Anda di halaman 1dari 18

Mengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber

Daya Alam (PSDA): Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi


Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau
Hariadi Kartodihardjo1 dan Chalid Muhammad2

Abstrak
Penulis mengaji Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau untuk
mengatasi persoalan pelanggaran penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan yang
telah terjadi puluhan tahun lalu. Hasil identifikasi arena aksi yang terjadi selama 3
tahun terakhir menunjukkan adanya inovasi-inovasi penyelesaian masalah, keter-
bukaan pengambilan keputusan serta fleksibilitas tindakan sesuai dengan kondisi di
lapangan. Namun prakarsa ini nampak mulai terkendala atas semakin lemahnya du-
kungan politik, sehingga berpotensi melonggarkan ikatan-ikatan modal sosial yang
sudah mulai tumbuh di wilayah itu. Pembelajaran yang dapat diambil mencakup ur-
gensi terhadap beberapa hal seperti pemetaan sosial untuk memprioritaskan kekuat-
an lokal, pentingnya membangun trust, penguasaan arena aksi, pertimbangan sejarah
dan budaya untuk menghindari kecemburuan atas pilihan kelompok masyarakat dari
proses administratif, orientasi pada outcome bukan hanya capaian administrasi, ada-
nya kebutuhan pendekatan ekologi politik, skala ekosistem, maupun keterbukaan in-
formasi.
Kata Kunci: Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN), Taman Nasional Tesso Nilo
(TNTN), persoalan institusional, pengelolaan sumber daya alam.

Abstract
The author reviews the Revitalization of the Tesso Nilo Ecosystem (RETN) in Riau Province
to address the problem of violations of the use and utilization of forest areas that have occurred
decades ago. The results of the identification of the arena of action over the past 3 years show
that there are innovations in problem solving, openness in decision making, and flexibility of
actions in accordance with conditions in the field. But this initiative appears to be constrained
due to the weakening of political support, which has the potential to loosen the bonds of social
capital that have begun to grow in the region. Learning that can be taken includes the urgency
of several things such as social mapping to prioritize local forces, the importance of building
trust, mastery of the arena of action, historical and cultural considerations to avoid social je-
alousy in the choice of the community from administrative processes. the need for a political
ecology approach, ecosystem scale, and information disclosure.

1
Penulis adalah Ahli Kebijakan Kehutanan, Akademisi pada Institut Pertanian Bogor, dan
Penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015-2019.
2
Penulis adalah Koordinator Institut Hijau Indonesia dan Penasihat Senor Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan 2015-2019.

253
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

Keywords: Revitalization of the Tesso Nilo Ecosystem (RETN), Tesso Nilo National Park
(TNTN), institutional issues, natural resource management.

I. Pendahuluan ha berupa hutan alam, sisanya diindika-


Dalam Pengelolaan Sumber Daya sikan dikuasai, dirambah dan ditanami
Alam (PSDA) di Indonesia, penggunaan kelapa sawit. Sementara itu, hasil identi-
kawasan Ekosistem Tesso Nilo (ETN) di fikasi singkat pengguna lahan oleh Eyes
Provinsi Riau dalam bentuk kebun sawit, on the Forest pada Maret 2016, pada are-
menjadi fenomena salah satu bentuk ke- al eks HPH PT.SRT ditemukan 36 areal
gagalan institusional di kehutanan. ETN kebun yang dikuasai atau dimiliki oleh
itu terdiri atas 3 kawasan hutan dengan pemodal dengan luas penguasaan lebih
status konservasi Taman Nasional Tesso dari 25 ha, dengan total areal 13.666 ha.
Nilo (TNTN) seluas 83.069 ha, kawasan Hasil yang sama juga diidentifikasi di la-
hutan produksi eks HPH PT.Siak Raya han eks HPH PT.HSL. Sebanyak 64 areal
Timber (SRT) seluas 38.560 ha, serta eks kepemilikan sawit oleh pemodal dengan
HPH PT.Hutani Sola Lestari (HSL) selu- luas penguasaan lebih dari 25 ha, dengan
as 45.990 ha. Selain itu, terdapat 13 kon- total areal 15.221 ha.
sesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Konsep kegagalan institusional telah
11 perusahaan kebun kelapa sawit da- ditafsirkan dengan berbagai perspek-
lam ETN. Di sekitar ETN juga terdapat tif. Dari perspektif ekonomi neo-klasik,
23 desa di 4 wilayah Kabupaten Kampar, didefinisikan sebagai kegagalan sektor
Pelalawan, Indragiri Hulu dan Kuantan swasta dan pemerintah4. Sementara itu,
Singingi3. dari perspektif keberlanjutan, didefini-
Berdasarkan analisis tutupan lahan sikan dalam hal keberlanjutan sumber
2016 oleh World Wildlife Fund (WWF) daya atau ketidakmampuan untuk me-
Indonesia, di eks HPH PT.SRT dan eks lestarikan sumber daya.5 Sementara itu,
HPH PT.HSL, hampir 90% diindikasikan pendekatan inovasi membagi kegagalan
dikuasai perambah dan ditanami kelapa institusional menjadi: (a) kegagalan in-
sawit. Begitu pula di kawasan TNTN, stitusional keras, yaitu kegagalan dalam
dari total 83.069 ha hanya sekitar 20.000 kerangka peraturan dan sistem hukum;

3
Informasi ini diperoleh dari dokumen-dokumen pembahasan dalam penyusunan rencana
pelaksanaan revitalisasi ekosistem Tesso Nilo (RETN), 2016, di Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK).
4
C. Pitelis, “Towards a Neo-classical Theory of Institutional Failure”, Journal of Economic Studies.
Vol 19, No.1 (1992), hlm. 14-29.
5
J.M. Acheson, “Institutional Failure in Resource Management”, Annual Review of Anthropology,
(2006), hlm.117-134.

254
Hariadi Kartodihardjo dan Chalid Muhammad
Mengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA):
Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau

serta (b) kegagalan kelembagaan lunak, Naskah ini dimaksudkan untuk


yaitu kegagalan dalam institusi sosial se- mendalami apakah pelaksanaan Revita-
perti budaya politik dan nilai-nilai sosi- lisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) se-
al. Mengikuti definisi yang berbeda-beda bagai upaya kolaboratif Pemerintah dan
itu, konsep kegagalan institutional dalam masyarakat sipil, dapat mengatasi perso-
naskah ini adalah terkait fungsi-fungsi alan kegagalan institusional tersebut.
lembaga negara dan regulasi maupun
arena aksinya dalam pengelolaan sum- II. Kerangka Pendekatan
ber daya hutan yang cenderung gagal Secara empiris, terdapat beberapa
mewujudkan pengelolaan sumber daya faktor yang menyebabkan terjadinya pe-
hutan secara adil dan berkelanjutan.6 rambahan di ETN, yaitu:9
Dalam kerangka kerja ini, tindakan 1. kurangnya perlindungan hutan
aktor-aktor yang terlibat dianggap tidak atas kawasan hutan;
memiliki kepastian karena mereka dia- 2. banyaknya akses atau jalan di se-
sumsikan bergantung, bukan hanya ter- kitar dan di dalam ETN sehingga
memudahkan perambah masuk
hadap peraturan perundang-undangan
dan menguasai lahan;
formal (rule in form), tetapi juga terhadap
3. aspek ekonomi yaitu meningkat-
kesepakatan atau tekanan yang terjadi nya harga tandan buah segar ke-
(rule in use) pada setiap arena tindakan lapa sawit dengan aspek pemeli-
bersama.7 Memahami kesepakatan dan haraan yang tidak terlalu rumit,
tekanan yang sedang dijalankan tersebut serta
dapat membantu mengidentifikasi sum- 4. terkait aspek hukum dan kebijak-
ber-sumber kekuasaan yang digunakan an yang lemah dalam penegak-
annya.
dan bagaimana hal tersebut menjadi pe-
Semua itu berdampak pada belum
nyebab peraturan perundang-undangan
berpengaruhnya kebijakan dan komit-
dan fungsi lembaga-lembaga negara ti-
men pemerintah untuk menjaga hutan
dak berjalan.8
alam agar tetap lestari.

6
R.K Woolthuis, M. Lankhuizen, & V. Gilsing, “A system Failure Framework for Innovation Policy
Design. Technovation”.Techovation. Vol 25 (2005), hlm. 609-619.
7
B.D. Ratner, Ruth Meinzen-Dick, Candace May, “Resource Conflict, Collective Action, and
Resilience: an Analytical Framework,” International Journal of the Commons, Vol 7 (1) (February, 2013),
hlm. 183-208.
8
H. Kartodihardjo, Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam: Diskursus Politik Aktor Jaringan,
(Bogor: Firdauss Pressindo).
9
Rencana Aksi RETN 2018. Rencana Aksi RETN disusun oleh Koalisi LSM di Riau (Jikalahari,
Walhi Riau, WWF, Mitra Insani, Balai Taman Nasional Tesso Nilo, Yayasan Tesso Nilo) dan digunakan
oleh Tim Kerja dan Tim Operasional yang dibentuk oleh KLHK.

255
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

Ditinjau dari implementasinya, pe- analisis terjadinya kegagalan institusio-


laksanaan penyelesaian bentuk-bentuk nal dalam pengelolaan SDA12.
pelanggaran penggunaan kawasan hu- Kerangka kerja ini mempertimbang-
tan masih belum efektif.10 Hal itu di- kan adanya faktor-faktor eksogenous,
sebabkan oleh faktor-faktor kompleks yaitu kondisi yang memengaruhi arena
yang kurang memuaskan apabila diana- aksi tindakan para aktor, yang menen-
lisis dengan pendekatan tunggal (mono- tukan fungsi institusional dapat bekerja
disiplin). Oleh karena itu, dalam telaah dan bagaimana menempatkan masya-
pengelolaan sumber daya alam (SDA) rakat lokal/adat sebagai subjek. Pende-
perlu menggunakan kerangka pendekat- katan ini memungkinkan memasukkan
an multi-faktor dengan model analisis faktor-faktor kontekstual sesuai kondisi
dan pengembangan kelembagaan (insti- lapangan. Sebagai kerangka kerja yang
tutional analysis development/IAD)11, un- dinamis, kinerja pada gilirannya akan
tuk menilai pelaksanaan RETN. Model memberi umpan balik ke dalam dan me-
ini dipilih karena sangat mudah disesu- mengaruhi konteks serta arena tindakan
aikan dengan berbagai konteks yang ber- berikutnya.
beda dan telah diterapkan pada berbagai

10
Jumlah total perusahaan kelapa sawit secara nasional yang berada di dalam kawasan hutan sekitar
3,5 juta ha, dengan rincian di kawasan konservasi 115.694 ha, di hutan lindung seluas 174.910 ha, di hutan
produksi terbatas seluas 454.849 ha, di hutan produksi seluas 1.484.075 ha serta di hutan produksi yang
dapat dikonversi seluas 1.244.921 ha (Auriga, 2019. Jakarta. hlm, 15). Di Riau, hasil dengar pendapat
antara Komisi B DPRD Provinsi Riau dengan Kanwil Pajak Provinsi Riau-Kepri, ditemukan bahwa dari
513 perusahaan perkebunan yang terdaftar di Disbun Provinsi Riau dan 58 perusahaan kehutanan, hanya
104 perusahaan yang terdaftar sebagai penyumbang pajak di Kanwil Dirjen Pajak Riau-Kepri. Untuk tahun
2015 Kanwil Dirjen Pajak Riau-Kepri memiliki target pajak sebesar ± Rp 24 Triliun. Kontribusi perusahaan
yang bergerak dibidang P3 (Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan) sekitar 40% atau ± Rp 9,6 Triliun.
Padahal potensi pajak untuk industri perkebunan dan kehutanan yang sudah dianalisis Pansus berjumlah
sekitar Rp 31,2 Triliun per tahunnya. Laporan GNPSDA KPK, 2017.
11
R. J. Oakerson, Analyzing the commons: A framework. In Making the commons work (ed D.W
Bromley), (San Fransisco: ICS Press, 1992), sebagaimana juga disampaikan dalam Ostrom 2005; Poteete
et al. 2010.
12
B.D Ratner, et al., op. cit (hlm, 186-188), yang dimodifikasi sesuai dengan kondisi lapangan ETN
serta pelaksanaan revitalisasi yang telah dilakukan.

256
Hariadi Kartodihardjo dan Chalid Muhammad
Mengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA):
Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau

Variabel Eksogenous

KARAKTERISTIK
BIOFISIK SUMBER
DAYA ALAM
Arena Aksi

KARAKTERISTIK SITUASI AKSI INTERAKSI


PENGGUNA SUMBER
DAYA ALAM

PARTISIPAN (aktor)
KRITERIA
ATURAN MAIN FORMAL EVALUASI
(rule in form) DAN
INFORMAL (rule in use)

OUTCOMES

Gambar 3. Kerangka Pendekatan untuk Analisis Institutional

Faktor eksogenous pada gambar wa dalam situasi konflik, inovasi untuk


menggabungkan tiga faktor, yaitu: (a) “kerja institutional baru”17 memungkin-
karakteristik SDA, (b) pengguna SDA, kan beragam pemangku kepentingan
serta (c) tata kelola termasuk “aturan dapat mengelola persaingan pemanfaat-
khusus” yang menentukan penggunaan an SDA secara adil, membantu memba-
SDA di lapangan.13 Masing-masing fak- ngun ketahanan, termasuk kapasitas un-
tor dapat dipecah menjadi elemen yang tuk beradaptasi terhadap sumber konflik
jauh lebih rinci tergantung pada situasi yang sedang terjadi serta risiko di masa
yang diteliti.14 Untuk setiap faktor, dini- depan. Terkait hal tersebut, terdapat
lai bagaimana dapat membentuk insen- konsep “kekuatan ikatan lemah” (the
tif bagi tindakan kolektif menuju tujuan strength of weak ties) dalam suatu jaring-
yang ditetapkan. an sosial. Ikatan lemah itu membuat ak-
Premis yang diajukan oleh Keohane tor lebih mampu memperoleh informa-
dan Ostrom15 maupun Bekkers16, bah- si dari luar dibandingkan dengan aktor

