Anda di halaman 1dari 16

Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia

Oleh

HELWAN KASRA

Dosen Kopertis Wilayah I Dpk Universitas Al-Azhar Medan

Abstract

This article intends to explain about the law enforcement in


Indonesia. According to the management of environmental law of Indonesia.
No.23 /1997, there are three instruments of the law enforcement of
ienvirontment, that is, administrative law, public law and private law. Although
the law enforcement of environment had been being done in Indonesia, but
today it is still less of the maximality result. So, it needs the society partipation
and through do the completion of regulation of environtment.

Key words : enforcement, law, and environtmental.

A. PENDAHULUAN

Lingkungan hidup sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa
kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam
segala aspek dan matranya sesuai dengan wawasan nusantara. Undang-
undang No. 23 Tahun 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup memberikan definisi lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup termasuk di dalamnya
manusia dan prilakunya yang mempengaruhi kelangsungan prikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lainnya. Jadi, manusia hanya salah
satu unsur dalam lingkungan hidup, tetapi prilakunya akan mempengaruhi
kelangsungan prikehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup
lain. Mahluk hidup yang lain termasuk binatang tidaklah merusak, mencemari
atau menguras lingkungan.

Saat ini selalu menjadi perdebatan antara perlunya pembangunan di satu


sisi dan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup di sisi yang lain.
Memang tanpa pembangunan kelangsungan hidup umat manusia akan
terganggu tapi kalau lingkungan hidup juga rusak maka akan lebih mengganggu
lagi bagi umat manusia. Sehingga yang penting sekarang ini adalah teruslah
untuk membangun tetapi tanpa harus merusak lingkungan. Pembangunan di
sini adalah pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan
harus diletakan sebagai kebutuhan dan aspirasi manusia kini dan masa depan.
Karena itu hak-hak asasi manusia seperti hak-hak ekonomi, sosial, budaya dan
hak atas pembangunan dapat membantu memperjelas arah dan orientasi
perumusan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Secara lebih konkrit
tidak bisa di sangkal bahwa hak manusia atas lingkungan hidup yang sehat dan
baik menjadi kebutuhan mendesak sebagai bagian dari hak asasi manusia. Hak
atas pembangunan tidak akan lepas dari ketentuan bahwa proses
pembangunan haruslah memajukan martabat manusia, dan tujuan
pembangunan adalah demi kemajuan yang terus menerus secara berkelanjutan
untuk mensejahterakan manusia secara adil dan merata. Dalam konteks
Indonesia, hakikat pembangunan menurut Emil Salim adalah pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat
Indonesia.

Pembangunan yang sedang dilakukan di banyak negara telah menghasilkan


berbagai kemajuan di berbagai bidang, baik di bidang teknologi, produksi,
manajemen, dan informasi yang kesemuannya ini telah meningkatkan kualitas
hidup manusia. Para perencana pembangunan, terutama para ekonomi negara,
dapat menunjukan data-data kuantitatif kemajuan tersebut, seperti tingkat
mortalitas bayi yang terus menurun, harapan hidup yang semakin tinggi,
meningkatnya jumlah produksi pangan dunia yang lebih cepat dari pertumbuhan
penduduk, dan pendapatan per kepala di beberapa negara di berbagai negara
yang telah meningkat dengan cepat.

Namun prestasi yang begitu tinggi tersebut telah diiringi tekanan-tekanan


yang amat dahsyat pada kemampuan daya dukung lingkungan hidup.
Pertumbuhan industri di banyak negara telah menimbulkan pencemaran dan
kerusakan lingkungan, baik di darat, air maupun udara yang mengakibatkan
timbulnya berbagai macam petaka lingkungan, sepeti hujan asam, suhu bumi
yang semakin panas akibat efek rumah kaca yang menimbulkan pemanasan
global, berbagai macam penyakit seperti sesak nafas, kanker, paru-paru,
penyakit kulit, dan lain-lain.

Untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan tersebut perlu di cari


