Anda di halaman 1dari 344

Larik Tenure

LARIK TENURE
MENYIGI KONFLIK TENURIAL DI KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA

Syafrizaldi Jpang

Memperkenalkan:

Alqaf Afandi
Fajar Septyono
Lika Aulia Indina
Alias Gayak
Jeje Siahaan
Diar Ruly Juniari
Nurhadi
Laurio Leonald
Teguh Bimantara
Sakti Ayoga Pratama
Vinna Mulianti
Eka Muliawati Putri
Arif Aliadi
Sugeng Raharjo
Kosmas Damianus Olla
Mansyur
Kaswinto
Asep Budi Wahyono
Rachmat Firmansyah
Evi Susanti
Hironimus Pala
Thomas Oni Veriasa

Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)


Maret 2022
ISBN : 978-623-99217-0-5
hjhhh

LARIK TENURE
Menyigi Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi di Indonesia

Penulis : Syafrizaldi Jpang

Memperkenalkan : Alqaf Afandi I Fajar Septyono I Lika Aulia Indina I Alias Gayak I
Jeje Siahaan I Diar Ruly Juniari I Nurhadi I Laurio Leonald I Teguh Bimantara I Sakti
Ayoga Pratama I Vinna Mulianti I Eka Muliawati Putri I Arif Aliadi I Sugeng Raharjo
I Kosmas Damianus Olla I Mansyur I Kaswinto I Asep Budi Wahyono I Rachmat
Firmansyah I Evi Susanti I Hironimus Pala I Thomas Oni Veriasa

Grafis & Perwajahan : Rahmat

Penerbit
Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)
Jalan Sutera No. 1, Situgede, RT.02/RW.05, Bubulak, Kec. Bogor Baru, Kota Bogor,
Jawa Barat 16115

ISBN : 978-623-99217-0-5

Kerjasama :
LATIN – USAID BIJAK – KEMITRAAN - GMA

Buku ini ditulis berdasarkan hasil kajian pada beberapa kawasan konservasi di Indonesia.
Isi buku sepenuhnya menjadi tanggung jawab para penulis dan bukan mencerminkan
pandangan LATIN maupun pihak-pihak yang mendukung penerbitan buku ini

© LATIN Maret 2022


Larik Tenure

Pengantar LATIN

K terjadi
onflik antara masyarakat dengan pengelola kawasan konservasi sudah
sejak lama. Konflik tersebut berkaitan dengan pemanfaatan
lahan, seperti; perladangan, pemukiman, kepentingan adat, pembukaan
jalan, dan sebagainya. Semua konflik tersebut menyangkut sistem tenure
di kawasan konservasi. Sistem tenure sendiri, seperti diuraikan dalam buku
ini, merupakan sebuah sistem yang kompleks, dan menyangkut berbagai
macam kepentingan. Berbagai penelitian telah dilakukan kalangan
akademisi misalnya oleh Mulyani S. (1997), Fazriyas (1998), Soekmadi
(1995) dalam Prabandari (2001), dan Suraji (2003).

Tak hanya itu, solusi untuk penanganan konflik tenurial di kawasan


konservasi juga telah banyak diteliti. Beberapa peneliti yang telah
melakukan riset tentang hal tersebut antara lain Muda di Taman Nasional
Kelimutu (2005), Prabandari (2001), dan Fazriyas (1998) di Taman Nasional
Kerinci Seblat, serta Mustafa di Taman Nasional Meru Betiri (2002).

Ketika kajian dilakukan, sayangnya, masih sedikit contoh-contoh


penyelesaian konflik lahan di kawasan konservasi. Beberapa contoh,
misalnya melalui penyusunan kesepakatan kerjasama yang mengatur hak
dan kewajiban masyarakat dan pengelola kawasan konservasi.

Pada umumnya, solusi yang dilakukan adalah melalui pengembangan


kegiatan ekonomi di luar kawasan konservasi atau di zona penyangga.
Solusi ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat
terhadap kawasan konservasi. Inisiatif solusi kemudian berkembang, tidak
hanya melalui pengembangan kegiatan ekonomi, tetapi melalui kegiatan
kolaborasi atau kemitraan.

Gagasan, inisiatif dan model kemitraan pengelolaan kawasan konservasi


sebenarnya sudah berjalan sebelum tahun 2005. Dalam Sarasehan
Nasional Membangun Kemitraan Taman Nasional di Indonesia yang
diadakan bulan Agustus 2005, telah teridentifikasi 47 bentuk gagasan,
inisiatif dan model kemitraan dalam pengelolaan Taman Nasional. Hal ini
terdistribusi pada 37 kawasan Taman Nasional di seluruh Indonesia
(Noegroho, 2005). Perlu pula dicatat bahwa sejak tahun 2005 Departemen

1
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Kehutanan telah memulai inisiatif Taman Nasional Model, dengan


kolaborasi sebagai salah satu komponen utamanya (Fathoni, 2005).

Inisiatif tersebut berlanjut seiring perkembangan regulasi di level nasional.


Bahkan diikuti pula dengan berbagai modifikasi di lapangan.

Namun demikian, pendekatan kolaborasi dalam pengelolaan taman


nasional masih dianggap tidak optimal karena alasan-alasan: 1) Belum
terencana secara komprehensif walaupun telah tersusun Permenhut
No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Pengelolaan Kolaboratif, 2) Kolaborasi
yang efektif dan efisien dalam pengelolaan taman nasional belum dipahami
oleh Pengelola maupun para pihak, 3) Belum didasarkan pada collaborative
planning sehingga setiap pihak berpikir dan bekerja berdasarkan
institusinya masing-masing, 4) Sumber daya yang meliputi 4M – man
(sumber daya manusia), money (anggaran), material (peralatan), dan
method (metode atau cara) – belum memadai, juga sangat tidak terintegrasi
dengan baik. Perlu digaris-bawahi, bahwa sumber daya yang dibutuhkan
tersebut tidak seluruhnya dimiliki oleh Departemen Kehutanan. Tetapi
tersebar di berbagai pihak seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
penyandang dana, Pemerintah Daerah, dan bahkan swasta. Oleh karena
itu, kemitraan atau kolaborasi adalah keniscayaan dalam inisiasi Taman
Nasional Model (Fathoni, 2005).

Lepas dari alasan-alasan tersebut, pendekatan kolaborasi masih belum


dapat menjawab persoalan konflik tenurial di lapangan. Konflik tenurial
terus berlanjut, bahkan sampai pada level yang cukup mengkhawatirkan.
Kasus perambahan di beberapa taman nasional misalnya, telah menjadi
momok sejak 1998. Hingga kini, perambahan masih menjadi persoalan
utama yang mesti mendapat perhatian serius. Tak hanya kemitraan,
bahkan memerlukan upaya penegakan hukum dan revisi zonasi taman
nasional.

Pada 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)


mengeluarkan Peraturan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan
Ekosistem (KSDAE) nomor 6 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi
di Kawasan Pelestarian Alam dan Kawasan Suaka Alam. Peraturan ini
mungkin dapat dikatakan sebagai terobosan, karena mengatur soal
keterlanjuran pemanfaatan lahan di dalam kawasan konservasi. Ditjen

2
Larik Tenure

KSDAE tentunya berharap agar aturan ini dapat menjadi salah satu solusi
atas konflik tenurial di kawasan konservasi.

Konflik tenurial yang terjadi di kawasan konservasi memiliki beberapa


bentuk dan tipe dengan skala dan intensitas yang berbeda-beda. Upaya
penyelesaian konflik tenurial harus disesuaikan dengan bentuk, tipe, skala
dan intensitasnya, serta menampung dinamika aspirasi dan peran serta
masyarakat. Dengan itu, diharapkan agar Hak Asasi Manusia – sebagai
warga negara – tetap terjamin dengan tetap mengedepankan aspek
perlindungan fungsi kawasan.

Pendekatan penyelesaian konflik tenurial di kawasan konservasi perlu


disajikan dengan gambaran jelas. Berikut gambaran mengenai masyarakat
dan aktivitasnya, lantas mengelompokkannya ke dalam tipologi tertentu.
Hal ini tentu dapat membantu upaya pendekatan dan penyelesaian konflik.

Sejak April 2020, USAID-BIJAK telah mendukung LATIN untuk bekerja sama
dengan Ditjen KSDAE dalam mengimplementasikan solusi penanganan
konfik tenurial melalui Kemitraan Konservasi dan Zonasi di beberapa taman
nasional. USAID-BIJAK mendukung LATIN untuk melaksanakan program
yang bertajuk Implementasi Kemitraan Konservasi dan Rezonasi sebagai
Pilihan Resolusi Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi, yang Didukung
dengan Sistem Informasi Manajemen.

Sambil berjalan, program didokumentasikan dalam catatan-catatan dan


laporan terpisah. Seiring itu, USAID-BIJAK juga mendukung KEMITRAAN
menuliskan berbagai pembelajaran di lapangan pada November 2020
hingga April 2021. LATIN kemudian berinisiatif membukukan catatan,
laporan dan pembelajaran tersebut dalam bentuk buku. Buku ini adalah
salah satu buku yang ditulis berdasarkan pengalaman para praktisi yang
bekerja bersama masyarakat dan staf Unit Pelaksana Teknis (UPT) dalam
menangani konflik tenurial di kawasan konservasi. Para praktisi tersebut
berasal dari tokoh masyarakat, staf Balai Taman Nasional atau Balai
Konservasi Sumber Daya Alam, maupun staf LSM pendamping masyarakat.

Buku ini mencoba mengambil pembelajaran dari kerja-kerja penanganan


konflik tenurial yang sudah mereka lakukan di TN Meru Betiri, TN Gunung
Rinjani, TN Bukit Baka Bukit Raya, TN Sebangau, TN Bantimurung

3
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Bulusaraung, TN Bukit Dua Belas, TN Lore Lindu, dan Suaka Margasatwa


(SM) Kateri.

Oleh karena itu, buku ini tidak berangkat dari teori konflik yang menjelaskan
teori terjadinya konflik, tahapan konflik tenurial, maupun proses
penyelesaian yang dilakukan secara teoritis. Sebaliknya buku ini
menceritakan konflik apa adanya, bagaimana konflik itu berkembang
sampai mencapai puncaknya, dan apa yang dilakukan untuk
menyelesaikannya.

Buku ini terdiri dari 2 bagian. Buku Pertama, berkisah tentang keadaan dan
dinamika konflik tenurial di lapangan. Harapannya, catatan tersebut
membantu pembaca membayangkan apa yang telah dan sedang terjadi.

Sementara di Buku Kedua, berkisah tentang temuan-temuan dan hasil


diskusi. Buku Kedua secara umum memberikan gambaran tentang watak
sengketa tenurial, dan bagaimana mengurai sengkarutnya. Kecuali itu,
bagian ini juga berisi catatan-catatan penting tentang bagaimana
menangani sengketa tenurial di kawasan konservasi di Indonesia, termasuk
penanganan konflik melalui kemitraan konservasi dan zonasi kawasan
konservasi.

Buku ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada semua pihak,


terutama bagi para praktisi konservasi di lapangan. Hal ini penting guna
melindungi dan menjaga kawasan konservasi sambil tetap mencari pilihan-
pilihan penyelesaian sengketa dengan pendekatan win-win solution.

Terima Kasih,

Arif Aliadi

4
Larik Tenure

Catatan Perawi

L ARIK TENURE adalah deretan baris syukur hanya untuk Sang Maha
Agung. Allah Yang Maha Penyayang memberikan kesempatan,
menganugerahkan pikiran dan segalanya. Dia Yang Maha Perencana
memberikan segala nikmat yang memungkinkan kami menyelesaikan larik
demi larik catatan ini. Alhamdulillah, segala pujian hanya untuk Allah. Dia
Yang Penguasa Bumi, Langit dan Semesta Alam itu telah mengizinkan LARIK
TENURE sampai ke tangan Pembaca.

Buku ini dirawikan dari kisah-kisah langsung para pelaku di lapangan. Dia
bersumber dari obrolan renyah di tepi-tepi hutan, di kantor Balai Taman
Nasional, di warung kopi, tempat makan, ruang pertemuan, serta tempat-
tempat lain yang masih mungkin menyediakan ruang untuk bicara.

LATIN melalui dukungan USAID BIJAK memotori riset di lapangan.


Dukungan ini juga disalurkan melalui KEMITRAAN yang menjalankan target
penulisan kerangka awal buku ini selama periode November 2020 hingga
April 2021. Kendati demikian, kisah-kisah sesungguhnya mulai dicatat saat
LATIN mengimplementasikan program pada April 2020.

Secara paralel, Tim LATIN dan Global Mata Angin (GMA) bekerja di
lapangan. Hingga pada satu titik, hasil temuan lapangan harus dipadukan.

Para Kontributor; Alqaf Afandi, Fajar Septyono, Lika Aulia Indina, Alias
Gayak, Jeje Siahaan, Diar Ruly Juniari, Nurhadi, Laurio Leonald, Teguh
Bimantara, Sakti Ayoga Pratama, Vinna Mulianti, Eka Muliawati Putri, Arif
Aliadi, Sugeng Raharjo, Kosmas Damianus Olla, Mansyur, Kaswinto, Asep
Budi Wahyono, Rachmat Firmansyah, Evi Susanti, Hironimus Pala, dan
Thomas Oni Veriasa, menyebar dan tinggal di tempat berbeda.

Mereka merelakan sebagian waktunya tersita untuk menulis buku ini,


sungguh sebuah pengorbanan penting. Mereka meninggalkan rumah dan
keluarga sementara waktu untuk menyajikan menu bacaan bagi
pembacanya. Pedih dan nikmatnya perjalanan lapangan untuk menggali
informasi telah mereka lewati. Bahkan, tak jarang mereka turut pusing
kepala lantaran urusan birokrasi dan administrasi. Namun semua itu
terbayar, buku ini hadir di hadapan pembacanya.

5
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Penting dicatat, bahwa buku ini ditulis beriringan dengan lahirnya Undang-
Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK). Namun buku ini
sendiri tidak memasukkan pembahasan tentang hal tersebut.

Sebelum UUCK, UU 41 tentang Kehutanan tidak memuat nomenklatur


Perhutanan Sosial (PS). Peraturan Pemerintah (PP) nomor 6 tahun 2007
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta
Pemanfaatan Hutan, juga tidak menegaskan PS, tetapi menggunakan istilah
Pemberdayaan Masyarakat. PP 6 tahun 2007 lebih banyak mengatur
perizinan pemanfatan hutan kepada korporasi. Sementara pengaturan PS
secara khusus diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (Permen LHK) nomor P.83/MENLHK/SET.JEN/KUM.1/10/2016.

Di dalam UUCK, menyantumkan Pasal 29A dan 29B yang secara jelas dan
tegas menjadi landasan hukum PS. Setelah itu lahir PP nomor 23 tahun 2021
tentang Penyelenggaraan Kehutanan. PP 23/2021 mengatur PS secara
khusus dalam satu bab. Lantas barulah lahir Permen LHK nomor 9/2021
tentang Pengelolaan PS.

Sebelum adanya UUCK, penyelesaian masalah tanah dalam kawasan hutan


– baik TORA, maupun PS – sangat terbatas. UUCK lantas menyediakan
ruang penyelesaian melalui pendekatan restorative justice (keadilan
restoratif), berikut dengan penyelesaian permasalahan penguasaan tanah
dan jumlah minimal kecukupan luas hutan dalam satu wilayah provinsi,
pulau dan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Lepas dari hiruk-pikuk dan polemik UUCK, catatan dalam buku ini mencoba
menyigi lebih dalam mengenai konflik tenurial di kawasan konservasi di
Indonesia. Setidaknya, studi lapangan dilakukan di 7 Taman Nasional dan 1
Suaka Margasatwa di Indonesia.

Pada akhirnya, Pembaca berkesempatan memberikan penilaian, kritik


maupun saran. Kami mengucapkan terima kasih untuk itu, dan selamat
menyimak.

Tabik,
Syafrizaldi Jpang

6
Larik Tenure

Belajar dari Lapangan


Indonesia adalah surga de ga e aga ke ik ata . Da i sisi su e
daya alam, khususnya keragaman hayati dan lanskap alami, Indonesia
adalah untaian berlian dengan 556 unit kawasan konservasi, terbentang
mewakili hampir seluruh tipe ekosistem seluas 27,14 juta hektarehektare,
dimana 5 juta hektare di antaranya adalah Kawasan konservasi Perairan.
Ragam tipe ekosistem mulai dari puncak es di TN Lorentz, hutan
pegunungan tinggi, hutan dataran rendah, savana, pantai, ekosistem
gambut, mangrove, karst, padang lamun sampai terumbu karang.

Sekitar 60,1% dari total kawasan konservasi itu berstatus sebagai taman
nasional. Bahkan sebagian diakui secara global sebagai World Heritage,
Biosphere Reserve, ASEAN Heritage, Ramsar Site, dan Geopark. Pengakuan
global merupakan bukti bahwa kawasan konservasi di Indonesia memiliki
nilai penting bagi konservasi keanekaragaman hayati dan lanskap penting
bernilai global yang ada di bumi ini. Kawasan konservasi juga berfungsi
se agai dae ah esapa ai , pa ik ai , pe li du ga hid ologi, ikli mikro,
kesuburan tanah, sumber mikroba, keseimbangan siklus air, penyimpan
karbon dan menjaga kesehatan daerah aliran sungai dari hulu sampai ke
hilir.

Kawasan konservasi dikelilingi oleh 6.474 desa penyangga dengan 16 juta


jiwa penduduk yang hidupnya bergantung atas kelestarian kawasan
konservasi tersebut. Dengan perkembangan pembangunan, mobiltas
penduduk dan pertumbuhan penduduk, perubahan penggunaan Kawasan
hutan dan lahan, lebih terbukanya akses di sekitar kawasan konservasi,
maka sering terjadi konflik satwa liar, perburuan dan pedagangan satwa liar,
konflik tenurial, fragmentasi habitat dan sebagainya.

Pergulatan pengelolaan kawasan konservasi itu akhirnya sampai pada titik


dimana cara pandang pengelolaan kawasan harus dirubah. Dari itu, arahan
tentang 10 Cara (Baru) Kelola Kawasan Konservasi, dimana masyarakat
sekitar diposisikan sebagai subjek, penghormatan HAM, Adat dan Budaya,
7
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

sangat relevan untuk menjawab berbagai persoalan tersebut. Demikian


pula arahan tentang pentingnya kerjasama lintas Eselon I yang seturut
dengan kerjasama lintas Kementerian, pentingnya membangun multilevel
Leadership, Scientific Based Decision Support System, Resort (Field) Based
Management, Reward and Mentorship. Kesemuanya akan dapat berjalan
baik jika prinsip Learning Organization juga diterapkan secara adaptif dan
konsisten.

Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen


KSDAE) di lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
menerapkan hal tersebut pada berbagai level dan aspek kebijakan yang
diterjemahkan ke dalam program dan menukik pada implementasi
Kemitraan Konservasi di tingkat tapak.

Kajian tentang resolusi konflik yang dilakukan di 3 TN (TN Lore Lindu, TN


Bukit Dua Belas, TN Gunung Rinjani) menggambarkan pendekatan baru
dalam menyelesaikan konflik. Penyelesaian konflik tidak langsung
dilakukan secara represif. Pendekatan baru dimulai dengan assessment
untuk mengetahui akar konflik, para pihak yang terlibat konflik, tawaran
dari para pihak untuk menyelesaikan konflik, dan seterusnya. Hal ini yang
kemudian diikuti dengan analisa konflik untuk mencari opsi atau pilihan
penyelesaian konflik yang disepakati secara Bersama menjadi agenda
bersama. Salah satu pilihan penyelesaian yang dipilih adalah kemitraan
konservasi.

Demikian pula, kemitraan konservasi sebagai opsi resolusi konflik telah


dilaksanakan oleh para pengelola kawasan konservasi di berbagai daerah di
Indonesia, termasuk TN Meru Betiri, TN Sebangau, TN Bukit Baka Bukit Raya
dan TN Bantimurung Bulusaraung dan di SM Kateri.

Kecuali itu, resolusi konflik tenurial secara paralel juga turut dilakukan di
kawasan konservasi lainnya. Berikut pula upaya-upaya Kemitraan
Konservasi yang disediakan sebagai salah satu model penyelesaian.

8
Larik Tenure

Seperti yang pernah kami ungkapkan, bahwa pengelolaan kawasan


konservasi di Indonesia mesti juga mengedepankan prinsip extended family
and no one left behind. Kami beruntung karena Keluarga Besar Ditjen
KSDAE tidak sendiri. LATIN telah menjadi extended family kami sepanjang
tahun. Mereka mengadaptasi pendekatan Kemitraan Konservasi sebagai
upaya resolusi konflik tenurial pada kawasan konservasi yang kami sebutkan
di atas. Berbagai pengalaman dan pembelajaran yang diperoleh selama
melaksanakan kemitraan konservasi menjadi menarik untuk
didokumentasikan sebagai bahan untuk mendorong dan memperbaiki
implementasi Kemitraan Konservasi ke depan di berbagai tempat lainnya.

Buku ini menjadi bukti keseriusan kebijakan Kemitraan Konservasi dalam


upaya penanganan konflik tenurial di berbagai kawasan konservasi. Buku ini
menjadi lebih berharga karena ditulis berdasarkan pengalaman lapang.
Buku ini juga menjadi pelengkap sekaligus konfirmasi atas 10 Cara (Baru)
dalam pengelolaan kawasan konservasi. Kami turut bangga atas hadirnya
catatan lapangan yang merupakan evidence based dan sekaligus sebagai
experience based ini.

Dokumentasi seperti ini perlu dibudayakan di antara para praktisi,


pengelola kawasan konservasi, dan akademisi. Semakin banyak tulisan,
berarti juga semakin banyak pengalaman, data dan informasi yang
dikumpulkan, dianalisis menjadi pengetahuan yang harus dibagikan
sehingga terjadi proses pembelajaran bersama di tingkat kelompok, dan
komunitas yang lebih luas. Perencanaan dan keputusan solusi konflik
diambil berdasarkan data dan informasi yang saintifik yang didukung
pengalaman lapangan yang tak terbantahkan.

9
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Oleh karenanya, ke depan, beragam konflik tenurial akan dapat


diselesaikan melalui pilihan solusi yang tepat dengan pendekatan yang
humanis sekaligus dapat membangun kesadaran kritis di tingkat kelompok
atau komunitas. Kemitraan konservasi dapat dilaksanakan semakin efektif
dan efisien dan mencapai tujuan bersama yang ditetapkan.

Wiratno
Dirjen KSDAE

10
Larik Tenure

Daftar Isi

Pengantar LATIN 1
Catatan Perawi 5
Belajar dari Lapangan 7
Daftar Isi 11
Daftar Tabel 14

Buku Pertama : LAPAK TENURE

Jilid 1. Jendela Nusa


Dangau Nusantara 17
Sistem Tenure 22
Konflik Tenurial Hutan 25
Bineka Sengketa 26
Jilid 2. Rumah Bersama
Daya Pelestarian 32
Jilid 3. Episentrum Rinjani
Dari Joben ke Pesugulan 45
Sabar 57
Kuburan Moyang 60
Jurus Damai 63
Jilid 4. Nasib Jati Meru Betiri
Kuasa Balak 68
Lepas Perambahan 72
Extended Family 74
Jilid 5. Nirkonflik Tenurial di Bukit Baka Bukit Raya
PETI : Duri Dalam Daging 80
Rantau Malam 82
Nirkonflik Tenurial 85
The Seven Summit 97
Jilid 6. Sebangau Nan Rancak
Transmigrasi dan Zonasi 105
Ekowisata Rawa 110

11
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Jilid 7. Relung Lore Lindu


Wilayah Kelola 117
Cinta Alam Toro 121
Anggrek Vuri 124
Jilid 8. Dilema Bukit Duabelas
Resor Kami 133
Rajo 136
Jilid 9. Bertaruh NKRI di Kateri
Masa Lampau Timor 140
Kami Juga NKRI 145
Lara Eks Pengungsi 153
Jilid 10. Baku Rangkul Bantimurung Bulusaraung
Kerajaan Kupu-Kupu 161
Lontara Kemenangan 163
Asap Tenure 165
Baku Rangkul 167
Buku Kedua : INSTRUMEN TENURE
Jilid 11. Ragam Sengketa
Krisis Kuasa Lahan 171
Corak Sengketa 184
Jilid 12. Ikhtiar dan Taktik
Telisik Objek Sengketa Tenurial 221
Telisik Subjek Konflik Tenurial 225
Telisik Faktor Konflik 232
Bengkel Penanganan 235
Jilid 13. Revisi Zona
Partisipasi 252
Rambu-Rambu 255
Jilid 14. Penegakan Hukum
Pra-Operasi 261
Saat Operasi 264
Pasca Operasi 265

12
Larik Tenure

Jilid 15. Mitra Berdaya


Hajat 274
Pokok 277
Iktibar 280
Jilid 16. Meniti Ombak
Dilema 284
Berburu Kuasa 289
Senjang 293
Ruang Publik 289
Kaidah Negara 295
Kerja Antar Pihak 298
Jilid 17. Lingkar Digital

Daftar Pustaka 311

Perihal USAID BIJAK 327


Perihal KEMITRAAN 330
Perihal LATIN 333
Perihal Perawi 335

13
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Daftar Tabel

Tabel 1. Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa-Desa Sekitar TNMB


(KAIL, 2005) 75
Tabel 2. Sebaran Pengungsi Eks Timor Timur di NTT
(Skolastika & Jatmika, 2021) 146
Tabel 3. Deskripsi Konflik dan Peta Aktor 186
Tabel 4. Tipologi Konflik Tenurial 214
Tabel 5. Tahapan, Kegiatan dan Bentuk Partisipasi Masyarakat
dalam Zonasi TN 253
Tabel 6. Kriteria dan Indikator Kelompok Kemitraan Konservasi 278

14
Larik Tenure

15
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

JILID 1
JENDELA NUSA

16
Larik Tenure

Dangau Nusantara
N usantara adalah dangau teduh yang menyimpan ragam kemewahan.
Mulai dari kemewahan alamnya, bahasanya, budayanya, keramahan
penduduknya, hingga kemewahan damai dan rasa aman. Dangau ini dari
udara, tampak serupa kanvas dengan kuasan warna dasar biru dan biru
muda. Pulau-pulau membeku disapu warna hijau dan cokelat. Lempeng
benua terpisah oleh garis-garis biru kecokelatan nan menebal di bagian kiri
hingga ke bawah kanvas; sekitar Sumatra, Jawa, Bali dan gugusan pulau-
pulau Sunda Kecil. Sementara di bagian yang lebih kanan, lempeng benua
bertabrakan membuat pola yang lebih tidak beraturan antara Sulawesi,
Maluku dan Papua.

Semenanjung Malaysia menusuk di antara Sumatra dan Kalimantan.


Tusukan ini menyisakan selat Malaka dan Karimata. Pulau besar Kalimantan,
tampak kukuh melindungi Sulawesi dengan ujung tanduk mengarah ke
Kepulauan Filipina. Terus ke timur, Si Ramping Sulawesi bercengkrama
dengan pulau-pulau yang terserak di perairan Maluku. Ujung Kepala Burung
Papua, menyambut serpihan Maluku dan melindunginya hingga perairan
Arafuru. Benua Australia terpental jauh di selatan, menyisakan perairan
Laut Timor yang dangkal.

Wilayah inilah yang menjadi rujukan ketika Patih Gajah Mada mengucapkan
sumpah, dikenal dengan Sumpah Palapa. Khalayak mengenal sumpah ini
diucapkan sekitar tahun 1258 Saka atau sekitar 1336 Masehi atau 736
Hijriyah.

Abad penjelajahan sesungguhnya sudah dimulai jauh sebelum sumpah itu.


William Marsden (1784) mengutip manuskrip bertahun 1173 Masehi dari
dua orang penjelajah Arab. Menurutnya, Renaudot telah membantu
menerjemahkan manuskrip tersebut. Para penjelajah Arab itu, kata
Marsden, menyebut pulau besar yang diberi nama Ramni, terletak di antara
Sarandib dan Sin (China). Dalam literasi lain, Marsden juga menemukan
nama Al-Rami yang menyebutkan kesamaan ciri dengan wilayah Sumatra.
Bahkan dalam beberapa keterangan lain, Marsden menemukan nama-
nama lainnya seperti Soborma yang belakangan dikenal dengan Borneo
atau Kalimantan.

17
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Bahkan, Sumpah Palapa beriringan dengan periode ketiga perjalanan Abu


Abdillah Muhammad Ibn Abdillah al-Lawati al-Tanji Ibn Batuttah, dikenal
luas dengan sebutan Ibn Batuttah. Pada 1332 hingga 1346, Ibn Batuttah
melewati Konstantinopel, wilayah Laut Hitam, perairan Laut Kaspia lantas
masuk ke Asia Tengah hingga China dan mengitari Semenanjung Malaya
dan Selat Malaka.

Di Sumatra, Ibn Batuttah disambut baik dan tinggal untuk beberapa lama di
Kerajaan Pasai di Aceh. Dia mengisahkan bagaimana penerimaan pihak
kerajaan yang begitu baik pada rombongannya. Dia juga mencatat produk
perdagangan, berikut dengan kehidupan sosial di lingkup kerajaan. Catatan
perjalanan Ibn Battutah dibukukan kemudian hari, berjudul Rihlah,
lengkapnya Tuhfat al-nuzzar fi ghara 'ib al-amsar wa-aja 'ib al-asfar.

Sebagai catatan saja, pada Usia 21 tahun, Ibn Batuttah berangkat dari
kampungnya, Tangier di Maroko untuk sebuah perjalanan haji, rukun Islam
terakhir yang diwajibkan bagi muslim yang mampu. Dia melewati Tunisia
dan Libya sebelum tiba di Mesir. Dari Kairo, dia melawat Laut Merah lantas
kembali ke utara hingga Syria. Dia lama mukim di Damaskus sebelum turun
ke Hijaz di bagian utara Semenanjung Arab, lantas menuju Mekah. Selama
2 tahun (1325-1327), Ibn Battutah menempuh ribuan kilometer untuk
menuntut ilmu dan perjalanan suci itu. Periode keduanya adalah antara
1330-1332. Dia menyisir pesisir timur Afrika hingga ke Kilwa setelah
melewati Somalia. Lantas kembali mengitari Semenanjung Arab.

Setiba di Sumatra, kami bertemu raja El Malik El Zahir Jamaluddin. Dia


penganut mahzab Safii yang kuat dan sangat memuliakan dan mengikuti
ajaran Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam (Batutta, 1994).

Ka i e laya da i “u at a sela a e pat puluh dua ala . Lalu ka i


tiba di Mul Jawa. Di Sumatra kami menemukan barang-barang dagangan
ya g sa a de ga di Ja a, tapi kualitas a a g di Ja a le ih agus, kata
Ibn Batutta.

Sementara Marco Polo, kata Marsden merupakan penjelajah pertama yang


mengisahkan tentang Sumatra. Marco Polo mengistilahkan Sumatra
sebagai Java Minor.

18
Larik Tenure

Lepas dari perdebatan yang tak berujung tentang sosok Marco Polo, tapi
catatannya tentang Java Minor telah membubuhkan sejarah. Menurut
Marsden, catatan Marco Polo sebagian mungkin saja mengada-ada karena
dia menampilkan jarak yang tidak masuk akal. Bahkan mungkin saja catatan
Marco Polo adalah kisah yang dia dengar dari orang lain. Tidak ditemukan
berapa lama kunjungan Marco Polo di Sumatra, tapi dia kembali ke Venesia
pada 1295.

Marsden mencatat, Marco Polo menyebut delapan kerajaan di Java Minor.


Salah satunya adalah Pasai yang terletak di ujung timur pantai utara.
Kerajaan ini persis terletak di Aceh seperti yang dikisahkan Ibn Batutta.

Mengutip Marco Polo, Marsden mengatakan wilayah ini dihuni para


penyembah berhala. Tapi sebagian besar pedagang telah beralih pada
kepercayaan Muhammadin, Islam tepatnya. Sementara orang-orang di
pegunungan hidup liar. Basma atau Basman terdengar seperti Pasaman,
tapi Marsden menyebut ini adalah wilayah Pase merujuk pada penulisan
berbahasa Portugis, Pacem. Ada pula wilayah Samara yang belakangan
dikenal dengan Samalanga.

Sebelum Marsden, Tome Pires, penjelajah berkebangsaan Portugis telah


menyambangi selat Malaka pada 1512. Tiga tahun berselang (1515), Pires
menyelesaikan catatannya di India, Suma Oriental. Dalam suratnya kepada
Alfonso de Albuquerque tertanggal 10 Januari 1515, Pires menceritakan
tentang Malaka dan daerah-daerah sekitarnya. Di Sumatra, Pires
setidaknya mencatat ada 19 kerajaan yang membujur dari ujung utara
hingga ke selatan.

Marsden dan Pires sama-sama mencatat sebuah tempat bernama Barus,


satu wilayah penting penghasil kapur barus atau kamper. Tapi mereka
berdua tak sempat melacak keberadaan makam-makam kuno beraksara
Arab-Persia di wilayah itu. Peneliti menyebut makam-makam kuno itu
sudah ada di Barus sejak sekitar abad ke 6 sampai 9 Masehi, artinya berabad
jaraknya sebelum kedatangan Pires dan Marsden.

Barus sebagai kota yang terkenal di Asia sejak abad ke-6 Masehi. Pada akhir
abad ke-7 Masehi, pedagang Arab mulai menjejakkan kaki di Barus, ini
berarti merupakan abad pertama Hijriyah (Guillot et al, 2008). Diakui, Barus
telah menjadi pintu masuk Islam di Nusantara. Para pedagang asal

19
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Hadhramaut membawa barang dagangan dan agama Islam di wilayah itu.


Ada yang mengatakan, kedatangan pedagang asal Hadhramaut itu
sesungguhnya sudah dimulai sekitar 40 hingga 90 tahun setelah Nabi
Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam wafat. Di sana, terdapat sebuah
nisan yang diyakini sebagai kuburan Syekh Mahmud Fil Hadratul Maut,
bertuliskan tahun 34 atau 44 Hijriyah.

Penjelajahan demi penjelajahan dilakukan. Para pejelajah mendatangi


pelosok-pelosok bumi. Kendati jalur perdagangan dunia sudah terbentuk
antara perairan China, Samudera Hindia hingga Pasifik. Mulanya, orang-
orang dari Semenanjung Arab menguasai jalur perdagangan di sebagian
wilayah Afrika, Eropa, hingga Asia. Di timur, China juga menggeliat. Namun
sejarah berputar arah usai para pejelajah Eropa memulai misi penjelajahan
pencarian dunia baru.

Jauh di pedalaman Afrika dan Asia, orang Eropa telah menancapkan tatanan
global baru. Mereka membentuk kongsi-kongsi dagang dan memulai
penjelajahan ilmiah ke berbagai sudut bumi. Di perairan Maluku, Portugis
melebarkan sayap kekuasaan bersamaan dengan koloni baru, Filipina.
Sementara Inggris menguasai wilayah yang lebih barat, Semenanjung
Malaysia hingga India. Belanda menyapu bersih wilayah perdagangan
strategis di selat Malaka usai mengusir Portugis dari wilayah itu sekitar awal
1500an. Bangsa lain semisal Perancis dan Jerman, turut meramaikan
penguasaan Eropa atas wilayah di Asia dan Afrika.

Kecamuk dalam negeri di Eropa dimulai pada era revolusi Industri, dimana
tenaga manusia mulai tergeser oleh mesin-mesin berteknologi paling
canggih di masa itu. Kebutuhan akan bahan baku memaksa orang-orang
Eropa menguatkan prinsip kolonialisasi berbalut misi perdagangan.

Lalu, apa kabar dengan Sumpah Palapa yang berniat menyatukan


Nusantara? Sumpah ini tergerus seiring perpecahan internal di banyak
kerajaan di Nusantara. Perang kepentingan melanda masing-masing
wilayah. Tiap penguasa berebut sumber daya, berebut pengaruh, bahkan
memperebutkan kekuasaan. Sejarah mencatat banyak di antara kerajaan-
kerajaan di Nusantara yang lantas terbelah, bahkan hancur sama sekali.

Kecamuk konflik melanda seantero negeri yang belum bersatu ini. Dipicu
syahwat kekayaan dan kekuasaan, para pemimpin berlaga satu dengan

20
Larik Tenure

lainnya. Para raja seolah berlomba memperluas pengaruh, sekaligus


memperbesar peluang menambah pundi-pundi kekayaan.

Tapi tak perlu risau, konflik sendiri sesungguhnya sudah ada sejak zaman
keberadaan manusia di muka bumi. Pertentangan anak-anak Adam adalah
sifat naluriah manusia. Pada gilirannya, pertentang itu akan menuju pada
keseimbangan baru yang lantas dihancurkan kembali lewat pertentangan
berikutnya.

Sebagaimana 14 abad yang lalu, sebuah risalah telah disampaikan. Dan jika
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi
mereka senantiasa berselisih (QS Hud:118), kecuali orang yang diberi
rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat
keputusa Tuha u telah tetap, Aku pasti aka e e uhi Neraka
Jaha a de ga ji da a usia ya g durhaka se ua ya. (QS Hud:119)

Risalah ini relevan dengan apa yang sedang didiskusikan dalam catatan ini.
Begitulah kehidupan, sampai suatu ketika, kehacuran alam semesta terjadi.
Sementara laga kepentingan pihak-pihak terus berlangsung, bahkan tanpa
peduli telah merenggut banyak korban. Satu dan lainnya saling berupaya
mengalahkan, menegasikan, bahkan menghancurkan. Tapi, laga ini suatu
waktu tentu akan berakhir. Kapan waktunya, siapa tahu?

Pertanyaan demi pertanyaan lantas meluncur, mengapa konflik terjadi,


bagaimana tipologinya, sejauh mana dia diselesaikan, upaya apa yang harus
dilakukan, serta sederet pertanyaan menggantung lainnya. Di tahap awal,
ada baiknya membuka catatan-catatan terdahulu mengenai konflik.

Konflik adalah percekcokan, perselisihan, atau pertentangan (KBBI Daring,


2016). Padanan kata lain yang sesuai dengan kata itu adalah perseteruan,
perang, permusuhan, kontradiksi, perbantahan, cedera, percederaan,
kelahi, kesumat, rivalitas, antagonisme, inkompatibilitas, paradoks,
pertikaian, pertengkaran, sengketa, perpecahan, pergesekan, konfrontasi,
friksi dan bentrokan.

Penting pula memahami bahwa konflik bukan hanya tindakan dari satu
pihak, tapi juga respon yang diberikan pihak lain atas tindakan tersebut.
Serangkaian tindakan dan respon ini memberikan skala atau level terhadap
suatu konflik.

21
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Dalam pengertian yang lebih bebas, konflik dapat diartikan sebagai sebuah
keadaan atau fenomena yang melibatkan pertentangan internal maupun
eksternal. Pertentangan internal hanya melibatkan satu pihak saja,
misalnya; individu tertentu atau organisasi tertentu. Sementara
pertentangan eksternal melibatkan dua pihak atau lebih, bisa antar
individu, antara individu dengan organisasi maupun sebaliknya. Berbagai
pertentangan itu dipicu oleh ragam kepentingan maupun ragam keinginan.
Dengan demikian, konflik melibatkan serangkaian kepentingan, serangkaian
keinginan dari pihak yang berkonflik.

Sistem Tenure
Kembali pada lukisan alam Nusantara yang dinukil sebagai pembuka bagian
ini, bahwa konflik terjadi di sepanjang pulau-pulau dan lautnya. Indonesia
tak lepas dari konflik. Berkait itu, dalam konteks buku ini, konflik yang
dibahas adalah yang berhubungan dengan tenure.

Tenure masuk ke dalam bahasa Jermanik yang pertama kali dituturkan di


Inggris pada awal abad pertengahan. Terdapat 6 arti kata tenure di Kamus
Bahasa Inggris Terjemahan Indonesia, yang masuk ke dalam kelas kata
nomina (kata benda), yaitu; harta benda, masa jabatan, masa kepemilikan,
pemilikan, kedudukan tetap, dan harta. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
Tenure menurut kamus Bahasa Inggris terjemahaan Indonesia diartikan
sebagai harta benda (Lektur.id).

Di Indonesia kata tenure dalam bahasa Inggris, atau tenere dalam Bahasa
Latin dikenal dengan istilah tenurial. Secara harfiah istilah tenurial berarti:
memelihara, memegang dan memiliki. Schlager dan Ostrom, 1992,
mengartikan tenurial sebagai sekumpulan hak yang mencakup hak
mengakses dan hak pakai untuk mengelola, eksklusi, dan mengalihkan.
Dikarenakan Tenurial merujuk pada kandungan atau hakikat dari hak dan
jaminan atas hak. Hal Ini berarti hak dari sudut pandang yang berbeda, yaitu
terhadap hak yang tumpang-tindih (sewaktu dua orang atau lebih mengaku
berhak atas sumber daya yang sama) dan terkadang juga konflik (Larson,
2013).

Sistem tenure merupakan sebuah sistem yang kompleks yang melibatkan


berbagai kepentingan pada lahan atau lokasi yang bersamaan. Sistem
tenure bukan hanya melulu berkaitan dengan penguasaan lahan, tapi lebih

22
Larik Tenure

luas dari itu, sistem ini melibatkan semua kepentingan dalam pengelolaan
lahan tersebut (Jpang, Khazanah Sembilang Dangku, 2020).

Lebih jauh Jpang mengilustrasikan, di satu bentang alam, ada satu kesatuan
hutan yang dimiliki oleh Suku Hajun. Hutannya bernama Hutan Jahun.
Sementara sekelompok pencari madu telah mendapat izin dari pemangku
adat Suku Hajun untuk memanen madu saban musim di dalam hutan Jahun.
Izin tersebut diberikan oleh para pemangku adat dalam sebuah ritual adat
pada tahun 1905. Saban musim panen, Orang Hajun yang ada di kawasan
hutan Jahun mendapatkan bagiannya. Anak keturunan pencari madu
tersebut meneruskan tradisi para pendahulunya.

Sebagian orang-orang Suku Hajun memang masih tinggal di dalam hutan


Jahun. Mereka memanfaatkan sebagian wiayah hutan Jahun untuk
bercocok tanam dan menggembala ternak. Beberapa tempat di kawasan
Hutan Jahun merupakan tempat keramat yang kerap didatangi Suku Hajun.
Di antaranya: Mata Air Akar Beringin, Makam Keramat Meranti Merah, dan
Batu Besar Bertali Akar.

Para pencari rotan dan enau, kerap melewati tempat-tempat keramat ini.
Tapi Suku Hajun yang tinggal di hutan Jahun hanya memperbolehkan
kelompok ini mengambil rotan dan enau yang tidak terlalu dekat jaraknya
dengan tempat-tempat keramat itu. Enau dan rotan yang jaraknya dekat,
itu biasanya menjadi hak orang Hajun. Suku Hajun memanfaatkan rotan dan
enau untuk kepentingan sehari-hari.

Di kawasan hutan Jahun terdapat beberapa sungai. Sungai-sungai ini


dikuasai oleh Suku Nujah. Orang-orang Suku Nujah mencari ikan untuk
keperluan mereka sendiri dan sebagian lagi dijual. Suku Hajun dan Suku
Nujah telah memiliki kesepakatan untuk berbagi wilayah pengelolaan. Suku
Nujah hanya diperbolehkan mencari ikan di sungai-sungai untuk
kepentingan sendiri atau dijual, itu saja. Suku Nujah juga boleh mendiami
daratan yang berada di tepi kiri-kanan sungai.

Beberapa orang pemangku adat Suku Hajun bukanlah orang yang


berdomisili di kawasan hutan Jahun. Lebih dari setengah pemangku adat
sudah tinggal jauh di kota atau bahkan di tempat lain, jaraknya mungkin
berkilometer dari hutan Jahun. Sebagian kecil pemangku adat masih tinggal
di kawasan Hutan Jahun.

23
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Setengah Hutan Jahun merupakan kawasan hutan lindung dalam versi


pemerintah. Hal ini ditandai dengan adanya patok batas yang telah dipasang
sejak tahun 1980. Sebagian lagi merupakan hutan konversi terbatas dan
sebagian kecil yang dekat dengan perumahan di batas luar hutan
merupakan Areal Penggunaan Lain (APL). Hutan Jahun berbatasan langsung
dengan kawasan produksi yang telah dikuasai oleh PT Plat Hitam Bara.
Perusahaan ini ingin memperluas areal usahanya dengan menjadikan Hutan
Jahun sebagai kawasan dengan Nilai Konservasi Tinggi.

Beberapa pendatang sudah bertani padi ladang di kawasan ini secara turun-
temurun. Mereka datang dari pusat desa, sebagian mereka berasal dari
suku Ngoal. Tapi pendatang ini hanya diberi izin oleh pemangku adat Suku
Hajun untuk mengelola beberapa titik lahan dan tidak diperbolehkan lebih
luas dari itu.

Suku Ngoal, adalah suku mayoritas di sekitar kawasan hutan Jahun. Suku ini
mendiami sebagian besar wilayah kecamatan. Menurut versi orang
terkemuka dari Suku Ngoal, mereka adalah satu-satunya suku yang memiliki
bukti kepemilikan atas hutan Jahun. Dalam dokumen berbahasa Belanda,
Suku Ngoal membuktikan bahwa mereka menguasai lahan hutan kecuali
untuk daerah yang ditempati dan dikuasai oleh suku Hajun dan Suku Nujah.

Cukup kompleks bukan? Jika saja ada pihak yang berkepentingan membuat
keputusan-keputusan baru di wilayah tersebut, maka siapa yang harus
diajak bicara dan berunding? Apa yang harus dilakukan? (Jpang, Khazanah
Sembilang Dangku, 2020)

Sebelum jauh, sistem tenurial tentunya juga melibatkan beraneka sistem


yang berlaku pada satu lokasi tertentu. Ada sistem adat, sistem sosial,
sistem ekonomi, sistem penyangga kehidupan hingga pada sistem yang
berkaitan dengan regulasi. Hal ini terlalu kompleks kalau hanya diartikan
pada urusan kepemilikan, penguasaan dan pengelolaan lahan, karena
sistem-sistem itu berada pada wilayah atau lokasi yang sama, dan berlaku
pada waktu yang sama pula.

Di lain sisi, ada pula sistem yang berkiatan dengan pihak lain di luar manusia
sebagai pengelola. Sistem penyangga kehidupan misalnya. Sistem ini
memengaruhi secara tidak langsung, dengan menyediakan sumber-sumber
pangan, air, udara dan jasa lingkungan lain. Bila sistem ini berubah, maka

24
Larik Tenure

tentunya juga akan berdampak pada – setidaknya – sistem pengelolaan


lahan.

Konflik Tenurial Hutan


Hutan menjadi sumber konflik karena banyak pihak berkepentingan dalam
pengelolaannya, baik konflik antar pribadi maupun konflik dengan institusi
negara atau perusahaan. Sebagian konflik yang terjadi dalam pengelolaan
hutan adalah konflik penguasaan lahan (tenurial). Menurut Larson (2013)
tenurial lahan hutan berkenaan dengan siapa yang memiliki lahan hutan,
dan siapa yang memanfaatkan, mengelola, dan memutuskan perihal
sumber daya hutan. Tenurial lahan hutan menentukan siapa yang diizinkan
untuk menggunakan sumber daya, dengan cara bagaimana, selama berapa
lama dan dengan syarat apa dan siapa yang berhak mengalihkan kepada
pihak lain dan bagaimana caranya (Ambarwati et al, 2018).

Menurut Working Group Tenure (2012), sejak era reformasi, pembangunan


dan pengelolaan hutan menghadapi berbagai tantangan baru.
Dibandingkan dengan periode sebelumnya, laju kerusakan hutan semakin
tinggi. Selama tahun 1997-2000, pada awal era otonomi daerah, angka
kerusakan hutan meningkat dari 1,87 juta hektare menjadi 2,83 juta hektare
karena euforia reformasi yang menyebabkan pembabatan hutan secara
besar-besaran.

Dalam konteks ini, keberadaan pemangku kawasan seperti Kesatuan


Pengelola Hutan (KPH) dan Taman Nasional (TN), seringkali dibenturkan
dengan proses penataan ruang yang kental dengan isu pelepasan kawasan
hutan. Kawasan hutan yang open access, serta lemahnya kemantapan
kawasan akibat rendahnya pengakuan oleh masyarakat, menyebabkan
permasalahan sosial yang kompleks. Kondisi ini berakar pada kondisi sosial-
budaya masyarakat adat, kebutuhan pokok untuk hidup layak dan
kemiskinan, serta situasi ekonomi yang menggerakkan berbagai aktivitas
haram (yang dilarang) di dalam kawasan hutan (Working Group Tenure,
2012).

Catatan mongabay.co.id (2014) menyebut ketidakpastian areal kawasan


hutan merupakan salah satu yang menghambat efektifitas tata kelola hutan
di Indonesia. Dari seluruh kawasan hutan – seluas 130 juta hektare – maka
areal yang telah selesai ditatabatas (temu gelang) baru sekitar 12% (14,2
juta hektare). Ketidakpastian ini memicu munculnya konflik tenurial dengan
25
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

berbagai pihak yang berkepentingan dengan kawasan hutan. Padahal


setidaknya terdapat 50 juta orang bermukim di sekitar kawasan hutan
dengan lebih dari 33 ribu desa yang berbatasan dengan kawasan hutan.

Persoalan ketidakpastian tata batas hutan ini tidak hanya menimpa


masyarakat adat ataupun masyarakat lokal yang berdiam dan
memanfaatkan lahan dan sumber daya di dalam kawasan hutan, tetapi juga
institusi yang memiliki izin usaha kehutanan dan pemerintah. Di tingkat
lapangan, batas yang berupa patok batas hutan juga sering kali tidak jelas
sehingga sulit diverifikasi dalam pembuatan berita acara (mongabay.co.id,
2014).

Konflik tenurial hutan adalah berbagai bentuk perselisihan atau


pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan
penggunaan kawasan hutan. Suatu konflik terjadi karena terdapat
perbedaan cara pandang antara beberapa pihak terhadap objek yang sama,
dan antara beberapa individu atau kelompok tersebut merasa memiliki
tujuan yang berbeda. Konflik menyangkut hubungan sosial antar manusia
baik secara individual maupun kolektif. Semua hubungan sosial pasti
memiliki tingkat antagonisme, ketegangan, atau perasaan negatif. Hal ini
merupakan akibat dari keinginan individu atau kelompok untuk
meningkatkan kesejahteraan, kekuasaan, prestise, dukungan sosial, atau
penghargaan lainnya (Sumartias, S & Rahmat, A, 2013).

Konflik Tenurial Hutan adalah berbagai bentuk perselisihan atau


pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan
penggunaan kawasan hutan (P.84, 2015). Konflik tenurial kawasan hutan
tentu bukanlah konflik tersendiri yang statis. Konflik ini dinamis seiring
perkembangan dan dinamika, baik di lapangan maupun di level regulasi
pemerintah. Penyelesaian konflik semacam ini tentunya juga menuntut
perspektif beragam dari beragam latar keahlian.

Bineka Sengketa
Demikianlah, tenurial dan konflik berkelindan. Saling sandera, bahkan
kadang saling tikam. Namun tak jarang keduanya justru menemukan titik
terang penyelesaian. Kerap pula keduanya tak berujung perdamaian.

Mari kembali renungkan sumpah palapa, mari kembali simak rupa alam
Nusantara. Cita-cita luhur untuk menjadikan Nusantara bersatu tentunya
26
Larik Tenure

tidak akan pernah terjadi bila bercak alamnya dipenuhi konflik tenurial. Ini
mesti mendapat jawaban penyelesaian. Namun jawaban yang diharapkan
tentunya tidak pernah datang bila masing-masing pihak hanya
mementingkan nasibnya sendiri, egonya sendiri, kelompoknya sendiri dan
kepentingannya sendiri.

Untuk mengurai hal tersebut, diperlukan pemahaman yang utuh tentang


apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan, dan apa sesungguhnya
kepentingan dari masing-masing pihak. Pada titik ini, mari mulai menjelajah
lebih dalam.

Sebuah catatan dihadirkan Purwawangsa (2017) terkait konflik di kawasan


konservasi. Catatan ini menarik, terutama dalam pengelolaan TN. Kendati
tidak terfokus pada konflik tenurial, catatan ini penting sebagai dasar atas
kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan.

Setiap TN memiliki tipologi konflik yang berbeda-beda. Konflik di TN Gunung


Leuser yang berada di Kabupaten Langkat disebabkan oleh kebijakan
pemerintah yang mengizinkan perusahaan untuk melakukan pembinaan
habitat dengan cara menebang pohon. Perambahan yang berujung konflik
di TN Tesso Nilo utamanya disebabkan oleh adanya kekosongan aktivitas
nyata di lapangan sebagai akibat dari adanya perpindahan pemegang hak
konsesi. Penyebab konflik yang terjadi di TN Bukit Duabelas, disebabkan
karena aktivitas perladangan dan perkebunan masyarakat yang sudah
berjalan sebelum TN ditetapkan. Penyebab konflik di Taman Nasional Kutai
adalah adanya deposit batubara yang ingin dikuasai oleh sekelompok
oknum, dan penyebab konflik di TN Halimun Salak adalah adanya
perbedaan persepsi antara para sesepuh adat dengan pemerintah dan
adanya perluasan areal TN yang sebelumnya merupakan areal hutan
produksi milik Perhutani (Purwawangsa, 2017).

Di gelanggang konservasi, kemungkinan kata konflik tenurial jarang


terdengar. Istilah ini sepertinya larut dalam pedihnya urusan perburuan
satwa, patroli kawasan, pengerusakan lahan, perambahan, bahkan
pencurian kayu. Di berbagai tempat istilah konflik tenurial mungkin akan
diganti dengan Penggunaan Kawasan Tanpa Izin (PKTI), atau istilah lain yang
lebih ringan.

27
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Kendati demikian, konflik tenurial di kawasan konservasi tentulah bukan


konflik yang berdiri tunggal. Dia akan menjadi penyebab atau
menyebabkan persoalan lain. Kisah-kisah dari lapangan hadir dari beberapa
TN; Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD), Taman Nasional Gunung Rinjani
(TNGR), Taman Nasional Meru Betiri (TNMB), Taman Nasional Sebangau
(TNS), Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR), Taman Nasional
Bantimurung-Bulusaraung (TNBB) hingga Taman Nasional Lore Lindu
(TNLL), dan Suaka Margasatwa (SM) Kateri.

28
Larik Tenure

JILID 2
RUMAH BERSAMA

29
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

S ebagai rumah bersama, hutan telah menyangga sistem kehidupan.


Warga dunia mengambil manfaat yang tidak sedikit dari keberadaan
hutan. Mulanya, fungsi-fungsi hutan mungkin hanya sebatas lahan untuk
kepentingan mengumpulkan bahan makanan.

Perlahan peradaban berubah hingga hutan dibutuhkan bukan hanya untuk


kepentingan pangan, tapi merambah pada kebutuhan yang lebih luas.
Kepentingan ekonomi pada akhirnya lebih banyak menyita perhatian.
Belakangan, baru muncul kesadaran dan tanggung jawab manusia terhadap
sumber daya hutan. Lantas, kata konservasi dan berkelanjutan mulai
banyak menghias ragam pembicaraan.

Di tanah air, UU 41/1999 membagi hutan berdasarkan fungsinya dalam 3


klasifikasi: Pertama Hutan lindung, yaitu kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk
mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi
air laut dan memelihara kesuburan tanah; Kedua Hutan produksi, yaitu
kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan;
dan Ketiga Hutan konservasi, yaitu kawasan hutan dengan ciri khas tertentu
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya.

Hutan merupakan suatu ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber


daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (UU
41/1999, 1999).

Menurut Kartodihardjo (2007), berdasarkan isi peraturan perundang-


undangan yang berlaku, hutan dikonsepsikan sebagai suatu ekosistem yang
mempunyai fungsi alami dan tergantung dari tipe ekologis dan karakteristik
hubungan makluk hidup yang ada di dalamnya. Sebagai sebuah ekosistem,
hutan memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan seluruh makhluk
hidup di muka bumi, karena merupakan sumber kebutuhan primer di bumi
ini.

Eksploitasi besar-besaran hutan hujan Indonesia untuk kayu dimulai pada


1960-an. Hutan dataran rendah di Sumatra dan Kalimantan telah banyak
ditebang, meskipun tutupan hutannya sangat luas. Eksploitasi sering kali
merusak. Ketika jalan raya telah memberikan akses ke daerah yang

30
Larik Tenure

sebelumnya tidak dapat diakses, para petani sering kali pindah setelah
mendapatkan kayu perusahaan, dan kemudian menebangi relik tersebut,
meregenerasi hutan untuk penanaman permanen atau berpindah (Collins
et al, 1991).

Namun sesungguhnya, eksploitasi hutan sudah dimulai sebelum era 60an.


Sebagai contoh, Suharno (2020) menyebut migrasi Suku Jawa, Sunda, dan
Madura ke Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Migrasi pertama
orang Madura ke bagian barat wilayah yang kini dikenal sebagai Kalimantan
Tengah, terjadi pada tahun 1830 dalam kekuasaan Kesultanan
Kotawaringin. Migrasi disponsori oleh Kesultanan karena orang orang-
orang Madura dibutuhkan untuk menggarap banyak lahan yang tidak
produktif dan mengawasi peternakan.

Hal ini mengindikasikan pembukaan hutan sudah terjadi jauh sebelum era
eksploitasi besar-besaran tahun 60an. Kendati tidak ada angka yang pasti
yang mencatat seberapa besar bukaan lahan hutan di masa itu. Namun
keterangan tersebut setidaknya adalah indikasi awal terjadinya pembukaan
lahan.

Versi lain menyebut migrasi orang Madura ke Kalimantan dimulai pada


1901, melalui program kolonisasi pemerintah Belanda. Para migran Madura
sebagian besar direkrut untuk bekerja pada perkebunan karet atau di
pertambangan emas (Suharno, 2020). Etnis Madura dibawa oleh orang-
orang Belanda pada tahun 1920an sebagai buruh-buruh di perkebunan
kelapa dan karet di Sampit. Setelah itu, baru menyusul etnis-etnis dari
daerah lain utamanya Jawa, yang juga dibawa oleh Belanda sebagai buruh
perkebunan, Banjar, kemudian China mulai ada saat Sampit tumbuh
menjadi kota kecil (Yogaswara, 2021).

Yogaswara melanjutkan, orang Dayak di Sampit mulai mulai mengenal


adanya pemukiman orang Madura di sekitar tahun 1920an – 1930an. Saat
itu, kelompok permukiman Madura yang dikenal adalah beberapa lokasi di
Mentaya Seberang dan 1 (satu) lokasi di area perusahaan perkebunan
Belanda yang biasa disebut brengsel oleh penduduk sekitarnya. Sekitar
tahun 1940, pemukiman Madura berkembang di sekitar daerah Sawahan.
Belanda membangun ragam fasilitas dan kedatangan para misionaris hingga
tahun 1950 membuat kelompok etnis Madura berdatangan pada

31
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

gelombang berikutnya, mereka mulai membuka lahan baru di daerah yang


kini dikenal dengan Baamang.

Usaha kayu sebagai industri dimulai dengan kehadiran PT Bruenzyl Dajak


Houdbrijven (BDH), sebuah usaha kayu milik swasta Belanda yang
memfokuskan industri pengolahan kayunya di kota Sampit. BDH diberi
monopoli konsesi hutan oleh Dewan Dayak Besar mulai tahun 1947.
Konsesi yang diberikan meliputi tiga daerah aliran sungai, yaitu: Katingan,
Mentaya dan Seruyan. Dewan Dayak Besar berdiri sesuai dengan konteks
dibentuknya Negara Indonesia Serikat (RIS) pada masa 1945-1949
(Yogaswara, 2021).

Kekeringan parah pada tahun 1982-1983 diikuti oleh kebakaran hutan di


Kalimantan, yang sebagian besar dimulai secara tidak sengaja oleh para
petani. Lebih 30 ribu kilometer persegi terbakar, sebagian besar merupakan
hutan bekas tebangan yang mengandung banyak robohan kayu kering.
Hutan juga telah hilang melalui konversi lahan untuk pertanian perkebunan
dan transmigrasi (Collins et al, 1991).

Collins et al melanjutkan, pemerintah kemudian semakin memperketat


penegakan peraturan tentang eksploitasi hutan dan pengolahan kayu.
Indonesia melarang ekspor kayu gelondongan pada tahun 1980, semua
kayu yang diekspor digergaji atau diubah menjadi kayu lapis, dimana
Indonesia merupakan pemasok utama dunia. Sementara ekspor rotan
mentah dilarang pada tahun 1986.

Daya Pelestarian
Jauh sebelum itu, tindakan perlindungan alam secara eksplisit telah
tercermin pada pola perilaku sehari-hari masyarakat dalam berhubungan
dengan alam yang merupakan warisan turun-temurun. Sebelum abad ke-
15, tradisi sakral sangat mewarnai segenap kehidupan masyarakatnya.
Perilaku keseharian masyarakat sangat kental dengan kepercayaan
terhadap kekuatan alam dan mistikasi benda-benda, yang terwujud dalam
penabuan terhadap benda-benda, situs-situs dan tindakan tertentu.
Misalnya, larangan mengambil jenis-jenis pohon atau batu-batu tertentu,
larangan memasuki kawasan tertentu, seperti gunung, rawa dan hutan
tutupan (Wiratno et al, 2001).

32
Larik Tenure

Selanjutnya, kekosongan kebijakan dalam perlindungan alam selama 188


tahun (1714-1912) disebabkan oleh ekspansi perkebunan Belanda demi
memulihkan perekonomian Pemerintahan Hindia Belanda. Munculnya
kebijakan pada tahun 1896 dilatarbelakangi oleh keprihatinan terhadap
eksploitasi besar-besaran terhadap burung cendrawasih oleh Pemerintah
Kolonial Belanda dan ekspor bulunya dalam skala besar ke Paris dan London
(Wiratno et al, 2001).

Pada tahun 1894, lanjut Wiratno, Gubernur Jenderal Jhr. C.H.A. van der
Wijck melalui koran Nieuwe Rotterdamsche Courant mempertanyakan
kasus-kasus perdagangan burung di Ternate dan Ambon serta meminta
pejabat setempat (residen) agar melaporkan kasus-kasus tersebut beserta
usulan penanganannya. Akan tetapi hal ini pun tidak memberikan hasil
berarti.

Tidak adanya sikap yang jelas dan aksi konkret Pemerintah Kolonial,
mengakibatkan datangnya tekanan dari para konservasionis dari luar Hindia
Belanda pada tahun 1894. Pada bulan November, Menteri Kolonial di Den
Haag menerima sebuah surat dari Ketua Pelaksana Bond ter
Bestrijdinggeener Gruwelmode (Association to Combat a Revolting Fashion)
dan beberapa asosiasi sejenis yang menyesalkan adanya penyelundupan
burung cendrawasih secara liar. Asosiasi tersebut mendesak agar Menteri
Kolonial segera mencegah laju perburuan satwa ini.

Pada saat yang hampir bersamaan M. C. Piepers, seorang entomolog amatir


yang juga mantan pegawai Departemen Hukum Hindia Belanda,
mengusulkan tindakan perlindungan bagi burung-burung cendrawasih serta
beberapa flora dan fauna lain yang terancam punah. Piepers menyarankan
agar dibuat semacam kawasan konservasi seperti Taman Nasional
Yellowstone yang secara resmi melindungi spesies-spesies yang terancam
punah. Tekanan serupa juga dilakukan oleh P.J. van Houten (1896), seorang
anggota asosiasi perlindungan satwa Belanda. Houten meminta agar pers
Belanda menyuarakan kepada seluruh masyarakat bahwa laju kecepatan
perburuan burung-burung cendrawasih akan menyebabkan kepunahan
satu atau beberapa spesies burung lainnya.

Selama tahun 1896-1897, lanjutnya, Pemerintah Kolonial, terutama


Kementerian Kolonial, mengusahakan penyelesaian masalah cendrawasih
ini. Ide pelarangan ekspor burung cendrawasih memang sempat menjadi

33
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

pertimbangan, tapi ide ini kemudian ditolak dengan alasan karena


perburuan hanya dapat dibatasi, bukan diakhiri. Demikian juga pelarangan
total menurut Pemerintah justru akan menimbulkan masalah baru yaitu
maraknya penyelundupan.

Pada bulan Januari 1898 Pemerintah Kolonial mengirim Dr.J.C.


Koningsberger, seorang zoolog pertanian, ke Kebun Raya Bogor untuk
mencari masukan ilmiah sebab-sebab kepunahan burung cendrawasih.
Masukan-masukan mengenai burung cendrawasih tersebut kemudian
menjadi ide bagi pembuatan undang-undang perlindungan burung-burung
lain. Ide ini lalu ditindaklanjuti dengan penerbitan Staatsblad 497pada bulan
Oktober 1909 dan Staatsblad 594 pada bulan Desember 1909 yang mulai
berlaku sejak tanggal 1 Juli 1910, dan akhirnya membuahkan hasil, yaitu
Ordonnantie tot Bescherming van sommige in het levende Zoogdieren en
Vogels (Undang-Undang Perlindungan bagi Mamalia Liar dan Burung Liar)
yang dikeluarkan pada tahun 1910. Undang-undang ini berlaku di seluruh
Indonesia. Selama periode 1898-1908 ini terjadi pertarungan ide antara
keinginan untuk melindungi satwa burung di satu sisi, dengan keinginan
mempertahankan perdagangannya di sisi lain. Secara ekonomi,
perdagangan burung ini dianggap sangat menguntungkan Kawasan Timur
Indonesia serta Pemerintah Hindia Belanda.

Sejak 1914, isu yang berawal dari keprihatinan akan kepunahan burung
cendrawasih ini bergeser menjadi isu lingkungan yang diterima masyarakat
secara luas, tidak hanya nasional tetapi juga internasional. Saat laju
perburuan meningkat pada tahun 1912-1913, American Ban (pelarangan
komersialisasi cendrawasih di Amerika) telah menyumbang banyak dalam
hal ini, dibandingkan dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1912 (Wiratno et al, 2001).

Hutan Indonesia sangat beragam dan kaya akan spesies. Namun, kerusakan
serius telah terjadi selama hampir lima puluh tahun terakhir.
Pengembangan industri kayu dan perkebunan skala besar di hutan-hutan
hujan dipterokarpa Indonesia di bagian barat, disinyalir menjadi salah satu
penyebabnya. Beberapa satwa liar diketahui terkena dampak serius,
misalnya harimau sumatra, orangutan sumatra, orangutan kalimantan,
macan dahan, badak sumatra, gajah sumatra dan belakangan ada
orangutan tapanuli, berikut dengan spesies-spesies lain.

34
Larik Tenure

Upaya perlindungan harus benar-benar dilakukan jika Indonesia tak


menginginkan kehancuran lebih parah pada hutannya. Upaya
perlindungan, seperti yang dijelaskan Wiratno sebelumnya, tentulah pula
bukan sebuah jalan yang sederhana. Hutan harus berfungsi lebih baik di
satu sisi, dan memberikan dampak terhadap ekonomi dan sosial di sisi yang
lain. Salah satu upaya konservasi terhadap kawasan hutan adalah dengan
menetapkan Taman Nasional.

The International Union for Conservation of Nature (IUCN), pada 2008


mendefinisikan taman nasional sebagai area alami di daratan dan atau
lautan yang ditunjuk untuk melindungi integritas ekologis dari satu atau
lebih ekosistem untuk generasi sekarang dan yang akan datang; melarang
eksploitasi dan okupasi yang bertentangan dengan tujuan peruntukkan
kawasan dan; memberikan keuntungan untuk kegiatan spiritual, ilmu
pengetahuan, pendidikan, rekreasi dan peluang pengunjung wisata yang
semuanya itu harus sesuai dengan lingkungan dan budaya setempat.

Taman nasional masuk kedalam kategori II kawasan konservasi yang


merupakan area perlindungan yang dikelola dengan fungsi utama untuk
konservasi spesies dan jenis habitat yang kaya serta untuk rekreasi. Prinsip
pokok pengertian taman nasional adalah: 1. Suatu area yang memiliki
keunikan yang tinggi nilai keberadaan jenis yang dikonservasi, layanan
ekosistem, tipe habitat, bentang alam yang menarik, pemandangan yang
indah, budaya/tradisi masyarakat yang menarik. 2. Area yang luasnya cukup
untuk menjamin kesendirian atau dengan dukungan tambahan dari sebuah
jaringan kawasan lindung lainnya yang telah ditetapkan. 3. Konservasi dari
kelangsungan hidup dan dinamika lingkungan alam dari keanekaragaman
hayati yang sesuai dengan tujuan rancangan keruangan alam dan skala
sementara di atas (IUCN, 2008).

Di Indonesia, kebijakan pembentukan taman nasional diawali dengan klaim


kawasan sebagai hak milik negara (state property right) sehingga
pemerintah menetapkan lokasi-lokasi yang dinilai memenuhi kriteria
pembentukannya secara top-down. Di lain pihak masyarakat adat
mengelola kawasan yang sama dengan kearifan tradisional yang bersifat
lokalitas dan merupakan hasil adaptasi kehidupan terhadap kondisi
lingkungan. Fakta lapang juga memperlihatkan bahwa pemerintah tidak
dapat dengan leluasa mengelola kawasan karena terjadi konflik ruang dan
sumber daya alam (Kosmaryandi et al, 2012).

35
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Taman nasional sebagai manifestasi teritorialisasi negara mewujud dalam


bentuk peniadaan pengakuan atas masyarakat asli atau masyarakat
setempat. Status sebagai anggota masyarakat asli atau yang bertempat
tinggal di sekitar taman nasional tidak secara otomatis akan mendapatkan
hak atau keuntungan dengan adanya taman nasional. Alih-alih mereka
justru diharapkan kesadarannya untuk menyerahkan sebagian wilayah
adatnya bagi kepentingan nasional yang mempunyai nilai lebih luas di masa
Orde Baru. Kuatnya dominasi negara menyebabkan adat termarginalkan.
Baru pada paska rezim Orde Baru, bermunculan klaim dan re-klaim wilayah
oleh masyarakat adat di wilayah taman nasional (Purwanto, 2005).

Menurut Kosmaryadi et al (2012), pola pikir pemerintah yang tercermin


dalam peraturan perundang-undangan dalam menyikapi keberadaan
masyarakat di dalam dan sekitar kawasan taman nasional adalah dengan
menempatkan masyarakat tersebut sebagai objek pengelolaan yang
menjadi bagian dari potensi pengembangan wisata. Bahkan terkadang
ditempatkan sebagai pihak yang berseberangan dengan kepentingan
konservasi. Tradisi pemanfaatan sumber daya alam di dalam kawasan
taman nasional oleh masyarakat adat untuk pemenuhan kebutuhan
hidupnya seringkali dinilai sebagai tekanan ataupun ancaman terhadap
keutuhan ekologis kawasan hutan milik pemerintah.

Purwanto (2005) di empat taman nasional yang ditelitinya – TNGP, TNGL,


TNKS, dan TNK – menemukan bahwa terdapat peran dominan negara dalam
mengatur keseluruhan kegiatan dan gagasan mengenai pengelolaan
lingkungan. Pengaturan Kawasan konservasi menitikberatkan perlindungan
terhadap flora dan fauna beserta ekosistem di dalamnya. Padahal tidak
dapat dipungkiri bahwa kenyataannya dalam kawasan ini juga terdapat
keberadaan manusia yang dari sudut pandang konservasi dapat menjadi
ancaman dalam upaya perlindungan tersebut.

Konservasi adalah upaya yang dilakukan manusia untuk melestarikan atau


melindungi alam. Secara harfiah, konservasi berasal dari bahasa Inggris
conservation, yang artinya pelestarian atau perlindungan. Makna
konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan
situasi dan kondisi setempat. Kegiatan konservasi dapat pula mencakup
ruang lingkup preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi dan revitalisasi
(Rachman, 2012). Menurut MacKinnon terdapat 14 kriteria penetapan
suatu kawasan konservasi, yakni bentuk dan ukuran, kekayaan dan

36
Larik Tenure

keanekaragaman, bersifat alami atau asli, kelangkaan, keunikan dan


kekhasan, kerapuhan, pelestarian plasma nutfah, catatan sejarah, posisi
dalam unit ekologi atau geografi, kepentingan, nilai potensial, daya tarik
intrinsik, modifikasi lanskap yang menambah nilai biologi dan kesempatan
untuk pelestarian (Takandjandji & Kwatrina, 2011).

Menurut UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati


dan Ekosistemnya; Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di
alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber
daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di
sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem. Lebih lanjut UU
mendefenisikan Konservasi sumber daya alam hayati adalah sebagai
pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan
secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan
nilainya.

Tujuan konservasi sumber daya alam yang akan dilakukan adalah (1)
Mempertahankan adanya kualitas lingkungan dengan memperhatikan
estetika dan kebutuhan ekowisata maupun hasilnya, dan (2)
Mempertahankan adanya kelanjutan dari pemanfaatan hasil tanaman,
hewan dan bahan yang bermanfaat lainnya, dengan menciptakan siklus
yang seimbang antara masa tanam atau pembiakan dengan pertumbuhan
individu baru atau pembaharuan material. Oleh karena itu konservasi yang
dilakukan juga meliputi kegiatan perlindungan terhadap sistem kehidupan,
preservasi sumber daya genetik serta pemanfaatan flora dan fauna secara
berkelanjutan.

Di Indonesia, hutan konservasi terdiri dari ; (1) Kawasan hutan suaka alam,
yaitu hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan serta ekosistemnya yang
juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan, seperti suaka
margasatwa dan cagar alam; (2) Kawasan hutan pelestarian alam, yaitu
hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman
jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya, seperti kawasan Taman Hutan Raya(Tahura),
taman nasional dan taman wisata; dan (3) Taman buru, yaitu kawasan hutan
yang ditetapkan sebagai tempat wisata berburu.

37
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Perkembangan pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia tidak lepas


dari dinamika dan relasi positif negatif antara para pihak yang
bersinggungan langsung di tingkat tapak. Lembaga pengelolaan kawasan
konservasi, Balai Taman Nasional contohnya, tidak dapat menghindari
interaksi sosial dan budaya dengan masyarakat adat maupun masyarakat
lokal yang memang tidak dapat dipungkiri ada dan berada di dalam maupun
di sekitar kawasan hutan konservasi tersebut.

Kesepakatan-kesepakatan global dalam pengelolaan taman nasional


menuntut adanya perubahan cara pandang pengelolaan, di antaranya
adalah hasil Kongres World Commission on Protected Areas (WCPA) di
Caracas, Venezuela tahun 1993, yang menyepakati bahwa pengelolaan
kawasan konservasi tidak bisa hanya dikelola oleh kelembagaan tunggal
(single institution). Dalam IUCN (2003), dinyatakan hasil WPC tahun 2003
yang di antaranya adalah rekomendasi 5.24 tentang Masyarakat Adat, dan
Kawasan-kawasan Konservasi yang mengadopsi resolusi World
Conservation Congress (WCC) 1.53 yang mempromosikan suatu kebijakan
yang berdasar pada prinsip-prinsip: 1 Mengenali hak-hak masyarakat adat
tentang lahan atau wilayah dan sumber dayanya yang berada pada kawasan
konservasi. 2 Mengenali keperluan persetujuan-persetujuan yang harus
dibuat dengan masyarakat adat sebelum penetapan kawasan konservasi di
lahan atau wilayah mereka; dan 3 Mengenali hak-hak masyarakat adat yang
terkait dengan partisipasi secara efektif dalam pengelolaan kawasan
konservasi yang ditetapkan di lahan atau wilayah mereka, dan membangun
konsultasi untuk mengadopsi segala keputusan yang mempengaruhi hak-
hak dan kepentingan mereka di lahan atau wilayahnya (Kosmaryandi et al,
2012).

Menurut Dunggio dan Gunawan (2009), sejarah penetapan taman nasional


untuk pertama kalinya dimulai di Amerika Serikat ketika Presiden Abraham
Lincoln menetapkan Yellowstone sebagai kawasan perlindungan alam yang
kemudian menjadi taman nasional pertama di dunia. Lebih lanjut, bahwa
sejarah juga mencatat setidaknya ada lima tonggak penting dalam
perkembangan pengelolaan kawasan konservasi, yaitu:
1. Era Yellowstone dimana pembangunan taman nasional hanya
ditujukan untuk perlindungan spesies tertentu sebagai prioritas
uta a sehi gga e yi gki ka kepe ti ga kehidupan
manusia.

38
Larik Tenure

2. Era 70-an, pada Kongres IUCN (International Union for


Conservation of Nature and Natural Resources) di New Delhi
(tahun 1969) menetapkan bahwa kawasan konservasi harus
dikategorisasikan ke dalam beberapa kategori menurut kriteria
tertentu, agar pengelolaannya lebih efektif dan efisien. Merujuk
pada hasil kongres tersebut, pada tahun 1978, IUCN
mengembangkan pedoman kategorisasi kawasan konservasi.
3. Era 80-an pada Kongres CNPPA (Commission on National Parks and
Protected Areas) atau Kongres Taman Nasional ke-3 di Bali tahun
1982 yang bertema Park for Sustainable Development,
memberikan pesan agar setiap unit kawasan konservasi harus
dibuat rencana pengelolaan (management plan) sebagai panduan
bagi pengelola untuk mencapai tujuannya.
4. Era 90-an pada Kongres WCPA (World Commission on Protected
Areas) di Caracas, Venezuela tahun 1993, mengamanahkan bahwa
pengelolaan kawasan konservasi tidak bisa hanya dikelola oleh
single institution, melainkan harus melibatkan berbagai pihak yang
berkepentinngan, khususnya masyarakat sekitar kawasan.
Implikasinya, berbagai pendekatan pengelolaan seperti
pendekatan partisipatif (participatory approach) dan pengelolaan
bersama (joint management ataupun collaborative management
approaches) menjadi acuan pengelolaan sumber daya hutan,
termasuk kawasan konservasi. Era ini juga ditandai dengan
maraknya proyek mega-juta dollar seperti ICDP atau semacamnya.
5. Era 2000-an dari hasil Kongres WCPA terakhir di Durban, Yordania
tahun 2003, dimandatkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi
harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi para pihak yang
berkepentingan, termasuk masyarakat yang tinggal di dalam dan
sekitar kawasan konservasi. Seiring dengan perkembangan terkini
tersebut, maka berbagai kebijakan dan regulasi yang berkaitan
dengan pengelolaan kawasan konservasi juga selayaknya
mengikutinya. Hal ini penting, karena institusi konservasi yang ada
di Indonesia saat ini masih mengikuti konsep era-era sebelumnya.

Secara bio-geografis, hutan Indonesia terpisah oleh batas-batas ekologis


yang tajam. Perbedaan mencolok antara hutan Indonesia di bagian barat
dengan bagian timur terletak pada jenis fauna, satwa dan tipe habitat.
Batas yang cukup tajam itu dipisahkan sepanjang garis Wallace yang terletak
di Kalimantan di tepi landas kontinen sunda. Keluarga pohon kayu tropis

39
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

yang paling penting, dipterokarpa, ditemukan hampir seluruhnya di dataran


rendah hujan hutan di sebelah barat garis Wallace.

Fakta bahwa Indonesia memiliki kawasan konservasi yang tersebar di


seluruh wilayah Provinsi, sebanyak 556 unit dengan luas mencapai 27,26
juta hektare, dimana seluas 5,32 juta hektare merupakan kawasan
konservasi perairan atau 21,26% dari total luas kawasan hutan dan kawasan
konservasi perairan di Indonesia. Mewakili seluruh tipe ekosistem yang ada
di wilayah Nusantara, mulai dari ekosistem pegunungan, hutan dataran
rendah, savana, ekosistem pantai, padang lamun sampai ekosistem
terumbu karang (Wiratno, 2017).

Hutan Indonesia diselimuti oleh hutan hujan tropis kecuali pulau Jawa
bagian selatan dan timur, Madura, Bali dan pulau-pulau Sunda Kecil yang
memiliki hutan monsun tropis. Sabuk ini secara musiman membawa iklim
kering dan meluas ke selatan Papua, dan ke utara ke bagian selatan
Sulawesi. Di Sumatra, terdapat hutan hujan tropis dataran rendah yang
didominasi oleh dipterokarpa. Terdapat pula hutan rawa gambut dan bakau
yang sangat luas di sepanjang pantai bagian timur. Tulang punggung
Sumatra berupa pegunungan dengan hutan hujan pegunungan yang luas
dan sebagian besar masih utuh. Di bagian lembah intermontana tengah
yang agak kering dan di jauh di utara terdapat satu-satunya hutan pinus
alami (Pinus merkush) di Indonesia (Collins et al, 1991).

Selanjutnya Jawa, hutan hujan mungkin awalnya ditemukan di barat daya


Jawa dan di daerah pegunungan, tetapi sekarang terbatas pada wilayah
yang terisolasi pegunungan. Jati, kemungkinan dibawa oleh manusia dan
banyak ditanam di dataran rendah musiman di bagian tengah dan timur.
Hutan musim alami sebelumnya tersebar luas di utara dan Jawa bagian
timur, sekarang semuanya sangat terganggu. Di mana api dikecualikan,
hutan mulai berubah menjadi formasi hutan montana rendah dan hutan sub
alpine. Di pegunungan tinggi terdapat formasi herba sedang. Sementara
padang rumput pegunungan yang luas diakibatkan oleh kerusakan hutan
karena kebakaran. Formasi karst batu kapur terjadi di pantai selatan dan
timur laut, sebagian besar sekarang sudah ditanami jati. Sebagian kecil Jawa
juga terdapat hutan rawa dan hutan bakau.

Di Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara), lanjut Collins et al (1991), hutan


sabana dengan cemara dan eukaliptus sekarang menutupi sebagian besar

40
Larik Tenure

kepulauan ini. Hutan hujan tidak pernah luas dan hanya bertahan di dalam
daerah terpencil di lembah curam di sisi gunung yang menghadap ke
selatan. Di tempat lain, ada hutan monsun dan padang rumput yang luas.
Timor pernah memiliki hutan kayu cendana alam yang luas (Sanlalum
album). Sementara hutan hujan pegunungan tidak subur dan memiliki ciri
khas dengan tidak adanya lumut, meskipun beberapa memiliki jenggot
lumut usnea.

Di Kalimantan, lanjutnya, hutan hujan dataran rendah tumbuh hingga


ketinggian 1000 meter dari permukaan laut. Di atas itu, terdapat formasi
hutan pegunungan yang memiliki kelimpahan komunitas pohon Fagaceae,
medang-medangan (Lauraceae) dan jambu-jambuan (Myrtaceae).
Kalimantan memiliki hutan hujan dataran rendah yang sangat luas, juga
mangrove, hutan rawa gambut dan air tawar, dan hutan kerangas terbesar
di Asia Tenggara. Degradasi cukup luas terjadi pada hutan di Kalimantan
akibat eksploitasi berlebihan, kini kawasan terdegradasi banyak ditumbuhi
alang-alang.

Di Sulawesi, lanjutnya, terdapat hutan hujan pegunungan yang luas. Jejak


hutan hujan dataran rendah berkembang ekstensif, kecuali di semenanjung
barat daya. Ada beberapa jenis dipterokarpa, termasuk spesies kayu utama
Agathis dammara dan Eboni diospyros spp. Sementara flora kurang kaya
dibanding pulau-pulau di barat. Sulawesi memiliki bidang hutan terluas
yang terletak di atas bebatuan ultrabasa (di ujung Teluk Bone). Sementara
di barat daya, formasi hutannya khas dengan wilayah kapur karst. Hanya
ada sebagian kecil dari hutan rawa pedalaman, dan mangrove tumbuh di
petak-petak terisolasi di selatan. Iklim musiman mendukung hutan monsun
terjadi, terutama di selatan.

Kepulauan Maluku terdapat hutan yang sebagian merupakan hutan


monsun dan sebagian perhumid, baik di dataran rendah maupun
pegunungan. Formasi lain termasuk hutan bakau dan air tawar rawa dengan
tegakan sagu (Meiroxylon sagu) yang luas. Di Irian Jaya, sekarang Papua,
terlepas dari sabuk hutan monsun dan hutan sabana di selatan, vegetasinya
adalah salah satu hamparan alam murni terbesar hutan hujan tropis di Asia
Tenggara. Pohon kayu termasuk Calophyllum dan Intsia di dataran rendah
dan Agathis dan Araucana di perbukitan, di mana mereka muncul sebagai
tegakan yang padat. Hutan hujan pegunungan bagian bawah ditemukan
pada ketinggian 1.400-3.000 m, sementara bagian atas hutan pegunungan

41
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

hingga 3.400-3.600 m, ditemukan hutan sub alpine dan padang rumput


alpine. Terdapat pula hutan rawa air tawar dengan pohon sagu dan bakau
yang luas serta bidang besar hutan rawa gambut di pantai barat, yang baru
ditemukan pada 1980-an. Di selatan adalah hutan monsun, hutan sabana
dengan banyak hutan kayu putih, dan padang rumput. Pegunungan Fak Fak
memiliki hutan kapur dan areal padang rumput yang luas. Sementara hutan
pantai memiliki flora untai Indo-Pasifik yang khas (Collins et al, 1991).

Menurut Wiratno (2017), bahwa sebagian besar atau 60,19% kawasan


konservasi berstatus sebagai taman nasional. Beberapa dari taman nasional
memiliki pengakuan global seperti World Heritage, Biosphere Reserve,
ASEAN Heritage dan Ramsar Site. Pengakuan global merupakan bukti
bahwa kawasan konservasi di Indonesia memiliki nilai penting bagi
konservasi keanekaragaman hayati secara global. Kawasan konservasi juga
e fu gsi se agai dae ah esapa ai , pa ik ai , pe li du ga hid ologi,
iklim mikro, kesuburan tanah, sumber mikroba, keseimbangan siklus air,
penyimpan karbon dan menjaga kesehatan daerah aliran sungai dari hulu
sampai ke hilir.

Wiratno juga mengurai fakta-fakta lain terkait fragmentasi habitat dan


pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Selain adanya perubahan
penggunaan lahan, konflik satwa liar, konflik sosial, ada pula usulan konversi
kawasan menjadi hutan adat.

Menurutnya, pengelolaan kawasan konservasi tidak dapat dilakukan hanya


terbatas pada teritori kawasan tanpa mempertimbangkan perubahan
lahan, kerusakan habitat, sosial ekonomi, budaya dan pembangunan secara
umum di daerah penyangganya dan atau pada skala lanskap yang lebih luas.
Pengelolaan kawasan konservasi butuh ragam dukungan disiplin ilmu,
pendekatan dan konsistensi kebijakan, berikut dengan dukungan semua
pihak di berbagai level. Dalam konteks ini, dukungan yang dibutuhkan
adalah dukungan nyata yang diharapkan dapat mereplika berbagai
keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi pada titik-titik tertentu di
Indonesia.

Setidaknya, kata Wiratno, diperlukan penerapan empat prinsip tata kelola


yaitu transparansi, partisipasi, pertanggungjawaban kolektif dan
akuntabilitas dalam rangka penyelesaian masalah dan pengembangan
potensi di dalam kawasan konservasi dan di daerah penyangganya. Hal itu

42
Larik Tenure

dilakukan dengan turut melibatkan desa dengan perangkat


kelembagaannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan
kawasan konservasi.

Menurutnya, cara pandang pengelolaan kawasan konservasi mestinya


mengedepankan 10 prinsip, yakni: Prinsip 1, Masyarakat Sebagai Subjek.
Prinsip 2, Pengormatan HAM. Prinsip 3, Kerjasama Lintas Eselon I. Prinsip 4,
Kerjasama Lintas Kementerian. Prinsip 5, Penghormatan Nilai Budaya dan
Adat. Prinsip 6, Multilevel Leadership. Prinsip 7, Scientific Based Decission
Support System. Prinsip 8, Resor (Field) Based Management. Prinsip 9,
Reward and Mentorship, dan Prinsip 10, Learning Organization.

43
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

JILID 3
EPISENTRUM RINJANI

44
Larik Tenure

L etusan Gunung Rinjani terjadi Selasa, 3 November 2015. Seperti dikutip


BBC, letusan terjadi beberapa kali sejak pagi hari, kata Sutopo Purwo
Nugroho (almarhum), juru bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB).

Seluruh penerbangan Virgin Australia dan Jetstar untuk hari Rabu, 4


November 2015, dibatalkan. Sementara setidaknya 13 penerbangan Air
Asia juga terganggu (BBC, 2015). Sejumlah penerbangan dari Bandara
Internasional Juanda, Surabaya, menuju ke Bandara Internasional Ngurah
Rai, Bali, dan ke Bandara Blimbingsari, Banyuwangi, terganggu menyusul
meletusnya Gunung Barujari di kawasan TNGR, Nusa Tenggara Barat
(Tempo, 2015).

Di udara, abu vulkanik membubung tinggi. Bukan hanya penerbangan


yang terganggu, tapi juga merambah pada terganggunya aliran keuangan
di banyak sektor. Rinjani marah? Tentu tidak, gejala alam ini biasa terjadi.
Letusan terbesar gunung Samalas berabad yang lalu menggambarkan
keadaan yang lebih menyeramkan.

Gunung Renjani kularat miwah Gunung Samalas rakrak, balabur watu


gumuruh, tibeng desa Pamatan, yata kanyut bale lialang parubuh,
kurambangning sagara, wong ngipun halong kang mati (Gunung Rinjani
longsor dan gunung Samalas runtuh, banjir batu gemuruh, jatuh di desa
Pamatan, lain hanyut rumah lumpur rubuh, terapung-apung di lautan,
penduduknya banyak yang mati) (Suparman, 1994). Petikan bait nomor 274
dalam Babad Lombok itu memberikan sinyal kehancuran Bumi.

Secara ilmiah, letusan itu dilaporkan mendinginkan suhu global.


Pendekatan geokimia independen menunjukkan bahwa letusan Samalas
tahun 1257 itu melepaskan belerang dan halogen ke atmosfer (Céline M.
Vidal, 2016).

Dari Joben ke Pesugulan


Lepas dari keadaan naik turunnya seismometer dan tiltmeter, Rinjani
tetaplah Rinjani. Dia tegak menjadi episentrum pulau Lombok. Di kakinya,
dinamika hari-hari terus terjadi. Pada 14 Juni 2015, beberapa bulan
sebelum erupsi terakhir, sekelompok orang mendatangi Hutan Pesugulan,
tepat berada di kaki Rinjani. Sedianya, kawasan hutan Pesugulan terletak di

45
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Desa Bebidas, Kecamatan Wanasaba, Lombok Timur. Areal ini tepat berada
di Resor Aikmel, Satuan Pengelolaan Wilayah II TNGR.

Amaq Nopi adalah salah seorang dari rombongan itu. kelompok Amaq Nopi
tengah mengukur petak-petak tanah pada lahan seluas hampir 300 hektare.
Kawasan hutan Pesugulan sendiri terdiri dari beberapa punggungan bukit.
Amaq Nopi telah menyiapkan lahan baginya dan keluarganya yang dekat
dengan jalan akses antara Desa Bebidas menuju Sembalun.

Sebulan sebelum Ramadhan di tahun itu, dia dipanggil menghadap Kepala


Desa. Informasi yang didapat Amaq Nopi, sekitar 12 orang telah menanami
kawasan Pesugulan dengan alpukat. Setidaknya, itu adalah tanda bahwa
kawasan hutan itu akan segera mereka kuasai (Nopi, 2020).

Kepala Resor Aikmel, Mustaan, melayangkan laporan kepada Kepala Balai


TNGR keesokan harinya. Laporan Kejadian Kepala Resor Aikmel Nomor LK.
04/BTNGR-3/AKML/2015 Tentang Penyerobotan Lahan Kawasan Hutan
TNGR yang berbatasan dengan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Pesugulan
(pal TN 468 sampai dengan pal TN 472) seluas + 50 hektare, menyebut
dirinya menemukan setidaknya 70 orang berada di lokasi dengan membawa
parang untuk melakukan perambahan kawasan.

4 personil Resor Aikmel mencoba memberikan penjelasan bahwa hutan


tersebut adalah kawasan TNGR yang dilindungi dan diatur undang-undang.
Tapi masyarakat bersikeras, tidak mengakui penjelasan tersebut. Menurut
masyarakat, wilayah itu adalah tanah leluhur mereka. Perang urat syaraf
dimenangkan masyarakat, petugas mundur (BTNGR, Laporan Kronologis
PKTI Pesugulan, 2019). Genderang perang telah ditabuh.

