Anda di halaman 1dari 6

Review Jurnal “Membangun Strategi Advokasi Kebijakan Publik yang Progresif dan

Massive Untuk Memenuhi HAM Warga Negara” oleh Cekli Setya Pratiwi

Jurnal ini berfokus terhadap pemaparan tentang strategi yang dapat diterapakan pada advokasi.
Menurut jurnal ini, penting untuk memilih dan menentukan strategi advokasi agar advokasi yang
dilakukan oleh masyarakat dapat menimbulkan perubahan demi membenahi kelemahan atas
lahirnya kebijakan yang merugikan rakyat dan bukan malah menimbulkan masalah-masalah baru.
Masyarakat juga perlu untuk memilih strategi advokasi yang bersifat progresif dan massive.
Progresif artinya memilih cara advokasi yang dapat mendorong perubahan kebijakan secara cepat
dan massive yang berarti pilihan strategi tersebut hasilnya tidak hanya menguntungkan bagi
masyarakat dalam lingkup kecil namun implikasinya dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia
secara meluas.

Suatu kegiatan atau program advokasi yang baik adalah yang secara sengaja dan sistematis
memang dirancang untuk mendesakkan terjadinya perubahan dari system hukum kebijakan publik.
Sistem hukum tersebut terdiri dari isi hukum, tata laksana hukum, dan budaya hukum. Untuk
melakukan advokasi disetiap system hukum kebijakan publik, dibutuhkan srtrategi yang berbeda.
Dimulai dari strategi advokasi terkait isi kebijakan publik, jurnal ini memberikan tiga strategi
yang dirasa tepat untuk dilakukan, yaitu Judicial Review di Mahkamah Konstitusi, Judicial Review
di Mahkamah Agung, dan Citizen Law Suit.

Strategi advokasi terkait dengan tata laksana perangkat, dapat ditempuh dengan cara melakukan
pemberdayaan anggota DPRD atau DPRD dalam memahami dan menyadari hak asasi manusia
khususnya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Dengan begitu diharapkan melalui kewenangan
legislasi atau pembentukan UU, DPRD dapat membuat kebijakan yang substansinya dikategorikan
untuk melindungi kepentingan publik. Kemudian strategi yang terakhir yaitu terkait peningkatan
budaya hukum. Strategi yang dapat dilakukan adalah dengan memperbanyak kelompok paralegal
berbasis komunitas melalui pendampingan dan pelatihan penguasaan hukum formil dan materiil.
Istilah paralegal menurut website YLBH (sites.google.com) ditujukan kepada seseorang yang
bukan advokat namun memiliki pengetahuan dibidang hukum, baik hukum materiil maupun
hukum acara dengan pengawasan advokat atau organisasi bantuan hukum yang berperan
membantu masyarakat pencari keadilan. Pendidikan paralegal sangat penting bagi masyarakat
terutama pada kondisi masyarakat yang tidak menyadari akan hak-haknya untuk turut serta dalam
bidang hukum dan pemerintah yang tentunya akan semakin memperbesar peluang diabaikannya
hak-hak mereka oleh penguasan.

Review Jurnal “Framming Gerakan Forum Masyarakat Minangkabau dan Advokasi


Kebijakan Investasi Di Kota Padang : Kasus PT.LIPPO TBK” oleh Wira Hospita dkk.

Jika jurnal yang sebelumnya membahas strategi yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam
advokasi, jurnal ini berfokus terhadap pengkajian dari Gerakan sosial yang berhasil melakukan
perubahan kebijakan melalui advokasi. Gerakan sosial yang dimaksud dalam hal ini adalah Forum
Masyarakat Minang (FMM). Forum Masyarakat Minang (FMM) dibentuk oleh tokoh-tokoh
masyarakat dari kalangan akademisi, kalangan kaum adat, kalangan tokoh agamawan dan
mahasiswa di Sumatera Barat. Timbulnya Gerakan advokasi oleh FMM disebabkan oleh
Kebijakan Pemerintah Kota Padang dalam pemberian izin investasi privat untuk Lippo Group.
Dimana dengan izin tersebut perusahaan Lippo Group dapat dengan mudah menanamkan
investasinya di Kota Padang dengan membangun Lippo Plaza yang di dalamnya terdapat hotel,
rumah sakit, fasilitas pendidikan terdiri dari TK hingga SMA yang mampu menampung 1.680
siswa.

