnya
larangan perceraian suami-istri, bila terjadi
perceraian, maka bukan saja pribadi yang
bersangkutan tercemar namanya, juga keluarga
dan sukunya. Keadaan ini berlaku di masyarakat
Lampung. Contoh lain adalah larangan kawin
dengan sesame suku di Minangkabau.11

Proses pelembagaan sebenarnya tidak berhenti


demikian saja, tetapi dapat berlangsung lebih jauh
lagi hingga suatu norma kemasyarakatan tidak hanya
menjadi institutionalized dalam masyarakat, tetapi
mnjadi internalized. Maksudnya adalah suatu taraf
perkembangan dimana para anggota masyarakat
dengan sendirinya ingin berperilaku sejalan dengan
perilaku ynag memang sebenarnya memenuhi
kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain, norma-
norma tadi telah mendarah daging (internalized).
Kadang-kadang dibedakan antara norma atau kaidah-
kaidah yang mengatur pribadi manusia dan hubungan
antar-pribadi. Kaidah-kaidah pribadi mencakup norma
kepercayaan yang bertujuan agar manusia
mempunyai hati nurani yang bersih. Kaidah
antarpribadi mencakup kaidah kesopanan dan kaidah
hokum. Kaidah kesopanan bertujuan agar manusia
bertingkah laku dengan baik di dalam pergaulan
hidup. Norma hukum pada dasarnya bertujuan untuk
mencapai kedamaian hidup bersama, yang
merupakan keserasian antara ketertiban dengan
ketenteraman.12

2) Sistem Pengendalian Sosial (Social Control)


Social control dalam kehidupan sehari-hari selalu
digunakan sebagai pengawasan oleh masyarakat

11
Syahrial Syarbaini, dkk. 2004. Sosiologi dan Politik, Bogor:
Ghalia Indonesia, hlm. 36-37.
12
Soerjono Soekanto. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar, Depok:
PT. Rajagrafindo Persada, hlm.178-179.
terhadap jalannya pemerintahan. Hal ini ada
benarnya juga, tetapi dalam arti yang lebih luas,
mencakup segala proses yang bersifat mendidik,
mengajak, atau memaksa warga masyarakat agar
mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang
berlaku. Dengan demikian, pengendalian sosial
bertujuan untuk mencapai keserasian antara
stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam
masyarakat atau untuk mencapai keadaan damai
melalui keserasian antara kepastian dengan
keadilan.13
Sifat pengendalian sosial dapat berupa preventif
atau represif dan keduanya. Preventif adalah usaha
pencegahan dngan tujuan mengembalikan keserasian,
melalui proses sosialisasi, pendidikan formal dan
informal; sedangkan represif berwujud penjatuhan
sanksi kepada yang melanggar norma. Namun,
pelaksanaannya adalah dengan cara tanpa kekerasan
(persuative) dan paksaan (coercive). Cara yang
terbaik tergantung kepada orang yang melakukan
pengendalian sosial tersebut.14
Pengendalian sosial dapat ditujukan untuk hal-hal
berikut.
a. Mempertebal keyakinan anggota-anggota
masyarakat akan kebaikan norma-norma tersebut.
b. Memberikan pengharagaan kepada anggota-
anggota masyarakat yang taat pada norma-norma
sosial.

13
Syahrial Syarbaini, dkk. Op.cit, hlm. 37.
14
Ibid, hlm. 37
c. Mengembangkan rasa malu dalam diri atau jiwa
anggota masyarakat bila mereka menyimpang dari
norma sosial dan nilai-nilai yang berlaku.
d. Menimbulkan rasa takut dan menciptakan suatu
sistem hukum dengan sanksi yang tegas bagi
pelanggarnya.15

Seseorang dimana pun dia hidup secara sadar


maupun secara tidak sadar selalu akan menciptakan
suatu kebiasaan bagi dirinya yang khas. Selain itu,
juga dijumpai pola perikelakuan, yaitu cara-cara
bertindak atau berkelakuan yang sama dari orang-
orang yang hidup dalam masyarakat.