Hari-hari berlalu, suasana kian mencekam. Pejuang Tanah Adat Jurang


Koak, demikian masyarakat menyebut jati diri mereka. Para pejuang
merangsek kawasan dan merambah apapun yang ada. Sementara petugas
Balai TNGR, Kepolisian dan aparat pemerintah lainnya turut mengatur
rencana tandingan.

Amaq Nopi berjibaku mengukur luasan tanah. Berbekal tali rafia, dia
membuat batas antara lahan yang satu dengan lainnya. Kerap dia tidur di
lahan yang bersengketa itu. Menurutnya, banyak yang ikut menginap di
lahan, termasuk perempuan dan anak-anak.

46
Larik Tenure

“aya uku sudah petak. Itu e a ti isa KK Kepala Kelua ga , kata


Amaq Nopi ketika diwawancara pada 9 Desember 2020.

Malam hari, 18 Juni 2015, langit Pesugulan merah. Kebakaran hebat


melanda pondok kerja milik aparat di tepi Hutan Pesugulan. Puluhan orang
Pejuang Tanah Adat Jurang Koak berkumpul di sana. Mereka kalap dan
marah, menyusul penangkapan salah seorang anggotanya oleh aparat
gabungan sore tadi. Tak berselang lama, aparat Kepolisian dari Polsek
Aikmal membubarkan kerumunan massa.

Almarhum Balok Imah, Papuk Banun, dan Papuk Putrasih diklaim sebagai
leluhur orang Dusun Borne, Dusun Jurang Koak dan Dusun Erot Desa
Bebidas. Semasa hidupnya, mereka tinggal di kawasan tersebut dan
sekarang bekas tempat tinggalnya sudah dipugar (BTNGR, Laporan
Kronologis PKTI Pesugulan, 2019). Bebidas panas membara. Saling klaim
antara masyarakat dengan Balai TNGR terjadi.

Sepanjang Juni 2015, Balai TNGR mencoba berbagai upaya untuk


mendapatkan dukungan. Balai TNGR menyurati ibunya di Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), termasuk Direktur Jenderal
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (Dirjen KSDAE-KLHK),
serta Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Dirjen Gakkum-KLHK).

Sembari menunggu jawaban, Balai TNGR turut pula menyurati Gubernur


Nusa Tenggara Barat, Dinas Kehutanan Nusa Tenggara Barat, Kepolisian,
TNI, Camat, Kepala Desa hingga himbauan pada Pejuang Tanah Adat Jurang
Koak.

Ramadhan tahun 2015 adalah bulan yang penuh cobaan. Kedua belah pihak
masih bersitegang. Tak ada yang mau surut ke belakang. Keduanya
mengklaim memiliki kuasa atas lahan yang disengketakan itu. Hutan
Pesugulan merana, kayunya tumbang. Di awal Juli, Balai TNGR sudah mulai
merencanakan operasi gabungan untuk penegakan hukum.

Sementara itu, di lapangan perambahan terus berlangsung. Masyarakat


telah membuat pagar batas areal yang sudah dibuka dengan bambu setinggi
2,5 meter. Disamping itu mereka telah melakukan pembuatan jalan masuk
yang cukup lebar ke daerah perambahan. Masyarakat juga melakukan
penanaman pohon durian dengan jumlah bibit yang sudah ada di lokasi

47
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

sebanyak 2.000 batang. Masyarakat telah menyewa alat berat untuk


melakukan pemerataan dan pembersihan lahan di lapangan (BTNGR,
Laporan Kronologis PKTI Pesugulan, 2019).

Ka i juga e usaha e dekati Bupati Lo ok Ti u u tuk e es ika


kawasan yang dirambah, peresmian dan perayaan sebagai kawasan wisata
di e a aka aka dilakuka pada ula Agustus, kata A a Nopi.

Hutan Pesugulan kian terbuka. Tegakan kayu kini sudah mulai digantikan
tanaman semusim. Sepanjang Ramadhan hingga Lebaran tahun 2015,
masyarakat telah menguasai wilayah itu, mereka bertanam tanaman
semusim. Kecuali itu, masyarakat juga sudah mulai menanami lahan
dengan tanaman tua seperti nangka dan alpukat.

Masing-masing pihak mencoba memainkan isu untuk mendapat dukungan.


Masyarakat, menggunakan jurus tanah adat. Secara umum, isu ini cukup
mangkus. Terbukti, di banyak tempat, isu masyarakat adat berada di titik
terdepan perjuangan Hak Asasi Manusia (HAM).

Sementara Balai TNGR tak punya jurus lain selain kebijakan pemerintah
tentang penetapan kawasan Taman Nasional. Isu Rinjani sebagai
episentrum Lombok, mentok. Rinjani sebagai paru-paru dunia, sepertinya
tidak semujarab seperti yang berlaku di tempat lain.

Pesugulan telah menjadi petak-petak lahan yang dikuasai masyarakat.


Pondok-pondok kerja beratap plastik terpal sudah berdiri. Landasan, tiang
dan dinding pondok berupa kayu yang diambil dari bekas tebangan hutan.

Masyarakat berada di atas angin, apa lagi dukungan mulai tampak nyata
dari Lembaga atau Organisasi Non Pemerintah (ORNOP, sebagian dikenal
dengan Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM), maupun simpati pihak-
pihak yang percaya bahwa lahan itu adalah lahan masyarakat adat.

Apa yang direncanakan Balai TNGR akhirnya terjadi. 19 September 2015,


Operasi Penegakan Hukum Gabungan dilakukan. Di pihak Balai TNGR,
Daniel Alexander Rosang tegak di depan.

Pagi sekali, Daniel telah sedia dengan pasukannya. Dua hari yang lalu,
pasukan ini sudah terlibat dalam gelar operasi. Para Jagawana kini tampak

48
Larik Tenure

siap de ga se aga hijau tua. B i o da Dal as tidak te li at, u gkap


Daniel.

Dia mengisahkan sulitnya akses menuju lokasi perambahan. Hutan


Pesugulan tampak jauh di depan mata, pasukan Daniel dihadang. Barisan
perempuan, berikut anak dan bayi-bayi mereka berjejer di hadapan
pasukan Daniel. Sumpah serapah, cacian dan kata kotor lainnya meluncur
deras dari mulut mereka. Ditambah beberapa orang pemuda yang
tampaknya terpengaruh minuman beralkohol.

Daniel meminta pasukannya menjaga sikap. Dia tak ingin melukai


perempuan dan anak-anak. Mengajak para penghadang berbicara adalah
langkah baik, tapi Daniel kalah suara. Riuh keadaan waktu itu tak membuat
Daniel mampu menyampaikan sekalimatpun.

I i ta ah ka i! Leluhu ka i! Ne ek oya g ka i! de ikia pekika


suara terdengar melatar belakangi ketika Daniel mengajak mereka bicara.
Beberapa orang bersenjata tajam kini mulai merangsek ke dalam
kerumunan. Daniel tak mungkin memaksakan kehendak untuk
membubarkan mereka, dia memilih jalan mundur.

Hingga malam, keadaan mencekam. Para Pejuang – istilah bagi Pejuang


Tanah Adat Jurang Koak – tetap berada di dalam kawasan. Mereka berjaga-
jaga. Daniel dan pasukannyapun berjaga-jaga, tapi di luar kawasan, dekat
dengan jalan raya.

Komandan Daerah Militer datang berkunjung keesokan hari. Tak banyak


yang dapat dilakukan kecuali berjaga-jaga. Perempuan dan anak-anak
terlalu kuat bagi pasukan gabungan yang berencana melakukan penegakan
hukum itu. Batas waktu operasi berakhir 22 September 2015, pasukan
gabungan terpaksa ditarik kembali.

Hingga ujung Oktober 2015, keadaan masih darurat. Balai TNGR tetap
berupaya menggalang dukungan, berbagai pertemuan dilakukan, surat-
surat dikirimkan, pendekatan persuasif juga diadakan.

Belum tampak hasil yang menggembirakan ketika Rinjani murka pada 3


November 2015. Persis beberapa hari sebelum itu, Balai TNGR telah
memulai mengusut perkara tindak kejahatan kehutanan yang melibatkan

49
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

anggota Pejuang Tanah Adat Jurang Koak. Nama-nama sudah dikantongi,


pemeriksaan awal telah pula dilakukan. Bukti permulaan sudah cukup kuat
untuk menciduk pelaku.

Pengakuan Amaq Nopi, beberapa kali anggota Polisi Kehutanan datang ke


kawasan hutan Pesugulan. Mereka menemui para penggarap.

Mu gki e eka Polhut takut, tapi e eka aik. Me eka data g da


bilang, jangan kerja dulu, ini kan kawasan hutan, nanti kalau semuanya
e a ah isa asuk pe ja a, kata A a Nopi.

Letusan Rinjani menjelang penghujung 2015 itu seolah memadamkan api


perseteruan. Masing-masing pihak kembali menyusun strategi, dan
melakukan kegiatan seperti sediakala. Para Pejuang tetap berada di dalam
hutan, merambah dan menggarap. Sementara Balai TNGR mengatur urusan
dengan para pihak, termasuk Kepolisian.

Tapi letusan Rinjani itu hanya memadamkan api, tidak memudurkan bara.
Dini hari, 4 Mei 2016, sekitar 40 orang Pejuang merusak Pos Jaga Balai TNGR
di Dusun Montong Kemong Desa Sapit, Kecamatan Suela, Lombok Timur.
Mereka melempari Pos dengan batu, kayu dan bambu. Pos itu hancur,
berantakan. Para pelaku selanjutnya memblokir jalan lintas Seula menuju
Sembalun.

Kejadian dipicu penangkapan salah seorang otak Pejuang sehari


sebelumnya. Malam itu, tersangka yang dicokok petugas sedang dikawal di
Polres Lombok Timur untuk dibawa ke Mapolda NTB. Di malam itu pula, Pos
Jaga porak poranda.

Sepanjang Mei hingga Juli 2016, suasana semakin suram. Ketakutan


melanda sebagian besar anggota Pejuang. 4 orang Pejuang kini dalam
keadaan bahaya, mereka terancam hukuman pidana karena perusakan
kawasan dengan menggunakan alat berat. Balai TNGR dan Kepolisian sigap
bekerja mengurus segala berkas perkara. Keempat pentolan itu mesti
segera dikerangkeng supaya menimbulkan efek jera.

Keempat orang Pejuang itu terdiri dari Operator Alat Berat, Ketua,
Sekretaris, dan Bendahara Pejuang Tanah Adat Jurang Koak. Amaq Nopi,

50
Larik Tenure

satu di antaranya. Naas baginya, saat itu dirinya menjabat sebagai


Bendahara.

11 Oktober 2016, Amaq Nopi resmi menjadi pesakitan. Dia diputus bersalah
melakukan tindak pidana oleh hakim Pengadilan Negeri Selong. Amaq Nopi
secara sah dan meyakinkan menyuruh melakukan kegiatan yang tidak
sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain di TNGR. Setahun
enam bulan adalah masa kurungan yang dibebankan padanya (BTNGR,
Laporan Kronologis PKTI Pesugulan, 2019).

“aya jala i itu. Mu gki ku u ga dapat e uat saya sada , selo oh


Amaq Nopi.

Kendati sebagian para pelaku sudah berada dalam tangsi, tapi Hutan
Pesugulan tetap dikuasai perambah. Seperti diakui Daniel dalam
wawancara tanggal 7 dan 10 Desember 2020, patroli belum dapat dilakukan
pada awal 2017. Hal itu disebabkan karena masyarakat yang menguasai
laha asih esiste te hadap petugas Balai TNG‘. Ka i e e a aka
melakukan penanaman dengan Komando Daerah Militer 1615 Lombok
Ti u da BP DA“, u gkap ya.

Menjelang perayaan Agustusan 2017, Balai TNGR kerap menggelar dan


menghadiri rapat koordinasi. Kadang rapat digelar oleh pihak Kepolisian,
kadang pula oleh Pemda Lombok Timur. Camat Wanasaba, bahkan diminta
oleh Balai TNGR untuk memfasilitasi pertemuan dengan masyarakat.

“uasa a sudah ukup ko dusif, TN harus memanfaatkan situasi itu. Tapi


di lapa ga asih tega g, u gkap Da iel.

Operasi Gabungan kembali dilakukan 16 hingga 20 September 2017.


Banyak pihak yang terlibat, termasuk Satuan Polisi Pamong Praja,
Kepolisian, TNI dan Balai TNGR Sendiri. Hasilnya, 179 gubuk dibongkar
petugas. Masyarakat yang sadar, membongkar sendiri 73 gubuk. 169 orang
perambah lantas menanda-tangani surat pernyataan.

Dalam masa Operasi Gabungan, Bupati Lombok Timur justru bersurat pada
KLHK. Surat tersebut pada dasarnya adalah meminta KLHK meninjau
kembali keberadaan tanah masyarakat Jurang Koak di Desa Bebidas itu.
Bupati meminta KLHK tidak melakukan tindakan represif yang berlebihan

51
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

dan tidak meminta masyarakat menandatangani pengakuan atas


keberadaan Taman Nasional di wilayah itu (BTNGR, Laporan Kronologis PKTI
Pesugulan, 2019).

Surat ini tampak bagai kontra produktif dengan keadaan di lapangan. Ini
disikapi Balai TNGR dengan terus berupaya agar para provokator di
lapangan segera ditindak. Menurut Daniel, para provokator ini tetap
melakukan berbagai upaya untuk mendapatkan klaim lahan tersebut.

Hal yang sama diakui Wakil Bupati Lombok Timur, H. Rumaksi. Ketika
diwawancara di rumahnya (8 Desember 2020), Rumaksi mengatakan
menerima laporan yang berbeda mengenai situasi lapangan. Satu sisi ada
yang melaporkan bahwa tanah tersebut dipastikan adalah tanah adat.
Sementara laporan lain menyebutkan lokasi tersebut adalah Taman
Nasional.

Hal ini sesungguhnya dipicu keadaan konflik tumpang tindih pengelolaan


lahan antara Pemda Lombok Timur dengan Balai TNGR di Objek Wisata Otak
Kokok, Joben. Lokasinya tak jauh dari Hutan Pesugulan.

Di satu sisi, Pemda Lombok Timur merasa terancam karena akan kehilangan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari objek wisata tersebut. Namun di sisi lain,
Balai TNGR bersikukuh pada aturan bahwa objek wisata yang dimaksud
telah masuk ke dalam areal TNGR. Di antara kedua belah pihak, terdapat
pihak ketiga yang mengantongi izin pengelolaan objek wisata.

Tahun 2002, Pemda Lombok Timur menerbitkan kontrak pengelolaan Objek


Wisata Otak Kokok Gading kepada pihak ketiga atas nama CV. Perdamaian.
Hal ini terjadi menyusul diterbitkannya Peraturan Daerah Lombok Timur
Nomor 6 tahun 2000, tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga.

Di pihak lain, usai ditunjuk sebagai TNGR, Departemen Kehutanan dan


Perkebunan menerbitkan PP 59 tahun 1998 mengenai Tarif Atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kehutanan
dan Perkebunan.

Dalam kacamata ini, tentulah kedua belah pihak berada dalam posisi
berhadapan. Dimana keduanya memperebutkan pemasukan masing-
masing. Namun persoalannya tidak sesederhana itu, ada pihak ketiga di

52
Larik Tenure

antara keduanya. Ada pula ego pusat-daerah yang sengaja dimainkan, ada
juga urusan kewenangan dan aturan yang belum sinkron (Rumaksi, 2020).

Ya, itu kan masa lalu. Termasuk untuk urusan Pesugulan, kami bahkan
menerima banyak informasi yang tidak sesuai. Tergantung kepentingan
pihak yang memberi info. Tapi kan saya ada orang-orang di lapangan.
Me eka tujua ya aik, u gki a a ya ya g keli u, kata ‘u aksi
tersenyum.

TNGR sendiri ditetapkan oleh Menteri Kehutanan pada 3 Agustus 2005.


Sesuai dengan SK nomor 298/Menhut-II/2005, Penetapan Kawasan Hutan
Taman Nasional Gunung Rinjani Seluas 41.330 hektare yang terletak di
Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur Provinsi NTB.
Menjelang penetapan oleh Menteri, kasus Joben sudah hangat dibicarakan.

Rangkaian pertemuan, rapat koordinasi, surat-menyurat dan bahkan bicara


dari hati ke hati sudah dilakukan untuk menyelesaikan kasus Joben. Pada 25
Januari 2007, Pemda Lombok Timur mengeluarkan Naskah Kerjasama Objek
Wisata Otak Kokok Joben antara Pemda Lombok Timur dan CV Harini,
perusahaan yang berbeda dengan yang sebelumnya.

Tapi i i selalu ada uda g di alik atu. Kalau dilihat le ih dala , te tu aka
e uka luka la a, kata ‘u aksi.

Rumaksi tidak mengurai lebih dalam mengenai udang di balik batu itu,
bahkan dia juga tak mau menyebut apa yang dimaksud dengan luka lama.
Dia hanya berharap, persoalan lama yang menyangkut kasus Joben
mestinya tidak terulang lagi di masa depan. Hal ini akan berpengaruh pada
iklim politik dan sosial di Lombok Timur.

Kasus Joben pada dasarnya adalah persoalan tumpang tindih kebijakan.


Satu sisi, Pusat menganggap Joben adalah wilayah Taman Nasional yang
mestinya dikelola oleh Balai TNGR. Di sisi berseberangan, Daerah
beranggapan bahwa Joben adalah wilayah yang kewenangannya ada di
daerah dan dapat diperuntukkan sebagai gudang PAD. Namun kondisi ini
melibatkan pihak ketiga.

Pada tahun 2012, Pihak Ketiga (PT. Joben Evergreen) yang menjadi Mitra
Pemda Lombok Timur dalam mengelola Objek Wisata Otak Kokok Joben

53
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

(dengan SK Bupati yang lama), mulai mengajukan permohonan IUPSWA


(Izin Usaha Pengusahaan Sarana Pariwisata Alam) terhadap area disekitar
objek wisata tersebut. Langkah ini diharapkan bisa menjadi alternatif jalan
keluar penyelesaian permasalahan antara Balai TNGR dengan pihak Pemda
Lombok Timur dengan pengajuan perizinan sesuai peraturan perundangan
yang berlaku (BTNGR, Kronologi Permasalahan Objek Wisata Otak Kokok
Joben dan Upaya Penyelesaian oleh BTNGR, 2019).

Setidaknya, sampai 2012 sudah ada 3 pihak ketiga yang ditugaskan Pemda
Lombok Timur untuk mengurus Joben. Hingga akhirnya, Pemda memutus
kerjasama dengan pihak ketiga dan mulai merancang resolusi dengan Balai
TNGR.

Pada periode 2012 dan 2013, bongkar pasang pengelola objek wisata Otak
Kokok Joben terjadi. 24 Desember 2013, Bupati Lombok Timur
mengeluarkan SK nomor 188.45/482/EKO/2013 tentang Penunjukan CV.
Harini Sebagai Pengelola Objek Wisata Otak Kokok Joben Kabupaten
Lombok Timur tahun 2014.

Sebelumnya 26 Agustus 2013, Pemerintah Kabupaten Lombok Timur telah


pula melakukan Perjanjian Kerjasama dengan PT. Joben Evergreen tentang
Kerjasama Bangun Guna Serah (BGS) Pembangunan dan Pengelolaan
Sarana Penunjang Pariwisata di atas lahan milik Pemerintah Kabupaten
Lombok Timur bernomor 12.TKKSD.VIII.2013 dan 205/JEG/VIII/2013. Pada
tanggal yang sama, Bupati Lombok Timur juga menandatangani SK nomor
188.45/364/EKO/2013 tentang Penunjukkan PT. Joben Evergreen sebagai
Pengelola Objek Wisata Otak Kokok Joben.

Bila ditilik, Bupati Lombok Timur mengeluarkan SK berbeda kepada pihak


yang juga berbeda untuk objek wisata yang sama di tahun yang sama.
Seperti dikatakan Rumaksi, udang di balik batu dan luka lama mulai
terindikasi dari temuan ini. Tapi sekali lagi, ini adalah buku usang yang tak
harus dibaca kembali.

Kendati begitu, keseruan menikmati air terjun di Joben, berikut dengan


petualangan mengasyikkan di hutan primer di sekitarnya tak terhalang.
Pengunjung tetap dapat menikmati tempat wisata ini untuk memanjakan
diri.

54
Larik Tenure

18 November 2013, Kementerian Kehutanan menerbitkan surat nomor


S.1238/Menhut-IV/PJLKKHL/2013 tentang Persetujuan Prinsip Izin Usaha
Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) pada Zona Pemanfaatan Taman
Nasional Gunung Rinjani, Desa Pesanggarahan, Kecamatan Montong
Gading, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat seluas ± 15
hektare atas nama PT. Joben Evergreen.

Berbekal surat dari Pemda Lombok Timur dan surat dari Kementerian
Kehutanan, PT. Joben Evergreen menggugat SK Bupati Lotim nomor
188.45/482/EKO/2013 tentang Penunjukan CV. Harini Sebagai Pengelola
Objek Wisata Otak Kokok Joben Kabupaten Lombok Timur Tahun 2014. Di
awal Januari 2014, tepatnya tanggal 2, gugatan meluncur ke Pengadilan
Tata Usaha Negara di Mataram. Sebulan kemudian, PT. Joben Evergreen
juga melayangkan surat kepada Pemda Lombok Timur dalam rangka
permohonan penunjukkan kembali PT. Joben Evergreen sebagai pengelola
aset Pemda Lombok Timur di Objek Wisata Otak Kokok Joben.

Putusan sela Pengadilan Tata Usaha Negara keluar pada 25 Maret 2014.
Putusan tersebut memerintahkan kepada Pemda Lombok Timur untuk
menunda pelaksanaan penunjukan CV. Harini sebagai Pengelola Objek
Wisata Otak Kokok Joben Kabupaten Lombok Timur Tahun 2014. PT Joben
Evergreen di atas angin.

Tapi apakah hal itu menyelesaikan masalah? Tidak. Pihak-pihak yang


bersengketa bertambah banyak, melibatkan 2 perusahaan, Pemda Lombok
Timur dan Balai TNGR. Persoalan menjadi semakin ruwet karena para
petarung berlomba masuk ke dalam arena.

Hingga 2017, surat menyurat tak henti. Pengadilan Tata Usaha Negara ikut
terlibat. KLHK di Jakarta juga kerap menerima dan berkirim surat. Pemda
Lombok Timur tak ketinggalan, berikut dengan perusahaan yang ditunjuk
Pemda mengelola objek wisata tersebut. Satu hal yang terselip, di dalam
kawasan juga telah ada sertifikat hak milik, mau tak mau Badan Pertanahan
Nasional (BPN) turut terlibat.

Minggu, 19 Agustus 2018, terjadi gempa bumi dengan magnitude 6,9 pukul
21:56:27 WIB. Pusat gempa berada di kedalaman 10 km dan berada di laut,
30 km arah timur laut Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Peta
tingkat guncangan (shakemap) BMKG menunjukkan bahwa dampak gempa

55
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

bumi berupa kerusakan dapat terjadi pada daerah yang berdekatan dengan
pusat gempa. Berdasarkan hasil analisa data akselerograf, stasiun terdekat
dengan sumber adalah stasiun Taliwang (TWSI), berjarak sekitar 34,7 km
dari pusat gempa dengan nilai percepatan tanah sebesar 293.204 gals
(BMKG, 2018).

Tepat 4 bulan sebelum gempa terjadi, 19 April 2018, Balai TNGR melakukan
peninjauan lapangan di lokasi wisata Otak Kokok Joben. Tinjauan ini
melibatkan perwakilan dari Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, Balai
Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VIII, Polres Lombok Timur dan
Koramil Terara. Sayangnya, perwakilan BPN Lombok Timur tidak hadir.

Walaupun urusan pengelolaan Otak Kokok Joben masih belum


menampakkan titik terang, Balai TNGR mengajak pihak-pihak untuk
menyaksikan secara langsung apa yang sedang terjadi di Balai Besar
Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Sulawesi Selatan dan Balai Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung (TNBB). Perjalanan ke Sulsel itu
berlangsung lancar.

Rombongan besar Balai TNGR berikut beberapa orang dari pihak Pemda
Kabupaten Lombok Timur, Pemda Kabupaten Lombok Tengah dan Pemda
Provinsi NTB menghabiskan waktu sepanjang 21 Oktober sampai 2
November 2018 di Sulsel. Mereka belajar bagaimana pengelolaan kawasan
konservasi dapat bersandingan dengan Pemerintah Daerah.

Sekretaris Dinas Pariwisata Lombok Timur, Mertawi tak ikut dalam


rombongan itu. Dia baru saja dipindah tugaskan ke Dinas Pariwisata Lombok
Timur pada November 2018. Sebagai orang baru, tentulah Mertawi begegas
menyesuaikan diri. Dia berkunjung ke Joben.

Di Joben, bangunan tidak terurus tampak berantakan dan tak ada


pengunjung. Bagi daerah, tempat ini istimewa karena menghasilkan PAD,
setidaknya 800 juta rupiah dalam setahun. Pengelolaannya dikontrakkan ke
pihak ketiga. Tapi mengapa tidak diurus? Mengapa dibiarkan saja? Konflik
pengelolaan telah membuang pendapatan penting bagi daerah (Mertawi,
2020).

Beranjak dari pemahaman bahwa Joben adalah istimewa, Mertawi lantas


menemui Kepala Satuan Pengelolaan TNGR wilayah 2, Benediktus Rio

56
Larik Tenure

Wibawanto. Keduanya bahu-membahu mengurai sengketa Joben. Titik


terang Joben ternyata juga berdampak baik pada penyelesaian masalah
perambahan di Hutan Pesugulan.

Ku i ya ada di ke aua asi g-masing pihak untuk menyelesaikan


persoalan. Begitu semua pihak merasa terbantu jika konflik selesai, maka
konflik akan selesai. Tapi yang rumit kan kalau masing-masing pihak ingin
e a g se di i, jadi pa ja g u usa ya, papa ‘io.

Joben layaknya episentrum bagi penyelesaian konflik pengelolaan berbasis


lahan di TNGR. Buktinya, kasus perambahan di Hutan Pesugulan turut
pudur. Semua pihak gembira dengan hasil yang sejauh ini sudah dicapai.

Sabar
Sebuah percakapan terjadi usai Festival Rinjani di Desa Wisata Tete Batu, 13
Desember 2020. Kepala Balai TNGR, Dedy Asriady duduk santai bersama
Kepala Dinas Pariwisata Lombok Timur, Mugni.

Apa ahasia ko u ikasi Pak Dedy? ta ya Mug i. Dedy e ja a sa il


tertawa. Dia justru mengulang kisah lama pertemuan pertamanya dengan
Mugni.

“aya kan justru Pak Kadis marahi waktu pertama bertemu. Itu di kantor
Bupati, u gkap Dedy.

Mugni tak menampik. Dia mengakui, dulu pernah marah-marah pada Dedy.
Dia marah lantaran beranggapan TNGR tidak memberi dampak dan manfaat
untuk masyarakat Lombok Timur. Pemda Lombok Timur, lanjut Mugni, tidak
merasa cukup terbantu dengan keberadaan taman nasional. Justru taman
nasional hanya terkesan menghambat pembangunan.

Ada sekita e it Pak Mug i a ah. “aya dia saja, kata Dedy.

Sabar, ungkap Mugni. Kepala Balai TNGR memperlihatkan kesabaran atas


apapun yang terjadi. Ini adalah pelajaran berharga.

Menurut Mugni, kesabaran adalah kunci resolusi konflik. Penanganan


konflik yang mengedepankan kepentingan bersama justru memberikan
penyadaran baru. Bahwa kepala panas, tentu hal biasa. Tapi sikap yang
57
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

ditunjukkan Dedy justru membuat dirinya sadar, tak banyak gunanya kepala
panas.

Dedy tersenyum, hal serupa pernah dia alami dengan pejabat daerah yang
lain.

“aya ahka pe ah dicuekin Bupati, u gkapnya.

Waktu itu, kisahnya, konflik Joben memang belum mendapat titik terang.
Dia datang ke Kantor Bupati Lombok Timur dengan niat menyampaikan
persoalan Joben yang sesungguhnya.

Me jela g sia g tahu aktu itu. “aya kan datang ke kantor Bupati.
Karena Bupati sibuk, saya harus menunggu. Saya menunggu dekat
mushalla. Kebetulan, ada seseorang di sana yang juga sedang menunggu
Bupati. Kami ngobrol, ternyata beliau rimbawan juga, pernah kerja di
Kehuta a , kisah Dedy.

Sambil menunggu waktu sholat zuhur, Dedy bercerita kepada orang itu jika
dirinya akan menemui Bupati. Dedy juga menceritakan maksud
kedatangannya menemui Bupati, bahwa dirinya akan menyampaikan
konflik Joben yang sesungguhnya adalah kesalah pahaman dan mestinya
dapat dibicarakan bersama, dan seterusnya.

Ya, o a g itu ha ya e de ga e ita saya. Beliau ha ya e ga gguk-


a gguk saja, kata Dedy.

Usai sholat zuhur, orang yang tadinya bicara dengan Dedy mohon pamit
karena sebentar lagi Bupati akan melakukan perjalanan. Dedy hanya
mengiyakan sembari berpikir, bagaimana caranya mencegat dan bicara
langsung dengan Bupati.

O a g itu e uju ke da aa di as Bupati. “aya piki , u gki eliau


adalah supir Bupati. Dan ternyata benar. Bupati keluar dari kantor dan
langsung menuju mobil. Saya sedikit tergesa menemui Bupati. Di pintu
mobil saya perkenalkan diri sebagai Kepala Balai TNGR. Bupati hanya
tersenyum. Saya sampaikan maksud saya, tapi langsung dipotong oleh
Bupati. Beliau bilang, urusannya nanti saja, saya ada urusan lebih penti g,
cerita Dedy.

58
Larik Tenure

Dedy mengangguk, dia melepas bupati dengan berat hati.

“aya ke udia au alik ka a . Kan mobil Bupati sudah jalan. Tapi


sampai di gerbang, mobil itu berhenti. Saya tadinya mau kembali ke kantor,
tapi melihat mobil Bupati mundur, jadi saya tu ggu, la jut ya.

Ternyata benar, mobil Bupati yang tadinya sudah mau ke luar dari gerbang,
kini mundur dan menuju tempat Dedy berdiri. Bupati turun dan meminta
maaf atas sikapnya. Bupati mengatakan akan mengurus kasus Joben
bersama Wakil Bupati.

“aya e te i a kasih. Ko it e upati ta pak kuat e yelesaika kasus


itu. Tapi saya tetap heran, mengapa mobil Bupati undur lagi? Kan beliau
katakan, urusannya nanti saja. Dalam hati saya berpikir, apa mungkin supir
Bupati yang menyampaikan maksud saya? Dalam waktu tak berapa lama,
raut wajah Bupati berubah karena itu. Saya senang karena Bupati sudah
au e ko u ikasi. Itu kejadia ya setelah saya di a ahi Pak Mug i i i,
jelas Dedy.

Mugni menyambut kisah Dedy. Katanya, ya, Bupati kemudian


memerintahkan untuk segera menyelesaikan kasus Joben.

Pelaja a ya, u tuk e yelesaika ko flik e a g pe lu kesa a a lua


biasa. Dan kadang, jalan penyelesaian bisa datang dari siapa saja, termasuk
supi ya Bupati, u gkap Mug i.

Kepala Satuan Pengelolaan TNGR Wilayah 2, Benediktus Rio Wibawanto


mengungkap hal serupa. Menurutnya, resolusi konflik mesti disiasati
dengan berbagai cara. Kesabaran menjadi kunci, tapi komunikasi intensif
adalah kunci lainnya.

Dirinya justru banyak menjalin komunikasi dengan Sekretaris Dinas


Pariwisata, Mertawi. Melalui Mertawi, Rio mendapatkan celah untuk
mendudukkan persoalan Joben sehingga menjadi jernih.

Pak Me ta i e jadi pe ghu u g ya g aik a ta a Balai TNGR dengan


Pemda. Beliau menjalankan fungsi komunikasi dengan sangat lihai, ta das
Rio.

59
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Kuburan Moyang
Tiga buah gundukan tanah membentang di atas lahan sengketa Hutan
Pesugulan. Gundukan tanah itu digadang-gadang sebagai kuburan nenek
moyang orang-orang Jurang Koak. Di sekitarnya sudah tersusun batu-batu
sebagai penanda.

Dikisahkan, konflik Pesugulan adalah konflik perjuangan tanah adat orang-


orang Jurang Koak. Para Pejuang, ungkap Amaq Nopi bahu-membahu
mempertahankan tanah itu dari penguasaan TNGR. Pada tahun 2015,
terjadi pembukaan lahan oleh masyarakat di Pesugulan.

“aya selaku e daha a da pa gli a pe a aha , kata ya.

Mulanya, cerita Amaq Nopi, hutan yang dirambah itu dipikir akan dijadikan
Hutan Kemasyarakatan (HKm). Lantaran sudah ada kelompok masyarakat
mendapat izin HKm dekat dengan kawasan yang dirambah. Jadi saat itu,
belum ada pernyataan untuk dijadikan tanah adat.

Kami, lanjut dia, membabat hutan semata-mata untuk bercocok tanam


untuk menghidupi keluarga. Sementara menebang hutan, ditemukan
tempat ritual. Sembari itu pula mulai ada keinginan mengambil tanah
tersebut dengan cara mengklaim sebagai tanah adat.

Me a g e a , itu te pat itual nyelamet aik (menyelamatkan mata air).


Kalau mata air kecil, masyarakat akan kesana untuk melakukan ritual.
Tempat itu dinamakan orong sumur, artinya jalan sumur. Dinamakan begitu
karena airnya melimpah. Bahkan tanaman tidak mampu tumbuh di sumber
ata ai i i, papa A a Nopi.

Setelah menemukan tempat ritual, kelompok yang dipimpin Amaq Nopi


semakin diyakinkan bahwa tanah itu memang tanah adat. Beriringan
dengan itu, ditemukan pula gundukan batu yang serupa bentuknya dengan
kuburan.

Ketika pengukuran tanah dilakukan, Amaq Nopi membawa meteran. Pada


saat itu, dia melihat ada gundukan tanah. Dekat dengan gundukan itu juga
terdapat tumpukan batu. Mulanya dia masih bertanya-tanya, kenapa ada
gundukan tanah di sekitar itu.

60
Larik Tenure

Kan harus ada tanda-tanda kalau tanah itu adalah tanah adat. Maka
kuburan itu menjadi satu-satu ya ta da agi ka i, u gkap ya.

Amaq Nopi lantas menemui para tetua di kampungnya. Dia ingin


meyakinkan, benar adanya bahwa gundukan batu itu adalah kuburan. Dia
lantas sibuk menemui beberapa orang yang dituakan. Tapi semua mereka
menggeleng. Tidak satupun dari para tetua di kampungnya yang punya
cerita tentang tanah adat di lokasi yang dirambah.

Amaq Nopi tak kehilangan akal. Dia kemudian mengarang cerita.

Ya sudah, saya ti u lah. Itu jadi agus lagi. “aya susu api kayak
ku u a , kata ya.

Tak banyak yang tahu apa yang dilakukan Amaq Nopi. Dia menyusun
kembali gundukan tanah dan batu-batu serapi-rapinya.

Iya, setelah itu saya sebar luaskan, disana itu ada kuburan. Itu yang di sana
itu tolong di pagar, itu kuburan nenek moyang. Kira-kira seperti itu ya, yang
saya sampaikan. Jadi dipagar bagus, ada tempat ritual juga disana itu. Yang
itu yang jadi acuan kita untuk melawan bapak ini, jelas A a Nopi sa il
menunjuk Rio. Mereka tertawa berbarengan. Sebagai catatan, hal tersebut
diceritakan Amaq Nopi pada November 2020 setelah dia berdamai dengan
BTNGR.

Pembuatan kuburan itu lantas berlanjut pada level musyawarah Pejuang


Tanah Adat Jurang Koak. Amaq Nopi menyampaikan apa yang sudah dia
lakukan. Para Pejuang senang, kini mereka punya alasan baru untuk
mengklaim tanah itu sebagai tanah adat.

Tempat ritual itu, lanjut Amaq Nopi, memotivasi dirinya dan rekan-
rekannya. Tempat itu adalah satu-satunya bukti bahwa kawasan itu
memang sudah digarap para pendahulu. Tempat itu dikenal dengan nama
sanggah. Sampai kinipun masih dijadikan tempat nylamet aik. Masyarakat
biasanya menyembelih sapi atau kerbau di tempat itu.

Tak berapa lama berselang, Amaq Nopi berurusan dengan Polisi.


Seterusnya, dia didakwa sebagai pelaku perusakan kawasan dengan
menggunakan alat berat.

61
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Padahal, saya a u e a a padi da jagu g di laha itu. ada juga


pokok alpukat, u gkap ya.

Selama proses pemanggilan polisi, Amaq Nopi berkali-kali dihantui rasa


bersalah. Dia sempat diberi tahu rekannya, Ketua Pejuang Tanah Adat
Jurang Koak sudah ditangkap. Surat Pemanggilan kepada dirinya dititip
melalui kepala Desa Bebidas. Namun Kepala Desa menyembunyikan surat
itu. Amaq Nopi baru menerima surat panggilan ketika jadwalnya sudah
kadaluarsa. Itu artinya, dia tidak memenuhi panggilan Polisi.

Kan tambah takut. Ini kita dianggap tidak koperatif. Akhirnya saya dibuser
juga. Kepala saya pecah kena hantam ketika ditangkap. Di kantor polisi,
pe yidika e la gsu g ha i, u gkap ya.

Satu dari tiga orang yang ditangkap polisi dibebaskan dengan uang jaminan.
Amaq Nopi merasa ini tidak adil baginya. Kendati uang jaminan itu
disediakan oleh keluarga yang bersangkutan, tapi bagi Amaq Nopi, ini
adalah perjuangan bersama. Mengapa dirinya dan Ketua Pejuang tidak
diperjuangkan juga?

Padahal saya kan Bendahara. Dan ini Ketua masih sama saya di dalam
pe ja a, kata ya de ga ada agak ti ggi.

Cikal perpecahan kelompok ini sudah mulai tampak. Amaq Nopi bahkan
sempat beradu jotos dengan Ketua Pejuang di dalam penjara. Masalahnya
hanya hal sepele menyangkut rokok. Tapi suasana panas membuat mereka
terpicu emosi.

Tapi perjuangan Amaq Nopi untuk Tanah Adat Jurang Koak sesungguhnya
adalah perjuangan semu. Dia bahkan menyadari, keterlibatannya dalam
perjuangan itu hanya dipicu keinginan sesaat untuk menguasai lahan.
Buktinya, kuburan yang diklaim sebagai kuburan nenek moyang itu hanya
rekaan saja.

Kini, Amaq Nopi justru berbalik arah. Dia menjadi salah satu penggerak
dalam proses rehabilitasi lahan yang dilakukan bersama Balai TNGR.

Kan yang me usak ha us e pe aiki, ta das dia.

62
Larik Tenure

Jurus Damai
Setelah Amaq Nopi dan dua rekannya yang lain ditangkap petugas, Balai
TNGR merasa memiliki celah di antara kekosongan figur penggerak. BTNGR
memanfaatkan momen ini untuk terus menjalankan jurus-jurusnya. Pada
2018, konflik ini mulai menemui celah penyelesaian. Sebagian masyarakat
yang merambah di Hutan Pesugulan sudah mulai kembali ke desa.

Ja ua i , p og a new trees di Bebidas disosialisasikan oleh Balai


TNGR bersama salah satu LSM. Tapi, ya, belum sepenuhnya berhasil.
Ke i uta te jadi. Ka i ha us alik ka a , uja Kepala ‘eso “PTN Wilayah
I BTNGR, Goris.

BTNGR pulang tanpa hasil, jurus pertama gagal. Upaya ini berujung
penolakan dan keributan. Padahal waktu itu Hutan Pesugulan sempat
dikuasai Balai TNGR, tetapi hanya bertahan dua minggu, masyarakat
kembali lagi ke Pesugulan.

BTNGR tak menyerah, mereka terus bangkit dan berbenah dari kegagalan.
Kini Balai TNGR mulai menyusun jurus baru, karena penegakan hukum saja
tidak cukup. Kendati komunikasi antara Balai TNGR dengan masyarakat di
Bebidas masih sulit dilakukan.

Kepala SPTN Wilayah I TNGR, Rio masuk gelanggang konflik mulai April
2018. Saat itu, dia masih staf baru, tak banyak yang kenal. Rio datang ke
Bebidas tanpa atribut TNGR. Dia menemui Kepala Desa yang baru saja
terpilih dua bulan yang lalu. Rio menyusun langkah baru lewat pendekatan
kepada Kepala Desa. Targetnya, membentuk Kelompok Sadar Lingkungan
(Pokdarling).

Pokdarling Bebidas Lestari baru disahkan pada 23 Maret 2020. Butuh waktu
2 tahun agar Balai TNGR dapat memenangi hati orang-orang di Desa
Bebidas.

Sementara itu, sepulang dari penjara, Amaq Nopi bertekad untuk menebus
kesalahannya. Dia kini menjadi teman baik Balai TNGR, menjadi
penyambung lidah dan gencar mengajak mantan perambah mendatangi
rumah-rumah warga. Tentu ini tidak mudah, dia kini harus berhadap-
hadapan dengan orang-orang yang dulu berada satu barisan dengannya.

63
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Saya ditolak, saya dianggap antek TNGR oleh masyarakat, bahkan saudara
sendiri. Tapi saya bertekad e pe aiki Huta Pesugula , tegasnya.

Sejak kedatangan Rio, Balai TNGR melancarkan strategi baru;


mengamankan hutan Pesugulan dan melakukan pemberdayaan
masyarakat.

Sebelum Operasi Gabungan tahun 2018, Rio berjibaku mendorong


pembentukan Pokdarling. Kegiatan penangkaran rusa menjadi titik masuk
bagi Balai TNGR melakukan pemberdayaan masyarakat.

Balai TNGR juga menyediakan bibit alpukat. Pokdarling membagikan kepada


masyarakat, dan menanamnya di lahan yang tidak produktif. Kecuali itu,
ada pula penangkaran rusa dan Kebun Bibit Desa.

Jurus ini terbukti efektif. Bahkan, anak-anak muda Desa Bebidas mulai
tertarik membuka lokasi wisata Propok. Tapi mereka tak punya Izin Usaha
Pengelolaan Jasa Wisata (IUPJS). Balai TNGR menjadikan mereka sebagai
mitra. Mereka kemudian membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis)
Rinjani Perkasa. Amaq Nopi berperan menjadi salah satu motor penggerak
dalam kelompok ini. Akhirnya, Balai TNGR melibatkan kelompok ini di
dalam kegiatan Masyarakat Mitra Polhut (MPP).

Pada 27 Maret 2020, Pokdarling Bebidas Lestari mengajukan proposal


Kemitraan Konservasi. Hal ini diharapkan menjadi landasan hukum bagi
mereka untuk bekerjasama mengembangkan kegiatan pemulihan
ekosistem di Hutan Pesugulan. Sekaligus memberikan kerangka
pemberdayaan masyarakat Desa Bebidas dalam mendukung konservasi
TNGR. Perjanjian Kemitraan Konservasi sendiri ditandatangani oleh Balai
TNGR pada 16 November 2020.

Ya, pe egaka huku saja tidak ukup, pu gkas ‘io.

64
Larik Tenure

JILID 4

NASIB JATI
MERUBETIRI

65
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

ada mula reformasi – sejak 1998 hingga 2002 – terjadi perambahan


P hutan yang cukup masif di TNMB. Para perambah merangsek masuk
ke dalam kawasan dan menebangi pohon jati yang ditinggalkan Perum
Perhutani. Bukan hanya jati, hutan alam pun tak luput dari jarahan. Para
penjarah berasal dari desa-desa yang jauh di luar dari kawasan TNMB.
Dalam periode tersebut, hutan-hutan TNMB telah menjelma menjadi
kawasan kering yang tandus. Lembaga KAIL menyebut, kawasan yang
dijarah melebihi dari 2 ribu hektare (Jpang, Laporan In-depth Interview &
FGD di TNMB, Jawa Timur, 2019).

Pada Juni 1982, Menteri Pertanian RI memasukkan hutan jati eks Perum
Perhutani ke dalam perluasan kawasan Suaka Margasatwa Meru Betiri.
Hutan jati yang masuk ke dalam kawasan konservasi tersebut ditanam oleh
Perum Perhutani pada 1967/1968 (Balai TNMB, 2020). Itu artinya, pohon
jati yang ada sama sekali belum pernah dipanen. Kondisi demikian
diperparah dengan situasi politik dalam negeri yang berada pada permulaan
reformasi. Ketika masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus
Dur), ada pernyataan yang menyebutkan bahwa masyarakat diperbolehkan
memanfaatkan hutan. Bertolak dari informasi itu, masyarakat di seputaran
TNMB berlomba-lomba membuka lahan untuk pertanian (KAIL, 2020).

KAIL juga menyatakan, sejak 1993, telah dilaksanakan program pelestarian


dan pemanfaatan tumbuhan obat bersama masyarakat. Upaya ini
diprakarsai oleh Konsorsium LATIN-FAHUTAN IPB Bogor. Prakarsa ini
melibatkan banyak bekas perambah, maupun masyarakat desa di sekitar
TNMB.

Sementara Jati, laiknya sebuah magnet di Meru Betiri. Keberadaannya telah


mengaburkan pandangan konservasi yang sesungguhnya pernah dianut
oleh masyarakat yang ada di sekelilingnya. Kepentingan ekonomi sepertinya
sudah menjadi yang utama bagi masyarakat sehingga sikap peduli
lingkungan menjadi tergerus.

Pada 30 November 2020, banjir terjadi di Desa Andongrejo di Kecamatan


Tampurejo. Sebuah tanggul yang membatasi sungai dengan wilayah
pemukiman warga jebol. Tak ada kerugian jiwa dalam kejadian ini. Warga
mengaku, jebolnya tanggul diakibatkan penumpukan sampah di sekitar
tanggul. Ketika debit air naik dan curah hujan tinggi, tanggul yang
tersumbat sampah menjadi jebol.

66
Larik Tenure

Dua bulan setelah itu, tepatnya 14 Januari 2021, curah hujan yang tinggi
mengakibatkan beberapa desa juga terendam banjir. Jember tergenang.
Laporan dari lapangan mengatakan 3 desa di Kecamatan Tampurejo
terendam banjir, yakni; Desa Andongrejo, Desa Curahnongko dan
Wonoasri. Banjir merendam wilayah ini setelah hujan tak henti dalam
beberapa hari terakhir, dan sungai yang ada di ketiga desa meluap.

Di Desa Andongrejo saja, setidaknya air menggenangi pemukiman warga di


beberapa dusun. Ini mengakibatkan 70 rumah terkena dampak. Di
Curahnongko, kejadian banjir 14 Januari itu berdampak pada 2.050 kepala
keluarga. Ketinggian air dilaporkan 40 hingga 120 cm. sementara di
Wonoasri, banjir berdampak pada setidaknya 525 kepala keluarga.

Ya, se agia ha us e gu gsi ke u ah kelua ga. “e agia te paksa


berusaha menempati rumah yang tergenang. Sebagian ada juga yang
e gu gsi ke Balai Desa Wo oas i, u gkap salah seo a g a ga ya g
dihubungi via telepon seluler.

Secara langsung, tentunya kejadian banjir ini tidak berhubungan dengan


Penyot dan kawan-kawannya (Kisah Penyot akan diurai pada bagian lain
dalam catatan ini). Tapi hal ini tentunya berkaitan dengan penjarahan kayu
jati yang telah berlangsung sejak 1998. Informasi KAIL mengenai jati yang
belum pernah dipanen Perum Perhutani menjadi masuk akal dalam koteks
ini.

Perambahan menjadi hal yang jamak. Modusnya bisa beragam, ada yang
merambah untuk membuka lahan pertanian. Tapi ada pula perambah yang
hanya bermaksud memanen jati.

Pada 2012 terjadi 8 kali perambahan seluas 6,6 hektare di Seksi Pengelolaan
Taman Nasional (SPTN) Wilayah II Ambulu dan sekali perambahan di SPTN
Wilayah III Kalibaru seluas setengah hektare (Balai TNMB, 2013).

Di SPTN Wilayah II Ambulu, kasus perambahan terus terjadi dengan rincian


tahun 2013 seluas 0,975 hektare dan 3,245 hektare terjadi 9 kali pada 2014
(Balai TNMB, 2014), 2015 seluas 2,35 hektare, 2016 seluas setengah
hektare, dan 2017 seluas setengah hektare. Perambahan juga terjadi di
SPTN Wilayah I Sarongan seluas setengah hektare pada 2014. Setelah itu,
perambahan tercatat 0 (Balai TNMB, 2019).

67
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Maraknya kejadian perambahan di TNMB membuat banyak pihak berupaya


meredam. Salah satunya adalah KAIL, yang getol memperjuangkan
rehabilitasi lahan sejak 1993. Belakangan, Kemitraan Konservasi menjawab
kegelisahan petani penggarap di TNMB. Kendati hidup dalam khawatir, kini
petani mulai bernafas lega karena pengelola melibatkan mereka
sebagai extended family (Surahman, 2020).

Kuasa Balak
Portal berita news.detik.com melaporkan, seorang pembalak kayu hutan
TNMB tewas setelah ditembak petugas Polisi Khusus Hutan (Polsushut).
Pelaku ditembak karena melawan saat ditangkap.

“aat he dak dita gkap dia e gayu ka golok ke a ah petugas. Ka e a


sudah membahayakan, maka tindakan tegas te paksa dilakuka , kata
Kapolres Jember, AKBP Alfian Nurrizal, Kamis (3/10/2019) kepada
news.detik.com.

Pelaku bernama Aris, warga Kecamatan Tampurejo. Aris sebelumnya


tepergok melakukan pembalakan liar di hutan Dusun Krajan, Desa
Andongrejo, Kecamatan Tampurejo. Wilayah ini termasuk kawasan TNMB.
Tahu aksinya dipergoki petugas, Aris dan temannya berusaha kabur.
Petugas berhasil mengejar dan hendak menangkap Aris. Aris melawan,
akhirnya petugas melepaskan tembakan. Sebuah peluru menembus tubuh
Aris melalui bawak ketiak sebelah kanan.

Pelaku te as di lokasi. “eda gka te a ya e hasil ka u da seka a g


sudah kita asukka dala Dafta Pe a ia O a g DPO , kata Alfia .

Polisi mengamankan barang bukti golok milik pelaku dan pistol yang
digunakan petugas Polsushut menembak pelaku. Petugas tersebut juga
telah dimintai keterangan terkait kronologis peristiwa (Mulyono, 2019).

Peristiwa penembakan Aris Samba sesungguhnya bermula pada 2 Oktober


2019. Diceritakan Kentik (39), istri Aris sedang hamil tua. Aris butuh uang
untuk biaya persalinan dan sebagainya.

Jadi, ha us a il besar da i huta , kata Ke tik.

68
Larik Tenure

Malam itu, Kentik naik ke dalam hutan mencari kayu jati. Tujuannya tak
lain, mengambil kayu jati yang dia sadari berada di dalam kawasan Taman
Nasional. Aris dan Eko sudah terlebih dahulu masuk ke dalam hutan.

Sekitar pukul 11 malam, Kentik sudah bersiap menuju hutan di dusun


Krajan. Dia mengendarai motor. Kentik tahu, Aris dan Eko sudah pergi
terlebih dahulu menuju hutan. Sesampai di hutan sudah dini hari, Kentik
masih mencari-cari kayu sebetan untuk dibawa. Dia tahu, Aris sudah
menandai kayu yang akan diambilnya. Aris bahkan sempat bertemu Kentik
untuk berpamitan. Aris dan Eko pulang terlebih dahulu karena sudah
memperoleh apa yang mereka cari. Beberapa saat kemudian, suara
tembakan terdengar (Kentik, 2020).

Ya, saya la i tu gga g la gga g e uju su gai. Ya takut, ya se u yi,


kata Kentik.

Rekan Aris, Eko melarikan diri dengan sepeda motor. Kentik masih sempat
melihat Eko menggeletakkan motor dan lari menjauh. Usai bersembunyi,
Kentik mendatangi sumber tembakan. Dia tak melihat motor Aris,
kemungkinan dibawa oleh tim Patroli.

Kentik tak sadar, pada saat bersamaan ketika dia berencana mengambil
kayu, Tim Patroli TNMB juga tengah bersiap. Patroli malam itu memang
sudah mengendus adanya pembalakan liar di wilayah Kranjan.

Kentik tak sendiri, dia tak merinci berapa banyak orang yang terlibat
pencurian kayu malam itu. Tapi ada beberapa rombongan, katanya.

Tapi kan saya nggak tahu kalau Aris waktu itu meninggal. Setahu saya,
u gki ke a ta gkap. Lalu saya pula g da tidu , kata Ke tik.

Sontak kematian Aris mengundang gaduh. Andongrejo kocar kacir, tangis


duka tumpah dari Sang Isteri yang tengah hamil tua. Kesumat merajai
beberapa teman Aris, bahkan ada yang berniat membunuh Kepala Balai
TNMB, Maman Surahman.

Maman yang dihubungi terpisah hanya tersenyum ketika mendengar


informasi itu. Menurut Maman, semuanya sudah diatur oleh Yang Maha
Kuasa.

69
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Pada saat terjadi tragedi penembakan itu, Maman lekas mengatur strategi.
Dia menghubungi pihak Kepolisian dan Pemda untuk menenangkan
keadaan. Menurut Maman, kejadian penembakan sudah sesuai dengan
standar operasi dan prosedur. Jika tidak ditembak, kemungkinan akan ada
korban dari tim patroli. Usai tragedi penembakan itu, pihak Kepolisian
melakukan pengamanan di wilayah tersebut.

Kisah-kisah pencurian kayu jati berlanjut. Kendati diamankan polisi, justru


truk pembawa kayu lebih sering keluar-masuk. Kayu-kayu jati segera
menghilang, meninggalkan sisa bekas tebangan. Kayu sisa tebangan jati
dikenal dengan sebetan (Jawara, 2020).

Satu hari di Januari 2020, kisah pencurian kayu juga datang dari Riyanto alias
Penyot (36). Usai kejadian penembakan Aris, truk-truk pengangkut kayu
hilir mudik dari wilayah Bandealit menuju entah kemana. Penyot
terprovokasi. Dia yang beberapa bulan belakangan tiarap lantaran kasus
penembakan itu, kini mulai mencari akal.

Jam 9 malam, Penyot berada di sekitar hutan di wilayah Bandealit. Telepon


selulernya berbunyi. Seseorang di ujung telepon mengatakan ada patroli,
gabungan Polisi dan Taman Nasional. Penyot berdua dengan
keponakannya, Herman segera menyalakan motor dan mengendarainya
melewati hutan karet milik PT. Bandealit. Di puncak pendakian, sekitar
pukul 12 malam itu, Penyot disergap. Polisi dan pihak Taman Nasional
segera memborgol tangannya dan Herman. Mereka berdua dimasukan ke
dalam mobil patroli (Penyot, 2020).

Penyot diinterogasi dan diminta memberi tahu dimana posisi kawan-


kawannya yang lain. Petugas yakin, penyot tak hanya berdua. Penyot diam
saja ketika dibawa kembali ke arah Pantai Bandealit. Jalan berbatu dan terjal
dilalui mobil patroli dengan gesit.

Sebuah jembatan membelah sungai Bandealit. Biasanya, di jembatan itu


para perambah berkumpul. Mobil patroli berhenti di sana. Penyot diminta
menunjukkan dimana posisi teman-temannya yang lain. Sebelum
ditangkap, Penyot tahu kawan-kawannya sudah lari ke arah hilir.

“etia ka a , u gkap Pe yot sa tai ketika di a a a a Dese e


2020.

70
Larik Tenure

Ketika mobil patroli berada di jembatan, Penyot yang ketakutan – dan setia
kawan – mengatakan jika teman-temannya sudah lari ke hulu. Sementara
Kentik dan 9 orang lainnya menghilang di kegelapan, cahaya senter petugas
menyambar ke segala arah.

Hingga menjelang subuh, tak seorangpun rombongan Kentik yang


ditemukan. Penyot dibawa menuju Kantor Resor Andongrejo. Jam 7 pagi,
satu-satunya jalan di depan kantor itu diportal massa. Massa menuntut
Penyot dan Herman dibebaskan.

Singkat kisah, Penyot dan Herman akhirnya dilepaskan dengan


menandatangani surat perjanjian di atas materai. Surat itu berisi
pernyataan bahwa keduanya tidak akan melakukan pencurian kayu lagi di
TNMB.

Sepertinya para pencuri kayu memang tak kapok-kapok. Di Desa Jenggawa,


Jember, TNMB berserta Balai Gakkum KLHK Wilayah Jawa dan Bali
menangkap dua pelaku pembalakan liar dan menyita barang bukti yaitu
satu truk berisi 364 batang kayu olahan jenis kluncing, rau dan bayur.
Tersangka FF dan M ditahan di Polresta Sidoarjo dan barang bukti
diamankan di Kantor Balai Gakkum Jabalnusra di Sidoarjo.

Para pelaku dijerat melanggar Undang-Undang No 18 Tahun 2013 tentang


Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Pasal 12 Huruf e Jo.
Pasal 83 Ayat 1 Huruf b dan Pasal 16 Jo. Pasal 88 Ayat 1 Huruf a, dengan
ancaman pidana maksimum 5 tahun dan denda maksimum Rp 2,5 miliar
(Ditjen Gakkum LHK, 2020).

Dilaporkan, Tim kemudian menyerahkan tersangka beserta barang bukti


kepada PPNS Balai Gakkum Jabalnusra, pukul 14.30 WIB, 19 Maret 2020.
PPNS Balai Gakkum Jabalnusra menitipkan FF dan M di Polresta Sidoarjo.
Barang bukti berupa kayu dan truk untuk sementara diamankan di Kantor
Balai Gakkum Jabalnusra, di Sidoarjo.

Kisah-kisah pencurian kayu sesungguhnya jika ditilik dari kaca mata konflik
tenurial tentu tak ada hubungannya. Tapi di TNMB, pencurian kayu di
dalam kawasan sesungguhnya diikuti pula dengan penguasaan lahan.

71
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Lepas Perambahan
Kliwon (75) sedang bekerja di ladangnya yang seluas setengah hektare di
desa Curahnongko Kecamatan Tampurejo, Jember di Jawa Timur. Tanaman
utamanya adalah Cabai Jamu (Piper retrofractum Vahl). Menurutnya,
menanam Cabai Jamu jauh lebih menguntungkan. Setidaknya, ada sekitar
30 pokok tanaman Cabai Jamu di kebun Kliwon. Cabai Jamu sendiri
merupakan tanaman rempah yang mirip dengan sirih. Buahnya lonjong
sebesar jari kelingking dengan tonjolan-tonjolan kecil bewarna hijau. Buah
yang matang bewarna merah (Jpang, The extended family of Meru Betiri
National Park, 2020).

Kliwon juga menanam tanaman tua semacam petai dan durian. Bibit dia
dapatkan dari pembagian bibit oleh Balai TNMB. Sejak 2002, Kliwon
menggarap lahan bekas Perhutani tersebut. Dia masih khawatir, suatu saat
akan kembali menjadi perambah hutan sementara usianya tak lagi muda.

Kalau laha i i dia il, saya tak tahu ha us hidup da i a a lagi. Lahan ini
memang dulu adalah hasil perambahan. Kini, para perambah menggarap
laha sehi gga le ih p oduktif, u gkap ya.

Kliwon tergabung dalam Paguyuban Persatuan Masyarakat Petani


Rehabilitasi (PERMATARESI), Desa Andongrejo Kecamatan
Tampurejo. Paguyuban ini merupakan bagian dari 108 Kelompok Tani
rehabilitasi dengan jumlah 3.556 Kepala Keluarga. Mereka tersebar di 5
desa, yaitu, Andongrejo, Curahnongko, Sanenrejo, Wonoasri dan
Curahtakir, Kecamatan Tempurejo.

Ketua Kelompok Blok Nomor 9A, yang tergabung dalam Jaringan Kelompok
Tani Rehabilitasi (JAKETRESI), Sugiri menyebut terdapat 18 Kelompok yang
tergabung dalam paguyuban, yang berada di Desa Curahnongko, dengan
mengelola lahan rehabilitasi seluas 410 hektare.

Ka i ulai elakuka eha ilitasi sejak . Be sa a asya akat, ka i


menanam tanaman hutan yang mengkombinasikan antara tanaman
e kayu da uah, sepe ti a gka, da klu ak, papa Ketua Kelo pok Blok
Nomor 9 A, Sugiri.

Para perambah, lanjut dia, mulai merangsek masuk ke dalam kawasan sejak
1998 dan menebangi pohon jati yang ditinggalkan Perum Perhutani. Bukan
72
Larik Tenure

hanya jati, hutan alam pun tak luput dari jarahan. Para penjarah berasal
dari desa-desa yang jauh di luar dari kawasan TN.

Sugiri kini tampak bahagia. Matanya memancarkan harapan yang besar


pada lahan-lahan yang dulunya tandus. Dia mengatakan, anggota
JAKETRESI bekerja secara independen mengelola lahannya dengan tanaman
campuran. Tegakan atas biasanya ditanami tanaman tua semisal petai,
nangka, trambesi, lamtoro dan kluwak. Sementara tegakan bawah yang
dikelola intensif terdiri dari jagung, padi ladang, umbi-umbian dan tanaman
obat.

Na u ka i e utuhka payu g huku ya g kuat. Kemitraan


Ko se asi e ja a kegelisaha ka i, u gkap ya.

Kemitraan Konservasi dilakukan untuk mengurangi kemiskinan,


pengangguran serta ketimpangan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan
hutan. Kemitraan Konservasi dilakukan melalui upaya pemberian
akses pengelolaan legal kepada masyarakat setempat.

Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) bekerja bersama Sugiri, Kliwon


dan kelompoknya sejak 2007. Mereka menggalang inisiatif rehabilitasi
lahan. Namun kegiatan sempat terhenti pada 2015.

P oses pe da pi ga sudah e u u sejak . Hal ini membuat para


penggarap banyak yang mementingkan tanaman hortikultura dan tanaman
obat ketimbang tanaman yang be fu gsi u tuk eha ilitasi laha , kata
Direktur Program LATIN, Arif Aliadi.

Dari catatan LATIN, setidaknya ada 5 desa yang terlibat gerakan rehabilitasi,
yakni: Desa Curahnongko, Andongrejo, Sanenrejo, Wonoasri dan
Curahtakhir. Menurut Arif, masyarakat sudah terlanjur mengelola ribuan
hektare kawasan konservasi TNMB. Hal tersebut memerlukan upaya segera
agar konflik lahan ini tidak meluas menjadi konflik sosial.

Di Indonesia, lanjut Arif, konflik pengelolaan berkepanjangan terjadi di


banyak kawasan konservasi. Masyarakat lokal cenderung menganggap
kawasan konservasi menjadi ancaman bagi mata pencarian mereka,
terutama yang sangat bergantung dengan kawasan. Sementara, pengelola
kawasan konservasi seperti Balai Taman Nasional maupun Balai Konservasi

73
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Sumber Daya Alam di daerah tersandera karena tidak memiliki kewenangan


khusus soal pelibatan masyarakat.

U tu g ya ki i sudah ada pe atu a ya g e adahi kete la ju a


ini. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal KSDAE telah menerbitkan
Perdirjen nomor P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018 tahun 2018 tentang
Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi Pada kawasan Suaka Alam dan
ka asa Pelesta ia Ala , sa u g ya.

Setidaknya, terdapat 10 desa sebagai desa penyangga di TNMB. Sebagian


besar masyarakat di tiap desa masih menggantungkan mata pencarian dan
kehidupan mereka kepada kawasan. Selain itu, terdapat enclave 2 unit
perkebunan, yakni PT Bandealit dan PT Sukamande Baru yang berada di
kawasan dengan status zona khusus.

Extended Family
Dari Madrid, Spanyol, menjelang subuh (7/12/2019), Dirjen
KSDAE, Ir. Wiratno, M.Sc, mengatakan peran masyarakat sangat
menentukan dalam pengelolaan kawasan konservasi dan menjamin
kelestarian sumber daya alam.

Kita i i extended family. Sebuah sistem keluarga yang saling dukung. Apa
yang dilakukan Kliwon di lapangan tentu tak bisa lepas dari sistem
kekelua gaa i i, u gkap Wi at o.

Kliwon, menjadi bagian tidak terpisah dari masyarakat di 6.293 desa di


Indonesia yang berbatasan dengan kawasan konservasi. Pada 2016, desa-
desa tersebut berpenduduk 9,5 juta jiwa. Jumlah ini masih ditambah
dengan mitra-mitra Ditjen KSDAE yang membantu bekerja bahu membahu
dalam kelola kawasan konservasi, para peneliti, praktisi, dan mereka yang
peduli pada pelestarian kawasan konservasi dengan semua isi dan
manfaatnya. Bahkan, satwa liar dimanapun berada dan ribuan jenis flora
juga menjadi bagian dari extended family itu.

Ke it aa ko se asi itu u tuk e a tu a ggota extended family. No


one left behind, ta das Wi at o.

Setahun berlalu, Kliwon dan Sugiri kini mengelola kelompok masing-masing.


Sugiri, bersama rekan-rekannya mengelola petak blok 9A untuk
74
Larik Tenure

direhabilitasi. Sementara Kliwon meneruskan usaha kelola lahan dengan


tetap mementingkan menanam tanaman hutan. Surat Perjanjian
Kerjasama Kemitraan Konservasi telah mereka tandatangani, mereka
bekerja dalam skema Pemulihan Ekosistem.

Upaya yang dilakukan Kliwon, Sugiri dan rekan-rekannya tentu tidak


terlepas dari proses panjang. Proses yang menelan sumber daya, berikut
dengan pikiran-pikiran bernas dari semua pihak.

Lepas dari berbagai upaya yang saat ini sedang dilakukan, masyarakat
sendiri berkebutuhan agar interaksi mereka dengan Balai TNMB dapat
diteruskan.

Ya, kalau isa, ka i te us isa e gelola laha , u gkap Kliwon.

Penduduk yang bermukim di sekitar TNMB, utamanya tersebar di 5 desa;


Andongrejo, Curahnongko, Sanenrejo, Wonoasri dan Curahtakir. Sebagian
besar penduduknya adalah petani dan buruh tani. Namun lahan pertanian
yang tersedia hanya sekitar 1.133 hektare, rata-rata kepemilikan lahan
pertanian hanya 0,11 hektare per KK.

Tabel 1. Kepemilikan Lahan Pertanian di Desa-Desa Sekitar TNMB (KAIL, 2005)

Luas Lahan Rata-rata


No Nama Desa Pertanian Jumlah KK kepemilikan lahan
(hektare) pertanian tiap
hektare

1. Andongrejo 82 1.345 0.06


2. Curahnongko 99 1.716 0.05
3. Sanenrejo 355 1.488 0.23
4. Curahtakir 350 3.263 0.10
5. Wonoasri 248 1.917 0.12
Total 1.134 9.729 0.11

Bagi Balai TNMB sendiri, kawasan konservasi ini tentunya penting


dilestarikan. TNMB berperan sebagai sistem penyangga kehidupan dan
penyeimbang ekosistem. Dalam konteks kekinian, keberadaan TNMB

75
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

sangat dibutuhkan sebagai penyerap dan penyimpan karbon, yang pada


akhirnya berkontribusi dalam menstabilkan iklim mikro dan makro.

Balai TNMB sebagai pengelola kawasan tentunya memerlukan kapasitas,


sehingga otoritas yang dimilikinya dapat didayagunakan untuk mengemban
tugas dengan sebaik-baiknya. Balai TNMB mesti mengelola kawasan ini
secara adil dan lestari. Seturut dengan kesadaran bahwa Balai TNMB sendiri
memiliki keterbatasan semisal; kemampuan personel, finansial,
ketrampilan, pengetahuan, dan sebagainya. Pun pula di tingkat lapangan,
dalam batas-batas tertentu juga masih menghadapi permasalahan seputar
pembalakan liar, perambahan kawasan, dan perburuan satwa liar.

Pemerintah Daerah, di dalamnya termasuk dinas-dinas terkait,


berkebutuhan agar masyarakat yang berada di sekitar TNMB dapat
meningkat pendapatan dan kesejahteraannya. Hal ini dapat dilakukan
dengan melibatkan masyarakat dalam kegiatan pemanfaatan secara lestari,
berikut mengembangkan potensi usaha ekonomi produktif berbasis sumber
daya lokal.

Seturut dengan itu, Perguruan Tinggi juga berkebutuhan agar kapasitas


keilmuan yang dimilikinya dapat berdaya guna. Karenanya, Perguruan
Tinggi dan para akademisi dapat mengembangkan penelitian pada potensi
sumber daya alam di TNMB, berikut dengan beragam aktivitas masyarakat
di sekitarnya.

Sementara, bagi LSM, TNMB merupakan salah satu sentral aktualisasinya.


LSM dapat berperan sebagai fasilitator dan pendamping masyarakat dalam
melakukan aktivitasnya menuju ke arah penguatan dan kemandirian.
Sehingga dapat mendorong ke arah kesetaraan dan kesederajatan
masyarakat di antara para pihak yang lain dalam keterlibatannya dalam
mengelola kawasan TNMB maupun dalam aspek lainnya yang lebih luas.

Bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ataupun Swasta, TNMB dapat
menjadi ajang pengembangan usaha. Usaha-usaha dapat berkembang
seiring dengan kegiatan sosial-ekonomi masyarakat. Prinsipnya, tentu
keadilan berbagi keuntungan dan kelestarian kawasan.

Pendekatan kolaboratif menjadi kebutuhan guna mencapai kelestarian


TNMB. Itu ku i ya, ta das Ma a .

76
Larik Tenure

JILID 5

NIRKONFLIK
TENURIAL DI BUKIT
BAKA BUKIT RAYA

77
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

D alam Borneo Expeditie, setidaknya Molengraaff menyebut lebih dari


83 kali nama Schwaner. Schwaner juga disebut meninggalkan
punggungan pinus Bukit Kelam. Bukit Kelam di Sintang itu kini marak
dikunjungi wisatawan, dan oleh Kementerian Kehutanan telah ditetapkan
sebagai Kawasan Wisata Alam sejak tahun 1992. Namun Bukit Kelam
dijadikan sebagai kawasan Hutan Lindung pada 1999. Kini, terdapat
dualisme pemangku kawasan di wilayah itu. Namun kisah selanjutnya bukan
tentang Bukit Kelam, tapi rute perjalanan Schwaner yang diteruskan
Molengraaff.

Dalam penyelidikan saya di hulu Kapuas dan cabang-cabang sungainya, saya


percaya bahwa daerah patahan utama berada di timur-barat melalui daerah
Embahoe (Sungai Embau) dan Seberuwang. Saya melihat ini bukan saja
untuk wilayah hulu, tapi juga jauh ke selatan. Dengan apa yang diceritakan
Schwaner tentang pegunungan di Melawi dan Katingan di Selatan, maka
saya pikir bahwa daerah patahan menghadap ke timur-barat di wilayah
Kalimantan Tengah (Molengraaff, 1900).

Dia melanjutkan, setidaknya perjalanannya sejajar dengan rute yang telah


ditempuh Schwaner melalui Kalimantan Selatan (menuju Kalimantan Barat)
dan memungkinkan dirinya melakukan pengamatan yang sama.

Pegu u ga pe atasa a ta a Kali a ta “elata da Kali a ta Ba at


memiliki ciri khas seperti konstruksi batuan. Bagian utama pegunungan ini
adalah dataran tinggi yang terdiri dari batuan pasir dan tanah liat yang
berlapis-lapis. Ketebalannya mencapai 600 meter. Dataran tinggi ini
condong mengarah ke utara dimana bagian selatannya lebih curam. Batuan
pasir dan tanah liat bertumpu pada batuan granit. Pada bagian tertentu,
batuan granit berada pada level lebih rendah dari batuan pasir. Sementara
efek erosi mengalir ke selatan. Pegunungan ini saya namakan dengan
PEGUNUNGAN SCHWANER, setelah Schwaner mengklaim bahwa dirinya
adalah orang Eropa pertama yang datang dari Katingan dan menjelajah
wilayah itu pada 1 Januari 1848. Dia menjelajah dari (Tumbang) Senamang
dan melintasi pegunungan ini sepanjang Sungai Serawai dan Melawi hingga
e apai “u gai Kapuas, u gkap Mole g aaff.

Catatan Molengraaff mengenai pegunungan di perbatasan Kalimantan


Selatan dan Kalimantan Barat, tentunya berbeda dengan kondisi hari ini.

78
Larik Tenure

Bila ditilik, keadaan sekarang justru pegunungan itu terletak di antara


Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Barat.
Di wilayah sepanjang rute Schwaner ini, terdapat dua puncak bukit tertinggi,
Bukit Raya dan Bukit Baka. Keduanya terpisah jarak, namun disatukan oleh
peraturan. Mulanya memang terpisah, tapi kebijakan baru menyatukan
kedua puncak bukit ini telah diambil oleh Pemerintah. Kini keduanya terikat
hubungan ekologis menjadi sebuah Taman Nasional.

Setelah mengalami berbagai perubahan status kawasan, Taman Nasional


Bukit Baka Bukit Raya (TNBBBR) ditetapkan melalui Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor SK.4189/Menhut-VII/KUH/2014 tanggal 10 Juni 2014
dengan luas 111.802,20 hektare, sedangkan kawasan Taman Nasional Bukit
Baka Bukit Raya di Provinsi Kalimantan Tengah ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.3951/Menhut-VII/KUH/2014
tanggal 19 Mei 2014 dengan luas 122.822,10 hektare. TNBBBR merupakan
pegunungan patahan dengan ketinggian bervariasi antara 150 hingga 2.278
meter dari permukaan laut. Secara geografis, TNBBBR terletak antara
° , – ° , Buju Ti u da ° , –
° , Li ta g “elata (TNBBBR, RPJP TNBBBR Provinsi Kalbar dan
Kalteng Periode 2018-2027, 2017).

Setidaknya ada 2 sungai besar yang berhulu di kawasan ini, yakni Sub DAS
Melawi dan Sub DAS Katingan. TNBBBR turut menyumbang ketersediaan
air bagi kawasan rendah di sekitarnya. Air dimanfaatkan untuk berbagai
kepentingan, termasuk rumah tangga, industri dan kepentingan lain.

Pun keberadaan sumber air panas Sepan Apoi, pendakian Bukit Baka dan
Bukit Raya, arung jeram Balaban Ella, air terjung Guhung Elang,
penjelajahan botani, fotografi alam liar serta pengamatan herpetofauna
turut memberikan nuansa berbeda pada total wilayah seluas 234.624,3
hektare itu.

Herpetofauna adalah binatang melata yang di dalamnya berupa jenis amfibi


dan reptil. Keberadaan herpetofauna sangat penting dalam rantai makanan
dan menjadi bioindikator lingkungan (Widi, 2018).

Di dalam kawasan, terdapat 1.220 jenis tumbuhan dan 137 famili satwa
(TNBBBR, Database Spesies TNBBBR, 2016). Pemanfaatan terbatas untuk
pendidikan dan penenelitian dilakukan sebagai cara untuk tetap

79
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

mempertahankan ekosistem dan keberadaan kawasan.

Kecuali potensinya yang beragam, kawasan TNBBBR tak lepas dari ancaman.
Perburuan satwa masih kerap terjadi, berikut dengan pembalakan dan
pencurian kayu. Balai TNBBBR sendiri melakukan pembinaan desa
penyangga dan patroli untuk meminimalisir ancaman tersebut.

PETI: Duri Dalam Daging


Ancaman lain datang dari aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI).
Dalam catatan TNBBBR, setidaknya PETI terjadi di Resor Rantau Malam,
yakni di Desa Rantau Malam dan Desa Nanga Jelundung Kecamatan
Serawai, Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat. Sementara sejak 2019
hingga 2020, kegiatan PETI sudah tidak ada lagi di Resor Tumbang Hiran
yakni di Desa Sebaung, Kecamatan Marikit dan Resor Kuluk Sepangi,
Kabupaten Katingan di Kalimantan Tengah (TNBBBR, Self-Assessment
Penanganan Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi, 2020).

Kendati demikian, keberadan PETI di dalam kawasan cukup menyita


perhatian. Balai TNBBBR telah melakukan berbagai upaya untuk
meminimalisir ancaman PETI. Di antaranya dengan melakukan operasi
penegakan hukum dan patroli. Dilaporkan mongabay.com pada 2011, Tim
Gabungan TNBBBR mendapati 139 pondok PETI di sejumlah titik di Bukit
Bahopai, Sekute dan Batu Guntur. Setidaknya 30 mesin diessel – kerap
disebut dengan nama merek dongfeng – ikut diamankan. Namun operasi
ini dikabarkan telah bocor sehingga setidaknya 150 pekerja PETI telah kabur
sebelum tim datang.

Balai TNBBBR telah membentuk Satuan Tugas Penanganan PETI,


pembentukan Masyarakat Mitra Polisi (MMP), patroli dan penjagaan rutin,
operasi gabungan, identifikasi luas kerusakan PETI, serta penangkapan
pelaku PETI. Namun hal ini tentu masih membutuhkan upaya lebih jauh.

Sebelumnya, Agustus 2018, tim Balai TNBBBR melakukan patroli


pengamanan hutan. Dilaporkan http://ksdae.menlhk.go.id/, tim ini
memantau keberadaan PETI di daerah Dangap dan sekitar sungai Mahopai.
Setidaknya 114 unit pondok pekerja PETI ditemukan, dan langsung
dimusnahkan. Kawasan PETI yang berhasil dipetakan adalah sepanjang
18.520 meter dengan total area yang dikover seluas 1.073,74 hektare.

80
Larik Tenure

Sementara itu, ancaman PETI tak hanya sebatas di dalam kawasan TNBBBR,
tapi juga melibas wilayah di luar kawasan. Pada Maret 2020, ruai.tv
melaporkan telah terjadi longsor besar di wiayah Puruk Momuluk yang
diduga sebagai salah satu lokasi PETI. Masyarakat Desa terdekat (Desa
Jelundung dan Rantau Malam) melaporkan air sudah meninggi sejak 2
Maret 2020.

Menurut staf Balai TNBBBR, kejadian ini memang menyita perhatian. Pihak
Balai lantas melakukan peninjauan lapangan di Bukit Momuluk, dan tidak
menemukan adanya aktivitas PETI.

Sebelumnya, selama 10 hari antara 13 hingga 22 September 2019, telah


dilakukan Operasi Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup
dan Kehutan kawasan Hutan TNBBBR di Kabupaten Sintang dan Sekitarnya,
tepatnya di Resor Meroboi, Desa Meroboi, Kecamatan Serawai. Dilaporkan,
Tim menemukan beberapa peralatan kerja yang ditinggalkan oleh pelaku
PETI di dalam kawasan TNBBBR dan sekaligus melakukan pemusnahan
terhadap alat kerja dan barang lain yang ditemukan. Tim memberikan surat
peringatan dan surat pernyataan diatas materai kepada tiga orang warga
Desa Meroboi yang diduga telah melakukan penambangan emas di
kawasan TNBBBR, bahwa yang bersangkutan dilaporkan oleh petugas
Taman Nasional menggunakan mesin Robin dalam melakukan aktivitasnya.
Kepada Kepala Desa Meroboi disarankan untuk membuat konsep Perdes
atau hukum adat terkait kegiatan illegal baik yang terjadi dikawasan
TNBBBR maupun di tanah adat (Balai Gakkum LHK Wil. Kalimantan, 2019).

Berikutnya, pada 7 hingga 16 Desember 2019, juga telah dilakukan Operasi


yang sama di Kabupaten Sintang dan sekitarnya. Tim berhasil menemukan
Barang Bukti hasil kegiatan PETI yang berada di dalam kawasan TNBBBR.
Barang bukti yang dimusnahkan terdiri dari 5 set mesin Robin dan selang,
12 buah jerigen yang berisi minyak bensin, dan 13 unit pondok kerja. Dalam
kegiatan operasi ini tim tidak menemukan pelaku PETI. Selanjutnya
dibuatkan Berita Acara Identifikasi Barang Bukti serta Berita Acara
Pemusnahan Barang Bukti (Balai Gakkum LHK Wil. Kalimantan, 2019).

Pada Desember 2018, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkompimda)


di Sintang mengeluarkan Surat Kesepakatan terkait PETI. Surat tersebut
merekomendasikan 5 hal, termasuk: bersihnya Sungai Kapuas dan Melawi
dari aktivitas PETI, Pemda harus mencari solusi pekerjaan untuk para eks

81
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

penambang, penambangan hanya boleh dilakukan di Wilayah


Pertambangan Rakyat (WPR), Pemda Sintang mengajukan WPR kepada
Pemprov Kalbar, dan Forkompimda bersepakat untuk menjaga wilayah
Sintang dari PETI. Dalam hal ini, Forkompimda terdiri dari Bupati Sintang,
Ketua DPRD Sintang, Kepala Kejaksaan Negeri Sintang, Kapolres Sintang,
Dandim 1205 Sintang, Dandenpom XII/1 Sintang dan Ketua Pengadilan
Negeri Sintang. Namun hal ini berbuntut panjang, para pelaku PETI
melakukan protes keras.

Belakangan, dikabarkan para pelaku PETI telah mendatangi Gubernur


Kalbar untuk menuntut percepatan WPR. Namun hal tersebut masih
memerlukan kajian dan pembicaraan lebih lanjut. Di lapangan, kegiatan
PETI tampak terus berlangsung.

Kepala Balai TNBBBR, Agung Nugroho menyebut, memang permasalahan


PETI sudah berulang kali didorong untuk upaya penyelesaian. Balai TNBBBR
telah membentuk tim patroli gabungan dan MMP untuk melakukan upaya
penegakan hukum.

Na u hi gga saat i i iat aik te se ut elu te ealisasi, u gkap Agu g


ketika diwawancarai 16 dan 17 Desember 2020 di Sintang.

Aktivitas PETI sudah berlangsung sejak lama di sepanjang DAS Serawai dan
Melawi. Dahulu masyarakat di sekitar kedua DAS melakukan penambangan
emas secara tradisional dengan cara mendulang. Seiring perubahan zaman,
aktivitas PETI semakin banyak dan masuk ke kawasan TNBBBR. Pelaku PETI
juga tidak lagi masyarakat lokal, melainkan pelaku dari luar dengan dengan
modal besar dan peralatan modern. Hal ini tentu menjadi perhatian serius
pihak Balai TNBBBR, aktivitas PETI sangat mengancam lingkungan
khususnya di dalam kawasan (Yulianto, 2020).

Rantau Malam
Desa Rantau Malam Kecamatan Serawai Kabupaten Melawi merupakan
salah satu Desa Penyangga yang paling dekat dengan kawasan TNBBBR.
Rantau Malam juga merupakan pintu masuk bagi para pendaki yang ingin
melakukan pendakian ke puncak Bukit Raya, dataran tertinggi di Pulau
Kalimantan di wilayah Indonesia. Daerah ini sangat terancam dengan
keberadaan aktivitas PETI.

82
Larik Tenure

Masyarakat asli Rantau Malam merupakan masyarakat dayak dari sub suku
dayak Uud Danum. Mereka terkenal dengan pemilihan pola bermukim di
wilayah hulu sungai. Aktivitas keseharian masyarakat adalah berladang,
berburu, dan mencari hasil hutan. Dengan munculnya tren PETI di wilayah
mereka, perlahan masyarakat juga ingin ikut melakukan aktivitas yang
sama. Terlebih lagi tuntutan pendapatan ekonomi yang kian meningkat.
Aktivitas PETI dirasa sangat menjanjikan penghasilan, dan lebih praktis bagi
masyarakat.

Tokoh masyarakat di Desa Rantau Malam, Jakat menyampaikan tidak ada


pilihan bagi masyarakat Rantau Malam selain untuk ikut dalam aktivitas
PETI, demi memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Menurutnya,
masyarakat asli Desa Rantau Malam sejak dahulu sudah melakukan
penambangan emas secara tradisional dengan cara mendulang. Tidak
seperti halnya yang banyak terjadi saat ini. Para pemodal dari luar
memanfaatkan masyarakat lokal untuk menambang emas secara illegal
dengan sistem pembagian hasil yang sebenarnya tidak adil bagi masyarakat
yang bekerja.

Hal ini juga disampaikan oleh Kepala Desa Rantau Malam, keadaan ekonomi
masyarakat Desa Rantau Malam yang hanya bergantung dari hasil hutan
dan ladang mungkin hanya cukup untuk kebutuhan perut saja. Namun jika
sudah ada anak-anak dalam satu keluarga, ada melanjutkan pendidikan,
maka tidak ada pilihan lain selain PETI. PETI menjanjikan penghasilan dalam
waktu singkat.

Menurut Budiono (2020) menyanggah sebenarnya penghasilan dari bekerja


PETI tidak seberapa, karena modal yang dikeluarkan juga sangat besar.

Seperti diketahui, semua pekerja PETI mengandalkan perbekalan dari


pemasok yang datang dari luar. Harga sembako dan kebutuhan lain juga
bisa mengalami kenaikan berkali lipat sesampainya di lokasi tambang. Tentu
sebesar apapun penghasilan, jika tiba waktunya penerimaan gaji akan habis
dipotong biaya logistik dan kebutuhan lain (Jakat, 2020).

Saat ini, masyarakat Desa Rantau Malam sudah banyak yang berhenti
melakukan aktivitas PETI. Tapi masih terdapat beberapa warga yang
bertahan, itu juga karena keadaan yang memaksa. Faktor ekonomi
memaksa mereka untuk terus melakukan aktivitas PETI. Selain itu juga

83
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

masih terdapat warga yang melakukan pembalakan liar. Keadaan ini


membuat pihak Balai TNBBBR terus melakukan sosialisasi dan penegakan
hukum.

Desa ini sesungguhnya menyimpan cerita tak kalah menarik dari kisah
Molengraaff. Menurut tokoh masyarakat Desa Rantau Malam, F.D Otong
(2020), Rantau Malam sendiri merupakan sebuah pemukiman yang bermula
dari kisah Singa Macan Ondo. Tokoh ini, menurut dia, merupakan orang
pertama yang membuka perkampungan di Rantau Malam.

“i ga Ma a O do telah berhasil menaklukan hutan dan sungai, serta


e jadika ‘a tau Mala se agai se uah ka pu g, u ap Oto g.

Singa macan Ondo, lanjutnya, sebetulnya lahir dari sebuah keluarga dengan
11 saudara dan orang tua lengkap. Singa Macan Ondo belia, mulanya
menetap di sebuah kampung bernama Sungai Suar. Wilayah tersebut kini
masuk dalam wilayah Kabupaten Melawi. Perpindahan Singa Macan Ondo
sendiri sesungguhnya terpaksa dilakukan karena melarikan diri dari kejaran
Belanda. Dari Sungai Suar, Macan Ondo berpindah ke Nanga Nuak karena
tetap merasa kurang aman. Nanga Nuak sendiri kini berada tepat di
Kecamatan Menukung. Setelah itu, dia pindah lagi ke Rantau Punang.

Singa Macan Ondo dewasa lantas merantau ke hutan dengan menyisir


sungai. Dia mencoba menemukan lokasi perkampungan di hulu Sungai
Jelundung. Masa itu, Sungai Jelundung sendiri belum bernama dan hanya
dihuni 11 hingga 12 Kepala Keluarga saja.

Zaman dulu, lanjut Otong, orang Dayak mengenal istilah dajat/tenung


(didukunkan) untuk menemukan dan menentukan tempat bermukim.
Dajat dilakukan dengan media tali tongang. Hal ini juga yang dilakukan
Singa Macan Ondo dan kerabatnya ketika akan pindah dari Sungai
Jelundung menuju Kampung Rantau Malam.

Na a ‘a tau Mala di e ika ka e a te pat i i dulu ya se i g ada yang


e gi ap kala ala ha i, u ap Oto g.

Rumah Betang di Desa Rantau Malam merupakan satu-satunya Rumah


Betang yang ada di daerah hulu. Menurut Otong, setelah sekitar 10 tahun
berada di kampung Rantau Malam, Singa Macan Ondo bersepakat dengan

84
Larik Tenure

masyarakat kampung membangun sebuah Rumah Betang. Tujuannya agar


mereka bisa menetap lebih lama.

Wilayah i i dia ggap sa gat aik da a a da i ga ggua pihak lua , u ap


Otong.

Rumah Betang di Rantau Malam ini berdiri sekitar tahun 1930. Bilik Singa
Macan Ondo sendiri berada ditengah-tengah Rumah Betang. Mulanya, di
rumah ini terdapat 23 bilik.

Sekarang rumah betang sudah mulai ditinggalkan dan rusak. Hanya tersisa
11 bilik saja, dan hanya 6 yang ditempati.

Nirkonflik Tenurial
Balai TNBBBR membuat jadwal rutin untuk melakukan sosialisasi dan
penertiban aktivitas PETI di dalam kawasan. Namun tentu masih banyak
tantangan di lapangan, terutama bocornya informasi kepada pelaku PETI
terkait kegiatan patroli. Selain itu, perlawanan di lapangan terkait aktivitas
Polhut ketika berpatroli juga menjadi ancaman serius yang harus dihadapi.
Tidak jarang tim patroli juga mendapatkan ancaman dan kontak fisik
maupun senjata dengan para pelaku PETI (Yulianto, 2020).

Adanya aktivitas PETI pada sebagian wilayah TNBBBR di Resor Rantau


Malam dan Resor Tumbang Hiran telah menimbulkan kerusakan habitat, hal
tersebut telah mengurangi terjaganya nilai-nilai keanekaragaman hayati
dan ekosistem. Fitur-fitur kawasan berkurang tetapi fitur utama masih
utuh. Hal-hal yang dapat dilakukan ke depan untuk menjaga dan
memperbaiki keutuhan keanekaragaman hayati di wilayah yang mengalami
degradasi yaitu di antaranya dengan melakukan penjagaan kawasan yang
lebih intensif serta rehabilitasi dan restorasi kawasan (TNBBBR, RPJP
TNBBBR Provinsi Kalbar dan Kalteng Periode 2018-2027, 2017).

Berdasarkan penilaian METT tahun 2017, kondisi ancaman yang dihadapi


dalam pengelolaan TNBBBR saat ini dan merupakan ancaman tinggi yaitu
perburuan dan ancaman dari aktivitas PETI di dalam kawasan. Perburuan,
dalam hal ini menyangkut fitur penting kawasan yaitu perburuan terhadap
burung enggang gading yang merupakan spesies maskot TNBBBR. Ancaman
datang dari aktivitas PETI dari 2 wilayah; yaitu di Wilayah Resor Rantau
Malam (Desa Rantau Malam dan Desa Nanga Jelundung Kecamatan
85
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Serawai, Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat) dan di Wilayah


Resor Tumbang Hiran (Desa Sebaung, Kecamatan Marikit, Kabupaten
Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah). Kegiatan PETI yang dilakukan di
pinggir-pinggir sungai tidak hanya terjadi di wilayah taman nasional namun
juga dilakukan di luar itu. Kegiatan PETI khususnya di Resor Rantau Malam
telah berlangsung cukup lama dan menimbulkan dampak kerusakan
lingkungan dan habitat tumbuhan dan satwa liar di dalam kawasan
(TNBBBR, RPJP TNBBBR Provinsi Kalbar dan Kalteng Periode 2018-2027,
2017).

RPJP TNBBBR tersebut juga menjelaskan beberapa upaya yang telah


dilakukan TNBBBR untuk menghentikan dan mengurangi aktivitas PETI dari
kawasan. Kegiatan preventif sampai represif dilakukan seperti; penyuluhan
dan sosialisasi peraturan perundangan dan dampak negatif PETI, pemberian
bantuan bibit karet untuk pemberdayaan masyarakat, perekrutan petugas
lapangan dari masyarakat setempat, pembentukan MMP, patroli
pengamanan rutin hingga operasi gabungan dengan melibatkan TNI, Polri,
SPORC dan Pemda terkait.

Pada kegiatan operasi gabungan di tahun 2016 yang melibatkan TNI dan
Polri, berhasil menangkap 2 (dua) orang pelaku PETI dan telah diproses di
pengadilan. Kegiatan patroli rutin dan operasi gabungan yang dilaksanakan
hanya berdampak pada penghentian aktivitas PETI untuk beberapa saat dan
belum benar-benar berhasil memberantas atau menghentikannya secara
permanen dari dalam kawasan. Namun semakin intensif kegiatan
pengamanan akan berbanding lurus dengan pengurangan aktivitas illegal
oleh masyarakat di dalam kawasan.

