Oleh:
I Nengah Agus Tripayana (2106669)
Program Doktoral Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia
Isu pencegahan meluasnya kerusakan lingkungan, hampir tidak pernah absen menjadi
agenda utama yang dikampanyekan warga negara diseluruh penjuru dunia. Berbagai pendekatan
coba dilakukan guna mengurangi berbagai bentuk pengerusakan lingkungan, seperti: deforestasi,
pencemaran limbah beracun, emisi karbon, pencemaran air, limbah sampah plastik dan berbagai
bentuk pengerusakan lingkungan lain yang dilakukan manusia. Berbagai bentuk kerusakan
lingkungan tersebut terjadi hampir di semua negara, termasuk di Indonesia yang dikenal dunia
sebagai paru-paru dunia. Topik kerusakan lingkungan hidup di Indonesia mulai diperbincangkan
sejak diselenggarakannya seminar pengelolaan lingkungan hidup dan pembangunan nasional
oleh Universitas Pajajaran pada tanggal 15 sampai dengan 18 Mei 1972 (Aziz, 2011). Namun
demikian, meski sudah ada usaha pencegahan sejak Tahun 1972, kerusakan lingkungan masih
terus terjadi dan cenderung meningkat.
Menurut laporan Secretary General Executive Director UNEP Tahun 2014, total rata-rata
hutan yang hilang setiap tahunnya mencapai 13 juta hektar. Itu berarti kurang lebih 1 hektar
hutan yang dirusak setiap tiga detik. Data lain menunjukan sedikitnya 170 juta orang di pedesaan
di berbagai negara kekurangan akses air bersih untuk minum, masak, dan mencuci (Gerwith,
1979). Kwalitas udara juga mengalami ancaman yang sangat serius, penduduk di kota-kota
besar, seperti: Bangkok, Beijing, Mexico, dan Sao Paulo terpaksa tinggal dan hidup di udara
yang tidak cocok untuk bernafas (Hay, R. dan Gray, 1977). Di Indonesia sendiri, menurut
laporan National Geographic Indonesia, pada bulan Mei 2016, berdasarkan data Direktorat
Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup
(KLHK) tahun 2015, hampir 68% mutu air sungai di 33 Provinsi di Indonesia dalam status
tercemar berat. Sumber utama pencemar air sungai di Indonesia sebagian besar berasal dari
limbah domestik yakni rumah tangga (BPS, 2018).
Data lainnya disajikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang
mengembangkan Indeks Perilaku Peduli Lingkungan (IPPL) dalam laporan survei (2013)
disebutkan bahwa perilaku warga negara terhadap lingkungan masih kurang baik, yaitu 0.57 dari
total 1. Beberapa perilaku kurang peduli lingkungan, seperti: tidak memilah sampah (76.1%),
membakar sampah (38.2%), limbah air rumah tangga dibuang ke kumpulan air bersih seperti
sungai, kolam, rawa, laut (15.8%), serta tidak memanfaatkan air bekas cucian sayur/ buah/
daging/wudhu (75.7%). Di akhir laporan survei KLHK, disampaikan bahwa pengetahuan dan
sikap terhadap lingkungan berpengaruh terhadap perilaku terhadap lingkungan. Kondisi ini
diperburuk dengan temuan Badan Pusat Statistik yang menemukan fakta bahwa 72 persen
masyarakat Indonesia tidak perduli terhadap sampah pelastik (BPS, 2018).
Kelestarian lingkungan tidak hanya menjadi tugas pemerintah semata, namun juga
merupakan kewajiban bagi tiap-tiap warga negara. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya
sinergitas antara pemerintah dengan warga negara. Hal ini selaras dengan pandangan Asshiddiqie
(2009:39) yang menyatakan bahwa kondisi lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan
kewajiban dan tanggung jawab mutlak bagi setiap warga negara. Undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), Pada Pasal 70 dengan
jelas disebutkan bahwa masyarakat memiliki peran sentral untuk turut menjaga dan mengelola
lingkungan dengan sebaik-baiknya. Terutama di era revolusi industry 4.0, dimana konsumsi
energi terus meningkat, akan tetapi ketersediaannya semakin menipis (Lustig, R. J. 2003).
