Abstrak
Kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai belahan bumi telah mencapai skala
yang begitu masif dan sistematis. Aktivitas industrial yang ekstraktif dan
eksploitatif turut menyebabkan terjadinya perubahan iklim, krisis air bersih
hingga krisis pangan. Pemaknaan lingkungan hidup yang lebih adil diperlukan,
dengan memerhatikan daya dukung lingkungan dan tidak menjadikannya sebagai
objek eksploitasi belaka. Sistem hukum yang menempatkan lingkungan hidup
sebagai prioritas diatas terma-terma ekonomi dan pembangunan sangat
diperlukan, sebagaimana terdapat berbagai kegiatan industri yang menyebabkan
terjadinya ekosida dilakukan korporasi nasional maupun internasional. Perlu ada
pembaruan hukum yang menjadikan lingkungan hidup sebagai subjek dan
menciptakan mekanisme pemindanaan bagi para pelaku ekosida yang seringkali
menikmati Impunitas. Penelitian ini merupakan penelitian normatif atau doktrinal
dengan menguji dan menganalisis bahan hukum yang didapatkan melalui metode
library research. Penulis menemukan bahwa sistem hukum positif baik nasional
maupun internasional belum memasukkan konsep ekosida. Adapun terkait
pemidanaan korporasi yang melakukan kejahatan di bidang lingkungan hidup
telah diatur dalam hukum nasional tetapi masih kurang efektif penerapannya. Hal
ini dikarenakan lingkungan hidup belum mendapat tempat yang layak didalam
sistem hukum nasional sehingga kejahatan terhadap lingkungan selalu dipandang
sebagai kejahatan biasa. Penulis menyimpulkan perlunya konsep ekosida
dimasukkan kedalam sistem hukum nasional sehingga pemidanaan korporasi akan
berjalan dengan maksimal.
Abstract
Environmental damage that occurred in various parts of the world has reached
such a massive and systematic scale. Extractive and exploitative industrial
activities also contribute to climate change, clean water crisis and food crisis. A
more equitable interpretation of the environment is needed, by paying attention to
the carrying capacity of the environment and not making it an object of mere
exploitation. A legal system that places the environment as a priority over
economic and development terms is very much needed, as there are various
industrial activities that cause the occurrence of eco -ides carried out by national
and international corporations. There needs to be legal reforms that make the
environment a subject and create a criminal mechanism for ecoside actors who
often enjoy impunity.
This research is a normative or doctrinal research by testing and analyzing legal
materials obtained through library research methods. The author found that the
positive legal system both nationally and internationally has not included the
concept of ecoside. As for the criminal penalties related to corporations that
commit crimes in the environmental field, it has been regulated in national law but
their application is still ineffective. This is because the environment has not yet
gotten a proper place in the national legal system so that crimes against the
environment are always seen as ordinary crimes. The author concludes the need
for the concept of ecoside to be incorporated into the national legal system so that
corporate punishment will run optimally.
Pendahuluan
Intergovernmental Science-Policy Platform on Biodiversity and
Ecosystem Service (IPBES) melaporkan pada 2019 bahwa satu juta spesies telah
punah dalam 50 tahun terakhir akibat aktivitas manusia. Selain itu 240 juta hektar
hutan alam sudah hilang dalam kurun 1990-2015. Data laporan IPBES itu selaras
dengan penegasan laporan sejenis yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel
on Climate Change (IPCC) pada 2018 dimana telah terjadi kenaikan suhu bumi
sebesar 0.2 derajat celcius per dekade atau sebesar 1 derajat celcius dalam kurun
lima dekade terakhir.1 Hal ini bermuara pada fenomena-fenomena seperti cuaca
ekstrim, kenaikan permukaan air laut, dan mencairnya es di Benua Arktik.