Kebijakan Pemerintah Kota Padang dalam pemberian izin investasi privat untuk Lippo Group,
dinilai tidak pro-rakyat, sehingga menuai aksi kontra dari masyarakat. Alasan penolakan adalah
karena masyarakat khawatir pembangunan yang dilakukan oleh Lippo Group di sumatera
membawa misi kristenisasi mengingat pemimpin dari Lippo Group yang mempunyai misi untuk
mengembangkan Kristen ke seluruh penjuru dunia, dan sumatera barat yang menjadi salah satu
targetnya. Hal ini ditakutkan akan mempengaruhi dan merusak nilai budaya adat dan agama
Minangkabau yang mayoritas beragama Islam dan menjunjung tinggi nilai adat Adat Basadi
Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Keberhasilan Forum Masyarakat Minang dalam
melakukan advokasi terhadap kebijakan pemerintah menjadi poin utama yang membuat penulis
jurnal ini tertarik untuk melakukan pengakajan terhadap Forum Masyarakat Minang ini.
Menurut Sri Soemantri dalam bukunya, untuk menganalisis tumbuhnya kembangnya Gerakan
sosial dalam hal ini adalah FMM, merujuk pada tiga faktor penting yaitu kesempatan politik
(political opportunities), struktur mobilisasi (mobilization structures), dan pross pembingkaian
(framing processes). MCAdam dalam Situmorang (2013) menjelaskan bahwa teori kesempatan
politik dapat digunakan sebagai variable utama untuk menentukan hasil dari sebuah aktifitas
gerakan. Dari pada itu Teori Mobilisasi Sumber daya berasumsi bahwa munculnya ketidakpuasan
dalam suatu masyarakat dapat memungkinkan untuk memunculkan sebuah gerakan sosial.
Menurut Oberschall dalam loocher (2002) istilah mobilisasi mengacu kepada proses pembentukan
kerumunan, kelompok, asosiasi, dan organisasi untuk mencapai suatu tujuan kolektif. Sedangkan
Teori yang terakhir digunakan yaitu teori Frammingg dimana Gerakan sosial mencoba untuk
memahami bagaimana cara actor Gerakan sosial memuat dan menggunakan makna atau
bagaimana kejadian-kejadian dan ide-ide di bingkai.

Temuan yang didapat dari jurnal ini, dilihat dari kesempatan politik, Gerakan sosial masyarakat
muncul karena akses terhadap Lembaga politik mengalami keterbukaan. Terdapat dua faktor yang
mempengaruhi yaitu faktor dukungan lingkungan dan faktor dukungan actor terlibat. Faktor
lingkungan dapat dilihat dari struktur masyarakat yang mendukung untuk melakukan perlawanan.
Selanjutnya dukungan dari aktor Gerakan menjadi alat untuk melakukan perubahan, peran dari
tokoh agama dan tokoh adat menjadi legitimasi FMM untuk melakukan pergerakan advokasi
terhadap kebijakan pemerintah.

Selanjutnya, dilihat dari perspektif mobilisasi dan framing, adanya Gerakan sosial FMM ini
berangkat dari kesepakatan atas terancamnya nilai-nilai budaya dan agama dalam masyarakat
tersebut, beberapa tokoh yang diidentifikasikan sebagai perwakilan masyarakat bersepakat untuk
menggerakan sebuah perlawanan dengan membingkainya menjadi isu strategis dalam menjaring
massa dan aliansi pendukung ke beberapa organisasi kemasyarakatan di Sumatera Barat, yang
muaranya secara bersama-sama berkonsolidasi membuat sebuah organisasi sebagai wadah dan
motor pergerakan.