Pengelolaan yang bijaksana menuntut adanya pengetahuan yang cukup dari warga
negara tentang isu-isu lingkungan sebagai akibat yang timbul karena gangguan manusia
(Zoer’aini, 2012). Peningkatan kesadaran warga negara terkait lingkungan, bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran mayarakat tentang nilai-nilai
lingkungan dan isu permasalahan lingkungan yang pada akhirnya dapat menggerakkan warga
negara untuk berperan aktif dalam upaya pelestarian dan keselamatan lingkungan untuk
kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Pengelolaan yang bijaksana juga menuntut
kesadaran akan tanggung jawab manusia terhadap kelangsungan generasi mendatang (Soedjiran,
dkk, 1984).
Bertolak pada semua realitas diatas, dipandang perlu adanya penelitian lebih mendalam
mengenai pembentukan keadaban warga negara dalam menjaga lingkungan, melalui pendekatan
kewarganegaraan ekologi berbasis budaya atau ethnoecological citizenship. Hilmanto (2010)
menjelaskan etnoekologi merupakan suatu bidang keilmuan yang membahas mengenai
hubungan antara manusia, ruang hidup, dan aktifitas manusia di bumi. Berkowitz, & Brewer
menjelaskan kewarganegaraan lingkungan melibatkan pemberdayaan warga negara untuk
memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk mengidentifikasi nilai dan
tujuan mereka sehubungan dengan lingkungan dan bertindak sesuai, berdasarkan pengetahuan
terbaik tentang pilihan dan konsekuensi. Pendekatan pembentukan keadaban kewarganegaran
berbasis lingkungan telah banyak dilakukan, tapi belum banyak penelitian yang menggabungkan
pendekatan lingkungan berbasis budaya dalam meningkatkan keadaban kewarganegaraan.
Dalam kajian antara warga negara dan lingkungan alam dan budaya ini maka digunakanlah
Pendekatan etnoekologi (Etnoecological Approach).
Referensi
Buku
Ardika, I Wayan. 2003. Pariwisata Budaya Berkelanjutan, Refleksi dan Harapan di Tengah
Perkembangan Global. Program Studi Magister (S2) Kajian Pariwisata Program
Pascasarjana Universitas Udayana
Atmadja, N. B. (2010). Ajeg Bali; Gerakan Identitas Kultural, dan Globalisasi. Lkis
Atmadja, N. B. (2010). Ajeg Bali; Gerakan Identitas Kultural, dan Globalisasi. Lkis.
Siddharta, A. T. (2019). Bali fights for its beautiful beaches by rethinking waste, plastic trash.
Sudarwani, M.Maria. Iwan Priyoga. 2018. Kajian Pola Ruang dan Rumah Tradisional Desa
Penglipuran. Semarang: Universitas Pandanaran.
https://jurnal.uns.ac.id/Arsitektura/article/view/23864/17628
Sunarta, I Nyoman. 2015. Study on the Development of Water Crisis in Bali Island in 2009 and
2013. Jurnal Pariwisata Vol. 2 No. 2.
UNWTO. (2018). UNWTO Tourism Highlights. International Tourism Trends 2017. 1–20.
https://doi.org/https://doi. org/10.18111/9789284419876
Vania Zulfa, dkk. 2016. Isu-isu Kritis Lingkungan dan Persefektif Global. JGG- Jurnal Green
Growth dan Manajemen Lingkungan Vol.5 No.1
Weinberger, K. (2013). Home and community gardens in Southeast Asia: potential and
opportunities for contributing to nutrition-sensitive food systems. Food Sec., 5, hlm. 847–
856.
Weisband, E. (2009). The virtues of virtue: Social capital, network governance, and corporate
social responsibility. American Behavioral Scientist, 52 (6), hlm. 905-918.
Sudarmadi, S., dkk. (2001). A survey of perception, knowledge, awareness, and attitude in
regard to enviromental problems in a sample of two different social groups in Jakarta
Indonesia. Journal of Environment, Development and Sustainability, Kluwer Academic
Publishers, 3, 169-183.
https://jurnal.uns.ac.id/pknprogresif/article/view/34785/22803
https://lifestyle.okezone.com/read/2011/04/05/407/442657/majalah-time-sebut-bali-bak-neraka.
https://ppkl.menlhk.go.id/website/index.php?
q=1036&s=3d41b7fd29fc9b4ab18b63e1727b59b9eb5df1e2