Lantas, dimana letak konflik tenurialnya? Mari lanjutkan.

Pada malam hari, 3 Oktober 1894, terjadi petir dan hujan deras hingga
membuat sungai banjir. Pukul 8.40 pagi hari sebelumnya, rombongan Kami
tiba di tepi bukit lalu mendakinya. Setelah siang, pukul 13.30, rombongan
ekspedisi tiba di atas bukit pada ketinggian 728 mdpl. Dari sini, Saya
memandang jelas pada lembah Serawai (Molengraaff, 1900).

Pada 4 Oktober 1894, rombongan ini meneruskan pendakian. Menjelang


siang, awan hitam sudah datang dan memaksa mereka berhenti di tebing
yang cukup curam. Hujan datang lebih deras dari sebelumnya. Pembantu
86
Larik Tenure

Molengraaff adalah lelaki Dayak, namanya Njaroh (Nyaroh), tidak sanggup


membayangkan kemurkaan alam. Dia takut, kemungkinan roh penunggu
Bukit Raya sedang marah. Njaroh mempersembahkan ayam yang mereka
bawa untuk para roh penunggu Bukit Raya. Kendati Molengraaff mencoba
menolak persembahan itu, tapi Njaroh tetap melakukan persembahan.
Molengraaff sadar, kalau tetap memaksakan kehendaknya, maka
kemungkinan orang Dayak yang menjadi pendamping perjalanan akan
kembali pulang. Pendakian itu terancam batal. Molengraaff mencatat,
bebatuan besar di sepanjang pegunungan ini terdiri dari batuan padat
kuarsa dan diabase porphyrite. Granit memainkan peran utama di seluruh
Kalimantan Barat. Seluruh Pegunungan Schwaner adalah tali-temali granit.
Granit yang masif meliputi semua batuan sekunder.

Endapan sungai tua yang mengandung kerikil terkandung secara utuh di


Kalimantan. Tapi di Kalimantan Barat, hampir semua tempat adalah emas.
Tanah aluvial ini di banyak tempat sudah dilalui orang China dengan
kebiasaan mereka menambang. Disini, kadar emas tidak terlalu
diperhitungkan, termasuk endapan di sisi perbukitan sungai Embau
(Embahoe) dan Serawai. Penyelidikan yang sistematis belum dilakukan
untuk menemukan jalur emas di sisi lembah sungai besar, bahkan mungkin
tidak mendapat keuntungan yang rasional. Saya pikir emas Kalimantan
masih cukup lama untuk dieksploitasi sebelum invasi penambang orang
kulit putih. Tidak perlu terjadi perusakan keindahan alam dan
penghancuran total populasi dayak (Molengraaff, 1900). Sedianya, emas
bukanlah produk utama yang ditambang penduduk untuk dijual. Ada dua
jenis mineral lain, yakni berlian dan platina (Schwaner, 1853). Namun
belakangan, hanya emas yang tersisa.

Dari pusat desa, dongeng pohon emas mengalir bagai udara. Dulu kala ada
pohon yang disebut warga sebagai Batang Berang (Budiono, 2020). Konon
pucuk pohon itu sampai menembus langit. Mitosnya, Batang Berang adalah
pohon yang mengandung emas. Banyak anak-anak yang bermain di pohon
itu. Namun kebanyakan yang bermain di Batang Berang akan menderita
gatal-gatal, sejenis penyakit kulit. Para orang tua resah, melihat anak-anak
mereka dihinggapi penyakit.
87
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Budiono melanjutkan, penduduk akhirnya berembuk, mereka menyepakati


untuk menebang Batang Berang. Batang Berang akhirnya ditebang hingga
rubuh. Pohon itulah yang kini menyebar dimana-mana dan menjelma
menjadi emas. Sungai Jelundung hanya salah satu ranting pohon yang
terserak ke bumi. Sementara di Rantau Malam, sayangnya tak banyak
serpihan pohon yang jatuh. Batang Berang jatuh paling banyak di sungai
Melawi dan Serawai.

Berdasarkan hasil observasi, wawancara serta diskusi kelompok terfokus


yang dilaksanakan Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN), tidak
ditemukan adanya klaim lahan pada wilayah PETI yang berada di dalam
kawasan TNBBBR. LATIN telah melakukan rangkaian kegiatan di wilayah
tersebut sejak Agustus 2020, dan tidak ditemukan adanya klaim tenurial
dari para penambang.

Unit penambangan emas terdiri dari beberapa bagian. Pertama, bagian


yang berfungsi menarik mineral bebatuan ke dalam mesin pengolahan.
Dapat dikatakan sebagai saluran intake. Saluran berupa pipa beragam
ukuran yang terhubung langsung ke tanah bebatuan yang diduga
mengandung emas. Untuk menyedot mineral tanah, penambang
menggunakan mesin. Mereka menyebutnya Dompeng atau dongfeng.
Sedianya Dong Feng adalah merek mesin diessel dengan beragam ukuran
dan tenaga. Mesin ini mampu menyedot mineral tanah sesuai dengan
kemampuannya. Untuk menyedot, mesin ini harus dibantu dengan air,
sehingga mineral tanah bisa terangkut. Karena itu, biasanya ujung sedotan
berada di dekat air atau pinggir sungai (Jpang, Kajian Lanskap, Potensi
Ekowisata, Identifikasi Kemitraan Konservasi dan Pemberdayaan
Masyarakat di Desa Rantau Malam, TNBBR, 2020).

Jpang melanjutkan, kedua, bagian pengolahan, berupa bangunan yang


melindungi ketel baja – penambang menyebutnya tromol – yang berfungsi
untuk pengolahan mineral tanah. Di dalam ketel baja itu, minaral tanah
dipecahkan hingga menjadi lumpur. Lumpur yang mengandung emas akan
disatukan oleh cairan merkuri, sebagian mungkin menggunakan sianida.
Bahan kimia ini biasa digunakan penambang pada pertambangan-

88
Larik Tenure

pertambangan sederhana. Merkuri akan bersenyawa dengan campuran


logam emas, perak ataupun tembaga. Ketika semua lumpur telah
dikeluarkan, para penambang membuka ketel dan mengambil campuran
logam yang terjerap oleh merkuri. Proses selanjutnya adalah proses
pengolahan cairan logam itu.

Ketiga, bagian pembuangan lumpur. Lumpur hasil olahan dibuang begitu


saja ke sungai. Mulut pembuangan mengucurkan berkubik-kubik lumpur
bercampur air. Banyak kalangan menilai, lumpur pembuangan ini masih
mengandung merkuri atau sianida. Akibatnya, zat kimia ini turut meracuni
perairan. Kecuali itu, penambang juga kerap dilengkapi dengan bangunan
tempat tinggal. Di lokasi penambangan yang cukup besar, tersedia dapur,
kamar tidur dan tempat menaruh peralatan.

Selain berukuran beragam, unit penambangan emas juga didukung dengan


sarana lain. Kapal misalnya. Dengan kapal, unit penambangan bisa
berpindah-pindah, sesuai dengan lokasi yang diinginkan dan masih dapat
ditempuh dengan kapal. Supaya tidak hanyut, kapal ditambatkan dengan
tali yang melintang hingga ke seberang sungai. Jika para penambang merasa
sudah tidak mendapatkan emas di satu tempat, mereka akan pindah ke
tempat lain dengan mudah.

Menurut Jpang, para pekerja tambang menghabiskan waktu di kapal.


Mereka jarang turun ke darat kecuali untuk membeli perbekalan. Kadang
kala, pedagang datang membawakan bekal buat mereka. Sebagian lagi,
bahan konsumsi disediakan pemilik mesin.

Di sepanjang sungai Serawai, keadaan serupa juga ditemui. Para


penambang berjejer di sepanjang pinggir sungai. Di hilir, masih
memungkinkan untuk kapal-kapal pembawa peralatan menambang untuk
ditambatkan. Sebaliknya ke hulu, alat penambang tak lagi dibawa kapal
pengangkut. Sementara di Desa Rantau Malam, keadaan jauh berbeda.
Suara bising dari mesin penyedot jarang terdengar. Mesin penyedot jauh
berada di bagian tengah dan hilir Serawai. Suasana desa jauh lebih sunyi
tanpa kehadiran suara-suara tersebut. Kecuali di bagian desa yang dekat

89
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

dengan Desa Nanga Jelundung. Penduduk desa mengaku, sebagian besar


dari mereka mulanya adalah pekerja tambang. Mereka banyak terlibat
sebagai pendukung operasional mesin penambang. Operator mesin tetap
saja orang yang berasal dari luar desa. Sebagai pendukung, beberapa tahun
yang lalu, penduduk Desa Rantau Malam masih menyediakan sarana
transportasi untuk mengangkut perbekalan, minyak dan keperluan lainnya.
Tapi aktivitas itu jauh berubah dalam 5 tahun terakhir (Jpang, Kajian
Lanskap, Potensi Ekowisata, Identifikasi Kemitraan Konservasi dan
Pemberdayaan Masyarakat di Desa Rantau Malam, TNBBR, 2020).

Jpang melanjutkan, berdasarkan penuturan salah seorang responden,


memang ada warga Rantau Malam yang melakukan aktivitas penambangan
di luar desa. Sebagian mereka terlibat operasi tambang emas di desa
tetangga, Nanga Jelundung. Desa ini disinyalir sebagai lokasi penambangan
terbesar di hulu Serawai. Aktivitas penambangan di sini sudah berlangsung
lebuh dari 20 tahun terakhir, kendati dari penelusuran literatur menyatakan
bahwa kegiatan penambangan sudah dilakukan sebelum ekspedisi
Molengraaff dilakukan.

Nanga Jelundung merupakan wilayah akses utama para penambang


merangsek ke kawasan TNBBBR. Melalui sungai, dengan peralatan
tambang yang teronggok di atas kapal, para penambang berangsur-angsur
merayap terus ke hulu. Perahu-perahu dikerahkan untuk mencapai wilayah
yang masih memungkinkan ditempuh. Bila aliran air tak mungkin lagi
ditempuh dengan alat pengangkut, maka buruh angkut dikerahkan (Jpang,
Kajian Lanskap, Potensi Ekowisata, Identifikasi Kemitraan Konservasi dan
Pemberdayaan Masyarakat di Desa Rantau Malam, TNBBR, 2020).

Faktor utama yang memicu maraknya pertambangan adalah kandungan


dan kualitas emas. Selain itu juga disebabkan karena tingkat pengusahaan
yang mudah dan tidak memerlukan keterampilan khusus. Adanya pemodal
dan penampung hasil PETI juga terus memacu maraknya PETI, termasuk
penegakan hukum yang belum cukup optimal lantaran keterbatasan
sumber daya manusia dan aksesabilitas (TNBBBR, Self-Assessment
Penanganan Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi, 2020).
90
Larik Tenure

Pada 2018, 15 kali penerbangan drone sudah dilakukan. Informasi yang


didapat adalah: pertama, total panjang jalur teridentifikasi PETI sepanjang
18.520 meter dengan luas 1.073,74 hektare. Dua, luasan PETI teridentifikasi
190,57 hektare. Tiga, masih terpantau pondok yang dicurigai sebagai
pondok PETI di Batu Guntur sampai dengan Sungai Mahopai. Pada 2018
telah dihancurkan 114 pondok, sedang tahun 2019 juga dilakukan
penghancuran pondok dan peralatan PETI (TNBBBR, Self-Assessment
Penanganan Konflik Tenurial di Kawasan Konservasi, 2020).

Namun angka-angka tersebut terus mengalami perubahan. Karena akses


jalan masuk ke lokasi penambangan sangat terbuka. Para penambangan –
seperti disebutkan sebelumnya – menggunakan sungai sebagai pintu masuk
dari Desa Nanga Jelundung atau cabang sungai lain yang terdapat di Desa
Rantau Malam. Sejauh ini tidak ada penjagaan pada jalan akses di kedua
sungai tersebut. Penambang menggunakan akses melalui sungai untuk
datang dan pergi. Modus utama yang berkembang adalah: mulanya para
penambang masuk ke desa dan menjalin kerjasama dengan warga
setempat. Ada yang beralasan bahwa kerjasama itu terjadi karena
hubungan keluarga, tapi ada juga yang berpendapat bahwa sudah ada
hubungan antara warga desa dengan pihak-pihak yang menjadi
penghubung dengan para pemilik modal. Tidak ada yang mampu
mengontrol hubungan tersebut (Jpang, Kajian Lanskap, Potensi Ekowisata,
Identifikasi Kemitraan Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat di Desa
Rantau Malam, TNBBR, 2020).

Lantas, lanjut laporan Jpang, warga desa yang mengaku punya hubungan
dengan para agen atau pemilik modal ini menemui pihak berpengaruh di
desa. Mereka datang bukan untuk pengurusan izin, tapi untuk mendapat
dukungan. Pihak yang berpengaruh di desa ini terdiri dari orang-orang yang
memiliki jabatan penting, posisi penting, dukun, jawara atau memiliki
kekayaan. Setelah mendapat restu, maka mesin untuk menambang sudah
dapat dibawa. Di sungai, tidak ada kontrol. Penambang hanya disyaratkan
melakukan penambangan dekat dengan wilayah sungai. Ada 2 alasan yang
berkembang; jalur emas dekat dengan sungai, dan pembuangan limbah
mudah dihanyutkan oleh air sungai.
91
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Setelah mesin beroperasi, pera penambang bebas berpindah. Jika dirasa


suatu lokasi tidak ada emasnya, maka mereka akan pindah ke lokasi lain.
Karena kemudahan ini, para penambang dapat masuk hingga jauh ke dalam
kawasan Taman Nasional (Nenen, 2020).

Di Rantau Malam, tak banyak informasi yang beredar. Penduduk selalu


berupaya menghindar bila pembicaraan sudah mengarah pada urusan PETI.
Sesungguhnya, diskusi soal PETI sudah dihindari penduduk sejak di pusat
Kecamatan Serawai. Penduduk Rantau Malam beralasan, para operator
PETI berasal dari orang di luar desa. Jadi mereka tidak tahu banyak soal PETI.
Kendati ada setidaknya 3 keluarga yang bekerja untuk PETI. Mereka
menggunakan mesin robin yang lebih kecil. Pengakuan warga, sepuluh
hingga dua puluh tahun yang lalu memang banyak pekerja tambang.
Sekarang sudah banyak yang meninggal dunia. Usaha tambang emas tak
lagi dilanjutkan oleh keturunannya. Kendati demikian, warga mengakui jika
beberapa orang penduduk bekerja untuk mendukung PETI sebagai
penyedia jasa transportasi, pemasok bahan bakar dan bahan konsumsi.
Mereka membawa persediaan bahan bakar dan konsumsi dari pusat
kecamatan di Serawai (Jpang, Kajian Lanskap, Potensi Ekowisata,
Identifikasi Kemitraan Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat di Desa
Rantau Malam, TNBBR, 2020).

Para pemilik atau pemodal – dalam bahasa lokal disebut toke – biasanya
mempekerjakan orang-orang lokal untuk mengantarkan bahan-bahan dan
barang kebutuhan kepada para operator tambang di lokasi penambangan.
Para Toke memasok logistik untuk kebutuhan para penambang melalui jalur
air, karenanya mereka butuh para pengangkut perahu, pengangkat barang
dan orang yang mengerti jalur sungai. Para pendukung ini biasanya adalah
orang lokal. Sementara untuk operator, para Toke memercayai orang yang
lebih berpengalaman menjadi operator tambang emas dan bermental kuat.
Emas murni yang didapatkan melalui proses pendulangan atau dengan
menggunakan mesin robin dijual ke penampung yang ada di pusat
kecamatan di Serawai. Tapi untuk menjual, warga harus menabung
emasnya terlebih dahulu supaya bisa ditukarkan dengan uang yang lebih

92
Larik Tenure

banyak. Ada warga yang menyimpan selama berbulan-bulan, bahkan


bertahun agar bisa menjual emasnya (Nenen, 2020).

Hasil yang tak menentu ini membuat warga tidak terlalu mengandalkan
emas lagi sebagai mata pencarian pokok. Mereka memilih melakukan
pekerjaan lain yang lebih pasti. Kecuali usaha berbasis pertanian, menjadi
penyedia jasa bagi para penambang justru lebih menguntungkan dan pasti.
Karena itulah, orang Rantau Malam kini tak banyak lagi mengandalkan
penambangan emas sebagai sumber pendapatan. Beberapa orang elit di
Desa Rantau Malam mengaku, juga terdapat penambangan emas di Hutan
Adat Desa Rantau Malam. Penambang terdiri dari para pendulang emas
dan ada pula yang menggunakan mesin robin. Selaian para penambang
yang berlokasi di hutan adat, para penambang yang berada di sungai-sungai
yang masuk ke dalam wilayah desa juga dipungut iuran. Jumlah penambang
beragam, ada yang mengatakan 40an unit, ada pula yang mengatakan
jumlahnya hanya belasan unit (Budiono, 2020).

Pengurus Lembaga Adat, Agustunis Nenen mengaku, pernah melakukan


pendataan kepada para penambang emas di Desa Rantau Malam pada
Oktober 2019. Jumlah mesin penambang sekitar 35 unit. Namun jumlah ini
menurun di bulan berikutnya, yang tertinggal hanya belasan. Para
penambang berpindah-pindah, menyulitkan kontrol. Sudah ada
kesepakatan dengan Pemerintahan Desa untuk menarik iuran dari para
penambang, setiap mesin ditarik iuran sebesar 50 hingga 100 ribu rupiah.
Selain uang iuran, para penambang di wilayah Desa Rantau Malam juga
disyaratkan membayar sejumlah uang pada saat awal mula ketika mereka
membawa mesin. Mesin dongfeng berukuran besar harus membayar uang
300 ribu rupiah dan 100 ribu rupiah untuk robin.

Sementara sumber lain menyebut, rata-rata setiap mesin ditarik uang awal
sebesar 2,5 juta rupiah. Iuran bulanan untuk mesin dongfeng berkisar
antara 300 hingga 500 ribu rupiah selama mesin beroperasi. Iuran untuk
mesin robin hanya berkisar antara 100 hingga 250 ribu rupiah per mesin
sepanjang beroperasi.

93
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Pengurus adat bekerjasama dengan Pemerintah Desa dalam menarik iuran


tersebut. Uang hasil iuran digunakan untuk operasional adat dan
Pemerintaan Desa. Namun sejauh ini, informasi tersebut hanya
mengandalkan wawancara oral dengan Pengurus Lembaga Adat. Dualisme
pandangan terhadap penambangan emas terjadi pada titik ini. Satu sisi,
Pengurus Lembaga Adat dan banyak warga menilai bahwa penambangan
emas merusak lingkungan. Air sungai menjadi keruh lantaran bebatuan
menjadi lumpur, lalu hanyut ke badan air. Air lantas membawa sedimen,
membuatnya bertambah keruh menuju hilir. Kecuali itu, penggunaan air
raksa dan atau sianida turut membuat pencemaran kimia. Di sisi lain,
Pemerintah Desa dan Pengurus Lembaga Adat melakukan penarikan iuran
kepada para penambang. Ini mengindikasikan bahwa para penambang
mendapat restu dari lembaga-lembaga yang berpengaruh di Desa Rantau
Malam tersebut (Jpang, Kajian Lanskap, Potensi Ekowisata, Identifikasi
Kemitraan Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat di Desa Rantau
Malam, TNBBR, 2020).

Laporan Jpang menyebut, kondisi diperparah dengan minimnya partisipasi


warga. Sebagian penduduk Desa Rantau Malam yang sempat diwawancarai
mengaku bahwa kegiatan penambangan emas tidak baik, karena
mengganggu lingkungan dan berkemungkinan berpengaruh terhadap
kesehatan. Tapi mereka enggan untuk bersuara. Sebagian lain yang
diwawancarai tidak terlalu peduli. Sementara ada beberapa orang yang
mendukung penambangan emas dengan syarat; dilakukan pembatasan.

Pantauan terakhir dari Pengurus Lembaga Adat Desa Rantau Malam, para
toke dan operator tambang lebih banyak beroperasi di masa pagebluk
(pandemi covid19) dikarenakan tidak ada patroli. Para penambang lebih
leluasa karena terlepas dari pantauan petugas, tidak ada kontrol lokal dan
logistik tersedia (Budiono, 2020).

Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, para pelaku PETI dapat


dikategorikan sebagai berikut (Jpang, Kajian Lanskap, Potensi Ekowisata,
Identifikasi Kemitraan Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat di Desa
Rantau Malam, TNBBR, 2020): Pertama, Individu Toke atau Pemodal; yakni
94
Larik Tenure

orang-orang yang memiliki modal. Oknum pemodal memberikan modal


usaha kepada para operator PETI untuk keperluan biaya hidup selama
proses penambangan, biaya sogok dan biaya keamanan (bila diperlukan).
Selain itu, pemodal juga berhak atas hasil emas yang dihasilkan selama
proses penambangan. Ada beberapa cara penarikan emas ini dilakukan
pemodal. Jika para operator adalah orang-orang berpengalaman, maka
hasil emas biasanya dibagi. Namun bila operator adalah orang-orang yang
relatif baru, maka pemilik modal biasanya hanya memberikan gaji
berdasarkan hasil emas yang diperoleh. Para pemodal juga adalah orang-
orang yang biasanya menguasai pasar emas, termasuk bahan-bahan yang
dibutuhkan selama proses penambangan semisal air raksa atau merkuri.

Kedua, Individu Operator PETI; adalah para pelaku operasional PETI di


lapangan. Operator juga dapat dibedakan atas beberapa tingkatan.
 Pemimpin di lapangan biasanya adalah orang yang sangat
berpengalaman dalam menambang emas. Dia bertugas mengorganisir
seluruh proses penambangan, termasuk penempatan pekerja, lokasi
menambang, lobi lokasi dan keamanan. Pemimpin Operator ini juga
sekaligus menjadi penghubung antara Toke dengan para pekerja.
Biasanya, Toke tidak akan berhubungan langsung dengan para pekerja.
Pemimpin Operator biasanya juga bertugas mengendalikan kapal
penambang, berikut memberi arahan dan tata cara penambangan.
 Pekerja PETI juga dibedakan berdasarkan jenis pekerjaannya. Ada
pekerja yang menangani mesin, dan pekerja yang bertugas sebagai
buruh. Operator mesin bertanggung jawab atas kelancaran mesin
penambangan. Kadang juga bertugas sebagai mekanik untuk mesin-
mesin operasi seperti mesin penyedot, mesin kapal dan lainnya.
Sementara buruh bertugas memenuhi segala pekerjaan yang
diperintahkan, termasuk pekerjaan menambatkan kapal, pemasangan
mesin, penyaluran bahan baku (mineral) emas, pembuangan, penjaga
keamanan dan memasak.

Ketiga, Individu Pendukung PETI, merupakan individu yang bertugas


mendukung kelancaran penambangan di lapangan. Orang-orang ini kadang
juga bekerja dengan berkelompok. Misalnya mengangkut keperluan PETI
berupa minyak solar, bahan makanan, antar jemput peralatan yang rusak

95
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

dan antar jemput orang. Para pendukung ini bekerja sebagai operator
perahu, pedagang, pemilik penginapan, pemilik toko peralatan, bahkan
mata-mata. Masing-masing orang bertugas selama perintahnya jelas dan
pasti, jelas siapa yang memerintahkan dan jelas berapa uang yang
dibelanjakan berikut keuntungannya. Tak jarang para pendukung juga
adalah para pemilik perahu bermotor yang tinggal di desa-desa seperti
Rantau Malam atau Nanga Jelundung, atau bahkan yang tinggal di luar itu,
termasuk di pusat kecamatan, Nanga Pinoh dan kota Sintang.

Keempat, Individu Penambang Skala Kecil; terdiri dari dua kelompok, yakni
masyarakat lokal di desa-desa di sepanjang aliran sungai Melawi dan
Serawai, dan masyarakat di luar itu.

Bagi yang berasal dari desa-desa sepanjang aliran sungai, biasanya mereka
memiliki modal kecil untuk membeli mesin robin dan peralatan pendukung
skala kecil lainnya seperti selang, tabung baja, air raksa dan papan dudukan
mesin.

Individu yang berasal dari luar desa di sepanjang sungai biasanya juga
memiliki modal kecil. Mulanya, individu ini menjalin hubungan dengan
anggota masyarakat di desa-desa sepanjang sungai. Hubungan tersebut
kemudian berbuah pada kesepahaman untuk melakukan kerjasama.
Mereka akan bekerjasama dengan anggota masyarakat lokal untuk
mengembangkan PETI skala kecil. Ada juga yang datang karena hubungan
kawin-mawin.

Kelima, Individu Pendulang; biasanya merupakan masyarakat lokal dari


desa-desa di sepanjang aliran sungai Melawi dan Serawai. Pendulang hanya
menggunakan dulang untuk mencari butiran emas dari mineral pasir yang
ada di sungai.

Tinjauan lapangan yang dilakukan USAID BIJAK juga tidak menemukan


adanya konflik tenurial di kawasan taman nasional ini. Sebagai contoh,
wilayah Desa Rantau Malam merupakan wilayah paling hulu sungai Serawai
yang ditempati oleh orang Dayak Uud Danum. Mereka mengakui

96
Larik Tenure

keberadaan kawasan taman nasional dan tidak berniat untuk menguasai


lahan-lahan yang ada di dalam kawasan.

Kendati begitu, masyarakat sekitar melakukan perladangan di luar kawasan,


termasuk pada kawasan dengan status Areal Penggunaan Lain (APL) yang
dikuasai Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang, dan Hutan Produksi (HP)
yang kewenangan perizinannya berada di tangan Pemerintah Pusat.

Bagi Taman Nasional, kondisi demikian tentu masih saja menyisakan


ancaman. Tingginya kebutuhan masyarakat akan hutan di wilayah Rantau
Malam mengancam keberadaan habitat asli di dalam taman. Hal inilah yang
kemudian dijawab dengan program pemberdayaan masyarakat.

The Seven Summit


Bukit Raya menjulang 2.278 meter dari permukaan laut. Dengan itu, Bukit
Raya diklaim sebagai puncak tertinggi di Kalimantan di wilayah Indonesia.
Banyak pendaki berkeinginan besar menapaki puncak Bukit Raya. Bukit
Raya lantas bersanding dengan puncak-puncak pulau tertinggi lainnya:
Gunung Kerinci di Sumatra, Gunung Semeru di Jawa, Gunung Rinjani sunda
kecil, Gunung Latimojong di Sulawesi, Gunung Binaya di Maluku dan
Cartenzs Pyramid di Papua.

Pendakian ke Bukit Raya harus ditempuh lewat perjalanan berminggu. Para


pendaki harus benar-benar mempersiapkan pendakian karena gunung ini
memiliki karakter berbeda dengan puncak lainnya. Perjalanan panjang,
berikut dengan ancaman alam dan cuaca yang berubah tentu menjadi
tantangan tersendiri dalam pendakian. Kecuali itu, pendakian Bukit Raya
membutuhkan biaya yang juga tidak sedikit.

Balai TNBBBR menyadari potensi ini. pendakian bermula di Desa Rantau


Malam, Kecamatan Serawai Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat.
Dengan itu, perlu banyak persiapan dilakukan guna menyambut kedatangan
para pendaki. Tak hanya sebagai pintu gerbang mendaki gunung, desa ini
juga menjadi salah satu desa paling ujung di Sungai Serawai yang masih
memiliki Rumah Betang, rumah panjang khas Dayak.
Di Rantau Malam, Balai TNBBBR telah bekerja untuk inisiatif pemberdayaan
masyarakat dengan pengembangan kelompok-kelompok masyarakat yang
bekerja untuk mendukung kegiatan wisata alam. Kelompok Transportasi,
terdiri dari warga yang memiliki sarana angkutan berupa perahu. Ada dua
97
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

jenis perahu di Rantau Malam; long boat bermesin tempel dengan kapasitas
5-7 penumpang (termasuk pengemudi), pompong berkapasitas hingga 12
orang dan mampu mengangkut barang lebih banyak (Jpang, Kajian Lanskap,
Potensi Ekowisata, Identifikasi Kemitraan Konservasi dan Pemberdayaan
Masyarakat di Desa Rantau Malam, TNBBR, 2020).

Laporan tersebut juga menyatakan, setidaknya 13 orang warga desa sudah


tergabung dalam kelompok ini. Mereka bertugas menjemput para
wisatawan ke pusat kecamatan di Serawai, lalu mengantarkannya kembali.
Di dalam kelompok, sudah ada mekanisme yang mengatur tentang
penjadwalan, giliran atau antrian. Para anggota memenuhi aturan ini
dengan saling berkomunikasi satu dengan lainnya.

Sementara Kelompok Porter, merupakan warga yang terlibat menjadi


pemandu dan porter dalam pendakian Bukit Raya. Dalam pendakian, tim
pendaki biasanya menyewa beberapa orang porter untuk membantu
mereka di sepanjang pendakian. Tugas porter selain menunjukkan jalan
adalah membawa barang-barang para pendaki, menyiapkan masakan
selama pendakian, membantu pendaki mendirikan tenda serta tugas
lainnya, termasuk menjaga keselamatan tim pendakian. Kelompok porter
mengatur diri sendiri. Aturannya mirip dengan Kelompok Transportasi,
mereka mengatur penjadwalan dan sistem antrian. Banyaknya porter yang
terlibat pendakian, kadang juga tergantung kebutuhan dan jumlah tim
pendaki yang akan dipandu (Jpang, Kajian Lanskap, Potensi Ekowisata,
Identifikasi Kemitraan Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat di Desa
Rantau Malam, TNBBR, 2020).

Kelompok Homestay, merupakan kumpulan para pemilik homestay yang


ada di Rantau Malam. Kelompok ini, kendati tidak dikhususkan untuk
perempuan tapi semua anggota kelompoknya adalah perempuan. Hal ini
merujuk pada anggapan umum bahwa perempuan mampu mengatur
rumah beserta isinya. Perempuan juga memasak makanan yang
disesuaikan dengan selera para tamu. Setidaknya terdapat 9 homestay di
Rantau Malam, dengan demikian anggota kelompoknya ada 9 orang. Para
Ibu yang tergabung dalam Kelompok Homestay mengatur kelompok juga
berdasarkan giliran. Kelompok sendiri terbagi atas dua wilayah, wilayah
Rumukoi dan wilayah Rantau Malam. Kedua lokasi menerima tamu secara
bergantian. Bila wilayah Rumukoi yang berkesempatan, maka para anggota
yang ada di wilayah tersebut mengatur jadwal antrinya sendiri, demikian

98
Larik Tenure

sebaliknya (Jpang, Kajian Lanskap, Potensi Ekowisata, Identifikasi Kemitraan


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat di Desa Rantau Malam, TNBBR,
2020).

Masyarakat berharap, ada pelatihan Bahasa Inggris untuk kelompok-


kelompok ini mengingat beberapa kali ada wisatawan asing yang datang.
Pelatihan ini sangat penting bagi kelompok, karena pada pengalaman
sebelumnya kelompok harus memakai bahasa isarat. Tentu ini menjadi
pengalaman yang sangat berharga, dan menjadi cerita lucu. Balai TNBBBR
juga sudah membuat aplikasi berbasis android yaitu Baka Raya in Hand yang
tersedia di Playstore. Aplikasi ini bertujuan mempermudah para pendaki
Bukit Raya dalam mempersiapkan perjalanan, termasuk di dalamnya
informasi mengenai persiapan pendakian serta mempermudah mengurus
Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi (SIMAKSI) (Nugroho, 2020).

Menurut laporan Jpang (2020), ada pula Kelompok Kerajinan. Namun


kelompok ini belum berkembang. Anggota kelompok kesulitan
menemukan peran mereka dalam kegiatan wisata alam pendakian Bukit
Raya. Salah seorang anggota kelompok menyebut, para perajin yang
menghasilkan barang kerajinan tangan sangat dibatasi pasar. Para pendaki
belum tentu akan membeli barang kerajinan tangan mereka berupa tikar,
aneka asesoris perhiasan tangan, tas dan lainnya.

Sementara Kelompok Madu Kelulut kini mulai menggeliat. Kelompok ini


terbentuk sejak 2019. Kini, Kelompok Madu Kelulut sedang melakukan
pembenahan keanggotaan. Lokasi budidaya disepakati berada di Dusun
Tokambung, pada sebidang tanah yang dikuasai oleh salah seorang anggota
kelompok. Luasnya 840 meter persegi, di dalamnya sudah ada tanaman
karet, kakao dan beberapa pokok tanaman buah. Pembersihan lahan sudah
dilakukan pada Agustus 2020. Namun, kelompok Madu Kelulut belum
memiliki pengetahuan dan kapasitas budidaya kelulut. Mereka
mengandalkan informasi yang dibawa oleh staf Balai TNBBBR. Bagi anggota
kelompok, sejauh hal tersebut dapat mendatangkan harapan
kesejahteraan, maka mereka akan menerima arahan dan informasi yang
diberikan (Jpang, Kajian Lanskap, Potensi Ekowisata, Identifikasi Kemitraan
Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat di Desa Rantau Malam, TNBBR,
2020).

99
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Kelompok Tani Madu Kelulut diberi nama Kelompok Tani Hutan Lestari
Murop. Kelompok ini dibentuk setelah dilakukan identifikasi potensi. Dari
beragam potensi di Rantau Malam, masyarakat setuju untuk membentuk
kelompok madu kelulut.

Letak geografis Desa Rantau Malam yang berada di sekitar hutan, menjadi
alasan populasi kelulut banyak dijumpai di wilayah kampung dan
peladangan. Anggota kelompok yang tergabung pada kelompok ini adalah
masyarakat yang saat ini masih aktif berladang di hutan. Saat ini sudah
dilakukan pelatihan bagi kelompok untuk membuat sarang kelulut (log).
Kelompok juga sudah membuat areal budidaya di sekitar perkampungan.
Selain membuat log di areal budidaya, anggota kelompok juga membuat log
di area peladangan (Ivonne, 2020).

Bagi Balai TNBBBR sendiri, kegiatan pemberdayaan masyarakat merupakan


salah satu kegiatan yang memang sengaja dilakukan di wilayah tersebut.
Pengembangan wisata pendakian Bukit Raya menjadi target besar bagi Balai
TNBBBR.

Selain pembentukan kelompok pemberdayaan untuk memperkuat ekonomi


masyarakat, Balai TNBBBR melalui Resor Rantau Malam juga membentuk
MMP untuk kegiatan patroli kawasan. Masyarakat yang bergabung kedalam
MMP adalah masyarakat yang dahulu aktif dalam kegiatan PETI dan
pembalakan liar. Harus diakui sampai saat ini masih ada anggota
masyarakat yang melakukan aktivitas PETI dan pembalakan liar. Namun
sejak adanya kelompok-kelompok pemberdayaan masyarakat dan kegiatan
patroli rutin, keterlibatan masyarakat di kedua aktivitas tersebut sudah jauh
berkurang.

Potensi wisata alam dan jasa lingkungan yang dimiliki TNBBBR juga cukup
potensial, antara lain; panorama alam (lanskap), air terjun, sumber air
panas, widyawisata, arung jeram (rafting), animal watching (burung,
primata, dan lainnya) dan pendakian Bukit Raya. Semua potensi tersebut
masih sangat alami sehingga akan sangat disukai oleh wisatawan yang ingin
menyaksikan hutan hujan tropis yang masih relatif belum terganggu
(TNBBBR, RPJP TNBBBR Provinsi Kalbar dan Kalteng Periode 2018-2027,
2017).

100
Larik Tenure

Visi TNBBB‘ u tuk pe gelolaa tahu kedepa adalah Te ujud ya


Pemantapan Pengelolaan TNBBBR untuk pemanfaatan jasa lingkungan dan
wisata alam secara lestari dan kolaboratif, selaras kearifan lokal serta
e la daska IPTEK . Visi te se ut dija a ka dala li a isi yaitu
Mempertahankan keutuhan ekosistem hutan hujan tropis Pegunungan
Schwaner dan keanekaragaman hayati di TNBBBR; (2) Mengembangkan
Pemanfaatan potensi jasa lingkungan dan wisata alam; (3) Meningkatkan
kerja sama dengan para pihak untuk mendukung pengelolaan TNBBBR; (4)
Memberdayakan Masyarakat dan mengakomodasi nilai-nilai kearifan lokal
yang selaras dengan kaidah konservasi; dan (5) Meningkatkan pemanfaatan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk pengelolaan yang efektif dan efisien
(TNBBBR, RPJP TNBBBR Provinsi Kalbar dan Kalteng Periode 2018-2027,
2017).

Balai TNBBBR melakukan pemberdayaan masyarakat di Desa Rantau Malam


berdasarkan Surat Keputusan Dirjen KSDAE nomor SK.107/ KSDAE/
SET/KSA.1/ 2016 tanggal 7 April 2016 tentang Penetapan Lokasi Desa
Binaan dan Pendamping yang menetapkan lokasi Desa Binaan Balai TNBBBR
adalah Desa Belaban Ella dan Desa Rantau Malam.

RPJP TNBBBR juga menyebut, kegiatan pemberdayaan masyarakat yang


selama ini dilakukan belum memberikan perubahan signifikan terhadap
masyarakat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: kurangnya
kegiatan penyuluhan, kegiatan pemberdayaan yang dilakukan masih
bersifat insidentil, kurangnya kemauan dan kesadaran masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan bantuan yang telah diberikan, kurang
optimalnya pendampingan yang dilakukan oleh petugas. Karenanya,
pengembangan kelompok-kelompok yang mendukung ekowisata menjadi
penting. Selama dua tahun terakhir, Balai TNBBBR menggenjot berbagai
kegiatan pemberdayaan di wilayah Desa Rantau Malam. Selain kegiatan-
kegiatan sosialisasi, pelatihan peningkatan kapasitas masyarakat (pelatihan
kelompok porter dan homestay), dan pendampingan terhadap masyarakat,
Balai TNBBBR kini berupaya melakukan perkuatan terhadap kelompok
masyarakat yang sudah terbentuk tersebut.

Di level masyarakat sendiri, komitmen konservasi dibuktikan melalui


penandatangan MoU antara Balai TNBBBR dengan Pemerintah Desa Rantau
Malam. MoU yang ditandatangani 12 Oktober 2017 silam itu berisi
kesepahaman para pihak untuk melaksanakan konservasi secara bersama-

101
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

sama, melibatkan pemerintah daerah dan pihak ketiga atas persetujuan


bersama, dan tunduk pada aturan perundang-undangan.

Sejauh ini, ketujuh butir kesepahaman bersama tersebut masih berlaku.


Setidaknya sampai 2022, Balai TNBBBR dan Pemerintah Desa Rantau Malam
masih berpegangan pada komitmen ini. Kesepahaman bersama itulah yang
mendasari berbagai kegiatan lanjutan Balai TNBBBR dengan masyarakat
Rantau Malam, termasuk pemberdayaan masyarakat.

102
Larik Tenure

JILID 6

SEBANGAU
NAN RANCAK

103
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

S ebangau adalah salah satu taman nasional dengan keunikan yang tiada
banding. Bersumber dari Statistik Taman Nasional Sebangau (TNS)
tahun 2014, menyebut TNS merupakan taman nasional ke 49 yang ditunjuk
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor. SK.423/Menhut-
II/2004 tanggal 19 Oktober 2004. Secara administratif kawasan TNS terletak
di 3 (tiga) wilayah, yaitu: Kota Palangkaraya, Kabupaten Katingan, dan
Kabupaten Pulang Pisau. Ketiganya berada di Provinsi Kalimantan Tengah.
Sebelum ditetapkan menjadi taman nasional, status kawasan hutan
Sebangau adalah kawasan hutan produksi (HP) dan Hutan Produksi Konversi
(HPK) yang dikelola oleh beberapa perusahaan HPH sekitar awal tahun
1970-an hingga pertengahan tahun 1990-an. Setelah perusahaan HPH
berhenti beroperasi, kegiatan pembalakan liar marak terjadi.

Hal ini mengakibatkan fungsi hidrologis kawasan hutan Sebangau menjadi


rusak, dan fungsinya sebagai daerah resapan air (water catchments area)
juga terganggu. Dampaknya apabila terjadi kekeringan pada musim
kemarau akan mudah menyebabkan kebakaran. Tercatat di Kawasan
Sebangau telah terjadi beberapa kali insiden kebakaran besar sebelum
penunjukkan TNS, yaitu pada tahun 1992, 1994, 1997, 2002, 2009 dan 2014
(TNS, 2014).

Mengingat akan kerusakan dan potensi alam yang berada di kawasan


Sebangau, World Wildlife Fund (WWF) mengusulkan Sungai Sebangau dan
Sungai Katingan menjadi kawasan perlindungan dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota dan Provinsi Kalteng pada pertemuan
terbatas, tanggal 14 Desember 2002 (TNS, 2014).

Ditambahkan, di sekitar kawasan TNS terdapat 8 (delapan) Kecamatan dan


48 (empat puluh delapan) Desa. Kecamatan-kecamatan tersebut mayoritas
masyarakatnya bermatapencaharian utama dari hasil perikanan dan
pertanian berupa tanaman padi dan palawija. Desa-desa yang terletak di
sepanjang tepi Sungai Kahayan dan Sungai Sebangau mayoritas merupakan
desa nelayan, sedangkan desa-desa yang merupakan daerah transmigrasi
mayoritas merupakan desa pertanian.

Jenis komoditi unggulan di desa pada umumnya adalah karet dan padi.
Disamping itu ada komoditas lain yang dikembangkan oleh masyarakat
seperti sengon, semangka, sawit, dan sayuran. Desa-desa yang dekat

104
Larik Tenure

dengan TNS ada bermata pencaharian perikanan tangkap dan menghasilkan


ikan segar dan ikan kering (FIELD Foundation, 2015).

Laporan FIELD Foundation (2015) juga menyebut aktivitas yang dilakukan


oleh masyarakat yang masuk ke dalam TNS termasuk mencari burung
menggunakan alat tangkap berupa getah kayu yang dipasang pada ranting
kayu (nyambulut). Jenis burung yang ditangkap oleh masyarakat adalah
Cicak Hijau (Burung Bakung). Masyarakat juga mencari ikan dengan cara
memasang buwu, rempa, banjur dan jaring. Jenis ikan yang didapat seperti:
gabus, tapah, kakapar, betok dan lele.

Transmigrasi dan Zonasi


Data statistik TNS (2014) juga menyebut penduduk yang mendiami desa-
desa di sekitar TNS mayoritas adalah suku Dayak, selain itu terdapat pula
suku Banjar dan Jawa. Mayoritas etnis di Kecamatan Sebangau, Katingan
Hilir, Tasik Payawan, Kamipang, Katingan Hulu adalah suku dayak,
sedangkan di kecamatan Bukit Batu, Sebangau Kuala dan Mendawai
mayoritasnya adalah suku Jawa dan Banjar.

Perpaduan suku dengan latar budaya berbeda tersebut dimungkinkan


karena program transmigrasi. Secara umum, sebagian wilayah TNS telah
menjadi tujuan transmigrasi selama beberapa dekade belakangan.

Penyelenggaraan transmigrasi di Indonesia berawal dari jaman kolonial,


yaitu pada tahun 1905 ditandai dengan penempatan pertama sebanyak 155
Kepala Keluarga (KK) dari Kedu, Jawa Tengah ke Gedong Tataan Provinsi
Lampung. Istilah transmigrasi sendiri pertama kali dikemukakan oleh Bung
Karno pada tahun 1927 dalam harian Soeloeh Indonesia. Selanjutnya dalam
Konferensi Ekonomi di Kaliurang Yogyakarta, bersamaan dengan Rapat
Panitia Siasat Ekonomi tanggal 3 Februari 1946, Wakil Presiden Bung Hatta
menyebutkan pentingnya transmigrasi untuk mendukung pembangunan
industrialisasi di luar Jawa (Direktorat Bina Potensi Kawasan Transmigrasi,
2015).

Sejak 1986 telah dianjurkan pula rencana parit komunikasi dan drainase
dengan jalan raya di samping Teluk Sebangau ke Kereng Bengkirai dan
Palangkaraya sejauh hanya 110 km tanpa menyeberang sungai-sungai
besar, dengan membangun pelabuhan laut di Teluk Sebangau dan
pelabuhan coaster di Kereng Bengkirai yang dapat dilaksnaakan dalam

105
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

jangka waktu lebih pendek. Daerah sebelah hilir dan sekitar Palangkaraya,
mengandung potensi sumber daya alam luar biasa di bidang pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan, kehutanan dan energi (Sri-Edi
Swasono & Masri Singarimbun, 1986).

Gelombang transmigrasi ini telah membuka ruang kelola bagi masyarakat


untuk memanfaatkan lingkungan sekitar daerah tujuan. Sementara,
kebijakan penunjukkan TNS dilaksanakan tahun 2004. Kondisi yang
demikian memicu berbagai persoalan di lapangan. Salah satunya adalah
konflik dengan wilayah Kelurahan Habaring Hurung, Kecamatan Bukit Batu,
Kota Palangkaraya. Kelurahan ini merupakan kelurahan eks Program
Transmigrasi Swakarsa Pengembangan Desa Potensial (Transbangdep)
Tumbang Tahai, tahun 1991 dan 1992.

Lahan pekarangan dan Lahan Usaha (LU) I yang dijanjikan siap tanam
ternyata berupa hutan tidak bisa ditanami, tanahnya gambut dalam, basah
dan berpasir. Apabila musim penghujan datang, lahan pekarangan banjir
sampai sepinggang orang dewasa.

Dulu saat pe ta a kali data g, ka i tidak la gsu g isa e golah laha .


Di sini lahan gambut, jadi rawan kebakaran kalau kemarau. Di musim hujan,
ka i te ke a a ji , u gkap a ga eks transmigrasi, Suroto.

Masyarakat sangat kesulitan pada masa itu dalam mengolah lahan untuk
bercocok tanam. Bantuan bibit tanaman dari pemerintah yang coba
ditanam banyak yang tidak tumbuh. Sehingga keadaan ini membuat banyak
keluarga tidak betah dan kembali ke Pulau Jawa. Mereka yang kembali ke
Jawa menjual lahan pekarangan dan lahan usaha jatah transmigrasi kepada
keluarga yang masih bertahan di Habaring Hurung. Keluarga-keluarga
transmigrasi yang masih bertahan hanya mengandalkan jatah bulanan
program Jatah Hidup (jadup), dari pemerintah melalui Kementerian
Transmigrasi. Sebagian masyarakat yang lain juga mulai mencari pekerjaan
alteratif untuk pemenuhan ekonomi keluarga. Banyak masyarakat yang
masuk ke hutan untuk bekerja mencari hasil hutan seperti kulit kayu gemor,
getah pantung atau jelutung, dan membuat arang (Suroto, 2020).

Bantuan tanah subur untuk mineralisasi sampai puluhan rit satu kapling
pernah dikirim. Tetapi tanahnya masih tetap tidak bisa ditanami. Selama

106
Larik Tenure

menunggu lahan mereka dapat ditanami, warga meminjam lahan di luar


areal transmigrasi guna menanam sayur-sayuran tanpa dipungut bayaran.

Sebagian warga yang menggantungkan hidupnya mencari kulit gemor dan


getah pantung berjalan berkilo-kilo, terkadang sampai ke luar dari batas
wilayahnya. Mereka mengais nafkah untuk menghidupi keluarga. Sekitar
tahun 2000an, jalur pantung yang dibuka oleh warga mulai diakui oleh
warga lokal sekitar transmigrasi. Saat harga pantung murah, Lahan Usaha I
dibuka oleh HPH tanpa sepangetahuan warga. Akibatnya warga
transmigrasi tidak diperbolehkan untuk ikut menebang. Padahal banyak
warga di luar transmigrasi membawa chain saw (gergaji mesin) masuk ke
dalam untuk mengambil kayu.

Setelah bertahun-tahun mendiami wilayah tersebut, sebut Suroto,


masyarakat dihadapkan pada kenyataan bahwa sebagian wilayah kelurahan
Habaring Hurung masuk ke dalam wilayah TNS. Berdasarkan SK Menteri
Kehutanan Nomor SK 529/Menhut-II/2012 terdapat area pencadangan
transmigrasi yang masuk ke dalam Kawasan TNS seluas ± 766,20 Ha, yakni
berupa fasilitas umum seperti area pemakaman, pekarangan dan
pemukiman, serta LU I dan LU II.

Mulanya, Kelurahan Habaring Hurung adalah bagian dari Kelurahan


Tumbang Tahai. Pada 2002, kedua kelurahan memisahkan diri berdasarkan
SK Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 32. Di Habaring Hurung terdapat
2 Rukun Warga dengan 7 Rukun Tetangga, yang menempati wilayah seluas
sekitar 7.344,12 Ha.

Di level masyarakat, berkembang isu bahwa pihak Balai TNS mengklaim


sepihak wilayah yang selama ini dianggap sebagai bagian dari kelurahan
mereka. Menurut Suroto, penetapan zona taman nasional berubah-ubah,
sehingga banyak masyarakat yang merasa dipermainkan.

Pihak Balai TNS sendiri mengungkap, lokasi pemukiman transmigrasi dan LU


berada di Zona Khusus. Sebagian LU II berada di Zona Rimba dan HPK
dengan tutupan lahan berupa semak, dan hutan rawa.

Warga kemudian dilarang melakukan kegiatan membuat arang, berburu


dan mengambil kayu basah. TNS beralasan bahwa LU II masuk dalam zona
merah. Operasi yang dilakukan oleh TNS mendapat penolakan dari warga.

107
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Berdasarkan pengakuan salah satu warga, Polhut menodongkan senjata


pada warga dan meminta agar semua kegiatan dihentikan. Warga
selanjutnya diminta menandatangani surat pernyataan untuk tidak
melakukan penebangan kayu lagi.

“e agia asya akat ka i e uat a a g di ilayah ya g e asalah itu.


Mereka sering terkena patroli penertiban. Tak jarang penertiban
mengakibatkan bentrok. Akibatnya, masyarakat merasa tersakiti.
Masyarakat juga merasa dipermainkan dan betul-betul tidak diperhatikan
oleh pemerintah, adu “u oto.

Menteri Kehutanan melalui SK 423/Menhut-II/2004 menyatakan bahwa


wilayah Habaring Hurung berada di dalam kawasan hutan. Kemudian pada
SK Menteri Kehutanan No. 292/Menhut-II/2011, menyatakan Kelurahan
Habaring Hurung tidak masuk di dalam kawasan TNS. Statusnya berubah
dari kawasan hutan menjadi Area Penggunaan Lain (APL). Namun,
berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor SK 529/Menhut-II/2012 wilayah
Habaring Hurung kembali dinyatakan berada di dalam kawasan taman
nasional. Menurut Peta Indikatif TORA edisi revisi, lokasi transmigrasi
Habaring Hurung ini sebagian masuk dalam peta indikatif, namun hingga
akhir tahun 2011 belum dilakukan peninjauan oleh tim Penguasaan Tanah
dalam Kawasan Hutan (PTKH) (Ningsih, 2020).

Suroto menjelaskan, tercium adanya indikasi permainan penguasaan lahan.


Banyak kelompok yang terlibat, termasuk masyarakat asli yang mengklaim
penguasaan ulayat yang luasnya melebihi LU transmigrasi.

Kelo pok-kelompok ini dikendalikan oleh oknum-oknum pejabat pada


Pemerintahan Kota Palangkaraya. Oknum pejabat tersebut punya aset di
wilayah ini, hasil jual beli dengan masyarakat setempat. Nah, karena itu, ada
upaya untuk mengeluarkan aset tersebut dari kawasan TNS. Dalam hal ini,
terjadi adu kepentingan antara orang asli, masyarakat eks transmigrasi,
ok u peja at da Balai TN“, u gkap “u oto.

Berbagai musyawarah lintas pihak pernah diinisiasi oleh pihak Kelurahan,


Balai TNS, hingga Pemerintah Kota Palangkaraya bersama intansi terkait
seperti BPN Kota Palangkaraya dan DPRD Kota Palangkaraya. Namun
dengan segala kepentingan yang berkait di area tersebut, hingga saat ini

108
Larik Tenure

belum ditemukan keputusan yang menguntungkan para pihak (Suroto,


2020).

Suroto mungkin hanya mewakili sebagian orang yang masih menginginkan


kejelasan zonasi. Proses zonasi partisipatif tentunya tidak mungkin
melibatkan semua orang. Balai TNS, sudah memulai zonasi partisipatif jauh-
jauh hari.

Pada 15 Desember 2017, bertempat di Hotel Noe Palangkaraya, Balai TNS


melakukan sosialisasi puncak zonasi TNS. Kegiatan tersebut dihadiri oleh
SOPD Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, SOPD Pemerintah Kota
Palangkaraya, SOPD Pemerintah Kabupaten Pulang Pisau, SOPD Pemerintah
Kabupaten Katingan, UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
lingkup Provinsi Kalimantan Tengah, Mitra Kerja, Perguruan Tinggi dan
Forum Masyarakat (Susana, Suyoko, & Turrahman, 2017).

Seperti dilansir http://ksdae.menlhk.go.id/, serangkaian kegiatan sosialisasi


zonasi TNS telah dilaksanakan sejak awal Desember 2017. Zonasi
disosialisasikan dari tingkat desa yang berbatasan dengan kawasan TNS di
masing-masing wilayah administratif kabupaten dan kota hingga tingkat
Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah. Kegiatan sosialisasi zonasi
dilaksanakan sebanyak enam kali di beberapa lokasi. Di antaranya di Desa
Tumbang Bulan dan Desa Mekar Tani Kecamatan Mendawai serta Desa
Baun Bango Kecamatan Kamipang yang merupakan bagian dari wilayah
administratif Kabupaten Katingan. Kemudian dilaksanakan juga di Desa
Sebangau Mulya Kecamatan Sebangau Kuala yang masuk ke dalam wilayah
Kabupaten Pulang Pisau. Sedangkan di wilayah Kota Palangkaraya,
sosialisasi zonasi dilaksanakan di Kelurahan Kereng Bengkirai.

Proses panjang penyusunan dokumen zonasi TNS hingga disahkannya


melalui Surat Keputusan Dirjen KSDAE Nomor SK. 97/KSDAE.0/3/2016
Tentang Zonasi Taman Nasional Sebangau serta SK
261/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016 tentang Perubahan atas Keputusan Dirjen
KSDAE Nomor SK. 97/KSDAE.0/3/2016 Tentang Zonasi Taman Nasional
Sebangau, Provinsi Kalimantan Tengah. Zonasi pada TNS terdiri dari ; 1).
Zona Inti; 2). Zona Rimba; 3). Zona Pemanfaatan; 4). Zona Tradisional; 5).
Zona Rehabilitasi; 6). Zona Religi, Budaya dan Sosial serta 7). Zona Khusus.

109
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Sosialisasi zonasi yang telah dilaksanakan di tingkat desa dan kelurahan


umumnya mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Terutama
masyarakat yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai nelayan yang
ingin mengetahui batas kawasan taman nasional dengan kampung atau
tempat tinggal mereka. Secara keseluruhan masyarakat menerima dengan
baik sosialisasi zonasi, terlebih zonasi dalam TNS menyediakan ruang bagi
masyarakat yang diakomodir dalam zona tradisional dan zona
pemanfaatan, namun tetap mengutamakan kaidah konservasi demi
kelestarian alam.

Kegiatan sosialisasi zonasi dilaksanakan sebagai bentuk keterbukaan


informasi pengelolaan TNS. Selain itu merupakan ajang menyampaikan
informasi pada masyarakat terutama yang berbatasan dengan kawasan dan
beraktivitas di sekitar kawasan TNS. Pada kesempatan ini Balai TNS juga
menyerahkan Peta Zonasi kepada masing-masing Kepala Desa atau
Kelurahan (Susana, Suyoko, & Turrahman, 2017).

Kendati demikian, proses ini tentunya masih menyisakan pekerjaan rumah


yang cukup runyam. Tipis kemungkinan untuk memuaskan semua orang
tentunya. Tapi setidaknya, proses di lapangan telah melibatkan perwakilan
pihak-pihak.

Ekowisata Rawa
Pekerja media mongabay.co.id, Junaidi Hanafiah melakukan perjalanan
menembus rawa-rawa di TNS pada Juli 2018. Bila anda berkunjung ke
Palangkaraya, Kalimantan Tengah, tulisnya, sempatkanlah melihat rawa
gambut Sebangau. Sensasi menelusuri rawa gambut ini akan makin terasa
bila anda menyewa perahu mesin atau yang biasa disebut kelotok dari
dermaga Kereng Bengkirai.

Di kiri kanan Sungai Sebangau, akan terlihat rasau (Pandan helicopus) atau
sejenis pandan yang biasa tegak di tepian sungai atau danau kawasan rawa
gambut. Selain itu, perahu mesin tak jarang harus dikurangi kecepatannya
saat lintasan sungai menyempit akibat tertutupi tumbuhan ini (Hanafiah,
2018).

Sepenggal kisah tersebut memberikan gambaran umum tentang bagaimana


perjalanan menembus sungai Sebangau. Kawasan rawa yang kaya sumber
daya alam ini menjadi andalan utama bagi TNS menarik minat wisatawan.

110
Larik Tenure

Keelokan TNS bahkan buncah di mancanegara. Raja dan Ratu Belanda,


Willem Alexander dan Maxima Zorreguieta Cerruti beserta rombongan
berencana mengunjungi Sebangau pada 12 Maret 2020. Namun kecelakaan
perahu cepat, senin, 9 Maret 2020, membuat rencana kunjungan ini
dibatalkan. Indonesia berduka karena kehilangan orang-orang terbaik,
termasuk duka mendalam di jajaran Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.

Keadaan TNS kini tentu berbeda dengan keadaan lampau. Dulunya,


kawasan ini adalah lokasi pembalakan yang melibatkan banyak pihak,
termasuk masyarakat.

Pada dekade tahun 90an, di kawasan Sebangau masih banyak beroperasi


perusahaan dengan ijin Hak Pemanfaatan Hutan (HPH). Sebelum tren HPH
muncul, Kelurahan Kereng Bengkirai merupakan sebuah kampung kecil
yang mayoritas masyarakatnya adalah nelayan tradisional (Yulianty, 2020).

Kehidupan sebagai nelayan tradisional membuat masyarakat memiliki


pengalaman yang cukup untuk menjalankan usaha perikanan. Pada
November 2013, WWF mengeluarkan laporan akhir tentang Studi Penilaian
Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Bagi Kelompok Mata Pencaharian
Berkelanjutan Program Pengembangan Sosial Dan Ekonomi Sebangau,
Kalimantan Tengah. Laporan ini menarik sebagai salah satu rujukan dalam
melihat perkembangan kehidupan sosial ekonomi di desa-desa di seputar
TNS.

Laporan tersebut menyatakan, sebagian besar kelompok usaha yang telah


terbangun sudah berhenti proses produksi rutinnya karena kendala
kurangnya permintaan pasar. Potensi perikanan desa pada wilayah layanan
sangat menjanjikan, baik budidaya kolam atau keramba/jaring apung. Perlu
dilakukan analisis yang lebih rinci untuk mengetahui keseimbangan antara
kapasitas produksi dengan kebutuhan pasar (balance of supply and
demand) sehingga kelompok-kelompok usaha tersebut mempunyai
rencana yang lebih realistis dalam kegiatan produksinya.

Hampir semua penerima manfaat/beneficiaries merasa senang dan


mendapatkan manfaat dari sarana yang telah dibangun, namun karena
pendampingan yang kurang intensif menimbulkan kesan bahwa bantuan
yang diterima hanya hibah biasa. Perlahan-lahan telah terjadi pergeseran

111
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

pola pengelolaan aset, sarana/prasarana kelompok menjadi usaha


perseorangan (WWF, 2013).

Merujuk laporan tersebut, beberapa kasus dimana kegiatan kelompok yang


sedang berjalan ditemukan berbagai hambatan/kendala yang
membutuhkan pembenahan secara insentif. Sistem kerja pengembangan
produk yang tidak ada standar menyebabkan kelompok usaha kesulitan
untuk menyesuaikan dengan spesifikasi/kebutuhan konsumen. Terdapat
pula kendala transportasi yang berbiaya tinggi dan berdampak langsung
terhadap harga pemasaran yang kurang kompetitif. Kondisi dimana
kurangnya pendampingan teknis di lapangan menjadi penyebab utama
kesulitan kelompok dalam mengembangkan usahanya ketika
membutuhkan nasihat yang memadai, bahkan ada kelompok-kelompok
usaha yang sudah menghentikan proses produksinya.

Hampir tujuh tahun pasca WWF mengeluarkan laporan, di Kelurahan


Kereng Bengkirai kini sudah berjalan kelompok ekowisata. Saat ini sudah
terbentuk kelompok Nelayan Tradisional dan Kelompok Getek yang
didampingi langsung oleh SPTN Wilayah II Balai TNS. Hampir seluruh
masyarakat yang tergabung di dua kelompok ini dahulu berprofesi sebagai
pembalak liar.

Jumadi adalah ketua Kelompok Getak. Dulunya dia pelaku pembalakan liar.
Kegiatan pembalakan yang dilakukan Jumadi semata-mata untuk mengisi
perut. Sumber pendapatan masyarakat di wilayahnya adalah hutan, baik
untuk diambil kayunya, maupun dari jenis bukan kayu.

Dulu saya e e ta g ke e adaa ta a asio al, u gkap ya.

Bagi Jumadi, keberadaan taman nasional justru hanya akan menghambat


usaha ekonomi yang dilakukan masyarakat. Keberadaan taman nasional dia
khawatirkan akan menjadi sumber persoalan baru di Sebangau.

Apa yang dikhawatirkan Jumadi terbukti. Dia mengeluhkan soal kelakuan


personil Balai TNS yang melakukan penegakan hukum. Menurutnya, pihak
Balai TNS terus berupaya melarang masyarakat masuk mengambil apapun
di wilayah taman nasional.

112
Larik Tenure

Pihak ta a asional dulu tahunya hanya penegakan hukum dan


ela a g. Ta pa solusi, ta das Ju adi.

Keluhan Jumadi secara tak langsung didengar pihak Balai TNS. Pendekatan
lain kemudian mulai ditempuh.

Hal ini membuat penyuluh dari SPTN wilayah II melakukan pendekatan


khusus untuk proses resolusi konflik. Upaya penegakan hukum yang
dilakukan selama ini dirasakan semakin membuat jarak antara Balai TNS
dengan masyarakat di Kereng Bengkirai (Jumadi, 2020).

Tim SPTN wilayah II merubah pola di lapangan dengan melibatkan


masyarakat dalam setiap kegiatan. Hal ini dimulai dengan menyewa perahu
getek milik masyarakat untuk setiap aktivitas patroli. Perlahan kemudian
Balai TNS mendorong terbentuknya MMP untuk kegiatan patroli bersama.

Balai TNS merasa upaya ini sangat efektif. Perlahan persepsi masyarakat
mulai berubah terhadap keberadaan taman nasional. Selain pelibatan
masyarakat di berbagai program konservasi, Balai TNS juga secara berkala
melakukan sosialisasi dan diskusi terkait pentingnya kolaborasi dalam
pengelolaan kawasan dan penguatan ekonomi masyarakat. Secara perlahan
masyarakat mulai terbantu dari segi ekonomi, pemahaman masyarakat
terhadap konservasi di kawasan Sebangau juga semakin tinggi (Yulianty,
2020).

Dari proses panjang yang dibangun oleh Balai TNS bersama masyarakat,
didoronglah program pemberdayaan masyarakat di sektor ekowisata. Hal
ini tentu dengan melihat potensi besar untuk pengembangan ekowisata.

Saat ini sudah terbentuk satu Kelompok Getek dan satu Kelompok Nelayan
Tradisional di bawah bimbingan SPTN Wilayah II Balai TNS. Kelompok-
kelompok ini terdiri masyarakat Kelurahan Kereng Bengkirai, baik bapak-
bapak, ibu-ibu, pemuda dan pemudi.

Kawasan TN Sebangau menyuguhkan panorama alam menakjubkan bagi


penikmat wisata alam, wisata minat khusus, dan selain itu juga wilayah TNS
merupakan lokasi penelitian gambut yang dikelola oleh Center for
International Cooperation on Sustainable Management of Tropical

113
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Peatlands (CIMTROP) sejak tahun 1998. Wilayah ini diklaim sebagai pusat
penelitian gambut terbesar di dunia (Jeti, 2020).

Untuk menikmati wisata minat khusus, wisatawan akan diantar oleh perahu
getek milik kelompok untuk menikmati susur sungai. Setelah itu wisatawan
bisa melakukan trekking sembari menikmati keindahan flora fauna
endemik, jika beruntung bisa melihat langsung orangutan.

TNS merupakan rumah bagi 808 jenis flora, 35 jenis mamalia, 182 jenis
burung, dan 54 spesies ular. Bagi wisatawan yang mempunyai hobi
memancing, di TNS terdapat beberapa lokasi memancing terbaik. TNS
merupakan habitat ikan jenis kerandang, toman, dan haruan (gabus), selain
itu juga banyak terdapat udang air tawar. Wisatawan bisa mengikuti
aktivitas Kelompok Nelayan Tradisional untuk menikmati wisata
memancing ini. Bahkan jika wisatawan ingin bermalam, telah dibangun oleh
pihak Balai TNS beberapa pondok/pos patroli yang bisa difungsikan sebagai
tempat menginap. Jadi jika ingin memancing ikan selama beberapa hari,
wisatawan tidak perlu lagi khawatir.

Dermaga Kereng Bengkirai merupakan pintu gerbang untuk masuk ke


kawasan TNS. Masuk ke lokasi ini, pengunjung akan disuguhi ragam
penganan lokal dan wahana air. Pengunjung dapat menyewa perahu atau
wahana air perahu bebek untuk berkeliling, atau cukup memanjakan mata
dari café terapung.

Dinas Pariwisata Kota Palangkaraya juga turut berperan dalam mendukung


program wisata dermaga Kereng Bengkirai. Pemko Palangkaraya
membangun dermaga dan fasilitas lainnya, seperti; food court, tribun
penonton arena dayung, spot foto, dan panggung kesenian. Upaya ini diakui
masyarakat sangat membantu perekonomian seiring meningkatnya jumlah
wisatawan yang datang ke Kereng Bengkirai. Namun selama pagebluk Covid
19, jumlah wisatawan juah berkurang.

114
Larik Tenure

JILID 7

RELUNG
LORE LINDU

115
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

P ada 2001, masyarakat dari Desa Kamarora B, Rahmat, Kadidia, dan


Kamarora A mulai masuk ke Dongi-Dongi. Saat itu, Dongi-Dongi masih
menjadi bagian dari Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Masyarakat
keempat desa tersebut merupakan masyarakat Suku Kaili Daa Pegunungan
Kamalisi dan orang-orang dari dataran tinggi Kulawi yang direlokasi oleh
pemerintah melalui Departemen Sosial pada tahun 1970an (Dhika, 2016).

Dhika melanjutkan, masyarakat pindah untuk bertani, demi kelanjutan


kehidupan keluarga dan anak-anak. Di tahun awal, mereka menderita
karena pertanian belum menghasilkan, masyarakat menghidupi keluarga
dari mencari rotan dan damar. Selama sekitar 15 tahun, Dongi-Dongi
kemudian dilepaskan menjadi enclave di TNLL pada 2014.

Walaupun pada tahun 2014 Dongi-Dongi telah di lepasakan dari TNLL


menjadi APL, namun tekanan masyarakat dari keempat desa tersebut di
bagian Timur laut TNLL masih terus terjadi. Sementara itu sebagian besar
desa-desa yang berbatasan dengan TNLL mengganggap bahwa lepasnya
Dongi-Dongi dari TNLL merupakan sebuah keberhasilan. Ini menjadi
motivasi bagi mereka untuk juga memperoleh hak atas tanah (Abal, 2020).

Dirjen KSDAE KLHK, Ir. Wiratno, M.Sc menyambangi masyarakat Dusun


Dongi-Dongi pada Jumat, 2 Agustus 2019. Kedatangan itu sekaligus menjadi
ajang dialog terbuka bagi kedua pihak.

Masya akat Dongi-Dongi mulai sekarang saya anggap saudara, sesama


saudara kita harus bekerjasama, uja Wi at o.

Akhir dari dialog disepakati beberapa butir hasil rumusan bersama, yakni:
1) Balai Besar (BB) TNLL bersama masyarakat Dongi-Dongi berkomitmen
untuk membangun wilayah Dongi-Dongi dan mendukung pengelolaan TNLL
secara kolaboratif; 2) BBTNLL bersama masyarakat Dongi-Dongi melalui
FPM bersepakat melestarikan kawasan hutan TNLL dan melakukan
penutupan/penghentian aktivitas pertambangan di sekitar wilayah Dongi-
Dongi; 3) Dirjen KSDAE dan BBTNLL bersama FPM bersepakat
mengakomodir wilayah Dongi-Dongi menjadi Zona Khusus dan Zona
Trdisional seluas 5.640 hektare sesuai peta partisipatif yang dibuat oleh
FPM; 4) Dirjen KSDAE dan BBTNLL bersama FPM mendukung dan mengawal
proses usulan penetapan Dusun Dongi-Dongi menjadi Desa Definitif
Katuvua Dongi-Dongi seluas 1.531 hektare, dimana 200 ha berada di

116
Larik Tenure

Kabupaten Sigi dan 1.331 hektare berada di Kabupaten Poso, sedangkan


5.640 hektare sebagai wilayah kelola dari masyarakat di luar batas desa.
Usulan ini dikelola dengan skema Kemitraan Konservasi dengan mendorong
percepatan penetapan zona tradisional menjadi wilayah kemitraan
konservasi sesuai Perdirjen No. 6 Tahun 2018; 5) Kemitraan Konservasi yang
akan dibangun meliputi pengembangan wisata Danau Tauji, wisata minat
khusus Ex- PETI, pemberdayaan kelompok perempuan, pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu (damar, rotan, anggrek) dan pemulihan ekosistem berupa
tanaman dengan jenis tanaman enau, kemiri, damar dan durian (BBTNLL,
2019).

Wilayah Kelola
Mungkin bagi sebagian pihak, pelepasan menjadi dusun enclave itu adalah
sebuah kemenangan. Namun banyak pihak menilai, pelepasan itu justru
menjadi boomerang bagi pemerintah. Ini menimbulkan preseden negatif,
bahwa negara dengan mudah menetapkan status enclave. Hal senada
disampaikan Tokoh Masyarakat Desa Toro, Andreas.

Masyarakat kemudian beramai-ramai mengusulkan penetapan hutan adat.


Maksudnya, supaya negara – melalui Pemerintah – mau melepaskan
kawasan hutan untuk dikelola sebagai hutan hak. Tapi ini tentu tidak
mudah. Proses panjang harus ditempuh, karena Hutan Adat kini sudah
menjadi salah satu mekanisme dalam lingkup Perhutanan Sosial (Andreas,
2020).

Ka e a itu, pe ti g duduk e sa a a ta pa a pihak. Te asuk


masyarakat, BBTNLL serta jajaran pemerintah di level kabupaten dan
provinsi. Hasilnya tentu diserahkan pada mekenisme aturan yang telah ada.
)o asi TNLL dapat e jadi salah satu piliha , selai Huta Adat, u gkap
Andreas.

Masyarakat yang bermukim di sekitar TNLL memandang penting sumber


daya hutan. Penilaian masyarakat terhadap hutan bervariasi yang
bergantung pada manfaat hutan dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Menurut Massiri, dkk (2016), di TNLL motivasi atas dasar kebutuhan
tersebut tidak hanya dari kebutuhan material yang tinggi, tetapi juga
memiliki motivasi sosial yang tinggi dan bahkan motivasi moral yang sangat
tinggi. Namun kebutuhan mereka ini terkadang tidak sejalan dengan

117
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

kegunaan hutan yang ditetapkan oleh negara, di titik inilah konflik tenurial
terjadi.

Di bagian tengah TNLL terdapat kecamatan Lindu yang terdiri dari lima desa
yaitu Desa Puroo, Langko, Tomado, Anca dan Olu. Kelimanya berada di tepi
Danau Lindu. Wilayah Kecamatan ini merupakan satu kesatuan wilayah
masyarakat hukum adat yaitu Masyarakat Adat Ngata Lindu. Dari kelima
desa tersebut empat desa merupakan desa asli Masyarakat Hukum Adat
Lindu, satu desa lainnya yaitu desa Olu, masyarakatnya merupakan
masyarakat pendatang dari wilayah selatan (Sulawesi Selatan) dan
wilayahnya dahulu merupakan wilayah adat desa Tomado (Nurdin, 2020).

Ko flik te u ial ya g te jadi di dae ah i i adalah pe te ta ga pe gelolaa


secara adat, khususnya pada wilayah yang menurut hukum adat merupakan
pangale, yaitu bekas kebun-kebun yang saat ini belum perlu dikelola.
Pangale e ada dala ka asa TNLL, u gkap Nu di .

Walaupun dalam tingkat eskalasi yang rendah, konflik tenurial secara


horizontal juga terjadi antara masyarakat asli (Masyarakat Hukum Adat
Lindu) khususnya masyarakat desa Tomado dengan masyarakat pendatang
di Desa Olo. Hal ini disebabkan oleh semakin sempitnya wilayah-wilayah
yang dapat dikelola oleh masyarakat Desa Tomado di sisi barat Danau Lindu
dan habisnya wilayah adat di sisi timur Danau Lindu dikelola oleh
masyarakat Desa Olu (Nurdin, 2020).

Di bagian selatan TNLL, di Kecamatan Kulawi Selatan juga terjadi konflik


tenurial, yaitu pertentangan antara klaim pengelolaan berdasarkan hukum
adat dengan pengelolaan menurut hukum negara. Desa Toro contohnya,
merupakan desa yang masyarakatnya merupakan komunitas Masyarakat
Hukum Adat Ngata Toro, yang secara turun temurun memiliki kearifan lokal
dalam pengelolaan, pemanfaatan dan pelestarian wilayah adat. MHA Ngata
Toro merasa terbatasi dengan adanya pengelolaan kawasan konservasi oleh
BBTNLL (Andreas, 2020).

Pe soala e dasa adalah ku a g ya ko sultasi da diskusi te ta g


sinergi pengelolaan menurut adat dengan pengelolaan yang diperbolehkan
menurut hukum negara. Sebenarnya di wilayah Wana dan Wana Ngkiki
menurut hukum adat merupakan kawasan yang dilindungi. Jika wilayah

118
Larik Tenure

tersebut memang berada dalam zona rimba dan zona inti TNLL sebanarnya
ini sudah clear da tidak jadi soal, jelas A d eas.

Persoalan banyak terjadi di kawasan Oma, pangale dan lain-lain yang


berupa kebun. Menurut masyarakat hukum adat, wilayah ini boleh dibuka
dan dikelola. Sementara menurut TNLL, wilayah tersebut berada dalam
kawasan TNLL dan tidak boleh dikelola masyarakat.

Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menyebut, wilayah adat Ngata Toro
terdiri dari beberapa peruntukan. Wana Ngkiki, merupakan kawasan hutan
primer di puncak gunung yang sebagiannya didominasi oleh rerumputan,
lumut dan perdu. Kawasan ini dianggap amat penting sebagai sumber udara
segar (winara), dan tidak boleh dijamah aktivitas manusia. Di Wana Ngkiki
tidak terdapat hak.

Wana, merupakan hutan primer, berada di bagian bawah (secara topografi)


dari Wana Ngkiki. Wana merupakan habitat hewan dan tumbuhan langka,
dan sebagai kawasan tangkapan air. Karena itu, di area ini dilarang
membuka lahan pertanian karena bisa menimbulkan bencana alam. Wana
hanya boleh dimanfaatkan untuk kegiatan berburu dan mengambil getah
damar, bahan wewangian dan obat-obatan, serta rotan. Kepemilikan
pribadi (Dodoha) di dalam kawasan ini hanya berlaku pada pohon damar
yang penentuannya tergantung pada siapa yang pertama kali mengolahnya.
Sementara sumber daya alam yang selebihnya merupakan hak penguasaan
kolektif sebagai bagian ruang hidup dan wilayah kelola tradisional
masyarakat (Huaka).

Pahawa pongko, merupakan campuran hutan semi-primer dan sekunder


merupakan hutan bekas kebun yang telah ditinggalkan selama 25 tahun
atau lebih sehingga sudah menyerupai pangale. Pohonnya sudah besar, jadi
untuk menebangnya sudah harus menggunakan pongko (pijakan yang
terbuat dari kayu) yang cukup tinggi. Penebangan pada tempat yang agak
tinggi ini dimaksudkan agar tunggulnya bisa bertunas kembali (karena itu
disebut pahawa yang berarti pengganti). Seperti halnya pangale, kawasan
ini juga tidak tercakup dalam hak pemilikan pribadi terkecuali pohon damar.

Oma, merupakan hutan belukar yang terbentuk dari bekas kebun yang
sengaja dibiarkan untuk diolah lagi dalam jangka waktu tertentu menurut
masa rotasi dalam sistem perladangan bergilir. Oleh karena itu, pada

119
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

kategori ini sudah melekat hak dodoha dan tidak berlaku lagi kepemilikan
kolektif huaka karena lahan ini merupakan areal yang dipersiapkan untuk
diolah kembali pada gilirannya.

Urutan pergiliran ini membentuk tiga kategori Oma, yakni; pertama, Oma
ntua, apabila lahan ini dibiarkan selama 16 hingga 25 tahun. Mengingat
usianya, jenis tanaman di sini sudah tua sehingga tingkat kesuburan
tanahnya sudah pulih dan dapat diolah. Kedua, Oma ngura, yaitu kategori
yang lebih muda karena dibiarkan selama 3 hingga 15 tahun. Lahan ini
didominasi rerumputan dan belukar. Pohon-pohon yang tumbuh masih
kecil sehingga masih bisa ditebas memakai parang tanpa banyak kesulitan.
Ketiga, Oma nguku adalah bekas kebun belum sampai 3 tahun ditinggalkan.
Lahan ini masih di dominasi oleh rerumputan, ilalang dan semak perdu.

Balingkea, yakni bekas kebun yang sudah berkurang kesuburannya dan


sudah harus di istirahatkan. Meskipun begitu, lahan ini masih bisa diolah
untuk tanaman palawija seperti jagung, ubi kayu, kacang-kacangan, cabe,
dan sayuran. Dalam balingkea sudah terkandung hak dodoha.

Terakhir, Pangale, yaitu kawasan hutan semi-primer yang dulu sudah


pernah diolah menjadi kebun namun telah ditinggalkan selama puluhan
tahun sehingga telah menghutan kembali. Kawasan ini dalam jangka
panjang dipersiapkan untuk lahan kebun, sedangkan datarannya untuk
dijadikan sawah. Pangale juga dimanfaatkan untuk mengambil rotan dan
kayu untuk bahan rumah dan keperluan rumah tangga, pandan hutan untuk
membuat tikar dan bakul, bahan obat-obatan, getah damar dan wewangian
(BRWA, 2012).

Berdasarkan obeservasi lapangan, kebutuhan material atas ruang dan


sumber daya alam yang berada dalam TNLL sangat dipengaharui oleh
komoditi yang mendatangkan keuntungan ekonomis. Di TNLL bagian tengah
dan selatan contohnya, selain kebutuhan kayu, terjadi tekanan perluasan
kebun kakao. Kakao adalah komoditi unggulan masyarakat. Sedangkan di
timur laut TNLL, tambang emas menjadi salah satu faktor pemicu yang
mengancam keberadaan TNLL.

Zonasi TNLL adalah upaya menata kawasan ke dalam zona pengelolaan


sesuai peruntukannya dan pengendalian terhadap pemanfaatannya. Zonasi
didasarkan hasil inventarisasi potensi kawasan, pertimbangkan prioritas

120
Larik Tenure

pengelolaan kawasan, dan kondisi sosial ekonomi. Pendekatan dalam


penentuan zona yakni dengan menggabungkan tehnik spasial, FGD (Focus
Group Discussion) di tingkat internal pengelola, bersama stakeholder , dan
pembahasan di tingkat pusat (BBTNLL, 2018).

Cinta Alam Toro


Said berada di Desa Toro, kata kepala seksi di TNLL, Marcel. Staf TNLL, Feri
Padli mengantarkan untuk bertemu Said. Perjalanan dengan Feri pada pagi
hari, 8 Desember 2020 melambungkan banyak pertanyaan.

Perjalanan menuju Toro mengingatkan akan perjalanan yang ditempuh


Hazen Audel, seorang presenter TV, ahli biologi, seniman dan pemandu
sejarah alam. Dia adalah presenter serial Survive the Tribe yang disiarkan
National Geographic. Dia juga mendokumentasikan Primal Survivor, kisah-
kisah petualangannya tinggal bersama dan bekerja bersama penduduk asli
di daerah terpencil di dunia.

Berikut bayangan tentang naturalis asal inggris yang juga pernah berdiam di
Sulawesi, Alfred Russel Wallace. Berabad lalu, Wallace telah
mengidentifikasi keunikan flora dan fauna di Sulawesi. Mereka berbeda
dengan hewan yang dapat dijumpai di Jawa, Sumatra dan Kalimantan.
Tetapi mereka juga tidak sama dengan hewan yang dapat di jumpai di Papua
dan Australia. Anoa contohnya kerbau mungil nan gesit yang bisa memanjat
rapuhnya bebatuan bukit. Wallace juga menceritakan tentang babi rusa Si
Buruk Rupa.

Babi Rusa menjadi buruk sedemikian rupa, mungkin disebabkan karena


kerasnya tekanan alam Sulawesi Tengah yang dilalui oleh beberapa
patahan. Patahan ini salah satunya adalah patahan Palu Koro. Patahan ini
menggeliat beberapa tahun lalu dan meluluhlantakkan Teluk Palu dari
Pesisir Donggala sampai ke pedalaman Sigi.

Feri tersenyum sepanjang perjalanan menuju Toro. Dia menggambarkan


secara jelas dan ringkas interaksi yang terbangun antara TNLL dan
Masyarakat Hukum Adat Ngata Toro.

Menurut Feri, komunikasi satu kata yang jamak di dengar di ruang-ruang


pelatihan resolusi konflik menjadi suatu kata yang rumit dilaksanakan di

121
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

lapangan. Berdasarkan kearifan lokalnya, masyarakat Toro pada hakekatnya


selalu menjaga kelestarian hutan.

Kalau di wana dan wana ngkiki, menurut orang Ngata Toro, tak boleh
mengambil apapun. Sementara dalam pandangan BBTNLL, wilayah
te se ut adalah zo a i a da zo a i ti, kata Fe i.

Perbedaan persepsi itu memang ada, aku Marcel. Di situlah pentingnya


komunikasi tetap dijaga dan dijalankan.

Kepala Balai TNLL, Jusman menyambut pengakuan Marcel. Dalam sebuah


diskusi sebelumnya, Jusman mengatakan jangan takut dengan konflik.

Ka e a konflik adalah pintu silahturahmi, jika tidak ada konflik mana


mungkin kita dapat bertemu. Maka kedepankanlah komunikasi yang baik
aga ko flik dapat dijadika upaya kala o atif pa a pihak, ta das Jus a .

Perjalanan ke Toro berseling santapan kuliner sedap. Menjelang siang,


sajian ikan mas berkuah bening menemani perjalanan Feri. Di sebuah
tikungan, kendaraan Feri berhenti sejenak. Pamandangan di depan layak
mendapat perhatian, sawah membentang berpetak-petak didampingi
kebun kakao dan jagung. Lorong-lorong perumahan warga tampak
membelah jalan utama, sesekali Gereja Kristen Bala Keselamatan hadir di
pojok kampung.

Said belum juga bertemu. Dia tinggal di ujung kampung.

Mobil berhenti di ujung jalan memutar di sudut terkahir Desa Toro. Desa itu
bagai disekap oleh kungkungan pemandangan bukit. Jejeran bukit bagai
penjaga alam Toro. Di antara bebukitan, air jernih mengalir tanpa putus,
menjadi pelipur dahaga dan memenuhi kebutuhan warga. Di ujung
kampung, tak lagi ada jalan tersisa untuk kendaraan. Feri berjalan kaki
menyeberangi titian. Beberapa meter dari ujung titian, dua unit bangunan
kayu telah menanti. Masyarakat menyebut bangunan itu dengan sebutan
Lobo, balai adat, tempat dilaksanakannya sidang adat. Di bangunan itu Said
menanti.

Said berperawakan kecil. Di pinggangnya tersampir parang. Dia mengajak


langsung menuju pondok terbuat dari bambu.

122
Larik Tenure

I ilah po dok a gg ek saya, a u saya a gu , i gi saya pe uhi de ga


e agai je is a gg ek ya g ada di sekita Desa To o i i, u gkap “aid.

Penerima penghargaan Kalpataru ini sama sekali tak terlihat seperti


petualang Hazen Audel. Dia berkisah panjang tentang Sekolah Alam.

Said merupakan bekas ketua Tondo Ngata yaitu sekelompok orang dari
masyarakat Toro yang bertugas melakukan pengamanan atas wilayah
adatnya. Tugas itu dia lakukan secara sukarela, tidak ada yang namanya
insentif, apa lagi gaji. Kesadaran akan pentingnya alam menjadi satu-
satunya alasan bagi Said mengemban tugas tersebut.

3 tahun lalu Said pensiun sebagai anggota Tondo Ngata. Tapi dia tak surut
melakukan patroli rutin. Menurutnya, patroli dilakukan untuk menjaga
kawasan hutan agar tidak dirusak. Dia ingin memastikan agar kawasan
hutan di sekitar Desa Toro tetap terjaga dari orang-orang yang tidak
bertanggung jawab.

“aya p ihatin terhadap generasi penerus Toro. Mereka sudah mulai tidak
e e hatika ala , u gkap “aid.

Dalam keyakinannya, Said beranggapan bahwa alam akan menghukum


siapa saja yang tidak sopan. Dari sekolah alam ini dia berharap anak-anak
yang belajar dapat berbaur dengan alam dan merasa memiliki alam.

‘asa e iliki itu aka tu uh e jadi i ta. ‘asa i ta i ilah se agai satu
oti asi ya g a puh agi a usia u tuk selalu e jaga ala , kata ya.

Hari ini, lanjut Said, anak-anak tidak sekolah karena Sekolah Alam sedang
libur. Sejauh ini, anak-anak senang berkegiatan di Sekolah Alam.

Kendati dihancurkan gempa pada 2018, rumah Said dibangun kembali


berikut dengan Sekolah Alam. Dia masih bersedih karena Piala Kalpataru
miliknya ikut hancur tertimpa bangunan. Tapi Said tetap bersemangat,
karena di sini, dia berharap agar generasi Toro kembali pada cita-cita luhur
mempertahankan alamnya.

123
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Anggrek Vuri
Di belahan utara TNLL, Sardin (35) bergiat membudidayakan anggrek.
Rumahnya berada di Desa Karunia Kecamatan Palolo, Sigi. Kendati mudah
ditemui di hutan, Sardin berpandangan jika terus-menerus diambil, maka
anggrek akan habis. Karena itu, budidaya menjadi penting. Menurutnya,
membudidayakan anggerek harus dengan rasa cinta.

Anggrek merupakan tanaman rambat yang telah menjadi Ikon Sulawesi


Tengah. Anggrek hidup menempel pada pohon lain. Anggrek bukan parasit,
karena anggrek mampu hidup mandiri dan tidak ketergantungan pada
tanaman lain. Peneliti Univ. Tadulako, Palu, Sri Ningsih mengatakan, TNLL
memiliki sekitar 100 jenis anggrek. Dari sekitar 100 jenis aggrek tersebut,
beberapa di antaranya yang endemik TNLL. Ia mengatakan masih banyak
anggrek yang belum diteliti, bahkan belum diberi nama (Masa, 20218).

Di huta e a g asih a yak, tapi kalau diambil terus kan bisa punah.
Saat ini, untuk mendapatkan anggrek musti berjalan lebih jauh ke dalam
hutan, padahal dulu sebelum tahun 2004 masih banyak di pinggrian
kampung. Jenisnyapun bermacam-macam. Anggrek yang diambil langsung
dari hutan tidak akan bertahan lama jika tidak ditangani dengan baik. Setiap
jenis anggrek punya karakter tersendiri dan punya media tanam tersendiri
tidak isa se a a g ta a , papa “a di .

Dia mengkhawatirkan anggrek yang diambil langsung dari hutan hanya


bertahan beberapa hari, lalu mati. Jika mati, maka tentu anggrek akan
diambil lagi.

Di situlah kela gkaa te jadi. La a-la a pu ah, ta das ya.

Sejak 2004 hingga 2010, Sardin mengaku sangat kesulitan untuk


menerangkan pentingnya budidaya anggrek kepada masyarakat sekitar.
Menurutnya, masyarakat belum banyak yang memahami betapa
berharganya anggrek.

Untuk itu, Sardin merangkul Sekolah Menengah Atas (SMA) 6 Sigi. Dia
mengintroduksi keterampilan budidaya anggrek menjadi salah satu mata
pelajaran muatan lokal. Gayung bersambut, pihak sekolah menyetujui
usulan Sardin. Dia diangkat menjadi guru lepas untuk mata pelajaran
tersebut.

124
Larik Tenure

Kini, alumni SMA 6 Sigi yang pernah belajar kepada Sardin banyak yang
terlibat membudidayakan anggrek di rumah masing-masing. Ini
menyebabkan efek yang baik. Kini masyarakat mulai sadar pentingnya
anggrek sebagai salah satu penggerak ekonomi rumah tangga.

“aya lihat a yak lokasi udidaya a gg ek, te uta a ka e a alu i “MA


tinggal menyebar di kecamatan Palolo. Kaum ibu secara sukarela juga
melakukan budidaya. Karena itu, saya mendirikan Kelompok Anggrek Vuri.
Tugas ya e duku g pa a pe udidaya lai di “igi, papa ya.

Secara tidak langsung, Sardin sesungguhnya tengah berupaya menjaga alam


TNLL. Melalui anggrek, dia menyebarkan kecintaan akan hutan.

Menurut Sardin, anggrek bukan sekedar bunga yang indah di pandang,


anggrek merupakan tanaman yang dapat dijadikan indikator tutupan hutan.

Kan anggrek menempel di pohon. Kalau pohon tidak ada, maka anggrek
pasti juga tidak ada, kata ya.

Selain itu, kebutuhan pencahayaan anggrek berbeda. Tiap jenis


memerlukan pencahayaan matahari yang relatif tidak sama. Ada yang
memerlukan 70% cahaya, ada juga yang hanya butuh 50% cahaya.

A ti ya ta a a i i utuh tutupa huta ya g aik u tuk hidup, tu uh


dan berkembang. Jika hutan terbuka dan cahaya masuk lebih dari 70% maka
dapat dipastika a gg ek tidak aka isa hidup, ta das ya.

125
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

JILID 8

DILEMA BUKIT
DUABELAS

126
Larik Tenure

P ada 23 Agustus 2000, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Nur


Mahmudi Ismail menandatangani surat nomor 285/Kpts-II/2000
tentang Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) seluas 60.500
hektare. Menariknya, penunjukkan taman nasional ini dimandatkan sebagai
ruang penghidupan bagi Orang Rimba.

Orang Rimba dikenal juga dengan sebutan Suku Anak Dalam (SAD), atau
Orang Kubu. Ketiga bentuk penyebutan ini tentunya berbasis pada
pandangan orang luar terhadap komunitas masyarakat yang masih hidup
semi-nomaden ini. Disebut sebagai Orang Rimba, merujuk pada
pengistilahan yang sering digunakan oleh Organisasi Masyarakat Sipil yang
berkerja di sekitaran TNBD. Sementara, Suku Anak Dalam merujuk pada
istilah yang seiring dugunakan oleh instansi pemerintah, khususnya oleh
Kementerian Sosial dan Daerah Tertingal. Dan istilah yang jamak adalah
Kubu, merujuk pada penyebutan komunitas melayu yang maknanya
cenderung diskriminatif. Istilah Kubu juga sesungguhnya sudah digunakan
lebih dari seabad lampau ketika Orang Eropa menyebut dalam ragam
catatan mereka.

Sesungguhnya, bagi komunitas semi-nomaden ini, penyebutan tidak


menjadi masalah besar. Justru kadang orang luar cenderung memberikan
pemaknaan berlebihan.

