Anda di halaman 1dari 15

Urgensi Pemidanaan Ekosida Untuk Mengakhiri Impunitas Korporasi

Oleh: Royan Juliazka Chandrajaya, Hans Giovanny Yoshua Sallata

Abstrak
Kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai belahan bumi telah mencapai skala
yang begitu masif dan sistematis. Aktivitas industrial yang ekstraktif dan
eksploitatif turut menyebabkan terjadinya perubahan iklim, krisis air bersih
hingga krisis pangan. Pemaknaan lingkungan hidup yang lebih adil diperlukan,
dengan memerhatikan daya dukung lingkungan dan tidak menjadikannya sebagai
objek eksploitasi belaka. Sistem hukum yang menempatkan lingkungan hidup
sebagai prioritas diatas terma-terma ekonomi dan pembangunan sangat
diperlukan, sebagaimana terdapat berbagai kegiatan industri yang menyebabkan
terjadinya ekosida dilakukan korporasi nasional maupun internasional. Perlu ada
pembaruan hukum yang menjadikan lingkungan hidup sebagai subjek dan
menciptakan mekanisme pemindanaan bagi para pelaku ekosida yang seringkali
menikmati Impunitas. Penelitian ini merupakan penelitian normatif atau doktrinal
dengan menguji dan menganalisis bahan hukum yang didapatkan melalui metode
library research. Penulis menemukan bahwa sistem hukum positif baik nasional
maupun internasional belum memasukkan konsep ekosida. Adapun terkait
pemidanaan korporasi yang melakukan kejahatan di bidang lingkungan hidup
telah diatur dalam hukum nasional tetapi masih kurang efektif penerapannya. Hal
ini dikarenakan lingkungan hidup belum mendapat tempat yang layak didalam
sistem hukum nasional sehingga kejahatan terhadap lingkungan selalu dipandang
sebagai kejahatan biasa. Penulis menyimpulkan perlunya konsep ekosida
dimasukkan kedalam sistem hukum nasional sehingga pemidanaan korporasi akan
berjalan dengan maksimal.

Kata kunci : Ekosida, Korporasi, Pemidanaan, Lingkungan Hidup

Abstract
Environmental damage that occurred in various parts of the world has reached
such a massive and systematic scale. Extractive and exploitative industrial
activities also contribute to climate change, clean water crisis and food crisis. A
more equitable interpretation of the environment is needed, by paying attention to
the carrying capacity of the environment and not making it an object of mere
exploitation. A legal system that places the environment as a priority over
economic and development terms is very much needed, as there are various
industrial activities that cause the occurrence of eco -ides carried out by national
and international corporations. There needs to be legal reforms that make the
environment a subject and create a criminal mechanism for ecoside actors who
often enjoy impunity.
This research is a normative or doctrinal research by testing and analyzing legal
materials obtained through library research methods. The author found that the
positive legal system both nationally and internationally has not included the
concept of ecoside. As for the criminal penalties related to corporations that
commit crimes in the environmental field, it has been regulated in national law but
their application is still ineffective. This is because the environment has not yet
gotten a proper place in the national legal system so that crimes against the
environment are always seen as ordinary crimes. The author concludes the need
for the concept of ecoside to be incorporated into the national legal system so that
corporate punishment will run optimally.

Keywords : Ecocide, Corporation, Criminalization, Environment

Pendahuluan
Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and
Ecosystem Service (IPBES) melaporkan pada 2019 bahwa satu juta spesies telah
punah dalam 50 tahun terakhir akibat aktivitas manusia. Selain itu 240 juta hektar
hutan alam sudah hilang dalam kurun 1990-2015. Data laporan IPBES itu selaras
dengan penegasan laporan sejenis yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel
on Climate Change (IPCC) pada 2018 dimana telah terjadi kenaikan suhu bumi
sebesar 0.2 derajat celcius per dekade atau sebesar 1 derajat celcius dalam kurun
lima dekade terakhir.1 Hal ini bermuara pada fenomena-fenomena seperti cuaca
ekstrim, kenaikan permukaan air laut, dan mencairnya es di Benua Arktik.
Pemberi sumbangan terbesar terhadap perubahan iklim adalah efek Gas
Rumah Kaca yang dihasilkan oleh pembuangan emisi dari kegiatan industrial
manusia. Adanya pelepasan Gas Rumah Kaca seperti ini diperkirakan dapat
meningkatkan temperatur suhu Bumi mencapai 1,5 sampai 2 derajat celcius pada
2030-2052. Akibat kenaikan temperatur tersebut diperkirakan akan menyebabkan
krisis lingkungan dalam skala global, diantaranya akan 70% penurunan terumbu
karang, 350 juta populasi akan mengalami kekeringan parah serta 135 juta orang
akan terdampak kenaikan permukaan air laut tanpa ada adaptasi.2
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dan memiliki keaneka
ragaman hayati serta daerah konservasi yang tinggi perlu mendapat tempat
penting dalam wacana memerangi krisis lingkungan. Indonesia adalah salah satu
negara dengan luas areal hutan terbesar di dunia namun berdasarkan laporan
Forest Watch Indonesia, laju deforestasi selama 2013 hingga 2017 mencapai 1.47

