Anda di halaman 1dari 8

Urgensi Tata Ruang Sumatera Selatan untuk Keselamatan Lingkungan Hidup dan Keadilan Sosial

Oleh Rustandi Adriansyah (Direktur LEMBAR, Dewan Nasional JKPP)

Abstrak:
Tulisan ini adalah sebuah pandangan yang berangkat dari kegelisahan s atas tata kelola ruang yang sudah, sedang
dan akan berlangsung dalam tatanan kehidupan bangsa dan negara. Relasi antara norma dan praktek kebijakan
haruslah sejalan agar cita cita kedaulatan bangsa atas ruang bisa terwujud. Perencanaan ruang tidak sekedar
mengejar proyek infrastruktur dan mengandalkan pertumbuhan ekonomi pada skala makro kuasa korporasi atas
ruang kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat, melainkan perlu ihktiar besar untuk mengembalikan dan
meletakkan kepercayaan keberhasilan pembangunan pada kekuatan dan ilmu pengetahuan Rakyat dalam
mengelola sumber daya alam. Untuk itu perumusan tata kelola ruang sedapat mungkin mengatasi resolusi konflik,
meletakkan yang hak, melawan kebatilan.

Norma Penataan Ruang di Indonesia


Tata Ruang adalah norma, kaidah atau aturan dalam menyusun ruang dalam wilayah daratan, laut, udara
dan ruang yang berada didalam permukaan bumi . Proses penataan ruang meliputi; perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian dan pengawasan (UU No 26 tahun 2007 yang tidak diubah dalam UU Nomor
11 tahun 2021)

Penataan Ruang dilakukan berdasarkan asas landasan; tentang landasan dasar keterpaduan; keserasian,
keselarasan, dan keseimbangan; keberlanjutan; keberdayagunaan dan keberhasil gunaan; keterbukaan;
kebersamaan dan kemitraan; pelindungan kepentingan umum; kepastian hukum dan keadilan; dan
akuntabilitas (Pasal. 2 UU No. 26/2007)

Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional
dengan: terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; terwujudnya
keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan, dengan memperhatikan
sumber daya manusia; dan terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Pasal 3 UU No. 26/2007)

Tata Ruang Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota karena menjadi acuan dasar bagi program jangka
menengah dan jangka panjang bagi pemerintahan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota. Rencana
Tata Ruang ruang juga menjadi acuan dasar bagi semua sektor, lembaga/instansi pusat hingga daerah
untuk mengimplementasikan kebijakan dan programatik negara karena berkaitan dengan seluruh hajat
Rakyat secara ekonomi, sosial, budaya, politik, pertahanan dan keamanan. Pemerintah bertugas
menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar besarnya kemakmuran Rakyat (Pasal 7 UU No.
26/2007)

Sebagai landasan aturan penataan ruang terkait erat dengan tata aturan perundang – undangan lainnya,
diantaranya : UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Pokok Agraria, UU Nomor 27 tahun 2007 yang
telah diubah dengan UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, UU
Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, UU Nomor 4 tahun 2009 yang telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan, selain juga
berkaitan dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang investasi, perbankan,
pendidikan, kesejahteraan sosial,Kebencanaan, ketahanan nasional dan pertahanan negara. Diturunkan
dalam bentuk Proyek Strategis Nasional, wilayah Provinsi, dan Kabupaten/Kota

Tata Ruang secara fungsional melingkupi kepentingan segala aspek kehidupan bangsa dan negara terkait
kebutuhan pangan, sarana prasarana umum, kehidupan ekonomi sosial budaya, pengelolaan dan
pemanfaatan sumber daya alam, pertahanan dan kedaulatan negara. Penataan ruang perlu ketaatan
pada fungsi dan wewenang dalam perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pengawasan yang dimiliki
oleh pemerintah pusat dan daerah terhadap semua pemangku kepentingan dalam tata ruang untuk
mewujudkan tujuan penataan ruang, yaitu kelestarian kehidupan seluruh Rakyat Bangsa Indonesia yang
adil dan makmur.