Pemberi sumbangan terbesar terhadap perubahan iklim adalah efek Gas
Rumah Kaca yang dihasilkan oleh pembuangan emisi dari kegiatan industrial
manusia. Adanya pelepasan Gas Rumah Kaca seperti ini diperkirakan dapat
meningkatkan temperatur suhu Bumi mencapai 1,5 sampai 2 derajat celcius pada
2030-2052. Akibat kenaikan temperatur tersebut diperkirakan akan menyebabkan
krisis lingkungan dalam skala global, diantaranya akan 70% penurunan terumbu
karang, 350 juta populasi akan mengalami kekeringan parah serta 135 juta orang
akan terdampak kenaikan permukaan air laut tanpa ada adaptasi.2
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dan memiliki keaneka
ragaman hayati serta daerah konservasi yang tinggi perlu mendapat tempat
penting dalam wacana memerangi krisis lingkungan. Indonesia adalah salah satu
negara dengan luas areal hutan terbesar di dunia namun berdasarkan laporan
Forest Watch Indonesia, laju deforestasi selama 2013 hingga 2017 mencapai 1.47
1
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, 2019, Ecocide: Memutus Impunitas Korporasi, Jakarta,
(Hal 4)
2
Ibid, (Hal 4)
juta hektare per tahunnya.3 Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) pada 2016 menyatakan bahwa dari 105 sungai yang dipantau
di Indonesia, 101 sungai berada pada kondisi tercemar sedang dan berat. Badan
Nasonal Penanggulangan Bencana (BNPB) pada akhir tahun 2018 melaporkan
bahwa 2.462 bencana terjadi di Indonesia dan 96.6% nya adalah bencana
hidrometrologi berupa banjir, tanah longsor dan angin puting beliung dengan
jumlah korban mencapai ribuan orang.4 Masalah-masalah tersebut diperparah oleh
penurunan jumlah terumbu karang di berbagai kawasan laut Indonesia akibat
aktivitas pertambangan dan lalu lintas kapal pengangkut batu bara serta
berkurangnya jumlah ikan di lautan akibat penangkapan besar-besaran yang tidak
ramah lingkungan serta melampaui daya memperbaharuinya.
Beragam data di atas menyimpulkan bahwa perubahan iklim dengan
berbagai varian gejalanya mengindikasikan bahwa terjadi krisis lingkungan yang
dapat membahayakan keberlangsungan kehidupan. Fenomena-fenomena yang
langsung dapat dirasakan oleh manusia membuat manusia sadar akan adanya
kesalahan mendasar dalam memperlakukan alam. Berbagai macam pertemuan
antar negara diselenggarakan untuk membahas persoalan ini, diantaranya
Konferensi Stockholm 1972, KTT Bumi, hingga Paris Agreement.
Indonesia sendiri telah memiliki beberapa regulasi terkait perlindungan
lingkungan hidup, salah satunya adalah Undang-undang Nomor 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Menurut
Takdir Rahmadi, UUPLH mengadopsi asas-asas yang terkandung dalam
Deklarasi Rio 1992, yaitu asas-asas tanggung jawab negara, keterpaduan, kehati-
hatian, keadilan, pencemar pembayar, partisipatif, dan kearifan lokal.
Pengadopsian ini merupakan politik hukum yang penting karena dapat
memperkuat kepentingan pengelolaan lingkungan hidup manakala berhadapan
dengan kepentingan ekonomi jangka pendek.5
3
Tempo, 2019, Forest Watch Indonesia : 1.47 Juta Hektare Hutan Hilang Tiap Tahun, Diakses 11
Mei, 2020, https://bisnis.tempo.co/read/1259120/forest-watch-indonesia-147-juta-hektare-hutan-
hilang-tiap-tahun
4
https://bnpb.cloud/dibi/ , Diakses 11 Mei 2020
5
Andi Saputra, 2015, Membaca Pemikiran Takdir Rahmadi, Hakim Agung ‘Bernilai’ RP 366
Miliar, Diakses 11 Mei, 2020, https://m.detik.com/news/berita/d-3018876/membaca-pemikiran-
takdir-rahmadi-hakim-agung-bernilai-rp-366-miliar
Meski telah banyak konvensi-konvensi internasional mengenai lingkungan
hidup juga peraturan perundang-undangan dan kebijakan nasional tentang
lingkungan hidup yang terbentuk, aktivitas-aktivitas korporasi yang menyebabkan
kerusakan lingkungan masih saja terjadi hingga saat ini.