13
E. Ostrom, R. Gardner, & J.M Walker, Rules, Games, and Common- Pool Resources, (Ann Arbor:
University of Michigan Press, 1994), sebagaimana ditegaskan kembali dalam E. Ostrom, Understanding
Institutional Diversity, (Princeton: Princeton University Press, 2005).
14
A.R Poteete, M.A. Janssen, & E. Ostrom, Working Together: Collective Action, the Commons, and
Multiple Methods in Practice, (Princeton NJ: Priceton University Press, 2010).
15
R. Keohane & E. Ostrom, Local Commons and Global Interdependence, (London: Sage, 1995).
16
V. Bekkers, J. Edelenbos, & B. Steijn, Linking Innovation to the Public Sector: Contexts, Concepts
and Challenges dalam V. Bekkers, J. Edelenbos & B. Steijn (eds), Innovation in the Public Sector: Linking
Capacity and Leadership, (Houndsmills: Palgrave McMillan, 2011), hlm. 3-32.
17
Yang dimaksud yaitu menyusun perangkat kerja, regulasi, maupun konsensus bagaimana
menjalankan program dan kegiatan di antara semua aktor yang terlibat. Dalam pelaksanaannya dapat
mencakup inovasi proses, misalnya untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi pelaksanaan kebijakan
dengan membentuk kepemimpinan penghubung (linking leadership) yang dapat mempertemukan
kepentingan kepemimpinan administratif dan kepemimpinan politik. Ibid., hlm. 24-25.

257
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

dalam ikatan yang kuat.18 Ikatan lemah terkonsentrasi, dari ikut serta memanfa-
juga dapat menjembatani beragam aktor atkan. Wilayah ETN yang dikaji ini me-
dan kelompok, menghubungkan segmen menuhi kriteria sifat HEC21. Kondisi de-
jaringan sosial yang terputus. Informasi mikian terjadi, tidak terlepas dari peru-
baru cenderung mengalir melalui ikatan- bahan-perubahan pengelolaan kawasan
ikatan itu.19 sejak tahun 1970-an dan pengelola yang
tidak kuat.22 Sementara itu, telah diketa-
III. Variabel Eksogenous hui bahwa semakin dapat dikuasai su-
A. Karakteristik SDA dan Penggunanya atu SDA, semakin mudah membangun
pengaturan institusional dalam penge-
SDA baik terbarukan atau tidak, da-
lolaannya23. Sifat langka dan sifat HEC
pat mewujudkan tekanan dan sumber
SDA di lokasi ETN secara konseptual
konflik terutama apabila bersifat High
dan empiris menyulitkan pelaksanaan
Exclusion Cost (HEC).20 Dengan sifat itu,
pengelolaannya.
lebih sulit mengecualikan orang yang ti-
Di lokasi ETN, Balai TN Tesso Nilo
dak berhak pada sumber daya yang ter-
dan WWF Indonesia telah melakukan
sebar, dibandingkan dengan yang sangat
identifikasi pengguna lahan selama
18
W. Liu, A.M. Beacom, T.W Valente, “Social Network Theory: The International Encyclopedia
of Media Effects”, (2017), https://www.researchgate.net/publication/316250457_Social_Network_
Theory/link/59cca8c8a6fdcc451d61779f/download.
19
C. Prell, K. Hubacek, M. Reed, “Stakeholder Analysis and Social Network Analysis in Natural
Resource Management”, Society & Natural Resources: An International Journal, Vol. 22 (6), hlm. 501-518.
20
Barang dengan biaya eksklusi atau pengecualian tinggi (HEC) adalah barang di mana apabila
barang itu untuk satu pengguna, mahal untuk mengeluarkan pengguna lainnya agar tidak ikut
memanfaatkannya. Karena biaya untuk mengeluarkan pengguna lainnya itu lebih besar dari nilai
barang yang dibicarakan. Biaya pengecualian yang tinggi berarti bahwa penggunaan barang yang
ada tidak dapat terbatas pada mereka yang telah berkontribusi pada biaya produksinya atau hak atas
barang itu. Hanya karena seseorang memiliki hak untuk mengeluarkan orang lain dari sumberdaya
itu tidak berarti bahwa upaya mengeluarkan hak orang lain dapat dilakukan secara efektif. A. Schmid,
Property, Power, and an Inquiry into Law and Economy, (New York: Praeger, 1987), hlm. 43-54.
21
Keseluruhan areal ETN seluas 916.343 Ha, areal TNTN di dalamnya seluas 81.793 ha, yang telah
dirambah seluas 44.544 ha (54%). Areal eks PT. HSL seluas 45.990 ha dan areal eks PT. SRT seluas 38.560
ha, yang telah dirambah seluas 55.834 ha (66%). Disamping itu terdapat 13 perusahaan HTI dengan luas
sekitar 750.000 ha, 9 perusahaan terdapat klaim lahan. Juga terdapat HGU kelapa sawit 11 perusahaan
seluas 70.193 ha, diantaranya seluas 15.808 di dalam kawasan hutan. Laporan Koalisi LSM Riau, 2017.
22
Pada 1974 wilayah TNTN masih menjadi konsesi HPH PT. Dwi Marta (200.000 ha) dan PT.
Nanjak Makmur (48.370 ha). Pada 1993 dialihkan pengelolaan PT Dwi Marta kepada PT Inhutani IV
(BUMN). Tahun 2001—2002 kawasan tersebut oleh Pemda Kabupaten dan Provinsi setuju diubah
menjadi kawasan konservasi gajah dan tahun 2004 sebagian kawasan PT Inhutani IV (38.576 ha) diubah
fungsinya menjadi TNTN. Tahun 2009 areal PT. Nanjak Makmur juga diubah fungsinya menjadi TNTN.
Tahun 2014 kawasan TNTN ditetapkan dengan SK. KepMenHut No. 6588/Menhut-VII/KUH/2014,
28 Oktober 2014, tentang Penetapan Kawasan Hutan Taman Nasional Tesso Nilo seluas 81.793 Ha di
Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu. Laporan Menteri KLHK, 2018.
23
A. Agrawal, “Common Property Institutions and Sustainable Governance of Resources”, World
Development, Vol. 29, No. 10 (2001), hlm. 1649-1672.