1
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, 2019, Ecocide: Memutus Impunitas Korporasi, Jakarta,
(Hal 4)
2
Ibid, (Hal 4)
juta hektare per tahunnya.3 Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) pada 2016 menyatakan bahwa dari 105 sungai yang dipantau
di Indonesia, 101 sungai berada pada kondisi tercemar sedang dan berat. Badan
Nasonal Penanggulangan Bencana (BNPB) pada akhir tahun 2018 melaporkan
bahwa 2.462 bencana terjadi di Indonesia dan 96.6% nya adalah bencana
hidrometrologi berupa banjir, tanah longsor dan angin puting beliung dengan
jumlah korban mencapai ribuan orang.4 Masalah-masalah tersebut diperparah oleh
penurunan jumlah terumbu karang di berbagai kawasan laut Indonesia akibat
aktivitas pertambangan dan lalu lintas kapal pengangkut batu bara serta
berkurangnya jumlah ikan di lautan akibat penangkapan besar-besaran yang tidak
ramah lingkungan serta melampaui daya memperbaharuinya.
Beragam data di atas menyimpulkan bahwa perubahan iklim dengan
berbagai varian gejalanya mengindikasikan bahwa terjadi krisis lingkungan yang
dapat membahayakan keberlangsungan kehidupan. Fenomena-fenomena yang
langsung dapat dirasakan oleh manusia membuat manusia sadar akan adanya
kesalahan mendasar dalam memperlakukan alam. Berbagai macam pertemuan
antar negara diselenggarakan untuk membahas persoalan ini, diantaranya
Konferensi Stockholm 1972, KTT Bumi, hingga Paris Agreement.
Indonesia sendiri telah memiliki beberapa regulasi terkait perlindungan
lingkungan hidup, salah satunya adalah Undang-undang Nomor 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Menurut
Takdir Rahmadi, UUPLH mengadopsi asas-asas yang terkandung dalam
Deklarasi Rio 1992, yaitu asas-asas tanggung jawab negara, keterpaduan, kehati-
hatian, keadilan, pencemar pembayar, partisipatif, dan kearifan lokal.
Pengadopsian ini merupakan politik hukum yang penting karena dapat
memperkuat kepentingan pengelolaan lingkungan hidup manakala berhadapan
dengan kepentingan ekonomi jangka pendek.5

3
Tempo, 2019, Forest Watch Indonesia : 1.47 Juta Hektare Hutan Hilang Tiap Tahun, Diakses 11
Mei, 2020, https://bisnis.tempo.co/read/1259120/forest-watch-indonesia-147-juta-hektare-hutan-
hilang-tiap-tahun
4
https://bnpb.cloud/dibi/ , Diakses 11 Mei 2020
5
Andi Saputra, 2015, Membaca Pemikiran Takdir Rahmadi, Hakim Agung ‘Bernilai’ RP 366
Miliar, Diakses 11 Mei, 2020, https://m.detik.com/news/berita/d-3018876/membaca-pemikiran-
takdir-rahmadi-hakim-agung-bernilai-rp-366-miliar
Meski telah banyak konvensi-konvensi internasional mengenai lingkungan
hidup juga peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional tentang
lingkungan hidup yang terbentuk, aktivitas-aktivitas korporasi yang menyebabkan
kerusakan lingkungan masih saja terjadi hingga saat ini.