Mulanya, Orang Kubu hidup di bagian timur Provinsi Palembang (Sumatra


Selatan), di sebelah utara Jambi. Mereka hidup di tanah alluvial Sungai
Batang Hari dan dibatasi oleh Sungai Musi. Wilayah hidup mereka terpotong
berbentuk segitiga dimana bagian lebarnya menghadap ke laut (pantai
timur Sumatra), dan ujung bagian barat langsung berada di lereng
perbukitan Sumatra bagian tengah (Hagen, 1908).

Hagen menyebut, wilayah Orang Kubu di hulu berbatasan langsung dengan


Tembesi dan anak-anak sungainya, dan di Rawas dengan anak sungai Rupit
yang mengalir ke arah sungai Musi. Secara keseluruhan, Orang Kubu
menempati wilayah rawa yang cukup luas sekitar 30 hingga 40 ribu
kilometer persegi, berikut dengan zona pantai yang tidak bisa dihuni karena
selalu ada banjir. Jaringan air (sungai) tersebar halus di area ini. Mereka juga
hidup di Sungai Batang Tungkal, Batang Lalan, dan anak Sungai Bahar.

127
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Hagen juga menukil pendapat para penulis sebelum dia; Boers, van Hasselt,
dan Valette. Mereka beranggapan bahwa Orang Kubu adalah penduduk
tertua di Sumatra. Pendapat ini sepenuhnya sesuai dengan tradisi Rakyat
Rawas – dimana penduduk aslinya adalah Kubu – yang tak terjadi
pembatasan wilayah ketika berbaur dengan orang-orang berbahasa Jawa
dari Majapahit dan para imigran Rawas yang berasal dari Minangkabau,
sementara ada pula desakan dari Rejang, daerah Musi dan perbatasan
Jambi.

Menurut Boers, kata Hagen, satu-satunya petunjuk ialah saat penakluk dari
Jawa menetap di Palembang (Sumatra Selatan). Mungkin mereka (Orang
Kubu) melarikan diri dan menjalani kehidupan yang tidak stabil dan
menyedihkan. Secara bertahap, Orang Kubu kehilangan standar hidup
sehingga keadaan mereka menjadi merosot.

Sementara Hasselt percaya, mereka mungkin adalah keturunan orang-


orang yang kini (masa itu) adalah penganut Hindu. Tapi tidak dapat
dipastikan dari mana mereka berasal. Cara hidup momaden membuktikan
perkembangan mereka yang bersifat pemalu (Hagen, 1908).

Valette, lanjut Hagen, juga mencurigai pengaruh Hindu dan belakangan


Muhammadanisme (Islam) telah menggeser adat istiadat dan kebiasaan
umum yang berlaku pada Orang Kubu. Karena itu, Orang Kubu menarik diri
ke Sungai Musi dan Batanghari. Semakin jauh populasi mereka menyebar,
maka semakin jauh mereka mudur ke dalam hutan-hutan dan membuat diri
mereka terpencil. Oleh karenanya, Orang Kubu hanya ditemukan di
sebagian Sumatra. Valette bahkan meramalkan ras Kubu akan segera
punah, atau larut dalam sisa populasinya, terutama karena penduduk sudah
semakin banyak di bagian (perbukitan) di sebelah barat.

Winter-Rookemaaker, lanjut Hagen, berasumsi bahwa aslinya orang Kubu


adalah pelarian dari kerajaan-kerajaan di Jambi dan Palembang. Kubu
tertekan selama berabad-abad dari pengaruh luar kerajaan-kerajaan ini,
sehingga mereka melarikan diri ke pedalaman hutan untuk melepaskan diri
dari pengaruh budaya luar tersebut. Dengan (pelarian) itu, Kubu semakin
sulit dijangkau dan terbebas dari perbudakan.

Riset terbaru tentang Orang Kubu atau Orang Rimba dilakukan Adi Prasetijo
(2015). Menurutnya sebagian besar Orang Rimba hidup di Provinsi Jambi,

128
Larik Tenure

Riau dan Sumatra Selatan. Jambi dianggap sebagai tempat populasi Orang
Rimba yang terbesar di Sumatra. Orang Rimba yang tinggal di Jambi
tersebar di tiga wilayah ekologi yang berbeda; (1) kawasan hutan dataran
rendah yang mengelilingi Taman Nasional Bukit Duabelas, (2) wilayah
selatan Provinsi Jambi yang terletak di kawasan sekitar jalan raya yang
membelah Provinsi Jambi hingga Provinsi Sumatra Selatan, Daerah Provinsi
Sumatra Barat dengan Jambi dan Sumatra Selatan dan (3) wilayah utara
sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, yakni wilayah perbatasan antara
provinsi Jambi dan Riau. Setiap kelompok Orang Rimba yang tinggal di
daerah tersebut memiliki karakter ekologi yang berbeda dan gaya hidup
yang sangat bergantung pada karakteristik wilayah dimana mereka berada.

Kehidupan Orang Rimba sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial politik, baik
di tingkat lokal maupun nasional. Sejarah dan keberadaannya sebagai
kelompok etnis minoritas dipengaruhi oleh dinamika politik lokal dan
nasional. Pada dasarnya kehidupan mereka tidak banyak berubah antara
masa kesultanan Islam dan penjajahan Hindia Belanda, dan kemudian
berlanjut ke masa kemerdekaan selama era Soeharto (Orde Baru) sampai
dengan era Reformasi saat ini (Prasetijo, 2015).

Prasetijo melanjutkan, Taman Nasional Bukit Duabelas merupakan pusat


geografis terbesar konsentrasi Orang Rimba. Ini berbeda dengan kondisi
Orang Rimba di selatan Provinsi Jambi tempat mereka tinggal di tempat
terpisah.

Berlatar keinginan pemerintah Kabupaten untuk menjadikan kawasan


hutan Bukit Duabelas sebagai kawasan lindung dan Cagar Biosfir, pada 7
Februari 1984, Bupati Sarolangun Bangko menadatangani surat usulan
bernomor 522/182/1984. Dalam surat bupati, dicantumkan bahwa cagar
biosfir dimaksudkan sebagai tempat hidup bagi Orang Rimba yang sejauh
ini telah tinggal di wilayah itu.

Kepala Sub Balai Perlindungan dan Pelesterian Alam (PPA) Jambi lantas
bersurat kepada Menteri Kehutanan. Pada 25 April 1984, surat usulan
bernomor 522.52/863/84 dilayangkan ke Jakarta. Intinya, Pemerintah
Jambi mendukung usulan agar kawasan Bukit Duabelas dijadikan cagar
Biosfir seluas 28.707 hektare.

129
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Pemerintah Jambi beralasan bahwa, kawasan tersebut merupakan habitat


berbagai satwa liar dilindungi. Selain itu, kawasan hutan Bukit Duabelas
dihuni oleh sekitar 900 jiwa Orang Rimba (Suku Anak Dalam) yang
kehidupannya sangat tergantung pada hutan Bukit Duabelas. Lalu, topografi
pengunungan Bukit Duabelas agak curam dengan kelerengan 0-20% dan
jenis tanah podsolik yang sangat peka terhadap erosi. Pegunungan Bukit
Duabelas juga merupakan hulu-hulu sungai yang termasuk dalam sub DAS
Batang Tembesi dan Batang Tabir yang bermuara di Sungai Batanghari.
Sehinggga untuk kepentingan tata air perlu dipertahankan. Selanjutnya,
kehidupan masyarakat Orang Rimba dan keanekaragaman hayati
merupakan potensi yang bagus bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
penelitian kebudayaan (TNBD, 2017).

KKI Warsi bekerja di wilayah itu sejak 1997. Berbagai kajian dan
pendampingan bagi komunitas Orang Rimba dilakukan. KKI Warsi lantas
merekomendasikan agar areal PT Inhutani V dan PT Sumber Hutan Lestari
yang terletak di sisi luar bagian utara Cagar Biosfer masuk sebagai kawasan
hidup Orang Rimba. Rekomendasi ini ditangkap Menteri Kehutanan dan
Perkebunan sebagai peluang, sehingga membentuk tim terpadu kajian
mikro di kawasan Bukit Duabelas.

Upaya meningkatkan status kawasan ini berlangsung terus menerus. KKI


Warsi getol melakukan dialog dan menyampaikan hasil kajian kepada
pemerintah. Puncaknya, pada 23 Agustus 2000, Menteri Kehutanan dan
Perkebunan, Nur Mahmudi Ismail menandatangani surat nomor 285/Kpts-
II/2000 tentang Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) seluas
60.500 hektare. Dalam surat ini, Menhutbun juga menegaskan bahwa
Taman Nasional Bukit Duabelas merupakan tempat hidup bagi Orang
Rimba.

Secara normatif, dengan mandat yang seperti itu, sudah seharusnya konflik
tenurial antara SAD dengan Pemangku Kawasan TNBD (BNTBD) tidak
terjadi. Namun pada kenyataannya konflik itu tetap terjadi. Hal ini
disebabkan oleh adanya gap antara pengelolaan wilayah yang dilakukan
oleh SAD dengan pengelolaan menurut hukum negara untuk kawasan
konservasi.

Orang Rimba mempersepsikan dirinya sebagai (1) orang yang tinggal di


hutan; (2) memiliki pola hidup yang sesuai dengan lingkungan hutan, seperti

130
Larik Tenure

hanya memakai cawat untuk laki-laki dan kemben (kain dada) untuk wanita;
(3) hidup nomaden, tidak menetap; (4) percaya agama yang diajarkan oleh
nenek moyang mereka; (5) memiliki model mata pencaharian yang sesuai
dengan lingkungan hutan, seperti berburu, mengumpulkan dan
membudidayakan; dan (6) mengonsumsi semua makanan yang tersedia di
hutan (Prasetijo, 2015).

Orang Rimba, lanjut Prasetijo, juga menganut pantangan. Pantangan


berfungsi untuk pelindung keteraturan antara Orang Rimba dengan Orang
Terang atau orang di luar komunitas mereka. Di sisi lain, pantangan juga
berfungsi sebagai pembatas antara etnis mereka dan orang terang.
Pantangan-pantangan itu terkait dengan makanan dan tempat tinggal.

Makanan berfungsi sebagai tanda kehidupan Orang Rimba yang


sesungguhnya sesuai dengan kehidupan mereka di hutan dan menjaganya
dari pengaruh dan kontaminasi dunia luar. Makan terlarang bagi Orang
Rimba termasuk memakan hewan peliharaan – seperti peliharaan
kebanyakan orang Melayu atau orang luar –, misalnya ayam, telur,
kambing, sapi dan susu. Makanan seperti itu melambangkan kehidupan dan
dunia orang terang (Prasetijo, 2015).

Seiring perkembangan waktu, Orang Rimba juga berubah. Kebudayaan


mereka yang mulanya berburu dan meramu, kini mulai ditambah dengan
perubahan sistem mata pencarian. Interaksi yang cukup kuat antara
mereka dengan orang luar mengakibatkan sistem mata pencarian juga
berkembang. Bahkan Orang Rimba kini juga sudah banyak yang memiliki
kebun. Termasuk pula kedatangan teknologi dimana mereka terus
dibombardir dengan tontonan tivi serta saluran yang mereka dapati di dunia
maya, internet.

Mantan Tumenggung SAD, H. Jailani kini menetap di luar taman nasional.


Kehidupannya sudah menyatu dengan kebanyakan orang Melayu di luar
taman. Menurutnya, kebanyakan SAD masih memiliki kebiasaan berburu
dan meramu. Kebiasaan ini menyebabkan SAD selalu merasa bahwa alam
akan selalu ada untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Dampaknya ketika SAD membangun kebun seperti masyarakat desa,


mereka tidak sabar untuk segera mendapatkan hasil dari kebun tersebut,
sehingga sebelum kebun tersebut dapat memberikan hasil, maka dapat

131
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

dengan mudahnya berpindah tangan ke masyarakat desa di sekitar kawasan


TNBD (Jailani, 2020).

Jual beli lahan tidak dapat dihindarkan. Secara internal, banyak orang SAD
sendiri berniat menjual lahan. Namun secara eksternal hal ini juga
dimanfaatkan orang luar sebagai modus untuk mendapatkan lahan.

Diperparah lagi kebun yang dibangun dalam kawasan TNBD oleh SAD
senantiasa mengikuti tren kebun di sekitarnya. Seperti saat ini terjadi tren
pembukaan kebun sawit, mau tidak mau SAD dalam kawasan TNBD juga
banyak yang membangun kebun sawit. Padahal menurut pengaturan
negara, untuk kawasan hutan tidak dibolehkan menanam sawit. Apa lagi
kalau itu ditanam di kawasan konservasi seperti taman nasional.

Selain itu, penetapan TNBD pada tahun 2000 juga memasukkan kebun-
kebun tua masyarakat desa sekitar TNDB ke dalam kawasan. Kebun-kebun
tua ini dicirikan dengan adanya tanaman durian dan langsat yang berumur
tua dan ditanam sebelum penetapan TNBD. Jika ingin membedakan
kawasan kebun yang dikelola SAD dengan kebun yang dikelola masyarakat
sekitar, lihatlah keberadaan kelompok pohon durian dan langsat. Hal
tersebut dikonfirmasi oleh salah satu Temenggung SAD, Bebayang dan
masyarakat desa Lubuk Jering, Yusan (2020).

Konflik yang terjadi di TNBD terjadi akibat adanya perubahan hirarki


pengelolaan hutan dari rakyat ke negara. Konflik yang terjadi di TNBD
meliputi: (1) konflik yang berkaitan dengan penataan kawasan; (2) konflik
yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan; (3) konflik yang berkaitan
dengan perubahan sosial budaya; (4) konflik yang berkaitan dengan
kepentingan kekuasaan/penggunaan wewenang; dan (5) konflik yang
berkaitan dengan internal pengelolaan (Herawati, 2011).

Revisi Zonasi TNBD merupakan bagian dari agenda bersama yang


memadukan aturan adat Orang Rimba/SAD dan aturan negara. Keseluruhan
proses dibangun secara partisipatif melibatkan 13 Temenggung, 4 LSM
pendamping, dan unsur pemerintah setempat. Mulai dari tahapan
perencanaan, sensus Orang Rimba/ SAD, survei lapangan, perpaduan ruang
adat dan ruang zona (BTNBD, 2019).

132
Larik Tenure

Menurut dokumen BTNBD (2019), faktor-faktor yang menjadi pendorong


revisi zonasi adalah munculnya keberatan dari Orang Rimba Makekal Hulu
yang menganggap zonasi TNBD belum mengakomodir ruang adat mereka.
Salah satu penyebabnya adalah kekhawatiran komunitas tersebut terhadap
perubahan pola hidup dan naiknya populasi Orang Rimba yang mengancam
eksistensi mereka sebagai komunitas adat.

Dokumen BTNBD (2019) juga menjelaskan, faktor lainnya adalah pengakuan


terhadap ruang adat. Pengakuan ini merupakan upaya untuk
mempertahankan adat dan budaya Orang Rimba yang dianggap sudah
mulai luntur. Kecuali itu, faktor lain juga termasuk aktivitas wisata pada
beberapa zona yang tidak sesuai peruntukannya, dan adanya keterlanjuran
perladangan berupa kebun-kebun karet masyarakat desa yang saat ini
dialokasikan pada zona khusus.

Resor Kami
TNBD mestinya adalah singkatan untuk Taman Nasional Bukit Duabelas.
Tapi bagi Resor Air Hitam justru TNBD merupakan singkatan Taman
Nasional Bandung Deui. Guyonan ini menjadi biasa karena hampir semua
staf di resor itu berasal dari Jawa Barat.

Ka i sepe ti e ada di Ja a Ba at saja, selo oh Kepala Resor Air Hitam,


Wawan sambil tertawa.

Kantor itu terasa akrab dengan celetukan berbahasa Sunda. Di bawah


supervisi Kepala Seksi Wilayah, Saefullah, Resor Air Hitam bergiat dengan
berbagai upaya konservasi TNBD.

Resor Air Hitam dapat di tempuh lebih kurang 2 jam perjalan dari Kota
Sarolangun, Provinsi Jambi. Terdapat dua pilihan jalan dari Kota Sarolangun
yang di tempuh menuju resor ini. Pertama, melalui jalur Lintas Tengah
Sumatra ke arah Bangko, Kabupaten Merangin. Kedua, melalui jalur Lintas
Provinsi Sarolangun-Jambi mengambil arah ke kiri di Simpang Empat Pauh.

Sebagian besar jalan di ke dua arah tersebut cukup mulus, namun sekitar 20
km sebelum resor, akan melalui jalan aspal yang hancur akibat dari
kendaraan berat. Hal ini tidak dapat dihindari karena hampir sepanjang hari
banyak truk bermuatan sawit yang diisi melebih batas berat tertinggi.

133
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Kecuali soal plesetan TNBD, di resor ini ada pula Si Merah. Ini adalah sebuah
kendaraan roda empat dengan bak terbuka khusus untuk lapangan.
Si Merah dilengkapi dengan sistem penggerak di keempat rodanya. Disebut
Si Merah karena memang catnya bewarna merah.

Menurut Wawan, sebenarnya Si Merah diperuntukkan untuk pemamdam


kebakaran hutan. Namun dengan kapasitas tangki air yang hanya 1 ton dan
keterbatasan kemampuan untuk memasuki lanskap TNBD yang berbukit,
maka Si Merah kerap tidak digunakan untuk pemadaman api di dalam
kawasan.

Sehari-hari Resor Air Hitam TNBD tidak melulu urusannya sebatas


operasional penjagaan kawasan hutan saja. Bayak interaksi sosial yang
terjadi di luar bayangan umum. Salah satunya; tidak ada istilah jam kerja
ataupun hari kerja.

“etiap aktu adalah ja ke ja, setiap ha i adalah ha i ke ja. Tidak peduli


hari minggu, hari besar maupun hari-ha i li u layak ya di kota, u gkap
Wawan.

Sewaktu-waktu ada saja masyarakat SAD yang datang, mulai yang datang
sekedar berkunjung, sekedar bermain dan duduk-duduk di halaman resor,
sampai dengan yang datang membawa berbagai persoalan. Mulai dari
persoalan remeh temeh soal keluhan sakit gigi, sampai dengan persoalan-
persoalan berat seperti perselingkuhan, sakit parah, kematian, perkawinan,
dan persoalan kawasan tentunya.

Di sebagian persoalan inilah Si Merah bekerja. Sebagai satu-satunya


kendaraan operasional roda empat, Si Merah menjadi kendaraan multi
fungsi.

Untuk kendaraan sekolah misalnya, budaya melangun memaksa anak-anak


SAD untuk berpindah-pindah mengikuti orang tua mereka di hamparan
TNBD. Untuk mendukung kelancaran anak-anak SAD mengikuti program
sekolah yang di kelola oleh BTNBD, maka mau tidak mau, anak-anak yang
berpindah mengikuti orang tua itu terpaksa di jemput-antar ke sekolahnya.

Melangun adalah istilah untuk perpindahan tepat tinggal untuk sementara


waktu. Bagi komunitas Orang Rimba, ada kepercayaan bahwa jika di

134
Larik Tenure

wilayah yang biasa mereka tempati ada orang yang meninggal dunia atau
wabah penyakit, maka dipercaya bahwa tempat itu sudah dikuasai roh
jahat, dan mereka harus segera meninggalkan tempat tersebut. Wilayah
yang ditinggalkan itu mungkin akan didatangi lagi, tapi dalam waktu yang
cukup lama. Perpindahan tempat tinggal ini dilakukan secara berkelompok,
tak ada yang tersisa.

Namun belakangan, budaya ini sudah mulai tergerus. Melangun hanya


dilakukan untuk sementara waktu dan tidak terlalu lama. Hal ini disebabkan
karena lokasi pindahpun sudah banyak yang dikuasai oleh orang luar dan
perkebunan. Artinya, tidak banyak tempat bagi Orang Rimba untuk
memulai kehidupan baru di wilayah yang baru.

“a a ha i “i Me ah selalu siap sedia e jala ka tugas a ta je put,


kata Wawan.

Resor Air Hitam adalah rumah solusi segala persoalan SAD, termasuk urusan
kesehatan. Padahal, Puskesmas hanya sejauh 3 galah saja di depan kantor
Resor Air Hitam.

Jika ada salah seo a g a ggota “AD ada ya g sakit pa ah, aka ke resorlah
mereka aka e gadu. Di situlah “i Me ah e fu gsi lagi, u ap Wa a
sambil tersenyum.

Si Merah lantas menjelma menjadi ambulance darat darurat untuk


mengantarkan pasien ke Rumah Sakit terdekat. Ada banyak lagi tugas Si
Merah, seperti mengantarkan keluarga mempelai SAD yang mau
menghadiri acara pernikahan sanak keluarga.

I i Ka g Asep juga ha pi tiap se e ta HP ya u yi. U usa ya a a -


macam. Kebanyakan telepon dari SAD. Walau posisinya PEH yang tugas
utamanya untuk urusan pemulihan ekosistem di dalam kawasan TNBD. Tapi
kalau sudah u usa “AD, Ka g Asep siap jala , uja Wa a .

Resor Air Hitam ingin menciptakan kader-kader SAD yang memiliki


kemampuan dan pengetahuan tentang persoalan kelestarian hutan. Kini,
setidaknya ada 2 orang remaja SAD telah masuk dan bersekolah di SKMA
Pekanbaru.

135
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Rajo
Kalau au i fo asi te ta g segala sesuatu soal “AD di TNBD hu u gi saja
Pak Iyed, uja seseo a g di Di as Pe e dayaa Masya akat da Desa
Kabupaten Sarolangun.

Iyed, nama lengkapnya Suryadi. Dia adalah mantan Camat Air Hitam yang
saat ini bertugas di Dinas Pariwisata, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten
Sarolangun. Hobinya mengendarai motor cross. Orangnya suka tersenyum.

Mungkin semua orang di Kecamatan Air Hitam mengenal Iyed. Apa lagi jika
yang ditanya adalah SAD di TNBD, bagi mereka Iyed adalah Pak Camat dari
dulu sampai sekarang. Gelar Pak Camat tetap melekat pada namanya,
bukan sekedar panggilan.

Menurut warga, walaupun Iyed adalah mantan camat, tapi hingga kini dia
tetap memberikan perhatian kepada masyarakat Air Hitam, khususnya SAD
yang bermukim di selatan TNBD.

Ini bukan hasil kerja sahari dua hari, bukan pula hasil kerja rutinitas, atau
hanya asal menyelesaikan kewajiban, ini adalah hasil kerja sepenuh hati.
Banyak cerita tentang inovasi untuk mendobrak birokrasi kerja
pemerintahan dia lakukan.

Misalnya untuk penerbitan KTP (Kartu Tanda Penduduk) SAD. Ketika


menjabat sebagai camat, Iyed secara luar biasa mengakomodir hak sipil SAD
yang bermukim di TNDB.

Padahal jika diteliti lebih lanjut, sesungguhnya orang-orang SAD yang dia
fasilitasi itu sebagian besar berdomisili di Kabupaten Batang Hari. Namun
karena akses terdekatnya adalah ke Kecamatan Air Hitam Kabupaten
Sarolangun, maka Iyed tanpa ragu memperjuangkannya.

Belum lagi urusan pengisian kolom agama pada berkas kependudukan. Bagi
masyarakat SAD yang masih menganut kepercayaan animisme, mereka
tentu tidak bisa memilih salah satu dari 5 agama besar yang disediakan pada
dokumen kependudukan. Iyed mengakomodir mereka.

Dalam dokumen kependudukan juga mensyaratkan nama orang tua. Bagi


masyarakat SAD, penyebutan nama orang tua yang telah meninggal dunia
136
Larik Tenure

adalah pantangan, mereka tidak bersedia. Pada poin ini, Iyed juga
melakukan terobosan.

Dengan sabar, Iyed meminta setiap ketua kelompok SAD menyebutkan


nama-nama anaknya, setelah itu masing-masing anak menyebutkan nama
anak-anak mereka, dan seterusnya. Iyed mencatat dengan teliti, hingga
daftar anggota kelompok SAD berikut nama-nama anggota keluarganya
tersusun secara lengkap. Iyed mendorong menerbitkan Kartu Keluarga dan
KTP untuk anggota kelompok yang telah memenuhi syarat.

Dengan penerbitan KTP, masyarakat SAD yang belum melengkapi data


segera diminta melengkapi. Dengan itu, Iyed bisa menerbitkan KTP.
Identitas kependudukan ini memberikan manfaat kepada SAD, karena
dengan adanya KTP mereka dapat mengakses seluruh layanan dasar yang
disediakan oleh negara seperti bantuan sosial, kesehatan dan pendidikan
dasar.

Saban hari, Iyed berkendara motor berkeliling Kecamatan Air Hitam. Dia
mendatangi warga, mengajak mereka berdiskusi, berikut membina mereka
untuk meningkatkan derajat kehidupan Orang Rimba.

Salah satu aset alam yang kerap didiskusikan Iyed adalah air terjun. Talun
merupakan sebutan masyarakat desa setempat terhadap air terjun.
Terdapat tiga talun yang tersebar di wilayah kerja Resor Air Hitam I dan II.
Tepatnya talun di Desa Jernih dan talun di Desa Lubuk Jering. Kondisinya
masih relatif alami dan belum dikelola secara profesional sebagai objek
wisata.

Talun yang tedapat di Desa Jernih dapat ditempuh dengan sepeda motor.
Dari batas desa, masuk ke dalam kawasan selama kurang lebih 45 menit.
Talun ini tinggi kurang lebih 2 meter. Airnya jernih dan berbatu-batu.

Sedangkan talun di desa Lubuk Jering dapat ditempuh dengan motor kurang
lebih 1 jam. Dilanjutkan 2 jam berjalan kaki. Talun di Desa Lubuk Jering lebih
menantang karena medannya bertingkat dan berbatu-batu. Terdapat 3
tingkat, tiap tingkat berjarak sekitar 10 meter.

Me u uh-kembangkan potensi pariwisata merupakan kerja kalaborasi,


uka ke ja se di i se di i, kata Iyed.

137
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Semua pihak, lanjutnya, harus bekerjasama dengan TNBD sebagai


pemangku kawasan. Termasuk pula masyarakat desa dan SAD sebagai
pemanfaat langsung sumber daya, dan juga pemerintah daerah.

Iyed berharap agar potensi wisata ini memberikan manfaat kepada semua
orang, terutama masyarakat desa dan SAD di sekitarnya.

Jika TNBD tidak e e ika akses, asya akat desa da “AD tidak
menjaga alam, dan pemerintah daerah tidak memiliki program yang tepat,
maka ini akan menjadi boomerang bagi semua pihak. Kinerja TNBD akan
terganggu akibat rusaknya kawasan hutan, masyarakat desa dan SAD akan
kehilangan potensi pendapatan tambahan dan pemerintah daerah akan
buruk ki e ja ya dala e sejahte aka asya akat, Iyed e gi gatka .

Atas kerja-kerja kerja sosialnya, Iyed dihargai dengan sebutan sebagai Rajo
oleh SAD. Rajo itu adalah Tumenggung (Pemimpin Adat) kami di Sarolangun
kata orang-orang SAD.

138
Larik Tenure

JILID 9

BERTARUH NKRI
DI KATERI

139
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Masa Lampau Timor

J alur perdagangan antara Selat Malaka dengan Selat Timor sudah mulai
terbuka, setidaknya pada ujung abad ke 15 atau sekitar awal abad ke 16.
Suma Oriental yang ditulis Tome Pires setidaknya menyebut jalur
perdagangan itu telah membawa bahan dagangan dari Malaka ke Timor.
Kendati sebelumnya, para penjelajah samudra Portugis sudah mengenal
Banda Neira di Kepulauan Maluku.

Ada begitu banyak belerang, anggap saja sebagai oleh-oleh dari Malaka.
Karena itu adalah barang dagangan utama dari Malaka. Antara Pulau Solor
dan Bima ada Selat Timor, pulau tempat cendana berada. Barang dagangan
yang sama bernilai di pulau-pulau tersebut seperti di Jawa. Di antara pulau
Bima dan Solor terdapat Kepulauan beralur lebar, Timor (Pires, 1944).

Para pedagang Melayu, nukil Pires, mengatakan bahwa Tuhan membuat


Timor untuk kayu cendana. Barang dagangan ini tidak diketahui di mana
pun di dunia kecuali di tempat ini.

Waktu berlalu hingga Portugis benar-benar menguasai Timor. Tony Firman


(2017) menyatakan, sejumlah biarawan Dominikan lantas mendirikan
pemukiman Portugis di Lifau, Oekusi, dan memulai misi Kristen di pulau
tersebut. Portugis memperkenalkan agama Katolik, sistem abjad Latin,
percetakan, dan sekolah formal kepada rakyat Timor. Pada 1702,
terciptalah koloni baru yang secara resmi mereka namai Timor Portugis,
beribukota di Lifau.

Belanda lantas mendirikan pangkalan di Kupang, di Pulau Timor bagian


barat. Tahun 1769, ibukota Timor Portugis dipindahkan ke Dili karena
ancaman orang-orang Topasses. Sementara di Timor bagian barat, Belanda
terus memperluas kekuasaannya (Firman, 2017).

Pulau Timor memiliki bentuk memanjang pada kedua ujungnya. Sumbu


panjang itu membentang kira-kira dari barat daya ke timur laut. Di bagian
barat daya pulau, dikuasai Belanda, kecuali beberapa kantong di timur laut
yang masuk ke wilayah Portugis. Oleh karena itu, batas antara dua bagian
ini melintasi bagian lebar pulau dan sekitar tengahnya (Grijzen, 1904).

140
Larik Tenure

Grijzen melanjutkan, subdivisi Belu terletak di bagian wilayah Belanda itu,


yang berbatasan dengan setengah pulau Portugis, dan membentang di atas
seluruh lebar pulau. Sementara perbatasan timur Belu, yaitu perbatasan
dengan Timor Portugis, adalah wilayah yang lantas disepakati sebagai
perbatasan dalam Traktat Lisbon pada 20 April 1859.

Pada 10 Juni 1893, sebuah pertemuan digelar Belanda dengan Portugis di


Lisbon. Pertemuan tersebut merekomendasikan pembentukan komisi
Belanda-Portugis untuk mempertegas perbatasan antara keduanya di
Timor. Komite itu terdiri dari enam anggota (Grijzen, 1904).

Penulis buku Mededeelingen Omtrent Beloe of Midden-Timor sendiri, H.J


Grijzen, juga merupakan salah satu dari anggota komite tersebut. Dia
terlibat bekerja di dalam komite pada 1898 hingga 1899.

Perbatasan dengan Timor Portugis adalah garis yang sangat melengkung.


Sistem pegunungan agak teratur di Timor Tengah, sementara barisan
pegunungan yang penting tidak terjadi di sana. Namun secara umum, dapat
dikatakan bahwa Belu di barat, utara dan timur adalah wilayah yang tinggi.
Pegunungan itu ada yang berbukit-bukit dan dikelilingi dataran rendah di
selatan. Lebih jauh ke selatan, pegunungan membentang di sepanjang
perbatasan dengan Portugis Timor ke dekat laut. Wilayah perbukitan barat
membentang ke selatan sepanjang perbatasan Belu mengarah ke laut
(Grijzen, 1904).

Gunung-gunung dan bukit-bukit biasanya gundul dan bukan menjadi


populasi alang-alang maupun kayu putih. Bahkan kebanyakan pohon tidak
terlalu tinggi, lanjutnya.

Hutan seperti yang ditemukan di Sumatra, katanya, tidak dikenal di sana.


Terdapat hutan yang tingkatnya lebih rendah dengan kayu tinggi. Namun
tidak dapat ditemukan dalam jumlah besar.

Semua sungai tidak dapat dilayari. Sungai-sungai umumnya luas, dangkal,


dengan dasar berbatu-batu. Pada kondisi monsun di bulan Oktober,
beberapa sungai benar-benar kering, sementara yang lainnya mengandung
sedikit air sehingga bahkan tidak bisa mencapai laut. Tapi mungkin
membasahi muara yang berlumpur, lantas air menguap di sana. Air yang
dikandung sungai-sungai pada waktu itu bersumber dari mata air yang

141
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

cukup banyak di Belu. Di antaranya sangat berlimpah. Selama hujan lebat,


yang menyebar di sebagian besar daerah tangkapan air, banjir terbentuk
dalam waktu singkat. Namun cuaca yang cerah dengan segera
menghilangkan air (Grijzen, 1904).

Berdasar keterangan Grijzen, Malaka yang kini merupakan nama tempat di


Belu sangat berhubungan dengan Semenanjung Malaka. Terdapat empat
suku yang berasal dari Semenanjung Malaka pada mulanya. Mereka adalah
para budak yang melarikan diri sebelum kedatangan Portugis. Hal tersebut,
lanjut dia, dibuktikan dengan korespondensi yang terdiri dari tata karma
dan adat istiadat yang mirip dengan penduduk Semenanjung Malaka.

Keempat suku tersebut pada mulanya meninggalkan Semenanjung Malaka


dengan perahu layar. Perjalanan mereka seperti kesengsaraan ditemani
badai di laut lepas. Di perjalanan, perahu mereka pecah. Untungnya semua
penumpang dapat mencapai pantai. Sebagian barang-barang tenggelam di
laut, termasuk surat-surat penting. Akibatnya lama-kelamaan,
pengetahuan mereka tentang huruf juga turut hilang (Grijzen, 1904).

Grijzen juga mengungkap tentang persahabatan darah. Bahwa orang-orang


dengan keinginan yang sama, akan membentuk suatu kesepakatan yang
melibatkan ritual sakral. Dengan persaudaraan seperti itu, mereka jauh
lebih kompak. Satu dan lainnya memiliki hubungan timbal balik yang kuat.

Itu adalah pe saha ata sa pai ati, kata ya.

Ritual dimulai dengan sebuah pusat dengan semangkuk kecil arak. Mereka
meletakkan sedikit tanah dan dicampur dengan beberapa tetes darah dari
semua orang yang terlibat. Kelompok persaudaraan ini meletakkan
mangkuk di lantai dengan pisau ada di atasnya. Mereka menganggap,
perjanjian darah disaksikan oleh Tuhan dengan semua roh-roh di bumi.

Selain itu, kadang seekor ayam, atau lebih baik seeokor kambing,
dipersembahkan kepada roh. Lantas pisau dicabut, dan semua orang
meminum sedikit arak yang bercampur tanah dan darah tersebut.

Perang kerap terjadi dalam memperebutkan tanah. Seringkali pertikaian ini


berlarut-larut dan membuat lanskap perbatasan di daerah-daerah yang

142
Larik Tenure

bersengketa tidak aman. Jalur sepanjang perbatasan berbahaya, dan


ketegangan kerap terjadi dalam keadaan konstan.

Bahkan untuk mengolah lahan juga seringkali tidak aman. Keadaan seperti
itu mengancam peternakan kuda. Oleh karenanya berhati-hatilah, la jut
Grijzen.

Para prajurit yang pergi berperang dalam keadaan najis, sambungnya, sama
saja dengan terluka atau terbunuh. Keadaan suci harus bertahan hingga
akhir masa penyerangan. Selama masa itu, para prajurit mungkin tidak akan
melakukan kontak dengan wanita yang belum menikah.

Berkait dengan pertanahan, ungkap Grijzen, bahwa semua tanah yang


ditempati merupakan milik orang atau keluarga tertentu. Hak kepemilikan
ini dipertahankan. Bahkan jika tanah ditinggalkan dalam waktu yang cukup
lama, maka kepemilikannya bisa berpindah dari ayah ke anaknya, atau dari
paman kepada keponakannya, tapi tetap dalam satu keluarga.

Penduduk pada daerah yang seperti itu, lanjutnya, cenderung padat. Pada
tanah-tanah yang dimiliki, mungkin terdapat hutan kecil yang mengandung
cendana. Pemilik tidak harus meminta izin pada pemimpinnya untuk
mengolah tanahnya sendiri. Di daerah di mana tanahnya subur, acap kali
diperebutkan. Wilayah seperti ini situasinya agak berbeda. Di sini, terdapat
sawah, kebun ataupun pohon buah-buahan.

Belu menyediakan tanah-tanah kering untuk budidaya padi dan jagung.


Siapapun boleh mengolah tanpa izin, dan menggunakan tanah kosong
sebanyak yang dapat diolah. Tapi penduduk harus memerhatikan beberapa
hal. Pertama, tanah yang diolah berada cukup jauh dari lokasi-lokasi yang
dikeramatkan. Kedua, tidak diperbolehkan menggarap pada daerah yang
banyak terdapat pohon tempat lebah bersarang. Pembakaran bisa menjadi
masalah besar untuk jenis pohon yang mengandung getah dan lebah.
Ketiga, jika pengolahan tanah dilakukan dekat dengan pohon cendana,
maka selama ada api, pohon-pohon harus dibungkus dengan kulit pisang
(Grijzen, 1904).

Demikianlah. Apapun yang terjadi kini di Belu merupakan dampak masa lalu
yang dahsyat. Traktat Lisbon yang telah melandasi perbatasan wilayah
Belanda dan Portugis di Timor menyisakan pekerjaan rumah yang berat.

143
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Di awal abad 20, tepatnya sekitar 1910 hingga 1912, terjadi Pemberontakan
Timor Timur atau dikenal luas dengan Pemberontakan Manufahi. Kisah-
kisah kelam mewarnai wilayah ini sampai kedatangan Jepang sekitar
Februari 1942.

Dinamika kelokalan orang Timor, terutama di daerah perbatasan seperti


Belu belum berhenti. Kendati Portugis tetap menganggap Timor di bagian
timur adalah pos perdagangan yang berlanjut hingga 1955. Sementara itu,
kawasan Timor di barat, bekas jajahan Belanda telah menjadi bagian dari
Republik Indonesia.

Pada 1974, ketika Portugis dituntut harus melepaskan daerah-daerah koloni


yang tercatat sebagai provinsi luar negeri. Rakyat Timor Portugis mulai
berhitung soal kemerdekaan. Mereka mendirikan partai-partai politik.
Perselisihan politik tidak terhindarkan dan konflik bersenjata segera
menyusul. Pada 28 November 1975, FRETILIN mendeklarasikan
kemerdekaan Timor Leste dari Portugis. Pada 17 Juli 1976, Republik
Indonesia secara resmi menyatakan Timor Leste, dengan nama Timor Timur
yang menjadi provinsi ke-27 (Firman, 2017).

Dalam catatan Yusuf Gunawan (2014), pada masa pemerintahan Belanda


(1602-1942), dilakukan tata batas terhadap kawasan hutan Kateri dan batas
dibuat dari tumpukan batu. Pemerintah Belanda menunjuk kawasan hutan
Kateri menjadi hutan larangan melalui Surat Keputusan W. BER. 23-7-1931
No. 5,RB. 20-8-1938 No. 104/LK. Masyarakat dilarang mengolah lahan
melewati batas yang sudah dibuat dan dilarang mengambil hasil hutan
seperti pada masa pemerintahan raja-raja. Pemerintah Belanda
mengangkat petugas kehutanan yang disebut Obseter yang dibantu oleh
para Poswesi. Pada saat itu petugas adat yaitu Kapitan dan Makleat tetap
melakukan tugasnya sesuai aturan adat yang sudah berlaku. Aturan
pengelolaan hutan diberlakukan dua macam yaitu aturan pemerintahan
Belanda dan aturan adat.

Pada masa penjajahan Jepang, lanjutnya, pengelolaan hutan tidak


diberlakukan. Sebagian Hutan Kateri dibabat dan dihancurkan oleh Jepang
untuk tujuan pembukaan jalan raya Belu-Malaka. Pada saat itu masyarakat
dipaksa untuk ikut bekerja membuka jalan. Pengelolaan hutan pun tidak

144
Larik Tenure

diperhatikan. Masyarakat, khususnya suku-suku bersama Kapitan dan


Makleat melakukan protes diam-diam terhadap tindakan destruktif Jepang.
Pasca kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengambil alih pengelolaan
hutan Kateri dan menunjuk kawasan tersebut sebagai hutan lindung.
Kegiatan yang dilakukan pada masa itu adalah berupa reboisasi dengan
tanaman jati. Aturan adat dalam pengelolaan hutan tetap diberlakukan oleh
masyarakat. Pada tahun 1981, melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian
Nomor : 94/Kpts/Um/5/1981, tanggal 7 Mei 1981, kawasanan hutan Kateri
ditunjuk menjadi Suaka Margasatwa dengan dengan luas ± 4.560 hektare.
Dari hasil tata batas yang dilakukan oleh Balai Planologi Kehutanan IV Nusa
Tenggara, diketahui bahwa luas kawasan hutan Kateri adalah 4.699,32
hektare yang terdiri dari Suaka Margasatwa seluas 3.299, 20 hektare dan
hutan produksi/lindung seluas 1.400, 12 hektare (Gunawan, 2014).

Kami Juga NKRI

Peristiwa referendum Timor Timur tahun 1999 merupakan sejarah baru


bagi masyarakat Timor Timur. Masyarakat yang pro integrasi, menghendaki
Timor Timur tetap menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Sedangkan yang pro kemerdekaan, menghendaki Timor Timur
bercerai dengan NKRI. Akibat referendum itu, Timor-Timur lepas menjadi
Negara merdeka bernama Republik Demokrasi Timor Leste (RDTL).

Konsekuensi politik bagi mereka yang memilih NKRI, yaitu meninggalkan


kampung halaman. Mereka meninggalkan rumah, tanah, harta dan
keluarga.

Masyarakat pro integrasi berangkat menuju wilayah perbatasan NKRI-RDTL


lalu tinggal di sana. Tahun 2001, Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi PBB
(United Nation High Commisioner for Refugees/UNHCR) menyebut ada
sekitar 250 hingga 280 ribu jiwa warga Timor Timur mengungsi ke 14
wilayah kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 1999.
Sebaran tertingginya ada di Kabupaten Belu, sebesar 61,4%, Kabupaten
Kupang 19,2%, dan Timor Tengah Utara 8,1% (Skolastika & Jatmika, 2021).

145
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Tabel 2. Sebaran Pengungsi Eks Timor Timur di NTT (Skolastika & Jatmika, 2021)
Jumlah Jiwa
Kabupaten/Kota Jumlah
KK L P Total %

Kota Kupang 3.497 8.819 7.850 16.669 5,87%


Kupang 7.630 29.410 25.246 54.656 19,23%
Timor Tengah Selatan 1.177 3.041 2.828 5.859 2,06%
(TTS)
Timor Tengah Utara 5.620 11.975 11.149 23.124 8,13%
(TTU)
Belu 90.687 83.841 174.528 61,42%
Manggarai 203 475 401 876 0,35%
Ngada 273 392 324 716 0,25%
Ende 474 895 819 1714 0,60%
Sikka 325 745 626 1371 0,48%
Flores Timur 199 381 325 706 0,24%
Lembata 143 301 259 560 0,19%
Alor 849 1520 1492 3012 1,06%
Sumba Barat 39 88 75 163 0,05%
Sumba Timur 48 113 81 194 0,07%
TOTAL 148.842 135.306

Skolastika & Jatmika (2021) melanjutkan, jumlah pengungsi yang bemukim


di Kabupaten Belu (atau sebagian besar wilayah Kabupaten Malaka hari ini)
di tahun 2008 sebanyak 12.792 KK (60.049 jiwa). Awalnya, mereka
menyebar tinggal pada kamp-kamp pengungsian di bagian hilir Sungai
Benenain. Namun, karena banjir di awal tahun 2000, maka oleh TNI dan
Polri mereka diungsikan ke wilayah yang aman. Sebanyak 1.311 KK (10,25%)
di antaranya dipindahkan bermukim di dekat kawasan Suaka Margasatwa
(SM) Kateri. Di lokasi tersebut, pemerintah membantu menyediakan rumah
bagi 504 keluarga eks Timor Timur, yang terkonsentrasi pada 7 lokasi
pemukiman. Di antaranya di wilayah Kecataman Malaka Tengah yaitu
Waematek 40 KK, Waebua 90 KK, Desa Kakaeknuan 130 KK dan Desa Benain
112 KK. Lalu Desa Wehali 48 KK dan Wemalae 45 KK serta Kamanasa 39 KK.

Keberadaan warga eks Timor Timur di sekitar Kawasan SM Kateri saat itu
kurang disertai respon cepat pemerintah. Terutama terkait lokasi
pemukiman permanen dan lahan aktivitas bertani. Sementara kebutuhan
pangan sangat urgen. Akibatnya, sebagian mereka terpaksa merangsek

146
Larik Tenure

masuk dan merambah SM Kateri. Jumlah perambah mencapai 1.560 orang


dengan 295 buah pondok (Ndun, 2021).

Pada lahan yang dirambah, mereka menanam tanaman palawija seperti


jagung dan kacang-kacangan guna memenuhi kebutuhan pangan keluarga.
Kondisi lahan perambahan semakin parah setelah penghentian seluruh
bantuan dari UNHCR pada tahun 2000. Per Oktober 2002, luas SM Kateri
yang telah dirambah adalah 2.426 hektare (60%) dari total luas 4.699,32
hektare (Maria, 2019).

Pada 2 Desember 2013, Bupati Malaka mengeluarkan SK nomor


35/HK/2013 sebagai landasan untuk melakukan pendataan warga
penggarap di sekitar SM Kateri. Hasil pendataan menyebut terdapat 16
lokasi pemukiman warga eks Timor Timur dengan 6.283 jiwa. SM Kateri
yang telah digarap seluas 1.557 hektare (Untung, 2021).

Untung melanjutkan, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA)


Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui Resort Kehutanan Malaka melakukan
pendataan pada 2 desa, yakni; Desa Wehali dan Desa Kamanasa, Kecamatan
Malaka Tengah pada Juni hingga Juli 2020. Pendataan itu mencatat
terdapat 42 penggarap dengan luas lahan garapan 1.272 hektar.

Dampak perambahan di SM Kateri sulit diukur secara finansial, mengingat


objek yang dirusak bukan hanya bernilai kayu secara fisik, tetapi mencakup
hilangnya fungsi-fungsi kawasan (Maria, 2019).

SK Kateri merupakan rumah bagi beragam jenis flora dan fauna. Menurut
BBKSDA NTT (2020), terdapat jenis pohon seperti beringin, kusambi, jambu
hutan, kayu merah, dan asam. Ada pula jati berumur antara 30 sampai 50
tahun. Tegakan pohon-pohon tersebut menjadi rumah bagi beragam jenis
binatang, di antaranya; Rusa Timor, Kuskus, Elang, Koakiu, Merpati Hutan,
Tekukur, Sesap Madu Ekor Kipas, Perkutut, Merpati, Balam dan Raja Udang.
Tapi kini kondisinya mulai terdegradasi.

Berdasarkan hasil wawancara tim LATIN pada 3-7 Maret 2021 terhadap
sejumlah okupan dan perambah, terungkap bahwa di awal kedatangan
mereka ke wilayah Timor Barat (perbatasan antara NKRI dan RDTL, yakni
Belu dan Malaka), mereka sudah tahu bahwa SM Kateri adalah hutan

147
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

negara. Namun, merambah hutan SM Kateri merupakan satu-satunya


pilihan agar bisa memperoleh pangan guna bertahan hidup.

Mereka datang dengan latar belakang pendidikan dan keahlian yang


terbatas. Mereka mayoritas petani. Bertani ladang (berkebun) dan
memelihara ternak adalah kehidupan mereka setiap hari semenjak masih
tinggal di Timor Timur. Beberapa dari anggota komunitas warga eks Timor
Timur memiliki keahlian pertukangan, dan hanya sedikit dari mereka yang
bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Ta ah da u ah, ka i ti ggalka di ka pu g hala a saat ka i e ilih


bergabung dengan Indonesia. Tetapi saat tiba disini, kami mengalami
kesulitan dan bingung harus tinggal dimana, makan dari mana. Semua tanah
adalah milik warga lokal dan hutan dilindungi negara. Kami tidak mungkin
ambil lahan warga lokal. Pilihan terakhir kami adalah tinggal di tanah
negara, meskipun itu ka asa huta ya g dili du gi, u gkap tokoh
masyarakat komunitas eks Timor Timur di Desa Kamanasa, Kecamatan
Malaka Tengah, Daniel Pereira (3/3/21).

Menurut Daniel (2021), dirinya hanya memiliki satu alasan untuk tinggal di
Indoensia. Karena Indonesia adalah negara orangtuanya. Dia menginginkan
tinggal di tanah bangsanya sendiri, Indonesia. Itu saja.

Daniel Pereira berpendapat, bahwa membabat SM Kateri atau hutan negara


melanggar aturan. Tetapi di balik pelanggaran tersebut, negara perlu
menyelidiki asal mula kesalahanya.

“ela a tahu a ga eks Ti o Ti u e ga u g de ga I do esia da


tinggal di daerah-daerah perbatasan (Belu dan Malaka), tidak pernah
datang mengeluh dan berdemonstrasi ke pemerintah untuk meminta
aka , u gkap ya.

I i se e a ya e gu tu gka ega a sela a puluha tahu , tegas ya.

Ia mengatakan, janji Indonesia mulai dari zaman Menteri Luar Negeri Ali
Alatas, bahwa masyarakat Timor Timur yang setia kepada Indonesia akan
diperhatikan, tetapi itu tidak terealisasi. Hingga ke zaman Presiden Habibie,
Megawati, SBY dan Jokowi. Warga eks Timor Timur terpaksa membabat SM
Kateri agar bisa menanam tanaman pangan dan makan. Mereka menanam

148
Larik Tenure

jagung, kacang-kacangan, ubi, pisang, nangka dan asam. Hasil panen antara
cukup dan tidak, hanya memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Mereka juga
butuh uang agar anak-anak bisa bersekolah. Ditambah tuntutan kebutuhan
hidup sosial kemasyarakatan, keagamaan dan kebutuhan hajatan budaya.

Oleh karena itu, lanjut Daniel, negara sangat tidak adil jika melihat warga
eks Timor Timur yang merambah kawasan SM Kateri sebagai kelompok
perusak hutan dan melawan pemerintah atau hukum, tanpa memikirkan
lahan alternatif bagi mereka dengan status kepemilikan yang jelas dan sah.

Padahal, ka i juga a ak NK‘I. “ejak 1999, kami telah meninggalkan tanah


dan air di Timor Leste karena cinta akan NKRI. Tetapi setelah kami di NKRI,
ja ga ka u ah, ta ah u tuk e ke u saja ha pi tidak pu ya, keluh
Daniel.

Lebih parahnya, katanya lagi, negara dan sebagian warga lndonesia masih
menganggap masyarakat eks Timor Timur sebagai pengungsi. Padahal,
status pengungsi warga eks Timor Timur sebenarnya telah dicabut UNHCR
sejak tanggal 22 Desember 2002 melalui deklarasi ‘cessatio of status
(penghapusan status) pengungsi bagi pengungsi Timor Timur yang berada
di wilayah Indonesia.

Penghapusan status mereka sebagai pengungsi, berdampak pada hilangnya


hak-hak mereka atas bantuan kemanusiaan (UNHCR, 2002). Namun,
Indonesia baru resmi menghapus status pengungsi warga eks Timor Timur
ditahun 2005. Beberapa tahun kemudian, warga eks Timor Timur yang
e etap di seju lah ilayah di I do esia dise ut se agai a ga a u
(Skolastika & Jatmika, 2021). Belakangan ini muncul sebutan lain yang
cukup diterima warga eks Timor Timur yaitu warga Indonesia eks Timor
Timur.

Hutan Kateri merupakan nadi dari seluruh sumber-sumber mata air yang
menunjang kehidupan komunitas masyarakat desa-desa sekitarnya, di
antaranya: Desa Sanleo dan Desa Kereana di bagian utara, Desa Kakaniuk
dan Desa Bakiruk di selatan. Sementara di timur ada Desa Lakekun, Lakekun
Barat, Desa Kamanasa dan Wehali. Di bagian barat ada Desa Barada, Desa
Kateri dan Desa Fatuaruin.

149
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Di desa-desa tersebut, termasuk secara luas di masyarakat Belu dan Malaka,


Hutan Kateri adalah entitas kosmologis. Masyarakat menimba manfaat
ekologis, ekonomi, sosial dan kultural dari keberadaan hutan tersebut.

Mulanya, masyarakat dilarang untuk masuk hutan dan mengambil apapun


yang ada di dalam kawasan hutan, karena hutan tersebut merupakan
tempat sakral atau keramat, tempat upacara adat bagi masyarakat. Hal ini
dibuktikan dengan temuan adanya kurang lebih 10 (sepuluh) tempat
upacara adat di kawasan hutan Kateri yaitu : Marlilu, Natarlese, Barada,
Buffitok, dan Umafauk di wilayah Kateri. Sedangkan Betun Kiak, Wesedok,
Haffiallan, Takabikan, dan Maubesi, Ulun We Tboulun di wilayah Sulit.
Masyarakat juga dilarang melakukan perburuan liar satwa yang ada di
kawasan hutan (Gunawan, 2014).

Dilanjutkan, apabila masyarakat mau mengambil atau memanfaatkan hasil


hutan tersebut, harus mendapat ijin terlebih dahulu dari Kapitan. Bagi yang
melanggar aturan adat tersebut dikenakan denda berupa seekor
sapi/kerbau, uang 50 perak, dan 1 gud minuman keras (sopi). Suku-suku di
sekitar Kateri, kemudian menugaskan Kapitan yang dibantu seorang
Makleat untuk menjaga hutan dan menegakkan aturan atau hukum adat
pengelolaan hutan. Suku yang berkuasa adalah Berai dan Betema untuk
wilayah Kateri, sedangkan Lanain dan Maktaen untuk wilayah Sulit.

Okupasi dan perambaan terhadap SM Kateri bukan dilakukan hanya oleh


komunitas warga eks Pengungsi Timor Timur. Bukan pula semata masalah
tindakan melawan hukum negara terkait hutan lindung. Masyarakat lokal
secara tidak langsung, juga turut terlibat dalam konflik pengelolaan hutan
Kateri, mengingat nilai manfaat hutan itu sendiri bagi kehidupan komunitas
masyarakat di sekelilingnya.

Bagi masyarakat lokal, Hutan Kateri dengan jenis pohon di dalamnya


merupakan sumber mata air. Pohon menjaga mata air tetap mengalir, dan
batu menjaga tanah dan pohon. Semua elemen ini menjaga keseimbangan
ekosistem hutan. Elemen-elemen tersebut memiliki nilai penunjang
kehidupan ekologi, ekonomi dan sosial serta budaya. Hutan Kateri
merupakan tempat kegiatan ritual adat masyarakat lokal, yang memperkuat
relasi sosiologis dengan sesama manusia dan relasi kosmologis manusia
dengan alam semesta.

150
Larik Tenure

Ritual adat orang Timor (Dawan, Belu, Malaka, TTU dan TTS) lokal tidak
terlepas dari tiga elemen penting yakni air atau sumber mata air, batu, dan
pohon atau hutan. Ketiganya satu kesatuan elemen yang menopang
kehidupan manusia dan harus dijaga (Neonbasu, 2016).

Pada tahun 2000, saat okupasi dan perambaan hutan Kateri oleh warga eks
Timor Timur, masyarakat lokal pun sesungguhnya protes dan menentang
aktifitas perambaan itu, namun mereka tidak secara terang-terangan atau
tidak langsung mengungkapkannya. Protes warga lokal disampaikan hanya
lewat pemerintah setempat, di tingkat pemerintahan desa hingga tingkat
Pemerintah Daerah (Kabupaten Belu dan Malaka).

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Desa Kamanasa tahun 2020-2021, Yulius Klau
Besin menyebut kawasan SM Kateri, mulai dari desa Kateri hingga Wemer
sebelum kedatangan warga eks Timor Timur tahun 1999, adalah hutan yang
sangat lebat.

Di a ta a ya e i gi , jati, joha , aho i da a u ai huta , kusa i,


asam, serta jenis pohon lain. Pohon-pohon itu tumbuh tinggi berjejer dari
puncak hingga bibir jalan sepanjang jalan lintasan Kabupaten Belu-Malaka,
bahkan menjulang tinggi dengan ujung-ujungnya saling bertemu di langit
da e u duk ke u i, papa ya.

Siapa saja yang melewati area Kateri di siang hari, seakan sedang melewati
terowongan panjang yang gelap, karena lebat dan rimbunnya pohon-
pohon. Arah langit terhalang rimbunan pohon, bahkan sinar matahari
seakan tidak dapat menembusi bumi, merayu pandangan mata. Hawa udara
di sekitarnya segar. Juga ada banyak sumber mata air. Hutan Kateri bahkan
terkesan angker. Pelintas di area hutan Wemer, termasuk warga
disekitarnya akan menjumpai banyak binatang liar seperti rusa, kus-kus,
monyet, babi hutan, ayam hutan, dan satwa lain menyeberangi jalan (Besin,
2021).

Na u , huta Kate i ha i i i sudah sa gat jauh dari kondisi aslinya. Hutan


Kateri menipis karena banyak pohon yang hilang, ditebang warga yang
mengokupasi. Ditambah ulah warga sekitarnya dan warga wilayah
Kabupaten lain (Timor Tengah Selatan dan Timor Tengah Utara), dan yang
juga datang berkebun di a ea “M Kate i, u gkap Besi .

151
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Seperti yang dikisahkan Grijzen, sedikit saja hujan di ketinggian, dapat


menyebabkan banjir.

Bahkan air dapat menggenangi dan merusak pemukiman warga. Termasuk


merusak sumber mata air di sekitarnya dan area persawahan di lereng.
Warga desa Kamanasa dan desa-desa di sekitarnya terancam (Besin, 2021).

Dulu, lanjut Besin, ditemukan banyak tempat ritual adat di area Hutan
Kateri. Namun tempat-tempat seperti itu sudah mulai berkurang seiring
berkurangnya kualitas hutan. Kateri kehilangan originalitas dan
kesakralannya, karena kondisi hutan yang terdegradasi.

Sementara itu, status SM Kateri sendiri sejak tahun 1938 telah ditunjuk
sebagai hutan tetap Kelompok Hutan Kateri (RTK 77), berdasarkan
Keputusan ZB.BESL Nomor 5 tanggal 23 Juli 1931 dan RB Nomor 140/LK
tanggal 20 Agustus 1938. Surat Keputusan ZB atau Zelfbestuur Besluit
sebuah surat keputusan bersifat otonomi yang diterbitkan oleh
pemerintahan. Surat ini diwaili oleh gubernur dan raja yang diberi
kewenangan Pemerintah Belanda untuk menerbitkan surat keputusan
dalam menunjuk kawasan konservasi. Surat keputusan dimaksud mengacu
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain; Undang-
Undang Cagar-Cagar Alam (Natuurmonumenten Ordonnantie) 1916 No.
276; Undang-Undang Perlindungan Binatang (Dierenbescherming
Ordonnantie) 1931 No 134; Undang-Undang Cagar-Cagar Alam dan Suaka-
Suaka Margasatwa (Natuurmonumenten en Wildreservaten Ordonnantie)
1932 No.17 (Kusumasumantri, 2018).

Berkenaan dengan potensi tersebut, maka dipandang perlu menunjuk


kawasan hutan Kateri sebagai kawasan hutan dengan fungsi dan nama
Suaka Margasatwa Kateri berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor: 394/Kpts/Um/5/1981 tanggal 7 Mei 1981 seluas 4.560 Hektar.
Keputusan Menteri Pertanian itu merupakan tindak lanjut dari Surat
Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor: 123.1/86/BKPH/K/80 tanggal 27
Desember 1970 dan Surat Direktur Jenderal Kehutanan Nomor:
1566/DJ/I/1981 tanggal 20 April 1981. Pada peta penunjukan, kawasan SM
Kateri terdiri 2 (dua) lokus yang dipisahkan oleh Hutan Tanaman Jati yang
berada di tengah-tengah kawasan.

152
Larik Tenure

Pada tahun 1983, Balai Planologi Kehutanan IV Nusa Tenggara melakukan


tata batas kawasan. Hasilnya, luas kawasan menjadi 4.699,32 hektare.
Terdiri atas Hutan Suaka Margasatwa seluas 3.299,20 hektare dan Hutan
Produksi atau lindung seluas 1.400,12 hektare. Pada peta tata batas, terlihat
bahwa kawasan SM Kateri terbagi dalam 2 lokus, bagian selatan dan tengah.
Kawasan Hutan Tanaman Jati juga terbagi dalam 2 lokus, utara dan tengah.
Hasil tata batas berimplikasi tehadap berubahnya pengelolaan kawasan.
Kawasan dengan status Suaka Margasatwa, dikelola oleh Balai Besar KSDA
NTT, dan kawasan dengan status hutan lindung/produksi, dikelola oleh
Dinas Kehutanan Provinsi NTT.

Perubahan dasar hukum penunjukan kawasan hutan di Provinsi Nusa


Tenggara Timur berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan Nomor: 423/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999, dimana
kawasan hutan Kateri termasuk di dalamnya. Keseluruhan fungsinya
berubah, yang mulanya terdiri atas fungsi Suaka Margasatwa dan fungsi
Hutan Produksi/Hutan Lindung, menjadi kawasan konservasi dengan nama
Suaka Margasatwa Kateri.

Pada tahun 2009, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.688/Menhut-


II/2009 tanggal 16 Oktober 2009 menetapkan kawasan SM Kateri dengan
luas 4.699,32 hektare.

Hingga saat ini, pengelolaan kawasan hutan Kateri dilaksanakan oleh Balai
Besar Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur. Sebagai
perpanjangan tangan dari Balai Besar KSDA NTT, ditempatkan Seksi
Konservasi Wilayah I yang berkedudukan di Atambua, membawahi Resort
Konservasi SM Kateri dan CA Maubesi. Pada Resort Konservasi Wilayah SM
Kateri di Betun ditempatkan 2 orang personil.

Lara Eks Pengungsi


Pada awal keberadaan warga Indonesia eks Timor Timur di SM Kateri,
Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya penyelesaian
persoalan mereka di wilayah Indonesia.

Sejak Januari 2002, jumlah warga eks Timor Timur yang saat itu masih
berstatus pengungsi sebanyak 74.000 orang. Berkurangnya jumlah
tersebut, oleh karena kebijakan repatriasi dari UNHCR dan Pemerintah
Indonesia bagi warga Timor Timur yang ingin pulang ke Timor Timur
153
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

sebelum perayaan Hari Kemerdekaan I RDTL pada 20 Mei 2002. Akibat


program tersebut, per Desember 2002, jumlah pengungsi Timor Timur di
wilayah Timor Barat, termasuk di Kabupaten Belu dan Malaka tersisa
19.000 orang. Sedangkan, 436.000 orang lainnya berhasil direpatriasi
(UNHCR, 2002).

Mereka yang tinggal di dekat kawasan konservasi SM Kateri, Kabupaten


Malaka, merambah SM Kateri. BBKSDA NTT secara persuasif melakukan
berbagai upaya untuk memonitor serta mencegah terjadinya kerusakan
akibat perambahan. Namun, upaya tersebut di lapangan tidak begitu
berhasil. Bahkan petugas kerap mendapat ancaman dari para perambah.
Upaya penyelesaian kala itu juga terkesan lamban.

Beberapa faktor penyebab di antaranya ialah; koordinasi antar pihak yang


belum optimal dan tindakan hukum terkesan tidak ada. Sementara itu,
jumlah petugas pemantau dan pelaksana tindakan di lapangan tidak
sebanding dengan luas kawasan dan kompleksitas permasalahan. Ditambah
minimnya sarana dan prasarana penunjang. Secara tidak langsung
memperbesar peluang terjadinya kegiatan illegal di dalam kawasan
(BBKSDA NTT, 2020).

Faktor lain, jarak yang jauh antara kawasan SM Kateri dengan Ibukota
Kabupaten setempat. Dengan itu, proses kasus di Polres Belu dan Kejaksaan
Negeri Belu juga terkendala. Apa lagi, jumlah pelaku atas kasus-kasus
perambahan itu sangat banyak, sementara sumber daya penegak hukum
sangat minim.

Pada 2001, tim terpadu yang dikoordinir oleh Dinas Kehutanan Propinsi NTT
mengusulkan penganggaran rehabilitasi kepada Biro Perencanaan dan
Keuangan Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan. Namun tidak ada
respon. Baru pada Maret 2003 dan Februari 2004, atas inisiatif tokoh agama
Katolik di Paroki TTU dan Belu, terlaksana kegiatan rehabilitasi. Tanaman
yang ditanam di antaranya; mahoni, johar, nangka, mangga, bambu, dan
lainnya.

Pada 21 Februari 2005, BBKSDA NTT menandatangani perjanjian kerjasama


dengan Care Internatinal Indonesia (CII) dalam kerangka rehabilitasi
kerusakan dan pengembangan kawasan serta mayarakat di sekitar kawasan

154
Larik Tenure

hutan konservasi di Pulau Timor dan sekitarnya. Kegiatan di lapangan juga


melibatkan Lentera CIDEC.

Di lapangan, kegiatan rehabilitasi kawasan dikemas dalam bentuk program


padat karya pangan (food for work) bekerjasama dengan World Food
Program (WFP). Pelaksana program merangkul masyarakat perambah.
Tujuannya, agar perambah tidak lagi berladang jagung di dalam kawasan.
Sebagai kompensasi keterlibatan dalam padat karya pangan, mereka
diberikan insentif berupa beras.

Tanaman yang dipergunakan dalam kegiatan rehailitasi adalah jenis lokal


atau jenis asli setempat. Namun, kegiatan ini belum menunjukan hasil yang
memuaskan mengingat setelah berakhirnya program rehabiitasi yang
berjalan selama 6 bulan, masyarakat eks pengungsi tetap belum memiliki
alternatif usaha sehingga mereka tetap berladang di dalam kawasan.

Ta a a eha ilitasi ya g dita a di laha ya g diga ap a ga eks Ti o


Timur tidak banyak yang hidup dan tumbuh. Banyak akarnya diputus oleh
penggarap lahan. Itu bentuk protes, karena ada peserta program yang
sebenarnya bukan penggarap atau bukan perambah di kawasan. Sementara
penggarap sebenarnya tidak dilibatkan. Alasan lain, yaitu jenis tanaman
rehabilitasi berupa pohon penghasil air dianggap mengancam ruang untuk
tanaman pangan di lahan garapa , u gkap Da iel Pe ei a.

Pada tahun 2007, Balai KSDA NTT I melalui Daftar Isian Penggunaan
Anggaran (DIPA) menerima alokasi kegiatan rehabilitasi sejumlah 100
hektare. 50 hektare di antaranya diarahkan untuk melaksanakan kegiatan
restorasi ekosistem di SM Kateri. Sedangkan dari angaran DIPA Gerhan
2007, dialokasikan anggaran rehabilitasi di SM Kateri seluas 100 hektare.

Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) juga dilaksanakan pada 2010
seluas 200 hektare, tahun 2011 seluas 300 hektare, tahun 2012 seluas 200
hektare dan pada tahun 2014 direncanakan seluas 200 hektare. BBKSDA
NTT melibatkan warga pengungsi Timor Timur untuk menanam dan
sekaligus menjaga tanaman RHL tersebut.

Sejalan dengan upaya rehabilitasi yang telah dilakukan, upaya sosialisasi


kepada masyarakat berkaitan dengan pentingnya kelestarian sumber daya
alam hutan, khususnya SM Kateri terus dilakukan. Kegiatan dilakukan

155
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

terutama kepada masyarakat yang berpotensi sebagai sumber tekanan


terhadap kawasan.

Pemerintah Kabupaten Belu pernah membentuk Tim Terpadu Pengamanan


SM Kateri pada 2006 hingga 2008. Ini dilakukan sebagai upaya penegakan
hukum dengan melakukan penangkapan para tersangka pelaku
perambahan, memilah dan memprosesnya di pengadilan. Sebelumnya,
pada 2001 sampai 2003, telah dilakukan operasi pengamanan, baik operasi
fungsional yang dilakukan oleh Polisi Kehutanan (Polhut) BBKSDA NTT I dan
Dinas Kehutanan Belu, maupun operasi pengamanan gabungan dengan
melibatkan Polri dan TNI. Hasilnya, sejak Juni hingga Agustus 2002,
sebanyak 32 orang tersangka pelaku perambahan SM Kateri diproses
hukum. Sayangnya, selanjutnya proses hukum tidak berjalan efektif. Tim
tidak bisa melakukan penegakan hukum dengan pertimbangan
kemanusiaan, keamanan, ketertiban masyarakat dan Hak Asasi Manusia.

Sebagai alternatif, Pemerintah Indonesia menempuh upaya program


transmigrasi. Baik transmigrasi lokal di daratan Pulau Timor, maupun ke
luar Timor di wilayah NTT (Sumba). Namun, program ini jalan buntu karena
kuatnya keterikatan adat komunitas masyarakat eks Timor Timur. Mereka
tidak mau terpisah jauh dari sanak saudaranya, yang tinggal di perbatasan
Timor Leste.

Dalam konteks ini, Grijzen sudah menggambarkan. Menurutnya, orang


Timor hidup dalam kerangka kekeluargaan yang kuat. Bahkan di beberapa
tempat, ikatan persahabatan darah turut dilakukan untuk mengikat semua
anggota kelompok ke dalam tujuan yang sama.

Di era modern, persoalan warga eks Timor Timur merupakan isu yang
sangat sensitif. Untuk itu diperlukan keputusan politik tingkat nasional.

Pada 7 Januari 2013, BBKSDA NTT berkoordinasi dengan Bupati Belu


melalui surat Nomor S.09/BBKSDA16.1/2013. Selanjutnya, pertemuan
dengan Bupati Belu dan pihak-pihak terkait dilakukan 26 Januari 2013.
Bupati Belu menyampaikan dukungan untuk menyelesaikan persoalan
penggarapan di SM Kateri oleh warga eks Timor Timur. Hal ini dipicu oleh
meningkatnya kejadian banjir dan longsor akibat kerusakan hutan SM
Kateri.

156
Larik Tenure

Circle Imagine of Society Timor (CIS Timor), pernah menawarkan solusi


untuk penyelesaian persoalan SM Kateri dengan memulangkan (repatriasi)
eks pengungsi ke Timor Leste. CIS Timor berpendapat, bahwa repatriasi
warga eks Timor Timur dimungkinkan, karena lahan milik mereka di Timor
Leste masih ada dan tidak ada yang menggarap. Sementara itu, di Belu dan
Malaka, tidak ada kepastian hukum tentang lahan yang mereka kelola.

Pada 8 Maret 2013, Balai Besar KSDA NTT melakukan rapat koordinasi di
Jakarta bersama Dirjen PHKA. Rapat itu dihadiri Direktur PPH, Direktur
KKBHL, Direktur KKH, Biro Hukum, dan Pusdalbanghutda Regional II.
Kesimpulan rapat antara lain: 1) SM Kateri tetap dipertahankan dan akan
direhabilitasi dengan bantuan dari Jepang. 2)Penggarap warga eks Timor
Timur akan diupayakan untuk dipindahkan melalui skema HTR/Hkm, pada
hutan produksi yang ada di Kabupaten Belu. Hasil rapat dilaporkan kepada
Menteri Kehutanan, untuk mendapatkan arahan.

1 Mei 2013, Balai Besar KSDA NTT menyampaikan rencana Tindak Lanjut
Proposal Indonesia – Japan International Coorporation System (JICS) di
BBKSDA NTT kepada Direktur Jenderal PHKA melalui surat nomor :
S.356/BBKSDA-16.2/2013. Isinya antara lain: 1) menggambarkan rencana
lokasi restorasi ekosistem di SM Kateri. Lokasi itu adalah kawasan dengan
kondisi tutupan lahan terbuka dan topografi berbukit, yang digarap oleh
masyarakat eks pengungsi Timor Leste dengan tanaman jagung. 2) Aktivitas
penggarapan terjadi sejak adanya eksodus pengungsi dari Timor Leste pasca
jajak pendapat tahun 1999, terdapat 7 titik pemukiman (504 KK) yang
dibangun berbatasan dengan SM. Kateri, dan di beberapa titik pemukiman
lainnya yang diperkirakan mencapai 400 KK. Balai Besar KSDA NTT sedang
menyelesaikan permasalahan penggarapan oleh eks warga Timor Leste
bersama para pihak dengan sumber dana DIPA tahun 2013. 3) Secara teknis,
konsep restorasi ekosistem yang akan dikembangkan adalah dengan
pelibatan para penggarap dan ditunjuk beberapa orang sebagai tenaga
pengawas atau mandor. Penanaman dengan jenis MPTS seperti kemiri
(Aleuritas moluccana), asam (Tamarindus indica) dan tanaman lokal seperti
kepuh (Sterculia foetida), kesambi (Schehleichera oleosa), dan jenis-jenis
tanaman Ficus sp. 4) Rencana kebutuhan biaya, tenaga dan sarana
prasarana pengelolaan kegiatan restorasi ekosistem.

26 November 2013, di Hotel On the Rock Kupang berlangsung Rapat


Koordinasi Penyelesaian Tenurial SM Kateri. Kegiatan itu dilaksanakan

157
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Pusdal Regional II Kementerian Kehutanan. Rumusannya antara lain; 1)


Pemindahan lahan garapan di dalam SM Kateri keluar melalui skema
pembelian lahan. 2) Memanfaatkan lahan hutan produksi di Bifemnasi
Sonmahole Kabupaten TTU melalui skema HKm, HTR dan Hutan Desa.

2 Desember 2013 Bupati Malaka menerbitkan SK Pembentukan Tim


Verfikasi Data Pelaku Perambahan. Itu dilakukan sebagai tindak lanjut
Rakor Pusdal Regional II. Tanggal 3 hingga 11 Desember 2013, dilakukan
pendataan pelaku perambahan oleh warga baru di SM. Kateri. Selanjutnya,
14 hingga 19 Desember 2013 dilakukan cek lapangan calon lokasi Hkm/HTR
di HPT Befemnasi Sonmahole, Kecamatan Laenmanen, Kabupaten Malaka.

BBKSDA NTT memberikan bantuan dalam rangka pemberdayaan


masyarakat kepada 5 Kelompok pada 28 Desember 2013.

Dilanjutkan dengan laporan Kepala BBKSDA NTT kepada Dirjen PHKA pada
7 Januari 2014. Hari itu juga, Kepala BBKSDA NTT bersurat memohon
kepada Direktur Jenderal PHKA untuk memfasilitasi suatu Rakor
Penyelesaian Penggunaan Lahan di SM Kateri. Surat nomor
S.13/BBKSDA16.2/2014. Surat tersebut juga mengusulkan pihak-pihak yang
mestinya diundang, antara lain: (a) Asdep Urusan Konflik Sosial, Kedeputian
I dan Kedeputian IV, Menko Kesra, (b) Menko Pertahanan dan Keamanan,
(c) Kementerian Perumahan Rakyat, (d) Bupati Malaka, (e) Bappeda Provinsi
NTT, (f) Polda NTT, (g) Dandim 1605 Belu, (h) Danrem 161 Wirasakti di
Kupang, (i) Dinas Kehutanan Provinsi NTT, (j) Eurico Guterres – Ketua UNTAS
atau Persatuan Warga Timor Timur di Perantauan, (k) Ditjen Planologi, (l)
Ditjen BPDAS-PS, (m) Ditjen BUK, (n) Sekjen Kemenhut, dan (o)
Kapusdalbanghut Regional II.

Menko Kesra melaksanakan Rakor pada 17 Januari 2014. Hasilnya; akan


dilakukan pemindahan masyarakat warga baru ke hutan produksi terbatas
Bifemnasi Sonmahole melalui skema Hkm.

Sebulan berikutnya, 20 Februari 2014, BBKSDA NTT melakukan Sosialisasi


Pemindahan Lahan Garapan di Hutan Produksi Befemnasi Sonmahole di
Kantor Bupati Malaka. Pada saat rapat sosialisasi tersebut, seluruh
perwakilan masyarakat warga baru menolak dilakukan pemindahan lahan
garapanya.

158
Larik Tenure

Pada tanggal 10 Maret 2014 Kemenkokesra melakukan rakor. Hasilnya


antara lain: 1) Perlu mempertimbangkan berbagai aspek baik ekologi, sosial
dan budaya masyarakat untuk menghindari konflik horizontal. 2) Solusi
terbaik, adalah mencarikan lahan produktif untuk lahan pertanian.

Pada 25 Maret 2014, BBKSDA NTT mengirim surat kepada Bupati Malaka
terkait Penegasan Fungsi Kelompok Hutan Bifemnasi Sonmahole RTK 184.
Selanjutnya pada tanggal 30 September 2014, PusdalReg II dan perwakilan
BBKSDA NTT telah melakukan diskusi dengan pihak Kemenkokesra yakni
Asisten Deputi Urusan Konflik Sosial. Pada tanggal 28 Oktober 2014, Pusdal
Reg II memfasilitasi Rakor yang melibatkan pihak Kementerian LHK (SAM
Bidang Pengamanan Hutan, KKBHL, BBKSDA NTT, BPKH Wilayah XI) Kemen
PMK, Kemen Transmigrasi, Kemen PU dan Pera, Bupati Malaka, Kadishut
Prov NTT, Kadishut Malaka.

Rakor tersebut menghasilkan rumusan yang menegaskan bahwa: 1) Bahwa


peserta Rakor sepakat untuk tetap mempertahankan kawasan SM. Kateri.
2)Para perambah baik Warga Baru maupun Warga Lokal, akan dipindahkan
ke lokasi lain melalui mekanisme transmigrasi Kementerian PDT dan
Transmigrasi dan atau program pembangunan rumah khusus yang terdapat
di Kementerian PU dan Pera.

Pada 15 September 2014, Kepala Balai Besar KSDA NTT mengirim surat
kepada Kepala Pusat Pengendalian dan Pembangunan Kehutanan Regional
II, Nomor : S.857/BBKSDA-16.2/2014 perihal Penyelesaian WNI Eks Timor
Timur dalam SM Kateri Kabupaten Malaka Provinsi NTT. Surat terebut
menyampaikan; 1) Bahwa masyarakat eks Timor Timur masih melakukan
penggarapan di dalam kawasan SM. Kateri, walaupun berbagai upaya telah
ditempuh baik melalui penyadartahuan, koordinasi hingga pemberian
bantuan ekonomi. Namun upaya tersebut belum cukup. 2) Bahwa
mengingat keberagaman permasalahan sosial, budaya, ekonomi dan
ekologi serta politik, maka perlu dilakukan lagi rapat koordinasi lintas
kementerian untuk membahas pentingnya pembagian peran dari masing-
masing pihak secara jelas. 3) Memohon Pusdalbanghut Regional II untuk
dapat memfasilitasi kembali rapat koordinasi lintas kementerian.

Lara para eks pengungsi Timor Timur belum usai. Hari ini, lara itu terus
menyeruak. Perlu membuka mata semua pihak. Sementara catatan Grijzen
jauh tertinggal di belakang. Kendati masa depan masih menanti jawaban.

159
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

JILID 10

BAKU RANGKUL
BANTIMURANG
BULUSARAUNG

160
Larik Tenure

Kerajaan Kupu-Kupu

“aya tiba di Makassar pada 11 Juli 1857. Saya akan kembali bekerja di sini,
setidak ya sa pai akhi tahu , u ap Alf ed ‘ussel Walla e dala uku ya
yang terkenal, The Malay Archipelago.

Ini adalah kunjungan keduanya, setelah tujuh bulan sebelum itu dia
meninggalkan Makassar. Akhir tahun 1856, Wallace masih menyaksikan
musim tanam padi. Tanah sawah sedang dibajak dengan genangan air.
Hujan terus menyiram. Kedatangan Wallace tujuh bulan kemudian hanya
menyisakan nasi dan tunggul kering yang berdebu.

Distrik Maros, sekitar tiga puluh mil sebelah utara Makassar. Perjalanan ke
Maros dimulai malam hari, dan saat fajar memasuki sungai Maros. Jam 3
sore baru sampai ke desa, langsung mengunjungi Asisten Residen (Wallace,
1877).

Wallace mengincar kupu-kupu Sulawesi yang cantik dan langka. Di Maros,


dia banyak menjumpai spesies yang sama sekali baru bagi dirinya. Spesies
serangga sangat aktif dan malu-malu. Pada umumnya, habitat terbaik bagi
serangga berada di dataran sungai yang kering di dalam hutan, tempat
lembab, kolam berlumpur, bahkan bebatuan kering.

Tiga spesies Ornithoptera, berukuran tujuh atau delapan inci, indah dengan
titik penanda, berikut bintik-bintik, hinggap pada tanah yang gelap. Di
tempat basah, kawanan pita biru Papilio miletus dan Papilio telephus
hinggap. Papilio macedon bewarna hijau keemasan tampak luar biasa. Ada
pula Papilio rhesus dengan ekor seperti ekor burung layang-layang yang
langka (Wallace, 1877).

Da i se ua ya, eskipu sangat aktif, saya berhasil menangkapnya


dengan baik serangkaian spesimen. Lalu jam-jam menyenangkan yang saya
lewati dengan mengembara dan menyusuri sungai-sungai yang kering,
penuh dengan lubang-lubang air dan bebatuan dan pohon-pohon tumbang,
dan dibaya gi oleh tu uha ya g i dah, kata Walla e.

Pada satu tempat, dia menemukan kerumunan kecil kupu-kupu langka


Tachyris zarinda. Kerumunan ini menampilkan sayap oranye merah bata

161
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

yang cerah, sementara mereka juga mengepakkan beberapa warna biru


halus di sayapnya.

Wallace berharap menemukan Ornithoptera besar saat istirahat.


Sementara pada batang busuk, dia yakin sekali akan menemukan kumbang
harimau kecil, Therates flavilabris. Dia juga melihat kupu-kupu biru dari
keluarga Amblypodia hinggap di dedaunan, serta beberapa kumbang daun
yang langka dan indah dari keluarga Hispidae dan Chrysomelidae.

Di akhir September, hujan deras turun Oleh karena itu, Wallace bertekad
untuk berkunjung ke air terjun di Sungai Maros. Air terjun ini terletak pada
titik di mana ia keluar dari pegunungan, tempat yang sering dikunjungi para
pelancong dan sangat indah. Dia meminjam seekor kuda dan menggunakan
jasa pemandu. Kini, air terjun itu dikenal dengan nama air terjun
Bantimurung.

Di sisi atas air terjun, dia melewati dinding perbukitan batu yang sempit. Dia
bahkan sempat menemukan jenis burung baru, Phlaegenas tristigmata,
merpati tanah besar dengan dada kuning sementara mahkota dan leher
bewarna ungu.

Di sekitar tepi kolam bagian atas air terjun itu, Wallace menemukan banyak
serangga. Kupu-kupu semi-transparan besar, Idea tondana yang terbang
bermalas-malasan bersama. Di sini, dia bertemu dengan Papilio androcles
yang megah, salah satu jenis kupu-kupu dengan ekor burung walet terbesar
dan paling langka yang diketahui. Wallace melacak semua ini dalam empat
hari kunjungannya, dan beruntung mendapatkan enam spesimen terbaik.

Struktur geologi bagian Sulawesi ini sangat menarik. Pegunungan kapur


terlihat sangat bagus, tampaknya sepenuhnya dangkal. Di beberapa tempat
membentuk bukit-bukit rendah yang membulat antara pegunungan yang
lebih terjal. Batuan kapur kering dan kasar, terkikis oleh air dan hujan turun
ke punggung bukit yang tajam (Wallace, 1877).

Atas dasar inilah sehingga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung


(TNBB) mendapat julukan sebagai The Kingdom of Butterfly (Kerajaan Kupu-
kupu) serta The Spectacular Tower Karst (Menara Karst Spektakuler).
Hingga akhir tahun 2016 telah teridentifikasi 240 jenis Papilionoidea (kupu-
kupu ekor layang-layang).

162
Larik Tenure

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung disahkan melalui


SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004, Tentang Kelompok Hutan
Bantimurung Bulusaraung seluas 43.750 hektare (terdiri dari cagar alam,
taman wisata alam, hutan lindung, hutan produksi terbatas, hutan produksi
tetap) ditetapkan sebagai Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung oleh
Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Perlu diketahui pula jika
separuh dari luas kawasan konservasi di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung adalah ekosistem karst. Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung saat ini juga telah menerima piagam deklarasi sebagai ASEAN
Heritage Park pada acara Sixth ASEAN Heritage Park Conference yang
diselenggarakan di Laos, 21-25 Oktober 2019.

Di balik vibes eksotisme yang dimiliki, harusnya muncul beberapa


pertanyaan yang sangat penting dikupas. Misalnya saja, apakah kondisi
ekosistem yang baik dan kompleks berbanding lurus dengan kondisi
masyarakat yang tinggal di sekitar? Ataukah malah sebaliknya, dimana
agenda konservasi dijunjung tinggi tapi tidak untuk mengakomodir hak-hak
kaum marjinal? padahal manusia dan ekosistem makhluk hidup lain tidak
terpisahkan.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tabe mariki singgah walau hanya


sekedar untuk ngopi santai.

Dikasihaniki Tuhan kalau masih hidupki, dari pagi sampai malam, dan
dikasihaniki juga Tuhan itu kalau masih tetap hidup dari malam sampai
pagi," ucap seorang warga di Dusun Parang Luara Kampung Manyampa di
Desa Bantimurung, Kecamatan Tondong Talassa, Pangkep di Sulawesi
Selatan.

Kalimat ini bermakna dalam. Secara filosofis, ini berkaitan tentang nikmat
dari pemberian Yang Maha Kuasa. Namun di sisi lain muncul pula
pertanyaan, apakah nikmat itu hanya sebatas menjalankan roda kehidupan
yang keras? Mariki teguk kembali kopita.

Lontara Kemenangan
Sebelum berangkat melihat bagaimana TNBB bekerja dalam menjaga
berbagai macam pride yang diperoleh, mari kita mulai dengan kilas balik
perjuangan mendapatkan lahan untuk hidup.

163
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Tahun 1930an, sebelum Indonesia merdeka, masyarakat telah tinggal di


kampung tua Manyampa. Orang tua di dusun itu mengakui wilayah
tersebut dulunya merupakan perlintasan tentara Belanda yang melintas.
Berkemungkinan besar, Wallace tidak pernah melintas di sini. Namun
bahasan di bagian ini tak lagi hendak mengupas Wallace, tapi bicara tentang
sejarah.

Salah seorang Tokoh Kampung Manyampa, Sabaruddin (2021), menyebut


wilayah ini merupakan daerah kekuasaan Raja Bone. Mulanya, Manyampa
dihuni 3 bersaudara, yakni: Bulusiruana Manyampa dijuluki dengan nama
Baso, Buri Burinna Tanggalembang berjuluk Pacci Ketiri, dan Lapunna Panga
berjuluk Hamka. Orang-orang ini merupakan keturunan orang Bone yang
lari dari kerajaan Arung Palakka. Orang tua laki-laki mereka berasal dari
Wajo atau Pammana, sementara ibu mereka dari Bone.

Namun, untuk dapat layak tinggal di Kampung Tua Manyampa, Kampung


Tua Tanggalembang, dan Kampung Tua Panga, mereka harus bertarung
dengan kesatria dari Kerajaan Gowa. Yang menang akan mendapat hadiah
apapun yang mereka minta. Lapunna Panga atau Hamka lantas menghadap
kepada Raja Gowa. Dia menyatakan keinginannya untuk bertarung.

Ca a e ta u g e eka di za a itu e ggu aka odel satu la a satu


dengan masing- asi g e a a se jata adat, u gkap “a a uddi .

Hamka datang dengan hanya membawa senjata dari bambu. Orang-orang


di Kerajaan Gowa memandang enteng padanya. Mereka lantas langsung
menyebut akan memberi hadiah lebih dari yang diminta Hamka jika dirinya
menang.

Orang-orang Kerajaan Gowa tidak menyadari jika Hamka memiliki ilmu


kebal senjata. Merekapun bertarung. Hamka akhirnya memenangkan
pertarungan itu, dibantu dengan senjata bambu yang beracun dan
mematikan.

Hamka kemudian mendapat tawaran sebuah kampung, tapi dia


menolaknya. Dirinya hanya meminta sebidang tanah. Raja Gowa terkesima
dengan sikap Hamka. Raja kemudian menghadiahinya dengan sepaket peti
emas serta sepasang dayang-dayang. Hamka dan saudara-saudaranya

164
Larik Tenure

kemudian tinggal di Kampung Tua Manyampa dan terus berkembang hingga


ke Kampung Tua Tanggalembang, dan Kampung Tua Panga.

Di ketiga kampung tua itu, masyarakat menggunakan bahasa Dentong.


Bahasa ini merupakan gabungan antara bahasa Bugis dan Bahasa Gowa.
Bukti-bukti perjalanan Lapunna Panga dalam meneruka lahan untuk hidup
telah tertuang dalam aksara Lontara yang diberikan oleh Raja Gowa sebagai
surat tanda kemenangan atas pertarungannya (Sabaruddin, 2021).

Asap Tenure
Lapunna Panga berketurunan. Tua Manyampa berkembang. Masyarakat di
sini tentu tetap merasa bahwa Kampung Tua Manyampa adalah kampung
yang dulunya diturunkan dari para pendahulu mereka. Namun belakangan,
mereka juga harus menerima kenyataan, Kampung Tua Manyampa masuk
ke dalam kawasan hutan, kawasan konservasi lagi.

Kini di kampung ini, pendapatan masyarakat hanya berada pada kisaran 500
ribu hingga 2 juta rupiah per bulan (LATIN, 2021). Hal itu menyebabkan
masyarakat harus melakukan upaya apapun untuk memenuhi pendapatan
rumah tangga. Kadang, upaya tersebut harus menganggu sistem tenure
yang ada.

Sejak 2013, masyarakat di Kampung Manyampa tinggal di areal Kawasan


hutan atas pembagian warisan lahan nenek moyang mereka. Mereka lebih
mudah untuk mengakses sawah ataupun lahan yang mereka garap.
Mulanya memang rumah-rumah hanya dibangun sebagai tempat istirahat
ketika musim tanam. Hingga suatu Ketika kondisi yang sangat nyaman
membuat masyarakat lebih memilih untuk tinggal di lokasi tersebut. Hal ini
ditandai dengan terbangunnya rumah layak huni untuk pertama kali di
dalam Kawasan hutan.

Sepanjang tahun 2014-2020 rumah layak huni masyarakat semakin


bertambah dari 1 menjadi 27. Pertambahan ini telah menjadi bukti kuat
pemersatu masyarakat bahwa membangun rumah dalam Kawasan hutan
tidak akan bermasalah karena tidak pernah ditegur ataupun diberi
peringatan, apa lagi mendapat sanksi (LATIN, 2021).

Terjadi kebakaran di lokasi sekitar Kampung Manyampa pada tahun 2016.


Karena kejadian ini merupakan pertama kali, masyarakat langsung sigap
165
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

untuk menghubungi pihak TNBB untuk mengecek. Pada saat itu juga Pihak
TN datang untuk membantu pemadaman dan juga mengecek titik
koordinat. Ternyata hasilnya, lahan yang terbakar bukan merupakan
Kawasan TN, sehingga dengan asumsi tersebut masyarakat beranggapan
bahwa Kawasan yang mereka kelola tidak termasuk dalam Kawasan TNBB.
Atas anggapan itu, masyarakat mulai melakukan perambahan atau
penebangan pohon dan jual beli lahan seluas 53 hektare di Desa
Bantimurung pada tahun 2017 (TNBB, 2020).

Masalahanya, persoalan tersebut baru ditindak lanjuti TNBB pada 2019.


Balai TNBB melakukan koordinasi, penindakan pelaku melalui pembinaan
dan surat pernyataan. Pernah pula dilakukan sosialisasi dan pengamanan
kawasan hutan. Usai tindakan TNBB, mulai bermunculan pengakuan dari
masyarakat.

Ka i e a g de ga se gaja elakuka pe e a ga poho , ka e a


dahulu pohon ini kami yang tanam. Lagi pula kami juga tidak tahu bahwa
ka asa i i asuk dala Ka asa huta ta a asio al, aku Rustam
(2020).

Hal senada juga diakui Yerang (2020). Dia tak paham jika lokasi yang mereka
usahakan adalah kawasan taman nasional. Sabaruddin (2021) mengaku,
dirinya dahulu pernah menukarkan dokumen tanah orangtuanya dengan
sejumlah uang untuk keperluan pernikahan.

Dengan pengakuan itu, wajar jika kejadian kebakaran terus terjadi.


Masyarakat tak paham bahwa lokasi tempat tinggal mereka merupakan
bagian dari kawasan taman nasional. Wajar jika kepulan asap terus
menebal. Pada titik ini, konflik tenure sesungguhnya sudah terjadi.