258
Hariadi Kartodihardjo dan Chalid Muhammad
Mengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA):
Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau

2016-Juni 2018. Ditemukan kepemilikan dan lahan di atas 25 ha mencapai 19.839


lahan 0-5 ha seluas 903 ha, 6-10 ha selu- ha. Dari total 19.839 ha tersebut dikuasai
as 1.711 ha, 11-15 ha seluas 637 ha, 16-20 sekitar 165 orang pemilik modal (Lihat
ha seluas 952 ha, 20-25 ha seluas 586 ha Gambar 4)

Gambar 4. Identifikasi Penguasaan Lahan di ETN (Sumber: WWF Indonesia, 2016)

Pada gambar tersebut, di wilayah Sako. Di wilayah ini, pembukaan areal


Eks PT. HSL di Kecamatan Logas Tanah baru dan jual beli lahan harus memper-
Datar, Kabupaten Kuantan Singingi de- oleh izin dari pemangku adat Mandai-
ngan luas 9.586,37 ha, masuk dalam wi- ling. Pembukaan lahan perkebunan oleh
layah adiministrasi 4 desa, yaitu Situgal, masyarakat dan cukong di wilayah ini
Hulu Tesso, Sidodadi dan Girisako24. dimulai pada tahun 2005 yang diawali
Wilayah ini secara de facto di bawah pe- dengan keluarnya izin dari tokoh pemu-
nguasaan Masyarakat Adat Mandailing ka adat untuk pemodal/cukong. Dengan
yang berperan penting dan memiliki mekanisme serupa, saat ini hampir 80%
keterkaitan hubungan sosial dengan pe- areal eks PT.HSL telah terbuka dan di-
nguasaan lahan. Areal eks PT.HSL yang manfaatkan untuk perkebunan kelapa
masuk dalam wilayah adat Mandailing sawit.
Logas Tanah Darat meliputi 7 desa, yaitu Selain karakteristik SDA atau sifat
Desa Logas, Lubuk Kebun, Situgal, Hulu HEC tersebut, karakteristik sosial eko-
Tesso, Giri Sako, Sidodadi dan Kuantan nomi seperti etnis, pendidikan maupun

24
Diperoleh dari laporan evaluasi kegiatan revitalisasi ekosistem Tesso Nilo (RETN) yang disusun
oleh LSM di Riau, yang menjadi anggota Tim Operasional RETN, 13 Maret 2017.

259
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

kekayaan sangat menentukan potensi Peraturan yang menentukan tindak-


konflik dapat terjadi.25 Hasil penelitian an mana yang diperlukan, diizinkan
tentang faktor-faktor yang memenga- atau dilarang perlu “disarangkan”28. Da-
ruhi pengelolaan sumber daya bersama lam pelaksanaan RETN, peraturan yang
juga menyatakan bahwa, kejelasan batas menjadi fokus pelaksanaannya adalah
kelompok sebagai identitas bersama dan Permen KLHK No. P.83/MENLHK/
sejarah kerja sama lebih memungkinkan SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Per-
untuk mewujudkan manajemen sumber hutanan Sosial serta Perdirjen KSDAE
daya secara efektif.26 Namun, karakteris- No:P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018
tik pengguna SDA di ETN tidak meme- tentang Petunjuk Teknis Kemitraan
nuhi syarat pengelolaan sumber daya Konservasi pada Kawasan Suaka Alam
bersama seperti itu. Bahkan, dengan dan Kawasan Pelestarian Alam. Dengan
pengelolaan yang lemah, masyarakat kondisi banyaknya pelanggaran peng-
menentukan sendiri kebijakan dan cara gunaan SDA yang telah meluas di ETN,
alokasi lahan untuk kebun sawit. kekuatan aksi para pihak melalui ikatan-
ikatan yang ada, lebih besar daripada
B. Tata Kelola berjalannya kedua aturan tersebut. Di-
Faktor yang berkontribusi positif samping itu, sampai pertengahan 2018,
dalam pengelolaan SDA adalah trans- Provinsi Riau belum mempunyai Pera-
paransi. Karenanya, pemantauan secara turan Daerah mengenai penataan ruang,
independen sangat disarankan.27 Semen- belum terdapat acuan penyelesaian ma-
tara itu, besar-kecilnya ukuran unit SDA salah penggunaan tata ruang di tingkat
maupun batas-batas yang jelas, dapat provinsi.
meningkatkan daya pengamatan dan Berdasarkan kenyataan itu, persoal-
mengurangi biaya pemantauan penggu- an kerusakan ETN di sini dianggap ber-
naan SDA, sehingga dapat mengurangi asal dari kegagalan institutional yang
potensi konflik. Kedua faktor itu tidak kemudian berkembang menjadi persoal-
terpenuhi dalam situasi ETN. an politik akibat kekuasaan di lapangan

25
E. Ostrom, Understanding Institutional Diversity, (Princeton: Princeton University Press, 2005).
26
R. Wade, Village Republics: Economic Conditions for Collective Action in South India, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988).
27
E. Ostrom, Governing the Commons, (Cambridge: Cambridge University Press, 1990).
28
Yaitu tipikal untuk segenap aturan yang menentukan bagaimana segenap aturan lainnya dapat
diubah. Ostrom membedakan tiga jenis aturan: (a) aturan operasional yang mengatur keputusan se-
hari-hari, (b) aturan pilihan kolektif yang mempengaruhi bagaimana aturan operasional harus diubah,
dan siapa yang dapat mengubahnya; dan (c) aturan pilihan konstitusional digunakan dalam menyusun
aturan kolektif yang pada gilirannya mengatur aturan operasional. Ibid., hlm. 50-55.

260
Hariadi Kartodihardjo dan Chalid Muhammad
Mengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA):
Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau

melampaui apa yang dapat dilakukan


oleh negara. Untuk itu, pada pertengah- C. Arena Aksi
an 2016, sejalan dengan prioritas kerja Arena aksi merupakan “panggung”
Presiden mengenai target pelaksanaan untuk perundingan sosial yang dapat
perhutanan sosial, KLHK menjalankan dipilih oleh pelaku yang berbeda untuk
RETN melalui integrasi pendekatan ma- bekerja sama atau tidak30. Dalam hal ini,
syarakat, konservasi dan pengembangan penting mempertimbangkan karakteris-
wilayah.29 tik aktor yang terlibat, sumber daya ma-
Dibentuk juga Tim Operasional yang sing-masing aktor untuk mempengaruhi
secara langsung melakukan kegiatan di orang lain, serta kendala dan peluang
lapangan bersama semua Balai KLHK, yang disediakan regulasi.
Kepala TNTN, unsur Pemerintah Dae- Di balik terjadinya deforestasi dan
rah (Pemda), Kepolisian di tingkat Pro- adanya perkebunan kelapa sawit di
vinsi dan Kabupaten, LSM, akademisi ETN, terdapat berbagai bentuk mekanis-
serta Lembaga Adat Melayu. Ketua Tim me transaksi. Sebagai contoh, transaksi
(Kepala Balai Besar KSDA Riau), didam- penggunaan kawasan hutan yang di-
pingi oleh Jikalahari (sekretariat). Seba- rambah dan kemudian dijadikan kebun
gai bentuk kepemimpinan penghubung sawit pada eks PT.HSL di Kabupaten
(linking leadership), ditunjuk dua orang Kuantan Singingi dapat dikategorikan
senior advisor Menteri KLHK. menjadi 3 cara31, yaitu: (a). Jual beli. Ma-
Dalam naskah ini, respons yang ber- syarakat lokal mendapat izin dari tokoh
sifat institusional tersebut, dianggap se- adat dan/atau kepala desa untuk mem-
bagai kerangka penguatan institusional buka lahan di areal itu untuk perkebun-
yang secara konseptual diperlukan, keti- an, kemudian menjualnya kepada pihak
ka hierarki otoritatif untuk menegakkan lain seperti pendatang atau pada masya-
aturan, hubungan antara negara dan ko- rakat eks transmigrasi, (b). Hibah. Pem-
munitas di lapangan tidak memadai. berian lahan oleh pemuka adat dan desa