Metode Penelitian
Penelitian yang digunakan oleh penulis merupakan penelitian normatif
atau doktrinal yang merupakan penelitian yang mengkaji dokumen-dokumen
hukum baik hukum nasional maupun internasional, juga menggunakan data
pendukung lainnya berupa putusan pengadilan, pendapat para sarjana serta data
dan berita yang dirilis baik oleh media cetak maupun organisasi di bidang
lingkungan. Metode pengumpulan data yang digunakan melalui metode library
research (metode kepustakaan) dengan menguji dan menganalisis bahan dokumen
dan bahan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini.

Hasil
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas industrial berbasis
kapitalisme telah cukup masif terjadi di Indonesia. Contohnya adalah aktivitas PT.
Freeport yang beroperasi di Jayapura sejak penandatanganan kontrak oleh
Pemerintah Indonesia pada 1967 telah membawa kerusakan bahkan kepunahan
ekologis yang begitu luas seperti pencemaran sungai ajkwa (sungai yang
disakralkan oleh suku amungme) dengan membuang limbah tailing sebesar 1.3
milyar ton ke sungai tersebut yang menyebabkan tercemarnya ratusan ribu hektar
daratan dan jebolnya danau wanagon.6 Kasus lain yang juga tak kunjung selesai
adalah kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan. Dalam
laporan Majalah Tempo (edisi 23 september 2019), KLHK mencatat hutan dan
lahan gambut yang terbakar sepanjang tahun 2019 mencapai 328 ribu hektare.
Akibat dari kebakaran hutan tersebut, asap menyebar ke berbagai wilayah negara
tetangga yaitu Singapura, Malaysia dan Thailand. Selain dua kasus di atas, kasus
yang juga menyorot perhatian adalah semburan lumpur di Kecamatan Porong

6
Paharizal & Ismantoro, 2018, Freeport : Fakta-fakta yang disembunyikan, Jakarta, (Hal.140)
Kabupaten Sidoarjo yang diakibatkan aktivitas PT. Lapindo Brantas (anak
perusahaan Bakrie Group) yang melakukan kesalahan pengeboran minyak di
daerah tersebut telah menenggelamkan 7 desa dan menyebabkan ribuan warga
kehilangan tempat tinggal. Kasus kerusakan lingkungan diatas semuanya
disebabkan oleh aktivitas korporasi, dan hampir seluruh korporasi yang
bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan akibat aktivitas industrial
tersebut lepas dari jeratan hukum. Berbagai hal tersebut merupakan refleksi
mengenai lemahnya sistem perlindungan lingkungan hidup dan pemidanaan bagi
korporasi dalam sistem hukum Indonesia. Kerusakan Lingkungan yang masif dan
menyebabkan kematian dan bagi manusia dan makhluk hidup lainnya seperti yang
telah dijelaskan di atas, dalam paradigma hukum lingkungan internasional
kontemporer disebut sebagai ekosida7.
Konsepsi mengenai ekosida dapat ditelusuri bermula pada tahun 1933,
ketika Raphael Lemkin memperkenalkan istilah genosida yaitu penghancuran
massal terhadap kehidupan manusia, konteks dari konsep awal mengenai genosida
adalah masifnya kehancuran dan kematian yang diakibatkan oleh perang pada awal
abad 20, Lemkin kemudian memperkenalkan dua jenis genosida yaitu genosida
fisik atau pembunuhan langsung dan genosida kultural atau penghancuran sistem
kebudayaan dan peninggalan sejarah manusia, secara etimologis, dalam bahasa
latin genos berarti manusia dan cide berarti pembunuhan atau pemusnahan, maka
secara harfiah genosida berarti pembunuhan/pemusnahan manusia. Isitilah
genosida yang diperkenalkan oleh Lemkin kemudian diadopsi oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Convention on Prevention and Punishment on the
Crime of Genocide 1948, (Genocide Convention) konvensi yang kemudian
menjadi tonggak dalam hukum internasional sebagai upaya untuk mencegah
terjadinya perbuatan keji berupa pembunuhan massal, dalam perkembangannya
genosida pun dipandang sebagai jus cogens dalam hukum internasional.
Istilah ekosida atau ecocide pertama kali diperkenalkan oleh Arthur
Glaston pada tahun 1970 di Conference on War and National Responsibility di
Washington DC8. Penamaan yang dikemukakan oleh Arthur Glaston secara
7
Polly Higgins, et.al, 2013, The Ecocide Project ‘Ecocide is the Missing 5th Crime Against Peace’,
School of Advanced Study University of London
8
Polly Higgins et. al, op.cit, p. 4
etimologis pun mengadopsi istilah yang diperkenalkan oleh Lemkin tersebut, eco
dalam bahasa Latin diartikan sebagai lingkungan, maka terma ekosida secara
harfiah berarti pembunhan/pemusnahan lingkungan. Istilah tersebut diperkenalkan
setelah masifnya kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai dampak dari perang
khususnya perang di Vietnam dan perang di beberapa wilayah Afrika, dimana
dalam konsepsi Glaston, negara peserta perang lah yang dituntut untuk
bertanggung jawab terhadap kerusakan yang ditimbulkan tersebut, sehingga pada
awal perkembangannya ekosida dianggap sebagai dampak yang timbul akibat
perang yang berkelanjutan dan pertanggungjawaban atas kerusakan yang
ditimbulkan dilimpahkan kepada negara peserta perang. Pada era 1990-an
kemudian terjadi pergeseran konsep. Ekosida diyakini tidak lagi dilakukan oleh
angkatan bersenjata negara, melainkan oleh korporasi, baik itu korporasi
sebagai state actors maupun korporasi privat, ekosida juga tidak lagi dipandang
sebagai dampak dari peperangan, tetapi harus dipandang sebagai kejahatan yang
berdiri sendiri dan memiliki daya rusak yang sama dengan kejahatan perang dan
karena dampak mematikan yang dihasilkannya, maka ekosida pun
dipertimbangkan sebagai Pelanggaran HAM Berat (most serious crime).
Menggunakan paradigma tersebut, maka berbagai kerusakan lingkungan yang
terjadi di Indonesia sebagai akibat dari aktivitas korporasi pun dapat dikategorikan
sebagai ekosida.

