Anda di halaman 1dari 33

IMPLIKASI ZAKAT DALAM EKONOMI

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoalah untuk mereka,
sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka.
Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. ” (QS. At Taubah :
103)

“…Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang
melipatgandakan (pahalanya).” (QS. Ar Rum: 39)

Pilar Ekonomi Berdasarkan Syariat

Dalam sistem ekonomi Islam, dominasi kebijakan fiscal pemerintah disektor riil ekonomi
begitu jelas terlihat. Hal ini juga tergambar bagaimana instrumen fiscal Islam begitu
mendominasi pembahasan ekonomi para pakar ekonomi Islam klasik. Apalagi pilar
utama dan pertama Al Qur’an dalam perekonomian Islam menyebutkan mekanisme fiscal
zakat menjadi syarat dalam perekonomian ini.

Ada beberapa instrumen fiscal yang menjadi alat bagi negara untuk menjalankan
perekonomian menuju kesejahteraan spiritual dan material, baik yang disyaratkan secara
syariah maupun yang dilakukan sesuai wewenang negara. Instrumen fiscal yang menjadi
syarat secara syariah misalnya mekanisme zakat. Sedangkan instrumen-instrumen yang
menjadi wewenang negara dalam menentukan pemberlakuan, besar dan objek instrumen
fiscal, misalnya kharaj, jizyah, ushur dan lain sebagainya.

Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan masalah dasar ekonomi Islam
sebelumnya, ekonomi merupakan segala usaha yang memelihara berlangsungnya
perputaran atau mengalirnya harta (sumber daya ekonomi) diantara manusia. Sejalan
dengan itu, kebijakan dan pembahasan sistem fiscal Islam juga pada dasarnya merupakan
salah satu kebijakan yang menjaga mekanisme perputaran harta (sumber daya ekonomi)
tersebut.

Sektoral Ekonomi

Dalam menjawab masalah alokasi dan distribusi sumber daya ekonomi selama ini
(perspektif konvensional) dikenal ada dua institusi yang melayani mekanisme ini, yaitu
pasar dan pemerintah.1 Pasar merupakan institusi yang menjaga perputaran sumber daya
ekonomi melalui kekuatan permintaan dan penawaran, dimana motif keuntungan menjadi
ciri khas institusi ini. Sementara itu pemerintah menjadi institusi pelengkap yang akan
berperan ketika institusi pasar gagal melayani kebutuhan ekonomi masyarakat. Namun
1
F.R. Faridi, A Theory of Fiscal Policy in an Islamic State, Readings in Public Finance in Islam, IRTI –
IDB, 1995, pp. 135.
institusi pasar relative mendominasi menjawab masalah alokasi dan distribusi ekonomi
ini.

Dalam ekonomi Islam ada kekhasan dalam menjawab masalah alokasi dan distribusi
sumber daya ekonomi ini, yaitu eksistensinya sektor ketiga; voluntary sector. Sektor ini
menjadi pelengkap dan konsekwensi dari ketentuan syariah tentang Zakat, infaq,
shadaqah, waqaf dan lain-lain.

Kurva 5.1.
Social Indifference

Social & Public Sector Output

Production Posibility Frontier

Public +
Social
Sectors

Public
Sector

Social
Indifference
Curve

Private Sector Output

Menurut Faridi sektor ini bentunya hampir sama dengan sektor swasta, dimana
mekanisme yang ada akan tergantung pada pihak-pihak diluar pemerintah, seperti
akumulasi infaq, shadaqah, dan wakaf. Namun dilihat dari tujuannya, sektor ini tentu tak
dapat dibedakan dengan sektor publik yaitu untuk kemashlahatan masyarakat banyak.
Bahkan secara spesifik sektor ini akan memfasilitasi golongan masyarakat kelas bawah
untuk bisa secara aktif mengakses ekonomi. Karakteristik yang spesifik dari sektor ini
salah satunya adalah aktifitasnya sangat ditentukan oleh tingkat pemahaman moral
(akidah dan akhlak) dan syariat Islam. Atau dengan kata lain tinggi rendahnya atau besar
kecilnya sektor ini sangat ditentukan oleh tingkat keimanan masyarakat. Bahkan
keberadaannya merupakan konsekwensi pelaksanaan ketentuan-ketentuan syariah, yang
memang tak dimiliki oleh sistem ekonomi konvensional.
Alokasi dan distribusi sumber daya ekonomi memang secara normal terjadi pada pasar
yang sangat ditentukan oleh produktifitas, kinerja dan lingkungan. Namun perlu dipahami
bahwa ada suatu kondisi dimana satu golongan masyarakat secara alami tidak memiliki
akses kepada ekonomi karena beberapa keterbatasan untuk menunjukkan produktifitas,
kinerja atau mendapatkan dukungan lingkungan, seperti usia yang uzur atau terlalu belia,
atau karena faktor lainnya. Keterbatasan itu yang membuat mereka tidak dapat
mengakses ekonomi atau bahkan dipaksa keluar dari kemampuan mengakses tadi. Oleh
sebab itu peran pemerintah adalah menjaga tingkat aksesabilitas tetap ada dengan
menggunakan regulasi Zakat dan perangkat lainnya dalam sektor publik (hal ini akan
dielaborasi lebih jauh pada sub-bab selanjutnya). Dimana peran sektor ketiga atau sektor
sosial?

Sektor sosial kemudian berperan melengkapi dan menguatkan sasaran yang dilakukan
oleh pemerintah dengan kebijakan-kebijakannya, namun atas inisiatif masyarakat (mirip
dengan sektor swasta) dengan menggunakan instrumen shadaqah, infaq dan wakaf serta
instrumen sejenis lainnya. Walaupun beberapa pandangan mengatakan bahwa
pengelolaannya tetap terpusat yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi melihat faktor
inisiatornya mekanisme ini layak dikelompokkan menjadi sektor yang berbeda dari dua
sektor yang telah ada. Dapat dikatakan pula bahwa sektor sosial ini sebagai variabel
investasi sosial dalam perekonomian makro, dimana semakin besar investasi sosial maka
akan semakin kecil biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat luas. Biaya sosial
yang dimaksud adalah seperti biaya sekolah, biaya kesehatan dan biaya-biaya lainnya
yang berkaitan dengan pelayanan sosial. Kecilnya biaya sosial dikarenakan semua
fasilitas pelayanan publik tadi diwujudkan menggunakan investasi sosial, seperti rumah
sakit atau sekolah yang didirikan menggunakan dana wakaf, begitu juga fasilitas lainnya
seperti masjid, jembatan, jalan raya, pasar dan lain sebagainya. Sehingga secara
akumulatif perkembangan ketiga sektor ekonomi; swasta, publik dan sosial, akan
meningkatkan kepuasan ekonomi masyarakat. Lihat kurva social indifference.

Urgensi Zakat

Secara bahasa (literal) arabic kata zakat bermakna “berkembang”2 dan dalam bahasa
Aramaic zakut bermakna pensucian (purity)3, makna kata ini menggambarkan fungsi
zakat itu sendiri. Dengan demikian zakat yang diambil dari harta orang-orang yang
mampu (muzakki) akan mengembangkan dan mensucikan harta itu sendiri4. Mekanisme
ekonomi yang akan menjelaskan proses pengembangan itu ketika zakat secara tepat
diterapkan dalam perekonomian. Dan salah satu tujuan bab ini adalah ingin menjelaskan
seperti apa transmisi zakat mempengaruhi kinerja ekonomi.

Seperti ketentuan atau instrumen lain yang Allah SWT telah tetapkan pada semua aspek
kehidupan manusia, bahwa ketentuan tersebut memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi

2
Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani
3
Timur Kuran, “Islamic Redistribution Through Zakat: Historical Record and Modern Realities”,
http://www-rcf.use.edu/-kuran/ZAKAT-2002.pdf.
4
Al Qur’an, At Taubah, Ayat 103.
yang memberikan manfaat bagi individu (nafs) dan bagi kolektif (jama’i). Dalam hal ini,
zakat dalam ekonomi memiliki dua fungsi utama yaitu sebagai alat ibadah yang
memberikan kemanfaatan individu (nafs) bagi orang yang membayar zakat dan
kemanfaatan kolektif (jama’i) bagi orang-orang dilingkungan yang menjalankan sistem
zakat ini. Seperti yang telah diungkapkan Allah SWT dalam ayat di atas bahwa zakat
akan membersihkan dan mensucikan mereka yang membayar zakat. Dalam penjelasan
yang ada mengenai ayat ini, membersihkan bermakna zakat itu akan membersihkan hati
manusia dari sifat kekikiran dan cinta yang berlebihan. Hal ini akibat kecintaan manusia
pada harta yang amat sangat sesuai dengan peringatan Allah SWT dalam Al Qur’an
mengenai harta.

“Dan sesungguhnya kecintaan kepada kebaikan (harta) manusia itu


amat sangat”. (QS. Al Aadiyaat: 8)

Sementara itu zakat akan mensucikan berarti zakat akan menyuburkan sifat-sifat
kebaikan dalam hati manusia. Zakat akan terus mengingatkan orang yang memiliki
kecukupan harta bahwa ada hak orang lain dalam hartanya. Sifat kebaikan ini yang
kemudian mengantarkan zakat memainkan perannya sebagai instrumen yang memberikan
kemanfaatan kolektif (jama’i). Dengan kelembutan dan kebaikan hati manusia akan
memberikan hartanya pada manusia lain yang membutuhkan, dengan kata lain zakat
memaksa (dengan arti memaksa yang sebenarnya memaksa, mengikat, memberikan
sangsi jika tidak dilakukan) satu manusia berinteraksi dengan manusia lain. Interaksi
tersebut terjadi antara manusia yang memiliki kecukupan harta dengan manusia yang
kekurangan.

Selain itu dijelaskan dalam ayat Allah SWT sebelumnya5, zakatlah yang akan
melipatgandakan harta manusia. Implikasi melipatgandakan dari zakat haruslah dilihat
menggunakan perspektif kolektifitas (jama’i), karena dengan itulah fungsi zakat secara
kolektif dapat dengan jelas terasa. Proses pelipatgandaan sebenarnya akan dijelaskan
dengan lebih detil pada sub-bab selanjutnya. Namun untuk lebih dapat menggambarkan
fungsi kolektif zakat, dapat dijelaskan prosesinya bahwa zakat akan dapat meningkatkan
demand di pasar yang kemudian mendorong pertumbuhan ekonomi. Peningkatan demand
terjadi karena perekonomian mengakomodasi golongan manusia tak mampu sehingga
pelaku pasar di sisi demand dan supply meningkat seiring pertumbuhan populasi.
Distribusi zakat pada golongan manusia taka mampu akan menjadi pendapatan yang
kemudian membuat mereka memiliki daya beli atau dengan kata lain, zakat membuat
mereka memiliki akses pada perekonomian. Terlebih lagi jika kemudian Negara
menyediakan fasilitas bagi mereka untuk bias berusaha terlibat aktif sebagai pelaku pasar
di sisi supply.

Zakat merupakan sistem dan instrumen orisinil dari sistem ekonomi Islam. Yang bertugas
mendistribusikan kekayaan pada golongan masyarakat yang membutuhkan. Dengan
keyakinan bahwa pada tiap harta yang didapatkan oleh seseorang terdapat didalamnya
hak para fakir miskin dan orang-orang yang kekurangan (8 asnaf).