29
Hal itu sesuai dengan SK. MenLHK No. 267/Menlhk/Sekjen/HPL.4/3/2016 sebagaimana telah
diubah dengan SK MenLHK No. 376/Menlhk/Sekjen/HPL.0/05/2016 mengenai RETN dan Areal Ka-
wasan eks HPH PT.HSL dan eks HPH PT.SRT Berbasis Masyarakat.
30
Gregorio, M., K. Hagedorn, M. Kirk, B. Korf, N. McCarthy, and R. Meinzen- Dick. “Property Righ-
ts, Collective Action, and Poverty: The Role of Institutions for Poverty Reduction”. CAPRi Working Paper No.
81. (2008) Washington, DC: International Food Policy Research Institute.
31
Penjelasan pada bagian ini, khususnya mengenai proses penggunaan areal eks HPH PT. HSL,
diperoleh dengan menarasikan kembali laporan evaluasi kegiatan revitalisasi ekosistem Tesso Nilo
(RETN), yang disusun oleh LSM di Riau yang menjadi anggota Tim Operasional RETN, 13 Maret 2017.

261
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

kepada pihak lain, seperti hibah lahan kian, disadari bahwa kemungkinan ada
di areal eks PT.HSL,32 kepada masya- penolakan dari KUD Soko Jati, karena
rakat adat Pangean seluas sekitar 2.000 sebagain besar kebun yang berada da-
ha untuk meningkatkan ekonomi anak lam eks PT.HSL di Kuansing mengatas-
keponakan di dua suku, (c) Kemitraan. namakan KUD Soko Jati yang dimiliki
Masyarakat yang mengklaim lahan pada oleh Masyarakat Adat Pangean. Perke-
eks PT.HSL bermitra dengan pemodal/ bunan yang dimiliki cukong/pemodal
cukong untuk pembangunan kebun ke- juga menjadi anggota KUD tersebut.
lapa sawit. Strategi cukong dalam penguasaan
Pemanfaatan lahan di lokasi tersebut lahan yaitu dengan memberi janji kepa-
adalah untuk perumahan warga lokal da masyarakat setempat atau meminta
maupun pendatang, perkebunan kelapa tokoh adat mengeluarkan izin pembu-
sawit milik masyarakat Melayu, mantan kaan lahan untuk perkebunan sawit bagi
transmigran, masyarakat pembeli dari anak/keponakan. Meskipun demikian,
luar yang tinggal di desa, serta perke- manajemen produksi dan perawatan ke-
bunan pemodal/cukong. Kebun cukong bun dilakukan sendiri dan KUD35 hanya
itu biasanya dengan areal lebih dari 25 ha mendapatkan fee. Untuk menyebar kepe-
yang kepemilikannya didominasi oleh milikan kebun illegal tersebut, sebagian
pendatang dengan menggunakan ma- kebun dikapling-kapling menjadi 2 ha
syarakat lokal dan luar sebagai pekerja33. atas nama masyarakat sekitar dan pen-
Dalam kondisi demikian, tokoh ma- datang, terutama yang tinggal di Keca-
syarakat adat/desa cukup antusias me- matan Pangean dan Logas. Pekerja atau
ngelola lahan bekas PT.HSL bersama- masyarakat yang berada di lokasi kebun
sama dan bersedia ikut menertibkan seolah-olah menjadi pemilik kebun, pa-
kembali kepemilikan lahan yang saat itu dahal bukan.
sudah tidak dapat dikontrol oleh lemba- Proses transaksi hutan dan tanah
ga adat/desa. Dalam hal adanya ketidak- tersebut tidak terlepas dari penguasaan
jelasan status kepemilikan hutan/lahan, ekonomi Riau dari sektor perkebunan
masyarakat sepakat untuk mendorong kelapa sawit yang mendorong penggu-
lokasi perhutanan sosial34. Namun demi- naan kawasan hutan/lahan secara ille-

32
Sebagai wilayah adat suku Mandailing.
33
Sebagian lagi didatangkan dari daerah di sekitar, Nias dan Jawa.
34
Program pemerintah untuk merespons ketimpangan alokasi manfaat kawasan hutan negara.
Program ini mencakup izin Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa, Hutan Adat,
serta program kemitraan.
35
KUD Soko Jati.

262
Hariadi Kartodihardjo dan Chalid Muhammad
Mengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA):
Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau

gal.36 Menghadapi situasi demikian, ak- Terkait upaya pengambilan kepu-


tor-aktor internal terutama Pemda, yang tusan yang terkendala oleh kepentingan
diharapkan mengikuti sistem aturan dan kekuasaan, konsep kepemimpinan
khusus yang muncul dari perundingan penghubung (linking leadership) cukup
institusional RETN tidak cukup meres- strategis. Intervensi itu terbukti dapat
pons37. Sementara itu, balai-balai KLHK memengaruhi arena aksi dan dalam
dan jaringan LSM, cukup dapat meme- prakteknya membutuhkan sensitifitas-
ngaruhi proses kerja institutional yang reflektif terhadap dinamika kekuasaan.39
relatif dapat mengatasi hambatan peri- Sementara itu, aktor yang menjalankan
zinan perhutanan sosial. Menghubung- fungsi jejaring sosial memastikan kebe-
kan modal sosial kelompok masyarakat naran subjek dan objek dalam pelaksana-
dengan yang berwenang untuk mempe- an perhutanan sosial yang dicirikan oleh
ngaruhi kebijakan sangat penting untuk interkoneksi posisi maupun pengaruh.40
mengurangi konflik sosial yang lebih Dalam pelaksanaan RETN, aktor ini diisi
luas38. Dalam pelaksanaan RETN, peran oleh jaringan LSM di Riau, yaitu Jikalah-
Tim Kerja dan Tim Operasional meng- ari beserta mitra-mitranya.
upayakan menghubungkan modal sosi- Meski demikian, belum ditemukan
al itu, sehingga masyarakat lokal/adat agen perubahan dari Pemda, yang diha-
dapat menempati posisi sebagai subjek, rapkan dapat memengaruhi aktor lain
bukan sekadar objek. menuju jalur perubahan institutional