Metode Penelitian
Penelitian yang digunakan oleh penulis merupakan penelitian normatif
atau doktrinal yang merupakan penelitian yang mengkaji dokumen-dokumen
hukum baik hukum nasional maupun internasional, juga menggunakan data
pendukung lainnya berupa putusan pengadilan, pendapat para sarjana serta data
dan berita yang dirilis baik oleh media cetak maupun organisasi di bidang
lingkungan. Metode pengumpulan data yang digunakan melalui metode library
research (metode kepustakaan) dengan menguji dan menganalisis bahan dokumen
dan bahan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini.
Hasil
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas industrial berbasis
kapitalisme telah cukup masif terjadi di Indonesia. Contohnya adalah aktivitas PT.
Freeport yang beroperasi di Jayapura sejak penandatanganan kontrak oleh
Pemerintah Indonesia pada 1967 telah membawa kerusakan bahkan kepunahan
ekologis yang begitu luas seperti pencemaran sungai ajkwa (sungai yang
disakralkan oleh suku amungme) dengan membuang limbah tailing sebesar 1.3
milyar ton ke sungai tersebut yang menyebabkan tercemarnya ratusan ribu hektar
daratan dan jebolnya danau wanagon.6 Kasus lain yang juga tak kunjung selesai
adalah kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera dan Kalimantan. Dalam
laporan Majalah Tempo (edisi 23 september 2019), KLHK mencatat hutan dan
lahan gambut yang terbakar sepanjang tahun 2019 mencapai 328 ribu hektare.
Akibat dari kebakaran hutan tersebut, asap menyebar ke berbagai wilayah negara
tetangga yaitu Singapura, Malaysia dan Thailand. Selain dua kasus di atas, kasus
yang juga menyorot perhatian adalah semburan lumpur di Kecamatan Porong
6
Paharizal & Ismantoro, 2018, Freeport : Fakta-fakta yang disembunyikan, Jakarta, (Hal.140)
Kabupaten Sidoarjo yang diakibatkan aktivitas PT. Lapindo Brantas (anak
perusahaan Bakrie Group) yang melakukan kesalahan pengeboran minyak di
daerah tersebut telah menenggelamkan 7 desa dan menyebabkan ribuan warga
kehilangan tempat tinggal. Kasus kerusakan lingkungan diatas semuanya
disebabkan oleh aktivitas korporasi, dan hampir seluruh korporasi yang
bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan akibat aktivitas industrial
tersebut lepas dari jeratan hukum. Berbagai hal tersebut merupakan refleksi
mengenai lemahnya sistem perlindungan lingkungan hidup dan pemidanaan bagi
korporasi dalam sistem hukum Indonesia. Kerusakan Lingkungan yang masif dan
menyebabkan kematian dan bagi manusia dan makhluk hidup lainnya seperti yang
telah dijelaskan di atas, dalam paradigma hukum lingkungan internasional
kontemporer disebut sebagai ekosida7.
Konsepsi mengenai ekosida dapat ditelusuri bermula pada tahun 1933,
ketika Raphael Lemkin memperkenalkan istilah genosida yaitu penghancuran
massal terhadap kehidupan manusia, konteks dari konsep awal mengenai genosida
adalah masifnya kehancuran dan kematian yang diakibatkan oleh perang pada awal
abad 20, Lemkin kemudian memperkenalkan dua jenis genosida yaitu genosida
fisik atau pembunuhan langsung dan genosida kultural atau penghancuran sistem
kebudayaan dan peninggalan sejarah manusia, secara etimologis, dalam bahasa
latin genos berarti manusia dan cide berarti pembunuhan atau pemusnahan, maka
secara harfiah genosida berarti pembunuhan/pemusnahan manusia. Isitilah
genosida yang diperkenalkan oleh Lemkin kemudian diadopsi oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Convention on Prevention and Punishment on the
Crime of Genocide 1948, (Genocide Convention) konvensi yang kemudian
menjadi tonggak dalam hukum internasional sebagai upaya untuk mencegah
terjadinya perbuatan keji berupa pembunuhan massal, dalam perkembangannya
genosida pun dipandang sebagai jus cogens dalam hukum internasional.
