Anda di halaman 1dari 65

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

HARGA TBS PETANI KELAPA SAWIT SWADAYA


DI KABUPATEN TEBO

PROPOSAL SKRIPSI

BAYU ADITIA WIGUNA

JURUSAN/PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberi rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal

skripsi yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga

TBS Petani Kelapa Sawit Swadaya di Kabupaten Tebo”.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

pihak yang telah membantu dan membimbing serta memberi dukungan sehingga

penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal ini, khususnya kepada ibu Dr.

Ir. Ira Wahyuni, M.P. dosen Pengampu yang telah membimbing dan memotivasi

penulis dalam penyelesaian proposal skripsi ini. Selain itu penulis juga

mengucapkan terima kasih kepada keluarga dan teman-teman telah memberikan

dukungan dan restu dalam pembuatan proposal ini.

Penulis menyadari bahwa dalam proposal ini masih terdapat kekurangan

dan kesalahan karena terbatasnya pengetahuan dan kemampuan penulis, karena

sesungguhnya kesempurnaan mutlak hanya milik Allah SWT. Oleh karena itu

penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk penyempurnaan

proposal skripsi ini.

Jambi, November 2019

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii


DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. vii

I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 9
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................. 11
1.4. Kegunaan Penelitian ......................................................................... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 13


2.1. Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat .................................................... 213

2.2. Kelapa Sawit .................................................................................... 2


14
2.3. Usahatani Kelapa Sawit ................................................................... 15
2.4. Petani Kelapa Sawit Swadaya ......................................................... 16
2.5. Kualitas Tandan Buah Segar (TBS) ……………………………… 16
2.6. Konsepsi Harga ................................................................................
2.6.1. Teori Harga ........................................................................ 16
2.6.2. Harga TBS .......................................................................... 18
2.7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Harga TBS .............................. 21
2.7.1. Penerapan Teknik Budidaya ................................................ 21
2.7.1.1. Kualitas Bibit .......................................................... 21
2.7.1.2. Jumlah Pemupukan ................................................ 23
2.7.1.3. Perlindungan Tanaman ........................................... 26
2.7.2. Umur Tanaman Kelapa Sawit ............................................ 29
2.7.3. Kriteria Panen ..................................................................... 29
2.7.4. Tujuan Pemasaran TBS ……............................................... 31
2.7.4.1. Saluran Pemasaran ................................................. 32

2.8. Penelitian Terdahulu ....................................................................... 33


2.9. Kerangka Pemikiran ........................................................................ 36
2.10. Hipotesis .....................................................................................
40
III. METODE PENELITIAN .................................................................. 43
3.1. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................ 43
3.2. Sumber dan Metode Pengumpulan Data ...................................... 44
3.2.1. Sumber Data ........................................................................ 44
3.2.2. Metode Pengumpulan Data .................................................. 44
3.3. Metode Penarikan Sampel ............................................................ 45
3.4. Metode Analisis Data ................................................................... 47

3.4.1. Analisis Deskriptif ............................................................... 47


3.4.2. Analisis Kuantitatif .............................................................. 47
3.4.3. Uji Determinasi (R2 ) .............................................................. 52
3.4.4. Uji Simultan (Uji F) ............................................................... 53
3.4.5. Uji Parsial (Uji t) ................................................................... 53
3.5. Konsepsi Pengukuran ..................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 56
LAMPIRAN ……………………………………………………………...
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat di Provinsi Jambi


Menurut Kabupaten Tahun 2013-2017 ....................................... 5

2. Luas Areal Kelapa Sawit Rakyat di Kabupaten Tebo Menurut


Kecamatan 2013-2017 ................................................................ 43

3. Sebaran Sampel pada Masing-Masing Desa di Kecamatan Tebo


Ilir dan Kecamatan Tebo Tengah …………................................. 44
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman

1. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit dan Status Pengusahaan di


Sumatra Tahun 2016 ......................................................................... 3

2. Skema Saluran Pemasaran ............................................................... 33

3. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 40


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Nilai Ekspor Komoditi Perkebunan di Indonesia 2013-2015……. 56

2. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia


Menurut Pulau dan Status Pengusahaan Tahun 2016 .................. 57

3. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi


Jambi Menurut Status Pengusahaan Tahun 2016 58
............................

4. Kuisioner Penelitian …………………………………………....... 59


I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduk

Indonesia mempunyai mata pencaharian dibidang pertanian atau bercocok tanam.

Subsektor pertanian yang memiliki peran besar dalam perekonomian Indonesia

adalah perkebunan, dengan beberapa komoditas unggulan yaitu kelapa sawit,

karet, kakao, kopi, kelapa, lada, tembakau, teh, jambu mete, tebu, cengkeh dan

kapas. Perkebunan mempunyai peran penting dan strategis dalam pembangunan

nasional, terutama dalam meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat,

penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan

daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri

dalam negeri, serta optimalisasi pengelolaan sumber daya alam secara

berkelanjutan.

Menurut Bambang (2016), komoditas perkebunan merupakan andalan

bagi pendapatan nasional dan devisa negara Indonesia dilihat dari nilai ekspor

perkebunan mencapai US$ 22,118 miliar yaitu sebesar Rp. 287,534 triliun

(Asumsi $ = Rp. 13.000). Konstribusi subsektor perkebunan dalam perekonomian

nasional semakin meningkat dan diharapkan dapat memperkokoh pembangunan

perekonomian secara menyeluruh. Salah satu komoditas perkebunan yang

berperan penting dalam perekonomian Indonesia adalah kelapa sawit. Kelapa

sawit menjadi komoditas ekspor unggulan Indonesia hingga tahun 2017 dilihat

dari industri kelapa sawit yang disertai dengan berbagai produk turunannya yaitu

bahan setengah jadi CPO (crude palm oil) dan PKO (palm karnel oil) serta bahan

jadi (produk akhir baik edible maupun nonedible). Industri produk pangan dan
non pangan dapat dikembangkan dari produk kelapa sawit berupa bahan makanan

seperti minyak goreng, mentega, minyak kering/padat untuk makanan ringan dan

cepat saji, pengganti mentega, coklat dan lain-lain. Penggunaan produk kelapa

sawit non pangan dapat berupa asam lemak dan gliserin, serta bahan baku

kosmetik (Pahan, 2008). Menurut Direktorat Jendral Perkebunan (2017), kelapa

sawit merupakan komoditas penyumbang devisa negara terbesar dibandingkan 11

komoditas ekspor di Indonesia dilihat nilai ekspor komoditi perkebunan Indonesia

(Lampiran 1).

Perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang cepat serta mencerminkan

adanya evolusi perkebunan sawit dan disertai daya tampung tenaga kerja pada

tahun 2017 menurut perkebunan rakyat, negara dan swasta yaitu 38% tenaga kerja

yang bekerja pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia dengan jumlah tenaga

kerja sebesar 4.213.684 dari total jumlah tenaga kerja penduduk yang berumur

diatas 15 tahun yang bekerja disubsektor perkebunan sebesar 11.045.432 ha.

Perkebunan kelapa sawit berkembang di 25 provinsi dari 34 provinsi di

Indonesia. Berdasarkan data tahun 2016 terdapat dua pulau utama sentra

perkebunan kelapa sawit yaitu pulau Sumatra dan Kalimatan (Lampiran 2),

dengan luas areal perkebunan kelapa sawit di Sumatra sebesar 6.393.364 ha

dengan produksi sebesar 19.856.284 ton, sedangkan Kalimantan luas areal

perkebunan kelapa sawit sebesar 4.177.368 ha dengan produksi sebesar

10.729.133 ton. Saat ini pengusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia adalah

perkebunan swasta sebesar 51,73% yaitu dengan luas areal 5.754.719 ha diikuti

perkebunan rakyat 42,32% dengan luas areal 4.739.318 ha, perkebunan negara

6,32% yaitu dengan luas areal 707.428 ha dengan total luas lahan di Indonesia
mencapai 11.201.465 ha (Direktorat Jendral Perkebunan, 2017). Pulau Sumatra

merupakan pulau sentra terbesar yang mengusahakan kelapa sawit dengan

36,14%
Perkebunan Besar Swasta

Perkebun Besar Negara Produksi


Luas Areal

Perkebunan Rakyat

0 4,000,000 8,000,000

persentase luas areal dan produksi terbesar pada perkebunan rakyat, dapat dilihat

pada Gambar 1.

Gambar 1. Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit dan Status


Pengusahaan di Sumatra Tahun 2016

Gambar 1 menunjukkan di pulau Sumatra perkebunan rakyat mendominasi

dengan persentase 55,4% atau sebesar 3.543.825 ha dengan produksi 9.293.172


8,34%
ton diikuti perkebunan besar swasta 36,14% sebesar 2.310.537 ha dengan

produksi 8.913.867 ton dan selanjutnya perkebunan besar negara 8,34% sebesar
55,4%
%
537.002 ha dengan produksi 1.649.290 ton. Salah satu provinsi yang

mengusahakan kelapa sawit di pulau Sumatra adalah Provinsi Jambi.

Provinsi Jambi adalah salah satu provinsi yang terkenal dengan komoditas

perkebunan yaitu kelapa sawit, karet, kopi, kakao, kayu manis dan pinang.

Komoditas tersebut di ekspor keluar negeri dan menjadi sumber devisa negara

Indonesia sekaligus meningkatkan PDRB daerah Provinsi Jambi. Peran strategis

perkebunan dalam perekonomian Provinsi Jambi adalah penghasil devisa,


penyerapan tenaga kerja, konstribusi pada PDRB, pendorong dan penarik industri

lain. Konstribusi perkebunan terhadap PDRB Provinsi Jambi sebesar 18,7% dan

konstribusi perkebunan terhadap pertanian sebesar 63,4% berdasarkan PDRB

sektor pertanian atas dasar harga berlaku di Provinsi Jambi tahun 2017.

Berdasarkan PDRB sektor pertanian atas dasar harga konstan konstribusi

perkebunan terhadap PDRB di Provinsi Jambi 17,5% dan konstribusi terhadap

PDRB pertanian 64,80%. Perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi didominasi

oleh perkebunan rakyat dengan persentase perkebunan rakyat 70,47% diikuti

dengan perkebunan besar swasta 25,90% dan perkebunan besar negara 3,63%

(Direktorat Jendral Perkebunan, 2017) dengan luas areal perkebunan kelapa sawit

di Provinsi Jambi berdasarkan pengusahaannya tahun 2016 (lampiran 3).

Pemerintah Provinsi Jambi tetap memprioritaskan pembangunan

perkebunan kelapa sawit khususnya pada perkebunan kelapa sawit rakyat yang

mendominasi perkebunan kelapa sawit di Provinsi Jambi, dan dapat dilihat dari

luasan areal tanaman perkebunan kelapa sawit rakyat mengalami pertumbuhan

dari tahun ke tahun yaitu dari tahun 2013-2017 di delapan kabupaten selain

Kabupaten Kerinci yang mengalami peningkatan pertumbuhan 0% dan 2

kabupaten yang mengalami penurunan dari tahun 2013-2014 kemudian ditahun

selanjutnya terus mengalami peningkatanan yaitu Kabupaten Batanghari dan

Kabupaten Bungo. Pertumbuhan rata-rata luas areal kelapa sawit rakyat di

Provinsi Jambi berdasarkan kabupaten dapat dilihat pada Tabel 1.


Tabel 1. Luas Areal Kelapa Sawit Perkebunan Rakyat di Provinsi Jambi
Menurut Kabupaten Tahun 2013-2017.
Luar Areal Kelapa Sawit tahun 2013-2017 Rata-rata %
Kabupaten
2013 2014 2015 2016 2017 Pertmbuhan
Batanghari 50.222 41.780 47.881 48.797 52.206 1,3
Muaro
90.934 97.553 97.63 97.692 97.749
Jambi 7,5
Bungo 54.892 53.173 53.847 55.992 56.045 1,27
Tebo 33.176 36.792 43.994 46.004 59.468 29,12
Merangin 52.128 58.064 58.637 58.929 68.714 18,46
Sarolangun 16.819 31.111 35.370 35.464 35.492 20,7
Tanjung
Jabung 77.475 84.087 89.018 90.988 94.344
Timur 18,72
Tanjung
Jabung 31.209 33.381 33.489 33.613 33.872
Timur 2,93
Kerinci 94 94 94 94 94 0
Total 406.949 436.034 459.96 467.573 497.984 18.098
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Tahun 2013-2017

Tabel 1 menunjukkan pertumbuhan rata-rata luas areal kelapa sawit terbesar

di Provinsi Jambi adalah Kabupaten Tebo dengan rata-rata pertumbuhan luas areal

pertahun sebesar 5.270 ha dengan persentase 29,72%, dengan rata-rata

pertumbuhan luas lahan terbesar, artinya komoditas kelapa sawit memberikan

dampak positif bagi kesejahteraan petani maupun meningkatkan PDRB daerah.