Masalah-masalah ketidakadilan yang dibingkai oleh aktor-aktor gerakan untuk mendorong


partisipasi masyarakat dan menciptakan adanya perubahan. Dengan dasar solidaritas terhadap
lingkungan dan rasa senasib yang sama, akhirnya masyarakat bisa dimobilisasi untuk bergerak
melawan kebijakan pemerintah yang dengan melakukan aksi demonstrasi serta memblokade jalan.
Secara garis besar, proses framing dibentuk untuk menciptakan opini di masyarakat mengenai
kegagalan institusi. Adat Basandi sarak, Sarak Basandi Kitabullah dijadikan frae oleh Gerakan
sosial FMM sebagai isu utama untuk memobilisasi masyarakat agar mendukung aksi advokasi
tersebut.

Review Jurnal “Vertically Integrated Policy Monitoring: A Tool for Civil Society Policy
Advocacy” Oleh Jonathan Fox

Sama hal nya dengan jurnal sebelumnya yang berjudul “Membangun Strategi Advokasi Kebijakan
Publik yang Progresif dan Massive Untuk Memenuhi HAM Warga Negara” oleh Cekli Setya
Pratiwi jurnal ini juga turut membahas tentang strategi dalam advokasi. Namun strategi advokasi
yang diterapkan pada jurnal ini berbeda dengan jurnal sebelumnya . Dalam jurnal ini penulis
mengutarakan dua strategi penting dalam advokasi. Strategi pertama yaitu, penulis menekankan
pada pentingnya strategi integrasi vertikal untuk mempengaruhi kebijakan publik. Integrasi
vertikal merujuk pada pemantauan advokasi kebijakan antar beragam tingkatan mulai dari tingkat
masyarakat sipil, lokal ke nasional, nasional kemudian ke internasional. Menurut jurnal ini ,
integrasi vertical advokasi memiliki keunggulan utama. Strategi ini membantu mengatasi masalah
yang bisa disebut "memeras balon" yaitu ketika pembuat kebijakan mencoba mengalihkan
tanggung jawab atas keputusan sosial kepada orang lain. Artinya, mudah bagi pembuat kebijakan
untuk mendapatkan kritik dan kemudian melempar kesalahan kepada pihak lain. Dalam konteks
kekuasaan yang dibagi antara pemerintah lokal, negara bagian, dan federal, serta aktor
internasional, organisasi masyarakat sipil menghadapi masalah balon yaitu Ketika balon ditekan
maka akan muncul balon lain. Yaitu,. Ketika seseorang mengkritik sebuah agen pemerintah negara
bagian, sangat mudah bagi agen tersebut untuk lolos dengan menyalahkan pemerintah federal di
atas atau pemerintah kota di bawah. Hal ini diperparah dengan kurangnya transparansi di semua
tingkat pengambilan keputusan publik dan implementasi kebijakan. Sehingga melalui startegi
Integritas Vertikal masyarakat mengetahui analisis dari setiap tingkatan pengambilan keputusan
sehingga tidak dapat dikecoh dengan mudah oleh pihak pengambilan keputusan ketika
melemparkan kesalahannya kepada pihak lain. Pada intinya, Integrasi vertikal dari analisis
kebijakan mengartikulasikan proses pemantauan, evaluasi, dan analisis semua tingkat
pengambilan keputusan resmi pada saat yang sama, memungkinkan aktor advokasi masyarakat
sipil untuk mengembangkan strategi secara real time.