5
Al Qur’an, Ar Rum ayat 39.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf, yang
dibujuk hatinya untuk memerdekakan budak, orang-orang yang
berhutang, untuk (yang berjihad) dijalan Allah dan orang-orang yang
sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At
Taubah: 60)

Meskipun perintah zakat atau mekanisme zakat sudah turun bersama surat-surat Al
Qur’an di Makkah (Makiyah), namun pelaksanaan zakat secara efektif dan komprehensif
baru dilakukan setelah 18 bulan atau tahun kedua setelah Hijrah. Dengan kata lain zakat
baru diimplementasikan di Madinah. Pada masa tersebut sudah menjadi kelaziman para
mustahik umumnya memperoleh satu dirham perharinya untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Jumlah ini juga yang menjadi rujukan tingkat upah bagi tenaga kerja yang tidak
memiliki keterampilan atau keahlian (unskill labor).6

Eksistensi zakat dalam kehidupan manusia baik pribadi maupun kolektif, pada
hakikatnya memiliki dua alasan utama, yaitu alasan ibadah dan alasan ekonomi. Alasan
ibadah mengungkapkan bahwa eksistensi zakat merupakan salah satu variable atau
ukuran bagi kepatuhan seseorang pada Allah SWT. Artinya zakat merupakan bentuk
ibadah wajib bagi mereka yang berada pada posisi yang baik dilihat dari kepemilikan
harta. Sementara alasan ekonomi adalah alasan yang mengungkapkan bahwa zakat
merupakan variable utama dalam menjaga kestabilan social ekonomi. Dengan adanya
zakat ekonomi akan terus dijaga agar ada pada posisi aman untuk terus berlangsung,
sekaligus menjaga stabilitas social pergaulan diantara manusia, antara para pelaku pasar
atau antara si kaya dan si miskin.

Prilaku Zakat secara detil sebagai instrumen fiscal telah didiskusikan sedikit banyak pada
bab prilaku ekonomi Islam. Dan juga akan disinggung pada bab selanjutnya yang
menjelaskan peran negara dalam sistem ekonomi. Sehingga apa yang akan dibahas pada
bab ini, hanyalah ketentuan-ketentuan baku dan beberapa implikasi yang tidak terangkum
dalam pembahasan bab terdahulu.

Zakat dan Implikasinya dalam Perekonomian

Asumsi awal dari bahasan ini adalah bahwa zakat menjadi sistem yang wajib (obligatory
zakat sistem) bukan sistem yang sukarela (volutary zakat sistem). Konsekwensi dari
sistem ini adalah wujudnya institusi negara yang bernama baitul mal (treasury house).
Fungsi pertama dari negara Islam adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup
minimal (guarantee of a minimum level of living). Institusi negara yang bernama baitul
mal-lah yang memiliki tugas menjalankan fungsi negara tersebut. Dengan tepenuhinya
kebutuhan hidup minimal maka masyarakat Islam diharapkan akan menjalankan secara

6
Monzer Kahf, The Performance of the institution of Zakah in Theory and Practice, The International
Conference on Islamic Economics Towards the 21st Century, Kuala Lumpur - Malaysia, April, 1999.
leluasa segala kewajibannya sebagai hamba Allah SWT tanpa perlu ada hambatan-
hambatan yang mungkin memang diluar kemampuannya.

Mekanisme zakat memastikan aktivitas ekonomi dapat berjalan pada tingkat yang
minimal yaitu pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer, sedangkan infak-shadakah dan
intsrumen sejenis lainnya mendorong permintaan secara agregat, karena fungsinya yang
membantu ummat untuk mencapai taraf hidup diatas tingkat minimum. Karena oleh
negara infak-shadaqah dan instrumen sejenisnya inilah yang melalui bitul mal digunakan
untuk mengentaskan kemiskinan melalui program-program pembangunan. Jadi zakat dan
infak-shadaqah memiliki perannya masing-masing. Pada kondisi ummat yang baik
dimana tingkat keimanannya ada pada level yang baik, maka pendapatan negara yang
bersumber dari infak-shadaqah sepatutnya lebih besar dari penerimaan zakat.

Jika dikaji lebih jauh instrumen zakat dapat digunakan sebagai perisai terakhir bagi
perekonomian agar tidak terpuruk pada kondisi krisis dimana kemampuan konsumsi
mengalami stagnasi (underconsumption). Zakat memungkinkan perekonomian terus
berjalan pada tingkat yang minimum, akibat penjaminan konsumsi kebutuhan dasar oleh
negara melalui baitul mal menggunakan akumulasi dana zakat. Bahkan Metwally
7
mengungkapkan bahwa Zakat berpengaruh cukup positif pada ekonomi, karena
instrumen zakat akan mendorong investasi dan menekan penimbunan uang (harta).
Sehingga zakat memiliki andil dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara makro.

Pengaruh zakat terhadap perekonomian ini sebenarnya dapat dijelaskan menggunakan


pendekatan moneter (MV = PT) yang dimiliki aliran moneteris dalam ekonomi
konvensional8. Moneteris menyebutkan bahwa dengan asumsi velocity of money (V)9
tetap dan full employment (Y) terpenuhi, ekonomi akan terpengaruh melalui kebijakan
peningkatan money stock (M) melalui peningkatan harga (P). Monetaris dengan teori
kuantitas uang ini memang berpendapat bahwa kebijakan uang beredar tidak akan
mempengaruhi sector riil, karena dengan peningkatan uang beredar hanya akan
menaikkan harga tanpa ada efeknya pada volume produksi, jumlah tenaga kerja dan
variable riil lainnya.10 Terpisahnya sector moneter dan riil ini dikenal dengan istilah
classical dichotomy. Moneteris beranggapan bahwa peningkatan sector riil harus melalui
penambahan factor-faktor produksi atau tekhnologi.

7
Ziauddin Ahmed, Munawar Iqbal and Fahim Khan (Editors), Money and Banking In Islam, International
Center for Research In Islamic Economics, King Abdul Aziz University Jeddah and Institute of Policy
Studies Islamabad, Pakistan, 1996, pp. 17-18.
8
Lihat catatan kaki no. 11 Umer Chapra, Monetary Policy in An Islamic Economy, Money and Banking in
Islam (Edited by Ziauddin Ahmed, Munawar Iqbal, Fahim Khan), International Center for Research In
Islamic Economics, King Abdul Aziz University Jeddah and Institute of Policy Studies Islamabad,
Pakistan, 1996, pp. 34.
9
Konsep ini diperkenalkan oleh Alfred Marshal dari Cambridge University dan Irving Fisher dari Yale
University. Lihat Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Microeconomics (Terjemahan), Fourteen
Edition, McGraw-Hill, Erlangga Jakarta, 1992.
10
Peningkatan uang beredar (M) hanya akan mendorong kenaikan harga (P) di pasar secara proporsional,
maksudnya jika terjadi peningkatan uang beredar sebesar dua kali maka kenaikan harga pun terjadi dua kali
juga. Hubungan positif proporsional ini akan menunjukkan bahwa pada dasarnya permintaan uang secara
riil (real money demand, M/P) tidak berubah. Dengan kata lain kebijakan moneter pada uang beredar tak
memiliki efek pada kinerja sector riil.
Paul Samuelson (1992) dalam bukunya macroeconomics, menunjukkan bagaimana GNP
meningkat melebihi peningkatan M, sehingga dapat disimpulkan pertumbuhan ekonomi
tersebut berasal dari peningkatan V11. Dan zakat pada dasarnya dapat mempengaruhi
perekonomian tersebut melalui penjagaan tingkat velocity of money (tingkat percepatan
perpindahan uang). Apalagi velocity of money dapat terus didorong dengan keberadaan
sektor social dalam perekonomian Islam. Jadi asumsi golongan moneteris bahwa V tetap
boleh dikatakan tidak relevan dalam sistem ekonomi Islam, dimana mekanisme zakat
begitu signifikan perannya dalam ekonomi (dalam merubah tingkat velocity dalam
perekonomian.

Tabel 5.1.
Benda Wajib Zakat 2,5%

Benda Wajib Zakat Nishab Kondisi Prasyarat


Emas Zakat dikenakan jika barang Dibayar setelah mengendap
Perak mencapai batas minimum selama satu tahun hijriah.
Uang Tunai senialai 200 dirham atau 5 Namun tidak cukup jelas
Barang Dagangan uqiyya perak atau 20 dinar kondisi bagi barang
Barang Tambang (1 dinar sama dengan 4,25 tambang (minerals)
(Minerals) gram emas dan 1 dirham
sama dengan 2,975 gram
perak; sehingga nishabnya
86 gram emas atau 595
gram perak)
Sumber: Hasanuzzaman (1991)

Tabel 5.2.
Benda Wajib Zakat 5% dan 10%*

Benda Wajib Zakat Nishab Kondisi Prasyarat


Barang Pertanian (kurma, Zakat dikenakan jika barang Dibayar pada waktu panen
gandum, jagung, anggur dll) mencapai jumlah produksi 5
Minyak Zaitun wasqs (1 wasqs sama
dengan 60 sha’ sama
dengan 2,176 kilogram;
sehingga nishabnya 652,8
kilogram )
* 10% pada kasus pertanian yang tidak menggunakan irigasi atau biaya-biaya produksi
penambah lainnya. Sebaliknya jika menggunakan itu semua tingkat zakat hanya 5 %.

11
Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Microeconomics (Terjemahan), Fourteen Edition,
McGraw-Hill, Erlangga Jakarta, 1992.
Tabel 5.3.
Benda Wajib Zakat 20%

Benda Wajib Zakat Nishab Kondisi Prasyarat


Harta Temuan Tidak ada Dibayarkan ketika saat
Harta Terpendam (karun) mendapatkan barang tersebut

Tabel 5.4.
Zakat Ternak

Hewan Nishab Zakat


Kambing/Domba 40 1
Sapi/Kerbau 30 1 Dewasa Jantan
40 2 Dewasa Jantan
Unta 5 1 Kambing/Domba
25 1 Unta Betina Dewasa

Zakat & Prilaku Konsumsi

Dalam membahas prilaku konsumsi dari individu muslim, karakteristik zakat sudah
nampak terlihat, bahwa zakat merupakan instrumen ekonomi yang vital. Absensi
mekanisme zakat dalam perekonomian akan merusak keseimbangan ekonomi, bahkan
memiliki pengaruh yang besar pada ketidakseimbangan social.

Secara logika, zakat terkesan memiliki tingkat korelasi yang negatif terhadap angka
konsumsi. Hal ini terjadi akibat perhatian bahasan zakat terfokus pada mekanisme pada
golongan masyarakat muzakki, padahal boleh jadi golongan yang sangat dominan dalam
berurusan dengan zakat adalah golongan mustahik, dimana angka konsumsi mereka
sangat bergantung pada distribusi zakat. Dengan kata lain bahwa zakat memiliki korelasi
positif pada angka konsumsi.

Model konsumsi secara makro dalam Islam pada hakikatnya tidak berbeda dengan
konvensional, yaitu model konsumsi yang ditentukan oleh konsumsi pokok (autonomous)
dan konsumsi yang berasal dari pendapatan (income).

C = Co + b Y

Dimana C sama dengan total konsumsi, Co konsumsi pokok, b persentase dari income
yang dikonsumsi (marginal propensity to consume; MPC) dan Y pendapatan.

Jika dianalisa lebih spesifik pada sisi mustahik, maka secara jelas bahwa zakat akan
meningkatkan agregat konsumsi dasar, yaitu akumulasi Co. hal ini secara logis terjadi
akibat akomodasi sistem terhadap pelaku pasar yang tidak memiliki kemampuan beli atau
mereka yang tidak memiliki akses pada ekonomi.
Sementara itu jika dilihat dari sisi muzakki, terkesan bahwa pengenaan zakat akan
menekan jumlah konsumsi agregat, karena zakat menurunkan jumlah pendapatan yang
dapat dikonsumsi. Sehingga wajar jika ada yang berpendapat kalaupun kenaikan
konsumsi golongan mustahik akibat zakat dapat terjadi, namun kenaikan tersebut akan
dinetralisir oleh penurunan konsumsi golongan muzakki, sehingga agregat konsumsi
relatif tidak berubah.

Perlu diingat bahwa kelebihan harta golongan mustahik memang punya potensi untuk
diterjemahkan menjadi konsumsi jika tidak terkena zakat. Namun potensi untuk menjadi
konsumsi itu lebih besar jika kelebihan harta (berupa zakat) itu ada di tangan golongan
mustahik. Karena kelebihan harta ditangan golongan muzakki relatif untuk pembelian
barang-barang sekunder atau mewah, sementara jika harta tersebut ditangan golongan
mustahik, hampir pasti harta tersebut akan dibelanjakan untuk barang kebutuhan pokok.

