LINGKUNGAN DI INDONESIA
JURNAL
Oleh:
ALMIRA SAHFIRI (201610110311223)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
ABSTRAK
Lingkungan hidup adalah bagian mutlak yang tidak dapat terlepas dari
kehidupan manusia. Kerusakan lingkungan hidup khususnya di Indonesia semakin
hari kian parah. Kondisi tersebut secara langsung telah mengancam kehidupan
manusia. Tingkat kerusakan alam pun meningkatkan risiko bencana alam.
Kerusakan ini umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia yang tidak ramah
lingkungan seperti perusakan hutan dan alih fungsi hutan, pertambangan,
pencemaran udara, air, dan tanah dan lain sebagainya. Oleh karena itu harus ada
hukum yang dapat mengatur masyarakat agar tidak merusak lingkungan. Di
Indonesia saat ini, aturan tersebut di atur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang
mengandung instrument hukum administrasi, perdata, dan pidana. Oleh karena
lambatnya penanganan kasus lingkungan di bidang pidana, maka penulis tertarik
untuk menganalisis peran hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan di
Indonesia.
Metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian
yang menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemecahan
permasalahan yang dikemukakan. Data yang dipergunakan adalah data primer dan
sekunder. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian ke pustakaan (Library Research). Sedangkan analisis data yang
digunakan adalah analisis kualitatif, yaitu dengan menguraikan data secara
bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih,
dan efektif, sehingga memudahkan interpretasi data dan analisis.
Hasil penelitian sebagai jawaban atas permasalahn di atas yakni, hukum
lingkungan termasuk ke dalam hukum publik. Penegakan hukum lingkungan
kepidanaan dimulai dari penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh POLRI
dan dibantu oleh Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup, kemudian ke
Kejaksaan dan selanjutnya ke pengadilan untuk diputus oleh hakim. peran hukum
pidana dalam penegakan hukum lingkungan yaitu sebagai ultimum remedium dan
juga sebagai primum remedium.
1
M. Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, ( Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 2.
Masalah lingkungan hidup semakin lama semakin besar, meluas, dan serius.
Ibarat bola salju yang menggelinding, semakin lama semakin besar. Persoalannya
bukan hanya bersifat lokal atau translokal, tetapi regional, nasional, trans-nasional,
dan global. Dampak-dampak yamg terjadi terhadap lingkungan tidak hanya terkait
pada satu atau dua segi saja, tetapi kait mengait sesuai dengan sifat lingkungan
yang memiliki multi mata rantai relasi yang saling mempengaruhi secara
subsistem. Apabila satu aspek dari lingkungan terkena masalah, maka berbagai
aspek lainnya akan mengalami dampak atau akibat pula.2
Pasal 28 H ayat (1) berbunyi , “setiap orang berhak hidup sejahterah lahir dan
batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Sementara itu, Pasal 33 ayat (4)
berbunyi, “ Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisien-berkeadilan, berkelanjutan
berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan
kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dengan diangkatnya persoalan hak atas
lingkungan sebagai hak asasi manusia yang dijamin oleh Pasal 28 H ayat (1), dan
dengan diadopsikannya prinsip “pembangunan berkelanjutan” dan “berwawasan
lingkungan” ke dalam ketentuan Pasal 33 ayat (4), sudah tergambar bahwa Negara
Republik Indonesia menyadari pentingnya menjaga kelestarian alam dan
lingkungan hidup.
Indonesia menyusun dan menetapkan berlakunya Undang-undang Nomor 23
Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menteri Negara Urusan
2. N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, ( Jakarta: Erlangga, 2004), hal. 1-2.
Lingkungan Hidup yang pertama adalah Prof. Dr. Emil Salim yang berhasil
meletakkan dasar-dasar kebijakan mengenai lingkungan. Sejak itu, berbagai
peraturan perundang-undangan resmi telah berhasil ditetapkan sebagai kebijakan
yang diharapkan dapat dijadikan pegangan dalam setiap gerak dan langkah
pembangunan yang dilakukan, baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun badan-
badan usaha.