Selain itu Kabupaten Tebo merupakan satu-satunya kabupaten yang pernah dua

kali mengalami peningkatan luas areal perkebunan terbesar dibandingkan dengan

kabupaten lainnya yaitu dari tahun 2014-2015 sebesar 7.202 ha dan dari tahun

2016-2017 mencapai belasan ribu hektar yaitu sebesar 13.446 ha.

Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit merupakan produk primer dari

tanaman kelapa sawit dan bahan baku utama untuk pengolahan minyak kelapa

sawit (CPO) di Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Banyak aspek yang harus

diperhatikan sehingga usaha perkebunan kelapa sawit berhasil yaitu dari aspek
agronomi antara lain bahan tanaman yang berkualitas, kesesuaian lahan panen dan

pengangkutan hasil, sedangkan pada aspek sumber daya manusia yaitu keuangan,

manajemen, teknologi dan inovasi merupakan faktor-faktor penentu keberhasilan

(Pardamean, 2017).

Petani kelapa sawit rakyat terdiri dari petani plasma dan petani swadaya,

petani plasma berbeda dengan petani swadaya baik dilihat dari harga TBS

maupun produksi. Petani plasma merupakan petani yang mengelola kebun sendiri

dan memiliki hubungan kemitraan dengan sebuah perusahaan perkebunan yang

menanamkan modal atas hak guna lahan namun petani tetap mendapatkan

pendampingan teknik budidaya dan kepastian pembelian TBS oleh pabrik kelapa

sawit, dengan adanya pendampingan dari perusahaan produktivitas kelapa sawit

yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan kebun inti yang dikelola oleh

perusahaan. Produktivitas TBS pada petani plasma yaitu 20-30 ton/ha per tahun

dengan produktivitas CPO 6 ton/ha per tahun, dengan saluran pemasaran yang

pendek dan langsung dijual pada pabrik kelapa sawit.

Petani swadaya merupakan petani yang membudidayakan kelapa sawit

mandiri tidak memiliki kemitraan dengan pihak lain, sumber pendanaan dan

pengelolaan sendiri, tidak terikat dengan pabrik manapun, tidak mendapat

pendampingan dalam teknik budidaya yang benar sehingga kualitas dan kuantitas

masih diragukan. Produktivitas TBS pada petani swadaya yaitu 12-15 ton/ha per

tahun dengan produktivitas CPO 2,25 ton/ha per tahun jauh lebih rendah

dibandingkan dengan dengan petani plasma. Dilihat dari teknik budidaya petani

swadaya mengusahakan kelapa sawit dalam skala kecil dan kemampuan budidaya

yang rendah diakibatkan oleh terbatasnya sumber pendanaan, akses teknologi, dan
prosedur operasional, dalam pemasaran petani swadaya masih melewati beberapa

lembaga pemasaran yang nantinya terdapat margin yang mengurangi harga yang

diterima petani (Pardamean, 2017).

Keunikan pasar tandan buah segar (TBS) dibandiingkan dengan dengan

komoditas pertanian lainnya di Indonesia adalah dalam penetapan harga TBS

pemerintah melakukan pengendalian harga. Hal ini tercermin dari adanya

Peraturan Mentri yang Mengatur Tentang Mekanisme Penetapan Harga TBS,

mulai dari keputusan Mentri Kehutanan Dan Perkebunan nomor 627 tahun 1998,

direvisi menjadi Peraturan Mentri Pertanian (Permentan) no 395 tahun 2005 dan

Permentan nomor 17 tahun 2010 serta yang terakhir Permentan nomor 1 tahun

2018. Tujuan utama dari terbitnya Permentan tersebut adalah memberikan

perlindungan dalam perolehan harga wajar bagi pekebun dari TBS kelapa sawit

dan menghindari adanya persaingan tidak sehat diantara pabrik kelapa sawit

(PKS).

Berdasarkan Permentan nomor 1 tahun 2018 pemerintah daerah dalam hal

ini Gubernur membentuk Tim Penetapan Harga TBS ditingkat Provinsi yang

beranggotakan wakil petani (Asosiasi Petani), unsur instansi pemerintah daerah,

pelaku industri kelapa sawit, Dinas Perindustrian dan Perdaganagan Provinsi

Jambi, Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Jambi (Rainun, 2018). Salah satu tugas

Tim tersebut sebagaimana tercantum dalam pasal 8 ayat 2 Pementan nomor 1

tahun 2018 merumuskan dan mengusulkan besarnya indeks “K” dan harga

patokan TBS, dalam menetapkan indeks ”K” dan harga sekurang-kurangnya dua

minggu sekali, di Provinsi Jambi Tim Penetapan Harga TBS pada awalnya

bekerja setiap dua minggu sejak akhir tahun 2011. Namun sekarang, Tim ini
bekerja menetapkan harga TBS setiap minggu tepatnya setiap hari kamis dan

penentuan indeks “K” setiap bulan. Rata-rata harga TBS yang ditetapkan

pemerintah Provinsi Jambi pada bulan Desember yaitu minggu pertama sebesar

Rp.1038/kg minggu kedua sebesar Rp.1090/kg minggu ketiga sebesar Rp.1151/kg

dan minggu keempat sebesar Rp.1200/kg.

Berdasarkan penetapan keputusan harga TBS oleh Permentan dan

pemerintahan Provinsi Jambi dengan tujuan melindungi pekebun tidak diikuti

dengan harga TBS yang diterima oleh petani kelapa sawit swadaya yang lebih

rendah dibandingkan dengan petani plasma. Berdasarkan harga yang ditetapkan

oleh pemerintah Provinsi Jambi di Dinas Perkebebunan pada bulan desember

berbeda dengan harga yang yang diterima petani swadaya di lapangan, rata-rata

harga yang diterima petani plasma pada minggu pertama sebesar Rp.1019/kg

minggu kedua sebesar Rp.1060/kg minggu ketiga sebesar Rp.1141/kg dan minggu

keempat sebesar Rp.1180/kg. Harga rata-rata yang diterima petani swadaya

minggu pertama adalah sebesar Rp.756/kg minggu kedua sebesar Rp.803/kg

minggu ketiga sebesar Rp.881/kg dan minggu keempat sebesar Rp.920/kg, dengan

demikian dari data yang ada terdapat variasi harga dari masing-masing petani

dimana petani swadaya menerima harga yang lebih rendah. Harga TBS yang

diterima petani swadaya memiliki selisih Rp.200-300/kg dengan petani plasma.

Berdasarkan uraian latar belakang dengan beberapa data yang telah

dikemukakan maka dapat memperkuat alasan peneliti untuk mengangkat dan

melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Harga TBS Petani Kelapa Sawit Swadaya di Kabupaten

Tebo”.
1.2. Perumusan Masalah

Tanaman kelapa sawit rakyat diusahakan oleh petani swadaya dan petani

plasma, petani plasma merupakan petani mitra dari perkebunan inti yang

memperoleh bimbingan dan pengawasan oleh mitra, sedangkan petani swadaya

adalah petani yang mengusahakan tanaman kelapa sawit secara mandiri mulai

dari pendanaan, pengelolaan, pemeliharaan, panen hingga pemasaran dengan

membudidayakan kelapa sawit mandiri sehingga kualitas dan kuantitas masih

diragukan.

Menurut Perdamean, (2017), tinggi rendahnya asam lemak bebas dari

CPO yang dihasilkan PKS akan mempengaruhi harga CPO, yang pada akhirnya

mempengaruhi harga TBS yang diterima oleh petani. Harga TBS dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu teknik penerapan budidaya mulai dari kualitas bibit yang

digunakan, jumlah pemupukan, pemeliharaan tanaman misalnya gangguan gulma

yang mengakibatkan persaingan dalam penyerapan unsur hara tanaman, serta

perlindungan tanaman dari gangguan hama dan penyakit. Umur ekonomis

tanaman kelapa sawit adalah 25 tahun, tingkatan umur tanaman akan memberikan

pengaruh pada jumlah dan kualitas minyak yang dihasilkan sehingga berpengaruh

pada harga TBS.

Jumlah brondolan yang jatuh pada satu pohon menunjukkan bahwa tandan

kelapa sawit masuk pada kriteria yang siap dipanen. Kriteria panen harus

diperhatikan dengan baik sehingga kualitas TBS yang dihasilkan akan baik pula,

pemanenan buah lewat matang akan meningkatkan asam lemak bebas yang akan

menurunkan kualitas TBS. Kegiatan pemanenan harus dilaksanakan pada saat

yang tepat karena akan menentukan tercapainya kuantitas dan kualitas minyak
sawit yang dihasilkan. Salah satu upaya untuk menghindarkan terbentuknya asam

lemak bebas adalah dengan pengangkutan buah dari kebun ke pabrik harus

dilakukan secepatnya untuk menghindari menurunnya kualitas, maksimal 8 jam

TBS setelah dipanen harus segera diolah (Pahan,2008).

Saluran pemasaran kelapa sawit merupakan serangkaian pengaliran TBS

dari produsen pada konsumen akhir, banyaknya lembaga yang dilalui akan

membentuk margin dan mempengaruhi harga yang diterima oleh produsen atau

petani, semakin banyak lembaga yang dilewati akan menurunkan harga TBS yang

diterima petani.

Permasalahan yang dihadapi petani swadaya adalah harga TBS yang

diterima petani swadaya lebih rendah dibandingkan dengan petani plasma.

Sedangkan pemerintah sudah menetapkan acuan penetapan harga TBS melalui

surat keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia

N0.1/PERMENTAN/KB.120/1/2018. Pemerintah Daerah Provinsi Jambi yaitu

Gubernur membentuk tim dalam penentuan harga TBS sebagai acuan setiap

minggu tepatnya pada hari kamis dengan tujuan untuk memberikan perlindungan

kepada pekebun dalam memperoleh harga TBS yang wajar dan menghindari

persaingan tidak sehat diantara perusahaan perkebunan, namun dengan penetapan

harga oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jambi tidak diikuti dengan harga yang

diterima oleh petani swadaya dilapangan. Menurut Alamsyah, (2018), kendala

atau permasalahan yang dihadapi pada pekebun kelapa sawit swadaya pada aspek

produksi yaitu harga TBS yang rendah dengan selisih Rp.300/kg.


Berdasarkan uraian maka permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana gambaran pemasaran dan harga yang diterima oleh petani

swadaya di Kabupaten Tebo?

2. Bagaimana pengaruh kualitas bibit, jumlah pemupukan, pemeliharaan

tanaman, umur tanaman, jumlah brondolan waktu panen, dan tujuan

pemasaran terhadap Harga TBS petani kelapa sawit swadaya di Kabupaten

Tebo?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahn yang dihadapi, maka tujuan

penelitian yang ingin dicapai adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui gambaran pemasaran dan harga yang diterima oleh

petani swadaya di Kabupaten Tebo.

2. Untuk mengetahui pengaruh kualitas bibit, jumlah pemupukan,

pemeliharaan tanaman, umur tanaman, jumlah brondolan waktu panen, dan

tujuan pemasaran terhadap Harga TBS petani kelapa sawit swadaya di

Kabupaten Tebo.

1.4. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang diperoleh dari hasil penelitian adalah sebagai

berikut:

1. Untuk penulis, sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi tingkat

sarjana pada Fakultas Pertanian Universitas Jambi.


2. Untuk petani, diharapkan petani lebih mempehatikan faktor-faktor yang

menyebabkan harga TBS rendah, sehingga mampu meningkatkan kualitas

dan memperoleh harga TBS yang lebih tinggi khususnya ditujukan kepada

petani kelapa sawit swadaya.

3. Untuk pemerintah, diharapkan menjadi bahan pertimbangan untuk

menetapkan kebijakan dalam penetapan harga TBS dan memperhatikan

petani swadaya dalam produksi maupun pemasaran TBS sehingga petani

mampu menghasilkan TBS yang berkualitas baik.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Perkebunan Kelapa Sawit Rakyat

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2004, yang

dimaksud dengan perkebunan adalah segala kegiatan mengusahakan tanaman

tertentu pada tanah atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai,

mengelola dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut, dengan

bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk

mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat.

Perkebunan kelapa sawit merupakan usaha dibidang perkebunan

komoditas berupa kelapa sawit, sektor industri kelapa sawit dimulai sejak jaman

penjajahan belanda dan menjadi penghasil devisa terpenting indonesia,

perkebunan kelapa sawit di indonesia dibagi menjdai tiga tipe pengusahaannya

yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, perkebunan besar swasta

(Direktorat Jendral Perkebunan, 2017).