Jadi jika dilihat dari potensi konsumsi yang akan terjadi, kelebihan harta berupa zakat
sangat efektif atau potensial sekali berada di tangan mustahik dari pada muzakki.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa zakat akan mempengaruhi konsumsi secara positif.
Selain itu diharapkan sebenarnya dalam jangka panjang zakat akan meningkatkan
ekonomi dan meningkatkan pendapatan perkapita, sehingga kekhawatiran efek negatif
zakat terhadap ekonomi sangat tidak beralasan.

Ada juga beberapa pakar yang berpendapat bahwa Zakat kemudian berpengaruh positif
pada MPC, namun hal ini dibantah karena ada asumsi bahwa perekonomian Islam
menganjurkan prilaku konsumsi yang berhemat dan tidak bermewah-mewah sehingga
MPC ada pada tingkat yang relatif rendah atau wajar. Mungkin selanjutnya ada yang
mempertanyakan, bagaimana mungkin zakat mampu meningkatkan demand, ketika
akhlak konsumsi menganjurkan untuk beronsumsi secara berhemat? Hal ini dijawab
bahwa motivasi konsumsi dalam Islam tidak hanya digerakkan oleh keinginan atau
kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, tapi juga dapat digerakkan oleh
motivasi berbuat amal shaleh (good deeds). Sehingga angka konsumsi tetap saja dapat
meningkat, apalagi Islam mensyaratkan Zakat bagi para pelaku ekonomi yang
berkecukupan. Dengan demikian sistem memaksa harta yang berlebihan (tertahan) pada
sebagian orang tersebut berputar di ekonomi melalui mekanisme zakat (lihat sub-bab
prilaku ekonomi Islam).

Jadi dapat dikatakan bahwa pembahasan zakat dan kaitannya dengan makroekonomi
tidak dapat dipisahkan dari fungsi utama zakat sebagai variable utama untuk peningkatan
sisi permintaan (demand side) dari sistem ekonomi. Ini juga yang menjadi karakteristik
lain dari perekonomian Islam, yaitu perhatian yang sama besar baik pada sisi permintaan
maupun sisi penawaran, berikut dengan kelengkapan instrumen-instrumen yang dapat
digunakan dalam memastikan keseimbangan diantara keduannya.

Peningkatan angka konsumsi ini selanjutnya secara keseluruhan (agregat) mendorong


peningkatan kinerja perekonomian yang otomatis mendukung pertumbuhan dan
pembangunan ekonomi. Dengan demikian betullah apa yang sudah ditegaskan Allah
SWT dalam firman-Nya:
“…Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan
untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang
melipatgandakan (pahalanya).” (QS. Ar Rum: 39)

Tabel 5.5.
Pengaruh Zakat Terhadap Konsumsi

Golongan Masyarakat Implikasi Terhadap Konsumsi


Mustahik A. Bagi golongan Fakir zakat merupakan pendapatannya
dalam memenuhi kebutuhannya (Y = Z = C).
B. Bagi golongan Miskin zakat merupakan tambahan pada
pendapatannya dalam memenuhi kebutuhannya (Y + Z
= C).
C. Bagi golongan Ibnussabil zakat menjadi pendapatan
utamanya dalam memenuhi kebutuhannya (Y = Z = C).
D. Bagi golongan Fisabilillah zakat menjadi pendapatan
keluarganya dalam memenuhi kebutuhan mereka (Y =
Z = C).
E. Bagi golongan Muallaf zakat menjadi pendapatan
utama yang dapat meneguhkannya (Y = Z = C).
F. Bagi golongan Amil zakat menjadi pendapatannya
dalam memenuhi kebutuhannya (Y = Z = C).
G. Bagi golongan Gharimin zakat menjadi pendapatan
untuk membayar hutang (Z = H).
H. Bagi golongan hamba sahaya zakat menjadi pendapatan
untuk harga tebusan dirinya (Z = P).
Dari asumsi diatas dapat disimpulkan bahwa zakat menjaga
tingkat konsumsi untuk terus menjaga jalannya
perekonomian.

Asumsi: zakat didistribusikan pada mustahik disesuaikan dengan kebutuhan mereka


Catatan: Y = Pendapatan, Z = Zakat, C = Konsumsi, H = Hutang, P = Harga Tebusan

Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya berkaitan dengan pengaruh zakat
terhadap kinerja ekonomi, bahwa zakat merupakan instrument public yang lebih
mempengaruhi sisi demand (demand side policy) ekonomi. Secara teori eksistensi zakat
akan meningkatkan kurva permintaan melalui agregat demand yang meningkat akibat
daya beli masyarakat mustahik yang didorong oleh distribusi zakat. Tentu saja hal ini
secara jangka pendek akan meningkatkan harga. Namun peningkatan harga itu otomatis
akan meningkatkan revenue produsen (Total Revenue = Price x Quantity). Dan jika
asumsi bahwa informasi peningkatan harga ini diketahui semua pelaku pasar (Symetrix
Information), maka tentu akan mengundang pelaku baru untuk masuk ke pasar. Dengan
kata lain respon tersebut akan meningkatkan penawaran, selanjutnya harga akan
terkoreksi. Meskipun harga telah turun bukan berarti kuantitas produksi keseimbangan
berkurang juga tapi tetap meningkat, inilah yang kemudian menunjukkan bahwa Zakat
mendorong pertumbuhan ekonomi, begitu seterusnya seiring pertumbuhan populasi.
Lebih lengkapnya lihat kurva di bawah ini.

Kurva 5.1.
Zakat dalam Perekonomian

P
So

1 2
S1
P2
P1/P3

D1
D0
0 Q1 Q2 Q3
Q

Dari penjelasan diatas dapat juga disimpulkan bahwa Zakat sebagai pendapatan bagi
golongan masyarakat mustahik memiliki efek yang lebih besar bagi perekonomian dari
pada “zakat” tersebut masih ada ditangan muzakki. Hal ini juga dapat dijelaskan
berdasarkan gambar di bawah ini. Gambar tersebut menjelaskan bagaimana penambahan
pendapatan bagi muzakki dan mustahik akan meningkatkan permintaannya, namun jika
dibandingkan peningkatan permintaan mustahik akan lebih besar dari pada permintaan
muzakki. Hal ini disebabkan oleh besarnya sensitifitas konsumsi (permintaan) mustahik
terhadap perubahan pendapatan mereka.
Kurva 5.2.
Perbandingan Permintaan Mustahik dan Muzakki

mustahik P muzakki

S1 S1
S2
S2

Pk
Pz

Pe

D2 D2
D1
D1

Q Q
∆Qk ∆Qz
∆Qk > ∆Qz

Untuk mengetahui pengaruh zakat dalam perekonomian secara makro, dapat secara detail
diketahui menggunakan perhitungan pendapatan ekonomi baik menggunakan pendekatan
pengeluaran, output maupun pendapatan ekonomi nasional seperti yang biasa
konvensional gunakan. Harus diakui bahwa perhitungan pertumbuhan ekonomi
menggunakan ketiga pendekatan tersebut juga relevan untuk ekonomi Islam. Secara
umum model ekonomi makro menggunakan pendekatan pengeluaran adalah sebagai
berikut:

Y = C + G + I + (X - M)

C = Co + bYd; Yd = Y – Tx + Tr; Tx = tY
I = Io - gi

Dimana:
Y = Pendapatan/Output
Yd = Disposible Income
C = Konsumsi
Co = Konsumsi Autonomous
b = Marginal Propensity to Consume
Tx = Pajak
t = Persentase Pajak
Tr = Transfer
I = Investasi
Io = Investasi Autonomous
g = Sensitifitas Investasi terhadap Bunga
i = Bunga
X = Ekspor
M = Impor

Dalam Islam prilaku konsumsi dapat dimodifikasi12 dengan mempertimbangkan


karakteristik konsumen/masyarakat berdasarkan kemampuan ekonomi yang juga
diklasifikasikan berdasarkan ketentuan syariah (sistem zakat)13. Dengan demikian
prilaku konsumsi berdasarkan prinsip – prinsip syariah dapat dituliskan menjadi sebagai
berikut:

C = Ci + Ck

Dimana:
Ci = Co + bYd (konsumsi muzakki)
Yd = Y – Z – Nw
Nw = tY
Z = zakat yang komponennya dapat berupa zY (zakat untuk income) atau zW
(zakat untuk kekayaan). Pada pembahasan ini zakat tetap dituliskan Z, karena
dengan begitu akan terlihat perannya secara makroekonomi.

Ck = Co = Z (konsumsi mustahik)

Dalam makroekonomi Ck lebih tepatnya digolongkan sebagai belanja pemerintah


(government spending – G), karena memang negaralah yang berfungsi menjaga agar
masyarakat tidak mampu (mustahik) selalu terpenuhi kebutuhan pokoknya. Hal ini
bermakna juga bahwa komponen utamanya adalah penyediaan kebutuhan pokok atau
konsumsi kebutuhan pokok bagi masyarakat mustahik.

Jika prilaku konsumsi berdasarkan prinsip dan nilai Islam dimasukkan dalam model
makroekonomi, maka diperoleh model sebagai berikut:

Y = Ci + Ck + I + G + (X – M)

Jika dielaborasi model di atas berdasarkan karakteristik konsumsinya, maka akan


didapatkan model sebagai berikut:

Y = Co + b(Y-Z-tY) + Co + I + G + (X – M)

12
Modifikasi dilakukan bukan atas semangat mengkopi dan mengikuti paradigma ekonomi konvensional,
namun berdasarkan semangat agar memudahkan memahami konsep atau karakteristik ekonomi Islam.
Dalam buku ini kesamaan instrument penjelasan fenomena ekonomi diyakini bukan kemudian
merefleksikan keterkaitan keduanya, namun disikapi sebagai sebuah irisan dari dua bangunan system yang
berbeda, baik irisan pada model atau alat penjelasan maupun pada teori-teori yang memang memiliki sifat
kebenaran yang mutlak.
13
Secara detil bahasan tentang prilaku konsumsi dalam perspektif Islam sudah dijelaskan pada Bab Prilaku
Ekonomi Islam sebelum Bab ini.
Y = 2Z + bY – bZ – btY + I + G + (X – M)
Y – bY + btY = 2Z – bZ + I + G + (X – M)
Y(1 – b + bt) = Z(2-b) + I + G + (X – M)

Y = Z(2-b) + I + G + (X – M)
(1 – b – bt)

Dengan asumsi bahwa 0<b<1, 0<t<1; (1-b-bt)>0; (2-b)>0, maka zakat (Z) memiliki
korelasi yang positif terhadap Y. Artinya, apabila Z meningkat maka Y atau
output/pendapatan nasional akan juga meningkat.

Zakat dan Prilaku Produksi

Seperti yang telah diungkapkan pada bab prilaku ekonomi, bahwa zakat akan memelihara
perekonomian, yang pada dasarnya akan berpengaruh baik pada konsumen maupun pada
produsen. Pada sisi produksi juga telah dijelaskan bahwa mekanisme zakat pada
hakikatnya menjaga transaksi di pasar agar barang hasil produksi terus dapat diserap oleh
pasar.

Dengan prediksi fakta seperti ini, maka para produsen yang nota bene sebagai muzakki
dalam mekanisme zakat, akan memastikan diri mereka selalu memberikan hak kaum
miskin berupa zakat. Dengan melakukan itu berarti para produsen sekaligus menjaga
pasar barang-barang hasil produksinya, dan kemudian secara jangka panjang akan
mampu mengembangkan usahanya pada tingkat yang lebih baik.

Lebih lanjut Monzer Kahf (1999)14, mengungkapkan bahwa zakat memiliki pengaruh
yang positif pada tingkat tabungan dan investasi. Peningkatan tingkat tabungan akibat
peningkatan pendapatan akan menyebabkan tingkat investasi juga meningkat. Karena ada
preseden bahwa zakat juga dikenakan pada tabungan yang mencapai batas minimal
terkena zakat (nisab). Dengan tujuan mempertahankan rasio tabungannya maka tentu
investasi menjadi salah satu jalan keluar bagi para muzakki, sehingga secara otomatis
meningkatkan angka investasi secara keseluruhan.