Istilah ekosida atau ecocide pertama kali diperkenalkan oleh Arthur
Glaston pada tahun 1970 di Conference on War and National Responsibility di
Washington DC8. Penamaan yang dikemukakan oleh Arthur Glaston secara
7
Polly Higgins, et.al, 2013, The Ecocide Project ‘Ecocide is the Missing 5th Crime Against Peace’,
School of Advanced Study University of London
8
Polly Higgins et. al, op.cit, p. 4
etimologis pun mengadopsi istilah yang diperkenalkan oleh Lemkin tersebut, eco
dalam bahasa Latin diartikan sebagai lingkungan, maka terma ekosida secara
harfiah berarti pembunhan/pemusnahan lingkungan. Istilah tersebut diperkenalkan
setelah masifnya kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai dampak dari perang
khususnya perang di Vietnam dan perang di beberapa wilayah Afrika, dimana
dalam konsepsi Glaston, negara peserta perang lah yang dituntut untuk
bertanggung jawab terhadap kerusakan yang ditimbulkan tersebut, sehingga pada
awal perkembangannya ekosida dianggap sebagai dampak yang timbul akibat
perang yang berkelanjutan dan pertanggungjawaban atas kerusakan yang
ditimbulkan dilimpahkan kepada negara peserta perang. Pada era 1990-an
kemudian terjadi pergeseran konsep. Ekosida diyakini tidak lagi dilakukan oleh
angkatan bersenjata negara, melainkan oleh korporasi, baik itu korporasi
sebagai state actors maupun korporasi privat, ekosida juga tidak lagi dipandang
sebagai dampak dari peperangan, tetapi harus dipandang sebagai kejahatan yang
berdiri sendiri dan memiliki daya rusak yang sama dengan kejahatan perang dan
karena dampak mematikan yang dihasilkannya, maka ekosida pun
dipertimbangkan sebagai Pelanggaran HAM Berat (most serious crime).
Menggunakan paradigma tersebut, maka berbagai kerusakan lingkungan yang
terjadi di Indonesia sebagai akibat dari aktivitas korporasi pun dapat dikategorikan
sebagai ekosida.
10
Yearbook of International Law Comission 1987 vol. I, para. 38
11
Yearbook of International Law Comission 1991 vol. I, para. 32
12
Polly Higgins et. al, op.cit, p. 10
Dalam perkembangannya, meskipun telah dipertimbangkan sebagai salah
satu jenis kejahatan internasional oleh ILC, pada tahun 1998 ketika Statuta Roma
mengenai Mahkamah Pidana Internasional (pengadilan internasional pertama yang
memiliki yurisdiksi mengadili tindak pidana internasional dan bertujuan
mengakhiri impunitas) dibuat, ekosida tidak dimasukkan sebagai jenis pelanggaran
HAM yang dapat diadili oleh Mahkamah Pidana Internasional. Sehingga saat ini,
sama sekali belum ada perjanjian internasional yang secara khusus memberikan
definisi terhadap ekosida dan mekanisme pertanggungjawaban terhadap pelakunya.
Hingga kini upaya untuk mengkategorikan ekosida sebagai pelanggaran HAM dan
menjadi bagian dari yurisdiksi universal terus dilakukan, misalnya dengan
mengupayakan untuk mengintegrasikan ekosida ke dalam Statuta Roma dan
mengakuinya sebagai jenis kejahatan kelima yang menjadi yurisdiksi dari
Mahkamah Pidana Internasional untuk diadili.
Disamping ketiadaan instrumen hukum internasional tersebut, beberapa
negara telah memasukkan istilah ekosida ke dalam sistem hukumnya, negara-
negara tersebut antara lain Rusia, Ukraina dan Vietnam, namun meskipun negara-
negara ini telah menggunakan istilah ekosida dalam sistem hukumnya, belum ada
mekanisme hukum yang secara khusus mengatur pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku ekosida, bahkan pada beberapa negara ini juga tercatat angka
kerusakan lingkungan dan kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan yang masif.