Ekosida Dalam Hukum Lingkungan Internasional dan Praktik Negara-


negara
Diperkenalkannya konsep mengenai ekosida dalam hukum lingkungan
internasional dimulai pada Stcokholm Conference on Human Environment 1972
yang merupakan awal dari terbentuknya Stockholm Declaration kemudian ada
tahun 1978, International Law Comission (ILC) dalam Draft articles on State
Responsibility and International Crime memasukkan perusakan lingkungan
(damage to environment) sebagai salah satu jenis kejahatan internasional yang
didukung oleh Tahta Suci Vatikan, Rumania, Austria, Rwanda, Kongo dan Oman9,
istilah damage to environment yang disebutkan oleh draf tersebut dianggap
9
United Nation Sub-comission on Prevention and Protection of Discrimination Against Minority,
diakses dari www.digitallibrary.un.org
memiliki makna yang sama dengan ekosida. Pada tahun 1987 ILC dalam Draft
Code of Offences Against Security and Mankind, pada draf yang merupakan cikal
bakal dari Statuta Roma tersebut, meskipun tidak menggunakan istilah eksoida
secara eksplisit ILC menyatakan pentingnya melestarikan lingkungan hidup bagi
keberlangsungan hidup manusia dan mempertimbangkan kejahatan terhadap
lingkungan sebagai salah satu jenis kejahatan internasional yang serius, setara
dengan agresi, kolonialisme, apartheid dan penggunaan senjata pemusnah massal.10
Kemudian pada tahun 1991, dalam lanjutan pembahasan dari Draft Code of
Crimes Against the Peace and Security of Mankind, ILC mengkategorikan 12 jenis
kejahatan salah satunya adalah wilful and severe damage to the environment atau
kerusakan yang disengaja terhadap lingkungan hidup sebagai kejahatan terhadap
keamanan dan perdamaian umat manusia.11 Konsep terkait kejahatan atas
lingkungan hidup ini yang memiliki bangunan konsep yang sama dengan ekosida,
namun dalam kedua draf ILC tersebut pertanggung jawaban terhadap kerusakan
lingkungan masih dilimpahkan terhadap negara dan individu.
Pada perkembangannya selain individu dan negara, korporasi sebagai
badan hukum pun mulai dipertimbangkan sebagai subjek hukum yang bisa
dikenakan sanksi pidana ketika menjadi pelaku ekosida, namun hal tersebut sulit
untuk direalisasikan karena hukum pidana internasional khususnya Mahkamah
Pidana Internasional tidak memiliki mekanisme pertanggungjawaban pidana bagi
korporasi, berbeda dengan hukum pidana nasional yang memiliki sistem
pertanggungjawaban pidana korporasi. Upaya untuk memberikan sanksi pidana
kepada korporasi pelaku ekosida tentu lebih mudah direalisasikan dalam sistem
hukum pidana nasional, hal yang perlu diperhatikan adalah dalam konsepsi hukum
lingkungan internasional modern ekosida dipandang sebagai tindak pidana yang
serius (most serious crime). Polly Higgins menyatakan ekosida sebagai most
serious crime kelima12 setara dengan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes against humanity), kejahatan perang dan agresi, maka dalam konsepsi
tersebut tingkatan tanggung jawab pidana dari pelaku ekosida pun dipandang lebih
berat dari pidana biasa.