Perkebunan Kelapa sawit rakyat adalah usaha tanaman perkebunan kelapa

sawit yang dimiliki dan diselenggarakan atau dikelola oleh perorangan tidak

berbadan hukum, dengan luasan maksimal 25 ha atau pengelolaan tanaman

perkebunan yang mempunyai jumlah pohon yang dipelihara lebih dari batas

minimum usaha (BMU). Berdasarkan besar kecilnya perkebunan rakyat dibagi

menjadi dua kelompok yaitu pengelola tanaman perkebunan dan pemelihara

tanaman perkebunan. Perkebunan rakyat mempunyai peran yang strategis dalam

meningkatkan peran subsektor perkebunan kedepan mengingat pangsa

perkebunan kelapa sawit rakyat menunjukkan peningkatan setiap tahunnya.


2.2. Kelapa Sawit

Menurut Sastrosuyono (2003), Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jack.)

merupakan tanaman komodtas perkebunan yang cukup penting di Indonesia dan

masih memiliki prospek pengembangan yang cukup cerah. Komodtas kelapa

sawit, baik berupa bahan mentah maupun hasil olahannya, menduduki peringkat

ketiga penyumbang devisa nonmigas terbesar bagi negara setelah karet dan kopi.

Kelapa sawit adalah penghasil minyak nabati yang dapat diandalkan, karena

minyak yang dihasilkan memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan

minyak yang dihasilkan oleh tanaman lain. Keunggulan tersebut diantaranya

memiliki kadar kolesterol rendah, bahkan tampa kolesterol.

Minyak nabati merupakan produk utama yang dihasilkan dari kelapa

sawit. Potensi produksinya perhektar mencapai 6 ton per tahun bahkan lebih, jika

dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak lainnya (4,5 ton per tahun),

dengan tingkat produksi yang termasuk tinggi.

Minyak nabati yang dihasilkan dari pengolahan buah kelapa sawit berupa

minyak sawit mentah (CPO atau crude palm oil) yang berwarna kuning dan

minyak ini sawit (PKO atau palm karnel oil) yang tidak berwarna atau

jernih.CPO atau PKO banyak digunakan untuk bahan industri pangan (minyak

goreng dan margarin), industri baja (bahan pelumas), industri tekstil,

kosmetik,dan sebagai bahan bakar alternatif (minyak diesel).

Prospek pasar bagi olahan kelapa sawit cukup menjanjikan, karena

permintaan dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup besar, tdak

hanya didalam negeri, tetapi juga diluar negeri. Karena itu, sebagai negara tropis

yang masih memiliki lahan cukup luas, Indonesia berpeluang besar untuk
mengembangkan perkebunan kelapa sawit, baik melalui penanaman modal asing

maupun skala perkebunan rakyat.

Tanaman kelapa sawit termasuk kedalam family palmaeceae, subkelas

Monocotyledoneae. Varietas kelapa sawit t dibedakan berdasarkan morfologi dan

diantara varietas tersebut terdapat varietas unggul yang mempunyai beberapa

keistimewaan dibandingkan dengan varietas lainya, diantaranya tahan terhadap

hama dan penyakit, produksi tinggi, serta kandungan minyak yang dihasilkan

tinggi.

2.3. Usahatani Kelapa Sawit

Kelapa sawit termasuk tanaman keras (tahunan) dan termasuk tanaman

daerah tropis yang mulai menghasilkan pada umur 3 tahun dengan usia produktif

hingga 15 – 25 tahun dan tingginya dapat mencapai 24 meter. Bunga dan buahnya

berupa tandan, bercabang banyak, buahnya kecil, bila masak berwarna merah

kehitaman, daging buahnya padat, serta daging dan kulit buahnya mengandung

minyak. Komponen yang menentukan persyaratan agronomis untuk kelapa sawit

meliputi curah hujan, bulan kering, dan ketinggian dari permukaan laut.

Iklim dan media tumbuh yang baik merupakan syarat umum bagi tanaman

tahunan ini untuk dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Tanaman

kelapa sawit adalah tanaman berumah satu (monocious), bunga jantan dan bunga

betinanya berada dalam satu pohon tetapi berkembang secara terpisah. Kelapa

sawit dapat tumbuh baik di daerah antara 16° LU dan 10° LS. Suhu optimal untuk

pertumbuhan sekitar 24°-28°C tetapi juga dapat tumbuh pada kisaran antara 18°-

32°C dan curah hujan rata-rata tahunan berkisar 2.000 – 2.500 mm per tahun.

Suhu rendah (<27°C) dapat meningkatkan aborsi tandan bunga sebelum anthesis
(mekar) dan memperlambat pemasakan tandan buah, suhu tinggi (>35°C)

berpengaruh sebaliknya (Fauzi dkk., 2008).

2.4. Petani Kelapa Sawit Swadaya

Agus A dan Widodoro (2013), mengemukakan bahwa petani kelapa sawit

swadaya adalah petani dengan inisiatif dan biaya sendiri membuka dan mengelola

lahan secara mandiri, tidak terikat dengan perusahaan tertentu. Pekebun rakyat

sama hal nya dengan perebunan mandiri atau disebut petani swadaya tidak terikat

kontrak dengan perusahaan sebagaimana ciri-ciri pekebun rakyat pada umumnya

diusahakan individu, keluarga atau kelompok dalam luas lahan yang relatife kecil

dengan pola penanaman dan manajemen kebun yang tidak monokultur, dengan

modal kecil dan tidak memiliki target produksi khusus.

2.5. Kualitas Tandan Buah Segar (TBS)

Menurut Crosby (1979), kualitas merupakan conformance to requirement

yaitu sesuia dengan yang di syaratkan atau distandarkan. Suatu produk dikatakan

berkualitas apabila sesuai dengan standar kualitas, kesesuaian akan kebutuhan

pasar atau konsumen. Dalam hal ini petani kelapa sawit merupakan produsen dari

kegiatan jual beli TBS (tandan buah segar) dan pabrik kelapa sawit (PKS)

merupakan konsumen akhir dari kegiatan pemasaran kelapa sawit.

Kualitas tandan buah segar (TBS) dilihat dari kriteria standar penerimaan

kelapa sawit di pabrik kelapa sawit (PKS). Menurut Pahan (2008), salah satu cara

untuk melihat standar kriteria mutu tbs yang diterima pada pabrik kelapa sawit

adalah pada saat sortasi yaitu suatu kegiatan penyortiran tandan buah segar yang

diterima oleh PKS.


2.6. Konsep Harga

2.6.1. Teori Harga

Harga (price) adalah jumlah semua nilai yang diberikan oleh pelanggan

untuk mendapatkan keuntungan dari memiliki atau menggunakan suatu produk

atau jasa (Kotler, 2008). Harga adalah satuan nilai yang diberikan pada suatu

komoditi sebagai informasi kontraprestasi dari produsen/pemilik komoditi. Dalam

teori ekonomi disebutkan bahwa harga suatu barang atau jasa yang pasarnya

kompetitif, maka tinggi rendahnya harga ditentukan oleh permintaan dan

penawaran pasar.

Permintaan selalu berhubungan dengan pembeli, sedangkan penawaran

berhubungan dengan penjual. Apabila antara penjual dan pembeli berinteraksi,

maka terjadilah kegiatan jual beli, saat terjadi kegiatan jual beli di pasar, antara

penjual dan pembeli akan melakukan tawar-menawar untuk mencapai kesepakatan

harga. Pembeli selalu menginginkan harga yang murah sehingga dengan uang

yang dimilikinya dapat memperoleh barang yang banyak. Sebaliknya, penjual

menginginkan harga tinggi, dengan harapan dapat memperoleh keuntungan yang

banyak. Perbedaan itulah yang dapat menimbulkan tawar-menawar harga. Harga

yang telah disepakati oleh kedua belah pihak disebut harga pasar. Pada harga

tersebut jumlah barang yang ditawarkan sama dengan jumlah barang yang

diminta. Dengan demikian harga pasar disebut juga harga keseimbangan

(ekuilibrium).

Faktor terpenting dalam pembentukan harga adalah kekuatan permintaan

dan penawaran, permintaan dan penawaran akan berada dalam keseimbangan

pada harga pasar jika jumlah yang diminta sama dengan jumlah yang ditawarkan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa proses terbentuknya harga

pasar jika terdapat hal-hal berikut ini: 1) antara penjual dan pembeli terjadi tawar-

menawar 2) adanya kesepakatan harga ketika jumlah barang yang diminta sama

dengan jumlah barang yang ditawarkan.

Harga yang terbentuk untuk suatu komoditas merupakan hasil interaksi

antara penjual dan pembeli. Harga yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kuantitas

dan kualitas barang yang ditransaksikan. Dari sisi pembeli (demand, D) semakin

banyak barang yang ingin dibeli dan semakin bagus kualitasnya akan

meningkatkan harga, sementara dari sisi penjual (supply, S) semakin banyak

barang yang akan dijual dan semakin buruk kualitasnya akan menurunkan harga.

Selain dipengaruhi oleh faktor penawaran dan permintaan domestik, harga

komoditas juga dapat dipengaruhi oleh harga komoditas di pasar internasional.

Pada rezim perdagangan bebas, harga komoditas domestik akan bergerak

mengikuti harga internasional, sehingga akan lebih volatile jika pemerintah tidak

melakukan intervensi. Banyak negara reluctant untuk bergerak kearah

perdagangan bebas secara penuh untuk komoditas pangan/pertanian karena

komoditas tersebut merupakan komoditas penting yang dapat menimbulkan

instabilitas politik. Untuk itu banyak negara, termasuk negara maju sekalipun

seperti Jepang, yang masih memberikan proteksi berupa larangan impor untuk

komoditas tertentu maupun pemberian tarif impor.

Karakteristik penawaran dan permintaan untuk komoditas

pangan/pertanian memang unik karena keduanya cenderung bersifat inelastic

terhadap perubahan harga. Petani sebagai produsen tidak bisa serta merta
meningkatkan produksinya ketika harga mengalami peningkatan. Konsumen juga

tidak bisa mengurangi permintaannya ketika harga meningkat karena komoditas

pangan/pertanian tersebut menjadi kebutuhan pokok.

Tekanan sisi permintaan juga berpotensi meningkatkan harga komoditas

pertanian walaupun derajatnya relatif rendah dibanding tekanan dari sisi

penawaran. Sumber utama peningkatan permintaan komoditas pangan adalah

peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan, namun untuk negara maju, income

effect kepada permintaan komoditas pertanian relatif kecil bila dibandingkan

dengan negara berkembang yang mempunyai income elasticity lebih tinggi.

Membaiknya pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pendapatan masyarakat

yang selanjutnya mendorong konsumsi, kondisi ini memacu sektor industri untuk

meningkatkan produksi makanan sehingga permintaan komoditas pertanian

sebagai bahan baku meningkat.

2.6.2. Harga TBS

Produk minyak sawit yang merupakan salah satu andalan ekspor

Indonesia mengalami peningkatan harga yang signifikan. Harga minyak sawit

secara historis terus meningkat, peningkatan harga minyak sawit (CPO, crude

palm oil) ini juga mendongkrak harga buah sawit Tandan Buah Segar (TBS).

Para petani kelapa sawit memperoleh manfaat dari hasil menjual buah sawit

kepada pabrik-pabrik pengolah kelapa sawit menjadi CPO. Oleh karena itu,

harga TBS merupakan salah satu indikator penting yang dapat mempengaruhi

penawaran petani kelapa sawit

Harga TBS yang diterima petani dihitung berdasarkan indeks proporsi K.

Untuk komponen K yang biasanya disebut dengan indeks proporsi K yang


merujuk pada keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan maupun Peraturan

Menteri Pertanian tersebut pada dasarnya merupakan persentase besarnya hak

petani tersebut diatas terhadap harga TBS (Wahyono dkk, 2014).

Angka ini biasanya berada pada tingkat dibawah 100 persen karena

sebagai faktor pembilang untuk menentukan K lebih kecil dari jangka pada

faktor penyebut. Kebijakan mengenai harga TBS, merupakan wewenang

pemerintah yang diturunkan dalam bentuk peraturan dan keputusan pejabat

berwenang, seperti surat keputusan Menteri (PERMENTAN) atau pejabat (SK)

yang diberi wewenang untuk itu kebikajsanaan diambil dengan tujuan untuk

melindungi petani dan menstabilkan perekonomian (Daniel dan Moehar, 2002).

Harga penjualan yang dapat diperoleh petani atau pengusaha pertanian

ditentukan oleh berbagai faktor yaitu mutu, hasil, pengolahan hasil dan sistem

pemasaran yang baik, sementara biaya produksi lebih mudah dikendalikan oleh

petani dan salah satu faktor yang paling menentukan adalah produktivitas petani.

Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya produksi adalah ketersediaan dan harga

input, produktivitas dan tenaga kerja dan kemampuan pengelolaan usahatani

untuk meningkatkan efisiensi.

Jumlah biaya dan pendapatan yang akan diperoleh sangat bergantung

pada kondisi lahan, harga bahan dan alat serta upah tenaga kerja. Usahatani

merupakan suatu kegiatan produksi, dimana peran input (faktor produksi) dalam

menghasilkan output (hasil produksi) menjadi perhatian utama. Peranan input

bukan saja dilihat dari jenis dan ketersediaan dalam waktu yang tepat, tetapi

dapat juga ditinjau dari jenis dan ketersediaan dalam waktu yang tepat, tetapi
dapat juga ditinjau dari segi efisiensi penggunaan faktor tersebut.

Pada dasarnya, ada 2 kekuatan besar yang berpengaruh pada

pembentukan harga komoditas kelapa sawit, yaitu kekuatan pasar (marketing

forces) dan pengendalian oleh pemerintah/kebijakan pemerintah.

1). Kekuatan Pasar

Melalui kekuatan pasar, harga disepanjang rantai supply berpengaruh

karena permintaan di industri hulu merupakan turunan permintaan dari

permintaan di industri hilir. Harga produk di industri hulu dipengaruhi oleh

harga produk di industri hilir atau dengan kata lain harga TBS dipengaruhi oleh

harga CPO.

2). Kebijakan Pemerintah

Untuk menghindari pengaruh negatif perubahan dunia, pemerintah

mengeluarkan serangkaian kebijakan harga TBS yang diharapkan dapat

melindungi petani. Kebijakan pemerintah dalam menentukan harga TBS akan

mempengaruhi kemampuan petani kelapa sawit untuk berproduksi. Penetapan

Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun ditetapkan melalui Surat

Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia N0.1/PERMENTAN/KB.120/

1/2018.

Rumus Harga pembelian TBS ditetapkan sebagai berikut:

HTBS(P) = K (P-1) ((HCPO(P)x RCPO(Tab))+ (HPK(P) x RPK(Tab)))

Dimana:

HTBS (P) :Harga TBS acuan yang diterima oleh Pekebun di tingkat pabrik,

dinyatakan dalam Rp/kg, pada periode berjalan (p)

K(P-1) :Indeks proporsi yang menunjukkan bagian yang diterima oleh


pekebun dinyatakan dalam persentase (%)pada periode sebelumnya.

HCPO (P) :Harga rata-rata minyak sawit (CPO) tertimbang realisasi

penjualan Ekspor (FOB) dan lokal masing-masing perusahaan

pada periode berjalan, dinyatakan dalam rupiah per kilogram

(Rp/kg).

HPK(P) :Harga rata-rata PK tertimbang realisasi penjualan ekspor(FOB) dan

lokal masing-masing perusahaan pada periode berjalan dinyatakan

dalam rupiah perkilogram (Rp/kg)

RCPO (Tab):Rendemen CPO tabel dinyatakan dalam presentase (%)

RPK (Tab) :Rendemen PK tabel dinyatakan dalam presentase (%)

2.7. Faktor Yang Mempengaruhi Harga TBS Petani Swadaya

2.7.1. Penerapan Teknik Budidaya

Teknik budidaya tanaman adalah proses menghasilkan bahan pangan serta

produk-produk agrondustri dengan memanfaatkan sumberdaya tumbuhan.

2.7.1.1.Kualitas Bibit

Bibit adalah faktor utama yang harus disiapkan setelah penanaman sudah

diolah. Selain menjadi faktor pertama bibit juga menjadi faktor yang sangat

menunjang keberhasilan usaha budidaya perkebunan kelapa sawit. Kualitas bibit

kelapa sawit menentukan masa depan usaha budidaya hingga 30 tahun kedepan.

Tanaman yang berasal dari bibit kelapa sawit berkualitas akan memberikan hasil

panen yang memuaskan selama tanaman tersebut hidup, sedangkan tanaman

kelapa sawit dari bibit yang tidak jelas asal-usulnya tidak akan memberikan

jaminan apakah dapat menghasilkan buah atau tandan kelapa sawit yang besar dan

banyak, atau tidak bisa berubah (Pahan, 2008)


Untuk memperoleh bibit kelapa sawit berkualitas diperlukan pemahaman

mengenai jenis-jenis bibit kelapa sawit yang digunakan untuk budidaya. Bibit

kelapa sawit pada umumnya terbagi menjadi 3 jenis yaitu bibit liar, bibit unggul,

dan bibit kultur jaringan (Pahan, 2008)) yaitu:

a. Bibit kelapa sawit liar

Bibit kelapa sawit lIar adalah bibit yang diperoleh dari sumber yang tidak

jelas. Bibit kelapa sawit liar biasanya digunakan para pekebun yang tidak

memiliki cukup pemahaman tentang pemahaman tentang teknik pembiakan

tanaman kelapa sawit yang sudah tumbuh dari tanaman kelapa sawit yang ada di

kebun produksi. Bibit ini biasanya berasal dari biji sisa brondolan yang jatuh saat

panen yang kemudian tumbuh dilahan produksi.

Penggunaan bibit kelapa sawit liar sangat berbahaya bagi keberlansungan

usaha budidaya tanaman kelapa sawit. Tanaman yang berasal dari bibit liar bias

anya sulit berbuah, produktivitasnya tidak memuaskan. Bibit kelapa sawit liar

baik masih dalam bentuk biji atau kecambah, sudah menjadi tanaman kecil atau

sudah menjadi tanaman berproduksi biasanya menunjukkan ciri-ciri yang terlihat

jelas.

b. Bibit kelapa sawit unggul

Bibit kelapa sawit unggul adalah bibit yang diperoleh dari sumber tanaman

induk yang memiliki sifat-sifat unggul seperti tahan hama dan penyakit,

prosuktivitasnya tinggi, serta memiliki pertumbuhan yang serempak. Bibit kelapa

sawit unggul dapat diperoleh melalui teknik pembibitan tanaman yang sesuai
prosedur, teknik pembibitan tanaman yang sesuai prosedur yang menggunakan

bahan tanam (benih) yang sumbernya jelas.

Benih kelapa sawit unggul biasanya menunjukkan beberapa ciri-ciri yang

cukup signifikan diantaranya:

1) warna calon akar (radikula) berwarna kekuning-kuningan, sedangkan

calon batang dan daun (plumula) berwarna keputih-putihan

2) Radikula lebih panjang dari plumula

3) Radikula dan plumula tumbuh lurus dan saling berlawanan arah

4) Panjang radikula maksimum 5 cm sedangkan panjang plumula 3 cm

2.7.1.2.Jumlah Pemupukan

Menurut Marsono (Pahan, 2008), pupuk merupakan kunci dari kesuburan

tanah karena berisi satu atau lebih unsur yang harus diserap oleh tanaman, jadi

memupuk berarti menambah unsur hara kedalam tanah (pupuk akar) dan tanaman

(pupuk daun).

Rekomendasi pupuk kelapa sawit adalah suatu proses untuk menentukan

dosis dan jenis pupuk yang akan diberikan kepada tanaman kelapa sawit untuk

memenuhi kebutuhan nutrisi tanaman dalam luasan dan periode. Pada tanaman

kelapa sawit dosis pupuk yang diberikan untuk jangka waktu satu tahun. Hal ini

dikarenakan kelapa sawit merupakan tanaman tahunan. Suatu areal kelapa sawit

yang akan direkomendasikan pupuk haruslah dalam kondisi seragam terutama

dari segi umur tanaman, jarak tanam, jenis tanah dan topografi lahan

(Lumbangaol, 2010).

Produksi yang maksimal dihasilkan dari pemupukan yang optimal pula,

pemupukan yang optimal adalah pemupukan yang tepat dosis, berarti pupuk harus
diberikan sesuai dengan kebutuhan tanaman, tidak berlebihan dan juga tidak

kekurangan jika kebutuhan kelapa sawit tidak terpenuhi produksi yang dihasilkan

tidak maksimal dan kekurangan nutrisi tersebut menjadi penyebab pembatas

terhadap produksi sehingga berpengaruh pada kualitas TBS yang dihasilkan dan

akan mempengaruhi harga TBS. berikut ini jenis unsur hara penting bagi

tanaman kelapa sawit lengkap dengan manfaat dan kegunaannya (Lumbangaol,

2010).

a. Unsur hara Nitrogen (N)

Tanaman kelapa sawit membutuhkan unsur nitrogen dalam jumlah banyak

karena unsur ini sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Kekurangan

unsur N dapat mengakibatkan pertumbuhan tanaman kelapa sawit terhambat,

kerdil, daun tua menguning sumber unsur N adalah Urea dan ZA.

b. Unsur hara Phosphor (P)

Unsur hara phosphor diperlukan oleh tanaman kelapa sawit dalam jumlah

yang banyak manfaat unsur phosphor yaitu memperkuat perakaran, batang dan

meningkatkan kualitas buah kelapa sawit, kekurangan unsur phosphor

menyebabkan daun berwarna keunguan dan tanaman tumbuh kerdil sumber unsur

P adalah TSP.

c. Unsur hara Kalium (K)

Manfaat dan peran unsur kalium bagi tanaman kelapa sawit adalah

mempengaruhi jumlah dan ukuran tandan serta berperan penting dalam

penyusunan minyak tanaman kelapa sawit membutuhkan unsur kalium dalam


jumlah banyak. Kekurangan unsur kalium menyebabkan timbulnya bercak

transparan pada daun tua kemudian mengering, sumber unsur k adalah Kcl.

d. Unsur hara Magnesium (Mg)

Membutuhkan Mg dalam jumlah banyak manfaat dari unsur hara

magnesium adalah untuk proses fotosintesis. Kekurangan magnesium

menyebabkan ujung daun tua kekuningan jika terkena matahari, sumber Mg

adalah dolomit dan kieserite.

e. Unsur hara Tembaga (Cu)

Meskipun butuh dalam jumlah sedikit namun unsur ini sangat diperlukan

sebagai pembentuk klorofil (zat hijau daun) dan mempercepat reaksi fisiologi

tanaman, kekurangan Cu daun berwarna kuning pucat, kemudian kering dan mati,

sumber Cu adalah CuSO4

f. Unsur hara Boron (B)

Unsur hara Boron adalah unsur hara yang dibutuhkan kelapa sawit dalam

jumlah sedikit dengan manfaat sebagai penyusun gula, karbohidrat, protein dan

perkembangan ujung dan anak daun.

g. Unsur hara Zink/seng (Zn)

Unsur hara Zink berperan dalam enzimatis dan menunjang pembentukan

hormone pertumbuhan. Peran Zn akan menyebabkan matinya jaringan tumbuh

biasanya terjadi pada tanah gambut. Menurut Lubis dan Widanarko (2012),

Kebutuhan unsur hara kelapa sawit pada setiap fase berbeda-beda. jumlah unsur

hara yang ditambahkan melalui pupuk harus memperhitungkan kehilangan hara


akibat pencucian, penguapan, perebutan hara dari tanaman penutup tanah. Potensi

fisik dan kimia tanahtanah di Indonesia bervariasi. Karena itu, komposisi

kebutuhan hara di setiap tempat berbeda-beda dan setiap umur tanaman kelapa

sawit membutuhkan dosis unsur hara yang berbeda.

Tanaman yang telah menghasilkan (masa TM) memerlukan pupuk yang

berguna sebagai nutrisi untuk pembentukan buah, pertumbuhan dan

perkembangan kelapa sawit. Berdasarkan asalnya pupuk, pupuk dibedakan

menjadi 2 jenis yaitu pupuk organik dan pupuk anorganik (pupuk pabrik).

Penggunaan pupuk ini harus diberikan secara seimbang. Berdasarkan bentuknya,

pupuk yang digunakan biasanya berbentuk butiran atau tablet (Sunarko, 2010).

Sebelum pemupukan dilakukan dipiringan, bersihkan tanah terlebih dahulu

dan dangir dangkal (digaruk menggunkan cangkul). Pemupukan dilakukan dengan

mengubur pupuk secara dangkal didaerah perakaran tanaman dengan diameter

kira-kira 0,5 meter dengan pangkal batang hingga cincin (tepi piringan). Pupuk

organik yang digunakan berupa kompos, pupuk kandang, atau pupuk hijau yang

sudah matang. Sebelum digunakan campur pupuk dengan tanah subur. Lakukan

pemupukan pada awal musim hujan agar pupuk terserap oleh akar secara efesien.

Berikan jeda waktu setelah pengaplikasian pupuk agar terlihat respon atau efek

pemupukan (Sunarko, 2010).