d. Ciri-ciri Umum Lembaga Sosial


Gillin dan gillin didalam karyanya yang berjudul
General Features of Social Institutions, telah
menguraikan beberapa ciri umum lembaga sosial yaitu
sebagai berikut.
1) Suatu lembaga sosial adalah organisasi pola-pola
pemikiran dan pola-pola perilaku yang trwujud
melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan hasil-
hasilnya. Lembaga sosial terdiri dari adat istiadatnya,
tata kelakuan, kebiasaan, serta unsur-unsur
kebudayaan lainnya yang secara langsung maupun
tidak langsung tergabung dalam satu unit yang
fungsional.
2) Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari
semua lembaga kemasyarakatan. Sistem-sistem
kepercayaan dan aneka macam tindakan baru akan
menjadi bagian lembaga kemasyarakatan setelah
15
Ibid, hlm. 38
melewati waktu yang relatif lama. Misalnya, suatu
sistem pendidikan tertentu baru akan dapat
diterapkan seluruhnya setelah mengalami suatu masa
percobaan. Lemba-lembaga sosial biasanya juga
berumur lama karena pada umumnya orang
menganggapnya sebagai himpunan norma-norma
yang berkisar pada kebutuhan pokok masyarakat
yang sudah sewajarnya harus dipelihara.
3) Lembaga sosial mempunyai satu atau beberapa
tujuan tertentu. Mungkin tujuan-tujuan tersebut tidak
sesuai atau sejalan dengan fungsi lembaga yang
bersangkutan apabila dipandang dari sudut
kebudayaan secara keseluruhan. Pembedaan antara
tujua dengan fungsi sangat penting karena tujuan
suatu lembaga merupakan tujuan pula bagi golongan
masyarakat tertentu dan golongan masyarakat
bersangkutan pasti akan berpegang teguh padanya.
Sebaliknya, fungsi sosial lembaga tersebut, yaitu
peranan lembaga tadi dalam sistem sosial dan
kebudayaan masyarakat mungkin tak diketahui atau
disadari golongan masyarakat tersebut. Mungkin
fungsi tersebut baru disadari setelah diwujudkan,
yang kemudian ternyata berbeda dengan tujuannya.
Umpannya lembaga pembudakan, yang bertujuan
untuk mendapatkan tenaga buruh yang semurah-
murahnya, tetapi di dalam pelaksanaan ternyata
sangat mahal.
4) Lembaga sosial mempunyai alat-alat perlengkapan
yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga
bersangkutan, seperti bangunan, peralatan, mesin,
dan lain sebagainya. Bentuk serta penggunaan alat-
alat tersebut biasanya berlainan antara satu
masyarakat dengan masyarakat lain.
5) Lambang-lambang biasanya juga merupakan ciri khas
lembaga sosial. Lambang-lambang tersebut secara
simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi lembaga
yang bersangkutan. Sebagai contoh, masing-masing
kesatuan-kesatuan angkatan bersenjata mempunyai
panji-panji; perguruan-perguruan tinggi seperti
universitas, institute, dan lain-lainnya mempunyai
lambing-lambangnya dan lain-lain lagi. Kadang-
kadang lambing tersebut berwujud tulisan-tulisan
atau slogan-slogan.
6) Suatu lembaga kemasyarakatan mempunyai tradisi
tertulis ataupun yang tak tertulis, yang merumuskan
tujuannya, tata tertib yang berlaku, dan lain-lain.
Tradisi tersebut merupakan dasar bagi lembaga itu di
dalam pekerjannya memenuhi kebutuhan-kebutuhan
pokok masyarakat, dimana lembaga sosial tersebut
menjadi bagiannya.16

e. Tipe-tipe Lembaga Sosial


Tipe-tipe lembaga sosial dapat diklasifikasikan sebagai
berikut.
1) Dari sudut perkembangannya terdiri atas crecive
institutions, yaitu lembaga yang tidaak sengaja timbul
menjadi adat kebiasaan masyarakat (lembaga ini
disebut primer, seperti hak milik, perkawinan, dan
sebagainya), dan enacted institutions, yaitu lembaga