10
Yearbook of International Law Comission 1987 vol. I, para. 38
11
Yearbook of International Law Comission 1991 vol. I, para. 32
12
Polly Higgins et. al, op.cit, p. 10
Dalam perkembangannya, meskipun telah dipertimbangkan sebagai salah
satu jenis kejahatan internasional oleh ILC, pada tahun 1998 ketika Statuta Roma
mengenai Mahkamah Pidana Internasional (pengadilan internasional pertama yang
memiliki yurisdiksi mengadili tindak pidana internasional dan bertujuan
mengakhiri impunitas) dibuat, ekosida tidak dimasukkan sebagai jenis pelanggaran
HAM yang dapat diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional. Sehingga saat ini,
sama sekali belum ada perjanjian internasional yang secara khusus memberikan
definisi terhadap ekosida dan mekanisme pertanggungjawaban terhadap pelakunya.
Hingga kini upaya untuk mengkategorikan ekosida sebagai pelanggaran HAM dan
menjadi bagian dari yurisdiksi universal terus dilakukan, misalnya dengan
mengupayakan untuk mengintegrasikan ekosida ke dalam Statuta Roma dan
mengakuinya sebagai jenis kejahatan kelima yang menjadi yurisdiksi dari
Mahkamah Pidana Internasional untuk diadili.
Disamping ketiadaan instrumen hukum internasional tersebut, beberapa
negara telah memasukkan istilah ekosida ke dalam sistem hukumnya, negara-
negara tersebut antara lain Rusia, Ukraina dan Vietnam, namun meskipun negara-
negara ini telah menggunakan istilah ekosida dalam sistem hukumnya, belum ada
mekanisme hukum yang secara khusus mengatur pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku ekosida, bahkan pada beberapa negara ini juga tercatat angka
kerusakan lingkungan dan kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan yang masif.

Hukum Lingkungan di Indonesia


Konstitusi Negara Republik Indonesia UUD 1945 pada Amandemen ke-2,
Pasal 28H ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir
dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, pasal 9 ayat 3, menyebutkan
bahwa Masyarakat berhak atas lingkungan hidup hidup yang baik dan sehat.
Demikian juga dengan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan hidup No 32/2009. Dalam instrumen HAM, hak atas lingkungan
hidup merupakan hak asasi manusia yang masuk dalam rumpun hak ekonomi,
sosial dan budaya, meskipun tentu saja tidak bisa dipisahkan dari hak sipil dan
politik, serta sebagai hak individual dan kolektif.13
Perkembangan hukum lingkungan modern di Indonesia lahir sejak
diundangkannya Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, tanggal 11 Maret 1982 yang
biasa disingkat UULH 1982. Undang-undang ini kemudian digantikan oleh
Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 (UULH 1997) pada tanggal 19 September
1997. Diundangkannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) mencabut
keberlakuan UULH tersebut.
Takdir Rahmadi menyatakan bahwa hukum lingkungan merupakan bidang
hukum yang disebut dengan bidang hukum fungsional yaitu sebuah bidang hukum
yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum administrasi negara, pidana dan
perdata. Keberadaan UUPPLH sebagai undang-undang yang menjadi sumber
formal utama hukum lingkungan di Indonesia, selain memuat ketentuan-ketentuan
hukum dan instrumen-instrumen hukum seperti yang terkandung UULH
sebelumnya, juga telah memuat norma-norma dan instrumen-instrumen hukum
baru. Beberapa norma hukum baru yang penting adalah tentang perlindungan
hukum atas tiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup,
kewenangan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil dan Penciptaan delik-delik
materil baru. Meskipun UUPPLH ini tergolong sebagai peraturan perundang-
undangan yang progresif terutama dengan konsep strict liability yang
diadopsinya, hingga kini istilah ekosida belum diadopsi ke dalam undang-undang.
Adapun pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku perusakan lingkungan telah
diatur oleh UUPPLH, undang-undang ini mengenal korporasi sebagai subjek
hukum yang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana.
Tindak pidana atas lingkungan hidup dalam sistem hukum Indonesia
dipandang sebagai ‘tindak pidana biasa’ bukan sebagai tindak pidana luar biasa
(most serious crime) sebagaimana dikenal dalam konsepsi hukum lingkungan
internasional modern. Hal ini menyebabkan pertanggungjawaban pidana bagi