2.7.1.3.Pemeliharaan Tanaman

Penyiangan merupakan kegiatan untuk menekan pertumbuhan gulma agar

tidak mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman. Penyiangan dapat

dilakukan secara manual dan kimiawi, cara manual menggunakan garpu dan

sejenisnya, sehingga semua akar lalang dapat terangkat, lakukan rotasi


penyiangan setiap satu bulan sekali, contohnya menggaruk (manual) didaerah

piringan dengan cara menarik sebagian rerumputan dan sedikit tanah kearah

pangkal pohon dan sebagian lagi ditarik kearah luar piringan (Sunarko, 2010).

Penyiangan secara kimiawi dilakukan dengan menyemprotkan herbisida

sesuai dosis yang tertera di label kemasan. Minsalnya dilakukan dengan

mengusap daun lalang secara merata dengan kain lap yang sudah dicelupkan

kedalam glyfosat (konsentrasi 0,5%). Selain itu penyiangan dapat dilakukan

dengan weeding, baik manual (digaruk/dicabut) maupun kimiawi (herbisida)

Lokasi weeding dilakukan dilaksanakan digawangan, jalan pikul buah dan

piringan (bokoran) (Sunarko, 2010).

Menurut Pahan (2008), kehadiran gulma di perkebunan kelapa sawit dapat

menurunkan produksi akibat bersaing dalam pengambilan air hara, sinar matahari

dan sinar hidup. Gulma juga dapat menurunkan mutu produksi akibat

terkontaminasi oleh bagian gulma, mengganggu pertumbuhan tanaman, menjadi

inang bagi hama, menganggu tata guna air, dan meningkatkan biaya

pemeliharaan, untuk mengurangi segala bentuk kerugian adanya gulma sampai

ambang batas yang tidak merugikan bagi pertumbuhan tanan budidaya.

Selanjutnya Pardamean (2017), menambahkan bahwa kelapa sawit

mengalami masalah gulma yang tinggi sebab salah satu faktornya adalah jarak

tanaman ini lebih lebar, sehingga penutupan tanah oleh kanopi lambat membuat

cahaya matahari masuk mencapai permukaan tanah yang kaya dengan potensi

gulma. Dengan demikian tujuan pengendalian gulma adalah mengurangi jumlah

populasi gulma sampai ambang batas yang tidak meugikan bagi pertumbuhan

tanaman budidaya.
Keuntungan pengendalian gulma secara kimia dibandingkan dengan

manual adalah pekerjaan lebih cepat dan menggunakan tenaga kerja lebih sedikit,

kerusakan pada akar tanaman akibat pengendalian secara manual dapat dihindari,

erosi tanah terjadi lebih kecil dan dapat menghindari terbentuknya cekungan pada

pirngan. Kelemahan pengendalian secara kimia adalah biaya pengendalian sangat

dipengaruhi oleh biaya herbisida, dibutuhkan tenaga kerja yang terampil,

berkurang lapangan pekerjaan, dan adanya kemungkinan tanaman pokok teracuni.

Menurut pahan (2008), pengendalian hama dan penyakit tanaman pada

hakikatnya merupakan upaya untuk mengendalikan suatu kehidupan. Upaya

mendeteksi hama dan penyakit pada waktu yang lebih dini mutlak harus

dilaksanakan. Selain akan memudahkan tindakan pencegahan dan pengendalian,

keuntungan deteksi dini juga bertujuan agar tidak terjadi ledakan serangan yang

tak terkedali atau terduga.

Hama yang sering menyerang tanaman kelapa sawit diantaranya kumbang

tanduk, ulat api, ulat kantong, tikus, rayap, Adoretus dan Apogonia, serta babi

hutan. Penyakit utama kelapa sawit adalah penyakit busuk pangkal batang kelapa

sawit, penyakit antraknosa dan bercak daun. Konsep yang digunakan dalam

pengendalian hama, penyakit dan gulma kelapa sawit adalah Pengendalian Hama

Terpadu (PHT) Integrated Pest Management (IPM) (PPKS,2006).

Berbagai cara yang dilakukan dalam PHT diantaranya adalah: hama ulat

(tasea asigna, stora nitens, dan darnarim sp) dikendalikan dengan

menyemprotlkan dipterex atau bayrusil, hama kumbang ( Apogania sp. dan

Oryctest rhinocerost) dikedalikan dengan menyemprotkan larutan Azodrin yang

bersifat sistemix, hama tikus dikendalikan dengan racun tomorin warfarin, atau
racumin. Penyakit pada tanaman kelapa sawit hingga saat ini, belum ditemukan

cara pembrantasan yang efektif, sehingga hanya dapat dilakukan dengan

pembatasan penyebaran penyakit. Caranya, menebang tanaman kelapa sawit yang

terkena penyakit ini, pangkal batang dan sisa-sisa akar dibakar ditempat tersebut

(Sastrosuyono, 2003).

Menurut Lubis dan Widanarko (2012), pengendalian hama dan penyakit

perlu dilakukan mengingat hama dan penyakit akan berpengaruh terhadap hasil

produksi. Jika hama dan penyakit menyerang tanaman kelapa sawit dan tidak

segera di brantas, produksi buah kelapa sawit akan menurun baik secara kuantitas

maupun kualitas. Faktor produksi tenaga kerja perlu diperhitungkan dalam proses

kegiatan pemelihatraan tanaman seperti penyiangan gulma dan perlindungan

tanaman dari hama dan penyakit. kelangkaan tenaga kerja berakibat mundurnya

penanaman sehingga berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, produktivitas dan

kualitas produksi pada tanaman kelapa sawit. Kegiatan pemeliharaan tanaman

dilakukan oleh tenaga kerja dengan perhitungan curahan tenaga kerja dengan

satuan Hari Orang Kerja (HOK/tahun) dan JOK (jam orang kerja)satuan JOK

digunakan unutk tenaga kerja berdasarkan jam kerja, sedangkan HOK digunakan

untuk tenaga kerha berdasarkan hari kerja. Secara matematis dapat diuraikan

sebagai berikut:

HOK = 𝐻𝐾 7𝑋 𝐽𝐾 Atau 1 HOK = 7 JOK

Dimana:

HK = Hari kerja (hari)

JK = Jam kerja (jam)


HOK = Hari orang kerja

JOK = Jam orang kerja

2.7.2. Umur Tanaman Kelapa Sawit

Menurut Pusat Informasi Kelapa Sawit (2013), umur ekonomis tanaman

kelapa sawit umumnya 25 tahun, tetapi dewasa ini umur ekonomis tanaman bisa

mencapai lebih dari 25 tahun, pada umur diatas umur ekonomis tanaman sudah

tinggi sehingga sulit dipanen, tandannya sudah jarang sehingga secara ekonomis

tidak diperhatikan. Pengelompokan berdasarkan masa berbuah TBM (Tanaman

Belum Menghasilkan) 0-3 tahun, TM (Tanaman Menghasilkan) >3 tahun,

pengelompokan berdasarkan umur tanaman 3-8 tahun (muda) 9-13 tahun

(Remaja) 14-20 tahun (dewasa) >20 tahun (tua). Umur tanaman kelapa sawit

menunjukkan adanya pengaruh terhadap produksi kelapa sawit yang dihasilkan

berupa TBS.

2.7.3. Kriteria Panen

Suatu areal Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dapat berubah

menjadi Tanaman Menghasilkan (TM) dan mulai bisa dilakukan panen apabila

60% buah atau lebih telah matang panen. Kriteria matang panen yang dijadikan

patokan di perkebunan kelapa sawit adalah bila suadah ada brondolan yang jatuh

pada piringan, dengan melihat adanya brondolan yang jatuh dari piringan, maka

para pemanen tidak perlu melihat tandan yang bersangkutan, apalagi bila keadaan

tandan sudah tinggi (Pahan, 2008)

Panen harus dilaksanakan pada saat yang tepat karena panen akan

menentukan tercapainya kuantitas dan kualitas minyak sawit yang dihasilkan.

Saat panen yang tepat berhubungan dengan proses pembentukan minyak didalam
buah yang prosesnya berlansung selama 24 hari dan akan berakhir pada saat

berondolan lepas dari tandannya dan terjatuh dipiringan. Pemanenan yang

dilakukan sebelum pembentukan minyak akan mengakibatkkan hasil minyak

mentah kurang dari semestinya, sedangkan pemanenan yang melewati proses

pembentukan minyak akan merugikan karena akan banyak buah yang terlepas

dari tandan dan jatuh ke tanah. Buah yang lewat masak maka sebagian

kandungan minyaknya akan berubah menjadi asam lemak bebas (free fatti acid)

yang akan mengakibatkan menurunnya mutu kelapa sawit.

Menurut Pahan (2008), tanaman kelapa sawit mulai berbuah setelah 2,5

tahun dan dan masak 5,5 bulan setelah penyerbukan. Kelapa sawit dapat dipanen

jika tanaman telah berumur 31 bulan, setidaknya 60% buah telah matang panen,

dari 5 pohon terdapat 1 tandan buah matang panen. Ciri tandan matang panen

adalah sudah ada 5 buah lepas/jatuh (brondolan) dari tandan yang beratnya

kurang dari 10 kg atau setidaknya ada 10 buah yang yang lepas dari tandan yang

beratnya 10 kg atau lebih. Selain itu, ada kriteria lain tandan buah yang dipanen

apabila tanaman yang dipanen berumur kurang dari 10 tahun, jumlah brondolan

yang jatuh kurang lebih 10 butir, jika tanaman berumur lebih dari 10 tahun,

brondolan yang jatuh sekitar 15-20 butir.

2.7.4. Tujuan Pengangkutan TBS

Salah satu upaya untuk menghindarkan terbentuknya asam lemak bebas

adalah dengan pengangkutan buah dari kebun ke pabrik harus dilakukan

secepatnya dan menggunakan alat angkut yang baik, oleh karena itu, TBS dari

kebun diangkut dengan alat angkut dan berkapasitas angkut besar, misalnya lori,

traktor gandengan, atau truk.


2.7.4.1. Saluran Pemasaran

Menurut Irwan dan Soedjono (2001), saluran pemasaran adalah himpunan

perorangan dan perusahaan yang mengambil alih hak atau membantu dalam

pengalihan hak katas barang atau jaga selama berpindah dari produsen ke

konsumen akhir. Saluran pemasaran merupakan saluran yang digunakan oleh

produsen untuk menyalurkan barang tersebut dari produsen sampai kekonsumen

atau pemakai industri, jadi saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi yang

saling berhubungan dalam penyaluran barang dari produsen kepada konsumen,

suatu barang dapat berpindah melalui beberapa tangan sejak dari produsen sampai

kepada konsumen (Kotler, 2006).

Menurut Sudiyono (2002), saluran pemasaran yang ada tentunya

melibatkan lembaga pemasaran dalam lembaga pemasaran adalah badan usaha

atau individu yang menyelenggarakan pemasaran memerlukan jasa dan komoditi

dari produsen kepada konsumen akhir serta mempunyai hubungan dengan badan

usaha dengan badan usaha atau individu lain, lembaga pemasaran timbul karena

adanya keinginan konsumen untuk memperoleh komoditi yang sesuai dengan

waktu tempat dan bentuk yang diinginkan.

Menurut Ramantara (2015), saluran pemasaran tandan buah segar (TBS)

kelapa sawit terdiri dari subsistem yang saling berkaitan, yaitu:

a). produsen / petani tandan buah segar (TBS)

b). Pedagang perantara meliputi agak kecil dan RAM atau agen besar

c). PKS yaitu tempat pengolahan tandan buah segar (TBS)


beberapa skema saluran pemasaran TBS dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Petani Agen (pedagang RAM PKS


(Produsen) pengumpul) (padagang (Perkebunan
Besar) Kelapa Sawit)

Petani Agen (pedagang PKS


(Produsen) pengumpul) (Perkebunan
Kelapa Sawit)

Petani PKS
(Produsen) (Perkebunan
Kelapa Sawit)

Gambar 2. Skema Saluran Pemasaran TBS


III
Panjang pendeknya saluran pemasaran akan mempengaruhi harga TBS

yang akan diterima petani karena aka nada margin dan pemotongan harga pada

masingmasing lembaga pemasaranan, semakin pendek saluran pemasaran maka

harga yang akan diterima petani akan lebih tinggi.