36
Dalam hasil kerja Pansus Komisi B DPRD Provinsi Riau yang diserahkan ke KPK terkait dengan
pelaksanaan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GNPSDA) Provinsi Riau disebutkan
perusahaan yang terdaftar di Dinas Perkebunan Provinsi Riau hanya 25 persen yang memiliki izin pele-
pasan kawasan hutan, 50 persen memiliki IUP-B atau IUP dan izin lokasi, serta 35 persen yang memiliki
izin HGU. Perusahaan perkebunan kelapa sawit illegal ditengarai seluas 1.594.484 ha karena berada di
dalam kawasan hutan.
37
Aktor internal yang dimaksud yaitu Dinas-dinas terkait di Provinsi Riau maupun Kabupaten
Pelalawan, Kampar serta Kuantan Singingi; yaitu lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan pe-
ngelolaan hutan dan lahan di luar kawasan konservasi. Itupun, pada sisi lainnya, perbaikan kebijakan
pengelolaan sumberdaya alam telah difasilitasi melalui program GNPSDA oleh KPK. Namun pelak-
sanaan review izin perkebunan dan tindakan terhadap hasil review tersebut hingga pertengahan 2018
belum dijalankan.
38
J. Pretty, “Social Capital and the Collective Management of Resources”, Science, Vol. 302, No.5652
(2003), hlm. 1912-4.
39
R. Ramirez, R. Stakeholder Analysis and Conflict Management in Cultivating Peace: Conflict and Colla-
boration in Natural Resource Management (ed. D. Buckles), (Ottawa: IDRC, 1999).
40
Ibid., sebagaimana juga dikemukakan dalam Bodin, O. and B. I. Crona. 2009. The role of social
networks in natural resource governance: What relational patterns make a difference? Global Environ-
mental Change 19:366–374.

263
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

permanen. Hal ini disebabkan oleh lu- peningkatan fungsi institusional?43 Sejak
asnya cakupan arena aksi di ETN diban- pelaksanaan RETN tahun 2016 hingga
dingkan aktor yang terlibat langsung,41 awal 2018, Tim Kerja mendorong pe-
sehingga terdapat jual-beli lahan untuk laksanaan penegakan hukum dengan
kebun sawit serta land clearing yang di- berbagai pihak seperti Ditjen Penegak-
lakukan di beberapa lokasi pada saat an Hukum KLHK, Polda Provinsi Riau,
RETN berlangsung. Untungnya kenya- Pemprov Riau, Kabupaten Kampar,
taan tersebut diketahui oleh Menteri Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Ind-
KLHK, sehingga tindakan pencegahan ragiri Hulu dan Kabupaten Kuantan Si-
dini pernah dapat dilakukan.42 Namun, ngingi. Telah dilakukan juga koordinasi
secara umum tanggapan Pemerintah da- dengan Polda Riau, khususnya terkait
lam menegakkan hukum dan menetap- penanganan kasus perambahan di ETN
kan izin-izin perhutanan sosial masih dan terhadap perusahaan Pabrik Ke-
mengalami hambatan. pala Sawit (PKS) yang menerima sawit
Lemahnya kelembagaan formal me- atau Tandan Buah Segar (TBS) dari ETN.
nyebabkan tindakan yang dilakukan Kapolda Riau pada 2017 telah mengelu-
oleh semua aktor yang terlibat tidak kon- arkan Surat Himbauan bagi PKS untuk
sisten sehingga bergantung pada aturan tidak menerima dan membeli TBS dari
dan kesempatan yang tersedia. Hal yang ETN. Selain itu, itu penanganan perkara
cukup menguntungkan ketika dalam perambahan TNTN atas nama Sukhdev
kasus RETN ini, Tim Operasional kebe- Singh sudah memasuki tahap persidang-
tulan dapat berkomunikasi langsung de- an dan dilakukan penangkapan alat be-
ngan Menteri KLHK maupun Direktur rat di area-area perambahan eks HPH
Jenderal terkait untuk menentukan lang- PT.SRT maupun TNTN.
kah yang diperlukan. Pada periode tersebut, Tim Opera-
sional mengidentifikasi pengguna lahan
D. Kinerja dan Pola Kerjasama secara partisipatif di dalam TNTN, yaitu
Apakah dalam pelaksanaan RETN di dalam dan sekitar Desa Bagan Limau.
masyarakat lokal/adat sebagai subjek Dilakukan juga beberapa langkah, yaitu:
mendapat manfaat? Apakah terdapat (a) identifikasi target penegakan hukum
41
Dalam pelaksanaan RETN ini keterlibatan swasta secara langsung sangat minimal. Swasta meng-
ikuti proses ini hanya melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari baik berupa sosialisasi
maupun pemberitahuan agenda-agenda yang dilaksanakan.
42
Terkait dengan upaya penyiapan rencana Presiden ke lokasi ETN, MenLHK pernah melakukan
perjalanan ke lapangan melihat lokasi-lokasi yang akan ditetapkan sebagai program perhutanan sosial
dan menemukan kasus tersebut.
43
Fungsi institusional itu sendiri dalam hal ini tidak diukur unsur-unsur pembentuknya, melain-
kan kinerja atau outcomes yang dihasilkannya. A. Schmid, op.cit.

264
Hariadi Kartodihardjo dan Chalid Muhammad
Mengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA):
Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau

terhadap pengguna lahan di TNTN; (b) mendapat legalitas izin Hutan Desa Gu-
sosialisasi RETN di Desa Bagan Limau, nung Sahilan seluas 2.942 ha.44 Sedang-
Lubuk Kembang Bunga dan Air Hitam; kan pengajuan HKm di Desa Gunung
(c) penanaman 125 ha tanaman kehutan- Sahilan dan Sahilan Darussalam seluas
an dan buah-buahan; dan (d) kemitraan 1.385 ha saat ini menunggu verifikasi
dengan TNTN Desa Lubuk Kembang teknis. Disamping itu, juga telah diaju-
Bunga dimana areal 12 ha dikelola oleh 5 kan Hutan Desa di Desa Sidodadi seluas
kelompok tani di Desa Lubuk Kembang 7.613,12 ha yang telah diverifikasi serta
Bunga. Pembinaan daerah penyangga pengajuan Perhutanan Sosial di Desa
TN dilakukan dengan penguatan kelom- Situgal seluas 939 ha, Hulu Teso 790 ha
pok masyarakat melalui pelatihan eko- dan Kuantan Sako, termasuk pemeta-
nomi bisnis dan kelembagaan, pemberi- an wilayah untuk pengajuan PS di Desa
an bantuan usaha, maupun penyusunan Hulu Teso seluas 790 ha, Situgal seluas
master plan pemberdayaan masyarakat. 939 ha dan Kuantan Sako.
Kemitraan wisata alam dengan masya- Adanya political will Pemerintah un-
rakat Desa Lubuk Kembang Bungo dihi- tuk menyelesaikan akumulasi puluh-
dupkan dengan mempertahankan keber- an tahun persoalan ETN melalui RETN
adaan hutan alam tersisa melalui ekspe- secara eksplisit baru berjalan sebatas
disi (patroli gabungan TNI dan POLRI) penyelesaian-penyelesaian administrasi
maupun membuat pos pengamanan di per­iz­ inan. Namun, secara implisit telah
batas hutan alam yang tersisa. tumbuh modal sosial, karena semua di-
Tim Operasional di eks HPH PT.SRT awali dengan pemetaan sosial termasuk
(didampingi Jikalahari) telah mendapat penguatan hubungan antar lembaga da-
legalitas penerbitan Hutan Desa seluas lam pengambilan keputusan. Namun,
9.210 ha di Desa Pangkalan Gondai Ke- adanya kondisi eksternal seperti HEC,
camatan Langgam, Kabupaten Pelala- sumber daya dengan akses terbuka ma-
wan. Pengajuan Hutan Desa Segati selu- upun buruknya tata kelola belum dapat
as 7.613 ha masih menunggu verifikasi dijawab melalui peningkatan kerja insti-
teknis, demikian juga pengusulan Hutan tusional yang dijalankan. Faktor penen-
Kemasyarakatan (HKm) di Desa Kesu- tu lemahnya pelaksanaan RETN pada
ma seluas 15.000 ha serta di Desa Sotol akhirnya dapat dialamatkan pada ren-
seluas 156,89 ha. dahnya kapasitas kelembagaan dalam
Tim Operasional di Eks HPH PT.HSL menghadapi kompleksitas arena aksi ak-
(didampingi Walhi Riau dan YMI) telah tor-aktor yang terlibat akibat puluhan ta-