jalan penyelesaiannya. Salah satunya perlu diusahakan agar hukum lingkungan
perlu diciptakan dan ditegakan. Menurut istilah bahasa pengertian hukum
lingkungan dalam bahasa asing adalah dalam bahasa Belanda (Milleurecht),
bahasa Inggris (Environmental Law), bahasa Jerman (Umweltrecht), bahasa
Prancis (Droit del ‘environment), bahasa Malaysia (Hukum Alam
Seputar/Sekeliling), bahasa Tagalog (batas nan Kapaligiran), bahasa Thailand
(Sin-ved-lom kwalahm), bahasa Arab (Qanun Al-Bi’ah). Pengertian hukum
lingkungan tidak hanya meliputi lingkungan fisik saja akan tetapi masalah
lingkungan berkaitan pula dengan gejala sosial, seperti pertumbuhan penduduk,
migrasi, dan tingkah laku sosial dalam memproduksi, mengkonsumsi dan
rekreasi. Menurut Danusaputro (1981:39) hukum lingkungan adalah hukum
yang mendasari penyelenggaraan perlindungan dan tata pengelolaan serta
peningkatan ketahanan lingkungan. Jadi tujuan diciptakannya hukum
lingkungan adalah agar lingkungan tetap terjaga walaupun terus di ekploitasi
oleh manusia dan hukum lingkungan itu tidak hanya meliputi lingkungan fisik
saja tetapi berkatan dengan hal-hal lainnya.

B. PEMBAHASAN

1. Perlunya Etika Lingkungan Dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Permasalahan lingkungan yang terjadi dewasa ini di dunia tidak lepas dari
peranan perkembangan teknologi yang sangat pesat. Di satu sisi hal ini
membantu umat manusia memperbaiki kualitas hidup tapi di sisi lain
penggunaan teknologi mempunyai implikasi kerusakan lingkungan dan
degradasi sumber daya alam (SDA). Menurut Sony Keraf (2002:13), tidak dapat
di sangkal bahwa berbagai kasus lingkungan hidup yang terjadi sekarang ini,
baik pada lingkup global maupun lingkup nasional, sebagian besar bersumber
dari prilaku manusia. Kasus-kasus pencemaran dan kerusakan, seperti di laut,
hutan, atmosfer, air, tanah dan seterusnya bersumber pada prlaku manusia
yang tidak bertangung jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri.
Manusia adalah penyebab utama dari kerusakan dan pencemaran lingkungan.

Berbicara mengenai etika lingkungan, merupakan refleksi dari kegalauan


yang timbul pada diri para ilmuan dan para praktisi yang terjun di bidang
lingkungan hidup terhadap terjadinya krisis lingkungan hidup dewasa ini. Sebab
tak bisa di sangkal bahwa saat ini lingkungan hidup semakin terancam dari
kepunahan akibat keserakahan manusia. Untuk mengatasi masalah tersebut
diperlukan suatu pendekatan yang bersifat penyadaran diri dalam bentuk prilaku
yang bermoral terhadap lingkungan hidup. Hal inilah yang menggelitik Sony
Keraf (2002:13) (Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup) untuk membuat
suatu pertanyaan. Mengapa kita perlu etika lingkungan hidup ? Apa perlunya
berbicara mengenai etika lingkungan hidup ? Apa relefansinya ? Apa
gunanya ? pertanyaan ini di jawab beliau terkait dengan tesis yang juga selama
ini beliau anut, bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah moral,
persoalan prilaku manusia. Lingkungan hidup bukan semata-mata persoalan
teknis. Demikian pula krisis ekonomi global yang kita alami dewasa ini,
merupakan persoalan moral, krisis moral secara global. Oleh karena itu, perlu
etika dan moralitas untuk mengatasinya.

Lebih lanjut menurut Supriadi (2005:25) ada tiga teori etika lingkungan yang
di kenal selama ini, yaitu teori Shallow Environmental Ethiccs
(Antroposentrisme), Intermediate Environmental Ethics (Biosentrisme),
dan Deep Environmental Ethics (Ekosentrisme). Antroposentrisme menganggap
bahwa hanya manusia yang mempunyai nilai sehingga manusia di anggap
segala-galanya, alam hanya objek dari manusia. Teori Biosentrisme
mengajarkan selain manusia alam juga mempunyai nilai pada dirinya sendiri
lepas dari kepentingan manusia sehingga alam perlu dihargai. Sedangkan teori
Ekosentrisme merupakan lanjutan dari etika lingkungan biosentrisme yang di
perluas mencakup seluruh komunitas ekologis seluruhnya.

2. Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia

Menurut Hamzah (2005:48) penegakan hukum disebut dalam bahasa


Inggris law enforcement, bahasa Belanda rechtshandhaving. Istilah penegakan
hukum dalam bahasa Indonesia membawa kita pada pemikiran bahwa
penegakan hukum selalu dengan “force” sehingga ada yang berpendapat,
bahwa penegakan hukum hanya bersangkutan dengan hukum pidana saja.
Pikiran seperti ini di perkuat dengan kebiasaan kita menyebut penegak hukum
itu polisi, jaksa dan hakim. Tidak di sebut pejabat administrasi yang sebenarnya
juga menegakan hukum. Andai kata istilah asing tersebut di salin menjadi
“penanganan hukum” tentu lebih dengan arti cakupan penegakan hukum yang
luas.

Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktifitas kehidupan” yang


dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan
evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi
antara berbagai prilaku manusia yang mewakili kepentingan-kepentingan yang
berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu,
penegakan hukum tidak dapat semata-mata di anggap sebagai proses
menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses
penegakan hukum mempunyai demensi yang lebih luas dari pada pendapat
tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi prilaku
manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa
problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in
action” bukan pada “law in the books”.
Adapun tujuan penegakan hukum lingkungan menurut Santoso (2001:234)
adalah penataan (complance) terhadap nilai-nilai perlindungan daya dukung
ekosistem dan fungsi lingkungan hidup yang pada umumnya diformalkan ke
dalam peraturan perundang-undangan, termasuk ketentuan yang mengatur
baku mutu limbah atau emisi. Nilai-nilai perlindungan daya dukung lingkungan
ekosistem dan fungsi lingkungan hidup tidak selamanya terwujud dalam bentuk
peraturan perundang-undangan sebagai binding principles atau binding norms.
Tidak sedikit nilai-nilai tersebut hanya berwujud peinsip-prinsip (nonbinding
principles) yang terdapat pada sebuah deklarasi internasional (soft law) seperti
halnya prinsip kehati-hatian (precautionary principles) yang terdapat dalam
Deklarasi Rio (prinsip ke-15). Pelaksanaan secara efektif prinsip (nonbinding
principles) secara ideal harus didahului dengan penerjemahannya ke dalam
norma-norma operasional yang bersifat binding. Namun upaya penerjemahan
prinsip-prinsip non binding tersebut tidak selamanya mudah. Oleh karenanya,
pengendalian diharapkan mampu untuk secara proaktif menerjemahkan atau
menafsirkan prinsip-prinsip tersebut kedalam putusan pengadilan.
Saat ini penegakan hukum lingkungan di Indonesia begitu suram. Batapa
banyak kerusakan lingkungan yang terjadi dengan jumlah penjahat lingkungan
yang semakin merajalela tetapi tindakan hukum terhadap mereka tidak
dilakukan. Sebenarnya hal ini tidak harus terjadi kalau hukum lingkungan benar-
benar ditegakan. Mewujudkan supremasi hukum melalui upaya penegakan
hukum serta konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya
pembangunan, baik di bidang ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan
keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum
tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat
benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan
pembangunan nasional.
Menurut Daud Silalahi (2001:205) program penegakan hukum lingkungan
nasional mencakup:
a. Pengembangan sistem penegakan hukum.
b. Penentuan, kasus-kasus prioritas yang perlu diselesaikan secara hukum.
c. Peningkatan kemampuan aparat penegak hukum
d. Peninjauan kembali undang-undang ganggunan.

Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang


Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum di bidang lingkungan hidup
dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :

1. Penegakan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi /


Tata Usaha Negara.
2. Penegakan hukum lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.

3. Penegakan hukum ingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.

Undang-undang tersebut sifatnya pokok sehingga di kenal sebagai


ketentuan hukum yang memayungi ketentuan hukum lain yang mengatur
masalah lingkungan. Dengan demikian undang-undang tersebut menjadi
landasan untuk menilai dan menyesuaikan ketentuan hukum lain yang
mengatur masalah lingkungan hidup yang sudah ada atau yang akan diadakan.

Penegakan hukum lingkungan dapat dilakukan melalui instrument hukum


administrasi negara, hukum perdata dan hukum pidana. Penyelesaian masalah
lingkungan hidup melalui instrumen hukum admisnistrasi bertujuan agar
perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi
persyaratan, berhenti atau mengembalikan kepada keadaan semula (sebelum
ada pelanggaran). Oleh karena itu, fokus dari sanksi administratif adalah
perbuatannya, sedangkan sanksi dari hukum pidana adalah orangnya (dader,
offender),. Selain itu, sanksi hukum pidana tidak hanya ditujukan kepada
pembuat, tetapi juga kepada mereka yang potensial menjadi pembuat
(pelanggar).

Paling tidak terdapat 4 (empat) peraturan perundang-undangan yang dapat


dijadikan dasar penegakan hukum administrasi, yaitu :

a. Hinder Ordonantie (S. 1926-226)

b. UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

c. PP Nomor 20 Tahun 1990 Tentang Pengendalian Pencemaran Air Jo. PP No.


82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran air.

d. PP No. 19 Tahun 1994 jo. PP No.12 Tahun 1995 Tentang Pengelolaan limbah
B-3, sebagaimana telah diubah dengan PP No. 18 Tahun 1999 dan PP No. 85
Tahun 1999.