Disamping itu Kahf juga mengungkapkan bahwa zakat cenderung menurunkan resiko
kredit macet, karena salah satu alokasi dana zakat adalah menolong orang-orang yang
terjebak hutang. Sehingga secara riil zakat juga kemudian menekan tingkat
pengangguran. Dan menurut Kahf peningkatan jumlah tenaga kerja yang aktif di ekonomi
melalui dua mekanisme. Pertama, implementasi zakat itu sendiri membutuhkan tenaga
kerja dalam pengelolaannya. Kedua, perubahan golongan mustahik yang awalnya tidak
memiliki akses pada ekonomi menjadi golongan yang lebih baik secara ekonomi, tentu
saja meningkatkan angka partisipasi tenaga kerja.

14
Monzer Kahf, op.cit.
Zakat dan Prilaku Sosial

Zakat dengan institusi amil zakat menjaga hubungan yang baik antara si miskin dan si
kaya, tanpa perlu mengorbankan harga diri golongan miskin, disebabkan mekanisme
distribusi zakat yang melalui baitul mal. Kerelaan dan keikhlasan golongan kaya
(muzakki) dalam menyisihkan sebagian hartanya bagi saudaranya yang kurang mampu
(mustahik), memberikan suasana pergaulan social yang hangat dan terpelihara
ketenangannya, sehingga tidak akan tercipta suasana yang kurang harmonis diantara
keduanya. Begitu juga dengan efek negatif dari kesenjangan yang amat dalam antara
kaya dan miskin seperti meningkatnya kriminalitas, kemaksiatan dan segala tingkah laku
negatif, akan dengan signifikan tereduksi. Dengan kata lain zakat kemudian memiliki
korelasi yang positif dalam menekan baik gejolak social maupun gejolak politik.

Timur Kuran dalam sebuah artikelnya15 membahas peran dan fungsi zakat ini secara
kritis. Kuran berpendapat bahwa data sejarah menunjukkan bahwa zakat lebih berperan
sebagai alat politik dari pada alat ekonomi, sebab zakat lebih efektif menjaga kestabilan
politik dibandingkan alat peningkat produktivitas dalam sebuah bangunan ekonomi.
Namun oleh Monzer Kahf (1992)16 kecenderungan fungsi zakat tersebut dapat dibantah.
Kahf mengatakan bahwa melalui golongan masyarakat penerima (mustahik) dan
pembayar (muzakki), zakat memiliki peran dalam mendorong kinerja ekonomi. Menurut
Kahf, zakat yang diterima oleh mustahik akan meningkatkan konsumsinya yang tentu
kemudian meningkatkan agregat permintaan secara makro. Sementara itu pada pihak
muzakki, zakat akan meningkatkan rasio simpanan mereka, dengan asumsi bahwa tiap
individu akan mempertahankan tingkat kekayaannya. Jadi peningkatan rasio tabungan,
menurut Kahf merupakan kompensasi dari pembayaran zakat. Dan peningkatan rasio
tabungan ini memiliki hubungan yang erat dalam peningkatan investasi dari muzakki.
Peningkatan output akibat naiknya tingkat konsumsi mustahik membuat muzakki
melakukan (keputusan) investasi. Sehingga pada saat yang sama akan meningkatkan
pemintaan agregat.

Penanggungan kebutuhan hidup minimal tidak hanya diberikan pada masyarakat Islam
saja (meskipun sumbernya bukan dari zakat), masyarakat non-Islam pun dapat
memperoleh jaminan tersebut. Hal ini tergambar dari perjanjian pedamaian untuk
penduduk Hairah di Irak yang ditulis Khalid bin walid pada masa pemerintahan Abu
Bakar r.a. Dalam perjanjian tersebut jaminan kebutuhan hidup minimal diberikan oleh
Baitul Mal kepada setiap orang tua yang tak kuat bekerja, cacat atau fakir-miskin dan
dihapuskan kewajiban membayar jizyah sepanjang ia tinggal di negara Islam17.

15
Timur Kuran, “Islamic Redistribution Through Zakat: Historical Record and Modern Realities”,
http://www-rcf.use.edu/-kuran/ZAKAT-2002.pdf.
16
Monzer Kahf, op. cit.,pp. 101.
17
Yusuf Qardhawi, op. cit., p. 421.
Zakat dan Institusi Baitul Mal

Institusi Baitul Mal sebagai bendahara negara atau departemen keuangan negara
(treasury house of the state) tentu saja memasukkan zakat sebagai pos penerimaan dalam
anggarannya. Keberadaan baitul mal tentu saja merupakan representasi dari Amil sebagai
pengelola zakat. Dan dengan format sistem zakat yang wajib, maka mau tak mau kendali
pengelolaan zakat tentu saja sangat efektif ada di bawah negara. Ada beberapa alasan
mengapa institusi Baitul Mal sangat dibutuhkan dalam meknisme zakat ini.

1. Dilihat dari mekanisme zakat institusi Baitul Mal merupakan konsekwensi dari
eksistensi pengakuan pemungut atau pengelola zakat (Amil).
2. Faktor kebutuhan pertanggung jawaban dan profesionalitas dari pengelolaan serta
distribusi dana zakat.
3. Negara memerlukan institusi yang profesional dan sistematis dalam menjalankan
fungsi negara sebagai penjamin kesejahteraan warganya menggunakan instrumen
fiskal, terutama Zakat.
4. Menjaga harmonisasi hubungan golongan masyarakat kaya dan golongan
masyarakat miskin. Dalam hal ini penyaluran hak golongan miskin dari golongan
kaya tidak langsung, sehingga harga diri kedua golongan, terutama golongan
miskin, terjaga dengan baik.

Tentu saja baitul mal tidak hanya menampung zakat saja, tapi semua penerimaan negara
ditampung dan dikelola oleh baitul mal, seperti Kharaj, Jizyah, Khums, Ushur dan lain-
lain. Baitul Mal bukan hanya mengatur tata-laksana pemungutannya tapi juga mengatur
pendistribusiannya. Bahkan ada literatur ekonomi klasik yang menyebutkan pada masa
Ali bin Abi Thalib, Baitul Mal juga berfungsi mengeluarkan atau mencetak uang Dinar-
Dirham bagi kepentingan negara Islam ketika itu.18

Perkembangan Kontemporer: Mekanisme Zakat di Indonesia

Walaupun kini Indonesia telah memiliki Undang-Undang tentang zakat yaitu UU No. 38
tahun 1999, tapi tetap saja keberadaan undang-undang tersebut tidak wajib bagi para
muzakki. Bahkan terkesan undang-undang tersebut adalah sekedar undang-undang
pengaturan lembaga-lembaga amil zakat saja, bukan undang-undang zakat secara umum.

Dari perbandingan bahasan tentang zakat sebelumnya dengan kondisi penerapan yang
ada di Indonesia, ada beberapa kelemahan yang memerlukan perbaikan, di antaranya:
1. Sistem zakat yang masih sukarela (voluntary zakat sistem), terlihat jelas pada
pasal 12 ayat 1 UU No. 38 tahun 1999. Sehingga wajar ketika focus sanksi daru
UU ini ada pada badan amil zakat (bab VII Pasal 21). Sebaiknya sistem zakat
diusahakan untuk berada pada posisi wajib (obligatory zakat sistem), sehingga
zakat akan berfungsi dengan maksimal menjalankan perannya sebagai instrumen
ekonomi.

18
Hasanuzzaman, Op. cit.
2. Sistem pengawasan yang relatif lemah karena lebih menekankan peran internal
lembaga pengelola zakat (bab VI pasal 18).
3. Sistem zakat yang mekanismenya masih di bawah Departemen Agama. Seperti
yang telah disebutkan bahwa zakat merupakan instrumen ekonomi, maka
efektifitasnya akan lebih terasa ketika ia benar-benar menjadi alat kebijakan
ekonomi. Dengan demikian sebaiknya mekanisme zakat ini berada di bawah
otoritas ekonomi. Tapi kondisi poin kedua ini menuntut terpenuhinya kondisi
pada poin pertama terlebih dahulu.

Kelemahan-kelemahan perundang-undangan ini sebenarnya bersumber dari pemisahan


ruang lingkup agama dalam pemerintahan, sehingga secara hukum ketentuan zakat yang
memiliki landasan hukum yang khas berbenturan dengan landasan-landasan hukum
positif negara yang lain. Sehingga pada tingkat negarapun akan terlihat relatif susah
untuk meminta negara berfungsi utama seperti fungsi negara yang disyaratkan dalam
perekonomian Islam, yaitu menjamin kebutuhan minimal hidup rakyat melalui
mekanisme zakat. Maka tak heran saat ini lembaga amil zakat yang dikelola swasta
bukan hanya di Indonesia tapi juga di negeri Islam yang lain, tidak juga berorientasi atau
memprioritaskan pemenuhan kebutuhan minimal hidup rakyat yang menjadi kategori
mustahik.

Zakat yang terkumpul saat ini dari seluruh badan atau lembaga amil zakat jauh dibawah
potensinya. Mungkin hal ini yang membuat para amil zakat berijtihad untuk
mendistribusikan zakat kepada para mustahik dengan pola produktif, artinya para amil
zakat mencoba mengusahakan mustahik menjadi muzakki dengan program-program
usaha menggunakan dana zakat. Sebenarnya tidak ada yang salah dari keputusan ini,
melihat respon masyarakat terhadap zakat. Tapi jika kita lihat kondisi masyarakat
Indonesia saat ini, rasanya perlu bagi badan atau lembaga amil zakat tadi
mempertimbangkan kembali pola distribusi yang bersifat produktif tadi.

Data-data akhir tentang demografi Indonesia yang menunjukkan tingkat pengangguran,


kemiskinan serta kriminalitas yang demikian tinggi, memerlukan sebuah program yang
membantu pemerintah untuk menjaga pembangunan ekonomi tidak terhambat atau
bahkan di “grogoti” oleh variable-variabel tadi. Jadi kini perlu dipertimbangkan pola
distribusi zakat yang murni bersifat konsumtif oleh para badan atau lembaga amil zakat,
agar pemenuhan kebutuhan minimal bagi rakyat yang kekurangan dapat membatasi
mereka dari tindakan kriminal atau kemaksiatan. Bayangkan saja menurut harian
Malaysia tahun 2002, 68% dari wanita tuna susila yang beroperasi di Malaysia adalah
warga Indonesia. Atau data yang menunjukkkan berapa banyak berita yang kita dengar
orang tua yang menjual anaknya demi sesuap nasi, berapa anak-anak kecil yang harus
turun kejalan demi hidup tapi malah menjadi sasaran kejahatan, berapa kasus
pembunuhan yang terjadi hanya karena motif nafkah, hutang dan motif-motif kemiskinan
lainnya. Hal ini perlu disadari pemerintah, karena dengan mengabaikan fakta-fakta itu,
pembangunan tidak akan berjalan pada tingkat yang sepatutnya, sebab selalu direduksi
oleh biaya penanggulangan kriminalitas serta kerusakan infrastruktur dan fasilitas
pembangunan. Sementara itu pajak konvensional tidak dapat berfungsi seperti zakat
dalam hal pemerataan pendapatan dan menjaga kestabilan ekonomi dan politik.
Praktek zakat dalam perekonomian modern saat ini tentu harus menjawab berbagai
macam isu, seperti :
1. Sistem pengawasan yang menjaga maksimalisasi kemanfaatan zakat bagi
masyarakat yang membutuhkan (mustahik) dan perekonomian secara
keseluruhan. Dalam kasus Indonesia, pengelolaan zakat sebaiknya dikontrol
oleh pemerintah dengan semakin menjadikan BAZNAS sebagai pemeran utama.
Ada beberapa skenario yang bisa dilakukan sesuai dengan kondisi ;
i. Pemerintah menempatkan BAZNAS sebagai otoritas zakat yang berfungsi
mengawasi operasional lembaga-lembaga pengelola zakat swasta yang
telah ada.19 Hal ini tentu berarti juga BAZNAS berwenang mengeluarkan
regulasi bagi sektor Zakat (sekaligus Infaq, Shadaqah, Wakaf, Warisan).
Jadi dapat dikatakan bahwa BAZNAS menjadi otoritas Voluntary Sector.
ii. Pemerintah menasionalisasi lembaga-lembaga pengelola Zakat swasta
yang ada bergabung dalam satu institusi pemerintah (BAZNAS). Sehingga
secara organisasi lembaga-lembaga tersebut dibawah komando BAZNAS
atau merger dalam institusi BAZNAS. Namun kebijakan operasionalnya
dapat saja bersifat desentralisasi seperti yang memang dicontohkan oleh
para pendahulu seperti masa Khulafaur Rashidin atau pemimpin salaf
terdahulu.
2. Standard operasional institusi pengelola zakat, baik dari sisi pengkoleksian dana
zakat maupun pada sisi pendistribusiannya.
3. Kriteria kompetensi dan keahlian bagi pengelola (sumber daya manusia).
4. Kriteria Mustahik dan Muzakki yang menjadi objek Zakat.
5. Besar kewajiban pembayaran dan pendistribusian Zakat
6. Integralitas sistem zakat dalam sistem ekonomi nasional, dimana harmonisasi
kebijakan dan regulasi dengan institusi terkait.