13
M. Ridha Saleh, 2005, Ecocide : Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi
Manusia, Jakarta, (Hal 30)
pelaku tindak pidana atas lingkungan hidup tergolong tidak berat dan tidak seketat
pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana luar biasa.

Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia


Dalam UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Ketentuan Pidana atau yang
dikenal sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, hanya
manusia alamiah saja yang dapat melakukan perbuatan pidana dan dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana. Pasal 59 Buku I KUHP yang mengatur mengenai
pertanggungjawaban pidana dalam lingkup korporasi pun hanya mengatur bahwa
di mana terjadi pelanggaran yang ditentukan pidana terhadap pengurus suatu
korporasi, maka pengurus korporasi yang tidak ikut campur melakukan
pelanggaran tidak dipidana. Pasal dalam ketentuan KUHP tersebut menyiratkan
bahwa pertanggungjawaban pidana hanya untuk orang yang secara nyata berbuat
pidana, walaupun dalam lingkup korporasi.14
Pendirian KUHP ini sejalan dengan pendirian hukum masa lalu baik dari
negara civil law maupun common law. Maksim yang terkenal menyebutkan
“societas delinguere non potest” yang berarti korporasi tidak bisa dimintai
pertanggung jawaban pidana. Pendirian tersebut dilatarbelakangi kesulitan
merumuskan bagaimana agar korporasi yang merupakan fiksi hukum (legal
fiction) berbuat dan bertanggung jawab secara pidana. Kini pendirian tersebut
berubah, walaupun kodifikaasi hukum pidana belum mengakui korporasi sebagai
subjek hukum, sejumlah perundang-undangan di luar KUHP telah mengakui dan
mengatur mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini dapat dipahami
mengingat KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia merupakan peraturan yang
dibuat tahun 1881, yang pada masa itu masih menganut pemikiran korporasi tidak
bisa dikenai pertanggungjawaban pidana, yang berdasarkan asas konkordansi
menjadi aturan hukum pidana umum di Indonesia.15
Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana yang bisa berbuat dan
bertanggung jawab pidana. Pengakuan tersebut dimulai dari pengaturan di Pasal 1

14
Laode M Syarif & Andri G. Wibisana, 2000, Hukum Lingkungan : Teori, Legislasi dan Studi
Kasus, Jakarta (Hal 530)
15
Ibid, (Hal 531)
Angka 32 yang menyatakan “Setiap orang adalah orang perseorangan atau
badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”.
Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum juga dapat ditemukan dalam Pasal
116 hingga 119 UUPPLH yang mengatur tentang sistem pertanggungjawaban
pidana korporasi.16 Pengaturan tersebut sangat penting mengingat ketentuan
umum (lex generalis) hukum pidana, baik materiil, maupun formil belum
mengakui pertanggungjawaban pidana korporasi.17 Meskipun belakangan juga
lahir beberapa regulasi terkait pemidanaan korporasi seperti Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) No, 13 tahun 2016 sampai tulisan ini dibuat, kasus-kasus
perusakan lingkungan masih saja terjadi di berbagai daerah. Selama aktivitas
industri ekstraktif masih mendominasi percaturan ekonomi di Indonesia, segala
regulasi dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah menjadi tidak berjalan
dalam tataran implementasinya. Hal ini kemudian memerlukan perubahan
paradigma hukum secara mendasar. Regulasi yang telah disusun dengan cukup
komprehensif tetapi kondisi permasalahan di lapangan tidak juga berkurang,
bahkan terancam bertambah dengan dibahasnya RUU Cipta Kerja merupakan
tanda bahwa ada yang keliru dalam paradigma hukum di negeri ini. Langkah
politik pemerintah terkesan pasif dalam menumpas kejahatan terhadap
lingkungan, bahkan ternilai melanggengkan dan mengamini praktek-praktek
perusakan lingkungan dengan menyediakan akses istimewa bagi para korporasi
lewat RUU Cipta Kerja.

