PERUNDANGAN UNDANGAN
MAKALAH
Disusun Oleh :
FAKULTAS SYARIAH
2022
DAFTAR ISI
C. Tujuan ................................................................................................................. 4
A. Simpulan .......................................................................................................... 12
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
sebenarnya dari konsep partisipasi oleh pihak perencana dan pelaksana
dalam pembentukan perundang undangan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1
Djoko Prakosa. Proses Pembentukan Daerah dan Beberapa Usaha Penyempurnaannya.
Ghalia Indonesia, Jakarta. 1885.hal 65
2
Satjipto Raharjo. 1998. “mencari model ideal penyusunan UU yang demokrasi (kajian
sosiologis)”. Makalah disampaikan dalam seminar nasional mencari model ideal penyusunan UU
yang demokratis dan kongres asosiasi sosiologi hukum Indonesia, semarang 15-16 april 1998
4
BAB II
PEMBAHASAN
3
Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, Anak Agung Sri Utari, Partisipasi Masyarakat dalam pembentukan
peraturan daerah, Kertha Partika, Vol. 33, No. 1, Januari 2008, Hal. 2 https://ojs.unud.ac.id
(diakses pada tanggal 11 November 2022 pukul 13:25)
4
Darmini Roza, Gokma Toni Parlindungan, Partisipasi Masyarakat Dalam pembentukan
Perundang-undangan Untuk mewujudkan Indonesia Sejahtera Dalam Pandangan Teori
Kesejahteraan, Jurnal Cendekia Hukum, Vol. 5, No. 1, September 2019, Hal. 137-138 http://e-
jurnal.stih-pm.ac.id/ (diakses pada tanggal 11 November 2022 pukul 16:58)
5
4. Menegakkan kedaulatan rakyat.
5
Sirajuddin, Fatkhurohman dan Zulkarnain, Legislative Drafting: Pelembagaan Metode
Partisipatif, Malang: In-Trans Publishing, 2006
6
2. Tingkat kedua disebut dengan partisipasi semu (degree of
takenism), yaitu tingkat peredaman, konsultasi, dan informasi.
Dalam tingkatan kedua ini masyarakat didengarkan dan
diperkenankan berpendapat, tetapi tidak memiliki kemampuan
dan tidak ada jaminan bahwa pandangan mereka akan
dipertimbangkan secara sungguh-sungguh oleh penentu
kebijakan,
3. Tingkat ketiga adalah kekuasaan masyarakat (degree of citizen
power), yaitu tingkat kemitraan, delegasi kekuasaan dan kendali
masyarakat. Dalam tingkat ini masyarakat memiliki pengaruh
dalam proses penentuan kebijakan.
6
Joko riskiyono, Partisipasi masyarakat dalam pembentukan perundang undangan untuk
mewujudkan kesejahteraan, Aspirasi, Vol. 6, No. 2, Desember 2015, Hal. 165
https://jurnal.dpr.go.id/ (diakses pada tanggal 12 November 2022 pukul 18. 58)
7
Partisipasi yang dilakukan masyarakat sebagai stakeholeders (pemangku
kepentingan), dapat dilakukan dengan memberikan masukan secara lisan
dan tertulis dalam rangka perencanaan, penyusunan dan pembahasan
rancangan peraturan perundang undangan sesuai dengan aturan. Partispasi
masyarakat dalam pembahasan rancangan undang-undang juga merupakan
wujud penyelenggaraan pemerintahan yang baik sesuai dengan prinsip-
prinsip good governance (pemerintahan yang baik), diantaranya:
keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, dan transparansi7.
7
Santosa, Mas Achamad, Good Government dan Hukum Lingkungan, Jakarta: ICEL, 2001.
8
Joko riskiyono, Partisipasi masyarakat dalam pembentukan perundang undangan untuk
mewujudkan kesejahteraan, Aspirasi, Vol. 6, No. 2, Desember 2015, Hal. 168
https://jurnal.dpr.go.id/ (diakses pada tanggal 12 November 2022 pukul 18. 58)
8
peraturan perundang-undangan dengan stakeholder (pemegang
kepentingan). Dilihat dari tiga tahap pembentukan peraturan perundang-
undangan yang dilihat secara maksimal dapat dilakukan partisipasi
masyarakat, yaitu, Perencanaan, Penyusunan, dan Pembahasan, yang mana
komunikasi antara pembentuk peraturan perundang-undangan dan
pemegang kepentingan dapat dikonsepkan sebagai berikut9.