13
M. Ridha Saleh, 2005, Ecocide : Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi
Manusia, Jakarta, (Hal 30)
pelaku tindak pidana atas lingkungan hidup tergolong tidak berat dan tidak seketat
pertanggungjawaban pidana pada tindak pidana luar biasa.
14
Laode M Syarif & Andri G. Wibisana, 2000, Hukum Lingkungan : Teori, Legislasi dan Studi
Kasus, Jakarta (Hal 530)
15
Ibid, (Hal 531)
Angka 32 yang menyatakan “Setiap orang adalah orang perseorangan atau
badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”.
Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum juga dapat ditemukan dalam Pasal
116 hingga 119 UUPPLH yang mengatur tentang sistem pertanggungjawaban
pidana korporasi.16 Pengaturan tersebut sangat penting mengingat ketentuan
umum (lex generalis) hukum pidana, baik materiil, maupun formil belum
mengakui pertanggungjawaban pidana korporasi.17 Meskipun belakangan juga
lahir beberapa regulasi terkait pemidanaan korporasi seperti Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA) No, 13 tahun 2016 sampai tulisan ini dibuat, kasus-kasus
perusakan lingkungan masih saja terjadi di berbagai daerah. Selama aktivitas
industri ekstraktif masih mendominasi percaturan ekonomi di Indonesia, segala
regulasi dan kebijakan yang diambil oleh pemerintah menjadi tidak berjalan
dalam tataran implementasinya. Hal ini kemudian memerlukan perubahan
paradigma hukum secara mendasar. Regulasi yang telah disusun dengan cukup
komprehensif tetapi kondisi permasalahan di lapangan tidak juga berkurang,
bahkan terancam bertambah dengan dibahasnya RUU Cipta Kerja merupakan
tanda bahwa ada yang keliru dalam paradigma hukum di negeri ini. Langkah
politik pemerintah terkesan pasif dalam menumpas kejahatan terhadap
lingkungan, bahkan ternilai melanggengkan dan mengamini praktek-praktek
perusakan lingkungan dengan menyediakan akses istimewa bagi para korporasi
lewat RUU Cipta Kerja.
16
Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPLH)
17
Laode & Wibisana, Op.Cit, (Hal 532)
hukum lingkungan Indonesia perlu memasukkan terma ekosida dan
mengkriminalisasi pelakunya.
Agar masyarakat umum sadar akan bahaya dari ekosida, langkah pertama
yang perlu dilakukan adalah memasukkan terma atau pengistilahan ekosida ke
dalam hukum lingkungan Indonesia, karena dalam konteks tertentu kesadaran
masyarakat akan bahaya dari suatu perbuatan akan terbangun jika perbuatan
tersebut dikriminalisasi atau digolongkan sebagai tindak pidana, sebagai contoh
sederhana mayoritas masyarakat Indonesia memandang penggunaan narkotika
sebagai perbuatan yang menyalahi norma, karena sistem hukum Indonesia
mengkriminalisasi baik pembuatan, penjualan maupun penggunaan narkotika.
Secara etimologis istilah ekosida memiliki akar kata yang sama dengan genosida
yang telah lebih dulu diatur pemidanaannya dalam Undang-Undang Nomor 26
tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Setelah dimasukkannya
istilah genosida ke dalam UU Nomor 26 tahun 2000 tersebut kesadaran
masyarakat akan bahaya genosida mulai terbangun, meskipun hingga kini belum
ada pelaku yang diadili karena genosida namun paling tidak masyarakat Indonesia
secara umum telah memandang genosida sebagai perbuatan yang keji. Dengan
memperkenalkan istilah ekosida ke dalam sistem hukum Indonesia, masyarakat
akan merelasikan isitilah tersebut dengan genosida – yang memang dipandang
sebagai perbuatan keji – sehingga konsepsi masyarakat akan bahaya dari ekosida
pun akan terbangun.