Sumatera Selatan memiliki luas daratan 9,1 juta Hektar, berpenduduk 8,6 juta jiwa termasuk dalam
Kawasan Proyek Strategis Nasional (PSN) era Presiden Joko Widodo antara lain meliputi sektor
transportasi jalan dan jembatan, pelabuhan, Kawasan Ekonomi Khusus, industry sektor kehutanan,
perkebunan, dan tambang. Penetapan PSN tersebut melalui Perpres No 3/2016 yang diubah dengan
Perpres No 58/2017, Perpres No 56/2018, dan Perpres No 109/2020.

Kewajiban dan kewenangan pemerintah daerah menyelesaikan Tata Ruang Wilayah, selain KSN- PSN
pemerintah daerah juga mengatur penataan tentang kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan
agropolitan, kawasan metropolitan, kawasan megapolitan, kawassan perdesaan, kawasan perkotaan,
pengelolaan limbah dan sampah. Pemerintah di tingkat Provinsi dan Kabupaten berwenang dalam
memfasilitasi perizinan, non perizinan, dan lokasi pelaksanaan, melakukan pengaturan, pembinaan,
pengawasan pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis di wilayahnya sebagaimana diatur dalam UU
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang

Inkonsistensi implementasi norma peraturan perundang-undangan dan dominasi korporasi atas ruang
jadi faktor utama yang muncul dalam konflik ruang.
1. Pengambil alihan hak hak Rakyat atas Ruang oleh Negara untuk dikuasai oleh korporasi;
Sumatera Selatan dengan luas wilayah 9,1juta (Ha), Mongabay menuliskan sebesar 3.553.417 (Ha)
dikuasai korporasi, sementara negara hanya menguasai 1.700.104 (Ha). Luas hutan dan perairan di
Sumatera Selatan 3,3 juta Ha (BPS 2022). Peta indikatif Walhi Sumatera Selatan mencatat
setidaknya sekitar 1,3 Ha kawasan hutan dikuasai oleh perusahaan pemegang izin konsesi Hutan
Tanaman Industri (HTI), selain itu seluas 403.706,92 Ha dikuasai oleh perusahaan pemegang Hak
Guna Usaha (HGU), dan 942 ribu Ha dikuasai oleh perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan
(IUP), Kawasan Hidrologi Gambut (KHG) seluas 1,077 juta (Ha) sekitar 70% atau sekitar 738.137,84
(Ha) dijadikan perkebunan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan Kepala Sawit. 17
perusahaan HTI menguasai sekitar 478.969,20 (Ha) dan sisanya; 70 perusahaan perkebunan sawit
menguasai 259.168,64 (Ha) lahan gambut (Mongabay: 2016). Untuk luasan kawasan tanaman
pangan; kebun/Tegal seluas 377.946 Ha, Ladang/Huma; 225.447 Ha, dan seluas 596.550 Ha tidak
diusahakan (BPS; 2020), selain itu, Sumatera Selatan memiliki 1,07 juta (Ha) areal perkebunan karet
Rakyat, seluas 79.415 (Ha) dimiliki oleh perusahaan besar, untuk tanaman tebu; 29. 441 (Ha)
dikuasai oleh perusahaan besar, 686 (Ha) perkebunan Rakyat, untuk tanaman Kopi seluas 249.416
(Ha) perkebunan Rakyat (Dinas Kehutanan Prov, Sumsel: 2013)

Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) 2011-2030 memberi beberapa gambaran, diantaranya
terjadi ketimpangan distribusi dan alokasi sumber daya hutan dan lahan antara korporasi dan
komunitas, dimana sebagian besar alokasi pemanfaatan sumber daya hutan difokuskan untuk
pemenuhan kebutuhan industri-industri skala besar dan sangat sedikit untuk program-program
skala kecil (FWI:2017)

Pengambil alihan dan penggerusan ruang hidup Rakyat di Sumatera Selatan dilakukan secara
terstruktur, massif, dan sistematis sejak periode 1980-an hingga sekarang; Penghapusan sistem
pemerintahan Marga, lalu dilanjutkan dengan membelah belah wilayah Marga menjadi milik Negara
dan kemudian wilayah wilayah adat tersebut dijadikan areal areal konsesi HPH,HTI, HGU, dan Ijin
Pertambangan. Selain juga dinyatakan sebagai kawasan hutan lindung, dan transmigrasi. Kajian Peta
Indikatif SLPP Sumsel menunjukkan bahwa di Sumatera Selatan wilayah-wilayah asli/berbasis asal
usul yang masih didiami dan dikelola oleh sebagian Masyarakat Adat (Marga) hanya tersisa seluas
2% sd 4% dari luas wilayah Marga (SLPP Sumsel:2018). Ratusan kasus sengketa agraria antara
masyarakat versus korporasi akibat klaim atas lahan perkebunan dan hutan dalam kurun waktu 30
tahun terakhir nyaris tak kunjung diselesaikan. Hal ini dapat di lihat pada berbagai statemen dari
lembaga/organisasi sipil pembela hak (advokasi) masyarakat dan dapat dilihat juga pada catatan
Komnas HAM. Pada sisi lain, seiring konflik yang berlangsung, tindakan refresif dan kriminalisasi
terhadap masyarakat di pedesaan terjadi berjumlah ratusan, belum lagi adanya jumlah korban jiwa.
Dalam peristiwa ini selalu masyarakat diposisikan tertekan, menjadi korban kebijakan dan tindakan
refresif aparatur negara karena berpihak melindungi kepentingan korporasi. begitupun pada kasus
karhutla; banyak masyarakat petani penggarap yang ditangkap dan dikenakan hukuman karena
tertangkap tangan melakukan pembakaran lahan, namun tidak ada tindakan hukum dan sanksi yang
jelas terhadap korporasi pembakar lahan.

2. Menurunnya kualitas lingkungan hidup


a. Rusaknya ekosistem kawasan hutan;
Semakin merosotnya jumlah luasan tutupan kawasan hutan akibat perubahan bentang alam
dan pembalakan besar besaran. Sumatera Selatan termasuk yang mengalami deforestasi secara
drastis sejak tahun 1980-an sampai sekarang. Laju deforestasi sepanjang tahun tersebut lebih
dari 20% (WRI). Sebanyak 700 ribu hektare hutan di Sumatera Selatan masuk dalam kategori
kritis. Hal ini disebabkan banyaknya alih fungsi lahan dan penebangan liar (Kadishut Prov,
Sumsel:2020). Analisis data tutupan lahan menunjukkan keberadaan kurang lebih 1,06 juta
hektar hutan alam pada tahun 2000, tetapi menurun menjadi 0,942 juta hektar pada tahun
2012, atau menurun sebesar 9.780 hektar pertahun. Selain pertumbuhan penduduk, penurunan
tutupan hutan (forest cover) tersebut memang tidak terlepas dari bertumbuhnya situasi
perekonomian Provinsi Sumatera Selatan yang ditopang oleh sektor perkebunan kelapa sawit
dan pertambangan (relungindonesia.org:2021).
b. Rusaknya kualitas ekosistem hidrologi gambut;
Badan Restorasi Gambut menyatakan seluas 650ribu (Ha) lahan gambut di Sumatera Selatan
rusak, sekitar 500ribu (Ha) diantaranya diareal perusahaan perkebunan kelapa sawit dan Hutan
Tanaman Industri (BRG:2019). BRG yang sekarang menjadi BRGM menilai kerusakan ekosistem
gambut akibat dari berkurangnya tutupan lahan yang disebabkan oleh kebakaran dan konversi
lahan, masifnya pembuatan kanal, dan tereksposnya sedimen berpirit/kwarsa dibawah lapisan
gambut, dan tutupan permukaan air dibawah 0,4 meter dibawah permukaan gambut. Kriteria
rusaknya ekosishal itu diatur dalam PP Nomor 57/2016 tentang Pengelolaan dan Perlindungan
Ekosistem Gambut
c. Rusaknya DAS Musi;
DAS Musi yang panjangnya 750 KM (Mongabay) dengan 8 anak sungai (SUB DAS), yaitu:
Komering, Rawas, Leko, Lakitan, Kelingi, Lematang, Rupit, Ogan (Wikipedia) memiliki luas area
59.942 km2 berubah fungsi penggunaannya menjadi berbagai infrastruktur yang mengakibatkan
rusaknya lahan sehingga meningkatkan degradasi (Puspitahati:2013). Walhi mencatat, penyebab
utamanya kerusakan hutan atau lingkungan pada DAS Musi adalah alih fungsi hutan alam dan
lahan alami (rawa) oleh berbagai aktifitas pembalakan liar dan industry (Republika:2013).
Pembalakan hutan dan konvesri lahan untuk Hutan Tanaman Industri, Pertambangan, Perkebunan
Kelapa Sawit di hulu dan bagian tengah DAS dan hilir untuk pabrik industry bubur kertas, CPO,
Crum Rubber, pupuk dan migas faktor utama rusaknya DAS Musi akibat pembuangan limbah, juga
persoalan sampah.
d. Pencemaran Udara;
aktifitas penambangan khususnya batubara di Sumatera Selatan selain merusak tutupan hutan
skala luas, juga berkontribusi menjadi penyumbang emisi gas terbesar di Sumatera Selatan
(Walhi Sumsel:2021), selain itu persoalan pencemaran udara masih terus berlangsung di
pemukiman padat penduduk yang dilakukan oleh korporasi besar dan pengusaha local untuk
pabrik industry semen, pupuk, logging, karet, kosmetik, peternakan. Pada peristiwa karhutla;
kabut asap mengakibatkan banyaknya korban menderita sakit pada mata, dan menderita sakit
pernafasan akut, dan membuat stagnasi aktifitas sosial masyarakat.

3. Tumpang tindih status pemanfaatan ruang ;


Analisis FWI tahun 2017 menunjukan bahwa terdapat tumpang tindih wilayah adat dengan lokasi
konsesi seluas 438,6 ribu hektare pada IUPHHK-HA, kemudian seluas 104,9 ribu 25 hektare pada
IUPHHK-HT, seluas 170,6 ribu hektare pada perkebunan kelapa sawit, serta seluas 278,1 ribu
hektare pada area pertambangan. Dalam rakor KSP dalam rangka klinik validasi IGT (PITTI) Kemenko
Perekonomian di Kab. Banyuasin dinyatakan, hasil identifikasi PITTI menunjukan total luas tumpang
tindih di Sumatera Selatan 1.672.908 Ha atau 20% dari luas wilayah Sumatera Selatan dengan total
lokus tumpang tindih 17.656 tersebar di wilayah Prov Sumatera Selatan (Bappeda Kab.
Banyuasin:2019). Tidak adanya upaya sinkronisasi informasi geospasial yang meliputi peta tata batas
wilayah administrative desa, wilayah penguasaan konsesi, wilayah kawasan hutan non hutan,
kawasan lindung dan kawasan budi daya, serta Wilayah Kelola Rakyat, Hutan Adat. Pada
pengalaman proses advokasi WALHI Sumatera Selatan, juga pada saat proses memfasilitasi proses
pemetaan partisipatif yang dilakukan oleh BRG, dan SLPP Sumsel menemukan fakta-fakta adanya
tumpang tindih tata batas lahan antar desa, desa dengan kawasan hutan, desa dengan konsesi,
konsesi dengan konsesi.

4. Bencana Ekologi;
Banjir di Kota Palembang yang berulang terjadi hampir sepanjang setiap tahun, banjir bandang
disertai longsor ancaman terjadi di 101 Kecamatan yang tersebar di 11 Kabupaten dan Kota di
SUmatera Selatan (BMKG: 2021), tahun 2023 ini banjir bandang melanda Kabupaten Lahat, Muara
Enim, PALI, Musi Banyuasin, OKU Selatan, dan Kabupaten Musi Rawas menyebabkan rumah dan
bangunan hanyut dan rusak, hilangnya harta benda, juga menelan korban jiwa (Mongabay:2023).

Kebakaran hutan skala luas terjadi hampir setiap tahun, setelah karhutla terparah tahun 1997,
karhutla berulang tahun 1999 -2003, tahun 2005 – 2008 dan berulang kebakaran parah tahun 2015,
2019. Akibat bencana banjir dan karhutla ini warga masyarakat terpaksa harus menghentikan
aktifitas belajar, pasar, dan bekerja, namum berada dirumah pun tetap terancam kesehatannya.
Bencana tersebut jelas menimbulkan dampak kerugian yang sangat besar bagi masyarakat, warga
negara secara fisik, sosial ekonomi.
5. Krisis Sosial:
Program pembangunan memprioritaskan pertumbuhan ekonomi pada analisis makro; Model
penerapan yang berlangsung untuk adalah memberikan ruang sebesar besarnya pada korporasi dari
sisi regulasi dan penyediaan lahan skala luas, ketersediaan tenaga kerja, mengandalkan nilai ekspor
dari korporasi sebagai pendapatan nagara yang dikelola oleh pemerintah nasional dan daerah.
Kebijakan politik ekonomi ini yang menjadi faktor terjadinya pergeseran pola dan kualitas hidup
Rakyat.

Berbagai referensi riset menunjukkan bahwa terjadi pergeseran pola produksi ekonomi masyarakat
khususnya di pedesaan dari petani menjadi buruh/pekerja dikarenakan sempitnya ketersediaan
lahan, berakibat pula pada penurunan produksi dan daya tahan pangan keluarga. Keterbatasan
lahan pertanian pangan akibat dialih fungsikan kedalam penguasaan pengelolaannya pada sektor
privat (korporasi besar) yang mengandalkan industry untuk produksi pasar bahan mentah tanaman
industry dan migas. Temuan WALHI selama melakukan advokasi di kasus lingkungan hidup
dipedesaan antara lain menunjukkan adanya banyak warga di pedesaan yang beralih menjadi
pekerja perusahaan sektor perkebunan kelapa sawit menjadi buruh PIR (Perkebunan Inti Rakyat)
yang diupah rendah harian/mingguan, tidak ada jaminan kesejahteraan dan ketenaga kerjaan.
Lingkungan industri yang tumbuh di lokasi lokasi sekitar pedesaan membuat masyarakat petani
berubah pekerjaan menjadi buruh pabrik, jasa layanan makanan, tempat hiburan, tenaga
pengamanan perusahaan. Pada sisi lain, sistem ketenaga kerjaan dan jaminan sosial masih belum
menjangkau kebutuhan dasar masyarakat atas jaminan kesejahteraan.

Kepala Ditjen Perbedaharaan Prov. Sumatera Selatan menyebutkan tingkat kemiskinan di Sumatera
Selatan meningkat ekstrim termasuk paling tinggi 3,19% (Detik.com:2023), terus meningkat
dibandingkan pada tahun tahun sebelumnya. Berdasarkan data yang dirilis oleh Badan Pusat
Statistik Republik Indonesia (BPS), kemiskinan di Sumatera Selatan meningkat 12,98 persen pada
2020. Sementara, pada tahun 2019, angka penduduk miskin sebesar 12,56 persen (Kompas:2021).

Situasi keterpaksaan secara ekonomi sosial budaya ini yang menyebabkan timbulnya penyimpangan
perilaku sosial. Kemiskinanan, pengangguran, tuna susila, dan kriminalitas adalah indicator jelas
yang dapat dilihat dalam konteks krisis sosial. Bentrokan akibat sengketa/konflik lahan, bentrokaan
antara masyarakat local dengan kelompok pendatang akibat kecemburuan penerimaan tenaga kerja
juga dapat dijadikan indicator krisis sosial. Pada tingkat lebioh lanjut, situasi krisis sosial ini bisa
memicu adanya krisis kepercayaan terhadap pemerintahan, pada puncaknya adalah dapat memicu
disintegrasi bangsa.

Menuju Tata Ruang untuk Keselamatan Lingkungan Hidup dan Keadilan Sosial
Proses ini menuntut syarat komitmen dan konsistensi kesadaran moral, ideologis dan kemauan politik
yang kuat dari pemerintah aparatur kekuasaan negara terhadap pengamalan amanah konstitusi,
Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Agar tidak sekedar orientasi mengejar Proyek Proyek
Strategis, melainkan harus secara holistic, berpikir kritis mencermati Program Strategis Nasional;
mempertimbangkan persoalan dasar yang melingkupi keadaan geospasial, geo politik ekonomi, sosial,
budaya, dan hankam sebagai satu kesatuan lingkup tata ruang, menegaskan upaya memulihkan kualitas
lingkungan hidup serta martabat bangsa dan Rakyat di Indonesia, Sumatera Selatan khususnya.

Dari uraian diatas, faktor faktor yang harus menjadi prioritas untuk dituntaskan dalam Rencana Tata
Ruang (RTR) antara lain adalah:
1. Redistribusi ruang untuk tanaman pangan dan hutan bagi Rakyat
Sektor kehutanan menjadi sangat relevan untuk redistribusi dimaksud. Kurang lebih 70% kawasan
hutan di Indonesia menyediakan banyak lahan yang siap digunakan untuk reforma agrarian secara
teknik maupun administrasi. Luas pemanfaatan kawasan hutan untuk objek Reforma Agraria terus
meningkat. Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mencapai 8,15 juta hektar, era
pemerintahan Jokowi meningkat menjadi 16,8 juta hektar (Agung Sri Raharjo:2017). Per Desember
2022 capaian redistribusi tanah baru 37,26% dari target (Kompas:2023). Pemerintah daerah sangat
penting untuk berkontribusi dalam percepatan distribusi tanah dengan melakukan permohonan
pendistribusian tanah khususnya dalam kawasan hutan kepada pemerintah pusat dalam hal ini
KLKH untuk dibagikan kepada Masyarakat. Sinergi dengan itu adalah ATR BPN pun perlu
mengakselerasi distribusi TORA kepada masyarakat, pelepasan kawasan hutan dan pelepasan HGU
perlu cermat dan segera dilakukan. Redistribusi TORA adalah bagian dari Program Strategis Nasional
(PSN). Esensi Reforma Agraria adalah untuk menjawab persoalan ketimpangan penguasaan dan
kepemilikan lahan, meminimalisir konflik, dan pemenuhan hak ekonomi Masyarakat

2. Azas Kepastian, Keadilan, dan Kemanfaatan Hukum dalam Perencanaan, Pengawasan, dan Evaluasi,
serta Mitigasi Bencana dalam Penataan Ruang
Dalam konteks ini aparatur negara perlu cermat dan konsistensi dalam menegakkan hukum agar
dapat mewujudkan rasa adil dan tercapainya cita cita hukum yaitu kesejahteraan sosial. Tata Ruang
mutlak harus memperhatikan aspek yuridis, filosofis dan utility (manfaat) hukum dalam kerangka
perencanaan, implementasi, dan pengawasan penataan ruang. Penegakan hukum tidak boleh tajam
hanya kebawah, tapi juga harus berani tajam keatas. Penegakan hukum tidak hanya mampu
menyasar Rakyat yang lemah, tapi juga harus mampu menghentikan kesewenang wenangan kaum
elit penguasa politik ekonomi. Hal ini perlu dilakukan misal dalam hal pemberian ijin, pengawasan
dan evaluasi izin usaha korporasi, pengentasan bencana ekologis, , distribusi lahan usaha pertanian
dan kehutanan untuk resolusi konflik serta pengentasan kemiskinan bagi Rakyat. Kongkritnya dapat
ditinjau dari mekanisme, pengambilan kebijakan antara lain:
2.1. KLHS
KLHS adalah kewajiban Pemerintah Daerah yang harus dilakukan dalam penataan ruang
sebagaimana amanat UU No. 32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan
Hidup, PP No. 46/2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis,
PerMen LHK No. 69/2017 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 46 tahun
2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS. Sebagai sebuah intrumen hukum, KLHS tidak
sekedar sebagai alat yuridis, tetapi juga memang secara fungsional berdaya sebagai “tools”
untuk memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi
dalam pembangunan.
KLHS memastikan; 1. Setiap kebijakan, rencana dan/atau program lebih hijau dalam artian
dapat menghindarkan atau mengurangi dampak negative terhadap lingkungan hidup. 2.
Memfasilitasi dan menjadi media proses belajar bersama antar pelaku pembangunan, dimana
seluruh pihak yang terkait penyusunan dan evaluasi KRP dapat secara aktif mendiskusikan
seberapa jauh substansi kebijakan, rencana dan/atau program yang dirumuskan telah
mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (Iwan Kustiwan:2021).
2.2. AMDAL
Sebagai bagian dari mekanisme pendirian dan operasi proyek pembangunan infrastruktur dan
industri, sebagai upaya preventif terjadinya kerusakan lingkungan dan sekaligus untuk upaya
preventif menjaga kenyamanan, keselamatan Rakyat disekitar dan di lingkup pembangunan.
Kajian analisis AMDAL agak tidak dimanipulatif hanya menjadi alat propaganda untuk
memuluskan laju pendirian usaha/proyek, tapi harus sesuai norma yuridis, filosofis, sosiologis
sebagaimana UU No. 26 Tahun 2007, meliputi keseluruhan aspek fisik, kimia, biologis, ekonomi,
sosial dan budaya secara menyeluruh dan tidak terpisah pisah untuk mencegah dampak besar
pengambilan keputusan atas usaha/kegiatan yang dilakukan pada suatu wilayah lingkungan
hidup.
2.3. Perhutanan Sosial dan TORA
Sebagai implementasi penyelesaian konflik di sektor kehutanan dan kawasan non hutan yang
tujuannya untuk meminimalisir dominasi penguasaan lahan, meningkatkan kesejahteraan
sosial ekonomi masyarakat. Sejauh ini Perhutanan Sosial dan TORA nyatanya belum secara
maksimal dilakukan secara substansi, teknik, dan administrasi. Hal ini dapat dilihat dari capaian;
a). target luasan (mengacu pada peta indikatif objek PS dan TORA), b.) Subjek penerima
manfaat; komunitas adat, petani di pedesaan yang benar benar membutuhkan lahan sebagai
alat produksi masih belum tersentuh. Khususnya masyarakat yang berada dalam keadaan
berkonflik dengan korporasi. Pada perjalanannya pemerintan sangat lamban dan non
responsive atas usulan Perhutanan Sosial dan TORA dari masyarakat yang selama ini lahannya
sudah digerus korporasi, maupun yang saat ini dalam upaya mempertahankan hak mereka atas
tanah dari perenggutan oleh korporasi. Propaganda pemerintah tentang Perhutanan Sosial dan
TORA dirasa masih sekedar buah bibir untuk komoditas politik, setengah hati dilakukan karena
masih melindungi kepentingan kekuasaan oligharki ekonomi, belum dilaksanakan secara murni
dan konsekuen untuk menyelesaikan persoalan ketimpangan penguasaan tanah dan mengatasi
problem kesejahteraan sosial maasyarakat secara luas.
2.4. Evaluasi IPHHTI, HGU, IUP
Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi tahun 2022 merilis pernyataan
sejumlah angka luasan dan jumlah perusahaan telah dicabut izin penggunaan kawasan hutan,
pertambangan, dan perkebunan sebagai tindak lanjut arahan dari Presiden Joko Widodo.
Alasan pencabutan karena perusahaan tidak aktif atau menelantarkan lahan, digadaikan, tidak
menyerahkan RKAB (Kompas:2022). Penertiban ini patut diapresiasi sebagai sebuah langkah
berani dan sebagai sebuah keberhasilan. Jika ditilik, ada kemungkinan perusahaan tersebut
adalah perusahaan yang sudah tidak mampu/bangkrut, manipulasi ijin sebagai alat investasi,
artinya pemegang ijin pasif. Bagaimana terhadap pemegang ijin yang aktif masih terus
beroperasi namun terindikasi jelas melanggar ketentuan aturan perijinan dan aturan
Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup, dan juga perusahaan yang terindikasi
melanggar HAM? Selama ini belum terlihat upaya serius, sistematis dan terukur untuk
perusahaan yang indikasi melakukan perluasan areal diluar ijin, memanfaatkan lahan tidak
seusai ijin, melakukan aktifitas di zona konservasi dan green belt Daerah Aliran Sungai, juga
merusak zona lindung atau inti gambut, termasuk juga bagi korporasi pelaku karhutla.
Seharusnya pemerintah harus berani, jeli, dan tegas terhadap praktek praktek illegal
perusahaan semacam ini dan pendekatan strict liability dapat dilakukan terhadap bentuk
bentuk pelanggaran seperti ini.
2.5. Mitigasi Bencana;
Sebagai bagian dari amanat UU No. 26/2007 tentang Tata Ruang dan UU No. 24/2007 tetang
Penanggulan Bencana, mitigasi bencana adalah bagian integral dari analisis spasial sosial dalam
RTR, KLHS. Dalam konteks ini pendekatan intgrasi zona/kawasan, juga dokumen AMDAL patut
harus memperhatikan aspek aspek pencegahan dampak dan kemungkinan bencana yang
ditimbulkan dari praktek usaha, proyek pembangunan. Mitigasi Bencana mencakup analisa
geografis sebuah kawasan/zona, relasi geografis antar kawasan/zona,
pemukiman/kependudukan, sarana aktifitas sosial budaya masyarakat, zona bisnis dan
investasi, infrastruktur dan sarana prasarana umum, refreksi geografis dan analisis potensi
bencana. Peristiwa banjir bandang, banjir akibat genangan di perkotaan, karhutla menunjukkan
bahwa selama ini kita abai terhadap kajian mitigasi bencana dalam penataan ruang.

3. Sinkronisasi informasi geospasial dan pengakuan atas peta peta Wilayah Kelola Rakyat
Peraturan Presiden (Perpres) No. 21 Tahun 2021 sebagai perubahan atas Perpres No. 9 Tahun 2016
Tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta pada tingkat Ketelitian Peta Skala 1:50.000
adalah komitmen negara dalam mendukung penyelesaian ketidak sesuaian tata ruang, perijinan,
kawasan hutan dan hak atas tanah. Manfaat KSP untuk perencanaan ruang skala luas, penyelesaian
tumpang tindih pemanfaatan lahan, percepatan program pembangunan infrastruktur dan kawasan
(Menko Bid. Perekonomian:2021). Keberadaan peta peta tematik hasil pemetaan partisipatif
haruslah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam IGT. Bahwa informasi geospasial dan klaim
atas wilayah/areal penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan selama ini hanya didominasi oleh
pemerintah yang memiliki nomenklatur sektoral, pelaku bisnis yang menguasai lewat mekanisme
pemberian izin. Jika semangat Kebijakan Satu Peta adalah untuk resolusi ketidaksesuaian tata ruang
perijinan, tumpang tindih, dominasi penguasaan ruang, maka haruslah menempatkan peta pet yang
dihasilkan oleh masyarakat melalui proses pemetaan partisipatif harus manjadi bagian dari
intregrasi informasi spasial, sejajar dengan informasi klaim spasial pelaku bisnis dan pemerintah.

Prinsip prinsip transparansi, keterbukaan informasi dan partisipatif harus menjadi keutamaan dalam
Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta. Jaringan data spasial nasional dan daerah harus memastikan
masyarakat sebagai bagian dari tim kerja Informasi Geospasial Tematik dalam Kebijakan Satu Peta
sebagai bentuk pengakuan informasi spasial atas klaim klaim wilayah adat, objek reforma agrarian,
perhutanan sosial, dan wilayah wilayah kelola masyarakat. Kebijakan Satu Peta dan Tata Ruang
merupakan satu kesatuan ikhtiar negara dalam memprioritaskan penyelesaian konflik tenurial,
penyelesaian tumpang tindih kawasan dan pemanfaatan lahan, meminimalisir dominasi penguasaan
tanah dan mempercepat meningkatnya kesejahteraan sosial.

Anda mungkin juga menyukai