1. Tahap Perencanaan.
Pada tahap ini, produk hukum direncanakan untuk dibentuk
dalam beberapa waktu kedepan dengan memasukannya dalam
dokumen yang disebut Program Legislasi Nasional apabila itu
undang-undang. Program Pembentukan Peraturan Daerah
(Propemperda) apabila itu Peraturan Daerah baik pada tingkat
Provinsi ataupun Kabupaten/Kota. Partisipasi masyarakat dalam
tahap ini dilakukan baik dalam penyusunan
prolegnas/propemperda di tingkat Pemerintah/Pemerintah
Daerah, penyusunan Prolegnas/Propemperda di tingkat
DPR/DPRD dan Penyusunan bersama, yang mana harus
dilakukan dengan transparan dan memberikan informasi yang
massif kepada masyarakat. Informasi yang massif adalah
informasi yang disebarkan dengan melihat kondisi/kemampuan
masyarakat secara umum untuk memperoleh informasi.
Masyarakat yang memberikan masukan baik berupa tertulis
dan/atau lisan ditampung dan dibahas secara internal, yang mana
nantinya disampaikan kepada masyarakat (individu, kelompok)
yang memberikan masukan bahwa gagasannya diterima atau
ditolak beserta alasan-alasannya. Pada tahap Penetapan
Prolegnas/Propemperda dilakukan secara tranparan dan
disebarluaskan kepada masyarakat menggunakan berbagai
saluran informasi secara massif.
9
Salahudin tanjong seta, Hak masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang undangan,
Jurnal legislasi Indonesia, Vol. 17, No. 2, Juni 2020, Hal. 164-165
9
2. Tahap Penyusunan.
Pada tahap ini dibentuknya rancangan produk hukum
(Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah). Rancangan peraturan perundang-undangan wajib
disebarluaskan tanpa terkecuali secara massif. Hal ini agar
rancangan peraturan perundangundangan menjadi konsumsi
publik dan pembentuk peraturan perundang-undangan
mengetahui ketentuan mana yang menjadi prokontra ditengah
masyarakat.
3. Tahap Pembahasan.
Pada tahap ini, rancangan peraturan perundang-undangan mulai
dibahas. Partisipasi masyarakat pada tahap ini dilaksanakan
dengan memperhatikan pula masukan yang mungkin ada pada
tahap-tahap sebelumnya. Pada tahap ini masukan masyarakat
dilakukan paling sering dengan rapat dengan pendapat. Hanya
saja kelemahannya adalah terkadang pembentuk peraturan
perundang-undangan hanya memilih pemangku kepentingan
yang mendukung adanya rancangan peraturan perundang-
undangan yang dibentuk. Sehinggga pembahasan tidak
komprehensif, hasil kurang legitimate, karena pembentuk
peraturan perundang-undangan mengakomodir partisipasi
masyarakat hanya secara formalitas peraturan perundang-
undangan saja. Kedepannya pada tahap pembahasan, partisipasi
masyarakat dilakukan secara lebih substantif dengan melihat
secara menyeluruh pemangku kepentingan baik yang pro
ataupun kontra, dan menemukan titik temu substansi peraturan
perundang-undangan. Selain itu, masukan yang didapatkan
diolah serta diputuskan untuk diakomodir atau tidaknya harus
diberiktahukan kepada pemangku kepentingan terkait yang
memberikan masukan dengan memberikan pula alasan diterima
ataupun ditolak. Pada intinya hak masyarakat dalam
10
pembentukan peraturan perundangundangan yaitu partisipasi
masyarakat dilakukan secara komunikatif dua arah antara
pembentuk peraturan perundang-undangan dengan pemangku
kepentingan. Suatu yang penting untuk kedepannya pula bahwa
pemangku kepentingan dalam partisipasi masyarakat pada
pembentukan peraturan perundangundangan harus dilihat secara
menyuluruh oleh pembentuk peraturan perundangundangan dan
harus mempertimbangkan dari berbagai sisi, baik pemangku
kepentingan yang mendapatkan manfaat dari pembentukan suatu
peraturan perundang-undangan dan pemangku kepentingan atau
pihak yang nantinya secara potensial akan mendapatkan dampak
negatif paling besar dari dibentukan peraturan perundang-
undangan.
11
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
12
DAFTAR PUSTAKA
13