16
Soerjono Soekanto.2013. Op.cit, hlm. 184-185.
yang sengaja dibentuk untuk tujuan tertentu
(misalnya lembaga hutang piutang).
2) Dari sudut sistem nilai-nilai yang diterima masyarakat
terdiri atas basic institutins (dianggap sebagai
lembaga sosial yang sangat penting untuk
memelihara tata tertib masyarakat, misalnya
keluarga, sekolah, Negara, dan sebagainya) dan
subsidiary institutions (dianggap kurang penting,
misalnya kegiatan rekreasi bagi masyarakat desa).
3) Dari sudut penerimaan masyarakat adalah approved
socially dan sanctioned institutions, yaitu lembaga
yang diterima oleh masyarakat (sekolah) dan lembaga
yang ditolak oleh masyaakat, seperti kelompok
preman.
4) Dari sudut penyebaran adalah general institutions
(misalnya agama Islam, Protestan, Hindu, dan
sebagainya) karena dianut masyarakat tertentu di
dunia.
5) Dari sudut fungsinya adalah operative institutions,
merupakan lembaga yang menghimpun pola-pola atau
tata cara untuk mencapai tujuan, seperti lembaga
industrialisasi, dan (regulatif institutions) bertujuan
mengawasi adat istiadat, seperti kejaksaan,
pengadilan, dan sebagainya.17

Di dalam kehidupan masyarakat, lembaga sosial


yang ada relatif beragam dan jumlahnya terus
berkembang sesuai dengan dinamika perkembangan
masyarakat itu sendiri.18 Dimana dalam suatu lembaga

Syahrial Syarbaini, dkk. Op.cit, hlm. 38-39.


17

18
J. Dwi Narwoko, Bagong Suyanto. 2007. Sosiologi: Teks
Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana, hlm. 215.
dengan yang lain terjadi adanya perbedaan-perbedaan
maupun persamaan-persamaan tertentu. Persamaan dari
brbagai lembaga sosial itu diantaranya, disamping pada
umumnya bertujuan untuk mengatur pemenuhan
kebutuhan warganya, juga karena lembaga itu terdiri
dari seperangkat kaidah dan peranan sosial.

2. LEMBAGA SOSIAL PADA MASYARAKAT PEDESAAN


Dalam suatu masyarakat meskipun terdapat lebih
dari satu lembaga terdapat satu lembaga yang
menempati kedudukan teratas dan mendominasi lembaga
lainnya. Bagi masyarakat desa, lembaga ini bisa diwakili
oleh lembaga adat ataupun lembaga pemerintahan.
Besarnya peranan lembaga pemerintahan berbeda pada
semua desa. Pada desa dengan ikatan genealogis,
peranan lembaga pemerintahan tidak terlalu besar
karena sistem kekerabatan dengan aturan adat-
istiadatnya sangat mendominasi kehidupan masyarakat
desa. Adapun pada desa dengan ikatan kedaerahan,
peranan lembaga pemerintahan cukup besar.19
Perubahan dan perkembangan pada desa-desa di
Indonesia ditentukan oleh kondisi internal ataupun
pengaruh eksternal desa. Pengaruh eksternal berasal
dari program-program pembangunan. Kondisi internal
adalah semua potensi dan akses yang dimiliki desa dan
menjadi faktor penentu dalam beradaptasi terhadap
proses sosial umum. Diferensiasi kelembagaan menjadi
lebih berkembang setelah era pembangunan, ketika
pemerintah melalui berbagai departemennya semakin

Wisadirana, 2005. Sosiologi Pedesaan, Malang: Univ.


19

Muhammadiyah malang, hlm. 117.


meningkatkan intervensinya terhadap proses
perkembangan pembangunan desa.20
Berdasarkan Peraturan Menteri dalam Negeri RI
Nomor 5 tahun 2007 tentang Pedoman Penataan
Lembaga Kemasyarakatan, kegiatan lembaga
kemasyarakatan di desa, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) ditujukan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui:
a. Peningkatan pelayanan masyarakat,
b. Peningkatan peran serta masyarakat dalam
pembangunan,
c. Pengembangan kemitraan,
d. Pemberdayaan masyarakat,
e. Pengembangan kegiatan lain sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat.

Pada jajaran pemerintahan dan masyarakat desa


dijumpai banyak kelompok masyarakat berdasarkan
norma dan peraturan tertentu yang menjadi ciri lembaga
tersebut, misalnya lembaga keagamaan, lembaga
kepemudaan, olahraga, kesenian, arisan, kesukuan, dan
sebagainya

Berikut ini beberapa jenis kelembagaan yang


terdapat di desa, yaitu sebagai berikut.

a. Lembaga Musyawarah Desa (LMD) terdapat di desa


swadaya, swakarsa, dan swasembada.
b. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) terdapat
di desa swadaya, swakarsa, dan swasembada.