Pada dasarnya aplikasi sistem zakat berkaitan erat dengan pemilihan paradigma yang
digunakan dalam membangun, menjalankan dan mengembangkan perekonomian. Ketika
sebuah negara mengambil paradigma pembangunan ekonomi berdasarkan prinsip-prinsip
moral dan syariah Islam, maka mekanisme zakat tentu menjadi pilihan yang
mendominasi kebijakan dan sistematika perekonomian. Zakat menjadi nafas dalam
perekonomian Islam. Ketika zakat diberlakukan tentu sistem ini menjadi inspirasi dan
rujukan bagi pengembangan sector ekonomi lanilla. Sehingga, ketika ingin zakat menjadi
nafas perekonomian negara, maka secara bertahap selain aplikasi teknis zakat mulai
dilakukan sebaiknya juga dimulai memasukkan paradigma perekonomian Islam dalam
membangun perekonomian secara keseluruhan. Secara bertahap pula aplikasi-aplikasi
atau pilar-pilar penting ekonomi Islam sebaiknya menjadi agenda nasional, seperti sistem
zakat nasional, praktek jasa keuangan syariah, menekan pasar-pasar yang aplikasinya
transaksi didalamnya bersifat spekulatif. Dengan begitu pada akhirnya perekonomian
secara Islam secara menyeluruh menjadi agenda nasional.

19
BAZNAS berfungsi layaknya Bank Indonesia (BI) yang berperan sebagai otoritas perbankan, dimana
salah satu fungsinya adalah mengawasi industri perbankan nasional.
Instrumen Fiskal Lainnya Dalam Islam

Disamping zakat perekonomian Islam memiliki beberapa variabel seumpama zakat yang
lebih bebas penggunaanya, seperti infaq, shadaqah, hibah, wakaf, kharaj, jizyah, ushr dan
ghanimah. Variabel-variabel ini juga merupakan pemasukan negara bagi program-
program pembangunannya.

Dari variabel tersebut kuantitasnya ada yang bersifat sukarela seperti infaq, shadaqah,
hibah dan wakaf. Yang bersifat wajib adalah zakat, kharaj, jizyah dan ushr. Sedangkan
ghanimah merupakan sebuah hasil yang bergantung pada kemenangan dari sebuah
peperangan yang dilakukan oleh negara.

1. Kharaj

Kharaj merupakan pajak khusus yang diberlakukan Negara atas tanah-tanah produktif
yang dimiliki rakyat. Bahkan pada kasus tertentu Negara memiliki hak untuk menyita
tanah yang berpotensi namun ditelantarkan oleh pemiliknya atas dasar alasan
kemashlahatan. Besarnya pajak jenis ini menjadi hak Negara dalam penentuannya. Dan
Negara sebaiknya menentukan besarnya pajak ini berdasarkan kondisi perekonomian
yang ada. Dengan karakteristiknya seperti ini, kharaj dapat menjadi instrumen fiscal yang
dapat diandalkan oleh negara untuk mendukung program-program pembangunan negara.

Hasanuzzaman mengungkapkan bahwa pajak tanah ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu
pajak Ushr dan pajak Kharaj. Pajak ushr dikenakan pada tanah di jazirah arab, baik yang
diperoleh secara turun temurun maupun dengan penakhlukan. Sedangkan pajak kharaj
dikenakan pada tanah diluar jazirah arab. Sementara Abu Yusuf berpendapat bahwa
setiap tanah yang pemiliknya masuk Islam adalah tanah ushr, dan diluar itu, seperti tanah
orang-orang asing yang telah didamaikan penduduknya dan menjadi tanggungan umat
Islam, maka tanah itu adalah kharaj.

Dilihat dari jenis kontribusi tanah pada negara, Abu Ubayd mengklasifikasikan tanah
menjadi tiga jenis. Pertama tanah yang pemiliknya masuk Islam, yaitu tanah ushr. Kedua
tanah yang dikuasai dengan perdamaian atau kesepakatan dengan pajak (kharaj) yang
telah ditentukan, yaitu tanah kharaj. Ketiga tanah yang diambil dengan paksa, yaitu yang
direbut oleh kaum muslimin.

Quthb Ibrahim Muhammad mengungkapkan bahwa penetapan tingkat kharaj (pajak


tanah) harus memperhatikan variable-variabel sebagai berikut:
1. Jenis Tanah: karena tanah yang bagus, maka tanaman akan subur dan hasilnya
lebih baik dari tanah yang buruk.
2. Jenis Tanaman: ada yang harganya tinggi dan ada yang harganya rendah,
sehingga jenis tanaman ini juga menentukan tingkat pengenaan kharaj.
3. Pengelolaan Tanah: jika biaya pengelolaan tanah tinggi, maka kharaj yang
dikenakan tidak sebesar kharaj yang dikenakan pada pengelolaan tanah yang
mengandalkan pengairan dari hujan (biaya rendah).
Quthb Ibrahim Muhammad juga memberikan contoh data sejarah bagaimana masa
kekhalifahan Umar bin Khattab memberikan standar kharaj di Irak ketika itu.

Tabel 5.6.
Kharaj di Irak Masa Umar bin Khattab

Standard Kharaj
Satu Gantang Gandum Basah 2 Dirham
Satu Gantang Jagung Basah 4 Dirham
Satu Gantang Anggur Basah 5 Dirham
Satu Gantang Kayu Krom Basah 10 Dirham

Sementara Hasanuzzaman berpendapat bahwa sejarah ekonomi Islam menunjukkan


bahwa tingkat kharaj yang umum adalah satu dinar dari setiap empat aroura (ukuran luas
tanah ketika itu). Hasanuzzaman juga menunjukkan bagaimana Islam melihat
kepemilikan tanah beserta hak pengelolaannya merupakan factor penting dalam ekonomi.
Menjadi kesepakatan ekonomi bahwa tanah merupakan factor produksi yang paling
produktif, sehingga kepemilikan dan pengelolaannya menjadi perhatian penting dalam
ekonomi. Dan Islam memberikan perhatian yang cukup pada kepemilikan dan
pengelolaan tanah ini.

Menurut Hasanuzzaman, meskipun Islam mengakui adanya hak kepemilikan pribadi atas
tanah namun ada beberapa kondisi yang kemudian membuat seseorang terputus hak
kepemilikan tanahnya. Hasanuzzaman memaparkan enam kondisi pengambil alihan atau
terputusnya hak kepemilikan tanah tersebut.

1. Pemberian hak kepemilikan dari negara yang bersifat temporer, artinya jika
sampai pada masa akhir kesepakatan atau terjadi kondisi tertentu, maka hak
kepemilikannya kembali pada negara. Hal ini terjadi ketika Umar bin Khattab r.a
menarik kembali hak kepemilikan tanah di Mesir ketika pemiliknya wafat.
2. Negara memberlakukan undang-undang baru (amandemen) dalam pembagian
tanah kepada rakyat.
3. Pemilik tidak memberdayakan tanah tersebut dalam beberapa waktu tertentu.
Dalam kasus ini Quthb Ibrahim Muhammad mengungkapkan pada masa khalifah
Umar bin Khattab ada ketentuan bahwa jika seseorang membuka lahan mati maka
lahan tersebut menjadi miliknya, namun jika pemilik tersebut menelantarkan
lahan itu selama tiga tahun, maka gugur hak kepemilikan atas tanah tersebut.
4. Pemilik tak sanggup membayar sejumlah uang yang menjadi kesepakatan antara
negara dengan pemilik tersebut, sebagai syarat dari keberlangsungan hak
kepemilikan. Ini terjadi pada kasus Hilal Bani Muta’an yang melakukan
perjanjian dengan Rasulullah.
5. Kepentingan negara yang begitu mendesak untuk mengambil alih hak
kepemilikan lahan tertentu. Ini terjadi pada kasus penduduk Najran dan Fadak
pada masa Umar bin Khattab.
6. Atas alasan kemashlahatan atau demi kepentingan publik, kepemilikan tanah
dapat saja diambil alih oleh negara. Seperti kasus perluasan masjid Nabawi di
Madinah.

Untuk masalah pertanahan ini, Quthb Ibrahim Muhammad mengungkapkan bahwa


negara juga dapat mengelola tanah yang diberikan hak penjagaan dan perlindungannya
oleh rakyat. Tanah petakan dibawah perlindungan negara ini di kenal dengan Al Hima.
Penggunaannya tentu saja untuk kepentingan negara atau publik, seperti program
pertahanan keamanan, pengentasan kemiskinan dan lain sebagainya.

Dalam konteks perekonomian modern, kharaj juga menjadi sebuah instrumen yang
penting dalam penerimaan modal pembangunan. Inovasi kebijakan fiskal menggunakan
kharaj sebagai rujukan merupakan sebuah keharusan dalam perekonomian modern saat
ini. Misalnya bagaimana menyikapi orang-orang yang tidak memiliki tanah produktif tapi
mempunyai pendapatan yang begitu besar, mungkin akan lebih mashlahat jika inovasi
kebijakan pajak menganalogikan penarikan pajak menggunakan pendekatan kharaj ini,
ketimbang menganalogikan pada zakat. Karena karakteristik pendistribusian kharaj lebih
bebas daripada pendistribusian zakat yang terikat pada golongan tertentu.20

Namun tentu saja haruslah disepakati interpretasi dalil-dalil syariat yang mengatur
tentang kharaj ini serta aplikasinya di perekonomian modern. Sehingga implementasi
instrumen ini bagi negara akan maksimal dan tepat sasaran.

2. Jizyah

Jizyah (poll tax) merupakan pajak yang hanya diperuntukkan bagi warga negara bukan
muslim yang mampu. Berdasarkan banyak literature klasik ekonomi Islam, pajak jenis ini
dikenakan pada warga negara non muslim laki-laki. Bagi yang tidak mampu seperti
mereka yang uzur, cacat dan mereka yang memiliki kendala dalam ekonomi akan
terbebas dari kewajiban ini. Bahkan untuk kasus tertentu Negara harus memenuhi
kebutuhan penduduk bukan muslim tersebut akibat ketidak mampuan mereka memenuhi
kebutuhan minimalnya, sepanjang penduduk tersebut rela dalam pemerintahan Islam. Hal
ini berkaitan erat dengan fungsi pertama dari Negara yang telah dijelaskan sebelumnya,
yaitu memenuhi kebutuhan minimal rakyatnya. Jadi pemenuhan kebutuhan tidak terbatas
hanya pada penduduk muslim saja.