Beberapa faktor yang memungkinkan terjadinya konflik tenurial, termasuk


jual beli lahan dan kayu. Hasil monitoring dan asistensi penanganan konflik
tenurial pada tanggal 4-8 November 2020 oleh TNBB bersama USAID-BIJAK
dan LATIN menyebut: 1) Adanya ketidaktahuan mengenai batas kawasan
hutan, 2) Hilangnnya batas kawasan, 3) Masyarakat keberatan akan segala
aturan TN mengenai kawasan hutan, 4) Adanya rasa ketidak-percayaan
masyarakat kepada aparat kehutanan, 5) Adanya SPPT dalam kawasan
termasuk rumah, sawah, dan kebun. Sebagai catatan SPPT adalah Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang. Surat ini kerap disalah-gunakan sebagai

166
Larik Tenure

bukti kepemilikan atas tanah, padahal tidak, 6) Kebutuhan ekonomi


masyarakat yang terus meningkat, 7) Ketergantungan terhadap lahan masih
sangat tinggi, dan 8) Rasa Kepemilikan masyarakat terhadap lahan juga
masih sangat tinggi.

Baku Rangkul
Pada awal 2007, Petugas TNBB mulai melakukan penandaan batas untuk
pertama kalinya setelah TNBB ditetapkan sebagai sebagai kawasan
konservasi. Kegiatan penandaan batas termasuk pemasangan pal batas dan
plat batas di beberapa titik yang dekat dengan permukiman dan lahan
sawah milik masyarakat Kampung Manyampa.

Pagi hari, rombongan petugas TNBB baru saja tiba di Kampung Manyampa.
Masyarakat siaga dengan pertanyaan, ada apa ini? Apa yang terjadi?
Kedatangan rombongan ini meningkatkan rasa curiga di level masyarakat.

Anggapan yang berkembang, kedatangan petugas akan berdampak pada


kehidupan masyarakat. Beberapa orang warga menghadang petugas TNBB.
Mereka menghadang dengan membawa senjata tajam, parang. Kondisi
semakin memanas karena masyarakat tidak mau diberikan penjelasan
apapun.

Akhirnya, petugas TNBB balik kanan, mereka mudur sementara waktu.


Mereka tak mau ambil risiko terlalu besar, apalagi kondisi UPT Taman
Nasional pada waktu itu masih sangat terbilang sangat baru.

Kondisi tegang itu dilatar-belakangi karena masyarakat sejauh ini tidak


pernah bersentuhan dengan pihak manapun. Mereka terisolasi, baik dari
sisi akses maupun informasi, mereka marjinal dari sisi geografis, demografis
maupun politis.

Wilayah-wilayah pedalaman dan dataran tinggi yang sebagian masih


berhutan dan pada umumnya memang sulit dijangkau. Populasi juga
rendah. Jadi, memungkinkan bagi mereka yang marjinal itu cenderung
terlupakan atau terbaikan oleh pemerintah.

Praktik ekonomi masyarakat Kampung Manyampa bergantung pada


sumber daya hutan. Mereka melakukan itu secara informal bertahun-
tahun, berketurunan. Dalam pandangan kekinian, praktik ini penting
167
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

diformalkan. Apa lagi belakangan sudah muncul bentuk-bentuk


pengelolaan yang berlandaskan kemitraan bersama masyarakat. Kemitraan
Konservasi dan model-model pengelolaan hutan berbasis masyarakat
lainnya, secara sistematis mulai diterapkan secara nasional.

Dalam pandangan para pendukung Kemitraan Konservasi, formalisasi


semacam itu adalah keniscayaan. Keamanan tenure menjadi penting guna
menjamin agar masyarakat dapat mengakses kawasan hutan secara legal.
Formalisasi pengelolaan hutan oleh masyarakat melalui Kemitraan
Konservasi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari upaya memperkuat
posisi kalangan masyarakat lokal dalam relasinya dengan sumber daya yang
ada di sekitarnya.

Balai TNBB, kini tengah mengupayakan proses itu. Mereka baku rangkul
dengan masyarakat, menjalin kerjasama yang saling memenangkan satu
dengan yang lain.

168
Larik Tenure

169
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

INSTRUMEN TENURE

JILID 11

RAGAM SENGKETA

170
Larik Tenure

Krisis Kuasa Lahan


D emikianlah, konflik tenurial berlangsung terus. Dia berkembang
seiring waktu dan dinamika regulasi, sosial dan juga terpengaruh geliat
global. Corak konflik tenurial tentu mengalami berbagai perubahan dari apa
yang terjadi sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu.

Di level aktor konflik tenurial, tentu perlu melakukan pendataan dan


pemetaan aktor lebih mendalam. Di level masyarakat saja, peta aktor
berkembang. Misalnya kelompok tani, tak cukup hanya kelompoknya saja.
Karena di dalam kelompok juga ada pengurus dan anggota. Jika
memungkinkan lebih detail, kenapa tidak? Ada pula kepala rumah tangga,
bahkan individu-individu yang berpengaruh. Semuanya tentunya tidak
mungkin disatukan ke dalam kategori masyarakat. Pukul rata atas keadaan
ini justru akan berpengaruh pada cara pandang atas konflik itu sendiri,
berikut cara penyelesaiannya.

Demikian pula dengan aktor pemerintah. Tak mungkin dipukul rata. Level
pemerintah saja berbeda, mulai dari desa, kecamatan, kabupaten atau kota,
provinsi hingga nasional. Belum lagi soal urusan atau tugasnya masing-
masing. Di satu Kementrian LHK misalnya, aktor konflik juga beragam. Mari
perkecil lagi, di level Direktorat Jenderal bahkan diperlukan pengelompokan
aktor yang harus tajam. Bila tidak, maka dipastikan penyelesaian konflik
akan mengalami kendala.

Di sisi lain, klaim atas hak tenurial juga beragam. Ada masyarakat adat yang
hanya melakukan klaim pengelolaan, buka hak kepemilikan. Dalam konteks
ini kadang pelaku resolusi konflik gagal mendefinisikan klaim. Karenanya
kerap terjadi kesalah-pahaman.

Sebagai contoh, apa yang terjadi di masyarakat Ngata Toro di TNLL berkait
dengan kawasan adat Wana Ngkiki. Diakui masyarakat adat bahwa Wana
Ngkiki tidak menganut prinsip adanya hak penguasaan, tapi di sisi lain,
kesalahan atas penerjemahan hak ini membuat Balai TNLL harus memahami
ulang apa yang dimaksud masyarakat dengan Wana Ngkiki. Pemahaman
atas konsep ini membuat Balai TNLL dengan mudah menetapkan status
zonasi. Coba bayangkan kalau taman nasional beranggapan bahwa Wana
Ngkiki mengandung hak kepemilikan dari masyarakat adat, apa yang
terjadi?
171
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Demikian juga yang lain. Kecermatan dalam menganalisa klaim perlu


dilakukan. Di TNS misalnya, klaim dari masyarakat yang menyatakan diri
sebagai masyarakat adat juga patut dilihat lebih dalam. Contoh nyata juga
terjadi di TNGR, klaim masyarakat Pejuang Tanah Adat Jurang Koak adalah
contoh nyata bahwa klaim itu ternyata hanya dibuat-buat.

Masyarakat adat di sekitar TNLL, berdasarkan kearifan lokal yang mereka


pedomani dalam wilayah adatnya, mereka telah memiliki pola ruang
pengelolaan secara turun temurun. Sebagaimana diuraikan BRWA, bahwa
masyarakat adat Ngata Toro memiliki peruntukan kawasan berupa Wana
Ngkiki, Wana, Pahawa pongko, Oma, Balingkea, dan Pangale. Tiap kawasan
memiliki arti dan fungsi yang berbeda-beda.

Sehingga untuk menyikapi hal ini Balai TNLL mencoba untuk mengakomodir
kepentingan masyarakat adat lewat persamaan persepsi tentang pola
ruang. Di satu pihak, masyarakat adat telah memiliki pola ruang
pengelolaan wilayah adat. Sementara di sisi lain, TNLL juga memiliki zona
pengelolaan. Dua hal ini, dalam konteks pengelolaan tidak memiliki
perbedaan mendasar.

Dalam 3 tahun terakhir masyarakat di sekitar TNLL sudah mau terlibat


dalam pengelolaan hutan melalui skema-skema perhutanan sosial. Balai
TNLL yang dulunya sangat esklusif, saat ini sudah berubah dan telah
melakukan komunikasi yang baik dengan masyarakat. Selain itu Balai TNLL
sudah menghormati hukum adat yang dibuktikan dengan mengedepankan
penerapan hukum adat ketika terjadi pelanggaran adat pada zona-zona
dalam wilayah adat yang berada di dalam kawasan taman nasional.

Apapu ya g te jadi, ko flik estilah e dapatka solusi. Mu gki di


antara solusi itu, turut pula menyelesaika ko flik lai , u gkap Kepala Balai
TNLL, Jusman, 2020.

Jusman merujuk pada proses rezonasi di TNLL. Konsep rezonasi partisipatif


hadir sebagai jawaban atas konflik di atas konflik. Di satu sisi, pihak taman
nasional tengah berupaya mencari solusi atas persoalan klaim tenurial yang
terjadi di hampir di seluruh kawasan TNLL. Kasus Dongi-Dongi menjadi
media belajar yang sangat penting bagi semua pihak.

172
Larik Tenure

Di tengah upaya solusi di TNLL itu, klaim masyarakat atas wilayah hutan adat
juga sedang berproses di lapangan. Masyarakat adat didukung berbagai
organisasi non pemerintah melakukan pengusulan hutan adat yang
sebagian besar berada di dalam taman. Pada saat itulah konsep resolusi
konflik hadir dengan mengetengahkan proses rezonasi partisipatif.

Dalam konsep masyarakat hukum adat Marena dan masyarakat hukum adat
lainnya di sekitar TNLL, hutan merupakan milik bersama. Pada tempat-
tempat tertentu di dalam hutan adat (Huaka), berdasarkan hukum adat
ditetapkan sebagai Wana dan Wana ngkiki wajib dilindungi dan dijaga. Hal
ini memiliki kesesuian dengan konsep pengelolaan kawasan konservasi
taman nasional pada zona rimba dan zona inti. Oleh karena itu rezonasi
TNLL merupakan langkah baik dalam mengakomodir posisi huaka-huaka
sebagaimana diatur oleh hukum adat masyarakat setempat, dan ditindak
lanjuti dengan pengelolaan bersama.

Sebagian besar responden beranggapan bahwa rezonasi yang ada saat ini
belum terinformasikan dan tersosialiasikan dengan baik, sehingga sebagian
pihak masih merasa belum terjadi perubahaan apa-apa terkait dengan
tumpang tindih wilayah adatnya dengan kawasan TNLL.

Perubahan zonasi TNLL ini disahkan pada tanggal 31 Desember tahun 2018,
Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong dilakukannya revisi zonasi ini
adalah: (1) mensinergikan konsep ruang menurut adat ke dalam
pengelolaan taman nasional; (2) pemanfaatan masyarakat lokal dan
pemanfaatan jasa lingkungan; (3) pembangunan strategis yang tidak dapat
dielakkan; (4) penyesuaian terhadap kondisi penutupan lahan terbaru; (5)
mengakomodir ruang kemitraan konservasi dengan masyarakat adat/ lokal;
(6) adanya kebijakan baru batas TNLL (BBTNLL, 2018).

Terdapat 4 tahapan utama secara prinsip dilakukan Balai TNLL dalam


melakukan perubahan zonasi tahun 2018 tersebut, yaitu; pertama yang
dilakukan adalah melakukan identifikasi nilai penting kawasan, proses
penggalian nilai penting dilakukan dengan cara desktop study, diskusi
terfokus dan pemetaan partisipatif. Kedua melakukan analisis
penutupan/penggunaan lahan dan identifikasi para pihak, ketiga
merumuskan zona berdasarkan target konservasi, dan tahapan terakhir
adalah melakukan konsultasi publik untuk menghasilkan zona final yang
disepakati bersama (BBTNLL, 2018).

173
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Dari 4 tahapan di atas, ruang partisipasi atau keterlibatan masyarakat


sewajarnya terjadi pada setiap tahapan. Dalam identifikasi nilai penting
kawasan contohnya, salah satu metode yang digunakan adalah dengan
melakukan pemetaan partisipatif. Pemetaan partisipatif pada intinya harus
melibatkan seluruh pihak yang memiliki kepentingan dan yang terdampak
dari penetapan zona ini. Konsultasi publik di akhir proses juga menjadi poin
utama keterlibatan masyarakat dalam proses perubahaan zona tersebut.

Proses partisipasi diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada


setiap pihak tentang bagaimana zona-zona taman nasional dikelola ketika
telah disahkan. Berikut dengan apa saja yang menjadi batasan atau yang
diperbolehkan dilakukan pada zona-zona pengelolaan tersebut.

Serangkaian wawancara dan diskusi lapangan menemukan fakta bahwa


perubahan zonasi TNLL memang telah diketahui oleh sebagian besar
masyarakat. Pun proses ini melibatkan perwakilan masyarakat,
pemerintahan desa, kecamatan dan kabupaten. Namun hal tersebut baru
sebatas melibatkan kehadiran dalam berbagai kegiatan sosialisasi. Secara
substansi, perubahan zonasi tidak banyak dipahami masyarakat.
Pengakuan responden di lapangan menyebutkan bahwa masyarakat tidak
memahami batasan zona, di mana letak batas-batas zona, maupun apa yang
boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan di zona tersebut.

Pengakuan berbeda datang dari Toro, menurut Andreas, batasan zona TNLL
secara prinsip telah mengakomodir kepentingan ruang masyarakat adat
Ngata Toro. Misalnya wana dan wana ngkiki sudah terakomodasi dalam
zona inti dan zona rimba. Masalahnya adalah, bagaimana dengan zona
pengelolaan lain yang bertumpang tindih dengan huaka-huaka lain seperti
oma, balingkea, dan pangale?

Bagaimana dengan proses perubahan zonasi di TNBD? Wawan (2020)


mengungkapkan bahwa rezonasi yang disahkan pada tahun 2019 dilakukan
berdasarkan kondisi kekinian taman nasional. Kondisi kekinian itu
didapatkan dari hasil evaluasi Balai TNBD. Contohnya, keadaan terkini di
zona rimba yang memiliki potensi wisata, maka dalam revisi zonasi
dikeluarkan dari zona rimba dan berubah menjadi zona pemanfaatan.

TNBD memang merupakan suatu kawasan konservasi yang cukup unik dan
berbeda secara karakteristik dengan taman nasional lainnya yang ada di

174
Larik Tenure

Indonesia. Biasanya keberadaan taman nasional diperuntukkan untuk


melindungi habitat, keanekaragaman hayati, dan ekosistem tertentu.
Keberadaan TNBD khusus untuk melindungi ruang penghidupan Orang
Rimba atau Suku Anak Dalam atau Suku Kubu.

Tingginya interaksi sosial di dalam kawasan TNBD menjadi faktor pemicu


konflik tenurial. Berdasarkan temuan lapangan, konflik tersebut dapat
dikualifikasikan dalam 4 bentuk, yakni: Pertama, konflik akibat adanya
kebun masyarakat desa (orang melayu lokal di luar Suku Anak Dalam) yang
secara turun temurun dikelola masyarakat dan masuk ke dalam kawasan
TNBD. Kedua, yaitu konflik akibat dari ekspansi kebun masyarakat desa
(desa transmigrasi) ke dalam kawasan TNBD melalui praktik jual beli dengan
Suku Anak Dalam dan pembukaan lahan bersama dengan Suku Anak Dalam.
Ketiga, konflik yang terjadi akibat dari model pemanfatan tanah untuk
kebun oleh Suku Anak Dalam yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
konservasi seperti membuka lahan dengan cara dibakar. Dan keempat,
konflik yang terjadi akibat maraknya pembalakan liar sejak pendemi Covid
19, yang dilakukan masyarakat di bagian utara TNBD.

Kondisi-kondisi ini lah yang menyebabkan terjadinya perubahan ekologi dan


sumber daya hayati di TNBD. Kondisi terakhir juga menemukan situasi
dimana aturan atau pedoman zonasi taman nasional yang secara substansi
belum mengakomodasi hak-hak pemanfaatan sumber daya alam secara
khusus untuk masyarakat adat, baik pemanfaatan ruang maupun hayati
berikut dengan bentuk pengendaliannya (Mulyani W. , 2014).

Selain itu, kondisi terkini juga meliputi kondisi area-area kebun tua
masyarakat desa-desa melayu (orang luar selain Suku Anak Dalam) di dalam
kawasan TNBD. Padahal kebun-kebun tua tersebut sudah ada jauh sebelum
penetapan TNBD. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan rumpun
pohon durian dan langsat pada satu area di dalam kawasan.

Berdasarkan masalah-masalah tersebut, tahun 2019, revisi zonasi TNBD


secara sah sudah dilakukan. Balai TNBD mencoba mengakomodir ruang-
ruang pemanfaatan hutan oleh masyarakat dengan menyatukan hukum
adat Suku Anak Dalam dan masyarakat sekitar dengan hukum negara.

Faktor pendorong dilakukan revisi zonasi TNBD, yakni; (1) Muncul


keberatan dari Orang Rimba (OR) Makekal Hulu yang menganggap zonasi

175
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

TNBD belum mengakomodir ruang adat mereka. Salah satu penyebabnya


adalah kekhawatiran komunitas tersebut terhadap perubahan pola hidup
dan naiknya populasi OR yang mengancam eksistensi mereka sebagai
komunitas adat; (2) Pengakuan terhadap ruang adat merupakan upaya
mereka untuk mempertahankan adat dan budaya OR yang dianggap sudah
mulai luntur. (3) Terdapat aktivitas wisata pada beberapa zona yang tidak
sesuai peruntukannya, dan (4) Adanya keterlanjuran perladangan berupa
kebun-kebun karet masyarakat desa yang saat ini dialokasikan pada zona
khusus (BTNBD, 2019).

Menurut Wawan (2020), dalam proses revisi zonasi TNBD, partisipasi


masyarakat diwakili oleh 13 kelompok OR dan masyarakat desa melayu di
sekitar kawasan. Keterlibatan mereka ada tidak hanya dilakukan pada saat
konsultasi publik untuk finalisasi rancangan zonasi, tapi sudah
diikutsertakan pada awal proses identifikasi nilai penting untuk
menentukan rancangan zonasi. Hal ini diakui oleh Jailani dan Bebayang
(2020) serta beberapa responden lainnya. Jailani mengungkapkan, dirinya
terlibat sejak awal rapat-rapat untuk menyamakan hukum nasional dan
hukum adat OR. Begitu pula dengan Tumenggung Bebayang, dia dan 12
tumenggung lainnya terlibat dalam pembahasan tentang zona-zona
tersebut.

Butuh perjuangan memang, kata Wawan dan Saefullah, berapa kali Balai
TNBD melakukan diskusi kelompok terfokus dengan komunitas OR. Selama
melakukan proses survei untuk identifikasi, pertemuan dilaksanakan formal
maupun non formal. Tantangan komunikasi dijawab Balai TNBD dengan
terus-menerus melakukan dialog dan diskusi.

Di sisi teknis, tantangannya adalah bahwa area-area pengelolaan OR –


seperti tali bukit dan tanah badewo yang memang merupakan daerah
dilindungi yang memiliki kesesuian kriteria dengan zona rimba dan zona inti
taman nasional – pada kenyataannya hanya berupa wilayah kecil yang
tersebar di dalam TNBD. Dengan kondisi itu, maka perlu suatu terobosan
yang penting disepakati dengan OR. Kesepakatan diperlukan untuk
menentukan fungsi lindung ataupun fungsi pemanfaatan versi OR. Jika satu
wilayah yang berdasarkan ketentuan adat OR lebih banyak fungsi
lindungnya, maka kawasan tersebut disepakati sebagai zona inti atau zona
rimba. Sebaliknya, jika wilayah itu lebih banyak fungsi pemanfaatannya,
maka perlu disesuaikan dengan zona tradisonal atau zona khusus.

176
Larik Tenure

Semua dilakukan atas persetujuan semua pihak, ungkap Wawan.


Berdasarkan revisi zonasi terkahir, maka didapatkan lebih kurang 78%
kawasan TNBD merupakan zona tradisional yang selanjutnya dibagi ke
dalam zona tradisional OR dan zona tradisional masyarakat desa.

Lain lagi kisahnya di TNS. Dansat Polhut Balai TNS, Adi Saputra mengakui
sangat sulit merangkul seluruh masyarakat di sekitar Resor Habaring Hurung
dalam mendudukkan pemahaman tentang zonasi di kawasan taman
nasional. Resor Habaring Hurung memulai langkah ini dengan terlebih
dahulu melakukan upaya pendekatan dengan masyarakat melalui
penyusunan program sosial dan ekonomi. Lewat program ini, perlahan
ditanamkan kesadaran akan nilai-nilai konservasi.

Balai TNS memahami kekecewaan masyarakat di sekitar Resor Habaring


Hurung perihal nasib lahan tempat hidup mereka selama ini. Perubahan
kebijakan status kawasan yang mengakibatkan keluar masuknya wilayah
Resor Habaring Hurung juga berdampak kepada petugas taman nasional di
garis depan. Resor Habaring Hurung harus memikirkan bagaimana caranya
memberi pemahaman dengan tepat kepada masyarakat. Jika salah dalam
memberikan pemahaman, gejolak di masyarakat akan semakin tinggi.
Selama ini Resor Habaring Hurung telah berusaha melakukan pendekatan
dengan cara-cara persuasif, meskipun (hasilnya) belum seluruh masyarakat
sejalan dengan pemikiran Balai TNS (Saputra, 2020).

Selaras dengan Adi, salah satu tokoh masyarakat Kelurahan Habaring


Hurung, Suroto juga menyampaikan hal senada. Diakui bahwa saat ini
masyarakat Kelurahan Habaring Hurung terbagi menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama adalah kelompok yang pro terhadap Balai TNS.
Kelompok ini mendukung apapun kebijakan Balai TNS, karena selalu
dilibatkan dalam program-program yang telah dilaksanakan selama ini. Jika
diamati lebih jauh, sebenarnya kelompok ini adalah kumpulan orang-orang
yang pasrah pada keadaan. Namun karena ada peluang dilibatkan ke dalam
berbagai kegiatan dan memperoleh hasil, maka mereka ikut saja apapun
kebijakan Balai TNS. Kegiatan-kegiatan yang dimaksud seperti pemasangan
patok kawasan, patroli kawasan, terlibat pada program kelompok ternak,
dan lain-lain.

Kelompok dua adalah kelompok yang kontra dengan Balai TNS. Kelompok
masyarakat ini adalah sebagian masyarakat yang sumber ekonominya

177
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

terganggu akibat dari penetapan kawasan taman nasional. Kelompok ini


adalah masyarakat yang dahulu berprofesi sebagai pembuat arang.
Beberapa juga masih menaruh sakit hati karena mempunyai riwayat pernah
diusir oleh polhut di lokasi pembuatan arang yang terletak di Lahan Usaha
(LU) II. Akibat penetapan area LU II yang diklaim masuk ke dalam kawasan,
masyarakat banyak kehilangan sumber mata pencaharian dari membuat
arang (Suroto, 2020).

Sedangkan kelompok ketiga, lanjut Suroto, adalah masyarakat yang tidak


peduli dan tidak mau tahu persoalan taman nasional. Kelompok ini adalah
sebagian masyarakat yang sumber ekonominya tidak terlalu bergantung
pada lahan usaha yang saat ini bermasalah. Kelompok ini biasanya punya
profesi lain seperti tukang, buruh bangunan, dan pekerjaan lain di luar
Kelurahan Habaring Hurung. Kelompok ini cenderung menghindari untuk
diajak diskusi persoalan lahan usaha, pasrah, dan menerima apapun
keputusan yang terbaik.

Konflik di Kelurahan Habaring Hurung dimulai tahun 1991 dan 1992 ketika
program Transmigrasi Swakarsa Pengembangan Desa Potensial
(Transbangdep) masuk di Kelurahan Tumbang Tahai, Kecamatan Bukit Batu
Kota Palangkaraya, Kalteng (yang sekarang menjadi Kelurahan Habaring
Hurung), dengan jumlah transmigran 250 kepala keluarga. Kemudian Tahun
1993 Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah mengeluarkan
SK Nomor 591.3/04/BPN tentang Pencadangan Tanah Untuk Lahan
Pekarangan dan Lahan Usaha Warga Transmigrasi Swakarsa Pengembangan
Desa Potensial di Kelurahan Tumbang Tahai, Kecamatan Bukit Batu,
Kotamadya Dati II Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. Pada tahun
2001 kantor Pertanahan Kota Palangkaraya menerbitkan sertifikat LU II dan
tahun 2006 menerbitkan sertifikat LU I untuk 223 KK (seluas 446 ha).

Persoalan muncul di kemudian hari ketika gubernur dalam SK Nomor


591.3/04/BPN memerintahkan kepada Walikota Palangkaraya untuk
mengurus pelepasan kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan tidak
dilakukan, sehingga areal transmigrasi tersebut statusnya masih sebagai
kawasan hutan sampai dengan tahun 2004.

Selanjutnya, Menteri Kehutanan melalui SK 423/Menhut-II/2004


menyatakan bahwa Kereng Bengkirai, Marang, Habaring Hurung dan
Banturung masuk dalam Kawasan TNS. Kemudian pada SK Menteri

178
Larik Tenure

Kehutanan No. 292/Menhut-II/2011, Kelurahan Habaring Hurung tidak


masuk di dalam kawasan TNS. Statusnya berubah dari kawasan hutan
menjadi Area Penggunaan Lain (APL). Namun, berdasarkan SK Menteri
Kehutanan Nomor SK 529/Menhut-II/2012 wilayah Habaring Hurung
kembali dinyatakan berada di dalam kawasan. Menurut Peta Indikatif TORA
edisi revisi, lokasi transmigrasi Habaring Hurung ini sebagian masuk dalam
peta indikatif, namun hingga akhir tahun 2011 belum dilakukan peninjauan
oleh tim Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PTKH) (Ningsih, 2020).

Proses panjang penyusunan dokumen zonasi TNS hingga disahkannya


melalui Surat Keputusan Dirjen KSDAE nomor SK. 97/KSDAE.0/3/2016
Tentang Zonasi TNS serta SK 261/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016 tentang
Perubahan atas Keputusan Dirjen KSDAE nomor SK. 97/KSDAE.0/3/2016
Tentang Zonasi Taman Nasional Sebangau, Provinsi Kalimantan Tengah.
Zonasi pada TN Sebangau terdiri dari; 1). Zona Inti; 2). Zona Rimba; 3). Zona
Pemanfaatan; 4). Zona Tradisional; 5). Zona Rehabilitasi; 6). Zona Religi,
Budaya dan Sosial serta 7). Zona Khusus.

Pada awalnya, pemerintah melalui program transmigrasinya, memberi


angin segar bagi mereka untuk mengajak keluarga, meninggalkan kampung
halaman dengan harapan dapat merubah kehidupan lebih baik. Namun apa
yang terjadi, padi ditanam tumbuh ilalang, kenyataan tidak sesuai dengan
harapan. Tahun-tahun pertama masyarakat diuji, benih palawija bantuan
pemerintah sulit tumbuh. Karakter tanah gambut masih awam bagi
masyarakat dari Pulau Jawa, meskipun di kampung halaman mereka juga
bertani. Jangankan untuk mengolah lahan usaha, bertanam di sekitar
pekarangan rumah saja sangat sulit. Pelaku transmigrasi mengungkap, satu-
satunya tanaman yang bisa tumbuh hanyalah pohon kelapa. Selain karena
kurangnya pengalaman mengolah lahan gambut, wilayah Kelurahan
Habaring Hurung kala itu juga sangat rawan banjir. Dengan keadaan seperti
ini, praktis masyarakat Kelurahan Habaring Hurung hanya mengandalkan
bantuan sembako dari pemerintah melalui program Jatah Hidup (Jadup)
dalam pemenuhan ekonomi sehari-hari (Suroto, 2020).

Sebagaimana semangat dan semboyan masyarakat transmigrasi


dimanapun berada, pengalaman adalah guru yang paling berharga.
Kesulitan dan tekanan hidup seolah menempa mereka untuk terus kuat dan
bertahan. Hari demi hari, bulan berlalu dan tahun pun berganti, masyarakat
terus mengolah tanah dengan bekal pengalaman yang ada. Lahan gambut

179
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

yang dahulu sangat sulit diolah, perlahan bisa ditanami dengan cara dibakar.
Tata cara mengolah lahan tebas-bakar inilah yang kemudian hari menjadi
masalah baru. Tentu bukan hanya karena pembukaan lahan di Kelurahan
Habaring Hurung saja, praktik ini sudah lama dilakukan oleh masyarakat di
luar Habaring Hurung. Banyak oknum yang melakukan tebas-bakar yang
kemudian menjadi bencana asap saban tahun.

Pembukaan lahan dengan metode ini memang menjadi opsi utama untuk
mengolah lahan gambut agar bisa ditanami. Alasannya sederhana, dengan
dibakar maka lahan gambut dipercaya bisa menyuburkan tanah. Selain itu,
metode ini meminimalisir pengeluaran. Kehidupan masyarakat Kelurahan
Habaring Hurung sangat sulit pada waktu itu, sehingga tidak akan mungkin
mengeluarkan biaya untuk membuka lahan. Meski cara ini efektif karena
banyak masyarakat yang pada akhirnya bisa mengolah lahan, Balai TNS
menganggap hal ini mengancam kawasan. Namun sebagian masyarakat
transmigrasi awal Habaring Hurung juga ada yang menyerah, karena tidak
tahan dengan kondisi wilayah dan semakin ruwetnya masalah legalitas
lahan usaha mereka. Sebagian dari mereka menjual lokasi perumahan dan
lahan usaha kepada tetangga dan orang di luar Habaring Hurung, sebagian
lagi ada yang ditinggalkan begitu saja.

Diakui Suroto, banyak sertifikat tanah masyarakat untuk LU II yang sudah


tidak diketahui keberadaannya. Bahkan banyak pemilik sertifikat yang
sudah pindah keluar daerah membawa serta sertifikatnya. Kendala tersebut
menjadi masalah serius, karena dalam pengusulan pelepasan kawasan
harus sesuai luas usulan dengan disertai bukti alas hak.

TNS terletak di antara Sungai Sebangau dan Sungai Katingan. Secara


administratif, TNS berada di wilayah Kabupaten Katingan, Kabupaten
Pulang Pisau, dan Kota Palangkaraya. Kawasan ini merupakan hutan rawa
gambut yang masih tersisa di Kalimantan Tengah. Sebelum terbentuknya
taman tasional, kawasan ini merupakan hutan produksi yang dikelola oleh
beberapa HPH sebagai penghasil kayu, sehingga pembalakan liar merajalela
setelah ijin HPH berakhir (Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten
Katingan, 2016).

Perlindungan terhadap kawasan konservasi sering dianggap sebagai


pembatasan ruang gerak masyarakat. Karena itu dalam pengelolaan TNS,
dikembangkan pendekatan zonasi berdasarkan proses pemetaan

180
Larik Tenure

partisipatif. Dalam proses ini terdapat kesepakatan bersama masyarakat


untuk menetapkan areal-areal yang merupakan wilayah tradisional
masyarakat, areal yang perlu di rehabilitasi, dan areal inti. Dari kesepakatan
ini diharapkan ada tanggungjawab bersama dalam menjaga kelestarian
wilayah tersebut, dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan
ilmiah dan objektif mengenai kondisi dan kelayakan lingkungan.

Sosialisasi terus dilakukan pada beberapa kesempatan bersama masyarakat


untuk menginventarisir persoalan dan kepentingan. Wilayah Kelurahan
Habaring Hurung menjadi salah satu zona merah karena persoalan regulasi
yang berubah-ubah. Masyarakat Habaring Hurung yang merupakan eks
transmigrasi hingga saat ini belum sepenuhnya bisa mengelola lahan usaha
yag seharusnya menjadi hak mereka.

Sosialisasi zonasi TNS telah dilaksanakan sejak bulan Desember 2017.


Proses sosialisasi ini dilakukan dari tingkat desa yang berbatasan langsung
dengan kawasan pada masing-masing Kabupaten/Kota hingga tingkat
Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah. Kegiatan sosialisasi ini
dilaksanakan di Desa Tumbang Bulan dan Desa Mekar Tani di Kecamatan
Mendawai, Desa Baun Bango di Kecamatan Kamipang, Desa Sebangau
Mulya di Kecamatan Sebangau Kuala, dan Kelurahan Kereng Bengkirai.

Kegiatan puncak sosialisasi dilaksanakan di Hotel Neo Palangkaraya pada


tanggal 15 Desember 2017. Kegiatan ini dihadiri oleh perwailan Pemerintah
Provinsi Kalimantan Tengah, Pemerintah Kota Palangkaraya, Pemerintah
Kabupaten Pulang Pisau, Pemerintah Kabupaten Katingan, UPT
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lingkup Provinsi Kalimantan
Tengah, Mitra Kerja, Perguruan Tinggi dan Forum Masyarakat (Susana,
Suyoko, & Turrahman, 2017).

**

Di ranah penegakan hukum, apa yang dilakukan Taman Nasional Gunung


Rinjani merupakan salah satu bentuk yang dapat dijadikan contoh. TNGR
melakukan pendekatan yang cukup persuasif kepada masyarakat yang
mengklaim menguasai Hutan Pesugulan.

Amaq Nopi misalnya, didekati TNGR sepanjang waktu. Kendatipun dia


merupakan salah satu pejuang yang bersikeras mengambil paksa tanah di

181
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

hutan Pesugulan, tapi pendekatan kemanusiaan lebih diutamakan oleh


TNGR.

Amaq Nopi akhirnya luluh setelah masuk ke dalam penjara. Kesadarannya


bangkit karena mulai memikirkan orang banyak, ketimbang memikirkan
nasibnya sendiri. Hal ini juga dipicu lantaran kisah-kisah di balik
pengambilalihan kawasan hutan Pesugulan oleh para Pejuang Tanah Adat
Jurang Koak.

Ruang dialog tentunya juga menjadi bagian pekerjaan tuntas Balai TNGR.
Koordinasi dengan Satuan Polisi Pamong Praja dan Pemerintah Daerah
Lombok Timur secara umum telah menjadi bagian tidak terpisah dari proses
Gakkum.

Lebih panjang lagi kisah Kliwon di TNMB. Kisah Kliwon melebihi kisah Kentik
dan kawan-kawan. Kliwon memulai kisahnya ketika terlibat penjarahan
lahan berbelas tahun silam.

Lagi, pendekatan Balai TNMB tak mudah. Mulanya, Kliwon bersama para
perambah lainnya diajak berunding. Dibantu KAIL dan LATIN, para
perambah mulai menyadari bahwa di atas tanah yang sama terdapat
kepentingan yang berbeda.

Bagi para perambah sepantaran Kliwon, tanah berfugsi sebagai tempat


mencari makan. Mengolah tanah menjadi sumber-sumber pangan atau
produk tani yang laku secara ekonomi adalah tujuan. Sementara bagi Balai
TNMB, mempertahankan keutuhan kawasan adalah harga mati.

Titik temu akhirnya diperoleh dengan menyatukan ragam kepentingan


tersebut pada lahan yang sama. Di satu sisi, masyarakat seperti Kliwon
disadarkan bahwa tanah yang mereka kelola berada di bawah penguasaan
taman nasional. Sementara di sisi lain, taman nasional juga mesti
memahami bahwa masyarakat bukanlah musuh yang akan merenggut
kewenangan balai taman nasional sebagai pemangku kawasan.

Operasi Gakkum di TNMB nyaris seperti hidup segan mati tak mau. Kendati
telah menembak mati salah seorang pelaku pembalakan liar, kegiatan
tersebut masih sulit dihentikan. Letusan senjata petugas tak serta-merta
menimbulkan efek jera. Jikapun ada penghentian sementara, itu hanya

182
Larik Tenure

berlangsung setahun usai penembakan. Bahkan diakui penduduk,


intensitas truk pembawa kayu justru lebih dahsyat ketika kawasan Bandealit
dan wilayah sekitar hutan Kranjan dikawal oleh pihak Kepolisian.

Dalam konteks berbeda, penegakan hukum di wilayah TNBBBR tampak


mengalami jalan buntu. Dalam beberapa kali operasi penegakan hukum,
tak seorangpun pelaku PETI yang terjerat. Petugas hanya menemukan
pondok-pondok kerja dalam keadaan kosong. Juga ditemukan peralatan
PETI yang ditinggalkan begitu saja.

Hal ini mengindikasikan bahwa para pelaku PETI lebih lihai dari pada
petugas. Mereka dilengkapi dengan mata dan telinga di banyak tempat di
Sintang, bahkan mungkin sampai ke level provinsi dan nasional.

Salah seorang pelaku PETI yang tidak mau identitasnya disebut menyatakan,
dirinya dan para pelaku PETI lainnya memiliki kontak erat dengan pejabat
pemerintah. Dia juga menyebut kedekatan dengan para petinggi yang ada
di jajaran Kepolisian dan TNI. Namun pelaku ini enggan menyebut nama.
Informasi ini tentu umum di kalangan pelaku PETI. Bukan hanya di Serawai,
pelaku PETI di banyak tempat di Indonesia juga banyak memberikan
pernyataan serupa.

Lagi, ini adalah indikasi awal adanya permainan antara pelaku PETI di
lapangan, pemilik modal dan oknum pemerintah. Permainan haram ini sulit
diungkap karena organisasi PETI yang tak memiliki struktur resmi ini bekerja
dalam barisan yang rapat. Sulit membongar blokade yang mereka bangun,
mulai dari level tapak di dusun-dusun, hingga level nasional.

TNBB punya cerita berbeda. Ketika tim LATIN dan Petugas Balai TNBB mulai
memfasilitasi resolusi konflik melalui Kemitraan Konservasi, indikasi jual-
beli lahan sudah tercium. Masyarakat berlasan, mereka melakukan jual-beli
lahan lantaran kebutuhan ekonomi.

Lucunya, saat lahan tersebut ingin dimasukkan dalam peta polygon draft
Perjanjian Kerjasama (PKS) Kemitraan Konservasi, beberapa masyarakat
menganggap perlunya meminta izin pada salah satu tokoh elit politik di
Kabupaten Pangkep. Pejabat ini dianggap sangat penting karena lahan-
lahan yang tertunggak SPPT sedang dipersiapkan untuk Program

183
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Peternakan Terpadu Kabupaten Pangkep. Ini menjadi tanda tanya besar,


ada apa?

Dialog-dialog akhirnya bergulir, antara masyarakat, Pemerintah Daerah


Kabupaten Pangkep dengan Balai TNBB. Formal maupun informal. Bagi
Balai TNBB, jelas kepentingannya adalah mempertahankan fungsi kawasan
konservasi. Lagi, hutan negara tidak dapat dipindah-tangankan dan juga
tidak dapat dipergunakan tanpa seizin pemangku kawasan.

Program Peternakan Terpadu Kabupaten Pangkep akhirnya batal di


laksanakan di dalam kawasan. Dengan demikian, gugur pula klaim lahan
pribadi di dalam kawasan.

Pada titik ini, Kemitraan Konservasi mendapat jalan. Inisiatif ini menjawab
semua keterlanjuran pengelolaan yang telah dilakukan masyarakat di dalam
taman nasional.

Lain pula yang terjadi di SM Kateri. Warga eks pengungsi Timor Timur
mewarnai proses perambahan lahan sejak 1999. Upaya penyelesaian
sengketa ini berlarut-larut karena melibatkan banyak sekali pihak. Dan,
secara politis, penyelesaian persoalan ini menuntut kesabaran dan kelihaian
diplomasi. Tak berkait dengan Negara Timor Leste, tapi berkait dengan
status para perambah sebagai eks pengungsi dan juga keterlibatan
organisasi internasional di dalamnya.

Corak Sengketa
Di gelanggang konservasi, kemungkinan kata konflik tenurial jarang
terdengar. Istilah ini sepertinya larut dalam pedihnya urusan perburuan
satwa, patroli kawasan, pengerusakan lahan, perambahan, bahkan
pencurian kayu. Di berbagai tempat istilah konflik tenurial mungkin akan
diganti dengan Penggunaan Kawasan Tanpa Izin (PKTI), atau istilah lain yang
lebih ringan.

Kendati demikian, konflik tenurial di kawasan konservasi tentulah bukan


konflik yang berdiri tunggal. Dia akan menjadi penyebab atau
menyebabkan persoalan lain.

184
Larik Tenure

Corak konflik tenurial juga dapat dinilai dari pihak-pihak yang bersengketa.
Jika dilihat dari aktor yang terlibat, maka konflik tersebut dapat digolongkan
ke dalam beberapa kategori (Safitri et al, 2011):
1. Konflik antara masyarakat adat dengan Kemenhut. Ini terjadi
akibat ditunjuk dan/atau ditetapkannya wilayah adat sebagai
kawasan hutan negara;
2. Konflik antara masyarakat vs. Kemenhut vs. BPN. Misalnya konflik
karena penerbitan bukti hak atas tanah pada wilayah yang
diklasifikasikan sebagai kawasan hutan;
3. Konflik antara masyarakat transmigran vs. masyarakat (adat/lokal)
vs. Kemenhut vs. pemerintah daerah vs. BPN. Misalnya konflik
karena program transmigrasi yang dilakukan di kawasan hutan.
Program ini menyebabkan perlunya penerbitan sertifikat hak milik
atas tanah;
4. Konflik antara masyarakat petani pendatang vs. Kemenhut vs.
pemerintah daerah. Misalnya konflik karena adanya gelombang
petani yang memasuki kawasan hutan dan melakukan aktivitas
pertanian di dalam kawasan tersebut;
5. Konflik antara masyarakat desa vs. Kemenhut. Misalnya konflik
karena kawasan hutan memasuki wilayah desa;
6. Konflik antara calo tanah vs. elit politik vs. masyarakat petani vs.
Kemenhut vs. BPN. Misalnya konflik karena adanya makelar/calo
ta ah ya g u u ya diduku g o as/pa pol ya g e pe jual‐
belikan tanah kawasan hutan dan membantu penerbitan sertifikat
pada ta ah‐ta ah te se ut;
7. Konflik antara masyarakat lokal (adat) vs pemegang izin. Meskipun
ini terjadi akibat Kemenhut melakukan klaim secara sepihak atas
kawasan hutan dan memberikan hak memanfaatkannya kepada
pemegang izin, seringkali konflik tipologi ini juga dipicu karena
pembatasan akses masyarakat terhadap hutan oleh pemegang
izin;
8. Ko flik a ta pe ega g izi kehuta a da izi ‐izi lai sepe ti
pertambangan dan perkebunan;
9. Ko flik ka e a ga u ga e agai akto ‐ .

Corak sengketa pertanahan di kawasan konservasi memiliki banyak ragam.


Kecuali itu, eskalasi sengketa juga turut mewarnai corak ini. Seperti halnya
eskalasi konflik Joben di TNGR, tentu berbeda dengan eskalasi konflik
pembalakan liar di TNMB, beda pula dengan klaim adat pada kawasan TNLL,

185
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

beda pula dengan konflik penguasaan lahan di TNBB dan SM Kateri.


Semuanya berbeda.

Eskalasi konflik tumbuh dan berkembang seiring dinamika relasi para pihak
di lapangan. Eskalasi akan meningkat ketika ketegangan antar pihak juga
meningkat, demikian sebaliknya. Selain eskalasi, penyelesaian konflik
tenurial juga dipengaruhi seberapa sering ketegangan terjadi. Semakin
sering terjadi ketegangan, maka semakin tinggi intensitasnya. Momentum
yang tepat terkait ini akan berpengaruh pada proses resolusi konflik
tenurial. Tabel di bawah ini mencoba mendeskripsikan secara singkat
tentang apa yang terjadi di lapangan.
Tabel 3. Deskripsi Konflik dan Peta Aktor
Kawasan Objek Aktor Aktor
Deskripsi Singkat Aktor Tersier
konservasi Konflik Primer Sekunder
TN Gunung Objek  Lokasi wisata Joben Balai Direktorat Gubernur
Rinjani Wisata terdiri dari lokasi TNGR, Jenderal NTB, DPRD
Otak pemandian, bangunan- Dinas KSDAE-KLHK, Lombok
Kokok bangunan wisata, air Pariwisata PT. Joben Timur,
Joben terjun, parkir, pos tiket Lombok Evergreen Menteri
dan jalur trekking. Lokasi Timur, KLHK, Bupati
ini dikuasai Pemda BPN Lombok
Lombok Timur, dikelola Lombok Timur, Wakil
dengan menyerahkan Timur, PT. Bupati
kuasa pengelolaan Joben Lombok
kepada pihak ketiga Evergreen Timur
(perusahaan). Pemda (dipindahk
menargetkan setiap an menjadi
tahun mendapat PAD dari sekunder)
lokasi ini, dan itu Pada
disanggupi perusahaan akhirnya
dengan membayar tersisa dua
dimuka. aktor:
 Ketika TN ditetapkan, TNGR dan
sebagian lokasi masuk ke Pemda
kawasan TN. Lombok
 Perang dingin dan saling Timur
tuding terjadi antara
Pemkab dengan TN. Hal
ini dimanfaatkan pihak
ketiga untuk meneruskan
usaha dan memanfaatkan
fasilitas bangunan yang
telah dibuat oleh Pemkab.
Pemkab beranggapan,
selama ini pengelolaan
dan PAD lancar-lancar.
Sementara Balai TN (sejak
ditetapkan) beranggapan
Pemkab menyalahi
aturan.

186
Larik Tenure

 Konflik sudah berlangsung


hampir 20 tahun. Bahkan
ada anggapan dari oknum
di Pemkab, tidak apa-apa
Joben lepas, tapi
Pesugulan dapat dikuasai
karena Pesugulan lebih
luas dari Joben.
 Pola komunikasi intensif,
kedekatan personal,
pemahaman bersama dan
saling menumbuhkan
kepercayaan, akhirnya
menyelesaikan konflik ini.
Ketika proses komunikasi
berlangsung, konflik
Hutan Pesugulan pecah.
Dua persoalan ini
akhirnya berjalan paralel,
dan penyelesaian Joben
melalui mekanisme
abang-adek turut
mewarnai penyelesaian di
Pesugulan.
Hutan  Lokasi konflik berada di Balai Direktorat DPRD Lombok
Pesugulan Desa Bebidas. Konflik TNGR, Jenderal Timur, Menteri
bermula dari keinginan Pejuang KSDAE-KLHK, KLHK, Bupati
salah satu oknum Tanah Polres Lombok Timur,
masyarakat untuk Adat Lombok Wakil Bupati
menguasai tanah. Oknum Jurang Timur, Kodim Lombok Timur,
ini membentuk kelompok Koak. Lombok LSM
Pejuang Tanah Adat Timur, Satpol pendukung
Jurang Koak. Mereka PP Lombok masyarakat
melakukan perambahan Timur, adat, dan
lahan dan perlawanan Pemdes Individu
kepada petugas TN. Bebidas,
Untuk menguatkan klaim Balai Gakkum
tanah adatnya, kelompok KLHK
ini bahkan membuat
replika kuburan yang
mereka sebut sebagai
kuburan nenek
moyangnya. Kelompok ini
dikendalikan oleh salah
satu keluarga yang cukup
berada di Bebidas. Tujuan
penguasaan ini seiring
dengan tujuan politis
anggota keluarga
tersebut untuk
memenangkan
pertarungan menjadi
Kepala Desa dan Anggota
DPRD.
 Beberapa kali bentrok
terjadi. Pejuang Tanah

187
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Adat menggunakan
perempuan dan anak-
anak di barisan depan.
Strategi ini disinyalir
disutradarai oleh oknum
intel TNI. Pejuang Tanah
Adat Jurang Koak
mendapat dukungan dari
LSM yang mendukung
perjuangan masyarakat
adat.
 Konflik diselesaikan
dengan cara damai
melalui keterlibatan
Pemkab Lombok Timur.
Pemkab yang telah saling
percaya dengan TN
memberikan dukungan
penuh atas penyelesaian
konflik ini. Wakil Bupati,
H. Rumaksi menjadi
sentral penyelesaian.
Sebelum itu, pihak TN dan
beberapa personil di
Pemkab telah menjalin
hubungan yang sangat
harmonis untuk
penyelesaian konflik, H.
Rumaksi menindaklanjuti
hubungan harmonis ini
dengan memainkan
perannya sebagai tokoh
masyarakat dan tokoh
politik.
TN Meru Perkebunan  Pembalakan liar telah Balai TNMB, Direktorat DPRD Jatim,
Betiri Jati Eks terjadi sejak lama di areal Kelompok Jenderal DPRD
Perhutani TNMB, khsusnya di Jawara, KSDAE-KLHK, Jember,
wilayah Kecamatan Kelompok Kepolisian, Personal /
Tampurejo. Mandala, KAIL, PT. Individu
 Para aktor adalah penebang Bandealit,
masyarakat lokal yang liar Balai Gakkum
terdiri dari: aktor dalam terorganisir, KLHK
dan aktor luar. Aktor oknum yang
dalam adalah orang yang berasal dari
mengorganisir pencurian para pejabat
kayu dan menjualnya ke yang
pasar-pasar lokal di berwenang
seputaran Jember dan
Banyuwangi. Sementara
aktor luar adalah orang-
orang yang memiliki
jaringan cukup luas
terkait pemasaran dan
pengamanan. Permainan
pencurian kayu
sesungguhnya sudah

188
Larik Tenure

terendus sejak lama, tapi


karena banyaknya pemain
dan oknum yang terlibat,
mengakibatkan pencurian
sulit diatasi. Termasuk
terjadi juga aksi-aksi
premanisme.
 Para pencuri kayu
dikendalikan oleh aktor
dalam dan aktor luar.
Mereka menggunakan
gergaji mesin dan
kendaraan roda dua
untuk mengangkut hasil
curian. Untuk mengirim
hasil curian ke luar
daerah Tampurejo,
mereka menggunakan
truk angkut yang kadang
dikawal oleh oknum Polisi
atau TNI atau TN sendiri.
 Puncak konflik terjadi
ketika adanya patroli dari
pihak Balai TNMB.
Seorang pembalak liar
mati tertembak. Konflik
ini membesar dan
menambah kebencian
masyarakat kepada
TNMB. Pos TNMB
akhirnya diamankan pihak
Kepolisian.
 Sementara diamankan
kepolisian, justru lebih
banyak kayu jati yang
keluar dari kawasan. Ini
mamicu para pembalak
liar untuk kembali
beraksi. Aksi ini
digagalkan seiring dengan
patroli rutin gabungan
TNMB dengan Kepolisian.
 Tapi persoalan para
pencuri kayu ini belum
selesai. Salah seorang
mantan aktor luar yang
sudah sadar kemudian
dipertemukan dengan
Kepala TNMB. Mantan
aktor ini menjalin
komunikasi dengan
pembalak liar yang
sebagian besar
dikenalnya. Komunikasi
intensif tersebut
kemudian membuat para

189
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

pembalak liar
berkomitmen untuk tidak
lagi mencuri kayu,
mereka membentuk
kelompok Jawara, bahkan
mereka mendapat izin
dari Balai TNMB untuk
mengambil sisa tebangan
kayu jati.
 Tidak diketahui sejauh
mana kesepakatan-
kesepakatan dibuat
antara Balai TNMB,
mantan aktor luar, dan
para pembalak liar. Motif
dan kesepakatan mereka
belum terungkap
sementara para mantan
pembalak liar sudah
bekerja menanami
kembali kawasan TNMB
yang rusak di Bandealit.
Bahkan mereka membeli
sendiri bibit yang akan
ditanam tersebut.
 Kesepakatan yang
teridentifikasi adalah:
o Balai TNMB
memberikan izin pada
mantan pembalak liar
untuk memungut sisa
tebangan kayu jati
o Balai TNMB
membentuk kelompok
yang terdiri dari para
mantan pembalak liar
ini, diketuai oleh
mantan aktor luar yang
telah sadar tadi.
o Pohon yang ditanam di
lokasi penanaman
kembali berupa kayu
dan buah. Buahnya
nanti akan dipanen
oleh kelompok Jawara
Perambahan  Perambahan hutan jati Balai Direktorat LATIN,
di Eks Perhutani sudah TNMB, Jenderal Anggota
Kecamatan terjadi sejak era Presiden JAKETRESI, KSDAE-KLHK, DPRD Jatim,
Tapurejo Gus Dur, banyak Keltan KAIL, Pemdes Bupati
masyarakat yang tinggal Blok 9A, Andongrejo, Jember
jauh dari wilayah TNMB Kelompok Pemdes
juga ikut ambil bagian 7 Ha. Sanenrejo,
menjadi perambah dan Pemdes
membuka lahan Tampurejo
pertanian.

190
Larik Tenure

 Inisiatif rehabilitasi lahan


sudah dimulai sejak 1993
oleh LATIN dan KAIL,
bersama 114 kelompok
masyarakat di sekitar
Kecamatan Tampurejo.
Tapi inisiatif ini mandeg
sejak 2005.
 Para perambah berhasil
menguasai lahan hingga
2 ribu ha (menurut
pengakuan KAIL). Lahan
yang dirambah ditanami
palawija dan tanaman
bawah berupa empon-
empon (untuk kebutuhan
mambuat jamu). Ada
juga yang menanam PJ,
sejenis tumbuhan
merambat yang
berpolong. Biji PJ
menjadi alternatif
pendapatan yang
menggiurkan.
 Bagi masyarakat yang
merambah, mereka
mengakui kalau lahan
yang mereka kelola
tersebut adalah di bawah
penguasaan Balai TNMB.
Tapi mereka hanya ingin
mengelola lahan untuk
menyambung hidup.
 Inisiatif Kemitraan
Konservasi muncul
belakangan sebagai salah
satu solusi. Beberapa
kelompok kemudian
mendapat PKS dan
melakukan rehabilitasi
ekosistem dengan jangka
waktu perjanjian selama
10 tahun.
TN Sebangau Zonasi TNS  Lokasi konflik berada Balai TNS, Direktorat Dinas PUPR,
dan Wilayah Kelurahan Habaring Masyarakat Jenderal Oknum di
Eks Hurung. Kelurahan ini Kelurahan KSDAE-KLHK, kelompok
Transmigrasi merupakan kelurahan Habaring Bappeda Kota masyarakat
eks Program Hurung, Palangkaraya, adat lokal
Transmigrasi Marang, BPN
Pengembangan Desa Banturung, Palangkaraya
Potensial (Transbangdep) Sei Gohong,
Tumbang Tahai, tahun Tangkiling,
1993. Pada 2002, kedua Kelompok
kelurahan memisahkan BATAMAD,
diri berdasarkan SK Dayak Misik
Gubernur Kalimantan

191
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Tengah Nomor 32 Tahun


2002. Selain
mendapatkan
mendapatkan rumah di
atas lahan pekarangan
(0,25 ha), masyarakat
juga mendapatkan Lahan
Usaha (LU) II seluas 0,75
ha dan LU II seluas 1 ha.
Lahan Usaha I dikelola
oleh masyarakat dengan
komoditi karet, sawit,
dan palawija. Lahan
Usaha II hingga saat ini
hanya sebagian yang
dikelola oleh masyarakat.
Selain dikarenakan biaya
pengolahan yang mahal
di lahan gambut jika
tanpa bakar, juga
terbentur larangan dari
pihak Balai TN Sebangau
karena wilayah ini masih
masuk kedalam kawasan
Taman Nasional. Dahulu
masyarakat Kelurahan
Habaring Hurung banyak
memanfaatkan HHBK
seperti getah kayu gemor
di LU II, namun semenjak
masyarakat memulai
aktivitas membuat arang,
pihak Balai melarang
aktivitas masyarakat di
LU II. Saat ini di
Kelurahan Habaring
Hurung terdapat 2 Rukun
Warga dengan 7 Rukun
Tetangga, yang
menempati wilayah
seluas sekitar 7.344,12
Ha.
 TNS merupakan taman
nasional ke 49 yang
ditunjuk berdasarkan
Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor.
SK.423/ Menhut-II/ 2004
Tanggal 19 Oktober
2004, dan terletak di 3
(tiga) wilayah
Kabupaten/Kota, yaitu:
Kota Palangkaraya,
Kabupaten Katingan, dan
Kabupaten Pulang Pisau

192
Larik Tenure

Provinsi Kalimantan
Tengah.
 Menteri Kehutanan
melalui SK 423/Menhut-
II/2004 menyatakan
bahwa wilayah Habaring
Hurung berada di dalam
kawasan hutan.
Kemudian pada SK
Menteri Kehutanan No.
292/Menhut-II/2011,
menyatakan Kelurahan
Habaring Hurung tidak
masuk di dalam kawasan
TNS. Statusnya berubah
dari kawasan hutan
menjadi Area
Penggunaan Lain (APL).
Namun, berdasarkan SK
Menteri Kehutanan
Nomer SK 529/Menhut-
II/2012 wilayah Habaring
Hurung kembali
dinyatakan berada
didalam kawasan.
Menurut Peta Indikatif
TORA edisi revisi, lokasi
transmigrasi Habaring
Hurung ini sebagian
masuk dalam peta
indikatif, namun hingga
akhir tahun 2011 belum
dilakukan peninjauan
oleh tim Penguasaan
Tanah dalam Kawasan
Hutan (PTKH)
 Di dalam SK Menteri
Kehutanan Nomor SK
529/Menhut-II/2012
area pencadangan
transmigrasi yang masuk
ke dalam Kawasan TNS
seluas ± 766,20 Ha, yakni
berupa fasilitas umum
seperti area pemakaman,
pekarangan dan
pemukiman, serta lahan
usaha I dan lahan usaha
II
 Pihak Kelurahan
berkoordinasi dengan
Pemerintah Kota
Palangkaraya agar
difasilitasi dalam proses
penyelesaian konflik
lahan dengan Balai TNS.

193
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Beberapa kali pertemuan


dilaksanakan melalui
Bappedalitbang dengan
turut menghadirkan
pihak Balai TN Sebangau,
namun belum ada hasil
yang memuaskan para
pihak.
 Pada sisi masyarakat,
mereka hanya ingin
kepastian mendapatkan
dan bisa mengelola lahan
usaha yang sudah sesuai
dengan haknya dengan
ditandai bukti
kepemilikan Sertifikat
Hak Milik dari BPN. Di sisi
Balai TNS juga tetap
dalam posisi
mengamankan kawasan
sesuai dengan luasan
yang tertera pada SK
nomor 529/Menhut-
II/2012. Terdapat area
pencadangan
transmigrasi yang masuk
ke dalam Kawasan TNS
seluas ± 766,20 Ha,
berupa area
pemakaman, pekarangan
dan pemukiman, serta
lahan usaha I dan lahan
usaha II
 Bappeda melalui Dinas
PUPR pada bulan
September 2020 juga
memfasilitasi pertemuan
dengan agenda
pembahasan pelepasan
LU I & II. Pada
kesempatan ini,
diharapkan agar tim dari
Balai TNS dibantu
dengan Balai
Pemantapan Kawasan
Hutan (BPKH) Wilayah
XXI melakukan survey
lapangan untuk
mengambil titik
koordinat kawasan yang
masuk ke Lahan Usaha
warga. Pada kegiatan ini
BTNS dan BPKH juga
diharapkan melibatkan
Bappeda dan perwakilan
masyarakat Habaring

194
Larik Tenure

Hurung agar upaya


verifikasi tidak menjadi
permasalahan di
lapangan. Sampai saat ini
pihak Pemerintah Kota
belum menerima laporan
mengenai pola ruang
atau zonasi dari pihak
BTNS karena masih
dalam proses di
lapangan.
 Selain Balai TNS dengan
masyarakat ex
transmigrasi Kelurahan
Habaring Hurung, konflik
tenurial di SPTN I
Habaring Hurung juga
melibatkan kelompok
yang mengatasnamakan
masyarakat adat Dayak
(BATAMAD) di Kelurahan
Banturung dan Dayak
Misik di kelurahan-
kelurahan lainnya.
Kelompok ini mengklaim
atas sebagian wilayah di
TN Sebangau sebagai
wilayah adatnya.
Meskipun kelompok ini
tidak muncul ke
permukaan, ada potensi
konflik baru di kemudian
hari. Belakangan
diketahui bahwa
kelompok ini digerakkan
oleh oknum-oknum
pejabat atau ex pejabat
yang berkepentingan
atas lahan di wilayah TN
Sebangau atau janji
politik kepada
masyarakat pendukung.
Hampir di seluruh
wilayah SPTN I Habaring
Hurung yang meliputi 5
Kelurahan (Marang,
Habaring Hurung,
Banturung, Sei Gohong
dan Tangkiling) sarat
dengan konflik tenurial
dengan kelompok ini.
TN Bukit TN Bukit  TNBBBR ditetapkan
Baka Bukit Baka Bukit melalui Keputusan
Raya Raya dan Menteri Kehutanan
Konflik di Nomor SK.4189/Menhut-
VII/KUH/2014 tanggal 10

195
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

dalam Juni 2014 dengan luas


kawasan 111.802,20 Ha,
sedangkan kawasan
Taman Nasional Bukit
Baka Bukit Raya di
Provinsi Kalimantan
Tengah dan Kalimantan
Barat dtetapkan dengan
Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor
SK.3951/Menhut-
VII/KUH/2014 tanggal 19
Mei 2014 dengan luas
122.822,10 Ha.
Setidaknya ada 2 sungai
besar yang berhulu di
kawasan ini, yakni Sub
DAS Melawi dan Sub DAS
Katingan. TNBBBR turut
menyumbang
ketersediaan air bagi
kawasan rendah di
sekitarnya
 Di antara potensi
keberagaman yang ada,
kawasan TNBBBR tak
lepas dari ancaman,
seperti perburuan satwa
dan pembalakan kayu.
Balai TNBBBR melakukan
pembinaan desa
penyangga dan patroli
untuk meminimalisir
ancaman tersebut.
 Ancaman lain berupa
aktivitas Penambangan
Emas Tanpa Izin (PETI).
Aktivitas PETI terjadi di
Resor Rantau Malam,
yakni di Desa Rantau
Malam dan Desa Nanga
Jelundung Kecamatan
Serawai, Kabupaten
Sintang. Aktivitas PETI
sudah berlangsung sejak
lama di sepanjang DAS
Serawai dan Melawi.
Dahulu masyarakat
disekitar kedua DAS
tersebut melakukan
penambangan emas
secara tradisional
dengan cara mendulang
 Balai TNBBBR telah
melakukan berbagai
upaya untuk

196
Larik Tenure

meminimalisir ancaman
PETI. Di antaranya
dengan melakukan
operasi penegakan
hukum dan patroli. Balai
TNBBBR telah
membentuk Satuan
Tugas Penanganan PETI,
pembentukan
Masyarakat Mitra Polhut
(MMP), patroli dan
penjagaan rutin, operasi
gabungan, identifikasi
luas kerusakan PETI,
serta penangkapan
pelaku PETI. Dalam
upaya penegakan
hukum, Tim Patroli
langsung memusnahkan
setiap barang bukti yang
ditemukan di dalam
kawasan dengan terlebih
dahulu melengkapi berita
acara. Barang bukti
tersebut biasanya berupa
pondok dan mesin
sebagai alat menambang
emas.
 Berdasarkan hasil
observasi, wawancara
serta diskusi kelompok
terfokus yang
dilaksanakan Lembaga
Alam Tropika Indonesia
(LATIN), tidak ditemukan
adanya klaim lahan pada
wilayah PETI yang berada
di dalam kawasan Taman
Nasional. LATIN telah
melakukan rangkaian
kegiatan di wilayah
tersebut sejak Agustus
2020, dan tidak
ditemukan adanya klaim
tenurial dari para
penambang.
 Di ranah lain, tinjauan
lapangan yang dilakukan
USAID BIJAK juga tidak
menemukan adanya
konflik tenurial di
kawasan taman nasional
ini. sebagai contoh,
wilayah Desa Rantau
Malam merupakan
wilayah paling hulu

197
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

sungai Serawai yang


ditempati oleh orang
Dayak Uud Danum.
Mereka mengakui
keberadaan kawasan
taman nasional dan tidak
berniat untuk menguasai
lahan-lahan yang ada di
dalam kawasan.
 Masyarakat di sekitar
kawasan TNBBBR
melakukan perladangan
di luar kawasan,
termasuk pada kawasan
dengan status Areal
Penggunaan Lain (APL)
yang dikuasai
Pemerintah Daerah
Kabupaten Sintang, dan
Hutan Produksi (HP) yang
kewenangan
pengelolaannya berada
di tangan Pemerintah
Pusat. Bagi Balai
TNBBBR, kondisi
demikian tetap dianggap
sebagai ancaman.
Tingginya kebutuhan
masyarakat akan hutan
di wilayah Rantau Malam
mengancam keberadaan
habitat asli di dalam
taman. Hal inilah yang
kemudian dijawab
dengan program
pemberdayaan
masyarakat.
TN Lore Zonasi TNLL  Masyarakat hukum adat Masyarakat Direktorat Pemerintah
Lindu dan dan wilayah adat Ngata Adat Ngata Jenderal daerah dan
Peruntukan Lindu meliputi Lindu, KSDAE-KLHK, DPRD SIGI,
Lahan oleh Kecamatan Lindu, terdiri Masyarakat BRWA, Pemerintah
Masyarakat dari lima desa yaitu Desa Lokal desa AMAN, JKPP, Provinsi dan
Adat. Puroo, Langko, Tomado, Olu dan BPSKL DPRD Sulteng
Contoh Anca dan Olu. Lima desa Balai TNLL Sulawesi, FP3
kasus Ngata tersebut berada di
Lindu sekitaran Danau Lindu
dan berbatasan langsung
dengan kawasan TNLL.
Dari ke lima desa
tersebut empat desa
merupakan desa asli
masyarakat hukum adat
Lindu, satu desa lainnya
yaitu desa Olu,
masyarakatnya
merupakan masyarakat

198
Larik Tenure

pendatang dari wilayah


selatan (Sulawesi
selatan) dan wilayahnya
dahulu merupakan
wilayah adat desa
Tomado.
 Konflik tenurial yang
terjadi di daerah ini
adalah pertentangan
pengelolaan secara adat
khususnya pada wilayah
yang menurut hukum
adat merupakan pangale
yaitu bekas kebun-kebun
yang saat ini belum perlu
dikelola yang berada
dalam kawasan TNLL
dengan pengelolaan
kawasan konservasi
menurut hukum negara.
 Selain itu konflik tenurial
secara horizontal
walaupun dalam tingkat
eskalasi yang rendah juga
terjadi antara
masyarakat asli
(masyarakat hukum adat
lindu) khususnya
masyarakat desa
Tomado dengan
masyarakat pendatang di
desa Olo. Hal ini di
sebabkan oleh semakin
sempitnya wilayah-
wilayah yang dapat
dikelola oleh masyarakat
Desa Tomado di sisi
barat Danau Lindu dan
habisnya wilayah adat di
sisi timur Danau Lindu
dikelola oleh masyarakat
Desa Olu.
Zonasi TNLL  Di bagian selatan TNLL, di Masyarakat Direktorat Pemerintah
dan kecamatan Kulawi Adat Ngata Jenderal daerah dan
Peruntukan Selatan juga terjadi Toro dan KSDAE-KLHK, DPRD SIGI,
Lahan oleh konflik tenurial yaitu TNLL BRWA, Pemerintah
Masyarakat pertentangan antara AMAN, JKPP, Provinsi dan
Adat Ngata klaim pengelolaan BPSKL DPRD Sulteng
Toro berdasarkan hukum adat Sulawesi, FP3
dengan pengelolaan
menurut hukum negara
pada kawasan
konservasi. Desa Toro
merupakan desa yang
masyarakatnya
merupakan komunitas

199
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

masyarakat hukum adat


Ngata Toro, yang secara
turun temurun memiliki
kearifan lokal dalam
pengelolaan,
pemanfaatan dan
pelestarian wilayah adat
merasa terbatasi dengan
keberadaan pengelolaan
kawasan konservasi oleh
Balai TNLL.
 Persoalan mendasar
adalah kurangnya
konsultasi dan diskusi
tentang sinergi
pengelolaan menurut
adat dengan pengelolaan
yang diperbolehkan
menurut hukum negara
di kawasan TNLL.
 Pembagian wilayah adat
berdasarkan hukum adat
pada objek-objek
tertentu sebenarnya
tidak terdapat
permasalahan. Pada
huaka Wana dan Wana
Ngkiki contohnya,
menurut hukum adat
merupakan kawasan
yang dilindungi jika
memang berada dalam
zona rimba dan zona inti
TNLL sebanarnya sudah
clear dan tidak jadi soal.
 Konflik terjadi pada
huaka-huaka lainnya
seperti Oma, pangale
dan lain-lain baik yang
berupa kebun lama
maupun kebun yang ada
atau daerah yang
memang menurut
hukum adat boleh dibuka
dan dikelola namun
karena berada dalam
kawasan TNLL sehingga
ada pembatasan bentuk
pengelolaan dan
pemanfaatannya
Desa-desa  Pada bagian utara dan Masyarakat Direktorat Kecamatan
pemukiman timur laut TNLL, salah Desa Jenderal Palolo,
kembali di satu konflik tenurial yang Kamarora B, KSDAE-KLHK, Pemerintah
bagian timur terjadi yaitu konflik di Rahmat, BPSKL Daerah dan
laut TNLL Dongi-Dongi. Dongi- Kadidia, dan Sulawesi, DPRD Sigi,
Dongi merupakan Kamarora A FP3, LPKD, Pemerintah

200
Larik Tenure

sebuah wilayah yang dan Balai Kelompok provinsi dan


terletak di timur laut TNLL Anggrek Vuri, DPRD Sulteng
TNLL. Awal mulanya Tim Reforma
konflik terjadi pada Agraria
tahun 2001, dimana kabupaten
masyarakat dari empat SIGI
desa desa yakni
Kamarora B, Rahmat,
Kadidia, dan Kamarora A
mulai masuk kedalam
kawasan TNLL (Dongi-
Dongi). Masyarakat ke
empat desa tersebut
merupakan masyarakat
Suku Kaili Daa
Pegunungan Kamalisi
dan Orang dari dataran
tinggi Kulawi yang
direlokasi oleh
pemerintah melalui
Departemen Sosial pada
tahun 1970-an.
 Walaupun pada tahun
2014 Dongi-Dongi telah
di lepasakan dari TNLL
menjadi APL, namun
tekanan masyarakat dari
ke empat desa tersebut
di bagian timur laut TNLL
masih terus terjadi
sampai dengan saat ini.
 Sementara itu sebagian
besar desa-desa yang
berbatasan dengan TNLL
mengganggap bahwa
lepasnya Dongi-Dongi
dari TNLL merupakan
sebuah keberhasilan
masyarakat Dongi-Dongi
dan menjadi motivasi
bagi mereka untuk juga
memperoleh hak atas
tanahnya yang
semestinya juga di
berikan kepada
masyarakat-masyarakat
desa lain yang
berbatasan dengan TNLL,
yang juga masuk dan
mengelola tanah di
dalam kawasan TNLL.
TN Bukit Komunitas  TNBD terbentuk Komunitas Direktorat Dinas Sosial,
Duabelas SAD/Orang berdasarkan Surat SAD/Orang Jenderal Pemerintah
Rimba, Keputusan Mentri Rimba, KSDAE-KLHK, daerah, dan
Masyarakat Kehutanan dan Masyarakat WARSI, DPRD
desa Perkebunan Nomor: desa Kelompok kabupaten

201
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

kecamatan 285/Kpts-II/2000 Tanggal kecamatan Makekal Sarolangun,


Air Hitam 23 Agustus 2000. Ada Air Hitam Bersatu, Merangin dan
yang menarik dengan dan TNBD Kementerian Batanghari
TNBD ini, berbeda Sosial. Dinas Sosial,
dengan penetapan Kecamatan Air Pemerintah
Taman nasional lainnya Hitam Provinsi dan
di Indonesia, TNBD di DPRD Jambi
mandatkan sebagai
ruang penghidupan Suku
Anak Dalam (SAD)/Orang
Rimba yang hidup di
dalamnya.
 Secara normatif dengan
mandat yang seperti itu
sudah seharusnya konflik
tenurial antara SAD
dengan Pemangku
kawasan (Balai NTBD)
tidak terjadi. Namun
pada kenyataannya
konflik itu tetap terjadi
hal ini disebabkan oleh
adanya gap antara
pengelolaan wilayah
yang dilakukan oleh SAD
dengan pengelolaan
menurut hukum negara
untuk kawasan
konservasi.
 Kebudayaan SAD yang
dalam sistem mata
pencahariannya pada
awalnya masih pada
tahap berburu dan
meramu dengan adanya
interaksi dengan desa-
desa sekitar yang telah
memiliki kebudayaan
dan sistem mata
pencaharian yang sudah
berkembang membuat
sebagian besar SAD
dalam kawasan TNBD
mulai merubah sistem
mata pencahariannya
menjadi ladang
menetap.
 Sebagian besar SAD
masih memiliki
kebiasaan berburu dan
meramu dimana
kebiasaan ini
menyebabkan SAD selalu
merasa bahwa alam akan
selalu ada untuk
memenuhi kebutuhan

202
Larik Tenure

hidup mereka.
Dampaknya ketika SAD
membangun kebun
seperti masyarakat desa,
mereka tidak sabar
untuk segera
mendapatkan hasil dari
kebun tersebut, sehingga
sebelum kebun tersebut
dapat memberikan hasil,
maka dapat dengan
mudahnya berpindah
tangan ke masyarakat
desa di sekitar kawasan
TNBD, melalui proses
jual beli tak resmi atau
bagi hasil.
 Sebagian besar kebun
yang dibangun dalam
kawasan TNBD oleh SAD
adalah kebun kelapa
sawit. Padahal menurut
pengaturan negara untuk
kawasan hutan termasuk
kawasan hutan yang
memiliki fungsi
konservasi dilarang
adanya tanaman kelapa
sawit.
 Selain itu, dalam
kawasan yang ditetapkan
TNBD pada tahun 2000
juga terdapat kebun-
kebun tua masyarakat
desa sekitar. Secara
kasat mata yang
membedakan wilayah
SAD dengan wilayah
kebun masyarakat desa
adalah di kebun tua milik
masyarakat terdapat
sekelompok pohon
durian dan pohon
langsat.
 Pada kebun-kebun tua
masyarakat desa inilah
objek konflik tenurial
lainnya terjadi di TNBD.
TN  Pada tanggal 18 Oktober BTN Direktorat
Bantimurung 2004, Menteri Bantimurug Jenderal
Bulusaraung Kehutanan menerbitkan Bulusaraun, KSDAE-KLHK,
Keputusan Nomor Masyarakat BPN
SK.398/Menhut-II/2004 Kampung Kabupaten
tentang Perubahan Manyampa Pangkep
Fungsi Kawasan Hutan
pada Kelompok Hutan

203
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Bantimurung-
Bulusaraung seluas ±
43.750 Ha terdiri dari
Cagar Alam seluas ±
10.282,65 Ha, Taman
Wisata Alam seluas ±
1.624,25 Ha, Hutan
Lindung seluas ±
21.343,10 Ha, Hutan
Produksi Terbatas seluas
± 145 Ha, dan Hutan
Produksi Tetap seluas ±
10.335 Ha yang terletak
di Kabupaten Maros dan
Pangkep, Provinsi
Sulawesi Selatan menjadi
Taman Nasional
Bantimurung
Bulusaraung, sedangkan
penetapan kawasan
ditetapkan pada tanggal
28 Oktober 2014 melalui
Keputusan Menteri
Kehutanan Republik
Indonesia Nomor:
SK.6577/Menhut-
VII/KUH/2014 tentang
Penetapan Kawasan
Hutan Pada Kelompok
Hutan Tellu Limpoe
Register 1, Kelompok
Hutan Tellu Limpoe
Register 2, Kelompok
Hutan Bulusaraung
Register 4 dan Kelompok
Hutan Bulusaraung
register 5 Seluas
28.079,79 Ha di
Kabupaten Pangkajene
dan Kepulauan, Provinsi
Sulawesi Selatan.
 TNBB memiliki potensi
sumber daya alam hayati
dengan keanekaragaman
yang tinggi serta
keunikan dan kekhasan
gejala alam dengan
fenomena alam yang
indah. Bentang alam
yang unik tersebut dapat
dikembangkan sebagai
laboratorium alam untuk
pengembangan ilmu
pengetahuan dan
pendidikan konservasi
alam serta kepentingan

204
Larik Tenure

ekowisata. Ekosistem
karst juga merupakan
daerah tangkapan air
(catchment area) bagi
kawasan di bawahnya
dan beberapa sungai
penting di Provinsi
Sulawesi Selatan.
 Lokasi konflik tenurial
tepatnya berada di
dalam Kampung
Manyampa Desa
Bantimurung, Kecamatan
Tondong Tallasa,
Kabupaten Pangkep di
dalam kawasan hutan
yang berada di wilayah
Resor Tondong Tallasa,
SPTN Wilayah I Balocci,
TNBB.
 Konflik tenurial yang
terjadi disebabkan
karena perbedaan
pandangan antara pihak
BTNBB dan Masyarakat,
aparat BTNBB yang
mendapat mandat oleh
kementrian untuk
mengelola kawasan.
sebaliknya posisi
masyarakat sebagai
pemanfaat lahan dan
hutan melakukan
kegiatan berdasarkan
kebiasaan yang
berlangsung secara
turun-temurun serta
pengetahuan masyarakat
terkait kebijakan hutan
sangat terbatas,
Masyarakat merasa
keberadaan TNBB
dengan segala aturannya
menghalangi mereka
dalam memenuhi
kebutuhannya
(kebutuhan papan/kayu)
dan peningkatan
pendapatan, baik yang
bersumber dari kawasan
hutan maupun pada
lahan milik. Menurut
keterangan masyarakat,
bahwa mereka tidak
mengetahui batas

205
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

kawasan hutan yang


jelas.
 Penyebab lain pada
konflik yaitu masyarakat
mengklaim bahwa
pemukiman dan
persawahan yang dimiliki
merupakan lahan sah
miliknya dengan bukti
SPPT yang dimiliki karena
rutin membayar pajak di
pertanahan namun
dalam konteks Kawasan
Konservasi alas hukum
SPPT tersebut tidak
dibenarkan atau sangat
lemah. Luasan areal yang
diklaim oleh masyarakat
seluas 94,63 Ha dengan
objek rumah sebanyak
27 rumah layak huni,
areal persawahan dan
perkebunan. Temuan
alas Hak lain yang
terdapat di lokasi adalah
ditemukannya sertifikat
dengan kepemilikan 3
orang yang memiliki
sertifikat untuk rumah
yang di terbitkan oleh
BPN Kab. Pangkep Pada
tahun 2016 dengan
kisaran luasan 1500-1900
M2 . Sertifikat ini secara
administrasi yang tertera
hanya diperuntukan
untuk sawah dan kebun,
temuan lain bukan hanya
pemukiman dan
persawahan yang berada
dalam kawasan namun
ditemukannya fasilitas
masyarakat berupa
POSYANDU dan PAUD.
 Berdasarkan kepemilikan
SPPT tersebut telah
terjadi praktik jual-beli
lahan melalui SPPT
dengan menukarkannya
dengan uang kepada
penadah oleh oknum
masyarakat yang
merupakan Eks Pejabat
PEMKAB Kabupaten
Pangkep, hal itu
dilakukan ketika

206
Larik Tenure

masyarakat
membutuhkan dana
cepat.
 Berdasarkan klaim
tersebut, masyarakat
berkegiatan atau hidup
sehari-hari melalui hasil
persawahan dan
perkebunan, serta
melalukan penebangan
dan perambahan di
dalam areal kawasan
hutan. Hasil penebangan
tersebut di pergunakan
untuk membangun
rumah bahkan beberapa
masyarakat menjual kayu
tersebut.
SM Kateri Perambahan  Perambahan kawasan BBKSDA Masyarakat Direktorat
di Kawasan SM Kateri berlangsung NTT, warga Lokal, Pemda Jenderal
Suaka sejak tahun 1999, pasca masyarakat Malaka, KSDAE-KLHK,
Margasatwa peristiwa referendum eks Timor DPRD CIDEC
Kateri Timor-Timur (Timor Timur, Malaka, Internasional,
Timur). Akibatnya, ribuan warga lokal, Kabupaten Circle, Gereja
masyarakat Timor Timur Belu dan Paroki di NTT
pro-integrasi mengungsi Malaka, Pemda LATIN,
ke Indonesia khususnya Gereja, DPRD TNI, Polri,
di wilayah perbatasan Malaka Orang Muda
provinsi NTT, yakni Malaka
Kabupaten Belu dan Pencinta
sebagian besar wilayah Lingkungan
Kabupaten Malaka hari
ini. Di Kabupaten
Malaka, awalnya mereka
ditempatkan di wilayah
Daerah Aliran Sungai
(DAS) Benenain, namun
karena banjir bandang
tahun 2000, maka oleh
pemerintah, mereka
direlokasi ke tempat
aman, yakni sekitar
wilayah kawasan SM
Kateri. Diperikirakan
jumlah warga eks Timor
Timur yang bemukim di
Kabupaten Belu ditahun
2008 mencapai 12.792
KK (60.049 jiwa) dengan
jumlah 1.311 KK
(10,25%) jiwa bermukim
di sekitar SM Kateri.
Jumlah perambah
mencapai 1.560 orang
dengan 295 buah
pondok. Hingga Oktober

207
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

2002 kawasan SM Kateri


yang telah dirambah
mencapai luas 1.147,84
hektare. Kemudian
ditahun 2009, luas lahan
perambahan
diperkirakan mencapai
2.426 Ha (60%) dari total
luas kawasan SM Kateri
4.699,32 Ha.
 Umumnya mereka
merambah lahan SM
Kateri untuk aktifitas
perladangan dengan
tanaman palawija seperti
jagung dan kacang-
kacangan guna
memperoleh pangan.
Kegiatan penggarapan
telah dilakukan sejak
saat itu hingga saat ini.
 Warga lokal yang sedikit
jumlahnya kemudian ikut
berkebun/menggarap di
lokasi kawasan SM
Kateri. Sebagian besar
ikut menggarap lahan
kawasan Kateri karena
hasil take-over lahan
yang ditinggal pergi oleh
warga Timor Timur yang
memilih kembali ke
tanah asalnya di Timor
Timur. Take over lahan
garapan didasari
kompensasi berupa uang
pengganti kecapaian
kepada pihak pertama
(warga eks Timor Timur
perambah).
 Jadi konflik tenurial SM
Kateri sudah berlangsung
21 tahun. Sejauh itu pula
ada sejumlah kebijakan
yang ditempuh
pemerintah, terutama
Kementerian LHK melalui
Ditjen KSDAE dan
BBKSDA NTT bersama
Pemda serta semua
mitra atau stakeholder
terkait. Mulai dari upaya
persuasif hingga
penegakan hukum
(gakkum) terhadap para
perambah. Namun,

208
Larik Tenure

kemudian tidak berjalan


lancar karena beberapa
faktor yang diantaranya
ialah jumlah petugas
lapangan (hanya dua
orang) tidak sebanding
dengan jumlah
pengungsi waktu itu
untuk pengawasan,
ancaman keamanan
petugas, jarak jauh
Malaka-Belu untuk
proses hukum
perambah, dan
pertimbangan
kemanusiaan.
 Pada 2001 ada upaya
rehabilitasi yang
dikoordinir oleh
Pemprov NTT melalui
Dinas Kehutanan namun
tidak ada respon yang
jelas terkait ide tersebut.
 Pada 2003, inisiatif
datang dari pihak Gereja
Paroki di Kabupaten TTU
untuk rehabilitasi SM
Kateri melalui aktifitas
penanaman pohon,
seperti mahoni, johar,
nangka, mangga, bambu,
dll.
 Pada 2005, juga ada
kegiatan rehabilitasi SM
Kateri oleh sejumlah LSM
seperti Lentera CIDEC
dan Care International
Indonesia (CII). Kegaitan
tersebut merupakan
kerjasama rehabilitasi
kerusakan serta
pengembangan kawasan
dan mayarakat di sekitar
kawasan hutan
konservasi di Pulau
Timor dan sekitarnya.
Kegiatan tersebut
dikemas dalam bentuk
program padat karya
pangan (food for work)
bekerjasama dengan
WFP. Masyarakat
perambah dirangkul
untuk tidak lagi
berladang jagung di
dalam kawasan dengan

209
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

cara dilibatkan dalam


kegiatan rehabilitasi dan
diberikan insentif berupa
beras. Tanaman yang
dipergunakan dalam
kegiatan rehailitasi
adalah jenis asli
setempat. Namun
kegiatan ini belum
menunjukan hasil yang
memuaskan mengingat
setelah berakhirnya
program rehabiitasi yang
berjalan selama 6 bulan,
masyarakat eks
pengungsi tetap belum
memiliki alternatif usaha
sehingga mereka tetap
melakukan perladangan
di dalam kawasan.
 Pada 2007, ada lanjutan
kegiatan rehabilitasi 100
ha kawasan dan 50 ha di
antaranya dilaksanakan
kegiatan restorasi
ekosistem. Lalu kegiatan
sosialisasi kelestarian
sumber daya alam,
khususnya kawasan SM
Kateri.
 Sebelumnya, ditahun
2002 dan 2003, telah
dilaksanakan upaya
penegakan hukum
terhadap para
perambah, yang mana
32 orang di antaranya
diproses hukum. Namun
langkah Gakkum
kemudian tidak
berjalanan lancar karena
peritmbangan
kemanusiaan.
 Selanjutnya, sejak tahun
2013 hingga 2014,
sempat ada upaya
pemerintah untuk
merelokasi warga eks
Timor Timur di kawasan
SM Kateri ke lahan Hutan
Bifemnasi di Kabupaten
TTU, namun ide ini
mendapat reaksi
penolakan keras dari
sejumlah besar elemen
masyarakat di TTU,

210
Larik Tenure

bahkan mayoritas
masyarakat eks Timor
Timur sendiri juga
menolak.
 Lalu ada kebijakan
repatriasi (pemulangan)
warga eks Timor Timur
ke tanah asal di Timor
Leste, namun sebagian
besar masyarakat eks
Timor Timur memilih
untuk tetap berada di
Indonesia, sebagai warga
negara Indonesia. Lalu
ada kebijakan
transmigrasi warga eks
Timor Timur ke Pulau-
Pulau lain, namun
kebijakan ini tidak
mendapat respon positif
masyarakat eks Timor
Timur sendiri.
 Terakhir, adalah
kemitraan konservasi
berdasarkan Perdirjen
Nomor 6 Tahun 2018
tentang Kemitraan
Konservasi yang
melibatkan stakeholder
terkait yaitu kelompok
masarakat penggarap
(Hamoris Alasa Wemer,
Wehali Haburas Kateri,
Orang Muda Malaka
Pencinta Lingkungan,
TNI-Polri, Pemuda
Malaka Pencinta
Lingkungan, Tokoh
Agama, Tokoh Adat,
LATIN.

Sebelum menilik lebih dalam, ada baiknya jika catatan ini kembali merujuk
pada pengertian konflik tenurial. Berdasarkan P.84/2015, Konflik Tenurial
Hutan adalah berbagai bentuk perselisihan atau pertentangan klaim
penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan penggunaan kawasan hutan.

Sejauh ini, belum dijelaskan kriteria klaim penguasaan yang dimaksud


dalam kebijakan ini. Klaim penguasaan oleh masyarakat adat misalnya, atau
klaim pengelolaan yang pada mulanya dilakukan oleh para perambah, atau

211
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

klaim masyarakat atas lahan yang dulunya adalah bekas wilayah yang open
access, atau bahkan pula klaim yang dilakukan pihak lain selain masyarakat
setempat.

Pada 2017, Presiden menandatangani Peraturan Presiden nomor 88.


Peraturan ini memuat tentang pengelesaian penguasaan tanah dalam
kawasan hutan. Di dalamnya terdapat 9 bab dengan 35 pasal. Bentuk
penguasaan lahan dikategorikan ke dalam bentuk: pemukiman, fasilitasi
umum dan/atau fasilitas sosial, lahan garapan, dan/atau hutan yang
dikelola masyarakat hukum adat.

Penguasaan tanah dalam kawasan hutan terdiri atas bidang tanah yang
telah dikuasai dan dimanfaatkan dan/atau telah diberikan hak di atasnya
sebelum bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan; atau
bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah
tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan (Perpres 88, 2017). Perhatikan
kata sebelum dan sesudah. Artinya, penguasaan tanah di dalam kawasan
hutan tidak harus menunggu proses penunjukan.

Pasal 11 ayat 1 poin c menyebut, dalam hal bidang tanah tersebut


digunakan untuk lahan garapan dan telah dikuasai lebih dari 20 (dua puluh)
tahun secara berturut-turut dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah
dari dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan.
Dilanjutkan dengan poin d menyebut, dalam hal bidang tanah tersebut
digunakan untuk lahan garapan dan telah dikuasai kurang dari 20 (dua
puluh) tahun secara berturut-turut dilakukan dengan memberikan akses
pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial (Perpres 88, 2017).
Artinya, kalau klaim penguasaan berada pada posisi lebih dari 20 tahun,
maka penyelesaiannya diarahkan untuk melakukan perubahan batas
kawasan hutan. Jika kurang dari itu, maka solusinya adalah perhutanan
sosial.

Penguasaan tanah, menurut Perpres 88/2017 harus memenuhi kriteria; a)


bidang tanah telah dikuasai oleh Pihak secara fisik dengan itikad baik dan
secara terbuka; b) bidang tanah tidak diganggu gugat; dan c) bidang tanah
diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau kepala
desa/kelurahan yang bersangkutan serta diperkuat oleh kesaksian orang
yang dapat dipercaya.

212
Larik Tenure

Pada poin ini, perlu dijelaskan bahwa perpres 88/2017 yang diurai di atas
merujuk pada pengusaan lahan di kawasan hutan, terutama di kawasan
produksi dan dan kawasan lindung. Namun pola ini menarik jika
disandingkan dengan tipologi konflik tenurial di kawasan konservasi,
terutama di Taman Nasional. Sepanjang catatan ini, tipologi konflik tenurial
di kawasan Taman Nasional tentu dapat dikategorikan berbasis eskalasi,
intensitas, aktor, dan jenis klaim penguasaan.

Terkait berbagai kategori ini, banyak ahli sudah dan sedang melakukan
kajian. Catatan ini tidak akan membahas lebih dalam. Tapi setidaknya,
catatan ini mengantarkan pemahaman bahwa penilaian konflik mestinya
ditentukan oleh faktor-faktor tersebut.

Kendati demikian, pada 2016 sesungguhnya Perdirjen Perhutanan Sosial


dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) nomor P.6/PSKL/SET/PSL.1/5/2016
tentang Pedoman Asesmen Konflik Tenurial Kawasan Hutan telah menukil
sejarah konflik tenurial yang di dalamnya memuat tentang eskalasi konflik.

Sejarah konflik dilihat berdasarkan dimensi waktu, yaitu saat sengketa atau
konflik berawal dan terus mengalami eskalasi dan dimensi ruang konflik
terkait langsung dengan proses eskalasi konflik. pemetaan objek konflik
berkaitan dengan sengketa objek yang diklaim, ketegangan dan mobilisasi
dari salah satu pihak atau dua pihak yang berkonflik; krisis akibat mobilisasi
yang menimbulkan kerugian materi, fisik atau moril di antara pihak yang
berkonflik; kekerasan terbatas dan kekerasan masal yang menyebabkan
kehilangan nyawa manusia atau satwa atau kerusakan
lingkungan/ekosistem (P.6, 2016).

Merujuk pada catatan sebelumnya bahwa eskalasi konflik meningkat ketika


ketegangan antar pihak juga meningkat, demikian sebaliknya. Sedang
intensitas konflik ditentukan oleh seberapa sering ketegangan terjadi.

Sesuai dengan keadaan ketika pengambilan data dilakukan (periode


Desember 2020 – Maret 2021 dengan plus minus selama 1 bulan), maka
catatan ini akan mengkategorikan eskalasi konflik pada level rendah, sedang
dan tinggi. Rendah, artinya para pihak tidak dalam suasana tegang. Sedang,
artinya ketegangan terjadi tapi tidak sering, atau saat ini sedang dalam
proses penyelesaian. Tinggi, artinya pada masa tersebut ketegangan antara
pihak-pihak sedang berlangsung.

213
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Demikian pula untuk intensitas, dapat dikategorikan pada level lemah,


wajar, dan kuat. Lemah, artinya intensitas konflik pernah terjadi pada masa
lalu sebelum pendataan dilakukan. Wajar, artinya intensitas konflik masih
terjadi selama periode yang berdekatan dengan waktu pendataan. Dan
kuat, artinya intensitas konflik sedang terjadi pada periode pengambilan
data dilakukan.