Adon Nasrullah Jamaluddin. 2015. Sosiologi Perdesaan,


20

Bandung: CV. Pustaka Setia, hlm. 101.


c. Rukun Tetangga, Rukun Kampung-RT/RW terdapat di
desa swadaya, swakarsa, dan swasembada.
d. Pembinaan Kesejahteraan Keluarga-PKK terdapat di
desa swakarsa dan swasembada.
e. Perhimpunan Pemakai Air terdapat di desa swakarsa
dan swasembada.
f. Koperasi Unit Desa-KUD/BUD, dan sebagainya
terdapat di desa swakarsa dan swasembada
g. Majelis Ulama dan lembaga keagamaan lainnya,
hanya terdapat di desa swasembada.
h. Perkumpulan kematian hanya di desa swasembada.
i. Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, terdapat di
desa swasembada
j. Lembaga Sosial Kampung-LSK terdapat di desa
swasembada.21
a. Lembaga-lembaga Sosial Lain, Lama dan Baru
Keberadaan lembaga merupakan respons terhadap
kebutuhan masyarakat sehingga ketika ada kebutuhan
baru maka terdapat pula tuntutan atau munculnya
lembaga baru. Dengan demikian lembaga-lembaga lama
mengalami pergeseran dan perubahan. Sebagai contoh
adalah lembaga gotong-royong. Gotong royong yang
disebut sambatan yang lebih mengandalkan barter
tenaga telah bergeser ke system upah. System sakap
atau bagi hasil semakin tergeser oleh system persewaan.
Gotong-royong yang dilandasi oleh partisipasi berubah
menjadi kerja bakti yang lebih dilandasi oleh mobilisasi.22

21
Johara Jayadinata, T.,Pramandika I.G.T. 2006. Pembangunan
Desa dalam Perencanaan, Bandung: Penerbit ITB, hlm. 112.
22
Muhammad Zid, Ahmad Tarmiji Alkhudri. 2016. Sosiologi
Pedesaan: Teoretisasi dan Perkembangan Kajian Pedesaan di
Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 10.
Lembaga pemerintahan desa lama keberadaannya
semakin terdesak dan tergantikan oleh lembaga
pemerintahan desa baru. Keberadaan beberapa lembaga
baru ini memang sesuai dengan tuntutan perkembangan,
namun untuk lembaga-lembaga baru lainnya belum tentu
sesuai. Lembaga-lembaga baru di desa-desa saat ini
sebenarnya tidak seluruhnya telah dapat disebut lembaga
dalam arti yang sebenarnya, melainkan merupakan
badan-badan, organisasi-organisasi, atau kegiatan-
kegiatan yang bersifat sementara yang keberadaannya
berkaitan dengan pelaksanaan suatu program
pembangunan tertentu.23

b. Tipe-tipe Umum Komunitas Desa


Terdapat beberapa definisi yang mencoba
menjelaskan tentang perbedaan pengertian society dan
community. Akan tetapi pada dasarnya komunitas itu
mempunyai dua karakteristik yaitu adanya 1) ikatan
kedaerahan, dan 2) ikatan emosional diantara warganya.
Pada pembahasan ini komunitas desa diartikan sebagai
komunitas kecil yang relatif masih bersahaja, yang masih
jelas memiliki ketergantungan terhadap tempat tinggal
(lingkungan) mereka entah sebagai petani, nelayan atau
lainnya.24
Corak dan sifat komunitas desa didasarkan pada
sistem mata pemcaharian pokok mereka yaitu sistem
pertaniannya. Sistem pertanian lahan kering akan
menciptakan tipe komunitas yang berbeda dengan sistem
pertanian lahan basah. Di samping itu jenis-jenis

23
Ibid, hlm. 10-11.
24
Ibid, hlm. 11.
tanaman juga akan menyebabkan perbedaan tipe
komunitas. Selanjutnya D. Whittlesey dalam Aminudin
(1990) mengemukakan tentang Sembilan corak sistem
pertanian yaitu: 1) bercocok tanam di lading berpindah,
2) bercocok tanam tanpa irigasi menetap, 3) bercocok
tanam menetap dan intensif dengan irigasi sederhana
dan tanaman pokok padi, 4) bercocok tanam menetap
dan intensif dengan irigasi sederhana tanpa padi, 5)
bercocok tanam sekitar lautan tengah, 6) pertanian buah-
buahan, 7) pertanian komersial dengan mekanisasi
berdasarkan tanaman gandum, 8) pertanian komersial
dengan mekanisasi, dan 9) pertanian perkebunan dengan
menkanisasi.25
Selain komunitas desa pertanian, terdapat pula
komunitas desa nelayan. Factor penentu struktur
komunitas desa nelaya adalah pemilikan sarana
menangkap ikan (perahu, jaring-jaring, harpun, dan
lainnya). Secara umum terdapat dua strata pokok dalam
struktur masyarakat desa nelayan yaitu juragan dan
buruh nelayan. Selain itu terdapat pula strata komando
kapal yang posisinya ada ditengah-tengah kedua strata
tersebut. Kondisi komunitas desa nelayan ini ternyata
lebih miskin dibanding komunitas desa pertanian.

c. Kelembagaan Pertanian
Kelembagaan pertanian adalah kelembagaan mikro
yang terdiri dari kelompok petani lokal yang di dalamnya
memiliki ikatan sosial dan aturaan-aturan atau norma,
serta dibentuk karena memiliki tujuan yang sama.
Sebuah lembaga tentu memiliki sasaran serta tujuan
25
Ibid, hlm. 11.
yang jelas. Tujuan-tujuan disini mencakup beberapa
aspek penting dalam pelaksanaannya yang sesuai dengan
kesepakatan bersama. Kelembagaan ini juga memerlukan
sumber daya manusia (SDM) yang dapat mengelola dan
mengatur kehidupan atau jalannya suatu lembaga
tersebut.26
Kelembagaan pertanian dibentuk pada dasarnya
mempunyai beberapa fungsi utama, yaitu: (a)
interorganisational task untuk mediasi masyarakat dan
Negara. (b) resource tasks mencakup mobilisasi
sumberdaya lokal (tenaga kerja, modal, material,
informasi) dan pengelolaannya dalam pencapaian tujuan
masyarakat, (c) tugas pelayanan service tasks, mencakup
permintaan pelayanan yang menggambarkan tujuan
pembangunan atau koordinasi permintaan masyarakat
lokal, dan (d) extra-organisational task, memenuhi
permintaan lokal terhadap birokrasi atau organisasi luar
masyarakat serta dalam kaitannya dengan campur
tangan kelembagaan luar. (Esman dan Uphoff, 1985;
Garkovich, 1989).27
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa lahan
mempunyai arti yang sangat penting bagi petani karena
dari lahan mereka dapat mempertahankan hidup
bersama keluarganya melalui kegiatan bercocok tanam.
Akan tetapi, masyarakat selalu berproses dari waktu ke
waktu, baik dari segi pertambahan penduduk maupun
dalam tatanan sosialnya. Kelembagaan pertanian mesti

Tomi Setiawan, dkk. 2017. “Peluruhan Kelembagaan


26

Pertanian di Wilayah Periphery Perkotaan”. Bhumi.Vol.3.No.2, hlm.


249.
27
Ibid, hlm. 249.
perlu mendapatkan pengembangan kapasitas sebagai
sarana pendorong proses perubahan dan inovasi.