44
Saat ini Rencana Kerja Hutan Desa dan Rencana Kerja Tahunan Hutan Desa Gunung Sahilan
telah disahkan.

265
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

hun penggunaan kawasan hutan secara kan hak-hak masyarakat.


illegal maupun keberlanjutan RETN itu Adanya kelompok LSM yang men-
sendiri. jalankan pemetaan sosial dan mengawal
langsung kegiatan di lapangan merupa-
IV. Pembelajaran kan unsur paling menentukan bagi ke-
Penelitian tentang pengelolaan sum- berhasilan program ini. Hal ini bercer-
ber daya bersama sudah lama dikritik min dari kondisi umum terkait perizinan
karena tidak memadai dalam memberi bagi masyarakat local dan adat yang ti-
perhatian kepada kekuatan lokal akibat dak didahului dengan pemetaan sosial.
perubahan politik, sosial maupun eko- Relasi antara kepemimpinan administra-
nomi.45 Pendekatan RETN ini dimak- tif, politik maupun LSM diperlukan un-
sudkan untuk memprioritaskan kekuat- tuk mencapai kinerja ini.
an lokal yang diawali dengan pemetaan Kedua, manfaat dari proses ini ada-
sosial, sekaligus memberi perspektif lah adanya pengakuan interaksi berbagai
kepada masyarakat terkait penggunaan aktor di berbagai tingkatan (melalui Tim
lahan atau hutan saat ini maupun yang Kerja dan Tim Operasional), yang men-
akan datang. Pada saat bersamaan, ke- dapat persetujuan atas rencana aksi yang
butuhan-kebutuhan yang mereka perlu- dijalankan, serta menguasai arena aksi
kan tetap menjadi perhatian. di mana pilihan-pilihan tindakan para
Prinsip utama dalam pelaksanaan aktor dibuat dan dijalankan. Proses yang
RETN adalah menumbuhkan trust anta- demikian. diharapkan dapat menjadi sa-
ra masyarakat lokal/adat dengan penge- rana pemberdayaan masyarakat melalui
lola.46 Pemetaan sosial dilakukan juga peningkatan potensinya guna mewujud-
untuk mendalami posisi setiap warga kan kegiatan produktif, maupun mendo-
maupun hubungan-hubungan sosial rong terjadinya refleksi peningkatan pe-
yang ada, sebagai calon peserta perhu- ran lembaga-lembaga pemerintah, LSM
tanan sosial. Hal ini dilakukan karena dan juga akademisi sebagai fasilitator
bertahun-tahun sebelumnya, masyara- perubahan.
kat lokal/adat mengembangkan ekono- Ketiga, sejarah, budaya, atau bentuk
mi dengan dasar-dasar modal illegal de- simbolis dari sumber daya tertentu da-
ngan berbagai kondisi benar-salah yang lam prakteknya sangat penting diperha-
kabur. Program ini seharusnya akan tikan sebagai instrumen menyelesaikan
mendudukkan kehadiran negara seba- konflik penggunaan SDA dimana ke-
gaimana semestinya, dengan memulih- lompok-kelompok yang bersaing saling

45
A. Agrawal., op.cit.
46
Pengelola kawasan konservasi dan kawasan hutan pada umumnya.

266
Hariadi Kartodihardjo dan Chalid Muhammad
Mengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA):
Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau

memperjuangkan nilai-nilai, narasi, ma- saian masalah, peningkatan kapasitas,


upun cara membingkai masalah. Untuk maupun penetapan urutan kegiatan.
itu, dalam proses administrasi perizinan Kerangka kerja demikian tentu sangat
seperti perhutanan sosial di lokasi ETN, berbeda dengan kerangka kerja birokrasi
seharusnya perhatian tidak hanya di- pemerintahan yang umumnya lebih me-
fokuskan kepada para calon penerima nitikberatkan pada pertanggungjawaban
izin tetapi juga kehidupan sosial-poli- administrasi. Dalam hal ini, bentuk ke-
tik masyarakat, dengan memperhatikan pemimpinan penghubung (linking leade-
adanya kemungkinan kecemburuan, pu- rship) menjadi kuncinya.
tusnya jaringan kerja, maupun pengem- Kelima, diperlukan upaya mengatasi
bangan ekonomi pasar untuk mendu- perbedaan nilai-nilai juga hubungan oto-
kung ekonomi rumah tangga yang men- ritas di antara berbagai aktor pemerintah.
jadi subjek utama. Oleh karena itu, reha- Oleh karena itu, kerangka kerja seperti
bilitasi keberadaan kampung-kampung ini seharusnya juga memasuki perspek-
tua maupun perbaikan rumah-rumah tif ekologi politik untuk melihat peran
adat juga tidak dapat dilepaskan dari kekuasaan atau kewenangan yang dapat
program perhutanan sosial tersebut. Hal menafikan proses-proses yang telah ber-
tersebut tidak dapat terlihat jika perhu- jalan serta sifat-sifat pemerintahan yang
tanan sosial hanya dilihat dari kacamata berbeda antara Pemda dan Pemerintah.
administratif perizinan. Keenam, solusi persoalan pengelola-
Keempat, pelaksanaan RETN ini an SDA di ETN ini membutuhkan ska-
dapat dilakukan atas kesadaran bahwa la ekosistem dengan kerja institutional
pelaksanaan program Pemerintah atau baru yang bersarang.47 Dari pelaksanaan
Pemda dan semua pihak yang terkait RETN, pendekatan ini memperhatikan
harus berorientasi pada hasil akhir, yai- keterkaitan wilayah-wilayah terutama
tu terwujudnya ruang hidup baru yang untuk pelaksanaan revitalisasi kawa-
lebih harmonis baik bagi masyarakat san konservasi, dengan sekaligus mem-
lokal, adat, maupun satwa liar melalui perhatikan kebutuhan masyarakat atas
pemulihan habitatnya. Hasil akhir itu lahan dan pemukimannya dengan me-
hanya dapat diwujudkan apabila berba- manfaatkan hutan produksi. Pendekatan
gai output kegiatan dari berbagai lemba- ini memberi keleluasaan untuk menda-
ga atau unit kerja dapat diintegrasikan pat alternatif cara penyelesaian masalah
melalui segenap pembahasan, penyele- di lapangan dengan tetap memperhati-