Quthb Ibrahim Muhammad dan Hasanuzzaman serta beberapa pakar sejarah ekonomi
Islam klasik mengungkapkan bahwa jizyah ini rata-rata dikenakan pada setiap laki-laki
dewasa non-muslim sebesar 2 dinar. Golongan laki-laki dewasa ini pada hakikatnya
adalah golongan non-muslim Dzimmah, yang disebut dzimmi. Secara atimologis
dzimmah memiliki definisi perjanjian dan perlindungan, jadi kaum dzimmi adalah
mereka yang melakukan perjanjian untuk berlindung di bawah pemerintahan Islam. Ada
beberapa pendapat tentang jumlah jizyah yang harus dikenakan pada kaum dzimmi, dapat
dilihat pada dua table yang bersumber dari Quthb Ibrahim Muhammad dan
Hasanuzzaman. Alasan variasi tingkat Jizyah yang harus dibayar di Mesir tidak
20
Hasanuzzaman
diungkapkan secara jelas, padahal pengenaan tingkat Jizyah rata-rata adalah 2 dinar
perkepala.

Table 5.7.
Standard Jizyah Masa Umar bin Khattab

Standard Jizyah
Penghasilan Tinggi 48 Dirham
Penghasilan Menengah 24 Dirham
Penghasilan Rendah 12 Dirham
Sumber: Quthb Ibrahim Muhammad

Tabel 5.8.
Tingkat Jizyah di Mesir (103 Hijriah)

Jumlah Wajib Jizyah Jizyah dalam Dinar


95 230
5 7 1/6
7 17
15 38 ½
7 20 ½
5 13
12 25 1/6
14 108 2/3
Sumber: Hasanuzzaman (1991)

Menurut Hasanuzzaman, variasi pengenaan tingkat kharaj bagi warga negara


kemungkinan besar disebabkan oleh luas lahan yang dimiliki, namun relatif susah
menemukan alasan atas variasi tingkat jizyah yang dikenakan pada golongan dzimmi
(lihat table tingkat jizyah di Mesir).

Dalam konteks ekonomi kontemporer, mungkin tidak lagi pengenaan jizyah hanya
terbatas pada golongan laki-laki non-muslim, tapi juga pada non-muslim wanita yang
mampu. Apalagi masa sekarang ini, sudah menjadi kelaziman bahwa wanita juga dapat
bekerja dan memperoleh pendapatan yang cukum besar.

3. Ushur

Ushur merupakan pajak khusus yang dikenakan atas barang niaga yang masuk ke Negara
Islam (impor). Menurut Umar bin Khattab, ketentuan ini berlaku sepanjang ekspor
Negara Islam kepada Negara yang sama juga dikenakan pajak ini. Dan jika dikenakan
besarnya juga harus sama dengan tariff yang diberlakukan negara lain tersebut atas
barang Negara Islam. Jadi ada perbedaan di sini antara Ushur dan Ushr. Ushr sendiri
lebih tepat definisinya apa yang telah dijelaskan pada bahasan kharaj di atas. Menurut
Hasanuzzaman Ushur (bentuk jamak dari ushr) berasal dari ungkapan pajak sepuluh
persen dari nilai barang (ada yang mengungkapkan satu dirham per transaksi yang
terjadi) yang dikenakan atas pedagang pada masa sebelum Islam, dan petugas ushur ini
dekenal dengan sebutan ashir. Beberapa hadits menyebutkan Rasulullah melarang
praktek ashir ini. Meskipun pada masa Umar bin Khattab praktek ini dilakukan kembali,
namun asas dan bentuknya tidak sama dengan praktek ashir masa sebelum Islam. Masih
menurut Hasanuzzaman, Abu Ubayd mengungkapkan bahwa praktek ashir telah diganti
oleh Rasulullah dengan zakat, sehingga ushur pada hakikatnya dikenakan hanya pada
kaum pedagang kafir Harbi; kaum kafir yang menentang dan memerangi Islam dan
Dzimmi; kaum kafir yang tidak memusuhi dan memerangi Islam. Besarnya ushur yang
dikenakan adalah sepuluh persen bagi pedagang harbi, lima persen bagi pedagang
dzimmi dan dua setengah persen bagi pedagang muslim (zakat).

4. Infaq-Shadaqah-Wakaf

Infaq-Shadaqah-Wakaf merupakan pemberian sukarela dari rakyat demi kepentingan


ummat untuk mengharapkan ridha Allah SWT semata. Namun oleh Negara dapat
dimanfaatkan dapat digunakan Negara dalam melancarkan proyek-proyek pembangunan
Negara. Pada kondisi keimanan rakyat yang begitu baik maka dapat saja (besar
kemungkinannya) penerimaan negara yang berasal dari variabel sukarela ini akan lebih
besar dibandingkan dengan variabel wajib, sepanjang faktor-faktor produksi digunakan
pada tingkat yang maksimal. Khusus wakaf, dengan karakteristik kepemilikan publik
yang permanen atas benda wakaf, maka semakin besar wakaf akan semakin kecil biaya
sosial yang harus ditanggung oleh rakyat dalam ekonomi mereka. Sebab wakaf terikat
pada fungsi publik yang di syaratkan oleh syariat. Menurut Ahmed Faridi, penerimaan
dari pos sukarela ini memiliki korelasi yang positif dengan kondisi keimanan warga
negara, semakin beriman warga negara, semakin besar penerimaan negara melalui pos ini
dalam membiayai pembangunan negara. Oleh karena itu cukup penting memperhatikan
tingkat keimanan warga oleh Negara demi tercapainya sebuah perekonomian yang
mapan, sustainable dan berkembang. Dengan demikian sudah menjadi kewajaran dalam
perekonomian Islam alat-alat atau kebijakan yang mampu memelihara atau bahkan
meningkatkan Iman haruslah difasilitasi atau dilakukan oleh Negara. Hal ini juga
merupakan salah satu poin yang membedakan sistem ekonomi Islam dengan
konvensional.

5. Ghanimah

Ghanimah merupakan pendapatan Negara yang didapat dari kemenangan perang.


Penggunaan uang yang berasal dari ghanimah ini, ada ketentuannya dalam Al Qur’an.
Distribusi ghanimah empat perlimanya diberikan pada para prajurit yang bertempur
(mujahidin), sementara seperlimanya adalah khums (lihat penjelasan tentang khums).
Hasanuzzaman mendefinisikan ghanimah sebagai segala barang bergerak yang direbut
oleh tentara muslim dalam sebuah pertempuran. Dalam ghanimah ada beberapa jenis
pembagian yang harus menjadi perhatian. Nafal, yaitu penghargaan yang diberikan pada
seorang prajurit berupa pembagian harta ghanimah, yang jumlahnya lebih dari rata-rata,
dari pemimpinnya, baik pemimpin negara maupun pemimpin lapangan. Pembagan nafal
dapat dilakukan meskipun tidak ada janji oleh negara pada awalnya21. Salab barang
pribadi yang direbut oleh prajurit dari musuh yang dibunuhnya. Dan Safi’ adalah barang
pilihan pemimpin yang diambil dari ghanimah untuk dirinya sendiri.

6. Khums

Khums adalah satu perlima bagian dari pendapatan (ghanimah) akibat dari ekspedisi
militer yang dibenarkan oleh syariah, dan kemudian pos penerimaan ini kemudian dapat
digunakan negara untuk program pembangunannya. Dalam alqur’an (Al Anfal: 41)
dijelaskan bagaimana penggunaan penerimaan negara dari pos Khums ini.

“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan
perang (ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil…” (Al Anfal: 41)

Penggunaan dana yang berasal dari khums ini, berdasarkan ayat diatas, jelas sekali
peruntukannya. Penggunaan khums ini sama dengan penggunaan dana Negara yang
bersumber dari fay’ (lihat pembahasan fay’).

7. Fay’

Menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, harta fay’ merupakan pendapatan Negara selain
yang berasal dari zakat. Jadi termasuk didalamnya; kharaj, jizyah, ghanimah, ushr dan
pendapatan-pendapatan dari usaha-usaha komersil pemerintah (misalkan pendapatan
yang berasal dari perusahaan milik pemerintah). Definisi ini lebih mempertimbangkan
kondisi ekonomi kontemporer saat ini yang strukturnya cukup berbeda dengan keadaan
pada masa Rasulullah dulu.

Abidin Ahmad Salama (1995)22 menyebutkan bahwa pendapatan negara ada yang
bersumber dari Al Mustaglat (government investment). Sumber pendapatan ini termasuk
sumber baru bagi negara yang diperkenalkan oleh Walid bin Abdul Malik. Walid
mendirikan departemen baru dalam pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap
investasi yang dilakukan oleh negara.

Sementara itu Hasanuzzaman mendefinisikan harta fay’ berdasarkan interpretasi masa


Rasulullah, yaitu harta kekayaan negara musuh yang telah dikalahkan (di dapat bukan
melalui peperangan atau di medan perang), yang kemudian dimiliki dan dikelola oleh
negara Islam. Dengan demikian dalam fay ada unsure ghanimah dan bukan ghanimah,
sementara dalam ghanimah ada khums (1/5 bagian) dan ada yang menjadi hak mujahidin
(4/5 bagian).

21
Op. cit., pp. 150
22
Abidin Ahmad Salama, Fiscal Policy of An Islamic State, Readings in Public Finance in Islam, (Edited
by Mahamoud A. Gulaid & Mohamed Aden Abdullah), Islamic Research and Training Institute (IRTI) –
Islamic Development Bank (IDB), Jeddah, Kingdom of Saudi Arabia, 1995, pp. 48
“Harta rampasan fay’ yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari
penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak
yatim, orang-orang miskin dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar
harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah
sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al Hasyr: 7)

Seperti yang telah dijelaskan bahwa penggunaan dana fay’ ini identik dengan khums
yang menjadi bagian dalam ghanimah. Dalam konteks modern pemanfaatan dana fay
dank hums khususnya peruntukan Allah, Rasul dan kerabat Rasul diterjemahkan sebagai
penerimaan Negara yang kemudian menjadi hak Negara untuk menentukan
peruntukannya. Penggunanaan fay’ dan khums yang bersumber dari tiga sumber tadi
tentu saja mempertimbangkan skala prioritas program pembangunan yang ada.

8. Pajak Khusus (Nawaib)

Pajak ini penentuan pemungutannya (keberadaannya) tergantung kondisi perekonomian


Negara (sifatnya sementara) dan menjadi hak prerogative Negara dalam memutuskan
besar pajak yang akan dipungut. Misalnya dalam menjalankan fungsi Negara yang
pertama, yaitu memenuhi kebutuhan minimal penduduk, ketika zakat dan harta fay’ tidak
cukup dalam mewujudkan fungsi tersebut, maka kebijakan selanjutnya Negara dapat
mengenakan pajak khusus yang dikenakan pada sekelompok orang kaya diantara
masyarakat. Perlu diingat bahwa kebijakan ini sifatnya kondisional atau incidental, ia
sesuai dengan keadaan keuangan Negara dalam menjalankan kewajibannya. Artinya
pajak menjadi instrumen komplementer dari instrumen yang telah lazim ada dalam
perekonomian negara Islam.

Dengan keadaan perekonomian kontemporer saat ini, yaitu perekonomian di banyak


negara Islam dalam keadaan tidak begitu baik, dimana mekanisme zakat tidak berjalan
sesuai dengan format yang orisinil (obligatory zakat sistem) sehingga tidak dapat
diharapkan mampu menjalankan fungsi negara dalam menjamin kebutuhan dasar warga
negara, begitu juga pendapatan negara yang lain, maka pengenaan pajak menjadi jalan
keluar yang cukup efektif (meskipun pelaksanaan pajak ini lebih dimotivasi oleh alasan
pengetahuan menjalankan sistem fiscal konvensional). Jadi dalam keadaan transisi seperti
ini rasanya cukup bijak jjika negara-negara Islam mulai menerapkan mekanisme pajak
yang memiliki karakteristik seperti instrumen fiscal dalam perekonomian Islam.