2.8. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan judul penelitian yang penulis buat mengenai “Analisis Faktor-

Faktor yang Mempengaruhi Harga TBS Petani Kelapa Sawit Swadaya di

Kabupaten Tebo”. Memiliki beberapa penelitian terdahulu mengenai rendemen

kelapa sawit yang dipengaruhi oleh kualitas TBS serta dipengaruhi dengan

kualitas produksi dan produksi ditentukankan oleh penerapan teknik budidaya

tanaman seperti kualitas bibit, jumlah pupuk, pemeliharaan tanaman, selanjutnya

harga dipengaruhi oleh umur tanaman, kreteria panen (jumlah brondolan waktu

panen), dan tujuan pemasan TBS (saluran pemasaran).


Penelitian Krisdianto dkk (2016), berjudul “Optimasi kualitas Tandan

Buah Segar Kelpa Sawit dalam Proses Panen-Angkut Menggunakan Model

Dinamis” penelitian ini bertujuan untuk mempelajari keterkaitan factor-faktor

yang bersama-sama secara berurutan mempengaruhi kualitas TBS. Parameter

kualitas TBS yang diamati adalah kadar Asam Lemak Bebas (ALB). Metode yang

digunakan adalah dengan mengamati setiap proses penanganan bahan, yaitu

pemanenan, pengangkutan didalam blok kebun, pemuatan, dan pengangkutan ke

PKS keterkaitan factor diamati dengan model dinamis. Keluaran dari simulasi

yang dihasilkan menunjukkan terdapat perbedaan kadar ALB antar kondisi

penanganan tersebut. Terdapat sedikit perbedaan ALB pada TBS yang dipanen

dilahan gambut dan lahan mineral dan antara ketinggian pohon yang berbeda.

Penanganan TBS yang berkontribusi paling besar adalah pemuatan pada bak truk

akibat memar. Kadar ALB TBS yang dipanen dilahan mineral dan dimuat pada

dasar bak truk 5,5% sedangkan dilapisan atas 4,4%. . model menunjukkan bahwa

kadar ALB meningkat penanganan bahan berurutan berbeda dengan penurunan

kualitas secara alami, kadar ALB bias mencapai 9,95%, sedangkan campuran 20%

buah memar dan 80% buah utuh, kadar ALB nya 2,82%. Peningkatan proporsi

buah memar dari 10% menjadi 20% untuk buah yang dipanen dilahan mineral

menyebabkan penambahan kadar ALB lebiih besar dari pada buah yang dipanen

di lahan gambut, yaitu 0,88% disbanding 0,80%. Hal yang sama menyebabkan

perbedaan kadar ALB 0,92% untukk buah yang dipanen pada fraksi 3 dan 0,72%

untuk buah yang dipanen pada fraksi 1. Rekomendasi pada penelitian ini adalah:

1) pemuatan dengan pelemparan TBS dengan manual sebaiknya dihidari, 2) bila

kondisi baik truk dan jalan buruk, sebaiknya TBS dipanen pada fraksi 1 atau 2, 3)
titik optimum kualitas TBS saat panen dan angkut adalah pada fraksi 1 dilahan

gambut dan dan diangkut dengan truk bak kayu, dan 4) dari sisi kualitas TBS

penundaan pengangkutan lebih menguntungkan dibandingkan menunggu proses

(mengantri) di pabrik sawit (PKS).

Penelitian Ariyanto dkk (2017), berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang

Mempengaruhi Produksi Kelapa Sawit Rakyat Pola Swadaya di Kabupaten

Kampar Riau” penelitian ini bertujuan untuk mengetahui factor-faktor yang

mempengaruhi produksi kelapa sawit dikarenakan kelapa sawit merupakan salah

satu komoditas yang potensial yang banyak dibudidayakan di kabupaten Kampar

Riau, untuk tumbuh dan berproduksi dengan baik, kelapa sawit membutuhkan

pemanfaatan factor-faktor produksi yang optimal. Metode analisis yang

digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan kuantitatif, metode analisis

kuantitatif dengan menggunakan fungsi Cobb-Douglas yang diolah dengan

menggunakan teknik analisis OLS (Ordinal Least Square). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa factor yang mempengaruhi produksi kelapa sawit rakyat di

kabupaten Kampar Riau adalah umur tanaman berpengaruh nyata positif sebesar

31,85%, dan penggunkan pupuk urea berpengaruh nyata positif sebesar 33,24%.

Penelitian Parhusip (2018), berjudul “ Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Rendemen CPO (Crude Palm Oil) di PKS (Pabrik Kelapa Sawit) Adolina PTPN

VI Perbaungan” tujuan dari penelitian ini adalah bertujuan untuk melihat factor-

faktor yang mempengaruhi Rendemen CPO. Pengamatan terhadapa rendemen

pada PKS Adolina PTPN VI Perbaungan dilakukan berdasarkan perhitungan

produksi CPO dibandingkan dengan TBS yang diolah . dari hasil yang dilakukan

6 hari berturut-turut diperoleh harga rendemen (21-24%)dengan rata-rata 23,50%.


Faktor yang mempengaruhi rendemen CPO tersebut antara lain varietas tanaman,

umur tanaman, pemeliharaan, mutu panen (derajat kematangan buah),

pengangkutan serta proses pengolahan yang berkaitan dengan oil losis.

2.9. Kerangka pemikiran

Perkebunan rakyat adalah usaha tanaman perkebunan yang dimiliki dan

diselenggarakan atau dikelola oleh perorangan serta tidak berbadan hukum,

dengan luasan maksimal 25 hektar atau pengelola tanaman perkebunan yang

mempunyai jumlah pohon yang dipelihara lebih dari batas minimum usaha

(BMU).

Usahatani kelapa sawit merupakan kegiatan yang dilakukan dalam

mengusahakan tanaman kelapa sawit yang mana tujuannya untuk menghasilkan

produk kelapa sawit berupa TBS (tandan buah segar) yang akan memberikan

harga yang diterima oleh petani, petani atau pekebun kelapa sawit perkebunan

rakyat terdiri dari pekebun plasma dan pekebun swadaya, pekebun atau petani

plasma adalah petaniyang mengusahakan kelapa sawit dengan cara bermitra

dengan perusahaan yang dilakukan mulai dari pembinaan, pengawasan hingga

pemasaran sudah terjamin oleh perusahaan, sedangkan petani swadaya adalah

petani yang mengusahakan kelapa sawit secara mandiri mulai dari penanaman,

pemeliharaan hingga pemasaran sehingga mutu yang dihasilkan tidak terjamin

berkualitas. harga TBS antara petani plasma dan petani swadaya jauh berbeda

karena harga TBS di tingkat petani swadaya lebih rendah.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat dari sudut faktor yang

mempengaruhi harga TBS ditingkat petani swadaya, faktor-faktor yang

mempengaruhi harga TBS ditingkat petani swadaya adalah teknik budidaya


(kualitas bibit, jumlah pemupukan, perlindungan tanaman), umur tanaman,

kriteria panen (jumlah brondolan), tujuan pemasara TBS

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga TBS petani kelapa sawit swadaya

adalah penerapan teknik budidaya (kualitas bibit, jumlah pupuk, pemeliharaan

tanaman), umur tanaman, kriteria panen (jumlah brondolan waktu panen),

pengangkutan ke pabrik (lama waktu, saluran pemasaran).

a. Kualitas Bibit, Bibit adalah salah satu faktor utama penentu produksi kelapa

sawit. Pihak produsen benih sudah menentukan tren produksi dari benih

tersebut. seringkali petani menanam benih kelapa sawit palsu akibatnya petani

mengalami produksi kelapa sawit yang rendah sepanjang tanaman itu ditanam.

Hal inilah salah satu faktor penyebab rendahya produksi kelapa sawit.

b. Jumlah pemupukan Pemupukan Faktor kedua yang sangat menentukan

produksi kelapa sawit adalah pemupukan. Pemupukan ini sangat menentukan

produksi kelapa sawit yang akan diperoleh. Jika pemupukan tidak dilakukan

dengan benar dan sesuai kebutuhan kelapa sawit per batang maka produksi

yang dihasilkan akan sangat rendah.

c. Pemeliharaan tanaman terdiri dari penyiangan tanaman dan perlindungan

tanaman dari hama dan penyakit. Penyiangan tanaman bertujuan untuk

mengotrol membasmi gulma yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman,

kondisi gulma yang terkontrol tidak akan mempengaruhi produksi kelapa sawit

karena tingkat persaingan unsur hara dengan tanaman tidak berpengaruh tetapi

jika kondisi gulma kelas A dan B sangat banyak atau dominan diperkebunan

kelapa sawit maka produksi yang dihasilkan akan menurun. Perlindungan

tanaman dari hama dan penyakit perlu dilakukan mengingat hama dan penyakit
akan berpengaruh terhadap hasil produksi. Jika hama dan penyakit menyerang

tanaman kelapa sawit dan tidak segera di brantas, produksi buah kelapa sawit

akan menurun baik secara kuantitas maupun kualitas

d. Umur tanaman kelapa sawit menunjukkan adanya pengaruh terhadap produksi,

karena pada umur diatas umur ekonomis tanaman sudah tinggi sehingga sulit

dipanen, tandannya sudah jarang sehingga secara ekonomis tidak diperhatikan

dan tidak produktif.

e. Jumlah berondolan merupakan Kriteria panen yang harus diperhatikan karena

juga mempengaruhi produksi kelapa sawit, dimana jika petani sering memanen

buah mentah maka tanaman kelapa sawit akan mengalami stress akibantya

produksi yang dihasilkan akan mengalami penurunan di tahun berikutnya, oleh

sebab itu perlu memperhatikan berapa jumlah brondolan yang jatuh di piringan

yang menunjukkan bahwa kelapa sawit sudah masuk waktu panen.

f. Tujuan pemasaran TBS atau saluran pemasaran adalah serangkaian organisasi

yang saling berhubungan dalam penyaluran barang dari produsen kepada

konsumen, didalam saluran pemasaran akan melibatkan lembaga pemasaran,

semakin banyaknya lembaga pemasaran yang akan dilewati maka akan ada

pemotongan harga yang diterima oleh produsen atau petani, semakin panjang

saluran pemasaran yang dilalui, semakin rendah harga TBS/kg yang akan

diterima oleh petani.

Berdasarkan penjelasan dari masing-masing variabel maka harga TBS

yang diterima oleh petani kelapa sawit pola swadaya erat kaitannya dengan

kualitas dari kelapa sawit yang akan menghasilkan kualitas minyak yang baik,

kualitas kelapa sawit di perhatikan mulai dari teknik budidaya tanaman, selain itu,
harga TBS juga ditentukan oleh umur tanaman karena tanaman kelapa sawit

memiliki umur ekonomis dan umur tanaman juga menghasilkan kandungan

minyak yang berbeda, penentuan panen harus dilakukan secara tepat berdasarkan

kriteria jumlah brondolan yang jatuh pada piringan, jika di panen kurang matang

atau kelewat matang akan mempengaruhi kandungan minyak kelapa sawit dan hal

tersebut juga akan menentukan harga, oleh sebeb itu petani harus melalukan

pemanenan sesuai dengan waktu yang tepat. Pengangkutan TBS kepabrik terdiri

lama waktu dari panen sampai pengangkutan dan saluran pemasaran kedua varibel

ini akan mempengaruhi harga TBS yang diterima petani kelapa saswit.

Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat

pada skema berikut:


Perkebunan Kelapa
Sawit Swadaya

Penerapan Teknik Budidaya


1. kualitas bibit
2. jumlah pemupukan
3. Perlindungan Tanaman

Kualitas TBS
Umur Kriteria
(Tandan Buah
Tanaman Panen
Segar)

Tujuan Pemasaran TBS


1. PKS (Pabrik Kelapa Sawit)
Harga TBS
2. Loading Ramp (Pedagang (Tandan Buah
Besar) Segar)
3. Pedagang Pengumpul

Pengaruh Tidak Langsung

Pengaruh Lansung

Gambar 3. Kerangka Pemikiran


2.10. Hipotesis

Berdasarkan tinjauan pustaka dan hasil penelitian terdahulu dapat

dirumuskan suatu hipotesis: diduga bahwa kualitas bibit, jumlah pemupukan,

pemeliharaan tanaman, umur tanaman, jumlah brondolan waktu panen, dan tujuan

pemasaran TBS (loading ramp, pedagang pengumpul) berpengaruh terhadap

harga TBS petani swadaya di Kabupaten Tebo.


III. METODE PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada 2 kecamatan di Kabupaten Tebo.

Pemilihan lokasi ini secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa

dikecamatan Tebo Tengah dan Tebo Ilir memiliki luas areal kelapa sawit rakyat

terbesar dari kecamat lain. Objek penelitian ini adalah petani kelapa sawit

swadaya yang mengusahakan kelapa sawit secara mandiri dan petani yang

mengusahakan kelapa sawit dengan umur tanaman 5-15 tahun. Penelitian ini

akan dilaksanakan dari bulan.............. Sampai bulan............ 2019.