Merujuk pada keterangan tersebut, tabel dibawah ini menjelaskan tipologi


konflik tenurial di masing-masing kawasan konservasi yang diurai
sebelumnya.

Tabel 4. Tipologi Konflik Tenurial


Tipe Konflik Tenurial berdasarkan Temuan Lapangan (LATIN)
Kawasan Tipe Konflik
Konservasi dan Tenurial
Objek Konflik berdasarkan Aktor Jenis Klaim Eskalasi Intensitas
Tenurial Safitri et al
(2011)

TN Gunung Rinjani Gabungan Tipe  KLHK vs  Klaim hak pengelolaan Rendah Wajar
– Otak Kokok Joben 2 (jika swasta Pemkab kawasan wisata
dapat pula  KHLK vs  Klaim lahan yang
diartikan ATR/BPN bersertifikat di
sebagai  Pemkab vs kawasan TN
masyarakat) Swasta di
dan tipe 8 kawasan TN
 Swasta vs
swasta
TN Gunung Rinjani Tipe 1 (dengan  KLHK vs  Klaim (seolah-olah) Rendah Lemah
– Hutan Pesugulan asumsi bahwa masyarakat tanah adat di kawasan
Pejuang Tanah lokal (yang TN
Adat Jurang mengaku
Koak adalah sebagai
masyarakat masyarakat
adat yang adat)
sesungguhnya)
TN Meru Betiri –  KLHK vs  Masyarakat punya hak Sedang Wajar
Pembalakan liar masyarakat memanfaatkan hasil
lokal (terdiri hutan kayu, termasuk
dari pelaku yang berasal dari
atau operator Taman Nasional
pembalakan
liar,
penyandang
dana, dan
pembeli)
 KLHK vs
Oknum
Kepolisian
 KLHK vs
Oknum eks.
Taman
Nasional
TN Meru Betiri – Tipe 4  KLHK vs  Masyarakat sudah Sedang Lemah
Perambahan di masyarakat terlanjur membuka
Kec. Tampurejo (perambah) hutan untuk lahan
pertanian palawija.

214
Larik Tenure

 Masyarakat vs
masyarakat
(lahan yang
dirambah
diturunkan
kepada
keluarga, dan
jual-beli)
TN Bukit Baka Bukit  KLHK vs PETI  Tinggi Kuat
Raya – PETI di  Pemda vs
dalam kawasan PETI
TN Lore Lindu – Tipe 8  KLHK vs  Klaim Pengelolaan Sedang Wajar
Ngata Lindu (gabungan Masyarakat (Kewenangan untuk
Tipe 1 dan adat Ngata mengatur dan
sebagian Tipe Lindu. mengurus kawasan)
3)  Masyarakat  Klaim Akses dan
adat Ngata Pakai
Lindu vs
Masyarakat
pendatang
Desa Olu
 Masyarakat
Pendatang
Desa Olu vs
KLHK.
TN Lore Lindu – Tipe 1  KLHK vs  Klain Pengelolaan Sedang Wajar
Ngata Toro Masyarakat (Kewenangan untuk
Adat mengatur dan
mengurus kawasan)
TN Lore Lindu – Tipe 5 (dalam  KLHK vs  Klaim Akses dan Sedang Wajar
desa-desa artian Masyarakat Pakai Kawasan
pemukiman masyarakat Desa
kembali di bagian desa yang
timur laut TNLL memasuki
kawasan
hutan)
TN Sebangau – Tipe 3  KLHK vs  Klaim atas lahan usaha Sedang Wajar
SPTN I Habaring Masyarakat eks transmigrasi yang
Hurung Desa masuk ke dalam
Habaring kawasan
Hurung  Klaim atas wilayah
 KLHK vs adat yang masuk ke
Kelompok dalam kawasan hutan
masyarakat  Klaim batas wilayah
adat administrasi Kota
 Pemerintah Palangkaraya dengan
Daerah vs TN
KLHKBPN vs  Klaim lahan usaha
KLHK masyarakat yang telah
bersertifikat (masuk ke
dalam kawasan hutan)
TN Bukit Duabelas - Tipe 8  KLHK vs SAD  Klaim Pengelolaan Sedang Wajar
Komunitas (Gabungan  KLHK vs  Klaim Akses dan
SAD/Orang Rimba, Tipe 1 dan Masyarakat Pakai kawasan
Masyarakat Desa di sebagian tipe 3 desa
Kecamatan Air
Hitam
TN. Bantimurung Tipe 6  KLHK vs  Klaim tanah dengan Sedang Wajar
Bulusaraung- Masyararakat SPPT
desa  Klaim tanah dengan
 KLHK vs Calo sertifikat
tanah (Elit  Klaim
Politik)
 KLHK vs BPN

215
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

SM Tipe 4  KLHK/BBKSDA  Klaim akses Rendah Lemah


Kateri/Perambahan NTT vs pengolahan lahan
hutan perambah kawasan SM Kateri
(masyarakat untuk
eks Timor berkebun/berladang
Timur dan guna mendapat
warga lokal) pangan.

Sebagai contoh, persoalan tenurial SM Kateri tergolong dalam kategori 4


sesuai tipologi konflik tenurial yang dijelaskan Safitri et al (2011), karena
merupakan persoalan antara masyarakat Indonesia eks Timor Timur yang
merambah hutan kawasan konservasi SM Kateri dengan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atau BBKSDA NTT selaku pengelola
resmi kawasan tersebut. Warga eks Timor Timur menuntut hak akses
pengelohan lahan di kawasan SM Kateri untuk dapat berkebun dan
memperoleh pangan bagi keluarga. Sementara BBKSDA NTT menegaskan
status SM Kateri sebagai kawasan konservasi yang dijaga dan dilindungi
negara.

Dari kacamata warga masyarakat eks Timor Timur, kawasan konservasi SM


Kateri merupakan obyek satu-satunya, yang dapat menjawab kebutuhan
mereka akan akses lahan pertanian. Mereka butuh tanah atau lahan di
daerah baru.

Awal perambaan dan pengelolaan kawasan konservasi SM Kateri mendapat


respon tegas pemerintah, dalam hal ini BBKSDA NTT sebagai pengelola.
Bahkan, sudah pernah pula dilakukan tindakan penegakan hukum
(gakkum). Keberadaan dan perambahan terhadap SM Kateri saat itu
disinyalir hanya bersifat sementara sambil menunggu kebijakan dari
pemerintah Indonesia terkait lahan alternatif bagi warga eks Timor Timur
dengan status hak kepemilikan yang jelas. Namun, karena sejak tahun 2000
hingga hari ini, pemerintah belum menemukan solusi tersebut, maka warga
eks Timor Timur masih tetap berada di dalam kawasan Kateri dan mengolah
sebagian luas kawasan SM Kateri. Padahal, bagi warga eks Timor Timur,
dengan hak akses tanah, mereka dapat bertani dan memenuhi kebutuhan
hidup setiap hari.

Dalam perkembangannya, perambahan tidak hanya dilakukan warga eks


Timor Timur, tetapi juga warga lokal yang tinggal di sekitar SM Kateri,
walaupun masih dalam skala kecil. Dikatakan skala kecil, karena keterlibatan
mereka dalam perambahan SM Kateri umumnya karena hasil take-over
216
Larik Tenure

lahan yang ditinggal pergi warga eks Timor Timur yang memilih pulang ke
Timor Leste.

Berdasarkan hasil wawancara tim LATIN terhadap sejumlah warga eks Timor
Timur di Desa Wehali dan Desa Kamanasa pada Maret 2021, lahan yang
diambil-alih warga lokal maupun oleh sesama warga eks Timor Timur
biasanya melalui proses ganti rugi.

Selain itu, ada juga warga lokal lain yang datang dari 3 daerah, yakni;
Kabupaten Belu, Kabupaten TTU, dan TTS. Mereka merambah karena hanya
karena melihat adanya aktifitas perambahan warga eks Timor Timur di
Kawasan SM Kateri. Meskipun kemudian dapat ditertibkan oleh Polhut
BBKSDA NTT, sehingga berhenti dari aktifitas perambahan. Sementara
warga lokal lain, ikut merambah karena hasil take-over lahan yang ditinggal
pergi warga Timor Timur yang memilih kembali ke Timor Leste.

217
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

JILID 12

IKHTIAR DAN TAKTIK

218
Larik Tenure

S Direktur
ebelum menyigi lebih dalam, ada baiknya membaca ulang pandangan
Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya,
Wiratno. Pandangan Wiratno secara lengkap tersaji dalam makalah
berjudul Paradigma Baru Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia:
Membangun Learning Organization.

Fakta bahwa Indonesia memiliki kawasan konservasi yang tersebar di


seluruh wilayah Provinsi, sebanyak 556 unit dengan luas mencapai 27,26
juta hektare, dimana seluas 5,32 juta Ha merupakan kawasan konservasi
perairan atau 21,26% dari total luas kawasan hutan dan kawasan konservasi
perairan di Indonesia. Mewakili seluruh tipe ekosistem yang ada di wilayah
Nusantara, mulai dari ekosistem pegunungan, hutan dataran rendah,
savana, ekosistem pantai, padang lamun sampai ekosistem terumbu karang
(Wiratno, 2017).

Dia melanjutkan, bahwa sebagian besar atau 60,19% kawasan konservasi


berstatus sebagai taman nasional. Beberapa dari taman nasional memiliki
pengakuan global seperti World Heritage, Biosphere Reserve, ASEAN
Heritage dan Ramsar Site. Pengakuan global merupakan bukti bahwa
kawasan konservasi di Indonesia memiliki nilai penting bagi konservasi
keanekaragaman hayati secara global. Kawasan konservasi juga berfungsi
sebagai daerah resapan air, pa ik ai , pe li du ga hid ologi, ikli ik o,
kesuburan tanah, sumber mikroba, keseimbangan siklus air, penyimpan
karbon dan menjaga kesehatan daerah aliran sungai dari hulu sampai ke
hilir.

Wiratno juga mengurai fakta-fakta lain terkait fragmentasi habitat dan


pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia. Selain adanya perubahan
penggunaan lahan, konflik satwa liar, konflik sosial, ada pula usulan konversi
kawasan menjadi hutan adat.

Menurutnya, pengelolaan kawasan konservasi tidak dapat dilakukan hanya


terbatas pada teritori kawasan tanpa mempertimbangkan perubahan
lahan, kerusakan habitat, sosial ekonomi, budaya dan pembangunan secara
umum di daerah penyangganya dan atau pada skala lanskap yang lebih luas.
Pengelolaan kawasan konservasi butuh ragam dukungan disiplin ilmu,
pendekatan dan konsistensi kebijakan, berikut dengan dukungan semua
pihak di berbagai level. Dalam konteks ini, dukungan yang dibutuhkan
adalah dukungan nyata yang diharapkan dapat mereplika berbagai

219
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi pada titik-titik tertentu di


Indonesia.

Setidaknya, kata Wiratno, diperlukan penerapan empat prinsip tata kelola


yaitu transparansi, partisipasi, pertanggung jawaban kolektif dan
akuntanbilitas dalam rangka penyelesaian masalah dan pengembangan
potensi di dalam kawasan konservasi dan di daerah penyangganya, dengan
melibatkan desa dengan perangkat kelembagaannya sebagai bagian dari
yang tidak terpisahkan dengan pengelolaan kawasan konservasi di sekitar
desa tersebut.

Dengan demikian hebatnya persoalan pengelolaan kawasan konservasi,


maka dibutuhkan banyak cara. Penyelesaian persoalan antara lain
perambahan akibat kemiskinan tidak dapat ditempuh melalui penegakan
hukum dan harus dicari cara lain yang lebih tepat dan dapat diterima oleh
masyarakat. Penegakan hukum hanya ditujukan pada aktor intelektual yang
selalu memanfaatkan masyarakat miskin yang berada di kawasan
konservasi (Wiratno, 2017).

Menurut Wiratno, cara pandang pengelolaan kawasan konservasi mestinya


mengedepankan 10 prinsip, yakni: Prinsip 1, Masyarakat Sebagai Subjek.
Prinsip 2, Pengormatan HAM. Prinsip 3, Kerjasama Lintas Eselon I. Prinsip 4,
Kerjasama Lintas Kementerian. Prinsip 5, Penghormatan Nilai Budaya dan
Adat. Prinsip 6, Multilevel Leadership. Prinsip 7, Scientific Based Decision
Support System. Prinsip 8, Resor (Field) Based Management. Prinsip
9, Reward and Mentorship, dan Prinsip 10, Learning Organization.

Pada 8 kawasan konservasi yang dicermati, prinsip Masyarakat Sebagai


Subjek menjadi masuk akal. Menurut Wiratno, masyarakat mestinya
diposisikan sebagai pelaku utama. Namun prinsip ini tentunya
membutuhkan pra-syarat yang perlu diterjemahkan lebih dalam.

Dalam konteks perencanaan misalnya, keterlibatan masyarakat dapat


diterjemahkan sebagai keikut-sertaan mereka dalam memahami konteks,
memberikan masukan, usulan dan pertimbangan. Sementara Unit
Pelaksana Teknis atau Balai Taman Nasional mesti menyiapkan kerangka
penyusunan perencanaan yang berbasis akurasi data lapangan dan sinergi
dengan perencanaan nasional. Pada poin ini, prinsip-prinsip lain semisal
prinsip nomor 2, 5, 6, 7 dan 8 menjadi sangat penting.

220
Larik Tenure

Berkait dengan tawaran kerangka resolusi konflik tenurial semacam


kemitraan konservasi, penegakan hukum, pemberdayaan masyarakat,
penguatan ekonomi dan lainnya, maka diperlukan upaya-upaya teknis yang
menekankan terlaksananya 10 prinsip yang ditawarkan Wiratno. Karena
prinsip-prinsip tersebut mestinya diterjemahkan secara keseluruhan, bukan
sepenggal-sepenggal. Masing-masing Balai Taman Nasional mesti pula
menemukan formula yang tepat untuk melewati tahap demi tahap proses
resolusi konflik tenurial.

Telisik Objek Sengketa Tenurial


Objek konflik tenurial merupakan sebidang tanah, atau lahan yang
disengektakan. Misalnya tanah, atau lahan yang diklaim sebagai hak
masyarakat adat. Maka, pemetaan objek konflik tenurial mesti dilakukan
dengan memahami faktor-faktor pengiringnya, seperti: sejarah lahan,
sejarah pengalihan hak, bukti penguasaan dan lainnya.

Disadari atau tidak, kadang untuk melakukan pemetaan objek konflik


tenurial secara tepat, dibutuhkan proses pembuktian yang panjang.

Berkaca dari kasus kuburan leluhur pada Hutan Pesugulan, sesungguhnya


ini menjadi pelajaran yang cukup menarik. Masyarakat, para Pejuang Tanah
Adat Jurang Koak secara sadar membuat bukti (walaupun tidak valid) untuk
menyatakan klaim mereka atas tanah tersebut. Disadari atau tidak, kadang
untuk melakukan pemetaan objek konflik tenurial secara tepat, dibutuhkan
proses pembuktian.

Dalam kasus lain misalnya, untuk memberikan dugaan bahwa klaim


masyarakat benar, dapat pula melakukan pembandingan tata kelola lahan
antara masyarakat yang melakukan klaim dengan masyarakat yang memiliki
karakter adat yang sama. Dapat pula melihat silisilah dalam konteks
kesejarahan. Di Lindu, Toro, dan ngata lainnya di lanskap TNLL, tata kelola
wilayah adat secara umum bisa dikatakan hampir sama satu dengan lainnya.
Pembagian pengaturan tata kelola lahan dalan huaka-huaka yang di
tentukan berdasarkan hukum adat dapat menjadi satu rujukan dalam
menentukan zona pengelolaan TNLL.

Di banyak kasus, pembuktian atas klaim kerap mengalami persoalan. Mulai


dari ketidak-tersediaan data, tidak ada masyarakat yang mau diajak bicara,
minimnya sumber-sumber literasi, serta hal lain. Bahkan kadang
221
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

pembuktian tidak dilakukan karena minimnya keberadaan ahli yang dapat


melakukan pembuktian. Oleh karenanya, Balai TN mesti memiliki
kemampuan dasar untuk melakukan pembuktian klaim.

Berkaca dari kasus Hutan Pesugulan, Balai TNGR akhirnya terpaksa


membongkar paksa rekaan kuburan yang dibuat oleh Amaq Nopi. Hasilnya,
tidak ditemukan bekas kuburan, yang ada hanyalah batu-batu yang
menyerupai nisan, serta batu-batu yang disusun seolah-olah tempat itu
adalah kuburan.

Pembongkaran atau penggalian kuburan harusnya tidak perlu dilakukan.


Bentuk nisan mestinya sudah dapat dijadikan patokan. Apakah nisan di
Hutan Pesugulan itu memiliki kesamaan dengan nisan sejenis di tempat
lain? Apakah nisan di Hutan Pesugulan itu memikiki karakter yang sama
dengan kuburan lain yang masyarakatnya merupakan masyarakat dengan
kesamaan adat istiadat dengan Pejuang Tanah Adat Jurang Koak?

Dalam kasus lain misalnya, untuk memberikan dugaan bahwa klaim


masyarakat benar, dapat pula melakukan pembandingan tata kelola lahan
antara masyarakat yang melakukan klaim dengan masyarakat yang memiliki
karakter adat yang sama. Dapat pula melihat silisilah dalam konteks
kesejarahan.

Di Lombok misalnya, secara umum masyarakat adat dikategorikan sebagai


Masyarakat Adat Sasak. Pemahaman tentang tata kelola lahan orang Sasak
cukup dapat memberikan penjelasan umum tentang tata kelola lahan yang
dilakukan oleh masyarakat di Pulau Lombok yang mengklaim dirinya sebagai
orang Sasak. Sama halnya di Lindu, Toro, dan ngata lainnya di lanskap TNLL,
tata kelola wilayah adat secara umum bisa dikatakan hampir sama satu
dengan lainnya. Pembagian pengaturan tata kelola lahan dalan huaka-
huaka yang di tentukan berdasarkan hukum adat dapat menjadi satu
rujukan dalam menentukan zona pengelolaan TNLL.

Lain halnya di SM Kateri. Klaim adat melemah siring maraknya perambahan


di wilayah tersebut. Dengan kondisi itu, klaim adat tentunya tidak mungkin
digunakan sebagai pendekatan penyelesaian. Namun di TNBB, klaim
pengelolaan turun-temurun – kendati tidak memasukkannya ke dalam
klaim adat – menguat seiring lemahnya interaksi antara Balai TNBB dengan
masyarakat.

222
Larik Tenure

Kecuali itu, pembuktian juga dapat dilakukan dengan merunut atau


mengkronologiskan kejadian-kejadian penting yang terjadi pada lahan yang
disengketakan. Balai TN mesti memiliki kemampuan membuat kronologi
yang tepat dengan mengandalkan sumber-sumber literasi tertulis ataupun
verbal. Dalam konteks ini, sumber tertulis sepertinya lebih baik digunakan
karena sumber verbal bisa saja mengalami distorsi informasi dari waktu ke
waktu.

Seperti yang terjadi di TN Sebangau untuk kasus SPTN I Habaring Hurung.


Penggalian sejarah lahan seharusnya bisa lebih dioptimalkan terlebih
dahulu mengingat masyarakat yang bermukim di sana merupakan eks
program transmigrasi dari pemerintah. Meskipun setiap perubahan
pemerintahan juga kerap diikuti dengan perubahan kebijakan, mestinya
penggalian sejarah lahan berdasarkan bukti pendukung seperti dokumen
sah menjadi pertimbangan sebelum penetapan kawasan.

Namun, lagi-lagi ini berkaitan dengan kepasitas yang dimilki Balai TN. Jika
hal tersebut dirasa belum mencukupi, maka KLHK melalui Ditjen KSDAE
tentunya memiliki cara tersendiri untuk membuat perencanaan program
serta penganggaran.

Kemampuan teknis lainnya yang turut mendukung adalah pemetaan


spasial. Secara umum, kemampuan ini telah dimiliki oleh masing-masing
Balai TN. Kapasitas GISer, orang yang ahli dalam hal GIS (Global Information
System), mestinya tidak hanya melakukan pengambilan titik kordinat dan
pengolahan peta melalui perangkat komputer. Tapi GISer mestinya juga
memiliki kecakapan berkomunikasi yang baik dengan masyarakat. Dalam
hal pemetaan spasial di lapangan, GIS-er tentu tidak sendiri, dia akan seiring
dengan staf SPTN Wilayah atau setidaknya staf resor setempat.

Perpaduan keahlian teknis spasial dengan kemampuan fasilitasi masyarakat


akan membuat peta yang dihasilkan lebih kaya dengan informasi, tidak
sebatas garis-garis yang diunduh dari peralatan GPS (Global Position
System) saja.

keterlibatan masyarakat asli atau masyarakat adat dalam proses pemetaan


akan sangat memperkaya informasi tentang suatu wilayah yang di petakan.
Informasi sejarah lahan serta pembagian zona berdasarkan

223
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

pemanfaatannya bagi masyarakat asli atau masyarakat adat misalnya,


sungguh merupakan sumber kekayaan informasi bagi pengelola kawasan.

Dalam melakukan pemetaan spasial yang memasukkan ragam informasi


spasial terkait konflik tenurial, maka kemampuan fasilitasi dan komunikasi
masyarakat menjadi salah satu kunci. Kemampuan minor ini kadang
terlupakan lantaran staf SPTN Wilayah atau resor setempat sudah merasa
mengetahui keadaan di lokasi dimana konflik tenurial terjadi. Mengapa
begitu? Karena lokasi tersebut telah lama menjadi wilayah kerja staf
bersangkutan. Padahal, belum tentu itu benar. Karenanya, penting pula
bagi Balai TN melakukan latihan penyegaran untuk staf yang bekerja di
lapangan terkait dengan kemampuan fasilitasi dan komunikasi dengan
masyarakat.

Berkait kemampuan fasilitasi dan komunikasi, Balai TN tentu banyak


mengandalkan staf di lingkup SPTN Wilayah dan resor. Karena itu, penting
melakukan penilaian terhadap personil yang memiliki kemampuan
tersebut. PEH sebagai bagian dari ujung tombak konservasi memegang
peranan penting dalam hal ini. Seperti yang disampaikan oleh polhut dari
Balai TNS, Balai TNBBBR, Balai TNMB, Balai TNLL, Balai TNBD, Balai TNGR,
BBKSDA NTT, serta Balai TNBB, mereka sangat membutuhkan pelatihan
terkait strategi komunikasi. Polhut yang biasanya bekerja dalam konteks
penegakan hukum memiliki stereotype jelek di tengah masyarakat, karena
dikenal sebagai tukang tangkap. Jika suatu saat mereka harus kembali lagi
dengan beban tanggung jawab melakukan tindakan yang lebih persuasif,
sebagian masyarakat justru akan curiga atau bahkan khawatir ada yang
akan balas dendam.

Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) merupakan Aparat Sipil Negara (ASN)


yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh
pejabat yang berwenang untuk melakukan pengendalian ekosistem hutan.
Pengendalian Ekosistem Hutan adalah segala upaya yang mencakup
metode, prosedur, strategi dan teknik dalam kegiatan perencanaan hutan,
pemantapan kawasan hutan, pemanfaatan hasil hutan, rehabilitasi hutan
dan lahan, pengelolaan Daerah Aliran Sungai serta konservasi sumber daya
hutan secara efektif dan efisien menuju pengelolaan hutan berkelanjutan
(P.13, 2017).

224
Larik Tenure

Selanjutnya, Pembinaan Jabatan Fungsional PEH dimaksudkan untuk


meningkatkan profesionalisme PEH dalam rangka mendukung
terselenggaranya kegiatan pengendalian ekosistem hutan secara efektif,
efisien, terarah dan optimal. Tujuannya, yakni menyediakan acuan
pembinaan Jabatan Fungsional PEH bagi instansi/unit kerja terkait,
memperjelas tugas para pihak dalam pembinaan Jabatan Fungsional PEH
sesuai kewenangan dan tanggung jawab masing-masing, mendorong peran
Jabatan Fungsional PEH sebagai ujung tombak pelaksana tugas-tugas teknis
dalam organisasi, dan membangun kesepahaman bersama antar para pihak
dalam pelaksanaan pembinaan Jabatan Fungsional PEH (P.13, 2017). PEH
dapat turut serta melakukan kajian mendalam terhadap objek konflik
tenurial, berikut melakukan fasilitasi dan menjalin jembatan komunikasi
dengan masyarakat dimana konflik tenurial terjadi.

Telisik Subjek Konflik Tenurial


Subjek konflik tenurial merupakan pihak-pihak yang berhubungan langsung
maupun tidak langsung dengan subjek dan objek konflik tenurial yang
sedang terjadi. Riset lapangan yang dilakukan pada 8 kawasan konservasi
ini menemukan bahwa subjek konflik terbagi atas dua kelompok utama,
yakni kelompok subjek langsung, dan kelompok subjek tidak langsung.

Subjek Langsung
Kelompok subjek langsung adalah kelompok subjek konflik yang
berhubungan langsung dengan objek konflik tenurial. Hubungan langsung
dapat dicirikan dengan adanya interaksi kuat antara subjek dengan objek
konflik. Sebagai contoh interaksi yang terjadi adalah, bahwa subjek secara
langsung melakukan pengolahan lahan pada objek konflik. Sebagaimana
yang terjadi di TNMB, Kliwon dan kelompok Tani 9A adalah subjek yang
langsung melakukan pengolahan lahan pada objek tanah bekas
perambahan tahun 1998. Sementara, objek lahan tersebut adalah juga
bagian tidak terpisah dari subjek TNMB. TNMB sejauh ini telah melakukan
pengelolaan kawasan taman nasional dengan mengedepankan fungsi resor
di objek tanah yang dikelola Kliwon dan Kelompok Tani 9A.

Sebagai contoh interaksi yang terjadi adalah, bahwa subjek secara langsung
melakukan pengolahan lahan pada objek konflik. Sebagai contoh adalah
Orang Rimba di TNBD yang memang hidup dan berpenghidupan dalam
kawasan tersebut. TNBD memang dimandatkan sebagai ruang hidup bagi

225
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Orang Rimba. Contoh lain adalah apa yang terjadi di TNLL, dimana
masyarakat adat Ngata Toro memiliki interaksi langsung yang kuat dengan
wilayah adatnya, mulai dari wana ngkiki, pangale dan sebagainya. Selain
itu, Ngata Toro juga dilengkapi dengan satuan pengaman hutan berbasis
adat yang disebut Tondo Ngata.

Demikian pula halnya dengan masyarakat di TNBB. Mereka mendiami


wilayah itu secara turun-temurun. Masyarakat Kampung Manyampa di
Desa Bantimurung hidup dari bertani sawah dan usaha pertanian lainnya,
kendati sebagian ada yang membalak kayu. Pola kehidupan yang terbentuk
di kampung ini adalah pola tradisional yang mengandalkan lahan.
Karenanya, interaksi mereka dengan lahan garapannya sungguhlah kuat.

Penciri lain dari hubungan langsung ini adalah dengan adanya manfaat
langsung yang diambil oleh subjek konflik terhadap objek yang
disengektakan. Jadi, selain interaksi akibat pengelolaan, ada pula manfaat-
manfaat yang diterima subjek dari objek yang disengketakan. Berkaca dari
pengalaman TNMB, maka Kliwon dan Kelompok Tani 9A mengambil
manfaat berupa hasil tanam-tanaman yang mereka tanam dan rawat di
lahan sengketa.

Di SM Kateri, subjek langsung adalah mereka yang merupakan eks


pengungsi Timor Timur. Kendati bukan masyarakat asli, para eks pengungsi
mengelola objek sengketa secara langsung dan mengambil manfaat dari
pengelolaan itu. kendati interaksinya secara adat tidak terlalu kuat, tapi
kebutuhan mereka akan lahan menjadi penyebab kuatnya interaksi mereka
dengan lahan garapan.

Subjek Tak Langsung


Sementara kelompok subjek tidak langsung adalah para pihak yang tidak
berkaitan langsung dengan subjek konflik tenurial. Namun kelompok ini
memiliki ciri atau karakter khusus.

Berdasarkan Perdirjen PSKL P.6/PSKL/SET/PSL.1/5/2016 tahun 2016


tentang Pedoman Asesmen Konflik Tenurial Kawasan Hutan, aktor konflik
dibedakan menjadi 3, yakni; Aktor Provokator, Aktor Kelompok-Kelompok
Rentan dan Aktor Kelompok Fungsional. Aktor provokator adalah aktor
utama yang terlibat dalam konflik, kadang kala memiliki logika tidak biasa
tentang peristiwa yang terjadi atau faktor-faktor dalam konflik, dan
226
Larik Tenure

disebarkan dalam bentuk informasi yang distorsif. Aktor kelompok-


kelompok rentan yaitu kelompok masyarakat yang menerima provokasi
atau logika yang dibangun/disebarkan oleh provokator tanpa melakukan
verifikasi. Sementara, aktor kelompok fungsional adalah kelompok yang
bertanggung jawab menghentikan kekerasan dan mencegah meluasnya
konflik.

Berkaca dari hasil studi lapangan di 8 kawasan konservasi, maka agak sulit
meletakkan para aktor ke dalam kategori yang disebutkan dalam peraturan
Dirjen PSKL tersebut. Misalnya pada kasus TNMB (Kliwon dan Kelompok
9A), Kliwon sulit diletakkan pada posisi aktor kelompok-kelompok rentan,
karena sejatinya dia tidak menerima provokasi ketika mulai menggarap
lahan. Kendatipun Kliwon dan Kelompok 9A berada dalam posisi tersebut,
maka siapa yang akan berada pada posisi aktor provokator? Apakah
kejadian perambahan yang terjadi pada 1998 melibatkan aktor yang
berposisi sebagai provokator? Sementara aktor kelompok fungsional, dalam
hal ini TNMB dan Kementerian LHK, kemudian dituntut sebagai pihak yang
bertanggung jawab menghentikan kekerasan dan mencegah meluasnya
konflik. rasanya, agak sulit menempatkan para aktor tersebut ke dalam
kriteria yang telah dibangun Dirjen PSKL. Apa lagi, konflik terjadi di kawasan
Taman Nasional.

Contoh lain, apakah masyarakat desa transmigrasi di sekitar TNBD dapat


dikategorikan sebagai provokator atas tindakan mereka dalam memperoleh
lahan melalui jual beli dengan Orang Rimba? Padahal hubungan ini
semacam simbiosis mutualisme karena satu pihak membutuhkan pihak lain
sehingga terjadi kesepakatan peralihan lahan tersebut.

Demikian pula halnya dengan eks pengungsi Timor Timur di SM Kateri.


Apakah mereka layak menyandang gelar sebagai provokator? Jika ditilik dari
akibat yang ditimbulkan kegiatan mereka (sebagai perambah), mungkin iya,
mereka termasuk dalam ciri ini. Karena kegiatan yang mereka lakukan
memicu warga lain di sekitar SM Kateri untuk turut melakukan perambahan.
Tapi jika dilihat dari sisi lain, mereka adalah korban konflik.

Sementara di sisi lain, bahkan ada pula Orang Rimba yang sengaja
melakukan praktik jual-beli lahan. Dalam konteks ini, tentu pelaku praktik
ini tidak dapat dikategorikan sebagai kelompok aktor rentan. Tentulah
mereka akan menjadi aktor provokator. Tapi seiring dengan itu, mereka

227
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

tentu akan tetap mengatasnamakan Orang Rimba. Hal serupa juga yang
terjadi di Habaring Hurung melalui klaim masyarakat adat lokal di wilayah
eks transmigrasi.

Di masyarakat adat di Ngata Toro, saat ini dikategorikan sebagai Kelompok


Rentan disaat hukum adat mereka lebih di kedepankan dalam kasus-kasus
pelanggaran hukum di TNLL yang berhimpitan dengan wilayah adatnya.
Namun di saat lain, bisa saja mereka akan menjadi provokator.

Oleh karenanya, pembedaan aktor provokator ini harus dilakukan dengan


sangat hat-hati, analisa yang tajam menuntut adanya ketersediaan data
lapangan yang akurat. Para aktor tentunya melalui rangkaian perubahan
kepentingan, pada saat perubahan terjadi itulah peran analisa aktor
menjadi sangat krusial.

Dalam konteks penyelesaian, lagi, cara pandang yang ditawarkan Wiratno


menjadi penting sebagai rujukan. Kerjasama antar Eselon 1 merupakan
prinsip yang juga mesti dijalankan. Prinsip inilah yang digunakan oleh BPSKL
Sulawesi yang memfasilitasi pertemuan antara masyarakat adat Ngata Toro
dengan Balai TNLL.

Dalam ranah lain, ada pula yang menyebutkan bahwa aktor konflik terbagi
atas 3, yakni; aktor primer, aktor sekunder dan aktor tersier. Aktor primer
adalah para pihak yang sedang berkonflik dalam posisi berhadap-hadapan
langsung. Aktor Sekunder adalah para aktor yang ikut merasakan
ketegangan, sementara Aktor Tersier adalah para aktor yang dapat
berpengaruh terhadap konflik yang sedang terjadi.

Dengan kriteria ini – jika melanjutkan mengambil contoh atas kasus Kliwon
dan Kelompok 9A – para aktor primer dapat diidentifikasi dengan jelas,
yakni Kliwon, Kelompok 9A dan Balai TNMB. Sementara aktor sekunder
yang ikut tegang pada posisi eskalasi konflik yang menurun belum dapat
diidentifikasi secara pasti, karena pada saat bersamaan tidak terjadi
ketegangan. Aktor sekunder yang ikut tegang bisa jadi adalah pihak-pihak
yang dengan konflik ini mendapat keuntungan atau kerugian. Sementara
aktor tersier dapat dikelompokkan pada pihak-pihak di luar dua kelompok
aktor tersebut, tapi mereka memiliki pengaruh yang cukup penting. Aktor
tersier dapat yang dicontohkan adalah Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Bupati Jember, DPRD Jember dan lainnya. Jika dibandingkan

228
Larik Tenure

dengan kriteria yang dibangun Ditjen PSKL, maka aktor-aktor yang terakhir
disebutkan masuk ke dalam kategori aktor kelompok fungsional.

Jika melanjutkan mengambil contoh kasus di TNBD, para aktor primer dapat
diidentifikasi dengan jelas, yakni Orang Rimba dan BTNBD yang memiliki
pertentangan kewenangan langsung dalam objek yang sama. Aktor
sekunder contohnya adalah masyarakat desa transmigrasi di sekitar TNBD
yang mendapatkan manfaat berupa lahan yang diperoleh dari Orang Rimba.
Sementara aktor tersier contohnya adalah Pemerintah Daerah Sarolangun
yang perannya dapat memberikan pengaruh terhadap permasalahan
ekonomi, sosial dan budaya bagi Orang Rimba.

Tanpa menegasikan peraturan yang telah ada, dan pandangan lain, riset
lapangan yang dilakukan pada 8 kawasan konservasi menemukan 7
kelompok aktor tidak langsung. Hubungan tidak langsung dicirikan oleh
beberapa karakter, di antaranya:

1, pihak yang mendukung salah satu dari pihak yang berkonflik. Bercermin
dari contoh kasus Kliwon di TNMB, maka kelompok aktor ini dapat saja
berisikan para aktor dari kelompok fungsional seperti atau bahkan aktor
dari kelompok provokator.

Bercermin dari kasus di TNLL, beragam pihak dari organisasi non


pemerintah (Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM) mendukung pengusulan
hutan adat yang diajukan oleh masyarakat Ngata Toro. Dalam konteks
pengajuan usulan ini, masyarakat sesungguhnya bertujuan untuk
meningkatkan posisi tawar agar dapat bicara dengan Pemerintah yang
dalam hal ini adalah Balai TNLL. Untuk itu, maka pengusulan hutan adat
menjadi salah satu jalan yang dirasa cukup menopang posisi tawar
masyarakat. Dalam kondisi itulah dukungan kepada masyarakat mengalir
dari berbagai LSM, kendati LSM sendiri tidak berada dalam posisi yang saling
berhadapan dengan Balai TNLL.

2, pihak yang mendukung para pihak yang berkonflik dalam rangka


resolusi konflik. melanjutkan kasus Kliwon, maka aktor yang mendukung
para pihak dalam posisi ini adalah KAIL maupun LATIN. Kedua lembaga ini
mencoba mendalami kepentingan dari para aktor dan secara bersama-sama
mencari solusi atas situasi konflik yang terjadi. Hal serupa juga terjadi di
TNBB dan SM Kateri.

229
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Melanjutkan kasus masyarakat adat dengan Balai TNLL, maka pihak dalam
kategori ini adalah BPSKL Sulawesi melalui FP3-nya. BPSKL Sulawesi
mendukung pertemuan antara para pihak yang berkonflik untuk
menemukan solusi atas persoalan mereka.

3, pihak yang mengambil keuntungan – baik secara terang-terangan


maupun secara sembunyi-sembunyi – terhadap situasi konflik yang sedang
terjadi. Dari kasus Kliwon, maka dapat dikatakan bahwa Kentik dan kawan-
kawannya berada dalam posisi ini. Situasi lain yang belum didalami adalah
bahwa ada kelompok lain yang turut mengambil keuntungan dari kasus-
kasus perambahan yang terjadi di TNMB.

Di TNS misalnya, kasus-kasus yang muncul ke permukaan yang dominan


adalah konflik antara Balai TNS dengan masyarakat. Faktanya, terdapat
aktor intelektual atau oknum pejabat yang turut serta berpengaruh
terhadap konflik yang terjadi. Para aktor inetlektual ini memiliki
kepentingan atas lahan yang disengketakan. Bahkan, para aktor ini
mengatas-namakan barisan masyarakat adat lokal untuk mempertahankan
kepentingannya.

4, pihak yang tidak terlibat di dalam konflik tapi ikut serta mengalami
ketegangan ketika konflik terjadi. Melanjutkan kasus TNMB, maka aktor
dari kelompok fungsional seperti Camat, Bupati, Dirjen KSDAE dan lainnya
adalah aktor yang ikut tegang atas konflik yang terjadi.

Contoh lain, adalah Pemerintah Kabupaten Sigi di Sulawesi Tengah. Ketika


Balai TNLL melakukan revisi zonasi, pada saat bersamaan masyarakat Ngata
Toro memasukkan usulan hutan adat. Dua kepentingan yang saling
berhadapan ini terjadi pada wilayah yang secara administrasi diurus oleh
Pemerintah Kabupaten Sigi, maka dalam hal ini Pemerintah Daerah yang
sama sekali tidak terlibat dalam konflik batas maupun zonasi taman
nasional turut merasakan ketegangan. Dalam hal ini, ketegangan dipicu
oleh konflik antara kedua subjek atau aktor primer yang sedang terjadi.

Di SM Kateri, para perambah yang berasal dari warga lokal barangkali dapat
dimasukkan ke dalam kategori ini. mereka tidak berkonflik secara langsung,
sebab konflik terjadi antara eks pengungsi dengan BBKSDA NTT. Namun
para perambah lokal ini akan terpicu ketegangan sebagai imbas dari resolusi
yang sedang diupayakan.

230
Larik Tenure

5, pihak lain yang secara tidak langsung dirugikan atau tidak diuntungkan
atas konflik yang terjadi. Kelompok aktor ini mungkin tidak memberikan
pengaruh penting atas konflik, tapi keberadaannya dapat memicu eskalasi
konflik menjadi meningkat. Kendati pemetaan atas aktor dari jenis ini tidak
banyak dilakukan, tapi keberadaannya memungkinkan memberikan
pengaruh atas konflik. Di TNMB misalnya, keberadaan oknum-oknum di PT
Bandealit sesungguhnya memberikan pengaruh karena usaha perdagangan
kayu illegal yang mereka lakukan terganggu.

Pada kasus TNBD, para makelar lahan yang melakukan praktik jual beli lahan
di dalam kawasan taman nasional tentu akan dirugikan karena proses revisi
zonasi. Mereka yang melakukan praktik ini tentu tidak akan berada
langsung berhadap-hadapan dengan para pelaku konflik, namun
keberadaan mereka tentu akan sangat berpengaruh pada tingkat eskalasi
konflik di lapangan.

Kondisi serupa mungkin pula dapat dipetakan dari para aktor atau oknum
yang mengklaim sebagai masyarakat adat di wilayah SPTN I Habaring
Hurung. Pihak TNS dan masyarakat yang sedang berhadapan akan dengan
mudah dipengaruhi jika para oknum ini dibiarkan melakukan provokasi.

6, pihak yang dapat membantu penyelesaian konflik. Melanjutkan kasus


TNMB, lagi, kelompok fungsional seperti yang disebut dalam perdirjen PSKL
dapat masuk ke dalam kategori ini. Selain itu, keberadaan KAIL dan LATIN
yang melaksanakan program yang didanai USAID BIJAK juga dapat
dimasukkan ke dalam kategori ini.

Dalam revisi zonasi Balai TNLL, program Forest Programme III (FP 3) adalah
pihak yang dapat membantu penyelesaian konflik. . Sebagai catatan, FP 3
sendiri merupakan program kehutanan yang uangnya bersumber dari
dukungan Kreditanstalt fur Wiederaufbau (KfW), lembaga perbankan
Pemerintah Jerman. Kendati tidak berada pada posisi yang langsung dapat
mengurai konflik, tapi setidak lewat fasilitasi program ini, konflik antara
kedua aktor primer dapat diurai dan dipahami bersama.

Dan, 7, pihak yang secara tidak langsung memberikan pengaruh – positif


ataupun negatif – pada konflik yang terjadi. Pihak-pihak dalam kategori ini
beragam, tergantung pengaruh yang diberikannya. Dalam kasus Kliwon
misalnya, maka eselon 1 pada kementerian LHK dapat masuk kategori ini.

231
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Pengembangan Kemitraan Konservasi sejauh ini menjadi tugas khusus Balai


TN melalui Perdirjen KSDAE, tapi dalam pelaksanaannya mungkin saja
kegiatan kemitraan konservasi didukung oleh Ditjen PSKL.

Lainnya, BPSKL Sulawesi dalam kasus TNLL. Dalam konteks ini, BSKL tentu
bergerak atas arahan Ditjen sendiri, sementara konflik yang terjadi berada
dalam lingkup kerja Ditjen berbeda. Dalam konteks ini, Ditjen PSKL menjadi
pihak yang dapat dimasukkan ke dalam kategori ini.

Memetakan subjek konflik memang membutuhkan upaya yang sungguh-


sungguh. Kepentingan para aktor mesti dapat dipetakan secata jelas dan
terukur. Kadang, kepentingan para aktor dapat berubah-ubah sesuai
dengan dinamika yang terjadi. Misalnya, aktor tidak langsung dalam
kategori 1 bisa berpindah menjadi kategori 2 atau lainnya.

Telisik Faktor Konflik


Berdasarkan Perdirjen PSKL P.6/PSKL/SET/PSL.1/5/2016, faktor konflik
terjadi saat 2 pihak atau lebih meyakini bahwa kepentingan mereka tidak
sejalan, mengekspresikan sikap permusuhan atau mengambil tindakan yang
merusak kapabilitas pihak lain untu memenuhi kepentingan mereka. Ada 3
elemen utama dalam melakukan analisis terhadap faktor-faktor konflik
yang terjadi pada suatu wilayah, yaitu: Akar konflik (faktor struktural),
Pemicu Konflik dan Akseleratror Konflik, atau yang biasa disingkat A.P.A.

Akar Konflik atau Faktor Struktural (A) adalah faktor-faktor atau situasi yang
menciptakan sebuah kondisi awal terhadap kemungkinan terjadinya sebuah
konflik. Akar Konflik atau faktor struktural adalah sumber konflik yang
sebenarnya dan paling mendasar. Contoh: Perbedaan kepentingan,
perbedaan nilai, perbedaan struktur, pembiaran dalam waktu lama, Hak
tenurial kawasan hutan.

Pemicu Konflik (P) adalah kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa biasa


yang bisa menyebabkan terjadinya konflik. Pemicu konflik juga seringkali
diidentifikasikan sebagai faktor yang muncul tiba-tiba dalam kejadian
konflik. Contoh: Penyerobotan lahan, Penggusuran, Penangkapan,
Pembakaran rumah dinas, Penganiayaan oleh petugas Operasi kayu.

Akselerator Konflik atau Faktor Pemercepat (A), adalah faktor-faktor atau


peristiwa-peristiwa yang dapat mempercepat terjadinya konflik atau
232
Larik Tenure

mempercepat meluasnya konflik. contoh: Kebijakan yang diskriminatif,


Pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM.

Dalam kajian yang dilakukan di 8 kawasan konservasi ini, konsep A.P.A


sangat relevan untuk digunakan. Setiap kasus konflik tenurial yang terjadi
memenuhi unsur Akar Konflik, Pemicu Konflik dan Akselerator Konflik.

Selanjutnya, Perdirjen PSKL P.6/PSKL/SET/PSL.1/5/2016 memperdalam hal-


hal yang berkait dengan analisa dan pelaporan. Dalam konteks resolusi
konflik, peraturan ini juga menjabarkan mengenai Tantetara, Tawaran
Tertinggi dan Tawaran Terendah. Untuk menghasilkan Tantetara, maka
dibutuhkan identifikasi pihak-pihak yang mewakili masyarakat dalam proses
penanganan konflik dan advokasi masyarakat.

Riset lapangan di 8 kawasan konservasi dan pengalaman lapangan para


penulis, mencoba menyerdehanakan. Pemetaan faktor konflik juga dapat
dimulai dengan mengidentifikasi situasi nyata yang dilihat dan dirasakan di
lapangan. Dalam hal ini, Balai TN perlu mencatat semua akibat yang
ditimbulkan oleh konflik tenurial.

Pada Hutan Pesugulan misalnya, PEH di Balai TNGR dapat memetakan


akibat-akibat penting yang terjadi karena adanya konflik tersebut. Akibat
penting yang terjadi di antaranya: 130 ha lahan hutan menjadi gundul, tata
air terganggu, bendungan menjadi kering, material erosi hanyut menutup
aliran sungai, kayu bekas penebangan dikuasai oknum Pejuang Tanah Adat
Jurang Koak, tingkat emosi masyarakat mudah tersulut, masyarakat mudah
dimobilisasi, dan lainnya.

Contoh lainnya di TNBD bagian selatan, PEH di Balai TNBD dapat


memetakan akibat-akibat penting yang terjadi karena adanya konflik
tersebut. Akibat penting yang terjadi di antaranya: adanya aktivitas
penanam kelapa sawit pada lahan bekas terbakar dalam kawasan TNBD,
dan pembelaan yang berlebihan dari komunitas Orang Rimba terhadap
penindakan atas kebun-kebun baru dalam kawasan TNBD yang di curigai
telah di miliki oleh masyarakat desa transmigrasi.

Selanjutnya, penting pula mengidentifikasi penyebab atas situasi di


lapangan tersebut. Dalam hal ini, Balai TN penting mencatat penyebab-
penyebab atas situasi yang dilihat di lapangan. Di Hutan Pesugulan, 130 ha

233
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

lahan hutan yang gundul terjadi karena perambahan yang dilakukan oleh
masyarakat yang menyatakan diri sebagai Pejuang Tanah Adat Jurang Koak.
Mereka menggunakan tenaga manusia dan mesin untuk merambah
kawasan. Berikut pula tata air yang terganggu, bendungan kering, erosi dan
sebagainya adalah situasi yang terjadi sebagai akibat penggundulan hutan
Pesugulan.

Dalam konteks ini, penebangan atau perambahan yang dilakukan Pejuang


Tanah Adat Jurang Koak dapat dikatakan sebagai faktor utama yang
menyebabkan hutan Pesugulan menjadi gundul.

Contoh lain, masifnya keberadaan kebun sawit di sekitar TNBD atau kebun
kakao di TNLL yang ditunjang oleh tersedianya akses pasar dari hulu ke hilir
untuk komoditi tersebut. Besarnya peluang pasar telah memaksa
masyarakat melakukan penanaman komoditas tersebut dan berharap
mendapat keuntungan dari proses itu. Artinya, pasar sangat berpengaruh
pada pola budidaya yang dilakukan masyarakat.

Pada tahap berikutnya, penting mengidentifikasi faktor-faktor yang memicu


terjadinya faktor utama. Dalam konteks Hutan Pesugulan, maka patut
dikatakan bahwa faktor utama dipicu oleh: adanya aksi provokasi yang
dilakukan orang-orang tertentu guna mengambil keuntungan atas situasi
konflik, dan adanya masyarakat yang terprovokasi untuk melakukan
perambahan. Kecuali itu, faktor utama bisa jadi dipicu karena kurangnya
pengamanan dan patroli oleh pihak TN sendiri.

Di TNBB, beberapa indikasi lain juga ikut menjadi faktor terjadinya konflik.
Yakni; masyarakat tidak mengetahui batas kawasan hutan, dan hilangnya
patok batas kawasan. Hal ini memicu keberatan masyarakat atas aturan
dan keberadaan taman nasional. Kecuali itu, ada pula rasa
ketidakpercayaan masyarakat kepada aparat. Faktor lain yang tampak
adalah, adanya dokumen SPPT yang terbit di dalam kawasan, yang
menimbulkan tingginya rasa kepemilikan oleh masyarakat. Kecuali itu,
masyarakat sangat tergantung dengan keberadaan lahan.

Terkait akar konflik tenurial SM Kateri, yaitu; referendum Timor Timur


tahun 1999. Sedangkan faktor pemicunya, yaitu; relokasi ribuan pengungsi
eks Timor Timur dari daerah aliran sungai Benenain ke wilayah kawasan SM
Kateri. Kemudian yang menjadi akselerator konflik yaitu berhentinya

234
Larik Tenure

bantuan UNHCR bagi pengungsi terkait pangan, karena terjadi penyerahan


tanggungjawab penanganan pengungsi oleh UNHCR kepada Pemerintah
Indonesia.

Sementara itu, pemerintah Indonesia sendiri terkesan lambat merespon


desakan kebutuhan masyarakat pengungsi saat itu, terutama terkait pangan
bagi keluarga-keluarga masyarakat eks Timor Timur. Dalam situasi dan
kondisi demikian, pilihan terbaik bagi eks pengungsi Timor Timur adalah
merambah hutan Kateri.

Pada prinsipnya, identifikasi ini mirip dengan corak identifikasi tulang ikan.
Pada identifikasi bercorak tulang ikan, tulang ikan yang menghubungkan
kepala dengan ekor adalah faktor utama. Sementara tulang-tulang lain
yang tersambung ke tulang utama adalah pemicu.

Memetakan faktor konflik dengan cara ini mungkin akan lebih mudah. Ini
juga sebanding lurus dengan model penyelesaian kasus di lapangan yang
dibutuhkan. Coba bayangkan kalau tulang utamanya adalah kebijakan
pemerintah dalam menetapkan Taman Nasional. Bagaimana langkah
praktis menyelesaikannya? Tentu membutuhkan analisa, waktu, dan
sumber daya yang lebih banyak.

Bengkel Penanganan
Resolusi konflik yang dalam bahasa Inggris adalah conflict resolution
memiliki makna yang berbeda-beda menurut para ahli. Resolusi dalam
Webster Dictionary menurut Levine adalah (1) tindakan mengurai suatu
permasalahan, (2) pemecahan, (3) penghapusan atau penghilangan
permasalahan. Sedangkan Weitzman & Weitzman mendefinisikan resolusi
konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah bersama (solve a
problem together). Lain halnya dengan Fisher et al yang menjelaskan bahwa
resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-sebab konflik dan berusaha
membangun hubungan baru yang bisa tahan lama di antara kelompok-
kelompok yang berseteru. Menurut Mindes, resolusi konflik merupakan
kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan
merupakan aspek penting dalam pembangunan sosial dan moral yang
memerlukan keterampilan dan penilaian untuk bernegoisasi, kompromi
serta mengembangkan rasa keadilan (Suhardono, 2015).

235
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Resolusi konflik adalah suatu cara individu untuk menyelesaikan masalah


yang sedang dihadapi dengan individu lain secara sukarela. Resolusi konflik
juga menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan
konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan
pada pihak-pihak yang berkonflik untuk memecahkan masalah mereka oleh
mereka sendiri atau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral dan
adil (Suhardono, 2015).

Karenanya, resolusi konflik adalah suatu proses pemecahan masalah secara


komprehensif-efektif dimana konflik adalah masalah bersama para pihak
yang seharusnya diselesaikan secara kalaborasi. Resolusi konflik merupakan
suatu upaya penyelesaian konflik melalui prosedur yang disepakati para
pihak. Prosedur penyelesaian dapat dilakukan melalui prosedur formal
hukum positif di Pengadilan, atau prosedur alternatif di luar Pengadilan. Di
luar Pengadilan, prosedur penyelesaian dapat ditempuh melalui konsultasi,
negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Proses resolusi konflik sewajarnya menghilangkan sikap kompetitif di mana


pihak-pihak yang bertikai terlibat dalam kompetisi atau perjuangan untuk
menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Sifat kompetitif ini
seringkali menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang berkonflik. Lebih
lanjut menunjukkan bahwa proses kooperatif-konstruktif resolusi konflik
dipupuk oleh efek khas kerjasama.

Dalam realitanya, apa yang diharapkan melalui pemikiran melimitasi konflik


beserta eksesnya (demikian pula guna melakukan resolusi konflik) tidaklah
mudah. Acapkali kehendak untuk mengakhiri konflik tidak datang dari
semua pihak yang bertikai, menyebabkan kondisi tanpa konflik tidak
tercapai. Mungkin pula muncul situasi belum terdapat kesepakatan perihal
bagaimana pengakhiran (ending) dilakukan, demikian pula kesediaan
menerima akibat-akibat ikutan dari pengakhiran tersebut. Upaya pencarian
resolusi konflik tidak hanya melihat aspek formal dan material dari telah
terjadinya suatu tindak pelanggaran hukum. Pendekatan resolusi konflik,
sebagai alternatifnya, melihat pada aspek kebergunaan suatu tindakan
dalam rangka pertama-tama menghentikan konflik itu sendiri (Meliala,
2001).

Revisi zonasi telah dan sedang dilakukan berbagai taman nasional untuk
mensinergikan pola pengelolaan kawasan konservasi dengan kebutuhan

236
Larik Tenure

lain, misalnya kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat


adat.

Di TNLL, pihak Balai mengakomodir kepentingan masyarakat adat lewat


persamaan persepsi mengenai pola ruang. Di satu pihak, masyarakat adat
telah memiliki pola ruang pengelolaan wilayah adat. Sementara di sisi lain,
TNLL juga memiliki zona pengelolaan. Dua hal ini, dalam konteks
pengelolaan tidak memiliki perbedaan mendasar.

Sebagaimana diuraikan BRWA, bahwa masyarakat adat Ngata Toro memiliki


peruntukan kawasan berupa Wana Ngkiki, Wana, Pahawa pongko, Oma,
Balingkea, dan Pangale. Tiap kawasan memiliki arti dan fungsi yang
berbeda-beda.

Revisi zonasi TNLL tahun 2017 bertujuan mengoptimalkan pengelolaan


kawasan melalui: (1) Akomodasi terhadap kepentingan sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat serta pembangunan wilayah; (2) Akomodasi terhadap
kepentingan pemanfaatan kawasan berupa Hasil Hutan Bukan Kayu dan
Jasa Lingkungan; dan (3) Memberikan arahan kebijakan penggunaan ruang
dalam kawasan TNLL dan pengendalian pemanfaatannya (BBTNLL, 2018).

Proses revisi zonasi ini tentunya sangat dipengaruhi oleh paradigma


pengelolaan kawasan konservasi. hal tersebut menghasilkan 2 (dua) Hal
yang fundamental, yakni: a) sinergitas konsep zonasi TNLL dengan ruang
adat berdasarkan usulan wilayah adat di TNLL, dan b) adanya perubahan
yang signifikan berupa adanya alokasi zona tradisional seluas 25.728 Ha,
dimana pada zonasi sebelumnya belum ada alokasi zona tradisional.

Di TNLL, faktor yang mendorong adanya revisi zonasi adalah: (1)


mensinergikan konsep ruang menurut adat ke dalam pengelolaan taman
nasional; (2) pemanfaatan masyarakat lokal dan pemanfaatan jasa
lingkungan; (3) Pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan; (4)
penyesuaian terhadap kondisi penutupan lahan terbaru; (5) mengakomodir
ruang kemitraan konservasi dengan masyarakat adat / lokal; (6) adanya
kebijakan baru batas TNLL (BBTNLL, 2018).

Sementara itu, Balai TN Sebangau saat ini dalam proses melakukan revisi
zonasi, baik dalam rangka penyelesaian konflik tenurial maupun
penyesuaian fungsi zona (baik naik atau turun) berdasarkan situasi di

237
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

lapangan terkini. Kendati demikian, konflik di lapangan terus saja


berlangsung. Pada momen ini, Balai TNS tengah mendorong percepatan
tata batas taman nasional dengan wilayah Kota Palangkaraya. Hal ini
penting mengingat wilayah batas ini akan terus menerus menjadi persoalan
bila tidak segera diselesaikan.

Kecuali itu, TNS juga terus berupaya melakukan sosialisasi tentang


pentingnya zonasi. Banyak pihak yang belum memahami sejauh mana
zonasi penjadi landasan pengelolaan taman nasional. Karenanya, sosialisasi
kepada para pihak juga terus dilakukan.

Menurut Ningsih, pada kasus Habaring Hurung, Balai TNS tercatat telah
melaukan beberapa kali pertemuan. Pertemuan-pertemuan tersebut
melibatkan masyarakat, Pemda, Anggota DPRD Palangkaraya, BPN. Namun
hingga saat ini, belum ada titik temu atau kesepakatan batas TNS di SPTN I
Habaring Hurung dengan Kota Palangkaraya. Balai TNS juga terus berupaya
melakukan pengusulan penetapan tata batas.

Sementara di TNBD, bekas kebakaran dengan mudah dapat ditemui.


Tanaman sawit segera menyerbu bekas-bekas kebakaran itu. Anggota
Masyarakat Mitra Polhut (MMP) di TNBD, Selambai (2020) mengatakan
bahwa kebun kelapa sawit bekas lahan terbakar itu dikelola oleh SAD.

Tapi iasa ya ha ya e taha se e ta saja, tidak aka sa pai pa e ,


ucapnya.

Selambai yang juga ketua sub kelompok dalam kelompok Tumenggung Grip
itu juga mengungkap, lahan-lahan akan segera berpindah tangan ke orang
desa sekitar, baik orang desa melayu maupun orang desa transmigrasi
dalam bentuk kontrak ataupun jual beli.

Di TNBD sendiri terdapat 2 kategori permasalahan tenurial, yaitu pertama


masalah pengelolaan dan pemanfaatan kawasan oleh SAD dan kedua
masalah pemanfaatan dan pengelolaan kawasan pada kebun-kebun tua
milik masyarakat desa tersebut. Revisi zonasi di TNBD dilakukan pada tahun
2019.
Di TNS, kebutuhan akan rezonasi diungkap sebagai bagian dari negosiasi
dengan wilayah eks transmigrasi. Rezonasi juga diperlukan untuk
mengakomodir keperluan penataan ruang Pemerintah Kota Palangkaraya.

238
Larik Tenure

Sementara di TNLL, untuk kepentingan masyarakat adat, dan di TN Bukit


Duabelas untuk menata wilayah pengelolaan masyarakat asli.

Di TNS, sejak pertengahan tahun 2020, Lembaga Alam Tropika Indonesia


(LATIN) berkoordinasi dengan pihak Balai TNS untuk mendukung program
rezonasi sebagai solusi antara di Kelurahan Habaring Hurung sebelum ada
keputusan eks transmigrasi ini dikeluarkan dari kawasan TNS. Kelurahan
Habaring Hurung merupakan wilayah yang sedang menjadi fokus kerja
LATIN untuk upaya penyelesaian konflik tenurial melalui skema rezonasi.
Proses ini sedang terus bergulir kendati masyarakat Habaring Hurung
dengan dukungan Pemerintah Kota Palangkaraya dalam proses penyiapan
usulan pelepasan kawasan ke KLHK. Namun kendala yang dihadapi saat ini
adalah pengumpulan sertifikat tanah untuk LU II dan pergeseran letak lokasi
yang ditunjuk dalam sertifikat berbeda dengan lokasi faktual yang ditinggali
atau digarap masyarakat saat ini (Siahaan, 2020).

Banyak sertifikat tanah masyarakat untuk LU II yang sudah tidak diketahui


keberadaannya. Bahkan banyak pemilik sertifikat yang sudah pindah keluar
daerah membawa serta sertifikatnya. Kendala tersebut menjadi masalah
serius, karena dalam pengusulan pelepasan kawasan harus sesuai luas
usulan dengan disertai bukti alas hak (Suroto, 2020).

Pertanyaan selanjutnya, kriteria zonasi seperti apa yang sesuai dengan


kebutuhan masyarakat? Bagaimana berdamai dengan para perambah?
Pendekatannya mungkin akan berbeda dari sekedar melakukan penegakan
hukum dan pemberdayaan masyarakat.

**

Berdasarkan kajian di 8 kawasan konservasi yang telah dilakukan, maka


resolusi konflik tenurial perlu mempertimbangkan kondisi objek, subjek dan
faktor yang telah diurai pada bagian sebelumnya.

Pemahaman matang mengenai objek sangat penting karena masing-masing


pihak yang berkonflik harus memastikan apa yang sedang dikonflikkan. Di
banyak pengalaman, objek konflik tidak terpetakan dengan matang,
sehingga pemetaan terhadap subjek juga menjadi masalah. Keduanya
saling berhubungan. Dengan memahami objek konflik tenurial secara

239
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

mendalam, Pemangku Kawasan tentu bisa memastikan siapa pihak-pihak


yang harus diajak duduk berunding.

Di kasus lain, mungkin saja yang terjadi adalah pemetaan objek sudah
sangat matang, namun pemetaan subjek konfliknya justru yang
bermasalah. Subjek yang dipetakan bisa saja melenceng dari kondisi konflik
tenurial yang sebenarnya. Subjek yang tidak dapat mewakili pihak yang
berkonflik secara langsung, tentu tidak akan mungkin dibawa berunding.
Merujuk pada sistem respresentasi dalam Perdirjen PSKL
P.6/PSKL/SET/PSL.1/5/2016, maka semestinya pihak Pengelola Kawasan
dapat memastikan pihak mana yang akan diajak berunding.

Sekali lagi, pemetaan atas objek dan subjek memang harus dilakukan
dengan detil, mendalam dan fokus. Dua hal ini juga akan sangat
mempengaruhi corak komunikasi di lapangan.

Komunikasi menjadi pintu yang dapat membuka ruang-ruang resolusi


konflik tenurial. Apa yang dilakukan Dedy dan timnya di Balai TNGR
merupakan pelajaran penting tentang bagaimana komunikasi interpersonal
bekerja. Kendati tidak banyak ditulis dalam teori-teori resolusi konflik, tapi
corak ini sesungguhnya ampuh dalam menjawab situasi yang
sesungguhnya. Ketimbang cara komunikasi formal yang dilakukan melalui
media rapat, pertemuan maupun surat-menyurat.

Tantangan komunikasi formal ini sangat terasa jika dilakukan terhadap


subjek konflik atau pihak-pihak yang memiliki gap kebudayaan yang sangat
timpang. Di TNBD contohnya memaksakan komunikasi formal kepada
Orang Rimba hanya akan mendatangkan kesia-sian.

Diskusi informal mungkin bisa menjadi salah satu kegiatan yang tidak
termasuk dalam mata anggaran, tapi Balai TN dituntut melakukan hal
tersebut agar proses resolusi berlangsung pada jalur yang diperlukan.

Namun bagaimana komunikasi bisa berjalan dengan benar? Hal ini perlu
didukung pula dengan pemahaman yang utuh terhadap situasi konflik yang
terjadi. Maka dari itu, pemetaan faktor konflik turut menyumbang
keberhasilan.

240
Larik Tenure

Faktor konflik, ketika diidentifikasi yang dengan baik akan memudahkan


komunikasi. Artinya, komunikasi akan menjadi hambar bila tidak terjadi
pemahaman utuh terhadap faktor konflik. Pengetahuan tentang fakta
lapangan, ditambah dengan pemahaman yang utuh mengenai faktor konflik
adalah senjata rahasia yang dapat dikeluarkan sewaktu-waktu.

Di sisi lain, ada pula model penyelesaian konflik yang memanfaatkan jasa
mediator. Itu bisa saja terjadi, tapi catatan ini tidak mendalami hal tersebut.
Jasa mediator termasuk ke dalam proses alternatif penyelesaian konflik
tenurial di luar pengadilan, dalam bahasa Inggris dikenal dengan Alternative
Dispute Resolution (ADR). ADR merupakan suatu perangkat penyelesaian
sengketa di luar pengadilan berbasis pada kesepakatan antar pihak yang
bersengketa. Ada beberapa istilah yang terkenal, misalnya: konsultasi,
negosiasi, konsiliasi, maupun penilaian ahli.

241
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

JILID 13

REVISI ZONA

242
Larik Tenure

Z onasi taman nasional menjadi salah satu mata belati yang diharapkan
dapat mengatasi konflik tenurial di lapangan. Zonasi merupakan
pembedaan wilayah pengelolaan taman nasional yang berbasis fungsi,
sebab taman nasional merupakan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zona yang dimanfaatkan
untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

Wilayah di dalam kawasan taman nasional, yang dibedakan menurut fungsi


dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat, disebut
sebagai zona. Taman nasional minimal mempunyai tiga zona, yaitu; inti,
rimba, dan pemanfaatan. Keberadaan zonasi taman nasional berakibat
pada akses, terutama masyarakat sekitar, berupa pembatasan, larangan
atau kegiatan yang hanya diperbolehkan jika telah memperoleh izin. Akses
di ak ai ‘i ot & Peluso : se agai ke a pua u tuk
memperoleh a faat da i sesuatu . Meka is e akses, e u ut ‘i ot &
Peluso (2003) terbagi dua, yaitu; hak/aturan legal, serta struktural dan
relasional. Mekanisme akses yang pertama berdasarkan hukum, kebiasaan
atau konvensi termasuk illegal access, sedangkan mekanisme akses yang
kedua melalui teknologi, modal, pasar, pekerjaan, pengetahuan,
kewenangan, identitas sosial, negosiasi dari relasi sosial. Dengan begitu,
pembuatan zonasi serta pembagiannya tidak hanya menentukan
pemanfaatan kawasan, tapi berakibat pada akses para pengguna, baik
kegiatan yang dilarang maupun tidak (Mahmud, Satria, & Kinseng, 2015).

Proses zonasi menyerupai istilah yang digunakan Vandergeest (1995) dan


Vandergeest & Peluso (1996) yaitu teritorialisasi. Teritorialisasi didefinisikan
Vandergeest sebagai proses yang dibuat negara untuk mengontrol orang
dan tindakannya dengan menarik batas di sekeliling suatu ruang geografis,
yang melarang beberapa kategori orang untuk masuk ke dalam ruang
tersebut, dan memperbolehkan atau melarang kegiatan-kegiatan tertentu
dalam batas tersebut. Teritorialisasi dibagi tiga tahap (Vandergeest, 1995;
Vandergeest & Peluso, 1996), yaitu; (1) Menegaskan kedaulatan teritorial
da ko t ol hasil de ga e egaska ah a se ua ta ah tak e tua
atau uka ilik siapa-siapa adalah ilik ega a. Pe uata atas
de a kasi ilayah ya g jelas sepe ti a ta a ka asa huta da
o huta . Te ito ialisasi fu gsio al de ga pe agia e agai
fungsi kawasan berdasarkan kriteria ilmiah seperti hutan produksi, hutan
lindung dan cagar alam. Dalam konteks taman nasional, zonasi dan

243
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

pembagiannya dibentuk dengan mengacu pada fungsi tiap zona, seperti inti,
rimba dan pemanfaatan, berdasarkan kriteria ilmiah seperti kajian ekologi.

Pembagian zona di Taman Nasional merujuk pada pasal 32 Undang Undang


Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Lantas diperjelas dengan Permen LHK P.76/Menlhk-
Setjen/2015 tentang Kriteria Zona Pengelolaan Taman Nasional Dan Blok
Pengelolaan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya Dan Taman
Wisata Alam.

Zona pengelolaan pada taman nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal


5 ayat (1) huruf a, terdiri atas zona inti; zona rimba; zona pemanfaatan;
dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan. Zona lainnya sebagaimana
dimaksudkan pada ayat (1) huruf d, terdiri atas : zona perlindungan bahari;
zona tradisional; zona rehabilitasi; zona religi, budaya dan sejarah; dan/atau
zona khusus (P.76, 2015).

Selanjutnya, P.76/2015 menjelaskan, Zona inti adalah kawasan taman


nasional yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan
berupa mengurangi, menghilangkan fungsi dan menambah jenis tumbuhan
dan satwa lain yang tidak asli. Kriteria zona inti meliputi: 1) memiliki
ekosistem atau merupakan perwakilan tipe ekosistem atau
fenomena/gejala alam dan formasi geologi yang masih asli dan alami; 2)
merupakan konsentrasi komunitas tumbuhan/biota target dan/atau
merupakan area dengan keragaman jenis yang tinggi; 3) merupakan lokasi
tempat kawin dan bersarang satwa target dan/atau tempat berpijah dan
pembesaran satwa/biota target; dan/atau 4) tempat singgah satwa migran
secara periodik.

Selanjutnya, Zona Rimba adalah bagian taman nasional yang ditetapkan


karena letak, kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan
pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan. Kriteria zona rimba
meliputi: 1) merupakan daerah sebaran tumbuhan dan daerah jelajah satwa
serta perkembang-biakan jenis target; 2) berbatasan dengan zona inti dan
atau zona pemanfaatan/batas fungsi; 3) merupakan lokasi tempat
kawin/berpijah dan pembesaran satwa/biota target; 4) memiliki ekosistem
yang masih asli dan alami; dan/atau 5) masih ditemukan tumbuhan dan
satwa/biota utama dalam jumlah yang cukup.

244
Larik Tenure

Zona pemanfaatan adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan


karena letak, kondisi dan potensi alamnya yang terutama dimanfaatkan
untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi lingkungan lainnya. Kriteria
zona pemanfaatan meliputi: 1) merupakan wilayah yang memiliki
keindahan alam/daya tarik alam atau nilai sejarah dan/atau wilayah dengan
aksesibilitas yang mampu mendukung aktivitas pemanfaatan; 2)
merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya sarana prasarana
antara lain untuk menunjang pemanfaatan dan pengelolaan; 3) bukan
merupakan konsentrasi komunitas tumbuhan/biota utama; 3) bukan
merupakan areal dengan keragaman jenis yang tinggi; dan/atau 4) terdapat
potensi jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan.

Zona Perlindungan Bahari adalah bagian dari kawasan perairan laut yang
ditetapkan sebagai areal perlindungan jenis tumbuhan, satwa dan
ekosistem serta sistem penyangga kehidupan. Kriteria zona perlindungan
bahari taman nasional disamakan dengan kriteria zona rimba taman
nasional

Zona tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan sebagai
areal untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang
secara turun-temurun mempunyai ketergantungan dengan sumber daya
alam. Kriteria zona tradisional merupakan wilayah yang memenuhi kriteria
sebagai zona rimba atau zona pemanfaatan yang telah dimanfaatkan untuk
kepentingan tradisional masyarakat secara turun-temurun.

Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan sebagai
areal untuk pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami
kerusakan. Kriteria zona rehabilitasi merupakan wilayah yang telah
mengalami kerusakan sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan
ekosistem.

Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasional yang
ditetapkan sebagai areal untuk kegiatan keagamaan, kegiatan adat-budaya,
perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. Kriteria zona religi, budaya dan
sejarah merupakan wilayah yang memenuhi kriteria sebagai zona rimba
atau zona pemanfaatan yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan religi,
adat budaya, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah.

245
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Zona khusus adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan sebagai
areal untuk pemukiman kelompok masyarakat dan aktivitas kehidupannya
dan/atau bagi kepentingan pembangunan sarana telekomunikasi dan listrik,
fasilitas transportasi dan lain-lain yang bersifat strategis. Kriteria zona
khusus meliputi: 1) terdapat bangunan yang bersifat strategis yang tidak
dapat dielakkan; 2) merupakan pemukiman masyarakat yang bersifat
sementara yang keberadaannya telah ada sebelum penetapan kawasan
tersebut sebagai taman nasional; dan/atau 3) memenuhi kriteria sebagai
wilayah pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan yang
keberadaannya tidak mengganggu fungsi utama kawasan.

Penataan zona/blok pada kawasan konservasi umumnya mengacu pada 2


prinsip dasar, yakni: pertama, mengakomodir kepentingan konservasi
ekosistem dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar
kawasan konservasi sebagai penunjang sistem penyangga kehidupan. Dan
kedua, merupakan dasar dalam penyusunan rencana tata ruang kawasan
konservasi dan rencana-rencana lain dalam rangka meningkatkan
pengelolaan kawasan konservasi.

Berdasarkan kajian dari Direktorat PIKA dan Direktorat Kawasan Konservasi


tahun 2018, dalam kawasan konservasi daratan, terdapat areal terbuka
(open area) seluas lebih kurang 2,2 juta hektare atau 9,95% dari total
22.108.630 hektare luas kawasan konservasi daratan. Daerah terbuka yang
berupa perambahan, biasanya merupakan perkebunan sawit, kopi, coklat,
karet atau untuk pertanian lahan kering, akibat pembalakan liar, kebakaran,
dan penambangan liar (Wiratno, 2018).

Sehingga, kawasan konservasi yang ada tidaklah seindah sebagaimana yang


dibayangkan. Selain dari degradasi lanskap menyebabkan ketidaksesuaian
kondisi objek kawasan konservasi yang seharusnya merupakan hutan
dengan tutupan yang baik, dalam kawasan konservasi juga terdapat
keberadaan masyarakat adat yang secara turun temurun memiliki kearifan
budaya sendiri dalam pengelolaan kawasan tersebut.

Keberadaan masyarakat adat ini diakui oleh konstitusi. Namun


perkembangan politik hukum kerap menganggap masyarakat adat tidak
ada, akibatnya mereka jarang atau tidak pernah terlibat dalam pengelolaan
kawasan hutan.

246
Larik Tenure

Perkembangan selanjutnya, gelombang reformasi mendorong perhatian


kepada masyarakat adat. Hal ini ditandai dengan putusan MK 35/2012 yang
memisahkan hutan adat dari hutan negara.

Sejalan dengan itu, lanjut Wiratno, angin segar penegakan hak atas wilayah
adat khususnya untuk hutan adat tercatat sampai dengan tahun 2018.
Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), HUMA dan mitra
lainnya telah mengusulkan wilayah adat seluas lebih kurang 1.640.264
hektare yang terdiri dari 134 komunitas adat. Seluas 1.334.554 hektare atau
81% dari luas usulan tersebut berada di taman nasional. Selain itu
berdasarkan kajian dari Direktorat PIKA dan Direktorat Kawasan Konservasi,
diidentifikasi sebanyak 6.381 desa berada di sekitar kawasan konservasi.

Perubahan kondisi yang mengakibatkan degradasi fungsi kawasan


konservasi (objek) dan keberadaan pihak-pihak yang memiliki atau merasa
memiliki kewenangan dalam pengelolaan kawasan konservasi (subjek)
inilah yang disebut sebagai konflik tenurial dalam kawasan hutan.
Sebagaimana Konflik tenurial kawasan hutan didefinisikan dalam peraturan
berbagai bentuk perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan,
pengelolaan, pemanfaatan, dan penggunaan kawasan hutan (P.84, 2015).

Dalam upaya penyelesaian konflik tenurial, KLHK melalui Unit Pelaksana


Teknis (UPT) terkait di bawah Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE) mengambil salah satu langkah berupa
revisi zonasi taman nasional. Salah satu tujuannya adalah untuk
mengakomodir ruang-ruang pemanfaatan kawasan hutan oleh masyarakat
setempat.

Revisi zonasi ini dapat juga merupakan sebagai pra kondisi upaya resolusi
konflik tenurial melalui kemitraan konservasi. Hal ini dikarenakan ada
kalanya Kemitraan Konservasi dihadapkan dengan hambatan dalam
mewujudkan kesepakatan para pihak untuk pemanfaatan sumber daya
pada objek-objek (zona) tertentu dalam kawasan konservasi. Contohnya,
pada zona rimba dan zona inti ada pelarangan akses pengelolaan kecuali
untuk tujuan yang telah ditetapkan. Maka untuk kepentingan resolusi
konflik, memungkinkan untuk dilakukan revisi zonasi.

247
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Perubahan dan kelayakan lokasi-lokasi dalam kawasan konservasi,


khususnya taman nasional sebagai area perlindungan ekosistem dan untuk
menghadapi konflik ruang yang terjadi dalam kawasan tersebut, zonasi
sesungguhnya dapat digunakan sebagai cara kompromi yang bisa diterima
oleh para pihak. Sehingga zonasi hendaknya mampu mengakomodir
berbagai kepentingan para pihak yang ada di dalam dan di sekitar kawasan
yang tentunya harus diarahkan untuk sesuai dengan fungsi taman nasional.

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam menentukan potensi dan


fungsi suatu kawasan konservasi di antaranya adalah keanekaragaman
hayati, nilai arkeologi, nilai objek wisata dan nilai jasa lingkungan. Aspek
ekologi yang diperhatikan seperti tanah, geologi, iklim, topografi,
geomorfologi dan penggunaan lahan, serta oseanografi pada wilayah
perairan. Begitu pula, tak kalah penting diperhatikan adalah aspek sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat seperti jumlah pengguna kawasan, mata
pencaharian dan kearifan lokal sebelum dibentuknya kawasan taman
nasional, agar pengelolaan mendapat dukungan dari masyarakat setempat
(Mahmud, Satria, & Kinseng, 2015).

Perubahan atau revisi zonasi taman nasional dilakukan berdasarkan kondisi


terkini di kawasan taman nasional tersebut. Revisi zonasi diawali dengan
evaluasi yang dapat berupa; 1) Evaluasi secara periodik paling lama 10
(sepuluh) tahun sesuai dengan hasil inventarisasi potensi kawasan, yang
dilakukan oleh Kepala Unit Pengelola/UPTD; dan 2) evaluasi karena kondisi
tertentu antara lain perubahan kawasan, bencana alam, kebakaran hutan,
serangan hama dan penyakit, evaluasi zona pengelolaan atau blok
pengelolaan KSA/KPA dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan
pengelolaan (P.76, 2015).

Dilihat dari tujuannya, revisi zonasi dilakukan agar dapat mengakomodir


berbagai kepentingan seperti ekologi, sosial ekonomi, pariwisata,
perikanan, konservasi sehingga pengelolaan dapat berjalan dengan baik dan
berkesinambungan serta mendapat dukungan dari masyarakat dan seluruh
stakeholder yang ada. Penetapan zonasi suatu kawasan memungkinkan
untuk dilakukan kompromi sesuai dengan kepentingan bersama (Sulisyati,
Prihatinningsih, & Mulyadi, 2018).

Berdasarkan tujuan tersebut, maka pada setiap tahapan proses revisi zona
dapat dikatakan sebagai proses resolusi konflik. Karena cara-cara resolusi

248
Larik Tenure

konflik berupa konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau pendapat ahli


telah terangkum di dalam tahapan proses itu.

Revisi zona yang telah dan sedang dilakukan untuk mensinergikan pola
pengelolaan kawasan konservasi dengan kebutuhan lain. Misalnya
kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat adat. Catatan
ini merujuk pada hasil studi lapangan yang dilakukan di TNLL dan TNBD.

**

Dalam upaya resolusi konflik tenurial melalui kemitraan konservasi


dimungkinkan terdapat hambatan dalam mewujudkan kesepakatan para
pihak untuk pemanfaatan sumber daya pada objek-objek (zona) tertentu.
Contohnya pada zona rimba dan zona inti, ada pelarangan akses
pengelolaan kecuali untuk tujuan yang telah ditetapkan. Untuk itu,
mungkinkan untuk dilakukan revisi zona.

Di TNLL, Balai mengakomodir kepentingan masyarakat adat lewat


persamaan persepsi mengenai pola ruang. Di satu pihak, masyarakat adat
telah memiliki pola ruang pengelolaan wilayah adat. Sementara di sisi lain,
TNLL juga memiliki zona pengelolaan. Dua hal ini, dalam konteks
pengelolaan tidak memiliki perbedaan mendasar.

Sebagaimana diuraikan BRWA, bahwa masyarakat adat Ngata Toro memiliki


peruntukan kawasan berupa Wana Ngkiki, Wana, Pahawa pongko, Oma,
Balingkea, dan Pangale. Tiap kawasan memiliki arti dan fungsi yang
berbeda-beda.

Revisi zonasi TNLL tahun 2017 bertujuan mengoptimalkan pengelolaan


kawasan melalui: (1) Akomodasi terhadap kepentingan sosial, ekonomi dan
budaya masyarakat serta pembangunan wilayah; (2) Akomodasi terhadap
kepentingan pemanfaatan kawasan berupa Hasil Hutan Bukan Kayu dan
Jasa Lingkungan; dan (3) Memberikan arahan kebijakan penggunaan ruang
dalam kawasan TNLL dan pengendalian pemanfaatannya (BBTNLL, 2018).

Proses revisi zonasi TNLL tentunya sangat dipengaruhi oleh paradigma


pengelolaan kawasan konservasi. Proses tersebut menghasilkan 2 hal yang
fundamental, yakni; a) adanya sinergitas konsep zonasi TNLL dengan ruang
adat berdasarkan usulan wilayah adat di TNLL, dan b) adanya perubahan

249
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

yang signifikan berupa alokasi zona tradisional seluas 25.728 Ha, dimana
pada zonasi sebelumnya zona tradisional belum dialokasikan.

Di TNLL, faktor yang mendorong adanya revisi zonasi adalah: (1)


Mensinergikan konsep ruang menurut adat ke dalam pengelolaan taman
nasional; (2) Pemanfaatan masyarakat lokal dan pemanfaatan jasa
lingkungan; (3) Pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan; (4)
Penyesuaian terhadap kondisi penutupan lahan terbaru; (5) Mengakomodir
ruang kemitraan konservasi dengan masyarakat adat / lokal; (6) Adanya
kebijakan baru batas TNLL (BBTNLL, 2018).

Sementara di TNBD , bekas kebakaran dengan mudah dapat ditemui.


Tanaman sawit segera menyerbu bekas-bekas kebakaran itu. Anggota
Masyarakat Mitra Polhut (MMP) di TNBD, Selambai (2020) mengatakan
bahwa kebun kelapa sawit bekas lahan terbakar itu dikelola oleh SAD.

Tapi iasa ya ha ya e taha se e ta saja, tidak aka sa pai pa e ,


ucapnya.

Selambai yang juga Ketua Sub Kelompok dalam Rombong Tumenggung Grip
itu juga mengungkap, lahan-lahan akan segera berpindah tangan ke orang
desa sekitar, baik orang desa melayu maupun orang desa transmigrasi
dalam bentuk kontrak ataupun jual beli.

Rombong dalam hal ini dapat diartikan sebagai kelompok persatuan Orang
Rimba berbasis klan atau keluarga. Tiap rombong biasanya terdiri dari
keluarga-keluarga yang memiliki hubungan kerabat dekat, dan dipimpin
seorang Tumenggung.

Sementara di sisi lain, aturan atau pedoman zonasi taman nasional sendiri
secara substansi belum mengakomodasi hak-hak pemanfaatan SDA secara
khusus untuk masyarakat adat baik pemanfaatan ruang maupun hayati
berikut dengan bentuk pengendaliannya (Mulyani W. , 2014).

Pandangan Mulyani mungkin bisa jadi benar dalam konteks waktu. Namun
apakah hari ini masih serelevan itu? P.76 (2015) sesungguhnya mencoba
mengakomodir kepentingan hak pemanfaatan sumber daya alam oleh
masyarakat adat. Misalnya dengan penetapan zona religi, budaya dan
sejarah. Zona ini ditetapkan sebagai wilayah untuk kegiatan keagamaan,

250
Larik Tenure

adat-budaya, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. Kriteria zona ini


merupakan wilayah yang memenuhi kriteria sebagai zona rimba atau zona
pemanfaatan yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan religi, adat
budaya, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah.

P.76/2015 selanjutnya menjelaskan, kegiatan yang dilakukan di dalam zona


meliputi: a) perlindungan dan pengamanan; b) inventarisasi dan monitoring
sumber daya alam hayati dengan ekosistemnya; c) penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan; d) pendidikan dan peningkatan
kesadartahuan konservasi alam; e) pemanfaatan sumber plasma nutfah
untuk penunjang budidaya; f) penyelenggaraan upacara adat budaya
dan/atau keagamaaan; g) pemeliharaan situs religi, budaya dan/atau
sejarah; h) wisata alam terbatas; dan i) pemulihan ekosistem.

Di TNBD sendiri terdapat 2 kategori permasalahan tenurial, yaitu pertama


masalah pengelolaan dan pemanfaatan kawasan oleh SAD, dan kedua
masalah pemanfaatan dan pengelolaan kawasan pada kebun-kebun tua
milik masyarakat desa tersebut.

Revisi zonasi di TNBD dilakukan pada tahun 2019. Pertanyaan selanjutnya,


kriteria zonasi seperti apa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat?

Pada ranah lain, kontribusi masyarakat adat (seperti yang terjadi di TNLL)
pada saat bersamaan juga mendapat tempat. Tak hanya itu, para perambah
yang telah terlanjur menguasai lahan di TNMB juga mendapat solusi
berkelanjutan. Apakah hal tersebut juga akan menjadi sesuatu yang berarti
di SM Kateri? Entahlah.

Namun UPT dan Ditjen KSDAE tentunya juga harus berhitung risiko. Salah
satu risiko yang mungkin akan muncul adalah yang berkaitan dengan
dimensi waktu. Diperlukan waktu tambahan untuk menyelesaikan revisi
zona agar dokumennya tidak menjadi dokumen mati yang kaku. Atau bila
waktu telah ditetapkan, maka dibutuhkan Tim Revisi Zona yang cukup kuat
untuk menyelesaikan revisi ini tepat pada waktunya.

Misal di TNLL, kendati revisi zonasi telah dilakukan dengan melibatkan


kontribusi masyarakat adat, tapi masih menyisakan hal-hal minor yang
harus diselesaikan. Dokumen revisi zonasi TNLL harus kembali didiskusikan
dengan detil bersama masyarakat adat. Di TNBD, ada jurang pengetahuan

251
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

yang memisahkan antara Balai TN dengan Orang Rimba. Sementara di TNS,


proses revisi zonasi mesti menemukan momentum yang sesuai agar tingkat
keberterimaannya menjadi tinggi.

Pertanyaannya selanjutnya, bagaimana menciptakan momentum agar para


pihak mendapat ruang untuk duduk bersama mendiskusikan revisi zonasi?
Konflik mungkin menjadi salah satu jawaban. Mentranformasikan konflik
menjadi ruang diskusi positif tentunya akan berdampak baik bagi semua
pihak. Namun para pihak, terutama UPT mesti berhitung, momentum apa
di dalam konflik itu yang mesti digunakan? Pelajaran penting dari TNGR
misalnya, UPT memanfaatkan pergantian Kepala Daerah untuk
mentransformasikan konflik menjadi kerjasama antar pihak.

Partisipasi
Berdasarkan hasil kajian tersebut, maka proses dan tahapan revisi zonasi
memang masih mengacu pada regulasi yang tersedia, yakni: 1) Persiapan;
2) Pengumpulan dan Analisis Data, termasuk melakukan kajian-kajian
ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang mencakup
identifikasi nilai penting kawasan, analisa tutupan/penggunaan lahan,
identifikasi para pihak; 3) Penyusunan draf rancangan rancangan zonasi
berdasarkan target konservasi; 4) Konsultasi publik; 5) Perancangan; dan 6)
Tata batas dan penetapan.

Tahapan-tahapan tersebut mestinya dapat melibatkan dan memperkuat


peranserta masyarakat secara aktif. Namun dalam pelaksanaannya,
pelibatan masyarakat terkendala karena minimnya kegiatan yang
mendukung ke arah tersebut. Kegiatan-kegiatan revisi zonasi yang
dilakukan UPT sebatas pada kegiatan yang ada nomenklaturnya di dalam
perencanaan dan mata anggaran. Karenanya, beberapa kegiatan tidak
mungkin dilakukan. Padahal, kegiatan-kegiatan tersebut dapat secara luas
menjaring pelibatan masyarakat.

Tabel di bawah ini menjelaskan tahapan dan kegiatan yang dapat dilakukan
oleh UPT guna memfasilitasi peranserta masyarakat secara aktif dalam
rangka resolusi konflik penataan ruang.

252
Larik Tenure

Tabel 5. Tahapan, Kegiatan dan Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Zonasi TN


No Tahapan Kegiatan Bentuk Partisipasi dan Tujuan
Kegiatan Bersama Masyarakat

1 Persiapan  Rapat-rapat internal Balai Masyarakat dapat terlibat


TN, termasuk penunjukan memberikan data dan opini dalam
Tim Revisi Zonasi, sosialisasi dan dialog yang bertujuan
penyusunan perencanaan untuk menyusun rencana kegiatan
dan anggaran rezonasi dan pembentukan tim
 Serial Sosialisasi dan dialog rezonasi
rencana revisi zonasi
2 Pengumpulan dan  Kajian Meja Masyarakat dapat terlibat
Analisis Data,  Wawancara lapangan memberikan data dan opini dalam
termasuk melakukan  Serial Diskusi terfokus dan wawancara lapangan, diskusi
kajian-kajian dialog dengan masyarakat terfokus dan dialog, pemetaan
ekologis, sosial,  Serial Pemetaan partisipatif serta kunjungan
ekonomi dan budaya partisipatif lapangan. Ini bertujuan untuk:
masyarakat yang  Serial Kunjungan lapangan  Mengetahui usulan penataan
mencakup dari para pihak, termasuk zona dari masyarakat terkait
identifikasi nilai Pemerintah Daerah dan dengan aktivitas yang telah
penting kawasan, unit kerja pemerintah dilakukan
analisa yang mungkin akan  Mengadopsi dan memadukan
tutupan/penggunaan bersinggungan dengan usulan zona masyarakat adat
lahan, identifikasi mandat Balai Taman dengang sistem zona dari TN
para pihak Nasional sebagai  Memvalidasi usulan zona dari
pengelola TN di level tapak masyarakat
 Mengumpulkan data terkait
ekologi, dan sosial ekonomi
masyarakat untuk
memadukan usulan zona
masyarakat dengan TN
3 Penyusunan draf  Penyusunan dokumen Masyarakat dapat terlibat
rancangan zonasi  Serial Konsultasi dan memberikan data dan opini dalam
berdasarkan target dialog terbatas dengan konsultasi dan dialog terbatas dan
konservasi para pihak konsultasi draf dokumen revisi
 Serial Konsultasi draf zonasi, bertujuan untuk:
dokumen revisi zonasi  Menyepakati perubahan zona
yang mengkomodasi usulan
masyarakat/adat dan target
konservasi
 Menghasilkan draf peta
perubahan zonasi yang
disepakati bersama
4 Konsultasi publik  Serial Diskusi dan dialog Masyarakat dapat terlibat
Terfokus memberikan data dan opini dalam
 Serial Workshop / diskusi dan dialog terfokus,
Lokakarya workshop/lokakarya dan
 Publikasi dan layanan penyempaian masukan / keluhan
penyampaian melalui layanan web, bertujuan
masukan/keluhan berbasis untuk:
web  Menghimpun ragam masukan
dari masyarakat untuk revisi
zonasi

253
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

 Menyebar-luaskan informasi
mengenai revisi zonasi
 Menjaring partisipasi
khalayak luas untuk
memberikan pandangan
terhadap perubahan zonasi
yang diusulkan
5 Perancanan  Penyusunan dokumen Masyarakat dapat terlibat
final revisi zonasi memberikan data dan opini dalam
 Serial Konsultasi dan konsultasi dan dialog terbatas serta
dialog terbatas dengan sosialisasi dan dialog rancangan
para pihak revisi zonasi, bertujuan untuk
 Serial Sosialisasi dan dialog menyelesaikan dokumen perubahan
rancangan revisi zonasi zonasi yang disepakati bersama,
untuk kemudian di sampaikan ke
PIKA-KSDAE dalam rangka tinjauan
akhir
6 Tata batas dan  Serial Diskusi dan dialog Masyarakat dapat terlibat
penetapan Terfokus memberikan data dan opini dalam
 Serial Workshop / diskusi dan dialog terfokus,
Lokakarya workshop/lokakarya, tata batas
 Tata batas lapangan lapangan dan sosialisasi tata batas,
 Serial Sosialisasi tata batas bertujuan agar patok tata batas
lapangan dapat dipasang di lapangan
berdasarkan pengetahuan,
kesepahaman dan persetujuan
masyarakat.