9. Lain-lain

Penerimaan negara dapat juga bersumber dari variable seperti warisan yang memiliki ahli
waris, hasil sitaan, denda, hibah atau hadiah dari negara sesama Islam, hima dan bantuan-
bantuan lain yang sifatnya tidak mengikat baik dari negara luar maupun lembaga-
lembaga keuangan dunia.
Dari penjelasan instrumen fiscal ini perlu dipahami bahwa setiap instrumen memiliki
karakteristiknya masing-masing. Baik pemungutannya (penerimaan bagi negara) maupun
penggunaannya (pengeluaran bagi negara). Dilihat dari aturan pemungutannya ada
instrumen fiskal yang sifatnya menjadi ketentuan yang mengikat (regulated), maksudnya
instrumen tersebut dikenakan pada objek pembayar tertentu dengan sanksi-sanksi tertentu
dari negara bagi yang tidak membayar kewajibannya, misalnya instrumen Zakat, Kharaj,
Jizyah dan Ushur. Pada Zakat, pemungutannya dilakukan hanya pada masyarakat yang
harta wajib zakatnya melebihi batas nisab (batas minimal harta terkena Zakat). Ada juga
instrumen yang bersifat sukarela seperti Infaq, Shadaqah dan Wakaf. Sedangkan
instrumen yang bersifat kondisional dapat berupa Khums, Pajak, Fay’ dan lain-lain.
Instrumen terakhir ini sangat ditentukan oleh kondisi-kondisi perekonomian yang ada di
sebuah negara. Misalnya karena kondisi perekonomian mengalami krisis yang cukup
lama sehingga sebagian besar rakyat terancam tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya,
maka negara boleh secara syariat memungut pajak. Dan pajak tersebut hanya boleh
dikenakan pada golongan masyarakat yang kaya.

Begitu juga pada mekanisme penggunaan dana-dana tadi. Ada instrumen yang
penggunaan dananya bersifat terikat dan bersifat tidak terikat atau bebas. Penggunaan
yang bersifat terikat maksudnya penggunaan yang harus merujuk pada petunjuk yang
telah ditetapkan oleh dalil-dalil syariat, misalnya instrumen Zakat, dimana penggunaan
dananya hanya terbatas pada delapan golongan masyarakat (mustahik). Sedangkan
penggunaan instrumen fiscal yang bersifat tidak terikat artinya akumulasi dana yang
bersumber dari instrumen tersebut dapat digunakan untuk hal-hal apa saja dalam
pembangunan negara, tergantung pada prioritas pembangunan yang ada (lihat
pembahasan kebijakan belanja public). Misalnya dana yang bersumber dari fay’, infaq,
shadaqah dan wakaf (yang bersifat mutlak atau tidak terikat).

Kedisiplinan pengelolaan dana dari instrumen fiscal Islam ini terlihat cukup menonjol.
Hal ini sebenarnya menunjukkan betapa perekonomian dalam Islam begitu
memperhatikan terjamin dan terjaganya segala kepentingan individu dan kolektif yang
secara otmatis dapat memelihara kestabilan social masyarakat Islam. Sehingga dalam
keadaan tersebut masyarakat secara individu dan kolektif dapat melaksanakan peran dan
fungsinya sebagai hamba Allah SWT yaitu ibadah secara baik dengan hasil yang
maksimal. Secara tidak langsung karakteristik ini menguatkan pendapat bahwa setiap
instrumen fiscal memiliki “sasaran tembaknya” masing-masing dalam perekonomian
Islam.

Kedisiplinan ini juga yang secara implisit diungkapkan oleh Sahabat Ali bin Abi Thalib
r.a ketika menjawab pertanyaan Sahabat Umar bin Khattab r.a berkaitan dengan desakan
para sahabat yang lain pada Umar agar menggunakan perhiasan Ka’bah untuk
pembiayaan perang. Ali bin Abi Thalib r.a mengatakan:

“Al Qur’an telah diturunkan kepada Nabi SAW dan Harta itu terbagi
empat; harta kaum muslimin, maka bagilah antara para ahli waris
menurut ilmu fara’idh (ilmu waris); dan harta fay’, maka bagikanlah
kepada mereka yang berhak; sedangkan harta seperlima ghanimah
(khums), maka bagikanlah kepada apa yang Allah inginkan; dan untuk
zakat, tempatkanlah menurut yang Allah kehendaki.”

Efek Instrumen Fiskal Islam Dalam Pendapatan Nasional

Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, efek instrument – instrument sejenis
zakat terhadap perekonomian pada dasarnya dapat dilihat menggunakan model
makroekonomi, baik melalui prilaku konsumsi, prilaku belanja pemerintah maupun
prilaku investasi.

Mengulang apa yang telah dibahas dalam prilaku konsumsi, instrument – instrument
seperti kharaj, jizyah, infaq, shadaqah, wakaf dan nawaib akan terlihat pengaruhnya
melalui model konsumsi. Model konsumsi umum makroekonomi adalah sebagai berikut:

C = Co + bYd

Dimana:
b = preferensi konsumsi dari pendapatan (marginal propensity to consume)
Yd = pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income)

Konsumsi mustahik: C = Z = Co
Konsumsi muzakki: C = Co + b(Y – Z) atau C = Co + b(Y – Z – Nw)23
Nw = Nawaib (semacam pajak bagi para orang kaya yang bersifat temporer)24
Nw dikenakan karena perekonomian memburuk, dimana pendapatan pemerintah
lainnya tidak mencukupi

Dengan pertimbangan bahwa golongan mustahik atau muzakki dapat saja berasal dari
golongan non-muslim dan perkembangan perekonomian tidak begitu baik, maka variasi
model konsumsi diatas dapat menjadi sebagai berikut:

Konsumsi mustahik muslim/non muslim: C = Za = Co


Dimana:
Za = Z + Kh + Jz atau Za = Z + Kh + Jz + Nw
Kh = Kharaj (semacam zakat pertanian bagi non muslim)
Jz = Jizyah (semacam zakat penghasilan/harta bagi non muslim)

Dengan demikian konsumsi “muzakki” non muslim: C = Co + b(Y – Kh – Jz – Nw).

Sementara itu infaq, shadaqah dan wakaf juga akan terlihat pengaruhnya dalam
perekonomian melalui prilaku konsumsi yang menggunkaan model dibawah ini.

23
Dalam persamaan ini tidak dimasukkan pajak dengan asumsi bahwa pajak yang dikenal dalam Islam
adalah pajak-pajak yang memiliki ketentuannya secara syariat seperti zakat, kharaj, jizyah, ushr, nawaib
dan lain sebagainya. Secara detil pembahasan instrument – instrument ini akan dijelaskan dalam
pembahasan kebijakan fiscal.
24
Variabel-variabel ini akan dijelaskan secara detil pada bab-bab selanjutnya.
C = Co + bYd

Dimana:
Jika b = MPCmuzakki; c = MPCriil; d = MPCamal shaleh; maka

C = Co + (c + d) Yd
C = Co + cYd + dYd

Berdasarkan model di atas, diketahui preferensi konsumsi (d) menggambarkan preferensi


beramal shaleh yang dapat berupa infaq, shadaqah atau wakaf. Namun pengeluaran
individu berupa infaq (In) dan shadaqah (Sh) dalam model konsumsinya memiliki
implikasi pada penambahan belanja pemerintah (G) khususnya untuk program – program
poverty alleviation (belanja pemerintah untuk social – Gso).

G = Go + Gso; Gso = In + Sh
G = Go + In + Sh

Sementara untuk wakaf memiliki implikasi pada peningkatan investasi (I) khususnya
investasi – investasi yang bersifat social (Iso – investasi yang berasal dari dana – dana
wakaf).

I = Ip + Ig + Iso; Iso = Wq (wakaf)


I = Ip + Ig + Wq

Menggunakan argumentasi di atas, maka dengan mengakomodasi semua variabel yang


ada dalam perekonomian Islam, model makroekonomi Islam menjadi sebagai berikut:

Y = Ci + Ck + I + G + (X – M)

Y = Co + b(Y-Za) + Co + I + G + (X – M)
Y = Za + b(Y-Za) + Za + I + G + (X – M)

Co = Za
Za = Z + Kh + Jz + Nw

Y = 2Za + bY – bZa + Io + Ig + Wq + Go + In + Sh + (X – M)
Y – bY = 2Za – bZa + Io + Ig + Wq + Go + In + Sh + (X – M)
Y(1 – b) = Za(2-b) + Io + Ig + Wq + Go + In + Sh + (X – M)

Y = Za(2-b) + Io + Ig + Wq + Go + In + Sh + (X – M)
(1 – b)

Y = {(Z + Kh + Jz + Nw )(2-b)} + Io + Ig + Wq + Go + In + Sh + (X – M)
(1 – b)
Dengan asumsi bahwa 0<b<1; (1-b)>0; (2-b)>0, maka zakat (Z), Kharaj (Kh), Jizyah
(Jz), Nawaib (Nw), Infaq (In), shadaqah (Sh) dan wakaf (Wq) memiliki korelasi yang
positif terhadap Y. Artinya, apabila semua instrumen tersebut meningkat, maka Y atau
output/pendapatan nasional akan juga meningkat. Model makroekonomi diatas ini
sekaligus menjelaskan model penghitungan output atau pendapatan nasional
menggunakan pendekatan pengeluaran.

Dari persamaan akhir ini ada sebuah kesimpulan yang khas dalam perekonomian Islam,
dimana unsur keimanan memiliki korelasi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Pertama, keimanan memastikan setiap muzakki akan membayar kewajibannya berupa
zakat, yang bermakna menghidupkan mekanisme zakat atau menyediakan kemampuan
beli bagi masyarakat mustahik. Kedua, keimanan akan memunculkan dana – dana sosial
yang dapat digunakan untuk program - program pengentasan kemiskinan atau
pembangunan fasilitas dan infrastruktur publik yang mampu menekan biaya sosial
masyarakat bawah.

Dengan demikian, keimanan memiliki peran yang tidak kalah penting dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, program – program pemeliharaan
dan peningkatan keimanan oleh pihak yang berwenang (dalam hal ini negara) harus pula
menjadi perhatian. Sementara itu variabel – variabel yang memiliki korelasi cukup
signifikan dengan keimanan tersebut dapat menjadi indikator kondisi keimanan
masyarakat secara umum. Dan jika parameter kesuksesan sebuah pembangunan ekonomi
mengakomodasi tingkat keimanan masyarakat sebagai objek pembangunan, maka
variabel – variabel tadi seperti zakat (Z), MPCamal shaleh (d), investasi sosial
(Iso/wakaf), belanja sosial pemerintah (Gso; In + Sh) dapat digunakan. Variabel –
variabel tersebut dapat menjadi indikator kesuksesan ekonomi, baik secara individual
maupun secara akumulatif. Bahakan beberapa variabel dapat divariasikan untuk
mendapat ukuran – ukuran kemajuan ekonomi yang menggambarkan tingkat keimanan
masyarakatnya, seperti rasio pemungutan zakat terhadap muzakki, rasio pendistribusian
zakat terhadap mustahik, dan lain – lain.

Mengakomodasi faktor keimanan dalam pengukuran – pengukuran kemajuan ekonomi


pada dasarnya memelihara proses pembangunan manusia secara individu dan kolektif
untuk selalu dekat dengan Allah SWT, untuk selalu ada dalam keridhaan Tuhan yang
menciptakan alam semesta dan segala kefitrahan kekuasaan-Nya.

Instrumen Fiskal Islam Versus Pajak Konvensional

Secara sepintas instrumen fiscal Islam sangat identik dengan instrumen konvensional
yang kita kenal dengan pajak. Dan memang ada beberapa persamaan yang melekat pada
dua jenis instrumen ini, khususnya pajak dan zakat, misalnya sifatnya yang wajib bagi
warga negara, pengaturan oleh negara dan ketiadaan imbalan.25 Sementara perbedaannya
pun cukup signifikan jika dilihat pengaruhnya pada perekonomian secara makro.
Perbedaan yang cukup signifikan tersebut mencakup; ukuran pengenaannya, besar
25
Yusuf Qardhawy, Hukum Zakat, Pustaka Litera Antar Nusa, Jakarta, 1988. pp. 999-1000.
pengenaannya, distribusinya, objek pembayar dan penerima serta waktu
keberlangsungannya.