Namun demikian, semua produk peraturan perundang-undangan tersebut
dipandang masih belum mencukupi untuk memaksa para penentu kebijakan untuk
tunduk dan mematuhi kebijakan-kebijakan di bidang lingkungan hidup.3
Dalam penegakan hukum lingkungan, secara makro, ketidakberhasilan
penegakan hukum khususnya di bidang pidana juga dapat dilihat dari beberapa
kasus besar seperti kasus pembalakan liar pada tahun 2007, polisi telah
memproses 985 kasus yang melibatkan 1229 tersangka di seluruh Indonesia, dan
pada tahun 2008, polisi berhasil menangkap 500 orang termasuk 3 orang kelas
kakap, namun perkara tersebut sebagian besar tidak diproses sampai di pengadilan
dengan alasan tidak cukup bukti, adanya mafia hokum, intervensi politik dan
kekuasaan. Para penjahat itu memang bekerja dalam kelompok besar,, bertali-
temali dengan banyak di dalam dan luar negeri. Mereka inilah yang sering disebut
sebagai cukong kayu. Mereka punya kuasa penuh termasuk terhadap sebagian
aparat di dalam instansi pemerintahan. Seperti Kepala Dinas Kehutanan
Mandailing, Bupati Mandailing Natal, yang telah menjadi tersangka atas
pembalakan liar oleh Adelin Lis di Mandailing Sumatera Utara. Dan masih
4 Masrudi Muchtar, Sistem Peradilan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Banjar Masin :
Prestasi Pustaka, 2015), hal.4-5.
5 Takdir Rahmadani, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2011), hal. 51-
52.
hukum perdata, pidana, pajak, internasional, dan penataan ruang sehingga tidak
dapat digolongkan ke dalam pembidangan hukum klasik (publik dan privat).
Dengan demikian, substansi hukum lingkungan menimbulkan pembidangan dalam
hukum lingkungan administratif, hukum lingkungan keperdataan, hukum
lingkungan kepidanaan.6 Hukum Pidana dipandang sebagai ultimum remedium
artinya hukum pidana hendaknya dipandang sebagai upaya terakhir dalam
memperbaiki kelakuan manusia. Perkataan ultimum remedium ini pertama sekali
dipergunakan oleh Mentereri Kehakiman Belanda yaitu Mr. Modderman.7
Di Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 100 menyebutkan ;
(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau
baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan
apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran
dilakukan lebih dari satu kali.
Pada pasal 2 tersebut dapat dilihat bahwa azas ultimum remedium dalam
Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
masih diterapkan. Namun menurut Prof. Alvi Syahrin bahwa dalil ultimum
remedium, dapat dikesampingkan dalam hal tindak pidana yang dilakukan
6 Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, (Surabaya :
Airlangga University Press, 2000), hal. 3-4.
7Alvi Syahrin, Op.cit., hal. 9.
merupakan suatu pelanggaran terhadap hak subyektif maupun kepentingan
masyarakat luas.8
Hukum pidana memiliki hubungan yang erat dengan hukum administrasi
negara khususnya dalam UUPPLH. Oleh karena itu penggunaan instrument
hukum pidana dalam menyelesaikan kasus-kasus lingkungan hidup memiliki
batas-batas tertentu. Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis tertarik untuk
mengkajinya dan menuangkannya dalam tugas akhir berupa skripsi yang berjudul:
PERAN HUKUM PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
DI INDONESIA.
B. RUMUSAN MASALAH
Bertitik tolak pada latar belakang masalah maka dapat penulis kemukakan
beberapa hal yang menjadi permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Pengaturan Hukum Lingkungan di Indonesia ?
2. Bagaimana Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia ?
3. Bagaimana Peran Hukum Pidana Dalam Penegakan Hukum Lingkungan di
Indonesia ?
C. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dilakukan penulis dalam mengadakan penelitian
sehubungan dengan penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penulisan :
Dalam membuat/menulis suatu karya ilmiah, penggunaan suatu metode
mutlak diperlukan. Adapun metode yang digunakan dalam penulisan ini
adalah penelitian hukum normatif, yaitu yang terdiri dari :9
- Penelitian inventarisasi hukum positif;
- Penelitian asas–asas hukum.
2. Metode pengumpulan data
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah studi
kepustakaan (Library Research). Sumber data diperoleh dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan
terdiri dari :10
- Norma atau kaedah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945;
- Peraturan Dasar, yakni Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945;
- Peraturan Perundang-Undangan, yakni peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-
hasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus (hukum), esiklopedia.
9
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ( Jakrta : PT RajaGrafindo Persada,
2014), hal.29-30.
10 Ibid. hal. 31.
3. Analisis Data
Tekhnik analisis data yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah
menggunakan deskriptif analisis yaitu data yang diperoleh kemudian disusun
secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai
kejelasan masalah yang akan dibahas. Analisa kualitatif adalah menganalisa
secara lengkap dan komperehensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh
sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam penulisan hukum
ini.
D. HASIL PENELITIAN
11 Muhammad Yamin, Tindak Pidana Khusus, ( Bandung : Pustaka Setia, 2012), hal. 309.
tidak langsung. Secara langsung kepada masyarakat, hukum lingkungan
menyatakan segala sesuatu yang dilarang dan segala sesuatu yang dibolehkan.
Secara tidak langsung kepada masyarakat adalah memberikan landasan bagi yang
berwenang untuk memberikan kaidah kepada masyarakat.12
b. Sejarah Perkembangan Hukum Lingkungan
Perhatian masalah lingkungan hidup ini dimulai di kalangan Dewan Ekonomi
dan Sosial PBB. Pembicaraan pertama sekali diajukan oleh wakil Swedia pada
tanggal 28 Mei 1968 yang disertai saran untuk menyelenggarakan Konperensi
Internasional mengenai lingkungan hidup manusia. Saran ini mendapat tanggapan
dari Sekjen PBB dan melalui Sidang Umum disahkan dengan resolusiNo. 2581
(XXIV) pada tanggal 15 Desember 1969, dan selanjutnya atas resolusi tersebut
Sidang Umum PBB menerima baik tawaran Pemerintah Swedia untuk
mengadakan konperensi di Stockholm pada bulan Juni 1972.13
Lahirnya Deklarasi Stockholm 1972 sangat mempengaruhi perkembangan
hukum lingkungan modern Indonesia. Hal ini terbukti dengan dimasukkannya
masalah pengelolaan lingkungan hidup dalam GBHN 1973-1978 untuk pertama
kalinya. BAB III Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang menggariskan
perlunya perlindungan lingkungan dalam pelaksanaan pembangunan.14
Pada tanggal 3 Juli 1981, Menteri Negara PPLH mengirim Naskah RUU yang
telah mendapat persetujuan beberapa Menteri terkait tersebut kepada Menteri
Sekretaris Negara. Dengan Surat Presiden tertanggal 12 Januari 1982
12 Ibid.
13
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, ( Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1997), hal.57-58.
14 Ibid.
No.R.01/PU/I/1982, naskah RUU itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia.15
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya pada tanggal 25 Pebruari 1982
DPR-RI menyetujui Naskah RUU tersebut. Empat belas hari kemudian, tepatnya
pada tanggal 11 Maret 1982, Pemerintah mengundangkan Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup.16
Setelah diberlakukan selama 15 tahun, UUKPPLH dianggap mempunyai
beberapa kekurangan dan kelemahan yang elementer sehingga tidak menopang
upaya penegakan hukum (law enforcement).17
Pada tanggal 19 September 1997, secara resmi kita memiliki undang-undang
baru di bidang pengelolaan lingkungan hidup, yaitu Undang-Undang No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup atau disingkat UUPLH.
Undang-undang ini sebelumnya telah disahkan oleh DPR RI dalam Rapat
Paripurna Terbuka pada tanggal 22 Agustus 1997. Dengan diundangkan UUPLH
ini, UUKPPLH secara resmi telah dicabut, dan mulai saat itu pula berlaku semua
ketentuan-ketentuan baru yang terdapat dalam UUPLH.18
Walaupun umurnya masih sebelas tahun, UUPLH kelihatannya sudah harus
diubah atau disempurnakan. Penyempurnaan UUPLH merupakan suatu keharusan
dengan dilandasi berbagai alasan.
20 Joko Subagyo, Hukum LIngkungan,( Jakarta : Rineka Cipta, 1999), hal. 81.
21 Ibid.
e. Asas-asas Hukum Lingkungan Kepidanaan
30 Ibid.
31 Ibid.
32 Ibid.
33 Ibid. ha. 107.
34 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, ( Yogyakarta : Gadjah Mada University Press,
2012), hal. 441.
b. Mekanisme Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan
Tindak pidana yang diatur di dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009
bukan delik aduan melainkan sebagai delik biasa. Konsekuensinya penyidik
bersikap aktif dengan langsung melaksanakan tugasnya untuk melakukan
serangkaian tindakan seperti penangkapan dan penahanan kepada pelakunya tanpa
menunggu adanya pengaduan terlebih dahulu dari pihak korban.35
Dalam melakukan penangkapan dan penahanan, penyidik pejabat pegawai
negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik
Indonesia.36 Setelah pelakunya selesai proses penyidikan, kemudian dibawa ke
kejaksaan untuk dilakukan penuntutan perkara selanjutnya diserahkan ke
pengadilan untuk disidangkan. Di persidangan untuk menentukan bersalah
tidaknya pelaku dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah menurut undang-
undang. Apabila perbuatan pelaku dapat dibuktikan kesalahannya sebagai
didakwakan oleh penuntut umum maka pengadilan akan menjatuhkan hukuman
pidana yang berupa pidana penjara dan pidana denda. Sebaliknya jika kesalahan
terdakwa tidak dapat dibuktikan, berakibat pengadilan membebaskan.37
Dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP dikenal ada 2 (dua) penyidik tindak pidana
yaitu penyidik Polri dan penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS). Penyidik Polri
sebagai penyidik umum untuk semua tindak pidana, sedangkan penyidik PNS
adalah penyidik khusus tindak pidana di bidang tertentu yang ditentukan oleh
35
Gatot Supramono, 2013, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta, hal. 124.
36 Republik Indonesia, (UUPPLH), Op.cit, Pasal 94 ayat (3).
37 Gatot Supramono, Op. cit. hal. 125.
undang-undang.38 Untuk penyidik tindak pidana di bidang lingkungan hidup,
Pasal 94 ayat (1) UUPPLH menyebutkan, selain penyidik pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia, pejabat sebagai pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan
instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana lingkungan hidup. Ada dua penyidik yang berwenang,
yaitu penyidik Polri dan Penyidik PNS bertugas menyidik di bidang lingkungan
hidup (penyidik PNSLH).39
3. PERAN HUKUM PIDANA DALAM PENEGAKAN HUKUM
LINGKUNGAN DI INDONESIA
38 Ibid.
39 Ibid.
dalam penegakan hukum lingkungan hidup. Namun disamping itu, hukum pidana
juga dapat berperan sebagai primum remedium yakni sebagai upaya pertama
dalam penegakan hukum lingkungan.
Penerapan asas subsidiaritas yang pernah dilakukan penegak hukum (hakim)
dapat dilihat pada kasus pencemaran teluk buyat di Manado dengan nomor
register perkara No.284/Pid.B/2005/PN.MDO.
Berdasarkan putusan hakim di atas, dapat dilihat kedudukan hukum pidana
sebagai ultimum remedium dalam penegakan hukum lingkungan hidup
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) di atas, dimaksudkan bagi setiap orang
yakni orang perorangan dan/atau badan usaha (korporasi). Dalam proses
penegakan hukum khususnya hukum lingkungan, penegak hukum harus
memperhatikan asas subsidiaritas dengan telebih dahulu melaksanakan penegakan
hukum melalui instrument hukum administrasi atau perdata.
Jika melihat kasus Teluk Buyat di atas, tepatlah jika Hakim memvonis bebas
para Terdakwa. Hal itu dikarenakan dalam proses penegakan hukumnya, belum
ada penegakan hukum administrasi. Kemudian dari pertimbangan tersebut di atas,
menyatakan bahwa telah tercapai perdamaian dalam proses perdata sehingga
seharusnya perkara tersebut harus berhenti pada proses hukum perdata dan tidak
layak dilanjutkan ke proses hukum pidana.
Penegakan hukum lingkungan yang menggunakan hukum pidana sebagai
primum remedium dapat dilihat dalam putusan hakim dengan register perkara
nomor:1215/Pid.Sus-LH/2016/PN.Pbr. putusan dibaca pada pada 20 Pebruari
2017.
Dari putusan hakim tersebut, dapat dilihat bahwa hakim menggunakan hukum
pidana sebagai primum remedium (sebagai upaya hukum pertama).
Primum remedium ( hukum pidana sebagai upaya hukum pertama) yang
merupakan perkembangan dari ultimum remedium yang diharapkan dengan
adanya asas atau prinsip primum remedium mampu mengatasi masalah-masalah
yang dihadapi dalam penggunaan hukum pidana.
Pada situasi tertentu hukum pidana dapat digunakan sebagai senjata pertama.
ketika instrument hukum lain yakni perdata dan/atau administrasi dianggap tidak
akan mampu mengatasi kejahatan yang dilakukan oleh pelaku maka di sinilah
hukum pidana berperan sebagai primum remedium.
Dari kasus pembakaran lahan di atas, walaupun belum ada upaya hukum
perdata yang dijalani oleh pelaku, hakim tetap menggunakan hukum pidana dalam
putusannya hal tersebut karena perbuatan pelaku telah melanggar hukum dan
membuat resah masyarakat, sehingga untuk membuat jera pelaku sehingga tidak
akan melakukannya kembali di kemudian hari maka sanksi pidana diterapkan.
Peran hukum pidana sebagai primum remedium menjadikan hukum pidana itu
mempunyai kedudukan yang istimewa dalam UUPPLH, karena selain ia dapat
menjadi instrumen hukum terakhir, hukum pidana juga dapat menggantikan posisi
hukum administrasi sebagai intrumen pertama dalam penegakan hukum
lingkungan di Indonesia.
E. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah di uraikan di atas, maka penulis
menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Hukum lingkungan adalah hukum yang mengatur ketentuan tentang tingkah
laku manusia dalam bermasyarakat agar mematuhi hukum lingkungan.
hukum lingkungan berisi kaidah-kaidah tentang perilaku masyarakat yang
positif terhadap lingkungannya, baik langung maupun tidak langsung.
Hukum lingkungan sebagaimana diatur pada Undang-undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta
undang-undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup di Indonesia
termasuk ke dalam golongan hukum publik karena seluruh undang-undang
tersebut dominan mengatur tentang hukum administrasi.
2. Penegakan hukum lingkungan merupakan satu usaha untuk mewujudkan ide-
ide dan konsep-konsep dalam hukum lingkungan untuk menjadi kenyataan
yakni ide berupa pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Mengenai penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang telah dijelaskan di
atas, penulis berpendapat bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan
adalah yang terbaik karena lebih banyak manfaatnya dan secara filosofi
menjunjung tinggi tradisi masyarakat Indonesia yang cenderung
mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
Dalam proses penegakan hukum pidana, dimulai dari tingkat penyelidikan
yang dilakukan oleh POLRI dan dibantu oleh Pegawai Negeri Sipil
Lingkungan Hidup, kemudian diteruskan ke Kejaksaan dan selanjutnya
3. Peran hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan hidup yaitu sebagai
ultimum remedium (hukum pidana sebagai upaya hukum terakhir) dan
sebagai primum remedium (hukum pidana sebagai upaya hukum pertama).
2. Saran
A. BUKU-BUKU
Silalahi, Daud. 2008. Sumber Daya Air dan Lingkungan Hidup di Indonesia.
Bandung : P.T. Alumni.
Siahaan, N.H.T. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Jakarta :
Erlangga. 2008. Hukum lingkungan. Jakarta : Pancuran Alam. Subagyo, Joko. 1999.
Hukum LIngkungan. Jakarta : Rineka Cipta. Sunarso, Siswanto. 2005. Hukum
Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa. Jakarta : Rineka
Cipta.
Jakarta : Rineka Cipta Syahrin, Alvi. 2008. Beberapa Isu Hukum Lingkungan
Kepidanaan. Medan : PT Sofmedia. Utrecht, E. 1983. Pengantar Dalam Hukum
Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Yamin Muhammad. 2012. Tindak Pidana Khusus. Bandung : Pustaka Setia.
B. UNDANG-UNDANG
http://blhkp.lebongkab.go.id/kerusakan-lingkungan-hidup-di-indonesia-dan-
penyebabnya
Novie, https://environmentalchemistry.wordpress.com/2013/11/15/daftar-
peraturan-perundang-undangan-di-bidang-lingkungan-hidup-tentang-
pengendalian-pencemaran-air
Nathania Riris Michico, Perusakan Terumbuk KarangDiminta Diselesaikan
Lewat Jalur Hukum. https://news.detik.com/berita/d-3450239/perusakan-terumbu-
karang-diminta-diselesaikan-lewat-jalur-hukum
Triono Wahyu Sudibyo, Perusahaan Kapal Inggris Janji Ganti Rugi Kerusakan
Karang Raja Ampat, https://news.detik.com/berita/3446676/perusahaan-kapal-
inggris-janji-ganti-rugi-kerusakan-karang-raja-ampat
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt559d06730db6c/bismar-siregar--
hakim-kontroversial-yang-berhati-nurani
Elvi Hasani, Penegakan Profesionalisme Jaksa melalui Independensi dan Kode
Etik : Upaya Pemberdayaan sumber daya manusia di Kejaksaan yang
Berintegritas. http://www.hukumpedia.com/elvi17/penegakan-profesionalisme-
jaksa-melalui-independensi-dan-kode-etik-upaya-pemberdayaan-sumber-daya-
manusia-di-kejaksaan-yang-berintegritas
Alvi Syahrin, http://alviprofdr.blogspot.co.id/2014/07/komentar-pasal-117-
uupplh.html