Anda di halaman 1dari 6

Nama : Devina Aulia Marselli

NIM : 20/464042/SV/18361

Kelas : B

KRITERIA DAN INDIKATOR PENGELOLAAN HUTAN LESTARI

Pengelolaan hutan memberikan dua dimensi yang berbeda. Dimensi pertama


memposisikan peran dunia usaha kehutanan melalui pengusahaan hutan dan industrialisasi
kehutanan menjadi salah satu tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional selama
persoalan besar terkait dengan degradasi kualitas lingkungan. Namun pada sisi lainnya
ternyata pengelolaan hutan utamanya hutan tropis juga menyisakan suatu persoalan besar,
yaitu semakin menurunnya kuantitas dan kualitas hutan. Permasalahan-permasalahan yang
terjadi dalam pelaksanaan pengelolaan hutan di Indonesia sebagaimana dimaksud adalah
tingkat pembalakan melampaui tingkat pembalakan yang lestari, metode pembalakan yang
menimbulkan kerusakan ekologis berlebihan, regenerasi hutan yang buruk, berbagai
kebijakan dan pengaturan kelembagaan yang menyebabkan timbulnya praktik-praktik yang
mengabaikan kelestarian. Dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap meningkatnya laju
penurunan kualitas hutan produksi di Indonesia, maka pemerintah menetapkan kebijakan
untuk pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) yang diatur melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan yang selanjutnya telah dirubah dengan PP Nomor 3 Tahun 2008 dan
peraturan-peraturan turunannya.

Prinsipnya konsepsi Pengelolaan Hutan Lestari memiliki tiga tipe, yaitu kelestarian
hasil hutan, kelestarian potensi hasil hutan, dan kelestarian sumber daya hutan. Tipe
kelestarian sumber daya hutan adalah tipe pengelolaan hutan lestari yang menjadi target
pembangunan sektor kehutanan yang berkelanjutan. Expert Panel ITTO menyimpulkan
bahwa definisi operasional mengenai Pengelolaan Hutan Lestari perlu mencakup unsur-
unsur, antara lain hasil yang berkesinambungan berupa kayu, hasil hutan lainnya, dan jasa,
mempertahankan tingkat biodiversitas tinggi dalam konteks perencanaan tata guna lahan
yang integratif mencakup jaringan kerja kawasan lindung dan kawasan konservasi, menjaga
stabilitas fungsi dan ekosistem hutan dengan penekanan pada pemeliharaan produktivitas
tempat tumbuh (site productivity), serta menjaga sumber benih (plasma nutfah) dan unsur
biodiversitas yang diperlukan untuk regenerasi dan pemeliharaan hutan. Berdasarkan
pertimbangan yang cukup luas tersebut, ITTO mendefinisikan Pengelolaan Hutan Lestari
sebagai suatu proses pengelolaan hutan untuk mencapai satu atau lebih tujuan pengelolaan
yang secara jelas ditetapkan menyangkut produksi hasil hutan yang diinginkan dan jasa
secara berkesinambungan tanpa dampak yang tidak diinginkan, baik terhadap lingkungan
maupun sosial atau pengurangan nilai yang terkandung didalamnya dan potensi-potensinya
pada masa yang akan datang.

Hutan mempunyai fungsi produksi karena hutan bernilai ekonomi tinggi, seperti kayu,
rotan, gaharu, dan sebagainya. Hutan mempunyai fungsi ekologi karena hutan sangat penting
untuk kelangsungan mahluk hidup manusia, hewan, dan tumbuhan. Fungsi ekologi tersebut
diantaranya menyerap karbondioksida sekaligus menghasilkan oksigen bagi kehidupan,
sumber air, pencegah erosi dan banjir, habitat hewan, sumber keanekaragaman hayati, dan
sebagainya. Hutan juga mempunyai fungsi sosial karena hutan memberikan manfaat bagi
masyarakat diantaranya sumber pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat sekitar hutan
dan obat-obatan, sumber mata pencaharian, penelitian, dan sebagainya. Kegiatan
pemanfaatan hasil hutan kayu yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK akan menyebabkan
dampak terhadap ketiga fungsi tersebut, baik itu dampak positif maupun dampak negatif.
Dengan demikian, Pengelolaan Hutan Produksi Lestari seharusnya mencakup usaha-usaha
untuk meningkatkan dampak positif dan meminimalkan dampak negatif dari pengelolan
hutan, sehingga fungsi hutan lestari.