Ekosida dalam Sistem Hukum Indonesia


Melihat kondisi krisis lingkungan di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa
kelestarian lingkungan hidup di Indonesia sangat memprihatinkan. Banyak
korporasi yang bergerak di bidang industri dan pertambangan yang menjadi
pelaku ekosida, hal ini berdampak pada terjadinya bencana ekologis yang tidak
mengenal lanskap politik maupun geografis. Untuk mengatasi berbagai masalah
tersebut dibutuhkan pembaruan terhadap sistem pemidanaan bagi korporasi yang
melakukan tindak pidana pada sektor lingkungan di Indonesia, disamping itu

16
Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPLH)
17
Laode & Wibisana, Op.Cit, (Hal 532)
hukum lingkungan Indonesia perlu memasukkan terma ekosida dan
mengkriminalisasi pelakunya.
Agar masyarakat umum sadar akan bahaya dari ekosida, langkah pertama
yang perlu dilakukan adalah memasukkan terma atau pengistilahan ekosida ke
dalam hukum lingkungan Indonesia, karena dalam konteks tertentu kesadaran
masyarakat akan bahaya dari suatu perbuatan akan terbangun jika perbuatan
tersebut dikriminalisasi atau digolongkan sebagai tindak pidana, sebagai contoh
sederhana mayoritas masyarakat Indonesia memandang penggunaan narkotika
sebagai perbuatan yang menyalahi norma, karena sistem hukum Indonesia
mengkriminalisasi baik pembuatan, penjualan maupun penggunaan narkotika.
Secara etimologis istilah ekosida memiliki akar kata yang sama dengan genosida
yang telah lebih dulu diatur pemidanaannya dalam Undang-Undang Nomor 26
tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Setelah dimasukkannya
istilah genosida ke dalam UU Nomor 26 tahun 2000 tersebut kesadaran
masyarakat akan bahaya genosida mulai terbangun, meskipun hingga kini belum
ada pelaku yang diadili karena genosida namun paling tidak masyarakat Indonesia
secara umum telah memandang genosida sebagai perbuatan yang keji. Dengan
memperkenalkan istilah ekosida ke dalam sistem hukum Indonesia, masyarakat
akan merelasikan isitilah tersebut dengan genosida – yang memang dipandang
sebagai perbuatan keji – sehingga konsepsi masyarakat akan bahaya dari ekosida
pun akan terbangun.
Selain itu, mengingat konsepsi pakar hukum lingkungan internasional
modern bahwa ekosida memiliki tingkatan yang sama dengan genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi, dimana Indonesia melalui UU
Nomor 26 tahun 2000 telah mengakui genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat, maka dengan dimasukkan ke
ekosida ke dalam sistem hukum Indonesia, ekosida akan dipandang sebagai tindak
pidana yang setara dengan pelanggaran HAM berat. Hal ini pun akan bermuara
pada pertanggungjawaban pidananya yang akan menjadi lebih berat dan lebih
ketat. Dimasukkannya ekosida ke dalam sistem hukum Indonesia pemerintah juga
akan diberikan kewajiban secara hukum untuk mencegah ekosida dan mengadili
pelakunya. Selama konsepsi ekosida tidak mendapat tempat khusus di dalam
sistem hukum Indonesia maka penegakan hukum di bidang lingkungan akan
selalu tertatih-tatih dan korporasi akan menikmati impunitas.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa langkah yang dapat diambil
oleh Indonesia:
 Membuat draft hukum terkait konsep ekosida dan memasukkannya ke dalam
Program Legislasi Nasional. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah
sebagai benteng dan tameng HAM harus serius menanggapi persoalan ini.
 Menggunakan metode Omnibus Law untuk menghimpun semua PPU terkait
menjadi sebuah RUU tunggal bernama RUU Ekosida. Hal ini sebagai dalih
tandingan terhadap argumentasi pemerintah yang mengatakan menggunakan
metode omnibus agar terciptanya efisiensi dan harmonisasi dalam PPU demi
menciptakan iklim yang baik bagi investasi.
 Melakukan amendemen konstitusi dengan memasukkan istilah ekosida
didalamnya. Hal ini akan menjadikan Indonesia contoh bagi negara-negara lain
terkait komitmen dalam melakukan perlindungan lingkungan hidup. Jika ekosida
telah tercantum secara eksplisit di dalam konstitusi, dapat menjadi indikasi
penegakan hukum yang lebih serius.
 Membentuk Peradilan ad-hoc terkait Ekosida yang dasar hukumnya termaktub
dalam RUU Ekosida.