Kecuali enam tahapan tersebut, tahapan penting lainnya adalah melakukan


Evaluasi Berkala pada dokumen untuk Revisi Zona secara partisipatif.
Kendati dalam pelaksanaannya, di UPT tidak terdapat nomenklatur tahapan
ini. Tapi setidaknya, upaya tersebut sedang dilakukan di TNLL.

Sebuah lokakarya difasilitasi oleh BPSKL Sulawesi pada 3 hingga 5 November


2020. Melalui dukungan FP 3, BPSKL Sulawesi melaksanakan Lokarya
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Adat di TNLL. Lokakarya ini telah
berhasil memetakan secara indikatif irisan zonasi dan tata ruang adat
termasuk kandungan hak dan kewenangan dari sudut pandang hukum adat
dan hukum negara di tiga komunitas adat; Toro, Lindu, dan Moa. Pada
kesempatan ini juga telah di sepakati rencana tindak lanjut bersama antara
TNLL dan Komunitas Adat pada masing-masing objek yang diidentifikasi
tersebut.

BPSKL Sulawesi melalui program FP 3 telah berhasil membuka saluran


komunikasi untuk penyelarasan perbedaan ini. Diharapkan ke depannya
kerja multi pihak ini secara konsisten terus dilaksanakan dan melibatkan

254
Larik Tenure

pihak-pihak lain yang juga berkepentingan misalnya pemerintah daerah dan


pendamping masyarakat.

Ini sebuah langkah maju dalam resolusi konflik, dimana konflik antara
masyarakat dengan Taman Nasional difasilitasi oleh BPSKL yang berada di
lingkup Direktorat Jenderal berbeda dengan Direktorat Jenderal KSDAE.
Pada level ini, apa yang diisyaratkan Wiratno melalui cara pandang baru
pengelolaan kawasan konservasi menjadi sangat relevan.

Rambu-Rambu
Ada tiga hal penting lainnya yang harus diperhatikan dalam
menentukan/membagi zonasi, yaitu: jenis zona yang dibutuhkan, luas
masing-masing zona, dan lokasi zona. Untuk merumuskan hal tersebut,
pengkajian dan pemahaman terhadap sumber daya alam hayati dan
ekosistem kawasan taman nasional dengan seluruh unsur yang ada di
dalamnya mutlak diperlukan. Penetapan zonasi taman nasional tidak
bersifat permanen serta dapat dilakukan penyesuaian dan perubahan
sesuai dengan perkembangan dan kepentingan pengelolaan, kondisi
potensi sumber daya alam dan ekosistemnya, serta kepentingan interaksi
dengan masyarakat. Dimungkinkan setiap tiga tahun sekali dilakukan
evaluasi terhadap perkembangan dan efektivitas zonasi (Moira Moeliono,
2010).

Berbasis perkembangan di lapangan, maka ditemukan delapan rambu-


rambu yang harus diperhatikan UPT dalam rangka revisi zona atau blok
pengelolaan, berikut meresolusi konflik tenurial.

Pertama, bahwa rezonasi memang diperlukan sebagai upaya


mengakomodir keterlanjuran pengelolaan yang telah dilakukan oleh pihak-
pihak di luar kawasan konservasi. Hal ini menjadi kenyataan yang tidak
dapat dihindarkan. Keterlanjuran mungkin akan dapat dicegah di kemudian
hari lewat upaya revisi zona. Pembatasan pengelolaan kawasan konservasi
bagi masyarakat yang telah terlanjur merangsek ke dalam kawasan penjadi
penting. Tapi pembatasan saja tidak cukup, hal ini perlu diiringi dengan
upaya komunikasi yang terus-menerus.

Kedua, baiklah ada keterlanjuran, namun sejauh mana revisi zona atau blok
pengelolaan selaras dengan tujuan-tujuan konservasi kawasan. Karena,
penting juga memikirkan sejauh mana upaya-upaya berbasis keilmuan dan
255
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

konservasi dapat diselaraskan dengan tujuan revisi zona. Hal ini penting
agar fungsi kawasan konservasi tetap dapat dipertahankan.

Ketiga, sejauh mana revisi zona atau blok pengelolaan mampu memberikan
jalan keluar atau solusi atas konflik tenurial yang sedang berlangsung.
Bahwa revisi bukan hanya dipe luka se agai e tuk u du sela gkah
dari pengelolaan kawasan konservasi yang dilakukan negara, tapi revisi
adalah pe etapa daya le ti g atas pe gelolaa ka asa ko se asi di
masa depan. Revisi zona atau blok pengelolaan ibarat menarik anak panah
pada busurnya, dengan zona yang tepat dan sesuai, diharapkan anak panah
akan meluncur tepat sasaran.

Keempat, revisi zonasi merupakan suatu bentuk perlindungan hak


masyarakat adat yang secara turun temurun telah bermukim dalam
kawasan konservasi yang memang wajib dilindungi sebagaimana amanat
konstitusi negara. Hutan bagi masyarakat adat merupakan identitas atau
jati diri mereka selain itu hutan juga merupakan sumber mata pencaharian
utamanya.

Kelima, revisi zonasi merupakan bagian dari upaya untuk memudahkan


tugas-tugas UPT. Melalui proses ini, UPT dapat lebih mengarahkan dan
memfokuskan sumber daya yang terbatas untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan penting.

Keenam, UPT sepertinya masih terjebak pada tahapan revisi zona kawasan
yang disesuaikan dengan nomenklatur mata anggaran. Karenanya,
kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan tahapan tersebut belum begitu
berkembang. Padahal, kegiatan-kegiatan yang dilakukan dapat membuka
peluang terlibatnya masyarakat. Namun hal ini kemudian berdampak pada
lamanya pengerjaan revisi dan jumlah ketersediaan dana yang mampu
membiayai rangkaian kegiatan dimaksud.

Ketujuh, adanya kesenjangan aspirasi antara Pemerintah Desa dan para


tokoh di level desa dengan masyarakat desa itu sendiri. Biasanya, aspirasi
yang diidentifikasi dan dirangkum oleh UPT terbatas pada aspirasi
perangkat pemerintahan desa dan para tokoh di level desa. Padahal,
aspirasi tersebut belum tentu menjadi bagian dari aspirasi dan kebutuhan
masyarakat secara keseluruhan. Penjaringan aspirasi lebih banyak terjebak
pada proses formal di level desa tanpa melibatkan pihak-pihak yang

256
Larik Tenure

marginal. Dengan demikian, pendekatan inkulsif tidak dapat dihindarkan


dalam konteks ini. Hal ini sejalan dengan apa yang pernah diungkap
Wiratno, no one left behind.

Kedelapan, adanya Free Rider dalam proses revisi zona atau blok
pengelolaan kawasan konservasi mesti mendapat perhatian khusus. Para
free rider ini akan terus berupaya memanfaatkan proses revisi untuk
melancarkan kepentingannya. Misalnya, para free rider yang berkeinginan
kuat melakukan jual-beli lahan di TNBD, maupun mereka yang melakukan
klaim adat terhadap TNS.

Rambu-rambu tersebut penting menjadi bagian tidak terpisah dari strategi


implementasi lapangan. Satu sisi, silang sengkarut memang harus
diselesaikan. Tapi di sisi lain, silang sengkarut ini diharapkan tidak
menimbulkan masalah prinsip yang baru.

Apa itu masalah prinsip? misalnya, tidak menciderai keterlibatan aktor-


aktor utama seperti masyarakat lokal. Prinsip free, prior and informed
consent (FPIC) atau Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan
(PADIATAPA) menjadi penting sebagai acuan di tahap permulaan. Untuk itu,
dalam pelaksanaan revisi zona atau blok pengelolaan kawasan konservasi,
prinsip ini tidak mungkin dinegasikan.

Kecuali itu, revisi zona atau blok pengelolaan mestinya juga menjadi acuan
awal atas kontribusi para pihak untuk konservasi kawasan hutan, utamanya
kawasan konservasi. Secara teknis, kontribusi ini tentu dipimpin oleh
pemangku kawasan, namun hal itu dilakukan dengan masukan positif dari
para pihak. Dalam konteks ini, extended family yang diurai oleh Dirjen
KSDAE menemukan jalannya.

257
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

JILID 14

PENEGAKAN HUKUM

258
Larik Tenure

D irektorat Jenderal Penegakan Hukum LHK menjadi salah satu unit


tugas yang dibentuk awal Juli 2015. Lima tahun sejak dibentuknya
satuan unit kerja ini, sedikit banyak telah memberikan andil positif dalam
menjaga kualitas lingkungan hidup dan keberlanjutan pengelolaan hutan
menjadi lebih kuat. Peran unit kerja Direktorat Jenderal Penegakan Hukum
LHK adalah sebagai unit kerja pendukung yang cenderung bersifat responsif
dalam membangun dan melestarikan lingkungan hidup dan kehutanan di
seluruh wilayah Indonesia. Menjadi gerbang terakhir dalam satuan kerja
Kementerian LHK, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup
dan Kehutanan senantiasa mendukung melalui penegakan hukum secara
tegas dan konsisten dalam ranah lingkungan hidup dan kehutanan demi
tercapainya Indonesia yang maju, berdaulat, mandiri, dan berkepribadian
gotong royong (Ditjen Gakkum LHK, 2020).

Upaya Ditjen Gakkum LHK tentu menjadi bagian tidak terpisah atas
sengketa di kawasan konservasi. Di TNGR misalnya, Direktorat ini berkali-
kali berurusan dengan para perambah yang menamakan dirinya Pejuang
Tanah Adat Jurang Koak. Anak Bungsu KLHK ini turut berjibaku melakukan
kordinasi dengan aparat penegak hukum di NTB, maupun Lombok Timur.

Hal serupa juga dilakukan di TNMB. Persoalan pembalakan liar yang sempat
merenggutnya nyawa di TNMB menjadi salah satu urusan yang tidak lepas
dari Ditjen ini. Berikut pula dengan kasus PETI di dalam kawasan TNBBBR,
serta kasus-kasus lainnya.

Kendati cenderung bersifat responsif, Ditjen ini dilengkapi dengan Balai


yang tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi serta Maluku dan
Papua.

Dibawah kendali Direktur Gakkum LHK, ada Satuan Polisi Kehutanan Reaksi
Cepat (SPORC). Satuan ini bertugas melakukan gerak cepat dalam
penanganan kasus-kasus tindak pidana kehutanan.

Kinerja SPORC bersama Polhut dan PPNS yang selama lima tahun ini
telah melakukan 1.480 operasi. Dimasa Pandemi Covid-19 tahun
2020, SPORC juga terus melakukan operasi-operasi, di antaranya 78
operasi penindakan pembalakkan liar yang berhasil mengamankan
ribuan meter kubik kayu haram, 51 operasi perambahan hutan, 47

259
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

operasi penindakan perdagangan tumbuhan dan satwa liar, dan 184


kasus yang ditindak SPORC berhasil P21 (Biro Humas KLHK, 2021).

Sebagai catatan, P21 adalah pemberitahuan awal bahwa hasil penyidikan


sudah lengkap. P21 adalah salah satu kode sesuai Keputusan Jaksa Agung
no 132/JA/11/94 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.

Di seluruh Indonesia, terdapat 16 unit Brigade SPORC. Brigade Macan Tutul


bermarkas di Medan, Brigade Beruang bermarkas di Pekanbaru, Brigade
Siamang bermarkas di Palembang, Brigade Harimau bermarkas di Jambi,
Brigade Elang bermarkas di Jakarta, Brigade Banteng bermarkas di
Surabaya, Brigade Komodo bermarkas di Kupang, Brigade Bekantan
bermarkas di Pontianak, Brigade Kalawait bermarkas di Palangkaraya,
Brigade Enggang bermarkas di Samarinda, Brigade Anoa bermarkas
di Makassar, Brigade Maleo bermarkas di Palu, Brigade Kera Hitam
bermarkas di Manado, Brigade Kakatua bermarkas di Ambon, Brigade
Kasuari bermarkas di di Manokwari, dan Brigade Kanguru bermarkas di
Jayapura.

Di level tapak, penegakan hukum bidang kehutanan juga melibatkan


Kepolisian dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Pada kasus Hutan
Pesugulan di TNGR misalnya, para pihak bahu-membahu melakukan
penyelesaian sengketa lahan yang melibatkan Pejuang Tanah Adat Jurang
Koak. Beberapa kali aksi penegakan hukum dilakukan guna menekan
gerakan para perambah. Demikian pula yang terjadi pada kasus PETI di
TNBBBR, dan kasus pembalakan liar di TNMB.

Di TNBBBR, upaya penegakan hukum dengan melakukan patroli gabungan


dengan masyarakat, TNI dan Polri, dirasa masih menjadi opsi utama dalam
penanganan konflik di lapangan terkait aktivitas PETI. Aktivitas PETI
sebenarnya masih menjadi perdebatan apakah masuk kategori konflik
tenurial, karena pelaku PETI tidak mengklaim kepemilikan kawasan. Untuk
penindakan pelaku aktivitas pembalakan liar, Polhut juga terlebih dahulu
memberikan peringatan, karena selama ini jika langsung ditangkap dan
dibawa ke kantor polisi, maka Balai TNBBBR yang menanggung semua biaya.
Oleh karena itu upaya memberi peringatan kepada pelaku pembalakan liar
dirasa cukup efektif. Namun jika sudah diperingatkan namun tetap
dilakukan, maka Polhut akan langsung menindak lanjuti dan dibawa ke
pihak berwajib (Sunaryo, 2020). Dari kasus-kasus yang berkembang

260
Larik Tenure

tersebut, terdapat catatan terkait dengan pra-operasi, ketika operasi dan


pasca operasi.

Sementara di SM Kateri, upaya gakkum memang mengalami kendala.


Utamanya, karena proses politik terhadap eks pengungsi Timor Timur masih
berlangsung.

Pada masa awal perambahan di tahun 2000, terkesan tidak ada langkah
upaya hukum oleh BBKSDA NTT. Hal ini terjadi, karena koordinasi belum
optimal di antara pihak-pihak. Akibatnya, oknum masyarakat lokal turut
melakukan perambahan. Jumlah petugas lapangan juga sangat terbatas,
hanya 2 orang, tak sebanding dengan luas kawasan yang 4.699,32 hektare
(BBKSDA NTT, 2020).

Pra-Operasi
Kordinasi menjadi kunci dalam proses penegakan hukum di lapangan.
Pengalaman kasus Joben di TNGR layak menjadi catatan. Mulanya, proses
kordinasi dibangun dengan terseok-seok. Masing-masing pihak – Pemda
Lombok Timur dan BTNGR/KLHK – seolah kukuh pada posisi masing-masing.
Beragam langkah kordinasi telah dilakukan, namun terbentur. Pemda
Lombok Timur dan Balai TNGR seolah berada dalam situasi yang tidak
memungkinkan untuk duduk bersama. Kendati proses surat-menyurat
resmi dilakukan, tapi hal ini seolah hanya mempertegas posisi masing-
masing.

Kasus Joben lantas bergulir pada kasus PKTI di Hutan Pesugulan. Kelompok
Pejuang Tanah Adat Jurang Koak seolah mendapat angin. Mereka merasa
dikuatka oleh ok u Pe da Lo ok Ti u u tuk e ga il ke ali
tanah adat mereka. Hal serupa juga dilakukan para pendukung yang berasal
dari beragam organisasi non pemerintah.

Di Hutan Pesugulan, adu strategi menjadi kelaziman. Kisah tentang kaum


perempuan yang berdiri di garis depan para pejuang tanah adat menjadi
salah satu yang menarik. Pada saat Pra-Operasi, kemungkinan itu sudah
diprediksi oleh pihak Balai TNGR. Dalam rapat-rapat kordinasi yang digelar
sebelum melakukan penegakan hukum, prediksi ini telah dibicarakan.

261
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Kecuali itu, hal lain yang kemungkinan juga akan muncul adalah
penyerangan petugas oleh sekelompok orang bersenjata tajam. Atau
bahkan provokasi massa yang menjurus pada bentrok fisik.

Koordinasi tentunya juga melibatkan proses komunikasi yang cukup


intensif. Kasus penegakan hukum di TNMB yang melibatkan Kepolisian
tentu memberikan pelajaran penting bahwa komunikasi menjadi vital. Pada
tahap awal, komunikasi antara Balai TNMB dengan Kepolisian sudah
terbangun dengan baik, demikian pula dengan Balai Gakkum LHK di Jakarta
dan tentunya SPORC Brigade Banteng (Surahman, 2020).

Komunikasi antar aparat penegak hukum adalah proses yang cukup menyita
tenaga, biaya dan pikiran. Di TNGR, proses ini sangat menentukan berhasil
atau tidaknya penyelesaian kasus Joben dan Hutan Pesugulan. Kuncinya,
Balai TNGR membangun pertemanan dengan aparat penegak hukum
lainnya. Pertemanan inilah yang di kemudian hari menjadi pembeda
dengan proses penegakan huku ya g iasa- iasa saja.

Komunikasi di awal ibarat Free, Prior, Informed and Concern (FPIC), dimana
semua pihak yang berkompeten dalam penegakan hukum memahami dan
memaknai bahwa operasi penegakan hukum dilakukan untuk membela
kepentingan bersama, bahwa operasi penegakan hukum diperlukan untuk
menjaga agar kepentingan bersama tersebut tetap mendapat tempat untuk
diprioritaskan.

Taktik membangun pertemanan yang dilakukan Balai TNGR bahkan


mungkin jarang ditemui dalam buku-buku teks resolusi konflik. Tidak
ditemukan pula teori ngopi santai atau ngopi bareng dalam literatur
kebanyakan. Bahkan tak ada pula proses resolusi konflik yang mulai
dibangun dengan muka tebal. Tapi itu dilakoni orang-orang yang ada di Balai
TNGR. Dari proses itu, taktik dan strategi mengalir. Dari proses itu pula,
rencana dan peluang dipetakan bersama, termasuk memetakan kekuatan
masing-masing pihak (Asriady, 2020).

Balai TNGR menunggang buih dengan segala risikonya. Mungkin saja


pertemanan, ngopi santai, ngopi bareng atau apapun namanya, bisa
menjadi senjata makan tuan. Pertemuan informal akan selalu mengundang
risiko.

262
Larik Tenure

Risiko yang harus ditanggung misalnya; Balai TNGR akan lebih banyak
mengeluarkan biaya, tak hanya biaya rapat yang dapat diklaim dari PAGU
anggaran, tapi mungkin saja biaya-biaya yang tak ditanggung itu harus
mengeruk kantong pribadi. Kecuali itu, proses pemetaan rencana dan
peluang-peluang tentunya tidak dapat dilaporkan secara formal, seperti
melaporkan surat-surat resmi yang masuk, atau laporan pertemuan-
pertemuan formal. Keluaran tidak dapat diukur dengan baik, bahkan alat
verifikasi menjadi lemah (Rio, 2020).

Te tulah tak aka ada doku e e ita a a a, selo oh ‘io sa il


tersenyum.

Di TNS, tim LATIN bersama dengan staf Balai TNS melakukan identifikasi
klaim lahan di Kelurahan Banturung. Hasil identifikasi menemukan 8
kelompok masyarakat adat yang mengklaim lahan di SPTN I Habaring
Hurung. Kelompok tersebut adalah BATAMAD, grup Penjerat, Kelompok
Meidi, Kelompok Badol, Kelompok Ani, Kelompok Deli, Kelompok Rawan
dan Kelompok Katone Jaya. Total klaim ini seluas 3.200 ha. Klaim lahan ini
ditandai dengan pembuatan parit keliling oleh masing-masing kelompok
dengan menggunakan alat berat. Berdasarkan wawancara dengan Camat
Bukit Batu dan narasumber masyarakat setempat (Abenaya dan Miring)
Dari 8 kelompok tersebut hanya 1 kelompok yang anggotanya benar-benar
masyarakat Kelurahan Banturung, sedangkan 7 kelompok lainnya hanya
dimiliki oleh 1-2 orang dengan anggota lainya hanya sekumpulan KTP yang
diduga fiktif. Beberapa pelaku utama adalah Lohing Simon (Kelompok
BATAMAD), Meidi, Ani, Badol dan Rawan dan kelompok warga Banturung
(Katone Jaya) dipimpin Abenaya dan Miring.

Hasil identifikasi lapangan tersebut oleh kepala Balai TNS dilaporkan kepada
Kepala Gakkum KLHK Wilayah Kalimantan (Samarinda) dan kemudian
ditindaklanjuti dengan memanggil nama-nama tersebut untuk dilakukan
penyidikan. Sampai tulisan ini dibuat hanya diketahui bahwa pelaku-pelaku
tersebut bersedia bekerjasama dengan Balai TNS dengan menggunakan
skema Kemitraan Konservasi sebagai solusi.

Pengalaman di TNS mengajarkan bahwa identifikasi awal atas pihak-pihak


menjadi penting. Hal ini pula yang menjadi pegangan utama dalam resolusi
konflik di lapangan. Para pihak berkepentingan atas objek lahan tertentu

263
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

mesti dipetakan secara mendetail dan akurat guna menjamin keberhasilan


penyelesaian masalah.

Saat Operasi
Ketika Operasi Penegakan Hukum dilakukan, kondisi lapangan tentulah
panas membara. Masing-masing pihak yang bersengketa sudah siap dengan
strateginya. Sebagai contoh adalah kasus Hutan Pesugulan.

Di lapangan, kata Daniel, kondisinya cukup tegang. Perempuan dan anak-


anak telah sedia berada di hadapan petugas. Sementara aparat penegak
hukum sudah diwanti-wanti oleh komandan satuan masing-masing untuk
tidak bereaksi berlebihan atas serangan kaum perempuan itu.

Ku i ya adalah sa a da tetap e ada pada p osedu huku , u gkap


Daniel.

Keadaan lapangan bisa berubah setiap saat. Para pihak yang saling
berhadapan telah menyiapkan segala macam cara untuk memaksakan
kepentingan masing-masing. Dalam keadaan demikian, kesalahan prosedur
dari pihak penegak hukum tentu dapat berekor panjang. Karenanya, taat
prosedur adalah yang paling penting. Prosedur dalam konteks ini termasuk
prosedur komunikasi, tindakan tegas dan lainnya. Korban bisa berjatuhan
bila keadaan tidak dapat dikontrol. Emosi yang meluap-luap ditambah
dengan provokasi tentulah akan menjadi biang berbagai kesalahan (BTNGR,
FGD, 2020).

Selain itu, dituntut kesabaran dalam menghadapi keadaan. Di lapangan, jika


keadaan memanas, maka aparat keamanan yang diturunkan tentulah mesti
sabar. Kadang caci maki yang diungkap pihak berlawanan dapat menyulut
emosi. Apa lagi cacian itu menyasar pribadi, suku, ras, agama dan
kepercayaan. Penegak hukum dituntut dapat mengendalikan tindakan
sebelum keadaan berubah menjadi bencana (BTNMB, 2020).

Hal senanda juga diungkap mantan Kepala Satuan Pamong Praja Lombok
Timur, Salmun Rahman. Menurut Salmun, dirinya harus menunggu
perintah dari Bupati untuk bisa bergerak dalam operasi penegakan hukum.
Mulanya tidak ada perintah yang diturunkan untuk segera bertindak, walau
sesungguhnya dia tahu persis apa yang sedang terjadi di lapangan. Setelah
ada perintah, dirinya segera menurunkan pasukan.
264
Larik Tenure

Pada 2013, Tim Patroli TNBBBR terlibat kontak senjata dengan pelaku PETI
di lapangan. Beruntung karena tidak ada korban jiwa, dan pelaku PETI
berhasil diusir. Namun hal ini tentunya akan terus berbuntut panjang, para
pelaku tidak mengalami proses jera. Proses penegakan hukum di lapangan
tentunya juga mesti memperhatikan keadaan personil dan ketersediaan
biaya (Yulianto, 2020).

Momentum dalam penegakan hukum juga sangat menentukan. Cara


pandang, corak dan gaya kepemimpinan juga menjadi salah satu penentu.
Karenanya, penting mengomunikasikan realita lapangan kepada pimpinan.
Pertanyaannya, bagaimana mengomunikasikan realitas itu? karena tidak
semua pimpinan memiliki informasi yang betul-betul seimbang. Dalam hal
ini, dituntut kelihaian berkomunikasi (Rahman, 2020).

Pasca Operasi
Di TNGR, operasi penegakan hukum hanyalah satu bagian dari proses
panjang resolusi konflik tenurial. Usai operasi, Balai TNGR telah memiliki
rencana untuk membawa Pemda Lombok Timur, perwakilan kelompok
masyarakat dan beberapa pihak lainnya untuk kunjungan belajar. Mereka
mengunjungi TNBB di Sulawesi.

“tudi a di g gu a elihat bagaimana tempat lain dapat mengelola lokasi


wisata secara kolaboratif. Masing-masing kepentingan terakomodasi
de ga aik, da e a a pe gelolaa e jala de ga la a , u gkap
Dedy.

Seiring dengan itu, penting mengintensifkan komunikasi dengan para pihak.


Seperti diungkap Rio, para pihak perlu tahu dan memahami kerugian
lingkungan dan bencana sebagai akibat dari konflik.

Kita juga e go u ikasika ilai a gga a , ilai li gku ga , ilai ke ugia


aki at e a a, ahka ilai PAD ta das ya.

Tidak jarang barisan paling depan dalam penegakan hukum mendapat teror
dan ancaman. Di beberapa tempat, seperti TNMB, TNS dan TNBBBR,
oknum-oknum kerap melancarkan ancaman, baik langsung, via telepon
ataupun tidak langsung.

265
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Di TNMB, pasca operasi penegakan hukum, Balai TNMB melakukan


pendekatan intensif kepada pihak berkonflik, terutama Kentik, Penyot dan
kawan-kawannya. Mereka tak mungkin dibiarkan berpikir sendiri dan
menyelesaikan masalahnya sendiri. Justru hal itu akan dapat memicu
konflik baru.

“aya datangi mereka dan menawarkan skema rehabilitasi lahan dengan


tanaman kayu dan buah. Nantinya, tegakan kayu tetap dibiarkan,
se e ta a e eka isa e a e uah ya, u gkap Ma a .

Banyak hal yang dapat dilakukan pasca operasi penegakan hukum. Dalam
kondisi yang belum sepenuhnya aman, UPT menempatkan tim penjagaan di
sekitar wilayah berkonflik. Di TNGR, penjagaan kawasan Hutan Pesugulan
juga melibatkan Kepolisian dan TNI. Sementara di TNMB, melibatkan pihak
Kepolisian. Patroli juga intensif dilakukan agar para pelanggar tidak kembali
melakukan tindakan kejahatan kehutanan.

266
Larik Tenure

JILID 15

MITRA BERDAYA

267
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

K emitraan Konservasi dilaksanakan sebagai salah satu upaya resolusi


konflik tenurial di kawasan konservasi. Dalam konteks perhutanan
sosial, skema ini adalah bagian dari kemitraan kehutanan yang
diimplementasikan pada kawasan hutan.

Pada 2018, Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
mengeluarkan peraturan nomor P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018 tentang
Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam. Kemitraan Konservasi dimaknai sebagai kerja
sama antara kepala unit pengelola kawasan atau pemegang izin pada
kawasan konservasi dengan masyarakat setempat berdasarkan prinsip
saling menghargai, saling percaya, dan saling menguntungkan.

Kebijakan ini membuka peluang bagi masyarakat terlibat dalam


pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia. Kendati masih memiliki
banyak ketimpangan, kebijakan ini juga hadir untuk menyelaraskan upaya
konservasi dengan penanganan konflik tenurial. Ditjen KSDAE di
Kementerian LHK sebagai pemangku nasional untuk kegiatan ini
menyediakan ruang yang cukup luas atas keterlibatan para pihak dalam
mendukung Kemitraan Konservasi di lapangan.

Skenarionya, bagi masyarakat desa hutan yang telah terlanjur mengelola


kawasan konservasi ditawari dua skema; pemberdayaan masyarakat dan
atau pemulihan ekosistem.

Kemitraan Konservasi dengan skema pemberdayaan masyarakat, disepakati


antara kelompok masyarakat dengan pemangku kawasan selama 5 tahun.
Masyarakat diberikan akses ke dalam kawasan dan atau kerjasama dengan
pemangku kawasan. Bentuknya dapat berupa pemungutan hasil hutan
bukan kayu, budidaya tradisional, perburuan tradisional untuk jenis satwa
yang tidak dilindungi, pemanfaatan tradisional sumber daya perairan
terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi, dan wisata alam terbatas.

Sementara Pemulihan Ekosistem dilakukan dengan pada wilayah atau


ekosistem yang sudah rusak, bukan pada areal jelajah atau habitat satwa
yang dilindungi.

Di TNBBBR, terutama di Desa Rantau Malam, berkemungkinan akan sesuai


dengan skenario pertama, yakni pemberdayaan masyarakat. Hal ini

268
Larik Tenure

dimungkinkan mengingat Balai TNBBBR telah bekerja untuk inisiatif


pemberdayaan masyarakat dengan pengembangan kelompok-kelompok
masyarakat yang bekerja untuk mendukung kegiatan wisata alam.
Utamanya wisata alam pendakian Bukit Raya (Jpang, Kajian Lanskap,
Potensi Ekowisata, Identifikasi Kemitraan Konservasi dan Pemberdayaan
Masyarakat di Desa Rantau Malam, TNBBR, 2020).

Menurut laporan tersebut, Kelompok Transportasi, terdiri dari warga yang


memiliki sarana angkutan berupa perahu. ada dua jenis perahu di Rantau
Malam; long boat bermesin tempel dengan kapasitas 5-7 penumpang
(termasuk pengemudi), pompong berkapasitas hingga 12 orang dan mampu
mengangkut barang lebih banyak.

Kelompok Porter, merupakan warga yang terlibat menjadi pemandu dan


porter dalam pendakian Bukit Raya. Dalam pendakian, tim pendaki
biasanya menyewa beberapa orang porter untuk membantu mereka di
sepanjang pendakian. Tugas porter selain menunjukkan jalan adalah
membawa barang-barang para pendaki, menyiapkan masakan selama
pendakian, membantu pendaki mendirikan tenda serta tugas lainnya,
termasuk menjaga keselamatan tim pendakian.

Kelompok Homestay, merupakan kumpulan para pemilik homestay yang


ada di Rantau Malam. Kelompok ini, kendati tidak dikhususkan untuk
perempuan tapi semua anggota kelompoknya adalah perempuan. Hal ini
merujuk pada anggapan umum bahwa perempuan mampu mengatur
rumah beserta isinya. Perempuan juga memasak yang menyesuaikan
dengan selera para tamu. Setidaknya terdapat 9 homestay di Rantau
Malam, dengan demikian anggota kelompoknya ada 9 orang.

Kecuali itu, ada pula Kelompok Kerajinan. Namun kelompok ini belum
berkembang. Anggota kelompok kesulitan menemukan peran mereka
dalam kegiatan wisata alam pendakian Bukit Raya. Salah seorang anggota
kelompok menyebut, para perajin yang menghasilkan barang kerajinan
tangan sangat dibatasi pasar. Para pendaki belum tentu akan membeli
barang kerajinan tangan mereka berupa tikar, aneka asesoris perhiasan
tangan, tas dan lainnya.

Kelompok Madu Kelulut kini mulai menggeliat. Kelompok ini terbentuk


sejak 2019. Kini, Kelompok Madu Kelulut sedang melakukan pembenahan

269
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

keanggotaan, termasuk ketua dalam struktur kepengurusan. Lokasi


budidaya disepakati berada di Dusun Tokambung, pada sebidang tanah
yang dikuasai oleh salah seorang anggota kelompok. Luasnya 840 meter
persegi, di dalamnya sudah ada tanaman karet, kakao dan beberapa pokok
tanaman buah. Pembersihan lahan sudah dilakukan pada Agustus 2020.

Bagi Balai TNBBBR sendiri, kegiatan pemberdayaan masyarakat merupakan


salah satu kegiatan yang memang sengaja dilakukan di wilayah tersebut.
Pengembangan wisata pendakian Bukit Raya menjadi target besar bagi
Taman Nasional. Dalam upaya mempromosikan potensi wisata pendakian
dibuktikan dengan peluncuran aplikasi Baka Raya in Hand oleh pihak Balai
TNBBBR. Melalui Aplikasi tersebut, diharapkan mampu memudahkan para
wisatawan untuk mencari informasi seputar wisata pendakian ke Bukit
Raya.

Tapi apakah memungkinkan mengimplementasikan skema kemitraan


konservsi di Rantau Malam?

Potensi wisata alam dan jasa lingkungan yang dimiliki TNBBBR juga cukup
potensial antara lain panorama alamnya (lanskap), air terjun, sumber air
panas, widyawisata, arung jeram (rafting), animal watching (burung,
primata, dll) dan pendakian (trekking) Bukit Raya yang merupakan salah
satu da i Seven Summit puncak-puncak tertinggi di pulau-pulau terbesar di
I do esia . “e ua pote si te se ut asih sa gat ala i sehi gga aka
sangat disukai oleh wisatawan yang ingin menyaksikan hutan hujan tropis
yang masih relatif belum terganggu (TNBBBR, RPJP TNBBBR Provinsi Kalbar
dan Kalteng Periode 2018-2027, 2017).

Dalam Kajian Lanskap, Potensi Ekowisata, Identifikasi Kemitraan Konservasi


dan Pemberdayaan Masyarakat di Desa Rantau Malam, Jpang mengatakan
Kemitraan Konservasi sesungguhnya tidak terlalu sesuai. Jikapun kegiatan
ekowisata dapat dimasukkan dalam kategori kerjasama dengan pemangku
kawasan (Balai TNBBBR), namun akan lebih baik hal tersebut dilaksanakan
dengan skema izin merujuk pada (1) PermeLHK No. P.43/2017 tentang
Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam, dan (2) Permenhut No.P.85/2014 jo PermenLHK No.
P.44/2017 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kerjasama di Kawasan
Suaka Alam dan kawasan Pelestarian Alam.

270
Larik Tenure

Kegiatan kemitraan konservasi yang coba diinisiatifi di Desa Rantau Malam


mungkin akan sesuai dengan kelompok porter. Kelompok inilah yang kerap
mengakses ke dalam kawasan Taman Nasional. Sementara kelompok-
kelompok lain beroperasi di luar kawasan taman.

Balai TNBBBR berupaya melakukan pemberdayaan. Namun kadang, tidak


semua masyarakat mau menerima program lantaran kepentingannya
terganggu. Bahkan di lain sisi, ada kelompok yang merasa tidak dilibatkan,
bahkan terkesan tidak peduli karena pesimis terhadap hasil yang akan
dicapai (Ivonne, 2020).

Skenario kemitraan konservasi untuk pemberdayaan ini juga di lakukan oleh


Balai TNLL, Balai TNBB dan Balai TNBD. Memang disadari oleh semua pihak
bahwa kebutuhan ekonomi akibat pertumbuhan penduduk di desa-desa
sekitar kawasan taman nasional telah mengakibatkan tekanan terhadap
kawasan konservasi sebagai sumber mata pencaharian tidak dapat
dihindari. Sehingga giat perlindungan kawasan tidak bisa dilakukan
menggunakan pendekatan persuasif semata. Pendampingan dan kalaborasi
kegiatan dalam rangka mengarahkan pemanfaatan kawasan konservasi
yang mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat, harus sesuai
dengan prinsip-prinsip konservasi. prinsip-prinsip tersebut mestilah
menjadi landasan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Disinilah titik tekan kemitraan konservasi tersebut dijalankan.

Sementara itu, dalam skenario kedua terkait pemulihan ekosistem, banyak


pelajaran dapat diambil dari TNMB. Perambahan yang terjadi sejak lama
telah membuat taman nasional itu merana kepanasan saat kemarau. Banjir
dan longsor baru-baru ini membuat masyarakat dan pihak-pihak di sekitar
kawasan mulai khawatir, akankan bencana ini akan berulang?

Berbeda dengan Kliwon. Lewat lahan yang dia garap secara konsisten,
Kliwon berharap akan ada masa depan bagi pendapatannya, dan
pendapatan anak cucunya. Mulanya Kliwon terkendala dengan status
lahan. Dia sungguh mengerti, lahan yang dia garap adalah lahan yang
dikuasai oleh taman nasional.

Jaketresi, seperti yang dikisahkan sebelumnya juga mengalami nasib sama


dengan Kliwon. Khawatir bahwa suatu waktu, lahan dapat saja diambil alih
oleh taman nasional dan diperuntukan guna kepentingan lain. Kelompok

271
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Blok 9A, pun kelompok-kelompok lainnya. Semua dalam keadaan khawatir,


was-was, terus menerus merasa berada di bawah ancaman.

Namun, Kemitraan Konservasi akhirnya menyelamatkan. Bagi Kliwon, status


pengelolaan yang dia lakukan kini sudah terasa melegakan. Bagi Kelompok
9A juga demikian. Sementara Jaketresi kini sudah terpecah kembali
menjadi kelompok-kelompok kecil yang menyebar di sepanjang Kecamatan
Tampurejo.

Di wilayah yang sama, KAIL bersama LATIN sejak lama telah mendorong
demonstration plot (demplot) untuk rehabilitasi lahan. Lahan itu kini
dikenal dengan lahan 7 hektare, karena luasnya yang hanya sedemikian.
Tapi pelajaran penting dari apa yang dilakukan di lahan 7 hektare itu adalah
bahwa, lahan kering di TNMB dapat dihutankan kembali. Syaratnya
memang harus ketat, termasuk pula kemauan kuat dari kelompok
pengelola.

Kendati Kliwon kini telah merasa aman dengan status legal lahan yang dia
kelola, tapi mesti diingat, bahwa Nota Kesepakatan Kerjasama Kemitraan
Konservasi yang dia pegang berjangka waktu 10 tahun. Artinya, dalam 10
tahun, Kliwon dan kelompoknya sudah harus mampu menyelesaikan tugas-
tugas pemulihan ekosistem.

Ya, ka i au laha itu sepe ti laha ya g hekta e, u gkap Kli o .

Pada poin ini, dia sedikit tertegun. Setelah 10 tahun, apakah Kliwon dan
kelompoknya akan pergi keluar dari lahan yang mereka rehabilitasi itu?
lahan yang selama ini menopang kehidupan dirinya dan keluarganya, lahan
yang selama ini dielu-elukan sebagai pusat produksi hortikultura. Kliwon
menggeleng.

Kementerian KLHK tentu tak tinggal diam. Dalam kebijakan yang


dikeluarkan, Kliwon tentu bisa melakukan pengurusan SK Pengakuan dan
Perlindungan Naskah Kerjasama Kesepakatan Kemitraan Konservasi (KULIN
KK). SK ini dapat berkalu selama 30 tahun.

Namun, Kesejahteraan masyarakat dan Kemitraan Konservasi penting


diukur dalam ukuran-ukuran yang logis dan berkemungkinan besar dapat
dicapai. Ukuran-ukuran tersebut mestinya dapat dirumuskan bersama

272
Larik Tenure

sesuai dengan Rencana Kegiatan Tahunan di wilayah Kemitraan Konservasi


(Jpang, Laporan In-depth Interview & FGD di TNMB, Jawa Timur, 2019).

Lantas bagaimana berdamai dengan para perambah? Kasus kelompok-


kelompok perambah yang dikomandoi Kentik misalnya. Pendekatannya
mungkin akan berbeda dari sekedar melakukan penegakan hukum dan
pemberdayaan masyarakat.

Selain itu, Balai TNS juga telah berhasil membentuk Kelompok Nelayan
Tradisional dan Kelompok Getek di Kelurahan Kereng Bengkirai . Melalui
dukungan Dinas Pariwisata dan Pemda Kota Palangkaraya, telah dibangun
Kawasan Wisata Dermaga Kereng Bengkirai . Hal ini tentu semakin
membuktikan bahwa upaya resolusi konflik bisa dicapai melalui penguatan
ekonomi masyarakat dan sinergitas para instansi terkait dalam mendukung
program pemberdayaan.

Di TNGR, konflik di hutan Pesugulan pada akhirnya secara resmi hitam di


atas putih tuntas dengan adanya kesepakatan Perjanjian Kerjasama (PKS)
Kemitraan Konservasi antara Pokdarling Bebidas Lestari dan Balai TNGR.

Perjalanan Balai TNGR untuk menempuh Kemitraan Konservasi sangat


berliku. Penegakan hukum dianggap bukan cara satu-satunya. Cara BTNGR
dalam mengkombinasikan penegakan hukum dan pemberdayaan
masyarakat, pada akhirya berhasil mengatasi konflik yang sudah
berkepanjangan.

Kemitraan konservasi secara tidak langsung adalah upaya melakukan


alokasi sumber daya kepada kalangan masyarakat marginal. Di TN Babul
misalnya, Kemitraan Konservasi hadir sebagai angin segar bagi masyarakat
di kampung Manyampa. Walau pada mulanya masyarakat menolak, tapi
akhirnya dapat menyapakati dan memahami solusi Kemitraan Konservasi
yang ditawarkan. Masyarakat juga sudah membuka diri untuk menerima
keberadaan petugas dan telah dapat berkomunikasi sebagaimana mestinya.

Kemitraan Konservasi juga menjadi salah satu solusi penyelesaian masalah


tenurial di SM Kateri. BBKSDA NTT selaku Pengelola Kawasan mendorong
upaya kerjasama dengan masyarakat perambah, baik warga eks Timor
Timur maupun warga lokal.

273
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Hajat
Upaya pengembangan skema Kemitraan Konservasi dimulai dengan
identifikasi objek dan subjek. Hal ini sejalan dengan upaya resolusi yang
harus dilalui. Jika masih memungkinkan, maka penting pula untuk melihat
faktor konflik. dengan demikian, Kemitraan Konservasi dapat difokuskan
pada upaya-upaya resolusi ketimbang hanya mengejar target luasan atau
banyaknya Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang ditanda-tangani.

Serial pertemuan antara UPT dengan masyarakat target mesti segera


dilakukan usai itu. Pembahasan draf PKS penting disegerakan pula. Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada
masyarakat dan para pihak mengenai draf PKS Kemitraan Konservasi yang
telah tersusun. Ini juga memberikan kesempatan kepada masyarakat dan
pa a pihak u tuk e ela ah da e gk itisi ya. “ekaligus e i ta
sumbangsih pemikiran yang konstruktif dari masyarakat dan para pihak
untuk perbaikan dan kesempurnaannya.

Sebagai contoh, pada 10 November 2020, Balai TNMB meminta komitmen


yang kuat untuk berperan aktif dalam mendukung upaya penguatan fungsi
dan tata kelola serta konservasi di kawasan TNMB. Komitmen kuat itulah
yang menjadi dasar pijak dalam membangun mekanisme Kemitraan
Konservasi dengan Kelompok 9A.

Draf PKS yang ditawarkan Balai TNMB berdasar pada asas perimbangan
antara masyarakat dengan UPT, yakni; hak dak kewajiban. Antar keduanya
saling memberikan kontribusi bagi pelaksanaan Kemitraan Konservasi.

Masyarakat memegang peran penting dalam pemulihan ekosistem.


Masyarakatlah yang setiap hari datang ke lahan. Kami petugas, tidak
mungkin datang sesering yang dilakukan oleh petani penggarap. Karenanya,
penting sekali kesadaran dan komitmen kuat itu, jelas “taf TNMB, Nu
Kholik

Di sisi lain, Pihak Taman Nasional juga mempunyai kewajiban untuk


melakukan pendampingan, fasilitasi, dan arahan bagi kelompok. Draf PKS
menjadi acuan untuk ditindaklanjuti dalam pembuatan dan penyusunan
Rencana Pelaksanaan Program (RPP) dan dijabarkan ke dalam Rencana
Kerja Tahunan (RKT). Penandatanganan PKS Kemitraan Konservasi antara
Masyarakat dengan Balai TNMB sendiri dilakukan 9 Maret 2021.
274
Larik Tenure

PK“ e jadi o e tu agi asya akat da jaja a Balai TN Me u Beti i


untuk saling bekerjasama dan sama-sama bekerja, kata Kepala Balai TNMB,
Maman Surahman.

Masyarakat dengan kawasan tidak hanya saling bertetangga, lanjut dia,


tetapi tumbuh dan melebur dalam satu visi dan misi. Kehadiran perempuan
perlu dioptimalkan agar berkontribusi signifikan dalam mempercepat
pemulihan ekosistem.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Program LATIN, Arif Aliadi,


menegaskan PKS Kemitraan Konservasi dapat menjadi landasan hukum
yang kuat bagi masyarakat untuk memperoleh hak dan akses terhadap
wilayah kelola masyarakat di zona rehabilitasi. Masyarakat juga diharap
mendapatkan manfaat jangka panjang. Sebagai catatan, LATIN telah
bekerja bersama masyarakat di TNMB sejak 1993

Ke it aa Ko se asi juga e jadi pi tu asuk st ategis agi Pe e i tah


Kabupaten Jember dan Pengelola TNMB untuk mengintegrasikan
ke ijaka , p og a da kegiata , kata A if.

PJ. Kepala Desa Curahnongko, Bambang Bukadi mengatakan keberadaan


TNMB sebagai sumber air agar dapat dijaga dengan sebaik-baiknya.
Sehingga kejadian bencana banjir dan longsor tidak terulang dan tidak
menjadi siklus tahunan.

Di SM Kateri, BBKSDA NTT telah melaksanakan Self Assesment Penanganan


Konflik Tenurial pada April 2020. Hasilnya, berupa gambaran atau
penjelasan tentang sejarah kawasan, nilai penting kawasan, kondisi umum,
permasalahan, gambaran kondisi sosial ekonomi dan budaya, kondisi
biofisik, faktor konflik dan aktor konflik, kronologis dan sejarah konflik.
Dengan modal itu, BBKSDA NTT mulai bergerak mengembangkan sayap
Kemitraan Konservasi.

Sebagai upaya persiapan kelompok masyarakat, BBKSDA memfasilitasi


kegiatan re-identifikasi dan re-organizing kelompok masyarakat binaan
BBKSDA NTT. Hasilnya, terbentuk dua kelompok masyarakat Kemitraan
Konservasi SM Kateri untuk pemulihan ekosistem dan pemberdayaan
masyarakat. Dua kelompok tersebut yakni kelompok Hamoris Alas Wemer
di Desa Kamanasa dan kelompok Wehali Haburas Kateri di Desa Wehali

275
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Kecamatan Malaka Tengah, Kabupaten Malaka. Total jumlah seluruh


anggota dua kelompok tersebut yaitu 48 orang masing-masingnya 25 orang
dan 23 orang.

LATIN bersama BBKSDA NTT melakukan FPIC Kemitraan Konservasi untuk


Pemulihan Ekosistem SM Kateri pada 19 Februari 2021 di Kantor Kecamatan
Malaka Tengah-Kabupaten Malaka. Kegiatan melibatkan kelompok
masyarakat penggarap (Kelompok Hamoris Alas Wemer dan kelompok
Wehali Haburas Kateri), tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh
pemuda, Pemerintahan Desa, Pemerintahan Kecamatan Malaka Tengah,
Kepala Resor Kehutanan Malaka, Kepala Seksi Wilayah 1 Atambua, Polsek
Malaka Tengah, Danramil 1605, Anggota dan Ketua Komisi III DPRD Malaka.

Tema yang diusung adalah Tobat Ekologis. Tobat ekologis (ecology


repentance) dalam arti ajakan kembali hidup bersahabat dengan alam dan
mencintai alam, berhenti dari segala perbuatan destruktif.

Beberapa kesepakatan yang dicatat dari pertemuan itu adalah: 1) Bahwa


masyarakat dan Pemerintah Desa mendukung Kemitraan Konservasi di SM
Kateri. 2) Bahwa Kemitraan Konservasi SM Kateri melibatkan lembaga
pemerintahan (desa, kecamatan, kabupaten), DPRD Kabupaten Malaka,
lembaga adat, tokoh agama, kelompok pemuda/pemudi, Polsek Malaka
Tengah dan Koramil 1605 Malaka Tengah dalam pembentukan kelompok
kerja (Pokja) Kemitraan Konservasi. 3) Penting melakukan sosialisasi,
identifikasi dan pendekatan dengan masyarakat terkait Kemitraan
Konservasi, jenis tanaman yang akan ditanam yang relevan dengan
kelestarian hutan dan kebutuhan pangan serta ekonomi masyarakat. 4)
Penting melakukan klarifikasi batas tanah milik masyarakat lokal dengan SM
Kateri sebelum melakukan penanaman tanaman konservasi; asam, mente,
kemiri, kelor, sukun dan porang. 5) Penting melakukan penanaman pohon-
pohon di sumber-sumber mata air pada musim tanam. 6) Penting mengatur
penataan ruang penanaman antara pohon kehutanan dengan tanaman
pangan. 7) Penting melibatkan masyarakat dalam proses pembibitan dan
pengadaan bibit tanaman umur pendek berbuah; mente, sukun, alpukat,
jahe merah, dan tanaman konservasi. 8) Penting mengupayakan
keberlanjutan program bersama masyarakat, termasuk dengan memikirkan
strategi monitoring jenis tanaman yang ditanam sampai menghasilkan. 9)
Penting agar BBKSDA NTT mengakomodir kepentingan masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan dasar (pangan). Sementara masyarakat tetap

276
Larik Tenure

berpartisipasi melakukan upaya mengembalikan kelestarian SM Kateri. 10)


Penting partisipasi masyarakat terkait berbagai permasalahan di SM Kateri
(Fernandes, 2012).

Sepanjang Februari sampai Maret 2021, dilakukan pula penggalian


informasi tingkat lapangan bersama 48 anggota kelompok Hamoris Alas
Wemer dan kelompok Wehali Haburas Kateri serta perwakilan pihak-pihak.
Informasi yang digali berkaitan dengan pontesi kawasan, terutama sumber
daya alam, sumberdaya manusia dan sumber daya sosialnya. Selain itu,
digali pula informasi tentang potensi ancaman atau kerusakan kawasan,
peran aktor kunci dalam perambahan kawasan. Berikut dengan gagasan
subjektif penggarap tentang pengembangan Kemitraan Konservasi dan
strategi penanganan ancaman kerusakan terhadap kawasan.

Ya g e a ik adalah, asya akat pe gga ap e gusulka pe te ua


reguler kelompok. Ini penting karena muncul sendiri sebagai kebutuhan
kelompok. Mereka mendiskusikan berbagai rencana kegiatan. Selain itu,
muncul pula harapan agar kelompok mendapat dukungan peningkatan
kapasitas dari BBKSDA NTT dan mitra, termasuk Pemerintah Daerah dan
L“M, kata Fe a des.

Kecuali itu, LATIN dan BBKSDA NTT juga memfasilitasi penyusunan


Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga kedua kelompok tersebut.
Berikut pula penyusunan RPP 2021-2026 dan RKT 2021-2022. Kini,
dokumen tertulis aturan kelembagaan itu sudah mulai berjalan. Ini penting
menjadi dasar panduan pengelolaan kelompok kedepan. Hal serupa yang
juga dilakukan di TNMB.

Kedua contoh tersebut, mencerminkan pentingnya kegiatan-kegiatan


permulaan sebelum penandatanganan PKS. Identifikasi menjadi syarat
mutlak agar Kemitraan Konservasi benar-benar hadir sebagai jawaban atas
konflik yang tengah berlangsung.

Pokok
Kecuali itu, Kemitraan Konservasi tidak henti pada perencanaan saja. Tak
cukup hanya PKS, RPP dan RKT. Jauh di balik itu, upaya menjalankan skema
ini membutuhkan perhatian lebih.

277
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Melanjutkan kisah TNMB, kegiatan peningkatan kapasitas bagi kelompok


perlu digesa. Pada ujung Desember 2020, kelompok 9A terlibat dalam
pelatihan pengelolaan kelompok. Ini perlu karena dalam jangka panjang,
kelompok ini mesti lihai memetakan kemampuan dan melaksanakan
kegiatan Kemitraan Konservasi secara hebat.

Pelatihan itu akhirnya mampu mendiskusikan tentang kriteria dan indikator


Kelompok Kemitraan Konservasi yang kuat. Tabel di bawah ini menjelaskan
kriteria dan indikator yang telah disusun tersebut.

Tabel 6. Kriteria dan Indikator Kelompok Kemitraan Konservasi


Kriteria Indikator
Kriteria 1: 1. Kelembagaan kelompok tani terbentuk
Terjaminnya 2. Struktur organisasi yang lengkap beserta personelnya beroperasi
Penguatan dengan baik, mulai dari pengurus harian hingga bidang-bidang yang
Kelembagaan relevan dengan kebutuhan organisasi.
Kelompok / Petani 3. Pertemuan Kelompok Kemitraan Konservasi terlaksana secara berkala
sesuai dengan kesepakatan kelompok yang dibangun secara terbuka,
partisipatif dan bertanggungjawab.
4. Tata aturan berupa AD/ART tersedia sebagai pedoman dalam
berorganisasi.
5. Sekretariat kelompok dan sistem administrasi kelompok beroperasi
dengan baik.
6. Keberadaan kelompok tani diakui secara sah oleh UPT dan Pemerintah
Desa.
7. Kepemimpinan kelompok terlaksana dengan efektif dan partisipatif
8. Partisipasi aktif petani dan kelompok kemitraan konservasi
berlangsung sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam kelompok.
9. Timbulnya rasa memiliki yang tinggi terhadap kelompok.
10. Kaum perempuan aktif dalam kegiatan kelompok kemitraan
konservasi dan terlibat dalam pengambilan keputusan.
11. Generasi muda terlibat dalam kegiatan kelompok kemitraan
konservasi.
12. Mekanisme pengelolan konflik secara persuasif di tingkat kelompok
beroperasi dengan baik.
13. Mekanisme untuk melakukan patroli dan pemeliharaan terhadap
perkembangan tanaman beroperasi dengan baik.
14. Adanya mekanisme untuk mewariskan hak kelola lahan ke pada ahli
warisnya. Sebagai catatan, hal ini penting didiskusikan secara
mendalam dan disesuaikan dengan aturan yang tersedia.
15. Setiap anggota kelompok harus mentaati tata aturan yang telah
disepakati dalam pengelolaan hutan.
16. Setiap anggota kelompok tidak boleh mempraktikkan jual-beli lahan
garapan ke pihak lain.
17. Adanya sanksi bagi yang melanggar aturan yang disepakati.
18. Adanya sistem tata kelola potensi sumber air di lahan Kemitraan
Konservasi.
19. Adanya kemandirian keuangan kelompok dalam menunjang kegiatan
Kelompok Kemitraan Konservasi
20. Terbangunnya kerjasama yang baik dengan pihak lain

278
Larik Tenure

Kriteria 2: 1. Kegiatan pemulihan ekosistem terlaksana dengan pola agroforestry


Terjaminnya yang dapat dimanfaatkan untuk penghidupan masyarakat.
Kesehatan 2. Kegiatan agroforestry, mulai dari tanaman tumpangsari, tanaman
Masyarakat melalui tahan naungan dan tanaman kehutanan dapat memberikan sumber
Pengembangan pendapatan masyarakat secara berkelanjutan.
Ekonomi Konservasi 3. Adanya keseimbangan gizi masyarakat sebagai cerminan dari pola
pangan sehat.
4. Berkembangnya usaha bersama, dalam bentuk simpan pinjam
dan/atau usaha ekonomi produktif, yang didasarkan pada
ketersediaan sumber daya alam dan sumber daya manusia.
5. Usaha pemasaran hasil hutan bukan kayu berkembang secara kolektif.
6. Adanya penguatan kapasitas manajerial bagi kader potensial di setiap
kelompok.
7. Teknologi tepat guna diterapkan untuk mengolah hasil hutan bukan
kayu.
8. Kelompok terhindar dari pola hidup konsumtif.
9. Tingkat pendidikan dan kesehatan kelompok kemitraan konservasi
cukup baik.
10. Adanya keswadayaan dan dukungan dari pihak lain untuk penyediaan
sarana dan prasarana guna mendukung roda perekonomian kemitraan
konservasi.
Kriteria 3: 1. Adanya perencanaan pemulihan ekosistem yang terpadu dan
Terjaminnya terintegrasi, mulai dari identifikasi lokasi sampai dengan pengelolaan
Pemulihan pasca panen.
Ekosistem Secara 2. Adanya diversifikasi tanaman pokok yang sesuai dengan luasan lahan
Berkelanjutan yang garapan petani yang dikelola di lahan Kemitraan Konservasi.
Mendukung Tata 3. Adanya data dasar (baseline) kebutuhan bibit oleh setiap petani sesuai
Kelola Hutan yang dengan luasan lahan garapan di lahan Kemitraan Konservasi.
Baik 4. Adanya ketercukupan bibit yang berkualitas (stek sambung) untuk
melengkapi tanaman pokok dalam kegiatan Kemitraan Konservasi.
5. Penentuan dan seleksi jenis bibit mempertimbangkan usulan
Kelompok Kemitraan Konservasi.
6. Tanaman yang ditanam memiliki nilai konservasi dan ekonomi tinggi.
7. Adanya komitmen yang tinggi dari petani untuk menjaga dan
memelihara kesehatan tanaman pokok agar dapat tumbuh kembang
dengan baik.
8. Adanya komitmen yang tinggi dari petani dalam pengendalian
tanaman PJ di musim kemarau. Sebagai catatan, tanaman PJ
sedianya merupakan tanaman penutup tanah pada lahan-lahan kering
di TNMB. Mulanya ditanam masyarakat dan bijinya dapat dijual
sebagai bagian dari pendapatan keluarga. Namun belakangan,
keberadan tanaman PJ cukup mengganggu karena termasuk tanaman
ekspansif.
9. Kelompok tani memiliki rencana pengelolaan lahan kemitraan
konservasi dalam jangka panjang.
10. Adanya kesepakatan antara masyarakat dengan UPT untuk
memperkuat akses dan kontrol masyarakat terhadap lahan Kemitraan
Konservasi dalam bentuk PKS (Perjanjian Kerjasama) Kemitraan
Konservasi.
11. Adanya pengembangan manajemen pengairan di lahan kemitraan
konservasi untuk menjamin pasokan air di musim kemarau.
12. Adanya partisipasi Kelompok Kemitraan Konservasi dalam
pengamanan hutan, utamanya di lahan Kemitraan Konservasi yang
menjadi wilayah kelola petani.

279
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

13. Adanya keterlibatan dan partisipasi aktif Kelompok Kemitraan


Konservasi bersama UPT dalam perencanaan dan monitoring di lahan
Kemitraan Konservasi.
14. Praktek pertanian dalam sistem agroforestry harus merujuk pada
aturan yang berlaku untuk meminimalkan dampak terhadap degradasi
hutan dan lahan.
15. Petani memperoleh jaminan jangka panjang mengelola lahan
kemitraan konservasi yang ditandai dengan perubahan zonasi, dari
zona rehabilitasi menjadi zona pemanfaatan tradisional.

Sebagai catatan, kriteria dan indikator ini masih sangat mungkin


dikembangkan. Terutama pada kelompok-kelompok Kemitraan Konservasi
yang masih berjuang memperkuat kelompoknya. UPT dapat mengadopsi
tabel ini dan disesuaikan dengan kondisi di masing-masing kawasan
konservasi.

Kecuali itu, upaya penguatan Kelompok Kemitraan Konservasi juga diikuti


dengan pelatihan teknis lainnya. Misalnya; Pelatihan Teknik Restorasi
Ekosistem, dan Pelatihan Penggunaan Aplikasi Poimapper (untuk
membantu dalam pengamanan hutan dan pemantauan perkembangan
tanaman pokok serta membuat profil ekonomi rumah tangga petani
peserta program kemitraan konservasi).

Iktibar
Pengembangan program Kemitraan Konservasi memberikan pembelajaran
bahwa inisiatif program dapat datang dari mana saja, tidak harus dari UPT,
tapi juga dari pihak lain. Yang utama adalah bahawa hak dan kepentingan
masyarakat dihargai dan diakomodir dalam setiap pengambilan keputusan,
sehingga dapat diperoleh rumusan solusi terbaik atas konflik yang terjadi.
Kecuali itu, rumusan keputusan juga menyisir agenda-agenda pemulihan
ekosistem secara akseleratif.

Kompleksitas persoalan yang dihadapi UPT dalam mengelola kawasan


tentu tidak bisa ditangani secara sepihak. Namun membutuhkan
keterlibatan banyak pihak, utamanya masyakarat sekitar. Karena UPT
senantiasa dihadapkan pada keterbatasan sumber daya manusia (kualitas
dan kuantitas), sarana dan prasarana serta pendanaan yang tidak akan
pernah sebanding dengan luasan kawasan yang harus dilindungi. Pada saat
yang sama, dituntut untuk merehabilitasi dan memulihkan ekosistem
kawasan yang rusak akibat deforestasi, degradasi serta kehilangan
biodiversitas.

280
Larik Tenure

UPT penting mengakomodasi dan mengintegrasikan kepentingan


masyarakat dalam rehabilitasi, dengan memberikan akses atas zona-zona
pengelolaan yang memungkinkan, misalnya zona rehabilitasi. Pemberian
akses pengelolaan kepada masyarakat di zona rehabilitasi merupakan
bentuk resolusi konflik yang saling memenangkan dan memuaskan. Hal ini
dapat diterima secara sukarela antara masyarakat dengan UPT. Kedua belah
pihak tidak memaksakan kehendaknya sendiri, tapi menjalani proses saling
mengklarifikasi perbedaan dan melakukan pendekatan dialog yang inklusif.
Dialog-dialog mesti dilakukan dengan mengedepankan yang rasional-
objektif terhadap realitas yang ada. Diharapkan, hal ini dapat menghasilkan
kesepakatan yang saling menguntungkan.

Proses dialogis semacam ini merupakan instrumen kolaboratif yang mampu


e esolusi ko flik de ga e ghadi ka situasi e a g- e a g da
sama sekali menghindari dan tidak mempertimbangkan situasi yang zero
sum.

Program kemitraan konservasi merupakan jalan tengah, yang


mengesampingkan dua pilihan ekstrim, yaitu kekuasaan penuh berada di
tangan UPT, dengan mengambil-alih semua kontrol zona rehabilitasi di
bawah otoritasnya dan mengabaikan kepentingan masyarakat . Di sisi lain
menyerahkan sepenuhnya situasi open access resources kepada masyarakat
lokal. Pilihan jalan tengah ini merupakan bentuk kecakapan bertindak yang
mendepankan kepentingan bersama yang mendatangkan keuntungan bagi
UPT dan masyarakat.

Program Kemitraan Konservasi telah memosisikan masyarakat tidak lagi


menjadi pihak eksternal, yang dipandang dengan cap negatif sebagai
penjarah atau perambah. Akan tetapi telah bertransformasi menjadi pihak
internal yang memiliki peran signifikan dalam proses pemulihan ekosistem.

Bagi UPT, dengan posisi masyarakat sebagai pihak internal, maka


masyarakat dipandang dan ditempatkan sebagai teman dialog yang inklusif,
kawan bermitra, rekan bekerja yang bertanggungjawab dan saling
memberikan manfaat. Pada akhirnya, extended family mencapai titik temu
dalam hubungan kekerabatan yang saling menyokong.

Progam Kemitraan Konservasi juga telah memberikan pelajaran bahwa


kelestarian dan kesejahteraan dapat disandingkan secara integratif dan

281
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

komplementer. Zona rehabilitasi dapat memberikan aliran manfaat, baik


secara ekologis maupun ekonomis. Model agroforestry di zona rehabilitasi,
secara bertahap mampu mengharmoniskan antara partisipasi masyarakat,
aspek perubahan persepsi para pihak, aspek sistem perlindungan
penyangga kehidupan, berikut dengan aspek pengawetan keanekaragaman
hayati dan aspek pelestarian.

Dari persiapan hingga pelaksanaan program di lapangan, proses komunikasi


menjadi kunci keberhasilan program. Sebagaimana terjadi di kawasan
konservasi yang ditilik di lapangan, semuanya memerlukan komunikasi yang
tepat, sedehana dan mengena.

Kadang, proses komunikasi harus terkendala lantaran hal-hal yang berada


di luar kekuasaan pihak-pihak. Misalnya; bencana Badai Siklon Tropis Seroja
yang menghantam sebagian besar wilayah NTT. Hal ini sempat
mengakibatkan terputusnya sarana infrastruktur jalan dan jembatan serta
infrastukrutur komunikasi dan sambungan listrik. Kecuali itu, prahara Covid-
19 juga menyumbang pada rumitnya proses komunikasi dilakukan.

Upaya masyarakat dalam merumuskan kebutuhannya juga menjadi sebuah


pelajaran berharga. Usulan kelompok masyarakat terkait pemulihan
ekosistem dan pemberdayaan masyarakat, kurang lebih menjadi pratanda
membaiknya hubungan antara masyarakat dengan UPT. Di banyak tempat,
upaya rumusan ini kadang tekendala karena bias kepentingan dan salah
tafsir atas program Kemitraan Konservasi.

282
Larik Tenure

JILID 16

MENITI OMBAK

283
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Dilema
D kebutuhan
ari laboratorium lapangan, sepanjang telaah dalam buku ini, persoalan
lahan sebagai sumber mata pencarian masyarakat memang
menjadi masalah utama. Kecuali di TNBBBR, kawasan konservasi lainnya
mengalami persoalan yang sama.

Masyarakat di sekitar TNLL misalnya, mereka sangat mengenal kakao.


Bahkan, pasar kakao di daerah ini sudah terbentuk dengan sangat baik.
Permasalahan muncul ketika kakao di usahakan di dalam kawasan taman
nasional. Masalah timbul karena kakao bukan merupakan jenis tanaman
kehutanan melainkan tanaman perkebunan.

Di TNMB masyarakat telah menanami sebagian kawasan taman nasional


dengan tanaman hortikultura. Kecuali itu, masyarakat juga menanaminya
dengan tanaman dari jenis buah-buahan serta tanaman bahan jamu.
Kondisi ini bahkan sudah berlangsung selama bertahun-tahun.

Masyarakat Kelurahan Habaring Hurung mendapati tantangan pahit yang


harus diterima bertahun-tahun untuk mengolah lahan usaha transmigrasi,
karena wilayah tersebut merupakan area gambut dalam. Diperlukan teknik
dan waktu bertahun-tahun untuk mengolah lahan gambut agar bisa
ditanami dengan berbagai jenis komoditi pertanian. Dalam prosesnya,
sebagian masyarakat akhirnya bertahan hidup dengan mencari hasil hutan
dan sebagian ada juga yang membuat arang.

Di TNBD, perkebunan kelapa sawit sangat masif menguasai lahan-lahan di


luar taman nasional. Akibatnya, lahan untuk kegiatan pertanian masyarakat
semakin berkurang. Dengan demikian, kawasan TNBD dipandang sebagai
alternatif yang paling mungkin dapat diakses masyarakat untuk dijadikan
sebagai lahan garapan.

Pilihan komoditi pertanian yang dihasilkan oleh masyarakat di TNBD juga


tidak sesuai dengan macam-macam komoditi yang dapat di usahakan dari
kawasan hutan. Kelapa sawit dianggap sebagai komoditi nomor satu yang
dapat memberikan keuntungan ekonomis dibanding karet (Jailani, 2020).
Padahal kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan bukan tanaman
kehutanan dan hal ini dilarang terdapat dalam kawasan hutan (Yusan,
2020).
284
Larik Tenure

Di TNBB, masyarakat lokal harus menghadapi urusan peliknya komunikasi


di awal penetapan batas taman nasional. Mereka terkesan tidak
mengetahui batas kawasan. Ditambah dengan adanya surat tunggakan
pajak yang membuat seolah-olah tanah yang mereka kelola adalah tanah
milik. Padahal mereka tengah mengolah lahan di dalam kawasan taman
nasional.

Selain itu, masyarakat pendatang juga menimbulkan masalah. Lahan di luar


taman nasional telah dikuasai masyarakat lokal. Pilihannya, lahan di dalam
taman menjadi sasaran. Termasuk di TNLL, keberadaan masyarakat
pendatang menyebabkan kebutuhan lahan untuk sumber mata
pencaharian secara linier akan meningkat. TNLL dipandang oleh masyarakat
dapat menyediakan lahan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Padahal
secara normatif hukum, di kawasan konservasi dilarang untuk diakses,
apalagi dikelola tanpa izin.

Di SM Kateri, pendatang yang merupakan eks pengungsi Timor Timur telah


menjadi persoalan tersendiri. Ini dilema menahun yang menuntut
penyelesaian menggesa.

Pergeseran dan asimilasi budaya ikut mendorong alih fungsi lahan. Misalnya
antara budaya SAD dengan budaya luar (masyarakat desa) pada kasus
TNBD. Telah terjadi pergeseran makanan pokok. Dahulunya SAD
mengkonsumsi umbi-umbian yang dapat diperoleh dalam kawasan hutan,
kini mengonsumsi beras yang hanya dapat diperoleh melalui proses jual
beli. Bahkan SAD kini punya keinginan untuk memiliki handphone mupun
sepeda motor. Kendati hal-hal tersebut melanggar pantangan-pantangan
yang telah dibuat oleh pendahulu mereka.

Akibatnya, SAD memaksakan diri melompat dari budayanya secara ekstrim.


Budayanya bergeser dari memungut hasil hutan menjadi masyarakat non
agraris yang membutuhkan uang untuk membeli segala macam keinginan.
Inilah yang lantas menjadi faktor banyaknya peralihan kawasan TNBD yang
dimanfaatkan SAD menjadi milik masyarakat desa melalui proses jual beli
bawah tangan maupun melaui sistem kontrak tanah.

Kontrak tanah dijadikan suatu cara bagi masyarakat di luar SAD untuk dapat
memperoleh manfaat dari tanah yang berada dalam kawasan TNBD (Jailani,
2020). Dengan sistem ini petugas BTNBD menjadi kesulitan dalam

285
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

melakukan tindakan penegakan hukum karena ketika akan dilakukan


penegakan hukum pihak yang mengontrak tanah akan menjadikan SAD
sebagai pihak yang berada di barisan terdepan untuk menghadapi petugas
(Wawan, 2020).

Di TNBD Mulyani (2014) menemukan, terdapat aktivitas-aktivitas Orang


Rimba yang berlebihan dalam memanfaatkan ruang, terutama alih fungsi
lahan menjadi kebun atau ladang. Hal tersebut membuat kondisi zona
tradisional TNBD mengalami penurunan kualitas lingkungan. Aktivitas-
aktivitas tersebut di antaranya adalah pembukaan lahan dengan luasan
yang tidak proporsional dan jual beli lahan di dalam kawasan taman
nasional dengan masyarakat luar.

Di sisi lain aturan atau pedoman zonasi taman nasional sendiri secara
substansi belum mengakomodasi hak-hak pemanfaatan SDA secara khusus
untuk masyarakat adat baik pemanfaatan ruang maupun hayati berikut
dengan bentuk pengendaliannya (Mulyani W. , 2014). Di TNBD, banyak
program pemberdayaan dan bantuan sosial yang diberikan oleh negara
terhadap SAD. Akibatnya, muncul kecemburuan sosial dari masyarakat desa
sekitar. Masyarakat merasa tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah
sehingga membuat masyarakat bersifat apatis terhadap persoalan-
persoalan yang di hadapi oleh TNBD terkait dengan SAD (Suryadi, 2021).

Saefullah (2017) menemukan bahwa secara umum, tingkat modal sosial


SAD termasuk kategori rendah dan cenderung mengarah ke minimum
dengan tipe modal sosial yang mengikat (bonding/exclusive), hal ini
disebabkan belum terpenuhinya aspek fisiologis atau kebutuhan dasar
mereka. Tingkatan tersebut menunjukkan bahwa saat ini tingkat
kepercayaan di antara sesama SAD rendah, norma dan nilai yang semakin
longgar bahkan cenderung diabaikan, serta adanya batasan jaringan di
dalam komunitas SAD.

Rendahnya tingkat modal sosial tersebut menjadi penghambat


maksimalnya peran modal sosial dalam mencapai keberhasilan
pemberdayaan ekonomi. Untuk itu dibutuhkan sebuah program
pemberdayaan yang mampu menjawab kebutuhan percepatan perubahan
kebudayaan dalam sistem mata pencaharian SAD yang sebelumnya adalah
berburu dan meramu ke arah pertanian menetap yang diperbolehkan
dalam ruang-ruang pengaturan kawasan hutan dan kawasan konservasi.

286
Larik Tenure

Rendahnya modal sosial butuh perhatian khusus karena efektifitas


pemberdayaan secara kelompok jika dilakukan di awal tidak akan
menemukan hasil yang di harapkan. Stakeholder terkait butuh dilibatkan
dalam satu program yang terintgrasi dengan program TNBD.

Keterbatasan lahan yang dapat dikelola masyarakat juga menjadi catatan


penting. Lahan bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar
taman nasional sangat dibutuhkan sebagai sumber mata pencarian,
pengembangan usaha pertanian dan perkebunan. Pada akhirnya, ini
menjadi tantangan yang cukup memeras tenaga, pikiran dan sumber daya
pendanaan yang ada di taman nasional. Diperlukan usaha-usaha yang
komprehensif dari seluruh pihak terkait untuk memaksimalkan
pemanfaatan lahan, termasuk di areal APL yang memungkinkan dikelola.

Intensifikasi pertanian di lahan-lahan di luar kawasan menjadi sangat


penting. Melalui identifikasi lahan, diharapkan produktivitas lahan menjadi
semakin meningkat dan meredam keinginan masyarakat merangsek masuk
ke dalam taman.

Di TNLL, Balai mencoba mengurai persoalan kebutuhan lahan dan


penyelesaian konflik tenurial melalui pemberdayaan. Balai TNLL
mendorong pembentukan Lembaga Pengelola Konservasi Desa (LPKD). Saat
ini, Balai TNLL dalam tahap persiapan pembetukan kelompok LPKD di desa-
desa yang berbatasan dengan kawasan.

Dalam pengembangan LPKD, Balai TNLL menggandeng program kerjasama


pemerintahan Indonesia dan Jerman melalui proyek FP 3. Pemberdayaan
LPKD juga melibatkan stakeholder lain di luar kawasan TNLL seperti BPSKL
Sulawesi, BPDAS Sulawesi Tengah dan Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi
tengah. Kerja ini diharapkan dapat memaksimalkan pemanfaatan lahan di
luar kawasan hutan tepatnya APL agar dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat desa di sekitar TNLL. Dengan itu, tekanan ke kawasan TNLL
secara perlahan-lahan akan semakin kecil.

Lain lagi yang dilakukan Balai TNBD. Dalam menyelesaikan persolan


pengelolaan dan pemanfaatan kawasan oleh SAD, Balai TNBD sedang dalam
tahap penyiapan sebuah konsep implementasi teknis pemanfaatan yang
memadupadankan kearifan lokal SAD dengan pengaturan hukum nasional

287
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

melalui pendekatan pemanfaatan Tapak Keluarga dan Tapak Komunal SAD


(Haidir, 2020).

Kedepannya akan ditentukan ruang sumber mata pencaharian untuk


keluarga masing-masing SAD berdasarkan tata ruang adat yang dimiliki SAD.
Ruang kelola mata pencarian keluarga ini diperuntukkan bagi
pengembangan sumber mata pencaharian pokok, disebut dengan Tapak
Keluarga. Untuk itu akan dilakukan pemberdayaan SAD agar mampu
melakukan pemanfaatan ruang tapak keluarga untuk memenuhi kebutuhan
pokok keluarga secara intensif dalam bingkai aturan di bidang kehutanan
dan konservasi.

Tapak komunal merupakan ruang-ruang lain di luar ruang tapak keluarga


yang disiapkan sebagai sumber mata pencaharian tambahan bagi SAD.
Pemanfaatan ruang ini secara bersama seluruh anggota kelompok SAD
dapat berupa hamparan pohon penghasil buah-buahan hutan, rotan, madu,
dan lain-lain yang kepemilikannya bersifat komunal. Tapak keluarga dan
tapak komunal terintegrasi kedalam zona pemanfaatan tradisonal di TNBD.

Mirip dengan itu, Balai TNMB juga tengah mengembangkan lahan kelola
bagi para mantan perambah. Kentik dan kawan-kawannya kini tengah giat
melakukan penamaman pohon pada bekas penebangan jati di sekitar
Bandealit. Menurut Kepala Balai TNMB, Maman, kegiatan penanaman ini
diharapkan dapat menopang kehidupan bekas pembalak di masa depan.
Melalui kegiatan penanaman ini juga diharap agar para mantan perambah
tidak kembali merangsek ke dalam hutan untuk mencuri jati.

Sementara itu, pengembangan kemitraan konservasi juga tengah giat


dilakukan bersama Kliwon dan kelompoknya, serta kelompok-kelompok lain
seperti Kelompok 9A.

Kemitraan konservasi juga menjadi salah satu pilihan penyelesaian konflik


di TNBD. Terutama dilaksanakan pada wilayah-wilayah bekas kebun tua
yang telah dikelola oleh masyarakat desa. Keberadaan kebun tua ini di
dalam kawasan tentu tidak dapat dihilangkan begitu saja karena sudah ada
sejak sebelum penetapan TNBD dilakukan.

Melalui pendekatan kemitraan konservasi, masyarakat desa yang memiliki


kebun tua atau terlanjur berkebun dalam kawasan TNBD akan diberdayakan

288
Larik Tenure

dalam bentuk kelompok Persatuan Desa Peladang (PDP). Kemudiaan akan


dilakukan kerjasama dalam bentuk kemitraan konservasi untuk
pemanfaatan yang sesuai dengan aturan tentang kehutanan dan kawasan
konservasi. Berdasarkan identifikasi awal kebun-kebun ini telah
terakomodir kedalam zona pemanfaatan tradisional di TNBD.

Berburu Kuasa
Pada suatu objek konflik, terdapat lebih dari satu hak penguasaan. Misalnya
di TNLL, masalah hadir ketika ada benturan hak penguasaan antara
Masyarakat Hukum Adat dengan UPT. Bagi masyarakat, jauh sebelum
penetapan kawasan taman nasional, mereka sudah melakukan pengelolaan
atas wilayah adatnya. Tapi kini, hal itu berlaga dengan kewenangan yang
dimiliki UPT atas nama pengelola kawasan taman nasional.

Pada posisi tersebut, kedua belah pihak merasa bahwa mereka masing-
masing memiliki hak atas kawasan yang disengketakan. Hadirnya 2 macam
hak dari otoritas yang berbeda pada kawasan TNLL menimbulkan
pertentangan pengelolaan.

Masing-masing pihak, dalam hal ini merasa paling memiliki legitimasi. Pada
titik inilah komunikasi yang kalaboratif sulit terwujud. Terjadi gap yang
harus dibicarakan. Hukum positif bicara tentang hitam putih, bukti tertulis
dan sebagainya. Sementara hukum berjalan lebih dinamis, bahkan sangat
dinamis (Ado, 2020), sehingga dalam pelaksanaannya muncul pertanyaan
tentang efektifitas dan konsistensinya.

Jurang pengetahuan antara pengaturan tata ruang adat dengan pengaturan


zonasi taman nasional perlu disingkronkan. Untuk itu, diperlukan kerja-
kerja kalaborasi antara komunitas adat dan taman nasional untuk
mengidentifikasi dan mendiskusikan ruang-ruang perbedaan tersebut
secara terus menerus.

Menariknya Balai TNLL lantas berpikir keras untuk mendorong kegiatan


kolaboratif pasca revisi zonasi. Salah satu upaya yang dilakukan adalah
dengan mengidentifikasi objek-objek persinggungan antara zonasi TNLL
dengan tata ruang wilayah adat (huaka). Proses identifikasi dilakukan
secara partisipatif dan melibatkan masyarakat. Menyamakan presepsi
terhadap objek konflik merupakan sebuah syarat mutlak di awal resolusi
konflik.
289
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Sebuah lokakarya kemudian difasilitasi oleh BPSKL Sulawesi pada 3 hingga


5 November 2020. Melalui dukungan FP 3, BPSKL Sulawesi melaksanakan
Lokarya Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat Adat di TNLL. Lokakarya
ini telah berhasil memetakan secara indikatif irisan zonasi dan tata ruang
adat termasuk kandungan hak dan kewenangan dari sudut pandang hukum
adat dan hukum negara di tiga komunitas adat; Toro, Lindu, dan Moa. Pada
kesempatan ini juga telah di sepakati rencana tindak lanjut bersama antara
TNLL dan Komunitas Adat pada masing-masing objek yang diidentifikasi
tersebut.

Pada kasus di Kelurahan Habaring Hurung, dimana masyarakatnya


merupakan perantau melalui program transmigrasi pada era Orde Baru,
secara legal memiliki alas hak yang sah berupa sertifikat atas tanah
pemukiman dan lahan usaha dari BPN. Sementara, penetapan kawasan TNS
yang memasukkan wilayah lahan usaha dan sebagian area pemukiman ke
dalam kawasan, tentu menjadi masalah tersendiri. Dalam konteks ini,
kewenangan menjadi tumpang tindih antara KLHK dengan BPN pada objek
yang sama.

Untuk itu, penting dilakukan pembicaraan yang lebih fokus mengurai


persoalan-persoalan di lapangan di TNS. Para pihak mestinya tidak harus
menunggu lagi, siapa yang harus mulai duluan. BPN dapat saja berinisiatif,
atau bahkan Pemerintah Kota Palangkaraya sebab masyarakat yang
bermukim di kelurahan Habaring Hurung adalah warganya. Kendati
perjalanan ke arah tersebut sudah dimulai, tapi fokusnya masih pada revisi
zonasi TNS, belum mencerminkan kemauan pihak lain – di luar TNS – untuk
sama-sama berkontribusi mengurai konflik yang ada.

Berbeda halnya dengan apa yang terjadi pada kasus Joben. Balai TNGR dan
Pemerintah Daerah Lombok Timur sama-sama menyadari pentingnya
meresolusi konflik agar dapat memberikan nilai tambah bagi semua pihak,
termasuk masyarakat.

Persoalan yang mirip terjadi di TNBD. Orang Rimba yang menjadi titik fokus
pengembangan TNBD telah mempraktikkan tatanan hidup tradisional
dengan mengumpulkan bahan alam dan meramu. Walaupun
perkembangan memaksa Orang Rimba hidup dalam tekanan modernisasi,
tapi tata cara penghidupan mereka masih banyak yang merujuk pada cara
nenek moyang mereka memanfaatkan hasil alam.

290
Larik Tenure

Termasuk pula cara hidup yang semi nomaden, membuat Orang Rimba
dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dalam wkatu yang
berdekatan. Budaya melangun, berpindah akibat terjadinya wabah atau
bencana, masih bertahan di beberapa rombong.

Sebagai catatan rombong adalah komunitas-komunitas kecil yang dikepalai


oleh seorang Temenggung, atau pemimpin rombong. Biasanya, rombong
terdiri dari keluarga-keluarga dekat yang memutuskan hidup dalam satu
komunitas kecil yang solid. Rombong dapat terpecah bila terjadi
pertentangan di internal mereka, tapi kebanyakan mereka terpisah karena
hubungan kawin mawin dengan komunitas atau rombong lainnya.

Kebanyakan, rombong kini justru sudah banyak yang hidup menetap di


desa. Tata cara hidup mereka-pun sudah mulai meninggalkan kebiasaan
hidup lama yang mengumpulkan bahan alam dan meramu.

Di dalam kawasan taman nasional, rombong kadang tidak memiliki


pemahaman utuh terhadap batas kawasan. Kondisi ini membuat Balai
TNBD harus bekerja cukup ekstra menjaga kawasan agar tidak terjadi klaim
sepihak oleh Orang Rimba. Jika ini terjadi, maka memungkinkan konflik
lahan akan muncul.

Perburuan kuasa atas lahan lantas menyeret banyak pihak ke dalam konflik
tenurial di dalam kawasan konservasi. Hal ini perlu mendapat perhatian.
Tak hanya bagi UPT maupun masyarakat setempat, tapi ini juga melibatkan
pemerintah daerah. Oleh karena itu, diperlukan pemetaan objek dan subjek
sengketa secara mendalam.

Senjang
Lagi dalam konteks komunikasi, ada jurang pengetahuan dan pemahaman
yang harus dijembatani. Komunikasi, titik tolak kesuksesan dari resolusi
konflik adalah komunikasi yang efektif antara semua pihak. Berdasarkan
pengalaman lapangan petugas TNBD mengungkapkan komunikasi menjadi
tantangan terbesar dalam berinteraksi dengan SAD.

Kerja bersama ini diharapkan akan memunculkan komunikasi yang semakin


baik sehingga ego dari masing-masing pihak dari perasaan sebagai pihak
yang paling berwenang dapat direduksi. Komunikasi yang baik juga akan

291
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

membangun diskusi-diskusi tentang solusi bukan tentang siapa yang benar


siapa yang salah.

Di TNLL, upaya ke arah kalaborasi dalam memperkecil jurang pengetahuan


dan pemahaman ini sudah dimulai. TNLL melibatkan pihak lain sebagai
pihak netral dalam penyelesaian kebuntuan resolusi konflik. BPSKL Sulawesi
melalui program FP 3 telah berhasil membuka saluran komunikasi untuk
penyelarasan perbedaan ini. Diharapkan kerja multi pihak ini secara
konsisten terus dilaksanakan dan melibatkan pihak-pihak lain yang juga
berkepentingan misalnya pemerintah daerah dan pendamping masyarakat.

Terkait proses penegakan hukum, masalah pelik muncul ketika Polhut harus
berhadap-hadapan langsung dengan aktor konflik tenurial di lapangan. Di
TNMB, TNBBBR, TNGR, SM Kateri dan TNS, Polhut yang terbiasa tegas
dituntut untuk melakukan sosialisasi secara persuasif. Hal ini tentu menjadi
tantangan tersendiri karena selama ini para Polhut banyak dibenci oleh
masyarakat yang pernah ditindak secara hukum, baik yang telah sampai
pada proses pengadilan, maupun yang tertangkap tangan sedang
melakukan pelanggaran hukum di lapangan, bahkan mereka yang tidak
tertangkap tapi terganggu oleh kebaradaan Polhut.

Untuk itu, diperlukan strategi khusus dan secara perlahan merubah


pandangan masyarakat terhadap Polhut yang selama ini dikenal galak dan
tidak bisa kompromi.

Dalam upaya zonasi TNS, perubahan-perubahan kebijakan pemerintah


kerap menjadi tantangan bagi pihak Balai TNS dalam menyampaikan
informasi kepada masyarakat di sekitar kawasan. Di Kelurahan Habaring
Hurung, kebijakan pemerintah tentang perubahan zona yang terjadi
beberapa kali membuat masyarakat merasa frustasi terhadap pemerintah.
Akibatnya, staf TNS di lapangan terkadang merasa tidak nyaman dan
canggung bila berhadapan langsung dengan masyarakat. Seringkali upaya
diskusi bersama para pihak menemui jalan buntu.

Namun Polhut di Resor Habaring Hurung, Yunus, memilih strategi lain. Dia
melakukan pendekatan kepada generasi muda di kampung. Alih-alih
melakukan tindakan tegas, justru Yunus memilih mengajak pemuda pemudi
di Habaring Hurung menggalakkan olah raga. Para pemuda diajak dan
diajari bermain sepak bola dan bola voli. Tujuannya, agar para Yunus dapat

292
Larik Tenure

leluasa menyampaikan informasi sambil bermain di lapangan. Sementara


rekan Yunus, Adi, melakukan strategi dengan masuk ke komunitas bapak-
bapak yang mempunyai hobi sabung ayam. Strategi ini cukup efektif,
karena dengan pendekatan ini, Polhut kembali diterima dengan baik.

Di TNGR, Rio bahkan memilih untuk memindahkan kepala resor di wilayah


yang berkonflik dan digantikan dengan kepala resor yang baru. Tujuannya,
untuk memberikan penyegaran pendekatan kepada masyarakat. Hal ini
terbukti mumpuni, konflik di Hutan Pesugulan perlahan mulai menemukan
titik terang.

Sementara di TNBBBR, walaupun para Polhut tidak langsung berhadap-


hadapan dengan pelaku PETI, tapi mereka dihadapkan pada pilihan untuk
terlibat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat. Hal ini disadari lantaran
tenaga Polhut kalah jauh dengan para pelaku PETI. Hal ini bisa saja menjadi
ancaman keselamatan bagi Polhut dan MMP yang melakukan patroli
kawasan. Kecuali itu, ada sedikit keluhan tentang ketersediaan dan
keterbaruan peralatan dan perlengkapan patroli.

Ruang Publik
Banyak ahli telah mengungkap konsep dasar partisipasi masyarakat. Ruang
perdebatan antar ahli tentang teori partisipasi masyarakat mestinya
dibatasi oleh sejauh mana masyarakat mendapatkan ruang keterlibatannya
dalam urusan tertentu. Revisi zonasi misalnya, maka dalam konteks ini,
penting mendefinisikan ruang-ruang keterlibatan masyarakat dalam proses
penyusunan revisi zonasi taman nasional.

Tujuan utama taman nasional yang dalam kriteria IUCN masuk kedalam
kategori II adalah melindungi keanekaragaman hayati dengan struktur
ekologi yang mendasarinya, mendukung proses lingkungan, dan
mempromosikan pendidikan dan rekreasi. Dalam perkembangannya,
Kalamandeen & Gillson (2007) menyatakan bahwa sejarah pendekatan
konservasi mengalami perubahan pemahaman, yaitu hubungan antara
manusia dengan alam dan reintegrasi sistem ekologi dengan sistem sosial.
Hubungan sistem ekologi dan sosial akan terpusat dalam pengembangan
strategi konservasi, yaitu melalui rekonsiliasi kebutuhan sosial, budaya, dan
ekonomi yang bertujuan konservasi dengan batasan intrinsik sistem
ekologi. Sehingga keterlibatan masyarakat juga harus didorong dalam
pengelolaan kawasan konservasi, supaya kepentingannya dapat
293
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

diperjuangkan dan diakomodasi, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan.


Paling tidak, persoalan seperti memarjinalkan masyarakat setempat, konflik
sosial, dan kerugian ekonomi karena dampak zonasi yang ada dapat
diminimalisir (Mahmud, Satria, & Kinseng, 2015).

Karena itu, keterlibatan masyarakat tersebut tentunya harus dimulai sejak


dari awal proses zonasi. Lagi, keterlibatan masyarakat dalam proses revisi
zona pengelolaan taman nasional mesti mempertimbangkan dan mewarnai
proses dan tahapan revisi zona. Lalu muncul pertanyaan lain, bagaimana
melibatkan partisipasi masyarakat sementara masyarakat tidak memiliki
kemampuan teknis penyusunan dokumen, bahkan secara teknis juga tidak
memiliki basis keilmuan. Mungkin karena itu, partisipasi masyarakat baru
muncul ketika konsultasi publik dilakukan terhadap rancangan zona
pengelelolaan yang telah di susun oleh tim kerja penyusunan rancangan
zona pengelolaan taman nasional. Tim kerja tersebut, dalam Perdirjen
KSDAE Nomor : P.11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016 berasal dari sumber daya
manusia internal unit pengelolaan kawasan konservasi, jika itu taman
nasional berarti berasal dari pejabat struktural, non struktural dan pejabat
fungsional balai taman nasional.

Berdasarkan hal tersebut, partisipasi masyarakat sepertinya hanya menjadi


pelengkap dalam proses penyusunan dokumen revisi zonasi taman
nasional. Padahal, jika kembali merunut kerangka pemikiran yang diusung
Wiratno, maka proses partisipasi mestinya sudah muncul sejak awal
perencanaan revisi zona dilakukan. Namun hal ini tentunya dikembalikan
lagi pada ruang regulasi, adakah partisipasi masyarakat muncul sejak awal
proses revisi zona pengelolaan kawasan konservasi?

Masyarakat penting berpartisipasi dalam penyusunan zona, dikarenakan


zona yang ada akan berdampak pada peluang akses para pihak, terutama
masyarakat setempat, terhadap sumber daya di kawasan konservasi.
Partisipasi bertujuan agar zonasi dapat dipahami dan dapat diterima. Dan
selanjutnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan
konservasi seperti pengelolaan kolaboratif taman nasional juga harus
mendapat perhatian serius (Mahmud, Satria, & Kinseng, 2015).