Seperti diungkapkan oleh Yusuf Qardhawy (1988)26 pajak dalam sistem ekonomi
konvensional dijalankan berdasarkan pada teori perjanjian social antara negara dan
warganya serta teori kedaulatan negara yang berprinsip pembelaan social oleh negara atas
warganya. Dalam teori perjanjian social terdapat banyak versi rasionalitas atas pajak,
diantaranya; pertama, Mirabau berpendapat bahwa pajak merupakan perjanjian yang
berbentuk akad jual-beli karena pajak adalah pembayaran di muka yang dilakukan oleh
seseorang terhadap perlindungan kelompok manusia.

Kedua, Adam Smith mengungkapkan bahwa pajak merupakan harga atas jasa yang
dilakukan oleh negara atas warganya. Negara memberikan berbagai jasa pelayanan
sehingga pajak menjadi konsekwensi logis atas pelayanan negara tersebut. Ketiga,
Montesque dan Hobes yang berpendapat bahwa pajak merupakan bagian dari harta warga
negara yang dijaminkan atas keamanan diri dan hartanya, dimana ini dilakukan
berdasarkan perjanjian jaminan keamanan.

Teori pertama ini banyak mendapat kritikan, karena terdapat logika yang tidak rasional
pada tingkat aplikasinya. Ketika ada perjanjian social dimana seseorang yang membayar
pajak akan terjamin dan terpelihara kepentingan sosialnya, secara logika semakin banyak
ia membayar pajak maka akan semakin terlindungi kepentingan sosialnya. Namun yang
menjadi pertanyaan adalah apakah individu tersebut memang perlu perlindungan social,
bagaimana dengan mereka yang ada dalam kondisi fakir miskin yang betul-betul
memerlukan perlindungan social, namun pada saat yang sama ia tak mampu membayar
pajak sepeser pun. Artinya, golongan masyarakat tak mampu lebih banyak memerlukan
perhatian social dibandingkan golongan kaya (yang mampu membayar pajak tadi). Hal
ini membuat rasionalisme teori perjanjian social menjadi rapuh dalam implementasi
pajak. Ada ketimpangan antara asas teori dan apa yang sepatutnya terjadi.

Teori yang kedua yaitu teori kedaulatan negara, dimana negara mengedepankan
kepentingan umum atas kepentingan pribadi yakni memenuhi kebutuhan masyarakat luas.
Dengan begitu diperlukan pembiayaan atas kerja negara ini, sehingga pajak diadakan dan
dikenakan pada warga negara sesuai dengan kemampuan mereka.

Beberapa negara yang menerapkan sistem ekonomi konvensional memiliki instrumen


yang berfungsi hampir sama dengan zakat. Beberapa negara (teutama negara barat)
menerapkan tunjangan (transfer) social bagi penduduknya yang tidak memiliki kerja,
uzur atau tidak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah, dimana sumber
pendanaannya adalah berasal dari pajak. Namun karakteistik pajak serta tunjangan social
tersebut berbeda sama sekali dengan mekanisme yang ada dalam Zakat. Penjaminan
dalam mekanisme zakat merupakan prioritas utama dalam kebijakan ekonomi.
Sedangkan dalam konvensional tunjangan social sangat tergantung pada penerimaan
pajak, ketika dana pajak dirasakan tidak mencukupi, maka tunjangan tersebut bukanlah
menjadi prioritas yang utama.
26
Ibid. pp. 1008-1009.
Dibeberapa negara barat bahkan menempatkan pajak sebagai pos penerimaan utama bagi
pembangunan ekonomi negara. Sehingga pajak menjadi instrumen fiscal yang cukup
sentral dari ekonomi. Seperti yang telah dijelaskan bahwa instrumen-instrumen fiscal
Islam memiliki karakteristik yang cukup khas, berbeda dengan pajak konvensional.
Instrumen fiscal Islam terikat dengan penggunaan atau pemanfaatan dan fungsi negara
yang telah ditetapkan secara syariat. Misalnya penerimaan yang definitive tidak
mengenakan satu instrumen pada semua golongan masyarakat, begitu juga
pendistribusiannya diatur secara syariat, sehingga dengan aturan pada pemungutan dan
pendistribusian diharapkan terjadi tertib fiscal dalam keuangan negara. Tertib fiscal yang
diatur syariah ini diharapkan dapat menghindari terjadinya misalokasi dana atau
memperkecil potensi penyalahgunaan oleh aparatur negara.

Dalam banyak literature ekonomi Islam baik klasik maupun kontemporer, pajak yang
terlepas dari prinsip-prinsip syariah sangat tidak dianjurkan. Bahkan pada beberapa
literature klasik pajak sejenis konvensional sedapat mungkin dihindari. Alasannya cukup
sederhana, bahwa pajak jenis tersebut akan menekan pertumbuhan ekonomi, melalui
penekanan pada sisi konsumsi dan produksi. Jika kita lihat kembali teori mikroekonomi
konvensional, dapat diketahui bahwa pengaruh pajak akan menurunkan kurva penawaran
(supply) yang berarti meningkatkan harga secara umum, yang kemudian mempengaruhi
kemampuan beli masyarakat, dan ini tentu akan menekan volume transaksi secara umum.

Sementara itu efek zakat terhadap ekonomi tidak sama dengan pajak jika ditinjau baik
makro maupun mikro. Perbedaan pajak dan zakat sekurang-kurangnya berasal dari
karakteristik zakat yang relative berbeda, yaitu zakat tidak dikenakan pada entitas
perusahaan (unit usaha) dan kedua zakat tidak dikenakan sebelum proses produksi. Zakat
dikenakan pada seorang individu (muzakki) dan dibebankan ketika hasil produksi
memberikan hasil mencapai tingkat tertentu (nishab). Dua karakteristik ini kemudian
menentukan bentuk dan tingkat pengaruh pada ekonomi. Jika dianalisa lebih dalam maka
kemudian diketahui dengan karakteristik tersebut zakat akan lebih mempengaruhi sisi
demand dari ekonomi, karena secara langsung aplikasi zakat lebih menggerakkan atau
mendorong permintaan (demand). Dengan begitu kesimpulan yang sederhana yang dapat
ditarik dari penjelasan ini adalah zakat merupakan kebijakan yang mempengaruhi sisi
demand dari ekonomi (demand side policy), sedangkan pajak lebih sebagai kebijakan
yang mempengaruhi sisi supply (supply side policy).
Kurva 5.3.
Efek Zakat dan Pajak dalam Ekonomi

P S1
Efek Pajak
So

Efek Zakat

D1
D0
0
Q

Monzer Kahf berpendapat bahwa tingkat pajak jikapun diberlakukan haruslah pada
tingkat yang rendah. Beliau sependapat dengan pemikir ekonomi Islam klasik seperti
Imam Malik, Ibn Hazm dan Kattani bahwa menempatkan pajak lebih besar dari tingkat
zakat hanyalah dibenarkan jika bertujuan (yang sifatnya darurat) untuk kebutuhan
pertahanan negara, menjaga terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat27 dan memenuhi
kebutuhan pembelanjaan yang menjamin kemashlahatan publik. Dan beliau
menganjurkan bila memang sebuah negara tidak mampu menerapkan sistem ekonomi
menggunakan konsep Islam, sebaiknya instrumen fiscal beserta pos-pos penerimaan yang
lainnya memiliki karakteristik yang sama seperti yang dimiliki oleh sistem ekonomi
Islam, baik pada pemungutannya maupun pendistribusiannya.

Ugi Suharto28 menyebutkan secara sederhana perbedaan pajak dan zakat terkait dengan
keberadaan Negara atau pemerintahan. Implementasi pajak sangat tergantung pada
eksistensi negara, sepanjang ada negara maka pajak ada. Sedangkan zakat tidak
tergantung pada eksistensi negara, zakat dalam Islam dipandang sebagai sebuah ibadah,

27
Keadaan ini memang menjadi kondisi yang memungkinkan negara mengenakan pajak kondisional akibat
instrumen lain seperti zakat dan penerimaan negara lainnya seperti fay’ tidak mampu memenuhi kebutuhan
dasar masyarakat secara luas. Hal ini sejalan dengan apa yang di ungkapkan oleh Umar bin Khattab
berkaitan dengan fungsi negara yang tertama dan utama, yaitu memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
28
Keuangan Publik…
sebagai sebuah ketentuan syariah yang mengikat pada seorang manusia yang memiliki
harta yang cukup (nishab), sehingga ada tidaknya negara tidak kemudian membuat zakat
tidak ada. Zakat selalu ada pada semua zaman sepanjang ada orang Islam yang
berkecukupan di situ.

Mekanisme zakat memastikan aktivitas ekonomi dapat berjalan pada tingkat yang
minimal yaitu pada tingkat pemenuhan kebutuhan primer, sedangkan infak-shadaqah dan
intsrumen sejenis lainnya mendorong permintaan secara agregat, karena fungsinya yang
membantu ummat untuk mencapai taraf hidup diatas tingkat minimum. Karena oleh
negara infak-shadaqah dan instrumen sejenisnya inilah yang melalui bitul mal digunakan
untuk mengentaskan kemiskinan melalui program-program pembangunan. Jadi zakat dan
infak-shadaqah memiliki perannya masing-masing. Pada kondisi ummat yang baik
dimana tingkat keimanannya ada pada level yang baik, maka pendapatan negara yang
bersumber dari infak-shadaqah sepatutnya lebih besar dari penerimaan zakat.

Dalam membahas prilaku konsumsi dari individu muslim, karakteristik zakat sudah
nampak terlihat, bahwa zakat merupakan instrumen ekonomi yang vital. Absensi
mekanisme zakat dalam perekonomian akan merusak keseimbangan ekonomi, bahkan
memiliki pengaruh yang besar pada ketidakseimbangan ekonomi dan sosial. Zakat
dengan institusi amil zakat menjaga hubungan yang baik antara si miskin dan si kaya,
tanpa perlu mengorbankan harga diri golongan miskin, disebabkan mekanisme distribusi
zakat yang melalui baitul mal. Begitu juga dengan efek negatif dari kesenjangan yang
amat dalam antara kaya dan miskin seperti meningkatnya kriminalitas, kemaksiatan dan
segala tingkah laku negatif, akan dengan signifikan tereduksi.

Beberapa negara yang menerapkan sistem ekonomi konvensional memiliki instrumen


yang berfungsi hampir sama dengan zakat. Beberapa negara (teutama negara barat)
menerapkan tunjangan social bagi penduduknya yang tidak memiliki kerja, uzur atau
tidak memiliki kemampuan untuk mencari nafkah. Dan sumber pendanaannya adalah
berasal dari pajak. Namun karakteristik pajak serta tunjangan social tersebut berbeda
sama sekali dengan mekanisme yang ada dalam Zakat. Penjaminan dalam mekanisme
zakat merupakan prioritas utama dalam kebijakan ekonomi (ketika zakat tak mampu
memenuhi fungsi penjaminan tersebut, maka pemasukan negara dari sumber selain zakat
akan digunakan sampai kebutuhan minimal seluruh rakyat terpenuhi). Sedangkan dalam
konvensional tunjangan social sangat tergantung pada penerimaan pajak, ketika dana
pajak dirasakan tidak mencukupi, maka tunjangan tersebut bukanlah menjadi prioritas
yang utama.

Dengan segala karakteristik yang ada, aktifitas perekonomian yang menggunakan


instrumen-instrumen seperti zakat, infak, shadaqah dan lain-lainnya memberikan pesan
yang cukup jelas dan tegas, yaitu aktifitas ekonomi yang cenderung produktif. Aktifitas
ekonomi produktif ini bermakna sumber daya ekonomi berputar pada tingkat yang
maksimal.

Anda mungkin juga menyukai