Strategi kedua yang dipaparkan pada jurnal ini adalah evaluasi independen. Alasan munculnya
strategi ini adalah bahwa kurangnya informasi yang dapat diandalkan. Strategi ini ada disebabkan
sebagian besar informasi yang diterima pembuat kebijakan tentang kinerja kelembagaan yang
sebenarnya terbatas pada fokus input dari pada hasil, berasal dari pihak-pihak yang
berkepentingan, atau tidak didasarkan pada studi sistematis berbasis lapangan. Kesenjangan
informasi tentang kinerja sektor publik ini diketahui oleh segelintir pembuat kebijakan di tingkat
atas, tetapi tidak banyak dikenal di masyarakat sipil (sebagian berkat upaya pembuat kebijakan
yang biasanya berhasil untuk menciptakan kesan bahwa mereka memiliki banyak informasi
daripada kita semua). Namun, jika kelompok-kelompok advokasi menunjukkan kepada para
pembuat kebijakan bahwa mereka menyadari kesenjangan informasi ini, maka mereka dapat
secara efektif mengisi celah ini dan memanfaatkan kredibilitas kebijakan yang mungkin
dihasilkan. Sebagai contoh, gerakan akar rumput (Gerakan akar rumput adalah gerakan yang
memakai masyarakat di sebuah distrik, kawasan atau komunitas tertentu sebagai dasar untuk
gerakan politik atau ekonomi. Gerakan dan organisasi akar rumput memakai tindakan kolektif dari
tingkat lokal ke perubahan dampak pada tingkat lokal, regional, nasional atau internasional.
Gerakan akar rumput diasosiasikan dengan pembuatan keputusan dari bawah ke atas, alih-alih atas
ke bawah, dan teradang dianggap lebih alamiah atau spontan ketimbang struktur kekuatan yang
lebih tradisional) cenderung memiliki informasi yang luas tentang kekuatan dan kelemahan yang
tepat dari pemberian layanan sektor publik tetapi mungkin kekurangan kapasitas untuk
mengumpulkan data dengan cara sistematis untuk menghasilkan kredibilitas yang diperlukan.

Untuk mengumpulkan data , kelompok-kelompok akar rumput dapat mengambil manfaat dari
kemitraan dengan para peneliti, baik dari LSM, lembaga pemikir, atau universitas. Tiga perangkat
mitra potensial lainnya : (a) pejabat publik yang simpatik dapat memberikan wawasan kunci
karena mereka mungkin telah mengidentifikasi masalah kinerja utama tetapi tidak memiliki
pengaruh untuk memecahkan masalah, (b) jurnalis yang tertarik adalah sekutu kunci karena
penyebaran ke publik dari informasi pemantauan kebijakan adalah kunci untuk meningkatkan
pengaruh masyarakat sipil dan untuk menghasilkan dampak akuntabilitas, dan (c) yayasan swasta
juga merupakan sekutu yang diperlukan karena pendanaan independen merupakan persyaratan
utama untuk evaluasi independen. Pada intinya, Strategi ini menginginkan bahwa adanya kerja
sama antara kelompok advokasi dengan kelompok indpenden (seperti LSM, Akademisi,dll) untuk
bertukar informasi akibat kekurangan ataupun kesenjangan informasi yang didapat oleh kelompok
advokasi.

References

Fox, J. (2015). Vertically Integrated Policy Monitoring: ATool for Civil Society Policy
Advocacy.
Pratiwi, C. S. (n.d.). Membangun Strategi Advokasi Kebijakan Publik Yang Progresif dan
Massive Untuk Memenuhi HAM Warga Negara. Direktur Pusat Studi Hak Asasi
Manusia (satuHAM) .
Wira Hospita, A. Z. (2018). FRAMING GERAKAN FORUM MASYARAKAT
MINANGKABAU DAN ADVOKASI KEBIJAKAN INVESTASI DI KOTA PADANG:
KASUS PT. LIPPO TBK. Jurnal KELOLA: Jurnal Ilmu Sosial.

Anda mungkin juga menyukai