Adapun lima aspek pokok yang harus dipenuhi dalam rangka mewujudkan
pengelolaan hutan lestari, yaitu aspek kepastian dan keamanan sumber daya hutan, aspek
kesinambungan produksi, aspek konservasi flora fauna dan keanekaragaman hayati serta
berbagai fungsi hutan bagi lingkungan, aspek manfaat ekonomi bagi pembangunan bangsa
dan partisipasi masyarakat, dan aspek kelembagaan. Memperhatikan prasyarat dan ketentuan
yang harus dipenuhi dalam rangka mewujudkan sistem pengelolaan hutan lestari tersebut di
atas, maka tingkat keberhasilan pengelolaan hutan lestari tersebut akan sangat tergantung
pada beberapa faktor, antara lain kebijakan dan komitmen nasional serta kebijakan ekonomi
nasional, dukungan masyarakat terhadap kebijakan PHL, tersedia struktur pemerintahan yang
dapat menjamin bagi pelaksanaan kebijakan dan komitmen PHL, serta investasi yang cukup
dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya hutan. Faktor-faktor tersebut di atas pada
prinsipnya dapat dikelompokkan ke dalam dua komponen utama. Pertama, komponen
internal HPH yang terdiri dari kemampuan manajemen (modal, sumber daya manusia,
profesionalisme), sumber daya hutan, dan komitmen atau kebijakan manajemen. Kedua,
komponen eksternal yang terdiri dari level nasional (sistem manajemen pengelolaan hutan,
masyarakat hutan, kebijakan Kementerian Kehutanan, Program Pembangunan Nasional dan
Daerah) dan level global internasional (perkembangan isu global, perkembangan IPTEK, dan
persaingan global).

Kriteria dan Indikator (Criteria and Indicator) biasa digunakan sebagai singkatan
untuk menunjukkan keseluruhan hirarki yang saling berhubungan. Contohnya, tidak hanya
menyangkut Kriteria dan Indikator, tetapi juga Prinsip, Kriteria, Indikator, dan Penguji.
Prinsip merupakan sebuah pernyataan tingkat pertama (kebenaran yang hakiki/fundamental
atau hukum) yang mendasari kebijakan manusia tentang pengelolaan hutan oleh masyarakat
secara lestari (PHML). Prinsip ini mengacu kepada fungsi hutan atau aspek relevan dari
sistem sosial yang berinteraksi dan membentuk suatu payung bagi semua Kriteria, Indikator,
dan Penguji. Kriteria merupakan standar untuk mengetahui kemajuan yang dicapai dapat
memenuhi Prinsip. Kriteria merupakan refleksi ilmu pengetahuan yang menambah arti pada
Prinsip dan membuatnya menjadi berfungsi dengan cara menetapkan hutan/ masyarakat pada
situasi tertentu. Kelompok di dalam Kriteria mendukung masing-masing Prinsip. Indikator
merupakan komponen atau variabel hutan atau sistem pengelolaan yang mencerminkan
situasi yang diperlukan oleh Kriteria. Indikator disajikan sebagai informasi atau secara
tunggal sebuah pesan bermakna tentang komponen atau variabel (terdiri dari satu atau lebih
elemen data). Penguji merupakan data atau informasi yang diperlukan untuk menilai
indikator.