Penutup
Kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai belahan bumi telah
mencapai skala yang begitu massif dan sistematis. Hal ini disebabkan oleh
aktivitas industri ekstraktif dan eksploitatif. Perubahan iklim, krisis air bersih
hingga krisis pangan adalah konsekuensi yang harus diterima umat manusia akibat
kegiatan industrial yang ekstraktif tersebut. Lingkungan hidup perlu dimaknai
lebih adil lagi, tidak sekadar objek eksploitasi belaka tanpa memperhatikan daya
dukungnya. Harus tercipta sistem hukum yang menempatkan lingkungan hidup
sebagai prioritas diatas terma-terma ekonomi dan pembangunan. Perlu ada
pembaruan hukum yang menjadikan lingkungan hidup sebagai subjek dan
menciptakan mekanisme pemindanaan bagi para korporasi perusak lingkungan
yang seringkali menikmati Impunitas. Sistem hukum baik hukum nasional
maupun internasional perlu segera memasukkan konsep ekosida kedalam sistem
hukumnya. Lingkungan hidup harus mendapat tempat yang layak didalam sistem
hukum sehingga kejahatan apapun terhadap lingkungan akan dipandang sebagai
kejahatan luar biasa dan para pelaku akan dapat diadili secara serius. Begitupun
impunitas dari korporasi harus segara diakhiri demi keselamatan planet ini.

Daftar pustaka

Andi Saputra, 2015, Membaca Pemikiran Takdir Rahmadi, Hakim Agung


‘Bernilai’ RP 366 Miliar, https://m.detik.com/news/berita/d-3018876/membaca-
pemikiran-takdir-rahmadi-hakim-agung-bernilai-rp-366-miliar

https://bnpb.cloud/dibi/

Laode M Syarif & Andri G. Wibisana, 2000, Hukum Lingkungan : Teori,


Legislasi dan Studi Kasus, Jakarta

M. Ridha Saleh, 2005, Ecocide : Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran


Hak Asasi Manusia, Jakarta

Paharizal & Ismantoro, 2018, Freeport : Fakta-fakta yang disembunyikan, Jakarta

Polly Higgins, et.al, 2013, The Ecocide Project ‘Ecocide is the Missing 5 th Crime
Against Peace’, School of Advanced Study University of London

Tempo, 2019, Forest Watch Indonesia : 1.47 Juta Hektare Hutan Hilang Tiap
Tahun, https://bisnis.tempo.co/read/1259120/forest-watch-indonesia-147-juta-
hektare-hutan-hilang-tiap-tahun

Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup (UUPLH)

United Nation Sub-comission on Prevention and Protection of Discrimination


Against Minority, diakses dari www.digitallibrary.un.org

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, 2019, Ecocide: Memutus Impunitas


Korporasi, Jakarta

Yearbook of International Law Comission 1987 vol. I


LAMPIRAN

CURRICULUM VITAE

Nama : Royan Juliazka Chandrajaya


Tempat & Tanggal lahir : Cianjur, 14 Juli 1998
Alamat : BTP Blok I No 107, Tamalanrea
Pendidikan : Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Riwayat organisasi : Environmental Law Forum UNHAS
Gusdurian Makassar
Sekolah Peduli Lingkungan
Email : mullasadra48@gmail.com

Nama : Hans Giovanny Yoshua Sallata


Tempat & Tanggal lahir : Palu, 16 Oktober 1998
Alamat : Kompleks Azalea, Blok D No 9, Pengayoman
Pendidikan : Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Riwayat organisasi : Insersium Universitas Hasanuddin
Presiden ILSA Universitas Hasanuddin 2019
Minister External UKM DBI UNHAS 2018
Email : hansgsallata@gamil.com

Anda mungkin juga menyukai