47
Sanginga, P., R. Kamugisha, and A. Martin. “The Dynamics of Social Capital and Conflict Mana-
gement in Multiple Resource Regimes: A Case of the Southwestern Highlands of Uganda. Ecology and Society”.
Vol. 12 No.1 (2007), hlm. 6.

267
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

kan kebutuhan perbaikan habitat mau-


pun ruang hidup satwa liar.
Ketujuh, dalam praktek ini diper-
lukan keterbukaan informasi karena
kepastian dan kebenaran kondisi di la-
pangan sangat menentukan keberhasil-
an suatu kegiatan dalam mencapai out-
come. Hal-hal yang terkait dengan proses
integrasi kegiatan maupun keterbukaan
informasi, semestinya menjadi bagian
dari program ini yang nantinya akan di-
laksanakan sendiri oleh Pemerintah dan
Pemda secara lebih utuh sesuai dengan
kewenangannya.
Dengan karakteristik SDA maupun
penggunanya yang khas dan menjadi
perhatian dalam proses ini, apabila di-
perhatikan secara saksama sesungguh-
nya yang diperlukan adalah perbaikan
kerangka kerja institutional dalam pe-
ngelolaan SDA. Kerangka kerja institu-
tional itu diharapkan dapat melanjut-
kan tindakan kolektif melalui hubungan
kerja inter dan antar pemerintahan serta
lembaga-lembaga non pemerintah. Tan-
tangan utama yang saat ini dihadapi
yaitu keberlanjutan program itu dari
pengaruh dinamika politik nasional dan
daerah yang sedang terjadi, karena kerja-
kerja ini masih jauh dari selesai.

268
Hariadi Kartodihardjo dan Chalid Muhammad
Mengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA):
Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau

DAFTAR PUSTAKA dia. Cambridge: Cambridge Univer-


Buku sity Press. 1988

Kartodihardjo, H. Analisis Kebijakan Pe-


ngelolaan Sumberdaya Alam: Dis- Artikel Jurnal/Media Massa
kursus-Politik-Aktor-Jaringan. Bo- Acheson, J.M. Institutional Failure in Reso-
gor: Firdauss Pressindo. 2017. urce Management.  Annual Review of
Keohane, R. and E. Ostrom. Local Com- Anthropology, 35, 2006.
mons and Global Interdependence. Lon- Agrawal, A. Common property institutions
don: Sage. 1995 and sustainable governance of resources.
Oakerson, R. J. Analyzing the commons: A World Development 29 (10), 2001.
framework. In Making the commons Bekkers, V., J. Edelenbos & B. Steijn, Lin-
work, ed. D. W. Bromley. San Francis- king Innovation to the Public Sector:
co: ICS Press. 1992. Contexts, Concepts and Challenges, in:
Ostrom, E. Governing the Commons. Bekkers, V., J. Edelenbos & B. Steijn
Cambridge: Cambridge University (eds.), Innovation in the public sec-
Press. 1990. tor: linking capacity and leadership.
__________. Polycentricity, complexity, and Houndsmills: Palgrave McMillan.
the commons. The Good Society 2011
9(2):37–41. 1999. Bekkers, V.J.J.M., Tummers, L.G., Stuijf-
__________. Understanding Institutional zand, B.G.; Voorberg, W. Social Inno-
Diversity. Princeton: Princeton Uni- vation in the Public Sector: An integrati-
versity. 2005Press. ve framework. LIPSE Working papers
(no. 1), Rotterdam: Erasmus Univer-
Ostrom, E., R. Gardner, and J. M. Walker. sity Rotterdam. 2013.
Rules, Games, and Common- Pool Reso-
urces. Ann Arbor, MI: University of Bodin, O. and B. I. Crona. The role of social
Michigan Press. 1994. networks in natural resource gover-
nance: What relational patterns make a
Poteete, A. R., M. A. Janssen and E. Os- difference? Global Environmental
trom. Working Together: Collective Ac- Change. 2009.
tion, the Commons, and Multiple Met-
hods in Practice. Princeton, NJ: Liu W. Beacom AM, Valente TW. Social
Princeton University Press. 2010. Network Theory. The International Enc-
yclopedia of Media Effects. John Wiley
Schmid, A. Property, Power, and An Inqu- & Sons, Inc. 2 0 0 7 . DOI: 10.
iry into Law and Economy. New York:
Praeger. 1987 1002/9781118783764.wbieme0092.

Wade, R. Village Republics: Economic Con- Pitelis, C. Towards a Neo-classical Theory of


ditions for Collective Action in South In- Institutional Failure.  Journal of Econo-
mic Studies, 19(1), 1992.

269
Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

Prell C, Hubacek K, Reed M. Stakeholder


analysis and social network analysis in
natural resource management. Society
& Natural Resources: An Internatio-
nal Journal. 22(6), 2009
Pretty, J. Social capital and the collective ma-
nagement of resources. Science
302(5652):1912–4. New York, NY.
2003.
Ratner, B.D, Ruth Meinzen-Dick, Canda-
ce May. Resource Conflict, Collective
Action, and Resilience: an Analytical
Framework. International Journal of
the Commons. Vol. 7, no 1 February
2013, 2013.
Sanginga, P., R. Kamugisha, and A.
Martin. The Dynamics of Social Capi-
tal and Conflict Management in Mul-
tiple Resource Regimes: A Case of the
Southwestern Highlands of Uganda.
Ecology and Society 12(1), 2007.
Woolthuis, R.K., Lankhuizen, M. & Gil-
sing, V. A system failure framework for
innovation policy design. Technovation,
25. 2005.

Lain-lain
AURIGA. Tipologi Penguasaan Lahan
Perkebunan Sawit di dalam Kawa-
san Hutan dan Strategi Penyelesaian-
nya. Kertas Kebijakan. Jakarta. 2019
Koalisi LSM Riau, 2017. Rencana Aksi Pe-
laksanaan Revitalisasi Ekosistem Tes-
so Nilo, Propinsi Riau. Pekanbaru.

270

Anda mungkin juga menyukai