Hamzah (2005:83) menyatakan dalam konsep hukum administrasi, terdapat


4 (empat) sanksi hukum administrasi yang terdiri atas, paksaan administratif
(Bestuursdwang), penutupan perusahaan, larangan memakai alat tertentu, uang
paksaan (dwangsom), dan penarikan ijin. Paksaan administratif sebagimana
yang tersebut dalam Pasal 25 ayat (1) UULH menyatakan bahwa
Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintah
terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan
mengakhiri terjadinya pelangggaran serta menanggulangi akibat yang
ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan,
penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.
Sebenarnya sebelum diadakan paksaan pemerintah, “pemeliharaan hukum”
dapat berupa larangan untuk meneruskan suatu kegiatan. Pelanggar dapat
diingatkan agar berbuat sesuai dengan ijin dan apabila tidak, akan dikenakan
saksi administratif lain yang lebih keras seperti uang paksa (dwangsom) dan
yang paling keras adalah pencabutan ijin usaha.

Sanksi administratif lain adalah penutupan usaha. Dalam UUPLH tidak


dimasukan pengertian penutupan usaha tetapi dalam Ordonansi Gangguan
dalam Pasal 14 ditentukan tentang sanksi administratif berupa penutupan
tempat kerja dengan jalan menyegel mesin-mesin, perkakas dan alat penolong
yang digunakan untuk itu. Lengkapnya Pasal 14 itu berbunyi (tejemahan)
sebagai berikut : Jika ada tempat kerja sebagaimana tersebut dalam Pasal 1
yang didirikan tanpa surat ijin dari pejabat yang berwenang memberikan ijin itu,
atau yang terus bekerja setelah ijinnya di cabut menurut ketentuan dalam Pasal
8 atau Pasal 12 atau pun tetap bekerja atau dijalankan tanpa ijin baru
sebagaimana tersebut dalam Pasal 9, atau berlawanan dengan suatu peraturan
sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 atau 3 maka pejabat yang tersebut pada
wal pasal ini berwenang untuk mencegah hal itu, menutup tempat keja itu,
menyegel mesin-mesin, perkakas-perkakas dan alat penolong yang digunakan
untuk itu atau mengambil yang lain supaya benda-benda itu tidak di pakai lagi.

Adapun sanksi administratif berupa uang paksa (dwangsom) tidak


dimasukan sebagai sanksi administratif tetapi menjadi sanksi perdata. Jadi,
masih perlu diperkenalkan dalam undang-undang sektoral yang mengatur
lingkungan.

Tentang penarikan ijin perusahaan, dalam UUPLH tidak begitu jelas di atur,
namun demikian dalam Hider Ordonantie hal ini secara jelas di atur dalam Pasal
8 ayat (3), disebutkan jika pekerjaan itu tidak selesai atau tidak dijalankan dalam
waktu yang ditentukan, maka ijin itu di cabut oleh pejabat yang memberikan,
kecuali jika memandang ada alasan untuk memperpanjang jangka waktu
tersebut dengan jangka waktu yang baru. Jangka waktu ijin memulai
pembangunan sampai selesai dan tanggal berapa mulai dikerjakan (ayat (2)).
Jadi jelasnya menurut Santosa (2001:282) terdapat 10 (sepuluh) mekanisme
penegakan hukum lingkungan administratif, yakni :

a. Permohonan ijin (ijin lingkungan atau ijin yang berkitan dengan lingkungan)
harus disertai informasi lingkungan sebagai alat pengambilan keputusan studi
AMDAL; Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), atau informasi-
informasi lingkungan lainnya.

b. Konsultasi publik dalam rangka mengundang berbagai masukan dari


masyarakat sebelum ijin diterbitkan.

c. Keberadaan mekanisme pengolahan masukan publik untuk mencegah


konsultasi publik yang bersifat token (basa-basi).

d. Atas dasar informasi-informasi yang disampaikan dan masukan publik ,


pengambilan keputusan berdasarkan kelayakan lingkungan, di samping
kelayakan dari sudut teknis dan ekonomis dilakukan. Ijin kemudian harus
mencantumkan persyaratan-persayaratan pencegahan dan penanggulangan
dampak lingkungan yang bersifat terukur, realistis dan mudah dipahami oleh
pemegang ijin maupun publik.

e. Apabila ijin telah dikeluarkan maka ijin di maksud harus diumumkan dan bersifat
terbuka untuk umum.

f. Laporan status penataan yang di buat secara berkala oleh pemegang ijin dan
disampaikan kepada regulator (pengawas utama).