Kriteria dan Indikator (K&I) pengelolaan hutan lestari dapat dijadikan sebagai alat
komunikasi dan proses belajar yang sangat bermanfaat. K&I mudah diterapkan secara umum
dikembangkan di dalam kemitraan yang berpotensi untuk menjembatani masyarakat dengan
dunia luar dengan jalan membawa informasi ilmu pengetahuan dan pandangan dari luar serta
menyebarkan informasi mengenai pandangan, kebutuhan, dan keinginan yang ingin dicapai
oleh masyarakat. Kriteria dan Indikator dikembangkan secara lokal oleh stakeholder utama
dengan cara kerja sama partisipatif. Mengembangkan K&I dengan cara partisipatif, antara
lain (1) Menggali kebijakan, ilmu pengetahuan, observasi, dan pemahaman lokal, (2)
Mengidentifikasi kesenjangan atau kesalahpahaman, dan (3) Memperkuat peran suara
masyarakat di antara stakeholder lainnya. Kerja sama tersebut dapat dijadikan sebagai alat
yang berharga untuk mengambil pelajaran saling menguntungkan antara masyarakat dan
mitranya, saling bertukar pengetahuan lokal, ilmiah dan pengetahuan dari luar serta dapat
mengarahkan semua langkah menuju pengelolaan hutan yang lestari. Semuanya ini akan
menghasilkan suatu struktur organisasi yang melibatkan pertukaran informasi dan ilmu
pengetahuan tentang pengelolaan hutan lestari.

Hasil K&I dapat digunakan oleh masyarakat sebagai alat untuk menyusun tujuan bagi
pengelolaan hutan lestari, membimbing kegiatan, pemantauan, dan penilaian serta proses
belajar. Penggunaan K&I dengan proses iteratif dapat membantu mengadaptasi pengelolaan
ke arah kelestarian. Penerapan K&I sebagai alat pemantauan dapat memudahkan masyarakat
untuk menyusun tujuan pengelolaan hutan lestari, membantu memahami informasi penting
menyangkut dampak pengelolaan, membantu penilaian dan evaluasi kemajuan dalam
mencapai tujuan, dan mendorong masyarakat untuk menerapkan strategi dan langkah
pengelolaan. Proses pemantauan dan pengembangan K&I dapat berbentuk formal atau
informal tergantung konteksnya. K&I dalam bentuk formal, contohnya pemerintah mengakui
Kehutanan Masyarakat melalui dokumen tertulis rencana pengelolaan tahunan, sedangkan
sistem PHM (Pengelolaan Hutan oleh Masyarakat) yang sedikit formal atau lebih tradisional,
contohnya pada saat pengelolaan diterapkan sepenuhnya secara lisan, kesepakatan
masyarakat internal, dan/atau pada situasi, dimana pemerintah belum mengakui.

Pokok-pokok yang mencakup arti luas yang diwujudkan ke dalam empat pedoman
prinsip/ dasar untuk menjaga kelangsungan PHM, antara lain kesejahteraan masyarakat
(kelembagaan) terjamin, kesejahteraan rakyat terjamin, kesehatan lanskap hutan terjamin, dan
lingkungan eksternal mendukung PHML. Hal tersebut dapat dimengerti oleh masyarakat dan
mungkin akan menjadi titik awal yang tepat untuk menghasilkan gambaran di lokasi yang
bersangkutan dan prinsip-prinsip yang disepakati dalam mendukung K&I. Prinsip pertama,
yaitu kesejahteraan masyarakat terjamin. Dalam mengembangkan K&I untuk kesejahteraan
suatu masyarakat, masalah utama adalah menyangkut kemampuan masyarakat tersebut untuk
mengelola dan mengatur fungsi ganda, yaitu penggunaan dan manfaat hutan secara kolektif,
sehingga manfaatnya dapat terbagi rata untuk perorangan, rumah tangga maupun kelompok
yang pada akhirnya sumber daya hutan dapat menghasilkan kegunaan dan manfaat untuk
masa depan. Tiga lokasi uji K&I (Kamerun, Brazil, dan Indonesia) dikembangkan sebagai
titik awal/ acuan untuk kegunaan di masa mendatang untuk situasi PHM lainnya dan untuk
membandingkan di antara lokasi uji, maka masalah-masalah tersebut dikelompokkan ke
dalam organisasi masyarakat dan partisipasi, mekanisme pengelolaan lokal (norma,
peraturan, Undang-Undang, dll), manajemen konflik, dan kewenangan untuk mengelola
(status kepemilikan).
Prinsip kedua, yaitu kesejahteraan rakyat terjamin. Diakui secara luas bahwa manusia
yang memiliki mata pencaharian bersumber dari lahan hutan dan tergantung pada sumber
daya hutan serta memperoleh kesejahteraan yang lebih tinggi dengan berinteraksi dengan
hutan, memiliki kepentingan pribadi untuk mempertahankan kelangsungan hidup/ kelestarian
hutan tersebut. Cakupan K&I yang luas di tiga lokasi tersebut menandakan betapa bernilainya
hutan bagi penduduk setempat. Pada prinsip kedua ini dikelompokkan dalam empat sub-
bagian, antara lain kesehatan dan makanan, kesejahteraan (mata pencaharian, pembagian
biaya dan keuntungan, kesetaraan), kebijaksanaan dan kebersamaan dalam berbagi ilmu
pengetahuan, dan kesepakatan kepemilikan lahan di dalam masyarakat.