Adapun data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:

1. Identitas petani sampel meliputi data tentang nama, umur, pendidikan,

pengalaman berusahatani kelapa sawit, dan jumlah anggota keluarga.

2. Investasi terdiri dari data modal awal dan sumber modal

3. Kondisi usahatani kelapa sawit.

4. Gambaran pemasaran kelapa sawit pola swadaya.

5. Harga TBS yang diterima petani swadaya maksimal 10 kali terakhir

penjualan

6. Penerapan teknik budidaya

a) Kualitas bibit (bersertifikat atau tidak bersertifikat)

b) Jumlah pemupukan (kg/batang)

c) Pemeliharaan tanaman terdiri dari penyiangan gulma dan

perlindungan dari gangguan hama dan penyakit tanaman dihitung

dari curahan hari kerja petani (HOK/tahun)

7. Umur tanaman kelapa sawit masing-masing petani sampel


8. Kriteria panen yaitu jumlah brondolan (butir)

9. Tujuan Pemasaran TBS

a) Pedagang pengumpul

b) Loading ramp (pedagang besar)

10. Data lain yang dapat mendukung dan diperlakukan dalam penelitian ini.

3.2. Sumber dan Metode Pengumpulan Data

3..2.1. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan secara langsung yang

diperoleh dari petani sampel dengan cara mewawancarai petani kelapa sawit

swadaya dengan menggunakan kuisioner yang disiapkan oleh peneliti,

sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari sumber-sumber

yang relevan seperti dari hasil penelitian, instansi terkait yaitu kantor Dinas

Perkebunan Provinsi Jambi, Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi, dan instansi

lain yang terkait dengan topik penelitian yang mendukung ketersediaan, internet

serta berbagai sumber bacaan seperti jurnal, koran, karya tulis ilmiah (studi

pustaka) yang terkait dalam penelitian.

3.2.2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data primer ini diperoleh melalui observasi

langsung, dengan merencanakan pengamatan dan mengetahui objek penelitian

secara langsung dilapangan untuk mengetahui apa saja yang akan diteliti dan

menggunakan teknik wawancara langsung terhadap objek penelitian dengan

mengajukan pertanyaan yang terdapat pada kuisioner yang sudah disiapkan oleh

peneliti. Metode pengumpulan data sekunder diperoleh dengan cara mempelajari

literatur atau jurnal karya ilmiah hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
cara topik penelitian, penelusuran dokumen serta laporan-laporan dari instansi

terkait.

3.3. Metode Penarikan Sample

Penarikan sampel pada penelitian ini dilakukan secara bertahap, untuk

penetapan kecamatan dan desa dilakukan secara purposive atau sengaja. Menurut

Eriyanto (2007), menyatakan bahwa sampling purposive adalah teknik penentuan

sampel berdasarkan atas suatu pertimbangan tertentu seperti sifat-sifat populasi

ataupun ciri-ciri yang sudah diketahui sebelumnya, dengan kata lain unit sampel

yang dihubungi disesuaikan dengan kriteria. Pada penelitian ini pertimbangan

pemilihan kecamatan dan desa adalah dengan kriteria lokasi tersebut merupakan

sentra produksi kelapa sawit rakyat di Kabupaten Tebo. Data kecamatan terpilih

yang dijadikan lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas Areal Kelapa Sawit Rakyat di Kabupaten Tebo Berdasarkan


Kecamatan 2013-2017
Luas Areal kelapa Sawit Rakyat
No Kecamatan
2013 2014 2015 2016 2017
1 Rimbo Ilir 679 692 699 740 3.929
2 Rimbo Ulu 1.008 1.035 1.057 1.084 1.091
3 Rimbo Bujang 908 939 954 986 4.435
4 Tebo Tengah 4.316 8.699 9.112 9.204 10.246
5 Tebo Ulu 518 1.271 1.375 1.548 1.697
6 Tujuh Koto 1.373 1.055 1.891 1.96 1.241
7 Sumay 895 2.014 3.011 3.527 5.282
8 Tebo Ilir 7.605 8.301 11.919 11.95 12.968
9 Tengah Ilir 900 2.232 3.947 4.13 7.311
10 Muaro Tabir 6.77 5.499 5.625 6.419 6.729
11 Serai Serumpun 8.053 4.145 4.23 4.254 4.288
12 VII Koto Ilir 151 910 173 202 251
Total Luas Areal 33.176 36792 43.994 46.004 59.468
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Jambi 2013-2017
Tabel 2 menjelaskan bahwa terdapat dua kecamatan yang mewakili

kabupaten tebo untuk dijadikan lokasi penelitian dengan ketentuan kecamatan

tersebut memiliki luas areal kelapa sawit rakyat terbesar, Kecamatan Tebo Ilir
memiliki luas areal kelapa sawit terbesar pertama pada tahun 2017 yaitu sebesar

12.968 ha dan diikuti Kecamatan Tebo Tengah sebesar 10.246 ha. Setelah

memperoleh 2 kecamatan kemudian masing-masing kecamatan akan dipilih dua

desa, lokasi desa penelitian akan ditentukan pada saat penelitian dikarenakan

tidak tersedianya data yang mendukung dalam pemilihan desa penelitian. Kriteria

pemilihan desa berdasarkan sentra kelapa sawit yang diusahakan swadaya,.

Selanjutnya setelah penentuan secara purposive atau sengaja maka

diperoleh 2 kecamatan dengan sebaran 2 desa dari masing-masing kecamatan,

desa yang akan menjadi lokasi dalam pengambilan sampel petani swadaya dapat

dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Sebaran Sampel pada Masing-Masing Desa di Kecamatan Tebo Ilir


dan Kecamatan Tebo Tengah
No Kecamatan Desa Jumlah Petani
Desa A 20
1 Tebo Ilir
Desa B 20
Desa C 20
2 Tebo Tengah
Desa D 20
Total 2 4 80
Tabel 3 menjelaskan bahwa berdasarkan empat desa tersebut maka

dilakukan pemilihan jumlah petani sampel dengan metode nonprobability

sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberikan kesempatan

yang sama bagi setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel

dikarenakan jumlah petani swadaya tidak diketahui secara pasti. Pada metode

nonprobability akan digunakan sampling kuota. Menurut Sugiyono (2011),

sampling kuota adalah teknik untuk menentukan sampel dari populasi yang

mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah kuota yang diinginkan. Bila pada

pengambilan sampel dilakukan secara kelompok maka jumlah sampel dibagi rata

sampai jumlah (Kuota) sampel yang diinginkan. Jumlah kuota yang dibutuhkan
adalah 80 petani swadaya dengan sebaran masing-masing yaitu Desa A 20 orang

petani kelapa sawit swadaya, Desa B 20 orang petani kelapa sawit swadaya, Desa

C 20 orang petani kelapa sawit swadaya, Desa D 20 orang petani kelapa sawit

swadaya.

3.4. Metode Analisis Data

3.4.1 Analisis Deskriptif

Analisis deskriftif dilakukan untuk mempresentasikan kondisi sosial

ekonomi serta pengamatan yang terkait dengan data penunjang lainnya

berdasarkan kuisioner, laporan dan menganalisis data yang diperoleh melalui

pertanyaan-pertanyaan, pengamatan, kondisi, situasi dan lain-lain. Pada analisis

ini hasil penelitian hanya dilukiskan dengan narasi.

3.4.2. Anslisis Kuantitatif

Analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh

antar variabel yang diuji dengan menggunakan model regresi, untuk melihat

pengaruh penerapan teknik budidaya (kualitas bibit, jumlah pupuk, perlindungan

tanaman, umur tanaman, kriteria panen (Jumlah brondolan), pengangkutan (lama

waktu, saluran pemasaran) terhadap harga TBS yang diterima petani kelapa sawit

swadaya dilakukan dengan menggunakan metode regresi linier berganda

menggunakan SPSS (Statistical Product and Service solution).

Menurut Sarwoko dalam Zaenuddin (2015), model regresi linier berganda

adalah model yang menggunakan dua atau lebih variabel bebas bentuk linier

mengansumsikan bahwa slope hubungan antara variabel independen dan variabel

dependen adalah konstan. Tujuan analisis regresi linier berganda adalah untuk

mengukur intensitas hubungan antara dua variabel atau lebih dan memuat
prediksi/perkiraan nilai Y atas nilai X. Bentuk umum persamaan regresi linier

berganda yang mencakup dua atau lebih variabel, yaitu:

Y = a0 + aX1 + a2X2 + a3X3 + ……..+ akXk + i

Menurut Nawari (2010). Model diatas merupakan model regresi untuk

populasi, sedangkan apabila hanya menarik sebagian berupa sampel dari

populasi secara acak dan tidak mengetahui regresi populasi untuk keperluan

analisis, variabel bebas akan dinyatakan dengan x1, x2, …, xk (k > 1) sedangkan

variabel tidak bebas dinyatakan dengan Y. variabel yang akan diukur dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Y’ = a0 + aD1 +a 𝑋1 +a 𝑋2 +a𝑋3+a𝑋4 +a𝐷2 +a𝐷3

Dimana :

Y’ = Harga TBS kelapa sawit (Rp/Kg)

a0,..,ak = Koefisien regresi

D1 = Kualitas Bibit

D1= 1 jika menggunakan bibit bersertifikat

D1= 0 jika tidak menggunakan bibit bersertifikat

X1 = Jumlah Pemupukan (kg/batang/tahun)

X2 = Curahan Tenaga Kerja untuk Pemeliharaan Tanaman (HOK/tahun)

X3 = Umur Tanaman (tahun)

X4 = Kriteria Panen/Jumlah Brondolan yg Jatuh (butir/pohon)

D2 = Tujuan Pemasaran TBS (Loading Ramp)

D2 =1 jika tujuan pemasaran adalah loading ramp

D1 =0jika tujuan pemasaran adalah lainnya


D3 = Tujuan Pemasaran TBS (Pedagang Pengumpul)

D3 =1 jika tujuan pemasaran adalah pedagang pengumpul

D3 =0 jika tujuan pemasaran adalah lainnya

e = Kesalahan pengganggu

variabel 1 6 dan 7 merupakan variabel dummy, variabel dummy adalah

variabel yang digunakan untuk mengkuantitatifkan variabel yang bersifat

kualitatif, merupakan variabel yang bersifat kategorikal yang diduga mempunyai

pengaruh terhadap variabel yang bersifat continue. Variabel dummy hanya

mempunyai nilai 1 dan 0. Pemberian nialai 1 dan 0 memiliki teknik tersendiri.

Agar mudah mempresentasikan hasil output regresi, sebaiknya nilai 1 diberikan

kepada responden yang diharapkan memberikan pengaruh terhadap nilai

(Yusrawati dkk, 2013).

Pengujian asumsi klasik dimaksudkan agar estimator yang diperoleh

dengan menggunakan metide OLS dapat memenuhi syarat BLUE (Best Linier

Unbiased Estimator). Uji asumsi klasik yang terpenting untuk memenuhi syarat

BLUE adalah dengan adanya deteksi uji normalitas, multikolinearitas,

heteroskedastisitas, dan autokorelasi.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas adalah untuk melihat apakah nilai residual terdistribusi

normal atau tidak. Model regresi yang baik adalah memiliki nilai residual yang

terdistribusi normal. Jadi uji normalitas bukan dilakukan pada masing-masing

variabel tetapi pada nilai residualnya. Sering terjadi kesalahan yang jamak yaitu

bahwa uji normalitas dilakukan pada masing-masing variabel. Uji normalitas


dapat dilakukan dengan uji histogram, uji normal P Plot, uji Chi Square,

Skewness dan Kurtosis atau uji Kolmogorov Smirnov.

Menentukan hipotesis:

1. Ho menunjukkan bahwa data memiliki distribusi tidak normal, sedangkan

Ha data memiliki distribusi normal.

2. Ho diterima jika Sign Kolmogorov Smirnov < 0,05, Ho ditolak jika Sign

Kolmogorov Smirnov >0,05

b. Uji Multikoliniaritas

Multikolinearitas adalah adanya hubungan linier yang sempurna atau

pasti diantara beberapa atau semua variabel yang menjelaskan dari model regresi

linier berganda. Jika terdapat multikolearitas yang sempurna, maka koefisien

regresi tak tentu dan kesalahan yang ada tak terhingga, sedangkan jika

multikolinearitas kurang sempurna, hanya koefisien regreai meskipun dapat

ditentukan, tetap akan memiliki kesalahan standar yang besar, yang juga dapat

berarti koefisien tidak dapat ditaksir dengan ketetapan yang tinggi. Adapun

beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menduga adanya gejala

multikolinearitas adalah:

1. Model mempunyai koefisien determinasi yang tinggi (𝑅 2 ) diatas 0,8 tetapi

hanya sedikit variabel independen yang signifikan mempengaruhi variabel

independen melalui uji t. Namun berdasarkan uji F secara statistik

signifikan yang berarti semua variabel secara bersama-sama

mempengaruhi variabel dependen.