g. Mekanisme inspeksi lapangan secara berkala dan impromptu sesuai dengan


kebutuhan (inspeksi ini dapat menggunakan informasi yang di dapat dari
laporan nomor 6).

h. Tersedianya hak dan kewajiban pengawas/inspektur, dan hak serta kewajiabn


objek yang di awasi, yang di jamin oleh undang-undang.

i. Pemberlakuan sanksi administrasi yang diberlakukan secara sistematis dan


berharap (dari mulai yang bersifat ringan, menengah sampai dengan berat).

j. Mekanisme koordinasi antar pejabat yang bertanggungjawab di bidang


penegakan hukum administrasi dengan penyidik pidana apabila pelanggaran
telah memenuhi unsur-unsur pidana.
Penegakan hukum dapat juga melalui jalur hukum perdata. Jalur hukum
perdata di Indonesia kurang disenangi oleh orang karena berlarut-larutnya
proses perdata di pengadilan. Hampir semua kasus perdata akhirnya di lempar
pula ke pengadilan tertinggi untuk kasasi karena selalu tidak puasnya para
pihak yang kalah. Bahkan ada kecendrungan orang sengaja mengulur waktu
dengan selalu mempergunakan upaya hukum, bahkan walaupun kurang
beralasan biasanya dilanjutkan pula ke peninjauan kembali. Sesudah ada
putusan kasasi pun putusan itu masih juga sering sulit untuk dilaksanakan.

Lebih lanjut menurut Santosa (2001:296), instrumen hukum perdata


digunakan untuk menentukan seseorang atau badan hukum bertanggungjawab
terhadap kerugian yang diakibatkan oleh pencemaran atau pengrusakan
lingkungan, penggugat di tuntut membuktikan adanya pencemaran, serta kaitan
antara pencemaran dan kerugian yang di derita. Pembuktian dalam kasus
lingkungan, khususnya delik, karena kasus-kasus pencemaran sering kali
ditandai oleh sifat-sifat khasnya, antara lain :

a. Penyebab tidak selalu dari sumber tunggal, akan tetapi berasal dari berbagai
sumber (multisources).

b. Melibatkan disiplin-disiplin ilmu lainnya serta menuntut keterlibatan pakar-pakar


di luar hukum sebagai saksi.

c. Sering kali akibat yang di derita tidak timbul seketika, akan tetapi selang
beberapa lama kemudian (long period of latency).

Dalam kaitannya penyelesaian secara perdata dalam hukum lingkungan


dijelaskan dalam Pasal 34 dan 35 UU No.23 Tahun 1997. Apabila terjadi
kerusakan atau pencemaran lingkungan hidup, maka yang berpihak sebagai
penggugat adalah masyarakat sedang pihak yang tergugat adalah pengusaha.
Untuk menyelesaikan sengketa akan di bentuk Tim yang tediri dari pihak
masyarakat (penderita) atau kuasanya, pihak pengusaha/pencemar atau
kuasanya dan jika diperlukan akan di angkat tenaga ahli untuk menjadi anggota
Tim, serta unsur dari pihak pemerintah yang di tunjuk untuk itu.

Dalam masalah ganti rugi, untuk menentukan siapa yang telah melakukan
perbuatan melawan hukum, menurut ketentuan hukum perdata, yakni Pasal
1243 dan Pasal 1365 KUH Perdata di atur asas liability based on fault. Pasal
1243 berisi “penggantian biaya, rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu
perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila si terutang telah dinyatakan lalai
memenuhi perikatan, tetap melalaikannya, atau jika suatu yang harus diberikan
atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau di buat dalam tenggang waktu yang
telah dilampauinya”. Pasal 1365 berisi “tiap perbuatan melanggar hukum yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

Dalam pasal tersebut, unsur kesalahan bersifat menentukan


pertanggungjawaban, yang berarti bila tidak terbukti adanya kesalahan tidak
ada kewajiban untuk memberi ganti rugi. Kaitannya dengan pembuktian
menurut Pasal 1865 disebutkan bahwa “barang siapa mengajukan peristiwa
atas nama ia mendasarkan sesuatu hak, diwajibkan membuktikan peristiwa-
peristiwa itu, sebaliknya barang siapa mengajukan peristiwa-peristiwa guna
membantah hak orang lain, diwajibkan untuk membuktikan peristiwa-peristiwa
itu”.

Azas tersebut dinilai akan memberatkan pihak yang melakukan gugatan,


karena untuk melakukan tuntutan ganti rugi pihak penggugat harus bisa
membuktikan unsur kesalahan pada pihak tergugat.