d. Kelembagaan Nelayan
Kelembagaan nelayan merupakan kelembagaan
mikro yang terdiri dari kelompok nelayan lokal yang di
dalamnya memiliki ikatan social dan aturaan-aturan atau
norma, serta dibentuk karena memiliki tujuan yang sama.
Dimana tujuan tersebut terbentuk karena adanya
tuntutan melakukan suatu usaha untuk mendatangkan
hasil dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Dilihat dari perspektif antropologis, masyarakat
nelayan berbeda dari masyarakat lain, seperti
masyarakat petani, perkotaan atau masyarakat di
dataran tinggi. Perspektif antropologis ini didasarkan
pada realitas social bahwa masyarakat nelayan memiliki
pola-pola kebudayaan yang berbeda dari masyarakat lain
sebagai hasil dari interaksi mereka dengan lingkungan
beserta sumber daya yang ada didalamnya. Pola-pola
kebudayaan itu menjadi kerangka berpikir atau referensi
perilaku masyarakat nelayan dalam menjalani kehidupan
sehari-hari (Kusnaidi, 2005).
Dilihat, dimensi pekerjaan, masyarakat nelayan
terdiri atas 2 kelompok, yaitu: kelompok yang terkait
(langsung) dan yang tidak terkait dengan aktifitas
kelautan/perikanan. Kelompok yang terkait (langsung)
dengan aktifitas kelautan/perikanan terdiri dari 2 sub
kelompok, yaitu: sub kelompok pencari/penangkap hasil
kelautan/perikanan dan pembudidaya hasil
kelautan/perikanan. Sedangkan pencari hasil
kelautan/perikanan meliputi pemilik alat
produksi/tangkap seperti toke, juragan, bos, atau nama
lain. Mereka pun beragam, bias berada pada lapisan atas,
menengah, atau bawah. Kemudian juga masuk di
dalamnya nelayan pekerja (buruh), nelayan mandiri, dan
pedagang ikan (kecil, menengah, dan besar). Selanjutnya
pembudidaya hasil kelautan/perikanan mencakup pemilik
alat produksi, pekerja (buruh), nelayan pembudidaya
mandiri, dan pedagang hasil budidaya
kelautan/perikanan (kecil, menengah, dan besar).28
Kelompok yang tidak terkait (langsung) dengan
aktifitas kelautan/perikanan seperi pedagang/pemilik
warung makanan, pedagang kebutuhan sehari-hari,
petugas koperasi, dan sebagainya. Dilihat dari dimensi
sosial budaya, masyarakat nelayan dapat dibedakan
antara: (1) kelompok yang melihat sumber daya
kelautan/perikanan tidak terbatas, kapan saja selagi
musim baik bias dieksploitasi, dan tidak memiliki
perencanaan. (2) kelompok yang melihat sumber daya
kalautan/perikanan terbatas, namun untuk jenis tertentu
sumber daya dapat dibudidayakan, dan memiliki
perencanaan (Damsar dan Nia Elfina, 2005).

C. PENUTUP
a. Kesimpulan
Lembaga Sosial merupakan lembaga yang terdiri
atas unsur-unsur yang mengatur perilaku warga

Lucky Zamzami. 2015.” Nelayan Tiku: Tradisi dan


28

Kelembagaan Sosial Berdasarkan Budaya Masyarakat Lokal Berbasis


Komunitas Dalam Aktivitas Penangkap Ikan”. Laboratorium
Antropologi, FISIP, Uiversitas Andalas, Padang. Vol.17. No.1, hlm.
42-43.
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang
merupakan tujuan bersama. Kebutuhan-kebutuhan pokok
manusia pada dasarnya mempunyai fungsi, yaitu:
1) Memberikan pedoman pada anggota masyarakat,
bagaimana mereka harus bertingkah laku atau
bersikap di dalam mengahdapi masalah-masalah dalam
masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-
kebutuhan;
2) Menjaga keutuhan masyarakat;
3) Memberikan pegangn kepada masyarakat untuk
mengadakan system pengendalian sosial. Artinya,
system pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku
anggota-anggotanya.
Norma-norma yang ada dalam masyarakat,
mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda,
secara sosiologis dikenal dengan empat norma, yaitu
1) Cara (usage)
2) Kebiasaan (folkways)
3) Tata kelakuam (mores)
4) Adat istiadat (custom)
Keberadaan lembaga merupakan respons terhadap
kebutuhan masyarakat sehingga ketika ada kebutuhan
baru maka terdapat pula tuntutan atau munculnya
lembaga baru.
Corak dan sifat komunitas desa didasarkan pada
system mata pemcaharian pokok mereka yaitu sitem
pertaniannya. System pertanian lahan kering akan
menciptakan tipe komunitas yang berbeda dengan
system pertanian lahan basah. Di samping itu jenis-jenis
tanaman juga akan menyebabkan perbedaan tipe
komunitas. Selanjutnya D. Whittlesey dalam Aminudin
(1990) mengemukakan tentang Sembilan corak system
pertanian yaitu: 1) bercocok tanam di lading berpindah,
2) bercocok tanam tanpa irigasi menetap, 3) bercocok
tanam menetap dan intensif dengan irigasi sederhana
dan tanaman pokok padi, 4) bercocok tanam menetap
dan intensif dengan irigasi sederhana tanpa padi, 5)
bercocok tanam sekitar lautan tengah, 6) pertanian buah-
buahan, 7) pertanian komersial dengan mekanisasi
berdasarkan tanaman gandum, 8) pertanian komersial
dengan mekanisasi, dan 9) pertanian perkebunan dengan
menkanisasi.
Selain komunitas desa pertanian, terdapat pula
komunitas desa nelayan. Factor penentu struktur
komunitas desa nelaya adalah pemilikan sarana
menangkap ikan (perahu, jaring-jaring, harpun, dan
lainnya). Secara umum terdapat dua strata pokok dalam
struktur masyarakat desa nelayan yaitu juragan dan
buruh nelayan. Selain itu terdapat pula strata komando
kapal yang posisinya ada ditengah-tengah kedua strata
tersebut. Kondisi komunitas desa nelayan ini ternyata
lebih miskin dibanding komunitas desa pertanian.