2. Multikolinearitas dapat dilihat dari nilai tolerance dan variance inflantion

faktor (vip) tolerance mengukur variabilitas variabel independen terpilih

yang tidak jelas oleh variabel independen yang lainnya. Sehingga toleran
yang rendah sama dengan nilai vif yang tinggi (karena kamu vif =

1/tolerance) dan menunjukkan adanya kolineraritas yang tinggi. Nilai

kritis yang umum dipakai adalah tolerance 0,10 atau sama dengan nilai vif

diatas 10. Apabila nilai vif kurang dari sepuluh maka tidak terjadi

multikoleniaritas.

c. Uji autokorelasi

Autokorelasi adalah suatu gejala dimana adanya korelasi antara anggota

serangkaian observasi yang diurutkan melalui deretan waktu. Penyebab utama

terjadinya autokorelasi adalah adanya variabel penting yang tidak digunakan

dalam model. Uji autokorelasi adalah untuk melihat apakah terjadi korelasi

antara suatu periode t dengan periode sebelumnya (t -1), hanya dilakukan pada

data time series (runtut waktu) dan tidak perlu dilakukan pada data cross section

seperti pada kuesioner di mana pengukuran semua variabel dilakukan secara

serempak pada saat yang bersamaan. Beberapa uji statistik yang sering

dipergunakan adalah uji Durbin-Watson, uji dengan Run Test dan jika data

observasi di atas 100 data sebaiknya menggunakan uji Lagrange Multiplier.

Uji autokorelasi dugunakan untuk mengetahui adanya korelasi yang

terjadi antara residual pada satu pengamatan dengan pengamatan lain pada

model regresi. Model regresi diharuskan tidak adanya autokorelasi. Pengujian

autokorelasi dilihat dari output Durbin-Watson (DW) dengan ketentuan sebagai

berikut:

1. d <dLatau d > 4-dL maka terjadi autokorelasi

2. dU< d < 4-dU maka tidak terjadi autokorelasi

3. dL< d <dLatau 4-dU < d < 4dL maka tidak ada

kesimpulan.
d. Uji heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas dalam regresi digunakan untuk mengetahui

penyimpangan asumsi regresi (apakah terdapat ketidaksamaan varian dari

residual dalam sebuah pengamatan dari model regresi), model regresi yang baik

adalah terbebas dari gejala atau gangguan asumsi heteroskedastisitas ini.

pengujian heteroskedastisitas umumnya dilakukan dengan menggunakan

beberapa metode, seperti scatter plot dan glejser.

Pengujian heteroskedastisitas dengan metode grafik scatter plot

dilakukan mengikuti ketentuan bahwa apabila data membentuk pola tertentu

seperti titik-titik yang bergelombang, meyempit kemudian melebar maka dapat

disimpulkan adanya indikasi gangguan heteroskedastisitas, tetapi apabila data

tidak membentuk pola tersebut dan titik-titik menyebar di bagian atas dan bagian

bawah angka 0 pada titik sumbu Y, maka dapat disimpulkan tidak terjadi

gangguan heteroskedastisitas.

3.4.3. Uji Determinasi (R2)

Koefisien determinasi R2 pada intinya mengukur seberapa jauh

kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel dependen atau dengan

kata lain untuk menguji goodness-fit dari model regresi. Nilai koefisien

determinasi adalah antara 0 dan 1. Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan

variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen sangat

terbatas.
Nilai yang mendekati 1 berarti variabel independen memberikan hampir

semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel independen.

Akan tetapi, penggunaan R2 sebagai parameter evaluasi model regresi

memiliki kelemahan, yakni bisa terhadap jumlah variabel independen yang

dimasukkan kedalam model karena setiap tambahan satu variabel independen

maka R2 pasti meningkat tidak peduli apakah variabel tersebut berpengaruh

secara signifikan terhadap variabel dependen. Oleh karena itu, dalam penelitian

ini yang digunakan untuk mengevaluasi model regresi terbaik adalah Adjusted

R2.Tidak seperti R2, adjusted R2 dapat naik atau turun apabila satu variabel

independen ditambahkan kedalam model.

3.4.4. Uji Simultan (Uji F)

Uji F digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel independen

secara simultan berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Derajat

kepercayaan adalah 0,05. Apabila nilai F hasil perhitungan lebih besar dari pada

nilai F menurut tabel maka hipotesis alternative, yang menyatakan bahwa semua

variabel independen berpengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Jika

menggunakan SPSS dapat dilihat dengan membandingka sig dan α apabila sig <

0,05 maka hi di terima.

3.4.5. Uji Parsial (Uji t)

Uji t digunakan untuk mengetahui apakah variable-variabel independen

secara parsial berpengaruh signifikan atau tidak terhadap variable

dependen.Dasar pengambilan keputusan untuk uji t parsial adalah berdasrkan

nilai t hitung dan t tabel.

1. jika t hitung > t table maka variable bebas berpengaruh signifikan

terhadap variabel terikat.


2. jika nilai sig > 0,005 maka variabel bebas tidak berpengaruh signifikan

terhadapa variabel terikat.

Selain itu pada SPPS nilai sig dapat dilihat pada tabel coeficients

3.5. Konsepsi dan Pengukuran

1. Kualitas bibit adalah jenis bibit yang digunakan oleh petani swadaya yang

menjadi cikal bakal tanaman kelapa sawit. kualitas bibit merupakan

variabel dummy. Untuk ukurannya sebagai berikut:

D1 =1 : Jika menggunakan bibit yang bersertifikat

D1 =0 : jika tidak menggunakan bibit tidak bersertifikat

2. Jumlah Pupuk adalah total asupan nutrisi yang di perlukan tanaman

kelapa sawit dalam meningkatkan produksi kelapa sawit dalam satuan

ukur kilogram (Kg/batang/tahun)

3. Pemeliharaan tanaman yang terdiri dari penyiangan yang merupakan

kegiatan membasmi gulma dari persaingan perebutan unsur hara pada

tanaman pembrantasan hama dilakukan secara manual/fisik, kimia,

maupun hayati, perlindungan tanaman dari hama dan penyakit pada

hakikatnya merupakan upaya untuk mengendalikan suatu kehidupan

organisme penganggu tanaman kelapa sawit. Dilakukan dengan

mengunakan (obat-obatan) dengan ukuran curahan hari kerja

(HOK/tahun)

4. Umur tanaman kelapa sawit usia tanaman kelapa sawit yang diusahakan

oleh pekebun kelapa sawit (tahun)

5. Jumlah brondolan adalah salah satu cara untuk melihat apakah tanaman

kelapa sawit siap untuk dipanen (butir/pohon)


6. Saluran pemasaran adalah lembaga yang dilalui oleh suatu produk

pertanian dari produsen hingga konsumen akhir, dan merupakan tujuan

pemasaran TBS variabel ini merupakan variabel dummy, dengan ukuran

sebagai berikut:

D2= Tujuan Pemasaran TBS (Loading Ramp)

D2 =1 jika tujuan pemasaran adalah loading ramp

D1 =0jika tujuan pemasaran adalah lainnya

D3= Tujuan Pemasaran TBS (Pedagang Pengumpul)

D3 =1 jika tujuan pemasaran adalah pedagang pengumpul

D3 =0 jika tujuan pemasaran adalah lainnya

7. Harga adalah harga penjualan TBS yang diperoleh petani atas produksi

kelapa sawit yang diusahakan dan dihasilkan (Rp/kg).


DAFTAR PUSTAKA

Agus Andoko dan Widodoro. 2013. Berkebun Kelapa Sawit Si Cair Emas. PT
Agromania Pustaka. Jakarta Selatan.

Alamsyah Zulkifli. 2018. Strategi Membangun Ekonomi Provinsi Jambi dari


Perspektif Sektoral Perkebunan. Universitas Jambi. Jambi.

Ariyanto Anto, Nizar Rini, Mutryarny Emy. 2017. Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Produksi Kelapa Sawit Rakyat Pola Swadaya di
Kabupaten Kampar. Universitas Lancang Kuning. Pekanbaru

Bambang. 2017. Statistik Perkebunan Indonesia 2016-2018. Sekretariat


Direktorat
Jendral Perkebunan. Jakarta.

Daniel dan Moehar. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. PT bumi Aksara.


Jakarta

Dinas Perkebunan Provinsi Jambi. 2013-2017. Statistik Perkebunan 2013-2017.


Dinas Perkebunan. Jambi.

Direktorat Jendral Perkebunan. 2017. Statistik Perkebunan Indonesia. Kementrian


Pertanian. Jakarta.

Eliyanti, dkk. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Fakulatas Pertanian.


Lembaga Penerbit Fakultas Pertanian. Jambi.

Eriyanto. 2007. Teknik Sampling Analisis Opini Publik. LKiS Yogyakarta.


Yogyakarta.

Kotler, P & Kotler, K. 2006. Manajemen Pemasaran. Edisi 13 Jilid 1.

Krisdiarto Wahyu Andreas, Sutiarso Lilik, Widodo Harto Kuncoro. 2016.


Optimasi Kualitas Tandan Buah Segar Kelapa Sawit dalam Proses Panen-
Angkut Menggunakan Model Dinamis. Institutut Pertanian Sniper,
Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Lubis Effendi Rustam dan Widanarko. 2011. Buku Pintar Kelapa Sawit.
PT.Agromania Pustaka. Jakarta Selatan.

Lumbangaol. 2010. Pedoman Pembuatan Dosis Pupuk Kelapa Sawit. IPB (Institut
Pertanian Bogor). Bogor

Nawari. 2010. Analisis Regresi. PT Alex Media Kompitindo. Jakarta.


Pahan, Iyung. 2006. Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis dari
Hulu hingga Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta.

Parhusip Nainggolan Nella. 2018. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Rendemen


CPO (Crude Palm Oil) di PKS (Pabrik Kelapa Sawit) Adolina PTPN VI
Perbaungan.

Pardamean Maruli. 2017. Best Management Partice Kelapa Sawit. Lily Publisher.
Yogyakarta.

Pardamean, Maruli. 2017. Kumpas Tuntas Agribisnis Kelapa Sawit. Penebar


Swadaya, Perum. Jakarta Timur.

Peraturan Mentri Pertanian Republik Indonesia Nomor


01/Permentan/KB.120/1/2018 Tentang Pedoman Penetapan Pembelian
Tandan Buah Segar Kelapa Sawit Produksi Perkebunan. Jakarta.

Pinus Lingga dan Marsono. 2013. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Katalog dalam
Terbitan (KDT). Jakarta.

Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2007. Budidaya Kelapa Sawit. Pusat Penelitian
Kelapa Sawit. Medan.

PPKS. 2006. Pembibitan Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.

Rahim, Abd. dan Hastuti, DRW. 2008. Ekkonomi Pertanian. Penebar Swadaya,
Jakarta

Sastrosuyono dan Selardi. 2008. Budidaya Kelapa Sawit. PT Agromania. Jakarta


Selatan

Sarwoko. 2005. Dasar-Dasar Ekonometrika. Penerbit Andi. Yogyakarta

Sudiyono. A. 2002. Pemasaran Pertanian. Penerbit Universitas Muhammadiyah


Malang. Malang.

Sugiono. 2011. Memahami Penelitian Kuantitatif Kualitatif R & D. Penerbit


ALFABETA. Bandung.

Sunarko. 2010. Budidaya dan Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit dengan Sistem
Kemitraan. PT Agromania Pustaka. Jakarta Selatan.

Suyono. 2018. Analisis Regresi Untuk Penelitian. Cv Budi Utama. Yogyakarta.

Wahyono, dkk. 2014. Analisis Efesiensi Pemasaran Tandan Buah Segar Kelapa
Buah Sawit (Study Kasus di Kecamatan Tumron Tengah, Kabupaten Aceh
Selatan). Jurnal PPKS Vol 22 no.3 Desember 2014. PPKS. Medan
Fauzi Yan. 2008. Kelapa Sawit. Katalog dalam Terbitan (KDT). Makasar.

Yusrawati, dkk. 2013. Makalah Statistika Regresi Berganda dengan Variabel


Dummy. Universitas Hasanudin Makasar. Makasar (diakses 27 Januari
2019). Diunduh dari http://asfarsyafar.blogspot.com//2013/10/makalah-
statistika-regresiberganda.html?m=1

Zaenuddin, Muhammad. 2005. Isu Problematika dan Dinamika Perekonomian


dan Kebijakan Publik. Cv Budi Utama. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai