Anda di halaman 1dari 15

Peran Hukum Administrasi Negara dalam Kejahatan Ekosida

sebagai Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup.

Novia Miftahir Ramadani


Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
noviamiftahirramadani@gmail.com

Abstract
Environmental damage that occurred in various parts of the world has reached such a
massive and systematic scale. Extractive and exploitative industrial activities also
contribute to climate change, clean water crisis and food crisis. A more equitable
interpretation of the environment is needed, by paying attention to the carrying
capacity of the environment and not making it an object of mere exploitation. A legal
system that places the environment as a priority over economic and development
terms is very much needed, as there are various industrial activities that cause the
occurrence of eco -ides carried out by national and international corporations. There
needs to be legal reforms that make the environment a subject and create a criminal
mechanism for ecoside actors who often enjoy impunity. The role of State
Administrative Law is indispensable to establish proper administrative sanctions for
perpetrators of ecocide crimes. This research is a normative or doctrinal research by
testing and analyzing legal materials obtained through library research methods.

Keywords : Ecocide, Corporation, Criminalization, Environment


ABSTRAK

Kerusakan lingkungan yang sudah terjadi di belahan dunia mencapai skala yang
begitu kukuh dan teratur. Aktivitas Industri maupun kegiatan manusia yang ekstratif
dan eksploitatif turut menyebabkan terjadinya kebakaran hutan diberbagai daerah
dunia, khusunya di Indonesia. Makna dari lingkungan hidup lebih adil sangat
diperlukan, dengan memerhatikan daya dukung lingkungan dan tidak menjadikannya
sebagai objek eksploitasi lingkungan belaka. Sistem hukum yang menempatkan
lingkungan hidup sebagai prioritas diatas terma-terma ekonomi dan pembangunan
sangat diperlukan, serta perlunya ada pembahaaruan hukum yang menajdikan
lingkungan hidup sebagai subjek dan menciptakan mekanisme sanksi administrasi
atau bahkan pemidanaan bagi para pelaku ekosida yang seringkali menikmati
impunitas. Peran dari Hukum Administrasi Negara sangat diperlukan untuk
membangun Sanksi Administrasi yang layak bagi pelaku Kejahatan Ekosida.
Penelitian ini merupakan Penelitian Normatif atau doctrinal dengan menguji dan
menganalisis bahan hukum yang didapatan melalui metode Library Research.

Kata kunci : Ekosida, Korporasi, Pemidanaan, Lingkungan Hidup

A. Pendahuluan

Kebakaran hutan dan lahan memberikan dampak yang cukup besar bagi
kerugian manusia baik materiil maupun imateriil. Pemerintah telah berupaya keras
menyelesaikan permasalahan ini baik melalui dukungan kebijakan, dukungan
elembagaan, maupun dukungan pendanaan.Namun realitanya kejadian ini masih
berulang sepanjang tahun. Dampak Kebakaran hutan dan lahan dirasakan langsung
seluruh elemen masyarakat yang terpapar bencana kabut asap.Pemerintah terkait
mulai tersadar dengan melakukan langkah-langkah untuk mengantisipasi kebakaran
hutan dan lahan.

Kebakaran hutan merupakan ancaman potensial bagi upaya Pembangunan


berkelanjutan.Dari tahun ke tahun kasus kebakaran di Indonesia semakin meningkat.
Tercatat pada tahun 2012 terdapat 20.850 titik api kebakaran hutan di Indonesia
hanya dalam kurun waktu 9 bulan (januari-september). Angka ini mengalami
peningkatan sebesar 26,7% dari tahun 2011 yang mencapai 16.450 titik dalam kurun
waktu yang sama. Total 92% kebakaran terjadi di Kalimantan, Sumatera, dan
Sulawesi serta 8% terjadi di Jawa dan Bali1.

Belajar dari peristiwa karhutla yang terjadi pada tahun 2015 lalu, WALHI
mengajak publik untuk tidak lupa atas tragedi yang telah mengakibatkan terjadi
pelanggaran terhadap hak atas lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Kebakaran
hutan dan lahan tahun 2015 itu telah mengakibatkan 24 orang meninggal dunia, lebih
dari 600 ribu jiwa menderita ISPA, dan sebanyak 60 juta jiwa terpapar asap, seluas
2,6 juta hektar hutan dan lahan terbakar telah mengakibatkan kerugian sebesar 221
Trilyun rupiah, negara pun harus mengeluarkan dana sebesar 720 milyar untuk
mengatasi kebakaran (BNPB, 2015). WALHI mencatat, bahwa kebakaran tahun 2015
yang lalu, sebanyak 439 perusahaan terlibat pembakaran di 5 Provinsi, 308
diantaranya adalah perusahaan sawit2.

Yang paling dominan dalam Kejahatan Ekosida ini adalah Korporasi.


Korporasi diperkirakan menguasai lahan seluas 3.553.417 hektar, sementara negara
hanya 1.700.104 hektar. Untuk rakyat, seluas 3.906.162 hektar. Lahan korporasi ini
terdiri dari kebun kayu [HTI] seluas 1.564.493 hektar, perkebunan [sawit, karet, tebu,
dan lainnya] sekitar 1.313.094 hektar, serta pertambangan [675.830 hektar].

1
Supriyanto, Syarifudin, Ardi. (2018). Analisis Kebijakan Pencegahan Dan Pengendalian Kebakaran
Hutan Dan Lahan Di Provinsi Jambi. 1(1), 94–104.

2
Portal Berita. Rahmadi R. Melihat Ekosida yang Terjadi di Sumatera Selatan.
Selanjutnya konflik lahan. Terjadi puluhan konflik antara masyarakat dengan
korporasi. Walhi Sumsel saat ini mendampingi sejumlah kasus, misalnya antara
warga Dusun Cawang Gumilir dengan PT. Musi Hutan Persada [MHP], serta Desa
Belanti dengan enam perusahaan sawit yang menyebabkan ribuan hektar sawah
terendam selama 11 tahun terakhir.

Akibat kebakaran dan pembukaan lahan baru, laju deforastasi di Sumsel pun
terjadi. Tahun 2015-2016 tercatat 4.294,2 hektar, 2016-2017 [22.286,6 hektar], 2017-
2018 [3.741 hektar], serta 2018-2019 [60.655,1 hektar].

Oleh karena itu, dari banyak kejadian kasus yang telah menimpa Tanah Air,
perlu adanya mendapat tempat penting dalam wacana memerangi krisis lingkungan.
Indonesia sendiri telah memiliki regulasi terait perlindungan lingkungan hidup, salah
satunya adalah UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH). Bahwasanya UUPLH mengadopsi asas-asas tanggung
jawab Negara, keterpadua, kehati-hatian, keadilan, pencemar pembayar, partisipatif,
dan kearifan loka. Pengadopsian ini merupakan politik hukum yang penting karena
dapat memperkuat kepentingan pengelolaan hidup manakala berhadapan dengan
kepentingan ekonomi jangka pendek.

Meski telah banyak konvensi-konvensi Internasional mengenai lingkungan


hidup dan peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional tentang lingkungan
hidup yang terbentuk, aktivitas-aktivitas korporasi dan kebakaran hutan saat ini masih
terjadi walaupun sudah mengalami penurunan yang signifikan di Tahun 2020, tetapi
masih ada beberapa yang menyebabkan kerusakan lingkungan hingga saat ini.

Dari perumusan ini, tugas dair Hukum Administrasi Negara sebgai unsur
pengawasan dan penegakan sanksi administrasi. Pengawasan merupakan upaya
preventif yang tujuannnya adalah untuk merestorasi suatu keadaan sebelum terjadinya
suatu pelanggaran terhadap aturan atau norma-norma hukum. Maka dari itu, Hukum
Administrasi Negara dapat menjadi sumber penegakan hukum untuk Kejahatan
Ekosida ini. Dan yang paling terpenting adalah pengawasan dalam Hukum
Administrasi Negara dilakukan demi upaya memberikan perlindungan hukum untuk
rakyat3.

Menurut M. Ridha Saleh (2020) mengatakan “Ekosida merupakan kejahatan


moderen setara dengan kejahatan internasional lainya yang disebut dalam Statuta
Roma. Ini dikarenakan tindakan, pelibatan, dan dampaknya terhadap esensi damai
dan perdamaian penduduk, hak hidup dan tata kelangsungan kehidupan manusia dan
lingkungan hidup masa kini dan akan datang”. Pakar Ahli Botani dan Biotika
Amerika Arthur W galston menyatakan “Bahwa Ekosida menunjuukan berbagai
ukuran kehancuran tersebut dan memiliki kesamaan yang bertujuan merusak atau
menghancurkan ekologi wilayah geografis hingga merugikan kehidupan manusia,
kehidupan hewan, dan kehidupan tanaman4.

Hukum Administrasi Negara turut mengambil alih dalam Kejahatan Ekosida


tersebut. Dalam perkembangannya Hukum Administrasi Negara mengandung dua
aspek. Pertama, aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat
kelengkapan Negara itu melakukan tugasnya. Kedua, aturan-aturan hukum yang
mengatur hubungan hukum antara alat perlengkapan administrasi Negara atau
pemerintah dengan para warganya. Seperti yang telah diungkapkan oleh Basah
Sjachran (1992) mengungkapkan bahwa “Hukum Administrasi adalah seperangkat
aturan yang memungkinkan Administrasi Negara menjlankan fungsinya, yang
sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi Negara, dan
melindungi administrasi Negara itu sendiri”.5

3
Sains, J., Humaniora, S., Hukum, F., Jambi, U., Masalah, L. B., Pemerintah, P., & Presiden, P.
(2020). Sanksi Administrasi Terhadap Kebakaran Hutan Dan Lahan Oleh Badan Hukum Perdata Di
Kabupaten Muaro Jambi. 4(3), 479–494.

4
Saleh,Ridha.2020.. Ecocide : Melawan Pelanggaran Berat HAM di Indonesia. Jakarta:Rayyana
Komunikasindo.
5
Sjahran,Basah. Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara.
(Bandung:Alumni,1992), hlm 4
Berdasarkan dari uraian ini, penulisan focus untuk membahas : (1) Bagimana
dampak sosial dan ekologi dari Karhutla yang pernah terjadi di Indonesia? Dan (2)
Bagaimana Peran dari Hukum Administrasi Negara untuk Kejahatan Ekosida bagi
Negara Indonesia? Guna focus dalam penulisan tersebut, maka penulis bertujuan
untuk mengetahui dampak dari Karhutla yang diterima oleh Masyarakat, serta
bagaimana Peran dari Hukum Administrasi Negara dalam mengantisipasi Kejahatan
Eksida tersebut.

B. Metode Penelitian

Penelitian yang digunakan oleh penulis merupakan penelitian normatif atau


doktrinal yang merupakan penelitian yang mengkaji dokumen-dokumen hukum baik
hukum nasional maupun internasional, juga menggunakan data pendukung lainnya
berupa putusan pengadilan, pendapat para sarjana serta data dan berita yang dirilis
baik oleh media cetak maupun organisasi di bidang lingkungan. Metode
pengumpulan data yang digunakan melalui metode library research (metode
kepustakaan) dengan menguji dan menganalisis bahan dokumen dan bahan pustaka
yang digunakan dalam penelitian ini.

C. Hasil dan Pembahasan

Dampak Sosial dan Ekologi dari Karhutla di Indonesia.

Seperti disebutkan sebelumnya, diperkirakan seluas 2,61 juta hektar hutan


dan lahan terbakar sepanjang Juni hingga Oktober 2015 lalu. BNPB berpendapat
bahwa luasan kebakaran hutan dan lahan tersebut adalah karena kesengajaan untuk
pembersihan lahan dan perluasan perkebunan. Pemerintah Indonesia yang didasarkan
pada penghitungan Bank Dunia memperkirakan kerugian akibat karhutla yang
disebabkan ulah manusia ini mencapai Rp 221 triliun atau AS$ 16,1 miliar. Jumlah
tersebut merupakan penghitungan pada rentang Juni sampai Oktober 2015 di Provinsi
Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalbar, Kalsel, Kalteng, Kaltim, dan Papua6.
Selain menghitung kerugian dari sektor kehutanan dan pertanian, kesehatan,
pendidikan, perhubungan, pariwisata, dan bisnis akibat Karhutla dan kabut asap
6
Data resmi yang dikeluarkan oleh Pemrintah KLHK maupun BNPB pada Oktober 2015
2015, hal lain yang perlu disorot adalah aspek lingkungan. Dari total luasan 2,61 juta
hektar hutan dan lahan yang terbakar, BNPB menghitung kebakaran tersebut terjadi
di 869.754 ha (33 persen) di lahan gambut dan 1.741.657 ha (67%) di tanah mineral.
Namun sampai saat ini, Indonesia masih belum memiliki peta gambut yang
menyeluruh dan disepakati, sehingga ada kemungkinan fakta di lapangan berbeda
dari data di atas.7
Terbakarnya lahan gambut di Indonesia penting untuk mendapatkan
perhatian mengingat Indonesia sebagai salah satu negara dengan luasan gambut tropis
terbesar di dunia, yang diperkirakan mencapai 18,8 juta ha atau separuh dari luasan
gambut tropis dunia. Lahan Gambut memiliki nilai yang sangat penting karena
mampu menyimpan karbon 20 kali lipat lebih banyak dibandingkan hutan hujan
tropis biasa.46 Namun demikian, di balik perannya sebagai penyimpan karbon, lahan
gambut memiliki kerentanan yang tinggi karena mudah terbakar.
Meski digolongkan pada sifat yang dapat diperbaharui (renewable
resources), lahan gambut bisa saja tidak dapat pulih (irreversible) jika pemanfaatan
dan pengelolaannya melampaui ambang batas. Pengeringan dan pembakaran gambut
akan sangat mustahil untuk bisa dikembalikan ke sediakala, meskipun dengan upaya
penanaman pasca-kebakaran.
Dampak ekologis dari karhutla dan kabut asap 2015 penting untuk dicatat
terkait emisi gas rumah kaca. Menurut FWI, emisi karbon yang dilepaskan akibat
karhutla 2015 mencapai 1.043 Juta ton CO2 eq, hanya untuk luasan lahan gambut
yang terbakar saja, yakni mencapai 618.574 Ha. Sementara dari keseluruhan luasan
hutan dan lahan yang terbakar, KLHK per 28 Oktober 2015 memperkirakan emisi
karbon yang dilepaskan mencapai sekitar 0,8 sampai 1,1 giga ton CO2 eq.
Kebakaran tersebut membuat komitmen Indonesia untuk mengurangi
emisi sebesar 29% terancam tidak bisa dipenuhi.Menghitung perkiraan kerugian
lingkungan akibat karhutla dan kabut asap 2015 tidaklah mudah karena ada banyak
variabel yang sulit dihitung. Bank Dunia sendiri hanya bisa melihatnya dari dua aspek
saja, yaitu hilangnya keanekaragaman hayati dan emisi karbon. Menurut perkiraan
Bank Dunia terhadap kerugian lingkungan di Provinsi Jambi, Riau, Sumsel, Kalbar,
Kalteng, Kaltim, Kalsel, dan Papua, total kerugian mencapai Rp 58.406 miliar dengan
rincian Rp 3.943 Miliar untuk kehilangan keanekaragaman hayati dan Rp 54.462
miliar untuk pelepasan emisi Karbon. Nilai tersebut tidak mencakup dampak
kumulatif karhutla dan asap terhadap flora dan fauna. Nilai ini juga belum
memasukkan penghitungan spesies yang terancam punah atau berkurang akibat
peristiwa karhutla, seperti spesies di dalam dan permukaan tanah yang belum
7
Sutopo Purwo Nugroh: Penanganan Darurat Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan Tahun 2015
diketahui pasti nilai dan manfaatnya secara ekonomi, sosial-budaya, dan ekologis.49
Punah atau berkurangnya atau terganggunya flora-fauna dan spesies, akan
mempengaruhi ekosistem yang berdampak pada terganggunya kualitas air, tanah, dan
udara; iklim; pengendalian hama dan penyakit, dan pertanian dalam jangka panjang.
Dampak karhutla dan kabut asap 2015 tidak hanya menyebabkan
kerugian pada hilangnya keanekaragaman hayati dan emisi karbon, tetapi juga
kerusakan lingkungan yang mengurangi atau menghilangkan nilai ekonomi hutan dan
lahan serta jasa-jasa lingkungan bagi Indonesia dan global.8

Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat Sebagai korban


Salah satu kelompok masyarakat yang tampaknya kurang mendapat
perhatian dalam peristiwa Karhutla dan kabut asap 2015 adalah masyarakat lokal dan
masyarakat adat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dan lahan yang terbakar.
Masyarakat ini adalah kelompok dengan kerentanan berganda terhadap potensi
bencana (multiple vulnerability). Mereka dikatakan sebagai kelompok dengan
kerentanan berganda karena selain tinggal di kawasan rentan bencana (prone area),
juga menghadapi persoalan pada minimnya akses terhadap layanan dasar, sehingga
menjadi kelompok masyarakat terdampak yang relatif besar akibat bencana karhutla
dan kabut asap.
Fakta lapangan menunjukkan bahwa 8 dari 10 wilayah adat tersebut
sebagian besar sudah dikuasai oleh perusahaan. Masyarakat lokal dan masyarakat
adat dapat diberikan izin untuk membuka lahan dengan cara membakar. Izin ini diatur
dalam Pasal 69 Ayat (2) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut Arimbi Heroepoetri pemberian izin tersebut
bukan tanpa dasar, namun merupakan bentuk penghargaan kepada kearifan lokal
terkait pembakaran lahan yang terbatas dan terkendali. Pada bagian penjelasan di UU
tersebut disebutkan bahwa “Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah
melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala
keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar
sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.” Kearifan lokal
masyarakat adat tersebut telah terbukti mampu melestarikan hutan.9

8
Untung Widiyanto, dkk. 2015 Dibalik Tragedi Asap : Catatan Kebakaran Hutan dan Lahan 2015. Hal.
62.
9
Ibid, Hal. 63.
Peran dari Hukum Administrasi Negara
Lambannya penanganan karhutla dan kabut asap 2015 serta lemahnya penegakan
hukum, telah mendorong masyarakat untuk ikut bereaksi dan terlibat langsung di
hampir seluruh proses penanganan karhutla dan kabut asap. Gerakan masyarakat ini
secara aktif menggalang dukungan bagi proses evakuasi selama bencana,
pengumpulan data hot spots untuk disebarkan ke publik, membangun posko
pengaduan, hingga kampanye, advokasi, dan pelaporan kasus, baik pidana, perdata,
maupun administrasi.
Peristiwa karhutla dan kabut asap tahun 2015 telah memberikan kerugian
yang begitu dahsyat sekaligus menjadi potret dari buruknya tata kelola, khususnya
tata kelola Hutan dan lahan di Indonesia. Prinsip transparansi, partisipasi,
akuntabilitas, dan koordinasi merupakan faktor kunci dari tata kelola yang terbukti
belum sanggup dipenuhi oleh Indonesia pada pengalaman karhutla dan kabut asap
tahun lalu. Peristiwa karhutla yang kemudian berlarut-larut menunjukkan bagaimana
koordinasi belum dilakukan secara tanggap dan optimal. Carut marut yang terkait
dengan ekonomi-politik karhutla juga membuka mata kita pada persoalan perizinan
yang cenderung bersifat transaksional, tidak terintegrasi, sarat dengan peluang praktik
korupsi, serta diikuti dengan pengawasan yang lemah setelah izin-izin dikeluarkan.
Tentu saja, yang tak bisa kita lewatkan kemudian, adalah perihal penegakan hukum
yang lamban dan lemah terhadap kasus-kasus karhutla dan kabut asap yang sampai
sekarang masih terus bergulir. Inilah yang membedakan peristiwa karhutla dan kabut
asap dari bencana alam pada umumnya. Seperti yang sempat dilontarkan Prof.
Bambang Hero pada penelitiannya, karena karhutla dan kabut asap 90% dilakukan
oleh manusia, maka penanganan Pasca-karhutla tidak cukup hanya dengan
rehabilitasi, melainkan penegakan hukum!. 10
Contoh nyata dari masalah penegakan hukum terkait karhutla adalah
fenomena yang muncul baru-baru ini terhadap seorang hakim bernama Parlas
Nababan yang mendadak tenar di media sosial Tanah Air. Fotonya telah tersebar di
mana-mana disertai kalimat yang mengundang senyum maupun tanggapan nyinyir.
Parlas Nababan menjadi target untuk berbagai meme di media sosial, seperti Twitter
dan Facebook. Beberapa hari sebelum meme terhadap Parlas tersebar, hakim
Pengadilan Negeri Palembang itu membebaskan PT Bumi Mekar Hijau (BMH) dari
tuduhan membakar hutan dan kewajiban membayar Rp 9,2 triliun untuk ganti rugi
materiil dan pemulihan lingkungan atas kasus kebakaran di Kabupaten Ogan
Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan pada 2014 silam. Gugatan pemerintah yang
dilayangkan Oleh KLHK, kandas di tangannya. Salah satu logika pertimbangan
Nababan dalam membebaskan BMH memberi kesan yang unik: “Membakar hutan
10
Ibid, Hal. 74
tak masalah, toh, lahan yang terbakar masih bisa ditanami dan ditumbuhi akasia.”
Logika itulah yang kemudian menjadi bahan olok-olok di dunia maya. Keputusan
Hakim Nababan sebenarnya hanya salah satu Perlambang dari betapa lemahnya
penegakan hukum di Indonesia ketika harus berhadapan dengan korporasi sekaligus
membuktikan kurangnya pemahaman hakim kita terhadap persoalan lingkungan
maupun peraturan dan perundang-undangan terkait lingkungan. Kebakaran hutan
yang melanda 20 ribu hektar lahan konsesi di Sumatera dan menimbulkan kabut asap
yang paling parah dalam 20 tahun terakhir, kemudian sanggup dikalahkan oleh logika
yang terkesan spontan. Persoalan besar dalam bidang penegakan hukum ini menjadi
pekerjaan rumah tersendiri, tak hanya bagi pemerintah, tapi juga bagi semua pihak
yang berkecimpung dalam isu konservasi lingkungan hidup.
Lemahnya pemahaman ini bisa dilihat dari minimnya jumlah hakim yang
bersertifikat lingkungan. Saat ini baru ada 304 hakim bersertifikat lingkungan di
seluruh Indonesia. Jumlah ini tentu saja belum cukup mengingat luasnya wilayah dan
kompleksnya permasalahan lingkungan di Indonesia. Hakim bersertifikat lingkungan
sangat penting dalam memutus perkara-perkara lingkungan, contohnya perkara
karhutla, sehingga kontroversi putusan seperti yang dilakukan oleh Hakim Nababan
atas PT BMH, tidak terjadi lagi.11
Peran dari Hukum Administrasi Negara sangat dibutuhkan dalam hal ini.
Telah disebutkan bahwa salah satu prinsip negara hukumadalah asas legalitas, yang
mengandung makna bahwa setiap tindakan hukum pemerintahan harus berdasarkan
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau setiap tindakan hukum
pemerintahan harus berdasarkan pada kewenangan yang diberikanoleh peraturan
perundang-undangan. Dengan bersandar pada asas legalitas itulah pemerintah
melakukan berbagai tindakan hukum, arena pada setiap tindakan hukum itu
mengandung makna penggunaan kewenangan, maka di dalamnya tersirat adanya
kewajiban pertanggungjawaban.
Tanggung jawab pemerintahan terhadap warga negara atau pihak ketiga
dianut oleh hampir semua negara yang berdasarkan atas hukum. Dalam perspektif
hukum publik, tindakan hukum pemerintahan itu selanjutnya dituangkan dalam dan
dipergunakan beberapa instrumen hukum dan kebijakan seperti peraturan perundang-
undangan (regeling), peraturan kebijakan (beleidsregel), dan keputusan
(beschikking). Di samping itu, pemerintah juga sering menggunakan instrumen
hukum keperdataan seperti perjanjian dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan.
Setiap penggunaan wewenang dan penerapan instrumen hukum oleh pejabat
pemerintahan pasti menimbulkan akibat hukum, karena memang dimaksudkan untuk
menciptakan hubungan hukum dan akibat hukum. Hubungan hukum ini ada yang
11
Ibid, Hal. 75
bersifat intern (intern rechtsbetrekking), yakni hubungan hukum di dalam atau antar
instansi pemerintahan, dan hubungan hukum ekstern (extern rechtsbetrekking), yakni
hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negara. Dalam hal hubungan
hukum ekstern, akibat hukum yang ditimbulkannya ada yang bersifat umum, dalam
arti mengenai setiap warga negara, dan akibat hukum yang bersifat khusus, yakni
mengenai seseorang atau badan hukum perdata tertentu.
Telah jelas bahwa setiap penggunaan kewenangan itu di dalamnya
terkandung pertanggungjawaban, namun demikian harus pula dikemukakan tentang
cara-cara memperoleh dan menjalankan kewenangan. Sebab tidak semua pejabat tata
usaha negara yang menjalankan kewenangan pemerintahan itu secara otomatis
memikul tanggung jawab hukum. Badan atau pejabat tata usaha negara yang
melakukan tindakan hukum atas dasar kewenangan yang diperoleh secara atribusi dan
delegasi adalah sebagai pihak yang memikul pertanggungjawaban hukum, sedangkan
badan atau pejabat tata usaha negara yang melaksanakan tugas dan pekerjaan atas
dasar mandat bukanlah pihak yang memikul tanggung jawab hukum, yang memikul
tanggung jawab adalah pemberi mandat (mandans).12
Pengaturan Sanksi Administrasi dalam UUPPLH
Dalam Bab XII UUPPLH mengenai Pengawasan dan Sanksi administratif dikatakan
bahwa Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota dengan kewenangannya wajib
melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap
izin lingkungan. Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh
pemerintah daerah jika pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 74 UUPLH menyebutkan pejabat pengawas lingkungan hidup berwenang:
1. Melakukan pemantauan.
2. Meminta keterangan.
3. Membuat salinan dari dokumen dan atau membuat catatan yang diperlukan.
4. Memasuki tempat tertentu.
5. Memotret.
6. Membuat rekaman audio visual.
7. Mengambil sampel.

12
HR, Ridwan. 2016. Hukum Administrasi Negara. Jakarta:Perpustakaan Nasional
8. Memeriksa peralatan.
9. Memeriksa instalasi dan atau alat transportasi.
10. Menghentikan pelanggaran tertentu.
Menteri, Gubernur, atau Bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada
Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan
pelanggaran terhadap izin lingkungan. Sanksi administratif terdiri atas:
1. Teguran tertulis.
2. Paksaan pemerintah.
3. Pembekuan izin lingkungan.
4. Pencabutan izin lingkungan.
Sanksi administratif tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
dari tanggung jawab pemulihan dan pidana. Paksaan pemerintah dapat berupa:
1. Penghentian sementara kegiatan produksi.
2. Pemindahan sarana produksi.
3. Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi.
4. Pembongkaran.
5. Penyitan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran.
6. Penghentian sementara seluruh kegiatan.
7. Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan
memulihkan fungsi lingkungan hidup.13

Pasal 80 ayat (2) UUPPLH pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa
didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
1. Ancaman yang sangat sering bagi manusia dan lingkungan hidup.
2. Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran
dan/atau perusakannya.

13
Gusti Ayu Ketut Rachmi. Peranana Sanksi Administrasi dalam Penegakan Hukum Lingkunagn di
Indonesia. Fakultas Hukum UNS
3. Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidupjika tidak segera dihentikan
pencemaran Dan/atau perusakannya.
Paksaan pemerintah bukanlah suatu kewajiban untuk dilaksanakan, tetapi
merupakan Vrijebevoegheid (kewenangan bebas) yang mandiri tidak tergantung pada
organ lainnya. Dalam melaksanakan kewenangan ini, administrasi negara diberi
kebebasan untuk memilih apakah akan menggunakan kewenangan ini, yang berarti
melakukan perbuatan nyata untuk mengakhiri pelanggaran, atau melakukan perbuatan
tersebut. Ada faktor-faktor yang dapat digunakan sebagai pertimbangan untuk
menetapkan pilihan apakah kewenangan tersebut digunakan atau tidak.
Pertimbangan untuk menetapkan pilihan apakah kewenangan tersebut
digunakan atau kewenangan bebas untuk menerapkan bestursdwang secara erat
terkait dengan asas Doelmatigheid-nya suatu peraturan. Dalam hubungan dengan
kewenangan bebas ini, tentunya perbuatan administrasi untuk menjatuhkan atau tidak,
berada di luar kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk mengujinya,
karena kewenangan pengujian yang dilakukan oleh PTUN hanya sebatas pengujian
rechmatigheid saja.
Pengenaan bestursdwang ini kemungkinan saja dapat diminta oleh pihak
ketiga yang berkepentingan. Namun karena bestuarschwang merupakan kewenangan
bebas dan bukan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh administrasi negara,
maka adanya permohonan pihak ketiga untuk menerapkan bestursdwang tidaklah
mengikat administrasi negara.
Sebuah peringatan yang mendahului adanya bestuursdwang haruslah
memenuhi Persyaratan:
1. Uraian fakta atau perbuatan yang jelas, yang melanggar aturan hukum
2. Penunjukan yang jelas hukum mana yang dilanggar
3. Pertimbangan mengapa paksa administrasi (bestuursdwang) perlu dilakukan,
4. Suatu uraian yang jelas tentang apa yang harus dilakukan supaya bestuursdwang
tidak perlu dilakukan.
5. Jangka waktu perintah harus dilakukan.
6. Ditujukan langsung kepada yang melakukan pelanggaran.
7. Perkiraan biasa jika sampai bestuursdwang dilakukan.
Sanksi bagi penyusun Amdal
Bagi penyusun Amdal juga mendapat sanksi berkaitan dengan pemilikan
sertifikasi yangiatur dalam Pasal berikut:
Pada Pasal 110, menyatakan bahwa setiap orang yang menyusun Amdal tanpa
memiliki sertifikat kompetensi penyusunan Amdal, dipidana dengan pidana penjara
Paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.3 miliar.
b. Sanksi bagi pejabat pemerintah yang berwenang
Sanski juga diberlakukan terhadap pejabat pemerintah sebagai pelaksana UUPPLH
Nomor 32 Tahun 2009 jika menyalahi dan tidak menjalankan wewenangnya. Pasal-
pasal yang mengatur sanksi terhadap wewenang pejabat pemerintah, adalah sebagai
berikut:
1. Pada Pasal 101 dalam ayat (1) bahwa pejabat pemberi izin lingkungan
yang menerbitkan Izin lingkungan tanpda dilengkapi dengan Amdal atau UKL-UPL
dan dalam ayat 92) bahwa pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan menerbitkan
izin tersebut tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan, maka masing-masing pejabat
pemberi izin tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
denda paling banyak Rp.3 miliar.
2. Pada Pasal 102 bahwa setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja
tidak melakukan engawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan dan izin lingkungan yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp.500.000.000.