Hubungannya dengan perkembangan industri yang menimbulkan resiko


yang semakin tinggi terhadap perubahan lingkungan, maka ketentuan asas
tersebut tidak akan efektif apabila tetap diterapkan. Karena itu menurut
ketentuan UU No.23 Tahun 1997 ditetapkan asas yang di kenal dengan
tanggung jawab mutlak (strict liability), yaitu beban pembuktian diserahkan pada
pihak tergugat untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Menurut Koesnadi
(1986:336), James E. Krier menjelaskan asas tanggung jawab mutlak dapat
merupakan bantuan yang sangat besar dalam peradilan mengenai kasus-kasus
lingkungan. Karena banyak kegiatan yang menutut pengalaman menimbulkan
kerugian terhadap lingkungan merupakan tindakan yang berbahaya, untuk
mana dapat diberlakukan ketentuan tanggung jawab tanpa kesalahan. Dengan
adanya pembalikan beban pembuktian, maka masalah beban pembuktian tidak
akan menjadi halangan bagi masyarakat atau pun pencinta lingkungan untuk
berperkara di pengadilan sebagai penggugat karena hal itu sudah menjadi
tanggung jawab tergugat untuk membuktikan bahwa kegiatan-kegiatannya yang
mengandung resiko tidak mempunyai akibat yang berbahaya terhadap
lingkungan hidup disekitarnya.

Dalam penegakan hukum lingkungan melalui instrumen hukum pidana


sekarang ini masih sangat lemah. Hal ini disebabkan kompleknya aspek yang
muncul dalam proses penegakan hukum lingkungan. Dalam hal ini persoalan
utama tidak disebabkan faktor bukti semata, tetapi lebih banyak dipengaruhi
oleh faktor lain di luar lingkungan yaitu faktor politik, sosial dan ekonomi.
Penanganan pencemaran menjadi problem pelik dalam upaya penanganan
lintas sektoral.

Penerapan hukum pidana lingkungan tetap dikaitkan dengan perbuatan


pidana seseorang atau badan hukum. Penegakan hukum pidana lingkungan
yang terdapat dalam UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan tentang keberadaan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) lingkungan yang memiliki kewenangan
melakukan penyelidikan dan penyidikan, pengaturan general crimes yang
bersifat delik materil dan specific crimes yang bersifat delik formil, serta
pengaturan lebih rinci tentang tindak pidana korporasi dan pertangungjawaban
unsur pimpinan dalam korporasi (corporate crime and corporate criminal liability)

Menurut Muladi dalam Absori (2001:50) di dalam skala nsional, secara


yuridis persoalan kejahatan lingkungan dikatagorikan sebagai tindak pidana
administratif atau tindak pidana yang menggangu kesejahteraan masyarakat.
Tindak pidana tersebut telah di atur dalam undang-undang lingkungan hidup.
Asas-asas tindak pidana lingkungan hidup meliputi:

a. Asas legalitas (Principle Legality).

Dalam asas tersebut terkandung kapasitas hukum dan kejelasan serta


ketajaman dalam merumuskan peraturan hukum pidana, khususnya sepanjang
berkaitan dengan definition of crime against the environtment dan sanksi yang
perlu dijatuhkan agar si pelaku mentaati normanya. Hal ini terkait dengan
akurasi proses kriminalisasi dengan segala persyaratannya. Syarat-syarat
tersebut antara lain adanya korban/kerugian yang jelas dan
sifat enforceable dari perumusan tersebut.

b. Asas pembangunan berkelanjutan (the Principle of sustainable Development)

Asas tersebut menegaskan bahwa pembangunan ekonomi jangan sampai


mengorbankan hak generasi yang akan datang untuk menikmati lingkungan
hidup yang sehat.

c. Asas pencegahan (the Precautionary Principle)

Asas tersebut menegaskan bahwa apabila terjadi kerusakan yang serius


dan irreversible, maka kekurang sempurnaan kepastian ilmiah hendaknya
jangan dijadikan alasan untuk menunda cost effective measures dalam rangka
mencegah terjadinya degradasi lingkungan hidup.
d. Asas pengendalian (the Principles of Restraint)

Menyatakan bahwa sanksi pidana hendaknya barulah dimanfaatkan apabila


sanksi-sanksi perdata dan administrasi serta saran-saran lain, ternyata tidak
tepat dan tidak efektif untuk menangani tindak pidana lingkungan tertentu.
Dalam hukum pidana di kenal asas ultima ratio principle atau asas ultimatum
remindum.

Penyelesain masalah perusakan atau pencemaran lingkungan hidup melalui


hukum pidana dapat dilakukan melaui beberapa tahap yakni tahap penyelidikan,
penyidikan sampai pada pengadilan dan pemidanaan.

3. Permasalahan Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia

Berbagai kasus penyelesaian sengketa lingkungan hidup dari pertama kali


diundangkan undang-undang lingkungan hidup hingga kini belum menunjukan
hasil yang mengembirakan. Beberapa faktor yang menjadi kendala penegakan
hukum lingkungan di Indonesia menurut Koesnadi dalam Absori (2001:66)
adalah :

a. Pemasyarakatan peraturan perundang-undangan yang berkitan dengan


lingkungan hidup kurang memadai sehingga selama ini masyarakat kurang
mengetahui hak dan kewajibannya.

b. Aparat penegak hukum, yaitu meliputi, pertama, pejabat yang berwenang


memberi ijin, kedua, polisi, ketiga, jaksa, keempat, hakim, kelima,
pengacara/konsultan hukum kurang tanggap terhadap hukum lingkungan.

c. Beberapa ketentuan undang-undang lingkungan hidup, terutama yang berkaitan


dengan penegakan hukum kurang ada penjabaran secara luas.

Menurut penelitian Arifin (2004:196) banyak gugatan lingkungan hidup yang


tidak dapat diselesaikan dikarenakan faktor peraturan perundang-undangan
yang masih bermasalah, sumber daya manusia dari aparat hukum yang masih
sangat terbatas dan juga faktor dari masyarakat.

Selanjutnya menurut penelitian beliau hambatan yang di hadapi adalah


antara lain:

a. Hambatan Yuridis

Materi bidang lingkungan hidup sangat luas, mencakup segi-segi dari ruang
angkasa sampai ke perut bumi dan dasar laut, dan meliputi sumber daya
manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam non hayati dan sumber
daya buatan, materi seperti ini tidak mungkin di atur secara lengkap dalam
undang-undang, tetapi memerlukan seperangkat peraturan perundang-
undangan dengan arah dan cirri-ciri yang serupa.

b. Hambatan Psikologis dan Sosiologis

1. Masih dirasakan sangat kurang pengetahuan dan kepedulian masyarakat


tentang lingkungan hidup.

2. Kesadaran masyarakat masih sangat kurang untuk melaporkan kepada


aparat hukum apabila terjadi pengrusakan atau pencemaran lingkungan.

3. Masarakat cenderung melakukan unjuk rasa bila terjadi permasalahan


lingkungan hidup bukan melalui jalur hukum.

c. Hambatan Praktis

Dalam penerapan hukum lingkungan, penyidik mengalami hambatan sebagai


berikut :

1. Kurangnya sarana yang mendukung pembuktian dalam penyidikan kasus


lingkungan hidup.

2. Kurangnya koordinasi antara para penegak hukum.

3. Pengambilan sampel pencemaran untuk dijadikan barang bukti sangat rumit.

4. Adanya anggapan bahwa laboratorium forensik belum mempunyai sarana


untuk menyelidiki sampel pencemaran.

Menurut Stepen Trudgill dalam Absori (2004:227), faktor penghambat


terakhir dalam mengatasi masalah lingkungan adalah faktor politik, setelah
faktor hambatan sosial, ekonomi, teknologi, pengetahuan dan kesepakatan.
Faktor kesepakatan berkisar pada ketidaksepahaman dalam masalah benar-
benar ada dan seberapa pentingnya masalah tersebut bagi para pihak, bahkan
ketika kasus tersebut telah disepakati sebagai masalah yang harus
dipecahkan, consensus tentang cakupan dan cara-cara pencapaian
penyelesaian serta tujuan akhir yang harus di capai.

4. Peran Masyarakat Dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Dalam penegakan hukum lingkungan haruslah dilakukan oleh segenap pihak


yang terkait dengan lingkungan hidup tersebut. Mebicarakan peran serta
masyarakat dalam berbagai bentuk, akan terkait dengan tradisi masyarakat
(budaya) setempat, pemahaman norma/aturan dan kondisi sosio politik. Dalam
pengelolaan lingkungan hidup, peran serta masyarakat dapat dilakukan dalam
berbagai bentuk, baik dalam tingkat pengambilan keputusan, pelaksanaan
program-program dan pembelaan atau advokasi lingkungan hidup, yang
dilakukan di pengadilan atau di luar pengadilan.