Peningkatan partisipasi tersebut sama halnya secara tidak langsung unit


pengelolaan taman nasional telah mengadakan pengakuan dan
perlindungan terhadap keberadaan masyarakat adat. Sehingga akan

294
Larik Tenure

berpengaruh terhadap ketenangan, kenyamanan, keamanan masyarakat


dalam mengelola hutan dan akan berpengaruh terhadap partisipasi yang
baik dari masyarakat dalam mencapai cita-cita bersama yaitu kesejahteraan
masyarakat dan kelestarian hutan. Mustafa (2002) menyatakan bahwa
tercapainya resolusi konflik pengelolaan kawasan hutan salah satunya
ditandai dengan terbukanya ruang atau akses bagi komunitas lokal atau
dibukanya ruang partisipasi yang mengarah pada perbaikan taraf hidup
komunitas (Rukminda, Soekmadi, & Adiwibowo, 2020).

Membuka ruang partisipasi masyarakat artinya membuka ruang


perdebatan lebih lama atas revisi zona. Mengapa? Karena keterlibatan
masyarakat sejak awal proses revisi zonasi ini tentulah akan menjadi beban
tersendiri bagi tim yang bertugas menyiapkan dokumen revisi zonasi.
Sementara di pihak masyarakat yang berpartisipasi, proses ini menjadi
ruang penyampaian keluhan atas pengelolaan taman nasional selama ini.

Karena itu, penting adanya proses pra kondisi yang memberikan


pemahaman utuh terhadap upaya bersama ini kepada pihak-pihak yang
terlibat dalam penyusunan revisi zonasi taman nasional. Kecuali itu, penting
pula menetapkan sistem representasi masyarakat yang terlibat di dalam
revisi zonasi taman nasional. Karena tentunya tidak semua masyarakat di
dalam dan sekitar taman nasional akan terlibat. Dengan itu, diskusi
terhadap sistem representasi masyarakat perlu dilakukan di level desa.

Kecuali itu, pelibatan partisipasi masyarakat tentulah pula berkonsekwensi


pada pembiayaan. Dengan waktu penyusunan yang lama, lebih banyak
peserta yang terlibat, lebih banyak kegiatan yang dilakukan, maka anggaran
juga akan terkuras lebih banyak.

Partisipasi masyarakat sejauh ini barangkali dianggap sebagai sesuatu yang


kurang penting. Sehingga keterlibatan masyarakat dalam proses revisi zona
kawasan konservasi sangat terbatas. Namun akibatnya, tingkat
keberterimaan pengelolaan kawasan konservasi di level masyarakat juga
menjadi terbatas. Oleh karenanya, ruang partisipasi menjadi salah satu
penentu yang mesti dipikirkan bersama.

Kaidah Negara
Konflik Tenurial Hutan adalah berbagai bentuk perselisihan atau
pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan
295
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

penggunaan kawasan hutan. Pada awalnya konflik harus dilihat sebagai


solusi, maka apabila kemudian solusi yang lain dianggap perlu untuk
diketengahkan setelah konflik berkembang tak terkendali, ketika itulah
hadi ko sep " esolusi ko flik .

Terdapat berbagai pilihan cara dalam resolusi konflik yaitu konsultasi,


negosiasi, mediasi, rekonsiliasi, dan pendapat ahli, pilihan cara ini dapat di
implementasilkan secara kombinasi sehingga dalam resolusi konflik tidak
adat istilah kaku dan baku dalam pemilihan cara penyelesaian, melainkan
harus disesuaikan dengan perkembangan situasi yang dihadapi.

Di wilayah Taman Nasional, setidaknya ada ruang regulasi yang terbuka


untuk menyelesaikan konflik lahan; kemitraan konservasi dan revisi zona
kawasan konservasi. namun hal itu tentu tidak dapat berdiri sendiri.

Di TNLL dan di TNBD kedua solusi ini jika tidak boleh disebutkan telah
diimplementasikan, tapi sekurang-kurangnya pada saat ini telah dalam
tahap proses implementasi melalui program revisi zonasi TNLL tahun 2018,
dan TNBD tahun 2019. Ada pula tahap persiapan kemitraan konservasi
melalui LPKD di TNLL dan melalui PDP di TNBD. Namun tidak dapat
dipungkiri tantangan penyelesaian konflik tenurial di kedua kawasan ini
tetap ada.

Balai TNLL dihadapkan pada tantangan pemenuhan kebutuhan lahan untuk


sumber mata pencaharian masyarakat desa di sekitarnya. Ada pula gap
antara kewenangan menurut hukum adat yang di pegang oleh masyarakat
hukum adatnya dengan kewenangan Balai TNLL menurut hukum positif
yang berlaku di Indonesia.

Lain halnya dengan TNBD, selain dari tantangan soal kebutuhan lahan untuk
sumber mata pencaharian masyarakat sekitar kawasan TNBD, terdapat
persoalan mendasar tentang gap kebudayaan yang mempengaharui sistem
sosial dan sistem mata pencaharian SAD dengan kebudayaan masyarakat
sekitarnya. Hal ini berdampak kepada kerentanan terhadap kerusakan dan
peralihan fungsi lahan di kawasan TNBD termasuk peralihan illegal
kepemilikan lahan di kawasan TNBD.

Balai TNS bersama LATIN terus berupaya membuka ruang diskusi dan
sosialisasi lintas sektor guna mengurai benang kusut konflik tenurial di

296
Larik Tenure

sekitar kawasan. Upaya rezonasi kawasan menjadi prioritas dalam upaya


resolusi konflik dengan melibatkan semua pihak. Beberapa kali telah
dilakukan diskusi dan peninjauan tapal batas bersama para pihak. Meskipun
proses yang sedang berjalan masih menemui kendala dan tantangan di
lapangan, namun dengan proses ini semakin memperjelas siapa saja
sebenarnya aktor konflik dan kepentingannya, dan siapa pula oknum-
oknum yang memanfaatkan momentum ini demi keuntungan pribadi.

Masyarakat Habaring Hurung hanya ingin mendapatkan apa yang


seharusnya menjadi hak mereka. Upaya rezonasi mustahil bisa terealisasi
jika dalam prosesnya tidak melibatkan masyarakat. Hal ini hanya semakin
memupuk rasa kekecewaan di tengah masyarakat.

Kemitraan Konservasi menjadi kebutuhan solusi pada konflik perambahan


yang terjadi di TNMB. Para perambah, yang terdahulu maupun yang datang
belakangan, adalah aktor utama dalam pengembangan kemitraan
konservasi.

Di TNBM, kemitraan konservasi diarahkan pada kegiatan pemulihan


ekosistem. Hal ini tentunya masih menyisakan banyak pertanyaan
mengenai keberlanjutan pemanfaatan oleh masyarakat di masa depan.
Kementerian LHK dengan Kulin KK-nya tentu akan sangat berpengaruh atas
pemanfaatan berkelanjutan oleh masyarakat ini. Tapi di sisi lain, kelompok-
kelompok yang melaksanakan kemitraan konservasi juga dituntut
mengedepankan proses pemulihan ekosistem.

Antara Balai TNMB dan masyarakat, mesti mendorong komitmen yang kuat
untuk mensukseskan kegiatan pemulihan ekosistem. Bila tidak, maka
keduanya kembali akan jatuh pada situasi konflik yang berkelanjutan. Atas
nama memfasilitasi kepentingan bersama, maka dibutuhkan pula ruang
dialog yang terus-menerus.

Hal serupa juga menjadi fokus pekerjaan di lahan bekas rambahan di Hutan
Pesugulan, TNGR. Kelompok masyarakat yang kini berupaya menanami
kembali hutan yang rusak dituntut lebih aktif berkontribusi terhadap
pemulihan ekosistem.

Di lain pihak, Balai TNGR tentulah pula berupaya untuk tetap melanjutkan
kegiatan-kegiatan pengembangan pembibitan untuk penanaman kembali.

297
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Di samping itu, komitmen TNGR bekerja sama dengan masyarakat harus


dijawab dengan upaya yang sungguh-sungguh dari kelompok masyarakat
dalam melakukan penanaman kembali.

Di TNBD, Pemerintah Daerah Sarolangun melalui Kecamatan Air Hitam telah


berkontribusi dalam memenuhi hak sipil SAD. Dengan terdaftarnya SAD ke
dalam sistem kependudukan, maka SAD telah dapat mengases kebutuhan
dasar seperti bantuan sosial, layanan kesehatan, dan pendidikan. Sehingga
secara tidak langsung juga berperan dalam mengurangi tekanan terhadap
TNBD.

Ruang regulasi lain yang masih menunggu proses penelaahan adalah


kerjasama antara Pemerintah Daerah dengan Balai Taman Nasional.
Terobosan TNGR dan Pemda Lombok Timur perlu mendapat dukungan
lintas kementerian. Walaupun dalam konteks ini, kemitraan antara Pemda
dan Balai TNGR baru sebatas pengelolaan Objek Wisata Joben.

Terobosan ini bisa jadi bukan yang pertama di Indonesia. Tapi setidaknya,
ruang-ruang kerjasama antara Pemda Lombok Timur dengan Balai TNGR
harus dibuka selebar-lebarnya. Juga antara Pemda Kabupaten Jember
dengan Balai TNMB, keduanya patut duduk bersama guna menghasilkan
kerjasama saling menguntungkan.

Terobosan kerjasama ini tentu pula dapat dilaksanakan di taman nasional


lainnya. TNLL misalnya, telah membuka jalan itu lewat kerjasama dan
dukungan antar Direktorat. Seterusnya, bagaimana inisiatif-inisiatif ini
dapat diformulasikan ke dalam bentuk kerjasama antar pihak di internal
pemerintah seperti yang terjadi di TNGR. Harapannya, kerjasama antar
Pemda dan Balai TN dapat meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat
yang hidup di seputar kawasan Taman nasional.

Lantas, bagaimana pengalaman-pengalaman ini dapat berlaku di SM Kateri?


Di TNBB? Dan wilayah konservasi lainnya? Perlukan terobosan serupa? Atau
menunggu harus ada regulasi yang berlaku secara nasional? Atau apa? Mari
renungkan sejenak.

Kerja Antar Pihak


Komunikasi yang baik merupakan titik awal dan tujuan akhir untuk
penyelesaian konflik tenurial. Pengalaman lapangan menunjukkan
298
Larik Tenure

komunikasi baik sebagai poin penentu dalam interaksi untuk memecah


kebuntuan penyelesaian konflik tenurial di taman nasional.

Sekolah Alam di Toro yang diinisiasi oleh Said, dan Budidaya Anggrek
kelompok Anggrek Vuri di Desa Karunia contohnya, efektif memainkan
peran untuk mentransfer kecintaan kepada lingkungan sehingga
menggerakkan inisiatif untuk melindungi kawasan hutan khususnya TNLL.

Di TNLL penerapan hukum adat atas pelanggaran terhadap kawasan


konservasi yang berhimpitan dengan wilayah adat lebih di kedepankan
dibandingkan penerapan hukum positif. Pada prinsipnya masyarakat adat
tetap dilindungi dan mempunyai hak untuk mengelolah sumber daya hutan
di TNLL, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan diakui keberadaannya (Abdullah, 2015).

Fakta lapangan membuktikan bahwa masyarakat hukum adat di sekitar


TNLL masih memiliki keleluasan menerapkan hukum adatnya atas
pelanggaran-pelanggaran pada wilayah adatnya. Penerapan hukum adat
lebih dinamis, hukum acara dalam peradilan adat berdasarkan kearifan lokal
sangat kental dengan nuansa kekeluargaan. Musyawarah untuk mufakat
adalah model beracaranya. Model ber acara inilah yang disebut sebagai
resolusi konflik.

Dengan diakomodirnya penerapan hukum adat atas pelanggaran-


pelanggran yang terjadi dalam kawasan hutan, hal ini telah berkontribusi
cukup banyak dalam menurunkan tensi konflik antara masyarakat adat
dengan TNLL.

Andreas (2020) mengungkap, mulanya masyarakat adat Toro sangat


terintimidasi atas keberadaan TNLL lantaran petugas Balai TNLL selalu
menggunakan pendekatan hukum positif. Namun sekarang, ada upaya
lebih maju dengan lebih mendahulukan penerapan hukum adat Toro atas
pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat dalam kawasan TNLL.
Hebatnya lagi, pada sidang-sidang adat terkait dengan itu, Balai TNLL selalu
mengirimkan petugasnya untuk mengikuti jalannya sidang dan tidak
melakukan intervensi terhadap segala keputusan adat yang diambil.
Masyarakat adat Toro sangat mengapresiasi hal tersebut, dengan ini
masyarakat hukum adat merasa dihargai dan merasa menjadi tuan di tanah
sendiri.

299
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Kondisi ini sebenarnya selain berdampak kepada penurunan eskalasi


konflik, juga berdampak kepada turunnya beban kerja petugas Balai TNLL
dalam melakukan penegakan hukum atas pelanggaran minor di lapangan.
Hal ini memungkinkan dalam mengurangi gesekan di lapangan antara
petugas dengan masyarakat sekitar.

Selain itu, sebagian komunitas adat yang berada di Lore Lindu juga aktif
melakukan penjagaan atas wilayah adatnya dari ancaman pengambilan
kayu dan perburuan binatang yang tidak sesuai dengan aturan adat. Pada
titik ini, Tondo Ngata telah menjadi garda terdepan masyarakat adat dalam
melakukan penjagaan wilayah adat. Di desa Toro, Tondo Ngata secara rutin
dan sukarela tetap melakukan penjagaan wilayah adat walau dengan
beragam keterbatasannya.

Peran resor Air Hitam di TNBD, tidak melulu bekerja soal penjagaan
kawasan. Tapi lebih jauh berperan dalam interaksi humanis dengan SAD.
Hal ini telah mendorong terciptaanya keterikatan emosional antara SAD dan
TNBD. Ini adalah menjadi modal besar dalam sinergi pemanfaatan kawasan
TNBD oleh SAD sesuai dengan mandat dan tujuan penetapan TNBD itu
sendiri.

Balai TNBD sebagai pemangku kawasan telah menghormati penerpan


hukum adat SAD dalam kawasan TNBD. Sampai-sampai petugas TNBD pun
tidak luput dari subjek yang dikenakan sanksi adat. Sudah tidak terhitung
lagi sudah berapa orang dan berapa kali petugas TNBD yang diberikan sanksi
adat berupa denda kain atas pelanggaran hukum adat SAD di kawasan TNBD
(Wawan, 2020).

Langkah yang lebih maju dalam mengakomodir penerapan hukum adat ini
dilakukan TNBD pada revisi zonasi tahun 2019. Di tahun itu, TNBD
menerbitkan dokumen Zonasi / Tata Ruang Adat Pengelolaan Taman
Nasional Bukit Duabelas Provinsi Jambi. Di dalamnya telah memuat
padanan zona-zona sesuai dengan peraturan zona dalam peraturan
kehutanan dengan tata ruang adat sesuai dengan pengaturan hukum adat
SAD/Orang Rimba (BTNBD, 2019). Tindak lanjut dari ini juga telah ditanda
tangani kesepakatan dalam bentuk prasasti Menyamokan Aturon Adat
Urang Rimba/Suku Anak Dalam dengan Aturon Taman Nasional
((Menyamakan Aturan Adat Orang Rimba / Suku Anak Dalam dengan Aturan
Taman Nasional).

300
Larik Tenure

Personil di Resor Habaring Hurung menyadari tantangan dalam sosialisasi


rezonasi kawasan. Sadar bahwa komunikasi dengan masyarakat golongan
tua (bapak-bapak) sangat sulit dilakukan, tidak menyurutkan semangat
mereka untuk menemukan strategi di lapangan. Dimulai dari membuka
kelas bahasa inggris gratis bagi anak-anak di Habaring Hurung, perlahan
personil resor juga memberikan pengetahuan tentang pentingnya
pelestarian alam kepada generasi muda.

Hal ini memberikan pengaruh positif kepada anak-anak dan ternyata cukup
efektif, karena mereka menceritakan apa yang dipelajari untuk disampaikan
kepada orangtuanya di rumah. kegiatan olah raga seperti yang disampaikan
sebelumnya juga makin beragam jenis yang coba digalakkan. Kelompok ibu-
ibu disasar untuk mengikuti kegiatan senam jasmani setiap akhir pekan.
Teman-teman resor bahkan mendatangkan instruktur dari Palangkaraya,
dengan imbalan hasil pertanian dari masyarakat setiap kali selesai berlatih
senam. Perlahan upaya pendekatan seperti ini juga bisa masuk kepada
golongan bapak-bapak meski dengan cara yang berbeda dan belum semua
terlibat. Program yang disusun untuk golongan bapak-bapak di antaranya
adalah budidaya ikan air tawar (lele, nila) dan ternak sapi.

Balai TNBBBR memulai ruang kolaborasi dengan upaya serius dalam


pengembangan potensi ekowisata pendakian Bukit Raya dan kelompok
madu kelulut. Tanpa pola komunikasi yang efektif, tentu hal ini akan sulit
direalisasikan. Masyarakat terus diberikan sosialisasi dan peningkatan
kapasitas agar optimis dalam mengembangkan potensi lain yang ada di
sekitar Rantau Malam.

Di TNMB, kerja-kerja lapangan yang dilakukan Kentik dan kawan-kawan,


Kliwon, Kelompok 9A, KAIL dan LATIN telah ikut mewarnai lahan-lahan
bekas perambahan. Walaupun masih meraba-raba apa yang mungkin
terjadi ke depan, tapi setidaknya ruang kolaborasi antara Balai TNMB
dengan masyarakat dan LSM kini sudah semakin terbuka.

Pekerjaan rumah yang kini masih tertunda adalah membuka ruang


komunikasi dengan Pemda Jember. Jika Pemda Banyuwangi sudah mampu
memperlihatkan kerjasama saling menguntungkan dengan TNMB, maka
memungkinkan pula hal itu akan merembet ke wilayah Jember. Tapi hal ini
tentu harus dilakukan dengan pertimbangan matang. Balai TNMB punya
pekerjaan yang tidak mudah.

301
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Memang kerja resolusi konflik bukanlah kerja sekali jadi, kerja resolusi
konflik adalah kerja terus-menerus secara berkelanjutan, karena konflik
berbicara soal manusia yang secara kodratnya terus berkembang dan
berubah.

Menyadari hal tersebut, Balai TNGR berupaya keras membangun jembatan


komunikasi dengan para pihak. Terutama dengan Pemda Lombok Timur.
Upaya ini dilakukan dengan mengembangkan bentuk-bentuk komunikasi
non formal lewat ngopi bareng, mengembangkan hubungan kakak-adik
atau bentuk relasi lainnya yang jauh dari meja perundingan formal.

Upaya ini terbukti membuka peluang interaksi yang lebih erat. Teknik
komunikasi interpersonal yang dikembangkan Balai TNGR disambut dengan
keramahan orang-orang yang bekerja di Pemda Lombok Timur. Keduanya
lantas menjalin persahabatan yang kemudian secara bersama-sama
menyelesaikan konflik yang ada.

Hasilnya, tensi konflik di Hutan Pesugulan dan Joben jauh menurun.


Pemerintah Daerah Lombok Timur memahami betul, bahwa keberadaan
taman nasional kini bukan hanya sebagai beban daerah, taman nasional
bukan lagi petugas yang melarang ini dan itu. Tapi kini taman nasional
adalah saudara yang dapat mendukung Pemda dalam melaksanakan tugas-
tugas dan kewenangannya.

302
Larik Tenure

JILID 17

LINGKAR DIGITAL

303
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

J ilid terakhir ini dipersembahkan pada upaya mendigitalkan konflik


tenurial. Upaya ini dibangun seiring dengan pelaksanaan program
LATIN bersama USAID BIJAK. Jilid ini mungkin tampak terpisah dari 16 jilid
sebelumnya. Namun sayang jika upaya ini dilewatkan, tak terdokumentasi.
Begini kisahnya.

Indonesia membagi pengelolaan kawasan hutan secara umum menjadi


kawasan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. Kawasan
konservasi di Indonesia terdapat sebanyak 554 unit kawasan yang meliputi
area darat dan perairan seluas 27,13 juta ha. Kawasan konservasi dikelola
oleh Direktorat Jenderal KSDAE yang meliputi 80 satuan kerja, terdiri dari 6
unit eselon II di Pusat, 26 UPT Konservasi Sumber Daya Alam, dan 48 UPT
Taman Nasional ( Ditjen KSDAE, 2020).

Secara terus menerus sejak lama ribuan petugas lapangan bekerja


mengumpulkan data dan informasi kawasan konservasi di seluruh
Indonesia, mulai dari data potensi, keanekaragaman hayati, hingga
gangguan dan permasalahan-permasalahan yang ada di dalam dan sekitar
kawasan. Jika data dan informasi tersebut tidak dikelola menggunakan
sistem informasi yang handal, maka data dan informasi tersebut sebagian
besar hanya berbentuk kertas dan file-file di pengelola masing-masing.
Sehingga jutaan data dan informasi tersebut menjadi kurang termanfaatkan
karena sulit diakses dan ditampilkan sebagai data dan informasi yang
mudah dipahami.

Di e a a ji i fo asi, pe e i tah se i gkali ku a g epat, tidak aku at


dan tidak ditopang dengan data yang baik dan solid. Informasi belum
dike as de ga k eatif, u gkap “taf Khusus Kep eside a , A ya
Dwipayana dalam Rapat Koordinasi Sinergitas Kehumasan Pemerintah, 17
Mei 2018.

Melalui Peraturan Presiden nomor 39 tahun 2019 tentang Satu Data


Indonesia, pemerintah mengeluarkan kebijakan tata Kelola data
pemerintah yang bertujuan untuk menciptakan data berkualitas, mudah
diakases, dan dapat dibagi-pakaikan antar instansi pusat serta daerah.

Ba yak tacit knowledge yang hilang karena tidak didokumentasikan


dengan baik. Harus ada yang mengumpulkan atau mengelola shared
knowledge repository aga dapat di a iska , u gkap Wi at o, .

304
Larik Tenure

Berbagai System Informasi Management (SIM) telah dikembangkan baik di


UPT ataupun di pusat dengan tujuan agar data dan informasi dari lapangan
dapat dikelola dan dimanfaatakan dengan baik bagi pengelolaan kawasan.
Ada SMART-RBM seperti digunakan oleh TN Leuser, TN Kerinci Seblat,
BKSDA Jambi, TN Sebangau, TN Bantimurung Bulusaraung, BKSDA Papua
Barat, dan UPT lainnya di seluruh Indonesia. Selain itu, ada SIMBIOSIS di TN
Meru Betiri, SIMERU di TN Merbabu, SIMRELI di TN Lore Lindu, SIM RBM di
TN Gunung Halimun Salak, SILOKA di TN Alas Purwo dan SIM lainnya.

Perdirjen KSDAE Nomor P.13/KSDAE/Set/Ren.0/12/2018 tentang Sistem


Informasi dan Data Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
merupakan kebijakan yang dibuat dengan tujuan untuk terselenggaranya
sistem informasi dan data di lingkup Direktorat Jenderal Konservasi Sumber
Daya Alam dan Ekosistem beserta seluruh satuan kerjanya secara
terkoordinasi dan terintegrasi, efektif, efisien, komprehensif, akurat, serta
dapat dipertanggungjawabkan, sebagai proses pengambilan keputusan
serta peningkatan pelayanan publik dan dunia usaha.

Sistem perdataan dan pelaporan secara terintegrasi untuk kawasan


konservasi telah dimulai sejak 1999 dengan tujuan untuk memfasilitasi
keseragaman arus data dan informasi yang bersumber dari unit-unit
pengelola kawasan konservasi di lapangan, serta kompilasinya di tingkat
pusat. Melalui Keputusan Direktorat Jenderal PHKA (sekarang menjadi
Direktorat Jenderal KSDAE) Nomor SK.182/IV-Set/EV/2006 tentang
Petunjuk Teknis Sistem Perdataan dan Pelaporan Lingkup Direktorat
Jenderal PHKA, dibuat dalam rangka pemutakhiran mengikuti perubahan
organisasi dan tata kerja. Selanjutnya dimutakhirkan kembali pada tahun
2013 melalui Peraturan Direktur Jenderal Nomor P.2/IV-SET/2013 tentang
Sistem Pedataan dan Pelaporan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam.

Sistem pendataan dan pelaporan yang baru ini ditindaklanjuti dengan


pengembangan sistem informasi dan Perdataan Konservasi (SIDAK) pada
awal 2014. Pengembangan sistem informasi ini menjadikan proses
perdataan dan pelaporan dapat dilakukan secara daring, sehingga menjadi
lebih efisien.

Tahun 2017 SIDAK mengembangkan kembali struktur data model dan


sistem informasinya, agar proses perdataan dan pelaporan menjadi daring

305
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

sepenuhnya. Sistem informasi ini mulai benar-benar digunakan secara


menyeluruh pada tahun 2018 melalui Peraturan Direktur Jenderal KSDAE
Nomor P.13/KSDAE/SET/Ren.0/12/2018 tentang Sistem Informasi Data
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.

Aplikasi SIDAK adalah aplikasi berbasis web yang memungkinkan


penyelenggaraan perdataan dan pelaporan dilakukan secara daring,
sehingga proses berjenjang dari lapangan hingga ke tingkat pusat lebih
efektif dan efesien. Ada 104 tema data yang terbagi ke dalam 6
bidang/direktorat mulai dari data administrasi hingga data dari lapangan.

SIDAK yang beroperasi sejak 2018 dalam hal penyajian datanya dirasa
kurang maksimal, karena basis datanya yang berbentuk numerik dan
matriks sehingga untuk memahaminya memerlukan proses ekstraksi dan
pengolahan data lebih lanjut. Untuk melengkapi kekurangan tersebut maka
dikembangkan Situation Room Direktorat Jenderal KSDAE
(http://sitroom.ksdae.id), merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
SIDAK.

Selain untuk menyajikan data dari SIDAK, Sitroom Ditjen KSDAE juga dapat
memuat informasi tertentu secara terpisah dari struktur data model SIDAK
sesuai dengan kebutuhan. Hal ini menjadikan Sitroom dapat mengakomodir
data dan informasi yang belum tercakup di dalam struktur data model
SIDAK. Contohnya adalah data dan informasi konflik tenurial di kawasan
konservasi yang belum ada dalam SIDAK dibuatkan menu sidebar sistem
informasi dan monitoring penanganan konflik tenurial kawasan konservasi
(SIM PKT-KK).

SIDAK dan Sitroom sejatinya dirancang dengan tujuan untuk


terselenggaranya sistem informasi di lingkup Direktorat Jenderal KSDAE
beserta seluruh satuan kerjanya secara terkoordinasi dan terintegrasi,
efektif, efisien. Sehingga dengan adanya sistem informasi ini setiap
pengambilan kebijakan dapat dilakukan berdasarkan data dan informasi
yang komprehensif, mutakhir dan akurat.

**

306
Larik Tenure

Pengembangan sistem informasi dan monitoring penanganan konflik


tenuarial kawasan konservasi (SIM PKT-KK) di dalam Sitroom Direktorat
Jenderal KSDAE dikerjakan dan mulai digunakan pada tahun 2020.
Pengembangan sistem ini melibatkan Dit KK, Dit PIKA, Setditjen KSDAE, dan
LATIN dengan dukungan pendanaan USAID-BIJAK. Pengembangan SIM PKT-
KK dilakukan beriringan dengan penyusunan pedoman penanganan konflik
tenurial di kawasan konservasi mengingat Permen LHK No. 84 tahun 2015
tentang Penanganan Konflik Tenurial di Kawasan Hutan tidak secara spesifik
mengatur di kawasan konservasi. Pelibatan pihak-pihak dalam
pengembangan sistem diperlukan agar SIM PKT-KK yang dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan.

Dit. KK adalah pihak yang selanjutnya mengelola dan bertanggung jawab


dalam pengoperasian sistem. Dit. PIKA dalam keterlibatannya diperlukan
untuk mengkonfirmasi kebutuhan peta-peta yang dibutuhkan dalam
halaman webgis. Setditjen KSDAE sebagai pihak yang mengembangkan
sistemnya dan LATIN dengan dukungan USAID-BIJAK berperan dalam
memfasilitasi pertemuan-pertemuan, ujicoba sistem, dan proses bimbingan
teknis bagi 4 UPT yang menjadi lokasi proyek, yaitu Balai TN Meru Betiri,
Balai TN Gunung Rinjani, Balai TN Sebangau dan Balai TN Bukit Baka Bukit
Raya.

Bisa dibayangkan jika pengumpulan data, pengolahan data, hingga


penyajian data dilakukan secara terstruktur dan sistematis dengan bantuan
sistem informasi terpusat. Konflik tenurial kawasan konservasi di Indonesia
dapat terpetakan dengan baik secara mendetail memuat informasi lokasi,
luasan area konflik, objek konflik, para aktor, dan informasi lainnya secara
lengkap.

Progres penanganan baik untuk masing-masing objek konflik, berdasarkan


kawasan ataupun secara nasional dapat dilihat perkembangannya berapa
yang belum ditangani, berapa yang sedang ditangani hingga yang sudah
tuntas konfliknya. Tentu saja dengan dukungan data dan informasi yang
tersedia dan mudah dipahami ini sangat bermanfaat dalam penentuan
target kerja dan penyusunan anggaran yang realistis.

Melalui fitur webgis, menampilkan peta secara interaktif menjadi mudah


dilakukan oleh siapa saja karena untuk menggunakannya tidak memerlukan
keterampilan pengoperasian aplikasi GIS. Ada 2 laman webgis, yang

307
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

pertama adalah pada halaman utama dapat menampilkan seluruh data atau
data tertentu dengan memanfaatkan filter, lalu yang kedua adalah pada
laman detail masing-masing objek konflik yang hanya menampilkan satu
konflik tenurial saja. Dalam laman webgis baik pada halaman utama
ataupun pada halaman detail masing-masing konflik tersedia layer-layer
dan filter-filer yang dapat digunakan untuk menampilkan data spasial lebih
spesifik.

Pada halaman webgis kita dapat melihat lokasi konflik berupa titik yang
memiliki perwarnaan berdasarkan tahapan penanganan konflik. Merah
(register), oranye (telaah dokumen), kuning (assesmen), hijau proses
(proses penanganan), biru (sudah ada rekomendasi penyelesaian yang
disepakati antara pihak yang berkonflik yang ditandai dengan
penandatanganan nota kesepahaman), dan warna ungu (proses
penyelesaian/tuntas yang ditandai dengan penandatanganan PKS untuk
kemitraan konservasi, penandatanganan SK rezonasi, dsb).

Selain itu jika data tersedia kita dapat melihat polygon area konflik yang
dapat ditumpang-tindihkan dengan layer-layer peta lainnya seperti peta
batas kawasan, zona/blok pengelolaan, administrasi desa, penggunaan
lahan, dan satelit dari google.

Sebagai contoh melalui fitur webgis yang menumpang-tindihkan peta area


konflik, satelit, zonasi, dan administrasi desa, dengan ini kita dapat
menganalisis secara sederhana, misalkan kasusnya perambahan yang
diikuti dengan klaim lahan, area konfliknya dapat dikonfirmasi dengan area
terbuka pada peta satelit, lalu misalkan berada di zona rehabilitasi, dan
secara administratif berada di area desa masyarakat yang melakukan
perambahan dan klaim lahan. Maka rekomendasi penyelesaian konflik yang
dapat dipilih adalah penegakan hukum dan/atau kemitraan konservasi
dalam rangka pemulihan ekosistem. Tentunya penentuan alternatif
penyelesaian konflik ini tidak sesederhana ini di mana perlu adanya kajian
mendalam.

Permasalahan ketersediaan data dan informasi yang biasa terjadi di UPT


ataupun di pusat dapat diminimalisir. Karena yang biasanya data sulit
diakses karena tersebar di petugas, lalu petugas yang bertanggung jawab
berhalangan hadir atau bahkan dipindah tugaskan ini tidak akan terjadi lagi
karena data dapat diakses kapanpun dan di manapun secara daring. Hal ini

308
Larik Tenure

juga memungkinkan diskusi-diskusi penanganan konflik tenurial dapat


dilakukan kapan saja bahkan dalam pertemuan informal sekalipun dengan
pemanfaatan gawai.

Berdasarkan hasil rekapitulasi penyelesaian konflik tenurial di kawasan


konservasi pada tahun 2020 saja sudah ada 46 konflik tenurial di 15 UPT
Kawasan Konservasi yang telah di selesaikan dengan luasan keseluruhan
16.904 ha (Ditjen KSDAE, 2021). Namun untuk mengetahui bagaimana
proses penanganannya, lalu hambatan dan tantangannya apa saja yang
dihadapi sulit untuk didapatkan informasinya. Padahal jika dengan bantuan
sistem informasi untuk mengetahui pertanyaan di atas dapat dijawab
dengan mudah dimana ini sangat berharga sebagai bahan pembelajaran
penanganan konflik tenurial yang belum terselesaikan.

Sebagai gambaran perbedaan antara menggunakan sistem informasi ini


dengan cara konvensional adalah dokumen mulai dari tahapan registrasi,
telaah dokumen, assessment, proses penanganan dan rekomendasi
penyelesaian berbentuk berkas hard copy dan file-file yang tersebar.
Sehingga untuk melihat detail tahapan dan dokumen tertentu memerlukan
waktu. Berbeda dengan setelah dokumen-dokumen tersebut diinput ke
dalam sistem, tahapan dan proses penanganan konflik dapat dilihat lebih
mudah baik secara spasial ataupun secara deskripsi. Selain itu untuk
menemukan dokumen, foto dan peta dapat dilakukan dengan mudah
karena sistem ini mengakomodir untuk menyimpan berbagai bentuk file.

Riwayat proses penanganan yang telah dilaksanakan disajikan berurutan


berdasarkan waktu pelaksanaan. Dalam proses penanganan konflik tenurial
di suatu kawasan pada SIM PKT-KK dapat dilihat riwayatnya. Misalkan mulai
dari dilaksanakannya koordinasi dengan para pihak terkait adanya
laporan/informasi konflik, pelaksanaan assesmen, mediasi, pembentukan
kelompok, hingga konflik dinyatakan selesai.

Semua proses penanganan konflik yang terekam dalam sistem dapat


diketahui jenis kegiatannya, waktu pelaksanaannya, hambatan yang
dihadapi, serta dokumen/laporan dan foto dokumentasi kegiatan. Sehingga
bagian ini dapat menjadi bahan pembelajaran dalam penanganan konflik
tenurial yang hampir serupa yang terjadi di lokasi-lokasi lain.

309
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

SIM PKT-KK juga memiliki fitur merekam semua aktivitas perubahan


dan/atau penambahan terhadap data di dalam sistem, siapa melakukan apa
dan kapan waktunya. Sehingga ketika perlu adanya konfirmasi terkait data
yang ada di dalam sistem dapat dengan mudah untuk mencari siapa yang
perlu dikonfirmasi.

Sistem informasi sebagus apapun tidak ada artinya jika pada


pelaksanaannya tidak digunakan sebagaimana mestinya. Maka untuk itu
untuk memastikan sistem ini dapat digunakan dan berjalan dengan baik
Kepala satuan kerja wajib membentuk tim pengelola data di masing-masing
unit kerja sesuai dengan standar dan kompetensi dan jumlah yang memadai
seperti yang tertuang dalam Perdirjen Nomor.
P.13/KSDAE/SET/Ren.0/12/2018 tentang Sistem Informasi Data Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Begitu juga di pusat dalam hal ini
direktorat teknis terkait perlu membentuk tim yang bertugas untuk
memantau, memverifikasi, serta mengkoordinasikan di tingkat pusat terkait
pemutakhiran data yang diinput oleh UPT di lapangan.

Pembentukan tim pengelola data di tingkat UPT agar dapat berjalan dengan
efektif dapat dilakukan dengan beberapa cara menyesuaikan dengan
kapasitas SDM yang tersedia. Pengelola data dapat ditentukan berdasarkan
tema/tugas seperti di BTN Gunung Rinjani contohnya dimana ada petugas
yang bertugas menjadi koordinator penanganan konflik yang salah satu
tugasnya adalah mengelola sistem informasi terkait penanganan konflik
tenurial. Atau bisa juga seperti BBTN Gunung Leuser yang merekrut tenaga
kontrak untuk mengelola Unit Data Informasi Konservasi (UDIK) sehingga
update data informasi dapat berjalan efektif.

Pada akhirnya, penerapan sistem informasi agar dapat berjalan dengan


optimal diperlukan beberapa hal, di antaranya:
1. Sosialisasi dan bimbingan teknis ke seluruh UPT kawasan
konservasi
2. Pelaksanaan bimtek harus dihadiri oleh pimpinan dan petugas atau
tim pengelola data yang bertanggung jawab
3. Adanya pembentukan tim pengelola baik di tingkat UPT ataupun di
pusat
4. Meningkatkan budaya pengambilan kebijakan berbasis data
5. Adanya monitoring dan evaluasi rutin terhadap pemanfaatan
sistem informasi manajemen

310
Larik Tenure

Daftar Pustaka

Ditjen KSDAE. (2020). Statistik Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya


Alam dan Ekosistem Tahun 2019. Jakarta: Direktorat Jenderal
Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

KBBI Daring. (2016). Retrieved Desember 20, 2020, from KBBI Daring:
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/konflik

Perpres 88. (2017, September 6). Perpres 88 tahun 2017 tentang


Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam kawasan Hutan. Jakarta,
DKI Jakarta, Indonesia: Pemerintah Negara Republik Indonesia.

Abal. (2020, Desember 6). (A. Afandi, Interviewer) Palu, Sulawesi Tengah.

Abdullah, V. (2015). Perlindungan Hukum Hak-hak Masyarakat Adat dalam


Pengelolaan Sumber Daya Hutan di Taman Nasional Lore Lindu.
Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Edisi 5, Volume 3, 1-10.

Ado, M. Y. (2020). Koordinasi dan Komunikasi Kunci Sinergi dan Harmoni


Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu (Catatan Pengalaman
Lapangan Kepala Seksi Pengelolaan TN Wilayah II GimpuTahun
2017 – 2020). Palu.

Andreas. (2020, November 3). (S. Jpang, Interviewer)

Andreas. (2020, Desember 8). (A. Afandi, Interviewer) Sulawesi Tengah,


Sigi.

Asriady, D. (2020, Desember 12). Wawancara. (S. Jpang, Interviewer)

Balai Gakkum LHK Wil. Kalimantan. (2019). Laporan Kinerja BPPHLHK Wil.
Kalimantan. Samarinda: Balai Gakkum LHK Wil. Kalimantan.

Balai TNMB. (2013). Statistik TNMB. Jember: Balai TNMB.

311
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Balai TNMB. (2014). Statistik TNMB. Jember: Balai TNMB.

Balai TNMB. (2019). Statistik TNMB. Jember: Balai TNMB.

Balai TNMB. (2020). Sejarah Perambahan TN Meru Betiri. Jember: Balai


TNMB.

Batutta, I. (1994). The Travels of Ibn Batutta, AD 1325-1354. Translated


with revison and notes from the Arabic text edited by C.
Defremery and B.R Sanguinetti. By H.A.R Gibb. The translalation
completted with annotations by C.F Beckingham . London: The
Hakluyt Society.

BBC. (2015, November 4). BBC Indonesia. Retrieved Januari 21, 2021, from
bbc.com:
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/11/1511
04_indonesia_rinjani_meletus

BBKSDA NTT. (2020). Self-Assessment Kondisi Umum Kawasan SM Kateri.


Kupang: BBKSDA NTT.

BBTNLL. (2018). Revisi Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu


Provinsi Sulawesi Tengah. Palu: Ditjen KSDAE-BTNLL.

BBTNLL. (2019, Agustus 3). http://ksdae.menlhk.go.id/. Retrieved


Desember 2, 2020, from Dirjen KSDAE Bertemu Masyarakat
Dongi-dongi Kawasan Taman Nasional Lore Lindu:
http://ksdae.menlhk.go.id/info/6426/dirjen-ksdae-bertemu-
masyarakat-dongi-dongi-kawasan-taman-nasional-lore-lindu.html

Bebayang. (2020, 12 17). Pengembangan Dokumen Pembelajaran tentang


Penanganan Konflik Tenurial dan Panduan Rezonasi Partisipatif
Berbasis Pembelajaran dari Lapangan. (A. Afandi, Interviewer)
Jambi, Air Hitam, Sarolangun.

Besin, Y. K. (2021, Maret 3). (K. D. Olla, Interviewer)

312
Larik Tenure

BIJAK, U. (2016). USAID BIJAK. Retrieved Januari 22, 2020, from USAID
BIJAK: https://bijak-indonesia.org/about-us

Biro Humas KLHK. (2021, Januari 4). https://www.menlhk.go.id/. Retrieved


Februari 22, 2021, from https://www.menlhk.go.id/:
https://www.menlhk.go.id/site/single_post/3491/sporc-klhk-
semakin-hebat

BMKG. (2018, Agustus 20). BMKG. Retrieved Januari 24, 2021, from Ulasan
Guncangan Tanah Akibat Gempa Lombok Timur 19 Agustus 2018:
https://www.bmkg.go.id/seismologi-teknik/ulasan-guncangan-
tanah.bmkg?p=ulasan-guncangan-tanah-akibat-gempa-lombok-
timur-19-agustus-2018&tag=ulasan-guncangan-tanah&lang=ID

BRWA. (2012). Wilayah Adat Ngata Toro. Retrieved Desember 2, 2021,


from BRWA:
https://www.brwa.or.id/wa/view/NTFRLWRhQlZvSFU

BTNBD. (2019). Zonasi Tata Ruang Adat Pengelolaan TNBD Provinsi Jambi.
Sarolangun: TNBD.

BTNGR. (2019). Kronologi Permasalahan Objek Wisata Otak Kokok Joben


dan Upaya Penyelesaian oleh BTNGR. Mataram: BTNGR.

BTNGR. (2019). Laporan Kronologis PKTI Pesugulan. Mataram: BTNGR.

BTNGR. (2020, Desember 7). FGD. (S. Jpang, Interviewer)

BTNMB. (2020, Desember 21). FGD. (S. Jpang, Interviewer)

Budiono. (2020, Agustus 10). (S. Jpang, Interviewer)

Budiono. (2020, Desember 16-19). Wawancara. (F. Septyono, Interviewer)

Céline M. Vidal, N. M.-C. (2016, Oktober 10). The 1257 Samalas eruption
(Lombok, Indonesia): the single greatest stratospheric gas release

313
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

of the Common Era. Retrieved Januari 21, 2021, from nature.com:


https://www.nature.com/articles/srep34868

Dhika, A. (2016, April 2016). https://www.mongabay.co.id/. Retrieved


Desember 2, 2020, from Potret Kehidupan Warga Dongi-dongi
(Bagian 1): https://www.mongabay.co.id/2016/04/09/potret-
kehidupan-warga-dongi-dongi-bagian-1/

Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Kabupaten Katingan. (2016).


blhkatingan.com. Retrieved Maret 12, 2021, from Taman
Nasional Sebangau: https://blhkatingan.com/page/taman-
nasional-sebangau.html

Direktorat Bina Potensi Kawasan Transmigrasi. (2015). Transmigrasi Masa


Doeloe, Kini dan Harapan Kedepan. Jakarta: Ditjen PKP2Trans
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi.

Ditjen Gakkum LHK. (2020, Maret 16). Retrieved Desember 1, 2020, from
http://gakkum.menlhk.go.id/: http://gakkum.menlhk.go.id/

Ditjen KSDAE. (2021). Laporan Kinerja 2020 Direktorat Jenderal Sumber


Daya Alam dan Ekosistem. Jakarta: Direktorat Jenderal Sumber
Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.

Fathoni, T. (2005). Kolaborasi dalam Pengelolaan Taman Nasional Model.


Sarasehan Nasional Membangun Kemitraan Pengelolaan Taman
Nasional Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan, MFP DFID,
Birdlife, LATIN, RMI, Sylva Indonesia, PILI, CIFOR, KEHATI, WARSI,
WWF, ESP dan CI.

Fazriyas. (1998). Analisis Sosial Ekonomi Petani Peladang di Taman


Nasional Kerinci Seblat dan Petani Peladang Peserta Transmigrasi
di Propinsi Jambi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

314
Larik Tenure

Fernandes, U. L. (2012, Maret 17). (K. D. Olla, Interviewer)

FIELD Foundation. (2015). Laporan Kajian Pemilihan Desa Prioritas untuk


Pengelolaan Kebakaran Terpadu di Lanskap Katingan - Kahayan.
Jakarta: USAID LESTARI.

Firman, T. (2017, Mei 27). Tirto.id. Retrieved Desember 11, 2020, from
Tirto.id: https://tirto.id/timor-leste-pada-masa-kolonial-co55

Grijzen, H. (1904). Mededeelingen Omtrent Beloe of Midden-Timor.


Batavia: Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen.

Guillot, C., Perret, D., & Fanani, A. S. (2008). Barus: Seribu Tahun Yang
Lalu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Gunawan, Y. (2014). Suaka Margasatwa Kateri. Kupang, NTT.

Gunggung Senoaji, Guswarni Anwar, Muhamad Fajrin Hidayat, dan


Iskandar. (2020). Tipologi dan Resolusi Konflik Tenurial dalam
Kawasan Hutan Konservasi Taman Wisata Alam Pantai Panjang-
Pulau Baai di Kota Bengkulu. JURNAL ILMU LINGKUNGAN Volume
18 Issue 2.

Hagen, B. (1908). Die Orang Kubu auf Sumatra. Frankfurt: Joseph Baer&Co.

Haidir. (2020, 12 15). (A. Afandi, Interviewer)

Hanafiah, J. (2018, Juli 22). mongabay.co.id. Retrieved November 30, 2020,


from Sensasi Sebangau, Wisata Air Nuansa Gambut:
https://www.mongabay.co.id/2018/07/22/sensasi-sebangau-
wisata-air-nuansa-gambut/

Herawati, I. (2011). Konflik Lingkungan dan Resolusinya di Taman Nasional


Bukit Duabelas Provinsi Jambi. Yogyakarta: UGM.

315
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

http://www.kemitraan.or.id/. (2019). Retrieved 2021, from


http://www.kemitraan.or.id/

IUCN. (2008). World Heritage and protected areas. IUCN, Gland,


Switzerland.

Ivonne. (2020, Desember 16-19). (F. Septyono, Interviewer)

Jailani, H. (2020, Desember 21). (A. Afandi, Interviewer) Jambi, Air Hitam,
Sorolangun.

Jakat. (2020, Desember 16-19). (F. Septyono, Interviewer)

Jawara. (2020, Desewmber 18). Focus Group Discussion. (S. Jpang,


Interviewer)

Jeti, R. (2020, Desember 9). (F. Septyono, Interviewer)

Jpang, S. (2019). Laporan In-depth Interview & FGD di TNMB, Jawa Timur.
Jakarta: USAID - BIJAK dan LATIN.

Jpang, S. (2020). Kajian Lanskap, Potensi Ekowisata, Identifikasi Kemitraan


Konservasi dan Pemberdayaan Masyarakat di Desa Rantau
Malam, TNBBR. USAID-BIJAK_LATIN.

Jpang, S. (2020). Khazanah Sembilang Dangku. Palembang: Matakamera


untuk Hutan Kita Institut.

Jpang, S. (2020, Januari 20). The extended family of Meru Betiri National
Park. Retrieved Desember 1, 2020, from The extended family of
Meru Betiri National Park:
https://www.thejakartapost.com/life/2020/01/20/the-extended-
family-of-meru-betiri-national-park.html

Jumadi. (2020, Desember 7-9). (F. Septyono, Interviewer)

Jusman. (2020, Desember 9). Wawancara. (A. Afandi, Interviewer)

316
Larik Tenure

KAIL. (2005). Laporan Kegiatan Penguatan Kelembagaan Organisasi


Rakyat Dalam Mendukung Penerapan Hutan Komunitas dan Riset
Pola Produksi, Konsumsi dan Distribusi Hasil Sumberdaya Alam di
4 Desa Sekitar TNMB. Jakarta: KAIL atas dukungan Yayasan
KEMALA.

KAIL. (2020, Desember 19). Focus Group Discussion. (S. Jpang, Interviewer)

Kartodihardjo, H. (2007). Dibalik Kerusakan Hutan Dan Bencana Alam.


Jakarta: Yayasan Kehati.

Kentik. (2020, Desember 18). Wawancara. (S. Jpang, Interviewer)

Kusumasumantri, P. Y. (2018, Februari 22). Peran Sultan dan Raja Dalam


Penunjukkan Konservasi dan Pelestarian Jenis 1920-1938.
Retrieved Oktober 22, 2021, from http://pika.ksdae.menlhk.go.id:
http://pika.ksdae.menlhk.go.id/index.php/beranda/viewberita/7
0

Larson, A. (2013). Hak Tenurial dan Akses ke Hutan: Manual Pelatihan


untuk Penelitian. Bogor: CIFOR.

LATIN. (2021). Analisis Data Sosial Ekonomi Kampung Tua Manyampa.


Bogor: LATIN.

Lektur.id. (n.d.). 6 Arti Kata Tenure di Kamus Bahasa Inggris Terjemahan


Indonesia. Retrieved November 29, 2020, from Lektur.id:
https://lektur.id/arti-
tenure/#:~:text=Tenure%20masuk%20ke%20dalam%20bahasa,u
mum%20digunakan%20di%20seluruh%20dunia.

Mahmud, A., Satria, A., & Kinseng, R. (2015, Maret). Zonasi Konservasi
untuk Siapa? Pengaturan Perairan Laut Taman Nasional Bali
Barat. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 18, Nomor 3,
237-251.

317
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Maria Endah Ambarwati, Gatot Sasongko, Wilson M.A Therik. (2018).


Dinamika Konflik Tenurial pada Kawasan Hutan Negara. Jurnal
Sosiologi Pedesaan.

Maria, A. H. (2019). Presepsi Masyarakat Terhadap Kearifan Lokal


Pengelolaan Mata Air Tubaki Di Kawasan Hutan Suaka
Margasatwa Kateri, Desa Kamanasa, Kecamatan Malaka Tengah,
Kabupaten Malaka, Nusa Tenggara Timur. Kupang: Universitas
Nusa Cendana.

Marsden, W. (1784). The History of Sumatra. London: Thomas Pyne and


Son.

Masa, A. (20218, April 18). https://sulteng.antaranews.com/. Retrieved


Desember 2, 2020, from https://sulteng.antaranews.com/:
https://sulteng.antaranews.com/berita/40682/peneliti-kawasan-
tnll-miliki-100-tanaman-anggrek

Massiri, S. D., Nugroho, B., Kartodihardjo, H., & Soekmadi, R. (2016, Juli).
Preferesni dan Motivasi Masyarakat Lokal Dalam Pemanfaatan
Sumber Daya Hutan di Taman NasionalLore Lindu, Provinsi
Sulawesi Tengah. MANUSIA DAN LINGKUNGAN, Vol. 23, No.2,
215-223.

Meliala, A. (2001, Juli 18-21). Konflik, Resolusi dan Keadilan Alternatif.


Padang, Sumatera Barat. Retrieved 12 25, 2020, from
https://simposiumjai.ui.ac.id/wp-
content/uploads/20/2020/03/8.1.2-Adrianus-Meliala.pdf

Mertawi. (2020, Desember 8). Wawancara. (S. Jpang, Interviewer)

Moira Moeliono, G. L. (2010). Meretas kebuntuan Konsep dan Panduan


Pengembangan Zona Khusus bagi Taman Nasional di Indonesia.
Indonesia: Center for International Forestry Research (CIFOR).

318
Larik Tenure

Molengraaff, G. F. (1900). Borneo-expeditie: Geologische


verkenningstochten in centraal-Borneo (1893-94). Amsterdam: EJ
Brill.

mongabay.co.id. (2014, Desember). Permasalahan Tenurial dan Konflik


Hutan dan Lahan. Retrieved November 29, 2020, from Mongabay
situs berita lingkungan:
https://www.mongabay.co.id/permasalahan-tenurial-dan-konflik-
hutan-dan-lahan/

Muda, Y. (2005). Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Keputusan


Peta i dala Me ilih Pola Agroforest Napu Kasus di daerah
penyangga TN Kelimutu Kabupaten Ende, Propinsi NTT). Bogor:
Institut Pertanian Bogor.

Mugni. (2020, Desember 13). Wawancara. (S. Jpang, Interviewer)

Mulyani, S. (1997). Pendekatan Sistem Kawasan Konservasi Alam Terpadu


untuk Pengembangan Daerah Penyangga (Studi Kasus di Taman
Nasional Siberut). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Mulyani, W. (2014). Interpretasi Konflik Pemanfaatan Ruang oleh Orang


Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Bandung:
Institut Teknologi Bandung.

Mulyono, Y. (2019, Oktober 3). Pembalak Hutan Taman Nasional Meru


Betiri Ditembak Mati. Retrieved Januari 26, 2021, from
detikNews: https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-
4732435/pembalak-hutan-taman-nasional-meru-betiri-ditembak-
mati

Mustafa. (2002). Dinamika Konflik dan Model Institusi Pengelolaan


Kawasan yang Berkelanjutan. Studi Kasus pada Pengelolaan
Kawasan Konservasi Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.

319
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Myrna A. Safitri (Koordinator), Muayat Ali Muhshi, Mumu Muhajir,


Muhammad ShohibuddinYance Arizona, Martua Sirait, Grahat
Nagara, Andiko, Sandra Moniaga, Hasbi Berliani, Emila Widawati,
Siti Rakhma Mary, Gamma Galudra, Suwito, Andri Santosa, Hery
Santoso. (2011). Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial. Jakarta:
Epistema Institute.

Ndun, E. (2021, Oktober 12). (K. D. Olla, Interviewer)

Nenen, A. (2020, Agustus 14). Wawancara. (S. Jpang, Interviewer)

Neonbasu, G. (2016). Citra Manusia Berbudaya Dalam Monografi Tentang


Timor Dalam Perspektif Melanesia. Jakarta: Antara Publishing.

Ningsih, Y. (2020, Desember 10-11). (F. Septyono, Interviewer)

Noegroho, T. (2005). Membangun Kemitraan Pengelolaan Taman Nasional


di Indonesia. Workshop Kabupaten Konservasi, 29 November
2005. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Tropenbos
Indonesia, WWF Indonesia, CIFOR, Departemen Dalam Negeri.

Nopi, A. (2020, Desember 9). Wawancara. (S. Jpang, Interviewer)

Nugroho, A. (2020, Desember 16-17). (F. Septyono, Interviewer)

Nurdin. (2020, 12 9). (A. Afandi, Interviewer) Sulawesi Tengah, Sigi.

Otong, F. (2020, Juni 15). (A. Gayak, Interviewer)

P.13. (2017, Februari 16). P.13/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017. Pedoman


Pembinaan Jabatan Fungsional PEH. Jakarta, DKI: KLHK.

P.6. (2016, Mei 26). P.6/PSKL/SET/PSL.1/5/2016. Pedoman Asesment


Konflik Tenurial Kawasan Hutan. Jakarta, Jakarta, Indonesia:
Ditjen PSKL KLHK.

320
Larik Tenure

P.76. (2015, Desember 16). P.76/Menlhk-Setjen/2015. Kriteria Zona


Pengelolaan Taman Nasional dan Blok Pengelolaan Cagar Alam,
Suaka Margasatwa,Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia: KLHK.

P.84. (2015). Permen LHK P.84/Menlhk-Setjen/2015. Permen LHK


P.84/Menlhk-Setjen/2015 tentang Penanganan Konflik Tenurial
Kawasan Hutan. Jakarta: Kementerian LHK.

Penyot. (2020, Desember 18). Wawancara. (S. Jpang, Interviewer)

Pereira, D. (2021, Maret 3). (K. D. Olla, Interviewer)

Pires, T. (1944). Suma Oriental. In A. Cortesao, The Suma Oriental of Tome


Pires and The Book of Fransisco Rodrigues. London: The Hakluyt
Society.

Prabandari, F. (2001). Perancangan Program Pemberdayaan Masyarakat


Desa Sekitar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru
Berdasarkan Karakteristik Pemanfaatan Hasil Hutan dan Lahan
Hutan (Studi kasus di daerah penyangga Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru, Jawa Timur). Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Prasetijo, A. (2015). Orang Rimba; True Custodian of the Forest. Jakarta


and Jambi: ICSD and KKI Warsi.

Purwadi. (2020, Desember 15). Wawancara. (F. Septyono, Interviewer)

Purwanto, S. A. (2005). Taman Nasional, Hak-hak Masyarakat Setempat


dan Pembangunan Regional. ANTROPOLOGI INDONESIA, Vol. 29,
No. 3, 269-288.

Purwawangsa, H. (2017). Instrumen Kebijakan untuk Mengatasi Konflik di


Kawasan Hutan Konservasi. Risalah Kebijakan Pertanian dan
Lingkungan Vol 4 No. 1, April.

QS Hud:118. (n.d.).
321
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

QS Hud:119. (n.d.).

QS. Ali Imran:140. (n.d.).

Rachman, M. (2012). Konservasi Nilai dan Warisan Budaya. Indonesian


Journal of Conservation, 1 No. 1, 30 - 39.

Rahman, S. (2020, Desember 8). Wawancara. (S. Jpang, Interviewer)

Rio, B. W. (2020, Desember 13). Wawancara. (S. Jpang, Interviewer)

Rukminda, G., Soekmadi, R., & Adiwibowo, S. (2020, April). Perspektif


Masyarakat Terhadap Program Kemitraan Kehutanan Sebagai
Solusi Konflik Tenurial Di Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung
Rinjani Barat. Media Konservasi, 25 No. 1, 17 - 25.

Rumaksi. (2020, Desember 8). Wawancara. (S. Jpang, Interviewer)

Rustam. (2020, Mai 26). (T. Bimantara, & S. A. Pratama, Interviewers)

Sabaruddin. (2021, Februari 12-16). (T. Bimantara, & S. A. Pratama,


Interviewers)

Saefullah. (2017). PERAN MODAL SOSIAL ORANG RIMBA DALAM


MENDUKUNG PEMBERDAYAAN EKONOMI DI TAMAN NASIONAL
BUKIT DUABELAS. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Saputra, A. (2020, Desember 7-11). (F. Septyono, Interviewer)

Schwaner, C. A. (1853). Borneo: beschrijving van het stroomgebeid van den


Barito, en reizen langs eenige voorname rivieren van het Zuid-
Oosterlijk gedeelte van dat eiland.

Selambai. (2020, 12 21). Pengembangan Dokumen Pembelajaran tentang


Penanganan Konflik Tenurial dan Panduan Rezonasi Partisipatif
Berbasis Pembelajaran dari Lapangan. (A. Afandi, Interviewer)

322
Larik Tenure

Siahaan, J. F. (2020, Desember 5-11). Wawancara. (F. Septyono,


Interviewer)

Skolastika, M. G., & Jatmika, S. (2021, Januari-Juni). Dinamika Integrasi


Lokal Warga Eks Timor-Timur di Wilayah Pemukiman Pengungsi
Kabupaten Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ejournal
Academia Universitas Diponegoro; Universitas Muhamadiyah
Yogyakarta-Indonesian Perspective, pp. 36-64.

Sri-Edi Swasono & Masri Singarimbun. (1986). Transmigrasi di Indonesia


1905-1985. Jakarta: UI-Press.

Suhardono, W. (2015). Konflik dan Resolusi. Jurnal Sosial dan Budaya


Syar'i.

Suharno. (2020). Kebijakan Publik Berbasis Politik Rekognisi. Surakarta: CV.


Indotama Solo.

Sulisyati, R., Prihatinningsih, P., & Mulyadi. (2018). REVISI ZONASI TAMAN
NASIONAL KARIMUNJAWA SEBAGAI UPAYA KOMPROMI
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM. Seminar Nasional
Geomatika 2018: Penggunaan dan Pengembangan Produk
Informasi Geospasial Mendukung Daya Saing Nasional (pp. 713-
724). Semarang: Balai Taman Nasional Karimunjawa.

Sumartias, S & Rahmat, A. (2013). Faktor-faktor yang Memengaruhi Konflik


Sosial. Jurnal Penelitian Komunikasi.

Sunaryo. (2020, Desember 15). (F. Septyono, Interviewer)

Suparman, L. G. (1994). Babad Lombok. Jakarta: Pusat Pembinaan dan


Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Surahman, M. (2020, Desember 19). (S. Jpang, Interviewer)

Suraji. (2003). Keterkaitan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Sistem


Pengelolaan Kebun Campuran dalam Hutan Kemasyarakatan
323
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Berbasis Fungsi Lingkungan (Studi Kasus di Taman Hutan Raya


Wan Abdul Rahman Register 19 Gunung Betung Provinsi
Lampung. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Suroto. (2020, Desember 10 - 11). (F. Septyono, Interviewer)

Suryadi, I. (2021, 12 14). (A. Afandi, Interviewer) Sarolangun, Jambi.

Susana, Suyoko, & Turrahman, H. (2017, Desember 22).


http://ksdae.menlhk.go.id/. Retrieved Desember 1, 2019, from
Zonasi Taman Nasional Sebangau Disosialisasikan Dari Tingkat
Desa Hingga Provinsi:
http://ksdae.menlhk.go.id/info/2368/zonasi-taman-nasional-
sebangau-disosialisasikan-dari-tingkat-desa-hingga-provinsi.html

Takandjandji, M., & Kwatrina, R. T. (2011). Pengelolaan Cagar Alam Pulau


Dua di Provinsi Banten Sebagai Ekosistem Bernilai Penting. Jurnal
Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, 8 No. 1, 95 - 108.

Tempo. (2015, November 4). Tempo. Retrieved Januari 21, 2021, from
tempo.co: https://nasional.tempo.co/read/715795/abu-anak-
rinjani-16-penerbangan-di-bandara-juanda-
terganggu/full&view=ok

TNBB. (2020). Self-Assessment TN Bantimurung Bulusaraung. Makassar:


TNBB.

TNBBBR. (2016). Database Spesies TNBBBR. Sintang: TNBBBR.

TNBBBR. (2017). RPJP TNBBBR Provinsi Kalbar dan Kalteng Periode 2018-
2027. Sintang: TNBBBR.

TNBBBR. (2020). Self-Assessment Penanganan Konflik Tenurial di Kawasan


Konservasi. Sintang: TNBBBR.

324
Larik Tenure

TNBD. (2017). https://www.tnbukitduabelas.id/. Retrieved Desember 1,


2020, from Sejarah Kawasan:
https://www.tnbukitduabelas.id/profile/sejarah-kawasan

TNS. (2014). Statistik TN Sebangau. Palangka Raya: TNS.

UNHCR. (2002). https://www.unhcr.org/. Retrieved Oktober 21, 2021,


from https://www.unhcr.org/:
https://www.unhcr.org/publications/fundraising/3e1a9fc00/unhc
r-global-appeal-2002-addendum-east-timorese-refugees-west-
timor.html

Untung, L. B. (2021, Oktober 22). (K. D. Olla, Interviewer)

UU 41/1999. (1999, September 30). UU 41/1999. Kehutanan. Jakarta, DKI:


Presiden Republik Indonesia.

Wallace, A. R. (1877). The Malay Archipelago. London: Macmillan and Co.

Wawan. (2020, 12 21). (A. Afandi, Interviewer) Jambi, Air Hitam,


Sarolangun.

Widi, H. (2018, November 21). http://ksdae.menlhk.go.id/. Retrieved


November 30, 2020, from Mengenal Herpetofauna:
http://ksdae.menlhk.go.id/info/4997/mengenal-
herpetofauna.html

Wiratno. (2017, November 30). Paradigma Baru Pengelolaan Kawasan


Konservasi di Indonesia. Workshop Penyusunan Buku State of
Indonesian Forest.

Wiratno. (2018). Sepuluh Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi di


Indonesia: Membangun Organisasi Pembelajar. (B. Sya'bani, Ed.)
Jakarta: Ditjen KSDAE KLHK.

325
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Working Group Tenure. (2012). Resolusi Konflik di KPH (Pembelajaran dari


KPH Register 47 & Rinjani Barat) . (M Syukur, Ed.) Bogor: Working
Group Tenure.

WWF. (2013). Studi Penilaian Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Bagi


Kelompok Mata Pencaharian Berkelanjutan Program
Pengembangan Sosial Dan Ekonomi Sebangau, Kalimantan
Tengah . WWF.

Yerang. (2020, Mai 26). (T. Bimantara, & S. A. Pratama, Interviewers)

Yogaswara, H. (2021). Meneruskan Hidup Setelah Kerusuhan: Ingatan


Kolektif dan Identitas Etnis Madura Pasca Kekerasan Antar Etnis
di Kota Sampit, Kalimantan Tengah. Jakarta: Universitas
Indonesia.

Yulianto, E. (2020, Desember 15). (F. Septyono, Interviewer)

Yulianty, L. (2020, Desember 7). (F. Septyono, Interviewer)

Yunus. (2020, Desember 15). Wawancara. (F. Septyono, Interviewer)

Yusan, M. (2020, 12 17). (A. Afandi, Interviewer) Jambi, Air Hitam,


Sarolangun.

326
Larik Tenure

Perihal USAID BIJAK

B angun Indonesia Jaga Alam untuk Keberlanjutan terdengar seperti


kalimat jargon. Ini seperti pula jargon-jargon lain semisal hutan terjaga
masyarakat sejahtera, atau selamatkan hutan demi anak cucu kita. Tapi
dengan kekayaan hutan tropis yang kaya dan beragam, Indonesia patut
menganut jargon tersebut.

Lepas dari itu semua, Bangun Indonesia Jaga Alam untuk Keberlanjutan
(BIJAK) sejatinya adalah judul sebuah program dari United States Agency for
International Development (USAID). Uang yang dikumpulkan dari pajak
orang Amerika, dikelola USAID dan dijadikan proram-proram pembangunan
untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Bagi Pemerintah
Amerika Serikat, USAID telah menjadi agen pembangunan internasional
yang kredibel. Ditambah lagi, USAID bekerja dengan lembaga-lembaga
independen seperti Chemonics International.

Setidaknya 30 juta orang Indonesia bergantung langsung pada hutan


negara, dan jutaan lainnya bergantung pada keanekaragaman hayati
ekosistem untuk udara, tanah yang subur, air yang dapat diminum, dan
pendapatan tetap. Kemakmuran ekonomi yang berkelanjutan bagi
Indonesia dan mitra dagangnya terkait erat dengan konservasi ekosistem
yang rapuh dan penting secara global ini (BIJAK, 2016).

Bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia, USAID BIJAK, yang berarti


'bijaksana' dalam bahasa Indonesia, meningkatkan pengelolaan hutan dan
kawasan konservasi Indonesia, memperkuat perlindungan hukum bagi
satwa liar yang terancam dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Untuk
mendukung konservasi keanekaragaman hayati, USAID BIJAK memfasilitasi
koordinasi antara Pemerintah Indonesia dan organisasi masyarakat sipil
untuk memperkuat undang-undang, peraturan, serta perangkat dan sistem
pengelolaan sumber daya alam. Selain itu, BIJAK USAID berkoordinasi
dengan mitra lokal untuk mengadaptasi pendekatan lokal yang inovatif
untuk meningkatkan pengelolaan dan konservasi untuk digunakan di
seluruh negeri.

BIJAK memfasilitasi kolaborasi antara Pemerintah dan mitra lainnya untuk


menyempurnakan peraturan perundang-undangan, serta perangkat dan

327
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

sistem manajemen. Upaya BIJAK berfokus pada bidang-bidang masalah


berikut :

1. Meningkatkan Pengelolaan Area Konservasi


Jaringan kawasan konservasi Indonesia mencakup 54 taman nasional
dan mencakup 27 juta hektare - luas gabungan kira-kira seukuran
Colorado. USAID BIJAK bekerja untuk meningkatkan dan melindungi
jaringan ini dengan:
1.1. Membantu mitra pemerintah mengawasi kawasan konservasi
dengan menggunakan kebijakan dan peraturan berbasis data
yang lebih efektif, termasuk kebijakan untuk mencegah
perkebunan kelapa sawit dari perambahan liar ke taman
nasional; dan
1.2. Memperkuat rasa bangga dan tanggung jawab masyarakat
Indonesia terhadap taman nasionalnya, sehingga mendorong
permintaan untuk konservasi yang lebih baik.
2. Meningkatkan Pengelolaan Hutan
Tutupan hutan di wilayah yang dikelola pemerintah telah sangat
menderita karena pengawasan, perencanaan dan pengelolaan yang
tidak memadai. USAID BIJAK memperkuat kemampuan pemerintah
untuk mengawasi hutan yang dikelola pemerintah, yang mencakup 64
persen lahan Indonesia, dengan cara:
2.1. Memperkuat upaya reformasi Indonesia dengan membantu
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk lebih melestarikan
ekosistem hutan yang rapuh sambil memenuhi tuntutan manusia
yang terus meningkat atas hutan;
2.2. Memperluas penggunaan strategi pendanaan inovatif untuk
membuat konservasi dan pembangunan rendah emisi lebih
menarik bagi pengembang dan investor; dan
2.3. Melindungi kawasan hutan perawan yang masih utuh yang belum
dikelola pemerintah.
3. Meningkatkan Perlindungan Spesies Kunci
Perdagangan satwa liar merusak keamanan, supremasi hukum dan
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Hilangnya spesies ikonik
mengurangi prospek Indonesia untuk pariwisata berbasis alam dan
perikanan berkelanjutan. USAID BIJAK memerangi perdagangan satwa
liar dengan:

328
Larik Tenure

3.1. Mendukung Pemerintah Indonesia dalam memperkuat


komitmennya terhadap Konvensi Perdagangan Internasional
Spesies Terancam Punah, atau CITES;
3.2. Bekerja sama dengan mitra sektor publik dan swasta untuk
mengganggu kegiatan perdagangan satwa liar di sektor
transportasi domestik; dan
3.3. Mendukung kampanye untuk mengurangi permintaan domestik
akan satwa liar dan produknya, termasuk hiu dan burung liar,
seperti rangkong hitam yang terancam punah.

329
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Perihal KEMITRAAN
Merujuk http://www.kemitraan.or.id/ (2019), Kemitraan bagi Pembaruan
Tata Pemerintahan, atau KEMITRAAN, didirikan pada tahun 2000,
bertepatan dengan usainya pemilihan umum tahun 1999. Pemilu
bersejarah ini merupakan sebuah langkah penting menuju bergerak
Indonesia melampaui masa otoriter dan menuju masa depan yang
demokratis. KEMITRAAN didirikan sebagai dana perwalian multi donor dan
dikelola oleh United Nations Development Programme (UNDP).
KEMITRAAN didirikan dan dipimpin oleh sejumlah pemimpin terkemuka
Indonesia dari pemerintah, masyarakat sipil dan sektor swasta untuk
mempromosikan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Pada tahun 2003
KEMITRAAN menjadi badan hukum independen, yang terdaftar sebagai
asosiasi hukum sipil non-profit.

Sejak awal tahun 2010 KEMITRAAN telah mengambil tanggung


jawab fidusia penuh dan akuntabilitas program dan perkembangan.
KEMITRAAN didirikan guna menyasar Tata kelola yang baik adalah
partisipatif, konsensus berorientasi, akuntabel, transparan, reponsif, efektif
dan efisien, adil, dan inklusif serta mengikuti aturan hukum. Menjamin
bahwa korupsi diminimalkan, pandangan minoritas diperhitungkan dan
bahwa suara-suara yang paling rentan dalam masyarakat didengar dalam
pengambilan keputusan.

Visi KEMITRAAN adalah untuk membangun pemerintahan yang adil,


demokratis, dan berkelanjutan yang meningkatkan kesejahteraan
masyarakat Indonesia. Misi KEMITRAAN adalah untuk menyebarkan,
memajukan, dan melembagakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik,
pemerintah, masyarakat sipil dan sektor usaha. Tata kelola yang baik
mendukung warga negara dan hak asasi manusia, kesetaraan gender,
secara sosial dan ekonomi terpinggirkan, dan kelestarian lingkungan.

KEMITRAAN bekerja pada tiga bidang:


1. Untuk mendukung inisiatif difokuskan pada transformasi pemerintahan
dalam lembaga publik – membangun kapasitas dari dalam.
2. Penguatan kapasitas masyarakat sipil, sektor swasta dan kelompok
non-negara lainnya untuk menuntut dan reformasi
promotegovernance – menerapkan tekanan dari luar.

330
Larik Tenure

3. Untuk mengsinergikan dan menyelaraskan kegiatan reformasi


pemerintahan dan untuk mendorong transformaso melalui jaringan
kemitraan – pendekatan multi-stakeholder.

5 Pilar Rencana Stretegi KEMITRAAN terdiri dari:

1. Penguatan lintas-koordinasi dan integritas kelembagaan


2. Peningkatan kesempatan ekonomi dan kesejahteraan
3. Peningkatan prinsip-prinsip lingkungan berkelanjutan
4. Tingkat keamanan masyarakat yang lebih baik
5. Pencapaian 17 sasaran pembangunan berkelanjutan

Pencapaian KEMITRAAN dilihat dari kontribusinya terhadap tingkat hasil,


yang dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu perubahan kebijakan,
penciptaan lingkungan yang mendukung, dan peningkatan kesejahteraan.
Pencapaian yang berbeda dalam memberikan kontribusi terhadap
perubahan kebijakan terlihat pada tingkat yang berbeda, yaitu di tingkat
regional (di luar Indonesia), tingkat nasional dan tingkat lokal. Di tingkat
regional (Asia Tenggara), melalui Proyek IKAT-US (Inisiatif Kemitraan Asia
Tenggara), KEMITRAAN berupaya membangun kapasitas mitra organisasi
masyarakat Timor Leste yang belakangan berhasil berkontribusi dalam
upaya advokasi mereka untuk meningkatkan jumlah keterwakilan
perempuan di parlemen sebesar 3,3% (dari 32,2% menjadi 38,5%).

Di tingkat nasional, KEMITRAAN antara lain berhasil berperan penting


dalam pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/2012 dan berhasil mengadvokasi
pelebaran kawasan hutan warga yang telah dilegalkan (Community Based
Forest Management/CBFM) dengan sekitar 800 ribu ha (dari 600 ribu ha di
tahun 2011 menjadi 1,4 juta ha di tahun 2015). Selain itu, KEMITRAAN juga
berkontribusi dalam perubahan peraturan menteri tentang sistem verifikasi
legalitas kayu (SVLK/Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) dan berhasil
melembagakan upaya reformasi Polri melalui Keputusan Kapolri No.
Kep/800/IX/2015.

Di tingkat daerah, KEMITRAAN berkontribusi secara signifikan dalam


penerbitan sekitar 40 kebijakan dan peraturan daerah (perda dan peraturan
walikota) tentang sistem pengadaan elektronik yang terbukti menghemat
sekitar 10% dari anggaran daerah. Selain itu, KEMITRAAN turut

331
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

berkontribusi dalam percepatan pelaksanaan verifikasi legalitas kayu


(Sistem Verifikasi Legalitas Kayu/SVLK) melalui penerbitan peraturan
bupati.

Sebagian besar kerja KEMITRAAN telah secara strategis menciptakan


lingkungan pendukung yang dapat mendorong upaya reformasi tata
pemerintahan. Lingkungan pendukung yang efektif ditunjukkan antara lain
melalui pembuatan Indonesia Governance Index yang dimanfaatkan oleh
pemerintah pusat dan daerah sebagai acuan untuk meningkatkan tata
pemerintahan daerah dan sekaligus memberdayakan masyarakat sipil
dalam mempengaruhi, memantau dan mengawasi proses pembuatan
kebijakan.

KEMITRAAN menciptakan terobosan dalam pemberantasan korupsi


khususnya di bidang sumber daya alam bekerja sama dengan KPK dan
menyelesaikan pertentangan klaim penguasaan hutan melalui
pemberdayaan masyarakat, serta secara intensif berperan dalam
meningkatkan daerah resapan air dan mengurangi dampak emisi gas rumah
kaca.

Melalui Program Tata Kelola Hutan, KEMITRAAN telah terbukti secara


signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada
hutan dengan membantu mereka mendapatkan izin untuk memanfaatkan
kawasan hutan sebagai sumber mata pencaharian mereka dan
meningkatkan pendapatan ekonomi mereka.

332
Larik Tenure

Perihal LATIN
Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) didirikan pada tanggal 5 Oktober
1989 di Bogor. LATIN merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
nirlaba. LATIN didirikan sebagai sebuah dedikasi untuk mempromosikan
dan mendukung pengelolaan sumberdaya alam yang adil dan beradab bagi
masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam
tersebut khususnya hutan. LATIN menyebutnya sebagai community forestry
atau yang kini banyak dikenal sebagai sistem pengelolaan hutan
pe huta a sosial. Kegiata ya g dilakukan oleh LATIN sedapat mungkin
menggunakan pendekatan tersebut untuk mencapai tujuan akhir yaitu
menjunjung tinggi semangat keadilan dan demokrasi.

 Mewujudkan kemandirian pada masyarakat yang hidup di sekitar


hutan dan tergantung pada hutan sebagai sumber kehidupan.
 Mendukung kemitraan antar pemangku kepentingan dan pemberian
akses kepada masyarakat.
 Meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengembangkan
kemandirian dalam pengelolaan hutan.

Selama Desember 2020 sampai dengan Januari 2021, LATIN telah


melakukan Rapid Assessment ya g e judul KEHUTANAN ADALAH
“O“IAL FO‘E“T‘I . Rapid assessment ini menampung berbagai mimpi dan
harapan dari berbagi stakeholder tentang sebuah ekosistem perhutanan
sosial yang digambarkan sebagai kondisi hutan subur, masyarakat makmur
dan mandiri serta moderen pada tahun 2045 (WAKANDA – Wana Kanaya
Sembada 2045). Perwujudan Ekosistem Perhutanan Sosial 2045 inilah yang
menjadi fokus kerja-kerja LATIN di masa mendatang.

LATIN didirikan dengan Akte pendirian tahun 1989. Perubahan Akte


Yayasan Lembaga Alam Tropika Indonesia N0. 2 tanggal 9 April 2007. Notaris
Sri Haryati Zahruddin, SH. LATIN terdaftar sebagai Yayasan Lembaga Alam
Tropika di Indonesia, legalitas Akta Pendirian Nomor 16 tanggal 25
November 2015 disetujui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia Nomor AHU-0026156.AHA.01.04. Tahun 2015 Tentang
Pengesahan Pendirian Badan Hukum Yayasan Lembaga Alam Tropika
Indonesia.

333
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Pendopo LATIN

Jl. Sutera no. 1 Rt 02/05 Situgede Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat, Indonesia –
16115

+62 813-1116-2045

334
Larik Tenure

Perihal Perawi
Pada No e e , “yaf izaldi Aal Jpa g da Dede Ku aifi
mempublikasikan buku berjudul Pugar Belantara Kuansing. Buku ini
bercerita tentang kisah masa lalu pembangunan rel kereta api dan kisah
rehabilitasi hutan dan lahan di Kuantan Singingi. Buku ini sendiri diterbitkan
oleh Yayasan Hutanriau.

Tahun 2020, dia mempublikasikan 2 buku sekaligus. Buku Talang Mamak


di Tepi Zaman, dia tulis sepanjang awal tahun dan diterbitkan secara digital
pada Maret 2020 oleh AsM Law Office. Lainnya berjudul Khazanah
Sembilang Dangku (KSD) terbit di Maret 2020 melalui dukungan Hutan Kita
Institut di Palembang. KSD sendiri merupakan pembelajaran penanganan
konflik tenurial di lanskap Sembilang – Dangku, Sumatra Selatan. Buku
tersebut diluncurkan secara online pada 15 September 2020.

Pada Oktober 2019, Jpang bersama Diah Suradiredja meluncurkan buku


berjudul Perempuan di Singgasana Lelaki. Buku ini diterbitkan Gramedia
Pustaka Utama (GPU) pada September 2019. Melalui dukungan The Ford
Foundation, dia menggarap kisah-kisah inspiratif para pemimpin politik
perempuan, termasuk di antaranya Bupati Luwu Utara (Indah Putri
Indriani), Walikota Surabaya (Tri Rismaharini), Gubernur Jawa Timur
(Khofifah Indar Parawangsa) dan sederet nama lainnya.

Aal merupakan storyteller, penulis, fasilitator dan fotografer yang telah


terlibat menulis berbagai buku terkait konservasi, anak, pengelolaan
sumber daya alam, ekonomi dan perempuan. Dia berpengalaman 20 tahun
bekerja di bidang konservasi sumber daya alam, kebencanaan, perubahan
iklim, perhutanan sosial.

Sepanjang pengalamannya, dia berkiprah sebagai aktivis gerakan


masyarakat sipil, sosial dan lingkungan. Dia pernah bekerja pada lembaga
internasional seperti Developemnt Alternative Inc. dan Fauna Flora
International. Sebagai konsultan jangka pendek, dia juga pernah bekerja
untuk proyek-proyek USAID, Uni Eropa, KfW, GIZ, Kemitraan, Yayasan
Kehati, Samdhana Institute, Tropical Forest Alliance dan lainnya. Di level
nasional, dia pernah bekerja untuk Walhi, KKI Warsi dan FIELD Foundation.
Sepanjang bekerja untuk lembaga-lebaga tersebut, dia memproduksi

335
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

artikel-artikel terkait proyek dengan menggunakan bahasa santai, renyah


dan ringan.

Aal pernah aktif menjadi kontributor tulisan di berbagai media, diantaranya:


Majalah National Geographic Indonesia Traveler, Majalah Kartini, Majalah
Intisari, Majalah Mutiara Biru, Harian The Jakarta Post, jurnalistravel.com,
travelnatic.com, kompas.com, tribunnews.com, Harian Koran Tempo dan
lainnya.

Selain empat buku yang telah disebut di awal, buku-buku lain yang pernah
ditulis: 1) Kepak Punai, tentang perjuangan tanah ulayat oleh masyarakat
adat Melayu, diterbitkan GPU tahun 2018. 2) Langkas Jenggala, berkisah
tentang Perhutanan Sosial, diterbitkan oleh GPU tahun 2018. 3) 4 Sisi,
mengisahkan kondisi peri kehidupan dan konservasi di sekitar TNKS,
diterbitkan oleh GPU pada 2017. 4) Namaku Dahlia, tentang para
perempuan di Lubuk Beringin yang berdaya secara ekonomi, diterbitkan
GPU pada, 2015. 5) Namaku Dahlia, tentang para perempuan di Lubuk
Beringin yang berdaya secara ekonomi, diterbitkan Pundi Sumatra dan
Partnership pada 2014. 6) Riak Mendesau, buku yang mengulas testimoni
para pihak di Sumatra dalam Pengelolaan Hutan Lestari dan Sistem
Verifikasi Legalitas Kayu, diterbitkan Pundi Sumatra dan Multi Stakeholder
Forest Program (MfP), Aliansi Pemantau Independen Kehutanan Sumatra
(APIKS) dan Yayasan Kehati pada 2012. 7) Mimpi Hutan Desa, buku
pembelajaran pengembangan hutan desa, diterbitkan Pundi Sumatra dan
Partnership pada 2010. 8) Lentera Kampung Hutan, buku pembelajaran
pengembangan energi listrik di desa-desa sekitar kawasan TNKS, diterbitkan
Pundi Sumatra, MfP Phase 2 dan The Partnership for Governance Reform-
Indonesia pada 2010. 9) Parak: Sosial Forestry Ala Masyarakat
Kotomalintang, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Forum Komunikasi
Kehutanan Masyarakat di Bogor 2004.

Sebagai editor dan kontributor tulisan, Aal terlibat dalam buku-buku: 1)


Langgam Salindia, kisah tentang perjuangan konservasi di Sumatra bagian
tengah dan selatan, diterbitkan Pundi Sumatra dan Tropical Forest
Conservation Action (TFCA) Sumatra pada 2018. 2) Bait Satria Andalas,
kisah-kisah perjuangan konservasi di Sumatra bagian Utara, diterbitkan
TFCA dan Leuser Conservation Partnership pada 2018. 3) Seharum Tanah
Wana, buku tentang inisiatif masyarakat Wana Posangke dalam mengelola
sumber daya alam, diterbitkan Yayasan Merah Putih di Palu pada 2018. 4)

336
Larik Tenure

Detak Konservasi Sumatra, buku berkisah tentang berbagai inisiatif


konservasi di hutan Sumatra, diterbitkan oleh GPU pada 2017. 5) Tumbuh
di Era Digital, buku yang bercerita tentang perkembangan anak di era
digital, diterbitkan oleh Aliansi Jurnalis Independen Indonesia dan UNICEF
Indonesia di Jakarta pada 2016. 6) Plan C, buku tentang Metodologi
Pengorganisasian Masyarakat berbasis Lanskap, diterbitkan Pundi Sumatra
dan TFCA Sumatra pada 2016.7) Buku Saku Pendamping Lembaga
Keuangan Mikro, diterbitkan Pundi Sumatra dan TFCA Sumatra pada 2015.
8) Menyemai Siaga di Lereng Malalak, sebuah buku foto tentang kesiap-
siagaan masyarakat dalam menghadapi bencana alam, dipublikasikan
Yayasan FIELD Indonesia dan Muslim Aid di Padang pada 2010. 9)
Watershed Management Toolkits, sebuah buku tentang pengelolaan
daerah aliran su gai, dite itka oleh U“AID s E“P, ke e te ia Kehuta a
dan BAPPENAS di Jakarta pada 2009. 10) Potret Hutan Jambi, sebuah buku
tentang kondisi hutan di Provinsi Jambi, dipublikasikan KKI Warsi, Jambi
2005. 11) Obrolan Lapau-Obrolan Rakyat, buku tentang potret pergulatan
kembali Ke nagari di Sumatra Barat, diterbitkan Studio Kendil, Instutut
Hukum Sumber daya Alam dan KKI Warsi, Bogor 2004. 12) Parak-Mutiara
Di Tepi Danau, booklet tentang pengelolaan hutan berbasis masyarakat,
dipublikasikan KKI Warsi pada 2002.

Bersama Pundi Sumatra, Aal telah menjadi Sekretaris Badan Pengurus sejak
lembaga ini didirkan pada 2006. Sebagai bagian organ organisasi, dia
memberikan nilai tambah pada daya dongkrak pengelolaan organisasi.
Mimpinya adalah mendorong Pundi Sumatra sebagai lembaga yang
moderen, tangguh, dan memiliki durabilitas tinggi atas terkaman zaman.
Kini, Aal aktif berkegiatan bersama Global Mata Angin (GMA). GMA
merupakan sebuah perusahaan yang dia dirikan dalam mendukung isu-isu
keberlanjutan, inklusi dan konservasi untuk memberikan warisan terbaik
bagi generasi masa depan.

337
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

LARIK TENURE dirawikan dari kisah-kisah langsung para pelaku di lapangan.


Dia bersumber dari obrolan renyah di tepi-tepi hutan, di kantor Balai Taman
Nasional, di warung kopi, tempat makan, ruang pertemuan, serta tempat-
tempat lain yang masih mungkin menyediakan ruang untuk bicara. Dia
adalah pembelajaran dari kerja-kerja penanganan konflik tenurial yang
dilakukan di TN Meru Betiri, TN Gunung Rinjani, TN Bukit Baka Bukit Raya,
TN Sebangau, TN Bantimurung Bulusaraung, TN Bukit Dua Belas, TN Lore
Lindu, dan Suaka Margasatwa (SM) Kateri.

LATIN melalui dukungan USAID BIJAK memotori riset di lapangan.


Dukungan ini juga disalurkan melalui KEMITRAAN yang menjalankan target
penulisan kerangka awal buku ini selama periode November 2020 hingga
April 2021. Kendati demikian, kisah-kisah sesungguhnya mulai dicatat saat
LATIN mengimplementasikan program pada April 2020.

338
Larik Tenure

Ucapan Terima Kasih LATIN

Alhamdulillah buku LARIK TENURE yang berisi cerita dari para pendamping
masyarakat LATIN dan Tim Peneliti LATIN di 6 unit Pelaksana Teknis (UPT)
Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem (Ditjen
KSDAE). Selain itu, buku ini juga berisikan pembelajaran dari 2 UPT lainnya
yang tidak secara langsung didampingi oleh LATIN.

Buku ini diterbitkan atas Kerjasama antara Lembaga Alam Tropika Indonesia
(LATIN), Direktorat Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistem
(Ditjen KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan
USAID BIJAK.

Buku ini dapat diselesaikan atas kerja keras dari pendamping masyarakat di
6 UPT dan peneliti yang menuliskan pengalaman masing-masing selama
bekerja di lapangan. Berbagai pengalaman yang diceritakan bermacam-
macam, mulai dari melakukan pendekatan kepada masyarakat yang
berkonflik, melakukan analisis konflik, mencari dan mendiskusikan pilihan-
pilihan penyelesaian konflik, termasuk mendiskusikan kemitraan konservasi
sebagai salah satu pilihan penyelesaian konflik, hingga memfasilitasi
kesepakatan penyelesaian konflik dan memfasilitasi perjanjian kerjasama
antara masyarakat dengan UPT. Semua kerja di 6 UPT tersebut tentunya
dilakukan bersama dengan Kepala UPT dan stafnya, serta memperoleh
dukungan dari jajaran Ditjen KSDAE di Jakarta.

Untuk itu penghargaan dan terima kasih yang setinggi-tingginya kami


sampaikan kepada Bapak Wiratno, selaku Direktur Jenderal KSDAE-KLHK
yang telah mendukung pelaksanaan program ini dari mulai perencanaan,
pelaksanaan sampai program berakhir.

Kami berterima kasih juga kepada Bu Dyah Murtiningsih, selaku Direktur


Kawasan Konservasi KSDAE yang mendukung perencanaan program dan
memonitor perkembangan kegiatan, khususnya pengembangan Sistem
Informasi terkait penanganan konflik di kawasan konservasi.

Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh jajaran Ditjen
KSDAE di Jakarta yang sudah mengawal pelaksanaan program ini termasuk
membantu komunikasi dan membantu mengatasi kendala teknis yang
dihadapi di lapangan. Kepada Pak Ratna Hendratmoko (Kepala Sub

339
Menyigi Konflik Temurial Kawasan Konservasi di Indonesia

Direktorat Perencanaan Pengelolaan Kawasan Konservasi) beserta staf, Pak


Hendra Wijaya (Kepala Sub Direktorat Pengendalian Pengelolaan Kawasan
Konservasi) beserta staf, Pak Hans Nico Sinaga (Kepala Sub Direktorat Bina
Daerah Penyangga dan Zona Pemanfaatan Tradisional) beserta staf, Pak U
Mamat Rahmat (Kepala Sub Direktorat Pemulihan Ekosistem) beserta staf,
Pak Iskandar Kasubag Data dan Informasi, Setditjen KSDAE) beserta staf, Pak
Toto Indraswanto (Kepala Sub Direktorat Inventarisasi dan Informasi
Konservasi Alam, Direkorat PIKA) beserta staf, dan seluruh jajaran Ditjen
KSDAE di Jakarta yang telah membantu, kami ucapkan terima kasih.

Penghargaan dan terima kasih juga kami sampaikan kepada 6 Kepala UPT
dan jajarannya yang telah mendukung dan membantu pelaksanaan
Program di lapangan. Kepada Pak Agung Nugroho (Kepala Balai TN Bukit
Baka Bukit Raya) beserta staf, Pak Andi Muhammad Khadafi (Kepala Balai
TN Sebangau), Pak Yusak Mangetan (Kepala Balai TN Bantimurung
Bulusaraung) beserta staf, Pak Timbul Batubara (Kepala Balai Besar
Konservasi Sumberdaya Alam Nusa Tenggara Timur) beserta staf, Pak Dedi
Asriadi (Kepala Balai TN Gunung Rinjani) beserta staf, serta Pak Maman
Surahman, (Kepala Balai TN Meru Betiri) beserta staf, kami ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya atas segala dukungan, kerjasama dan
bantuannya selama perencanaan, pelaksanaan sampai berakhirnya
program.

LATIN juga secara khusus mengucapkan terima kasih kepada Kepala Balai
dan seluruh jajaran Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi
Tengah dan Kepala Balai dan seluruh jajaran Balai Taman Nasional Bukit
Duabelas di Jambi.

Kerja keras bersama yang telah dilakukan akhirnya dapat didokumentasikan


dalam bentuk buku ini. Buku ini bukan sekedar menceritakan proses
membangun kesepakatan untuk menyelesaikan konflik melalui kemitraan
konservasi dan zonasi, tetapi juga banyak pembelajaran yang diceritakan.
Semoga pembelajaran yang diperoleh bisa menjadi inspirasi dan motivasi
bagi pejuang konservasi di Indonesia.

Tabik

340

Anda mungkin juga menyukai