b. Saran
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa lembaga
mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan
masyarakat karena dari adanya lembaga masyarakat
dapat memenuhi kebutuhan hidup dan mempertahankan
hidup bersama keluarganya melalui kegiatan dari
lembaga yang ada. Akan tetapi, masyarakat selalu
berproses dari waktu ke waktu, baik dari segi
pertambahan penduduk maupun dalam tatanan sosialnya.
Perubahan sosial pada masyarakat pun akan berubah.
Untuk itu kelembagaan mesti perlu mendapatkan
pengembangan kapasitas sebagai sarana pendorong
proses perubahan dan inovasi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulsyani. 2002. Sosilogi Skrmatika, Teori dan Terapan.


Jakarta: PT. Bumi Aksara

Jamaluddin, A. Nasrullah. 2015. Sosiologi Pedesaan. Bandung:


CV. Pustaka Setia

Jayadinata, T. Johara, Pramandika I. G. T. 2006. Pembangunan


Desa dalam Perencanaan. Bandung: Penerbit ITB

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:


Aksara Baru

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka


Cipta
Narwoko, J. Dwi, Bagong Suyanto. 2007. Sosiologi: Teks
Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana

Poerwadarminta, W. J. S. 1987. Kamus Umum Bahasa Indonesia.


Jakarta: Balai Pustaka

Setiadia, Elly. M, Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi


Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial:
Teori, Aplikasi dan Pemecahannya. Jakarta:
Prenadamedia Group

S. Tomi, dkk. 2017. Peluruhan Kelembagaan Pertanian di


Wilayah Periphery Perkotaan. Bhumi. No. 2. Vol. 3.
http://download.garuda.ristekdikti.go.id/article.php?
article=907725&val=14294&title=Peluruhan
%20Kelembagaan%20Pertanian%20di%20Wilayah
%20Periphery%20Perkotaan. Diakses pada tanggal 29
April 2019

S, Soerjono. 2004. Sosiologi Surat Pengantar. Jakarta: Rajawali


Pers

S, Soerjono. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar. Depok: PT.


Rajagrafindo Persada

S, Syahriah, Rusdiyanta. 2009. Dasar-Dasar Sosiologi.


Yogyakarta: Graha Ilmu
S, Syahriah, dkk. 2009. Sosiologi dan Politik. Bogor: Ghalia
Indonesia

Wisadiraha. 2005. Sosiologi Pedesaan. Malang: Univ.


Muhammadiyah Malang

Z, Lucky. 2015. Nelayan Tiku: Tradisi dan Kelembagaan Sosial


Berdasarkan Budaya Masyarakat Lokal Berbasis
Komunitas dalam Aktivitas Penangkap Ikan.
Laboratorium Antropologi, FISIP, Uiversitas Andalas,
Padang. Vol.17. No.1.
http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/index.php/jantro
/article/view/34/35. Diakses pada tanggal 29 April 2019

Z, Muhammad, Ahmad Tharmiji A. 2016. Sosiologi Pedesaan:


Teoretisasi dan Perkembangan Kajian Pedesaan di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers

Anda mungkin juga menyukai