Pentingnya peran serta masyarakat menurut Absori (2004:197) dapat


dikemukakan sebagai berikut:

a. Memberikan informasi kepada pemerintah. Peran serta masyarakat sangat


diperlukan untuk memberi masukan kepada pemerintah tentang yang dapat
ditimbulkan oleh suatu rencana tindakan pemerintah dengan berbagai
konsekwensinya.Dengan demikian pemerintah akan mengetahui adanya
berbagai kepentingan yang dapat terkena tindakan tersebut yang perlu
diperhatikan secara sungguh-sunguh.

b. Meningkatkan kesedian masyarakat untuk menerima keputusan. Seseorang


warga masyarakat yang telah memperoleh kesempatan untuk berperan serta
dalam proses pengambilan keputusan dan tidak dihadapkan pada suatu
masalah fait accompli, akan cenderung untuk memperlihatkan kemauan dan
kesediaan yang lebih besar guna menerima dan menyesuaikan diri dengan
keputusan yang telah di ambil tersebut.

c. Membantu perlindungan hukum. Apabila sebuah keputusan akhir di ambil


dengan memperhatikan keberatan-keberatan yang diajukan oleh masyarakat
selama proses pengambilan keputusan berlangsung maka dalam banyak hal
tidak akan ada keperluan untuk mengajukan perkara ke pengadilan.

d. Mendemokrasikan pengambilan keputusan.

C. PENUTUP

1. Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan yang benar


adalah pembangun yang berkelanjutan sehingga lingkungan dapat
dimanfaatkan oleh manusia tanpa merusak lingkungan tersebut. Dalam bidang
penegakan hukumnya harus disadari benar bahwa upaya penegakan hukum
termasuk penegakan hukum lingkungan tidaklah semudah membalikan telapak
tangan.
Untuk mewujudkan penegakan hukum lingkungan perlu diadakan
pembinaan aparat penegak hukum yang akan melakukan penegakan hukum
lingkungan tidak hanya didasarkan pada peningkatan kemampuan dengan
menggunakan IQ dan EQ tetapi sudah mulai di asah dengan menggunakan SQ
sebagai, crestive, insightful, rul-making, rule breaking thiking. Dalam hal ini
hukum progresif yang visioner dan membebaskan sudah barang tentu berpihak
kepada SQ dalam menjalankan hukum.

Selain itu masyarakat juga harus meningkatkan kesadarannya tentang


pentingnya lingkungan hidup. Masyarakat hendaknya berperan serata dalam
penegakan hukum lingkungan. Perannya dapat dilakukan dengan melaporkan
permasalahan lingkungan hidup kepada aparat penegak hukum agar
ditindaklanjuti.

2. Saran

Dari segi peraturan perundang-undangan hendaknya terus disempurnakan.


Dalam UUPLH masih terdapat kekurangan dan kelemahan sehingga masih
menjadi hambatan dalam penegakan hukum lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

Absori, Deklarasi Pembangunan Berkelanjutan Dan Implikasinya Di


Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 9 No.1 Tahun 2005.

Absori, Penegakan Hukum Lingkungan dan Antisispasi Dalam Era


Perdagangan Bebas, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 2001.

Absori, Penegakan Hukum Lingkungan Di Era Reformasi, Jurnal Ilmu Hukum,


Vol 8 No.2, 2005.

Absori, Peran Serta Masyarakat Dalam Penegakan AMDAL, Jurnal


Yurisprudence, Vol.1,No.2, 2004.

Arifin, Syamsul. Upaya Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Mewujudkan


Pembangunan Berwawasan Lingkungan Di Sumatera Utara., Pustaka
Media Bangsa, Medan, 2004.

Danusaputro, St. Munadjat. Hukum Lingkungan, Buku I: Umum, Bina Cipta,


Bandung 1981.

Fakrullah, Zudan Arif. Penegakan Hukum Sebagai Peluang Menciptakan


Keadilan, Jurnal Jurisprudence Vol. 2 No. 1, 2005.
Hamzah, Andi. Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2005..

Hardjosoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University


Press, Yogyakarta, 1986.

Kementerian Lingkungan Hidup, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan


Lingkungan Hidup, Jakarta, 2004.

Keraf, Sony. Etika Lingkungan, Kompas, Jakarta, 2002.

Mutiari, Yunial Liaili. Penegakan Hukum Lingkungan : Sanksi Administratif


Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Jurnal Simbur Cahaya, No.27 Tahun X, 2005.

Santoso, Mas Ahmad. Good Governace, ICEL, Jakarta, 2001.

Silalahi, Daud. Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum


lingkungan Indonesia, Bandung, 2001.

Sunarso, Siswanto. Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi


Penyelesaian Sengketa, Rineka Cipta, Jakarta, 2005,

Supriadi, Hukum Lingkungan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.


Share this:

Anda mungkin juga menyukai