Selain itu, mengingat konsepsi pakar hukum lingkungan internasional
modern bahwa ekosida memiliki tingkatan yang sama dengan genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi, dimana Indonesia melalui UU
Nomor 26 tahun 2000 telah mengakui genosida dan kejahatan terhadap
kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat, maka dengan dimasukkan ke
ekosida ke dalam sistem hukum Indonesia, ekosida akan dipandang sebagai tindak
pidana yang setara dengan pelanggaran HAM berat. Hal ini pun akan bermuara
pada pertanggungjawaban pidananya yang akan menjadi lebih berat dan lebih
ketat. Dimasukkannya ekosida ke dalam sistem hukum Indonesia pemerintah juga
akan diberikan kewajiban secara hukum untuk mencegah ekosida dan mengadili
pelakunya. Selama konsepsi ekosida tidak mendapat tempat khusus di dalam
sistem hukum Indonesia maka penegakan hukum di bidang lingkungan akan
selalu tertatih-tatih dan korporasi akan menikmati impunitas.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa langkah yang dapat diambil
oleh Indonesia:
Membuat draft hukum terkait konsep ekosida dan memasukkannya ke dalam
Program Legislasi Nasional. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah
sebagai benteng dan tameng HAM harus serius menanggapi persoalan ini.
Menggunakan metode Omnibus Law untuk menghimpun semua PPU terkait
menjadi sebuah RUU tunggal bernama RUU Ekosida. Hal ini sebagai dalih
tandingan terhadap argumentasi pemerintah yang mengatakan menggunakan
metode omnibus agar terciptanya efisiensi dan harmonisasi dalam PPU demi
menciptakan iklim yang baik bagi investasi.
Melakukan amendemen konstitusi dengan memasukkan istilah ekosida
didalamnya. Hal ini akan menjadikan Indonesia contoh bagi negara-negara lain
terkait komitmen dalam melakukan perlindungan lingkungan hidup. Jika ekosida
telah tercantum secara eksplisit di dalam konstitusi, dapat menjadi indikasi
penegakan hukum yang lebih serius.
Membentuk Peradilan ad-hoc terkait Ekosida yang dasar hukumnya termaktub
dalam RUU Ekosida.
Penutup
Kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai belahan bumi telah
mencapai skala yang begitu massif dan sistematis. Hal ini disebabkan oleh
aktivitas industri ekstraktif dan eksploitatif. Perubahan iklim, krisis air bersih
hingga krisis pangan adalah konsekuensi yang harus diterima umat manusia akibat
kegiatan industrial yang ekstraktif tersebut. Lingkungan hidup perlu dimaknai
lebih adil lagi, tidak sekadar objek eksploitasi belaka tanpa memperhatikan daya
dukungnya. Harus tercipta sistem hukum yang menempatkan lingkungan hidup
sebagai prioritas diatas terma-terma ekonomi dan pembangunan. Perlu ada
pembaruan hukum yang menjadikan lingkungan hidup sebagai subjek dan
menciptakan mekanisme pemindanaan bagi para korporasi perusak lingkungan
yang seringkali menikmati Impunitas. Sistem hukum baik hukum nasional
maupun internasional perlu segera memasukkan konsep ekosida kedalam sistem
hukumnya. Lingkungan hidup harus mendapat tempat yang layak didalam sistem
hukum sehingga kejahatan apapun terhadap lingkungan akan dipandang sebagai
kejahatan luar biasa dan para pelaku akan dapat diadili secara serius. Begitupun
impunitas dari korporasi harus segara diakhiri demi keselamatan planet ini.
Daftar pustaka
https://bnpb.cloud/dibi/
Polly Higgins, et.al, 2013, The Ecocide Project ‘Ecocide is the Missing 5 th Crime
Against Peace’, School of Advanced Study University of London
Tempo, 2019, Forest Watch Indonesia : 1.47 Juta Hektare Hutan Hilang Tiap
Tahun, https://bisnis.tempo.co/read/1259120/forest-watch-indonesia-147-juta-
hektare-hutan-hilang-tiap-tahun
CURRICULUM VITAE