D. Simpulan
Peristiwa yang dialami pada tahun 2015 merupakan bentuk pelanggaran
HAM yang berat, banyak orang-orang menderita, baik dari kesehatan, pangan
maupun pendidikan. Kejahatan Ekosida merupakan kejahatan yang harus diwaspadai,
mengingat Indnonesia mempunya julukan sebgai paru-paru dunia, sudah seharusnya
kita sebagai masyarakat mengerti akan hal tersebut.
Peran hukum administrasi Negara memiliki fungsi sebagai instrument
yuridis, ada tujuan tertentu yang realisasinya diserahkan kepada organ administrasi
Negara tertentu pula. Jika dijumpai ada pelanggaran terhadap hukum administrasi,
yang memiliki tujuan tertentu tersebut, maka organ tersebut mempunyai wewenang
untuk menyingkirkan tujuan yang data menghlanagi tercapainya tujuan tersebut.
Kewenangan terakhir inilah yang memungkinkan administrasi Negara
untuk menjatuhkan sanksi administrasi. Jadi, jika dibandingkan dengan hukum
pidana, sanksi administrasi berorientasi utamanya langsung kepada perbuatan yang
dapat mengakibatkan kepada pelaku yang melakukan perbuatan. Oleh karena itu,
dalam sanksi administrasi motif pelaku tidak menjadi penting, tidak sebagaimana
pada hukum pidana yang oreintasinya adalah pelaku.

E. Daftar Pustaka
Supriyanto, Syarifudin, Ardi. (2018). Analisis Kebijakan Pencegahan Dan
Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Provinsi Jambi. 1(1), 94–104
Gusti Ayu Ketut Rachmi. Peranana Sanksi Administrasi dalam Penegakan Hukum
Lingkunagn di Indonesia. Fakultas Hukum UNS
HR, Ridwan. 2016. Hukum Administrasi Negara. Jakarta:Perpustakaan Nasional
Untung Widiyanto, dkk. 2015 Dibalik Tragedi Asap : Catatan Kebakaran Hutan dan
Lahan 2015. Hal. 62.
Data resmi yang dikeluarkan oleh Pemrintah KLHK maupun BNPB pada Oktober
2015
Sutopo Purwo Nugroho: Penanganan Darurat Asap Akibat Kebakaran Hutan dan
Lahan Tahun 2015
Sjahran,Basah. Perlindungan Hukum Terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara.
(Bandung:Alumni,1992), hlm 4
Sains, J., Humaniora, S., Hukum, F., Jambi, U., Masalah, L. B., Pemerintah, P., &
Presiden, P. (2020). Sanksi Administrasi Terhadap Kebakaran Hutan Dan Lahan Oleh
Badan Hukum Perdata Di Kabupaten Muaro Jambi. 4(3), 479–494.
Saleh,Ridha.2020.. Ecocide : Melawan Pelanggaran Berat HAM di Indonesia.
Jakarta:Rayyana Komunikasindo.
Portal Berita. Rahmadi R. Melihat Ekosida yang Terjadi di Sumatera Selatan

Anda mungkin juga menyukai