Prinsip ketiga, yaitu kesehatan hutan terjamin. Prinsip ini memberikan gambaran
bahwa seluruh lanskap ada dalam kondisi yang baik sebagai hasil dari sistem pengelolaan
yang ditetapkan. Prinsip yang sangat luas ini ditujukan agar secara umum cukup untuk
memperoleh berbagai cara pandang/ pola pikir masyarakat yang berbeda terhadap sumber
daya yang mereka miliki. Hal tersebut meliputi kondisi daratan dan perairan, kesehatan
ekologi hutan, kondisi dan pengelolaan bagian lanskap yang digunakan secara permanen atau
sementara untuk budidaya, dan ekstraksi/ pemanenan kayu, rotasi perladangan berpindah,
agroforestri, dan silvikultur. Pada prinsip ketiga ini dikelompokkan menjadi beberapa sub-
bab, antara lain perencanaan (zonasi dan kawasan dilindungi), pengelolaan fungsi ekosistem
(daratan, air, dan api), intervensi produktif 1 (pertanian dan agroforestri), intervensi produktif
2 (HHBK berupa tumbuhan), intervensi produktif 3 (HHBK berupa satwa), intervensi
produktif 4 (kayu), kesehatan hutan 1 (keanekaragaman hayati), kesehatan hutan 2 (struktur
dan regenerasi), dan keanekaragaman lanskap (fragmentasi dan mozaik).

Prinsip keempat, yaitu lingkungan eksternal mendukung PHML. Prinsip ini


menangkap ide bahwa dalam upaya pengelolaan secara lestari, masyarakat didukung oleh
badan-badan eksternal seperti pemerintah beserta lembaganya dan LSM. Dalam penataan
pengelolaan bersama (co-management), upaya untuk melibatkan kriteria eksplisit yang
berhubungan dengan “kesehatan” hubungan kemitraan antara masyarakat dan mitra
pengelolanya mungkin merupakan suatu gagasan yang baik. Di ketiga lokasi uji, co-
management bukan merupakan isu dan pada kenyataannya cakupan isu yang berhubungan
dengan badan eksternal sangat bervariasi. Isu tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat
bagian, yaitu hubungan dengan pihak ketiga, kebijakan dan kerangka hukum (tidak termasuk
status kepemilikan), ekonomi, serta pendidikan dan informasi.
REFERENSI

Nurtjahjawilasa, dkk. 2013. Modul: Konsep dan Kebijakan Pengelolaan Hutan Produksi
Lestari dan Implementasinya (Sustainable Forest Management/SFM). Jakarta:
Program Terestrial The Nature Conservancy Indonesia.

Ritchie, Bill, dkk. 2001. Pedoman Pendahuluan: Kriteria dan Indikator Kelestarian Hutan
yang Dikelola Masyarakat (Community Managed Forest). Jakarta: Center for
International Forestry Research.

Anda mungkin juga menyukai