Oleh:
Nama : Andriansyah
NIM : 05101381823060
Mata Kuliah : Hukum Pertanahan dan Agraria
JURUSAN TANAH
PROGRAM STUDI ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2021
PENDAHULUAN
Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di
muka bumi. Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai
meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber
kehidupan. Secara kosmologis, tanah adalah tempat manusia tinggal, tempat
bekerja dan hidup , tempat dari mana mereka berasal dan akan kemana pula mereka
pergi. Dalam hal ini tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial, kultural politik dan
ekologis. Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor yang
paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban. Tanah tidak hanya
mempunyai nilai ekonomis tinggi, tetapi juga nilai filosofis, politik, sosial, dan
kultural. Tidak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tidak henti-
hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit. Sebagai
sumber agraria yang paling penting, tanah merupakan sumber produksi yang sangat
dibutuhkan sehingga ada banyak kepentingan yang membutuhkannya.
Perkembangan penduduk dan kebutuhan yang menyertainya semakin tidak
sebanding dengan luasan tanah yang tidak pernah bertambah. Peningkatan
penggunaan tanah penyebab terjadinya bermacam-macam corak dan bentuk
hubungan antara manusia dengan tanah, yang sekaligus menyebabkan terjadinya
perkembangan dalam bidang hukum tanah secara normatif, baik pada hukum
tertulis maupun tidak tertulis. Perkembangan itu ikut mempengaruhi pandangan
masyarakat terhadap tanah, apakah dari segi pemilikan, penguasaan maupun
penggunaannya. Berlakunya pepatah yang menyatakan sedhumuk batuk senyari
bumi di tohi pati, merupakan suatu ungkapan betapa berartinya tanah bagi
seseorang, sampai-sampai nyawa akan dipertaruhkan apabila ada yang mencoba
mengusik apalagi merampasnya. Bagi bangsa Indonesia tanah bukan sekedar
bernilai ekonomis tetapi juga mengandung nilai/ikatan magis yakni dengan
ditanamnya ari-ari (placenta) sebagai sumber kehidupan ketika berada dalam rahim
ibu. Mengandung nilai historis, psikologis dan nilai monumental.
Perluasan perkebunan kelapa sawit dengan cepat menjadi fenomena global
(Colchester & Chao, 2011). Proses produksi, pengolahan dan perdagangan minyak
sawit saat ini telah berkembang menjadi jaringan kompleks yang melibatkan
beragam aktor, mulai dari petani kecil, perusahaan perkebunan, industri
pengolahan, pemerintah di berbagai tingkat, lembaga swadaya masyarakat dan
lainnya. Jaringan tersebut membentuk tata kelola polisentris di berbagai tingkat dan
melibatkan berbagai pelaku dengan kewenangannya, yang terikat oleh hubungan
global-lokal dan berbagai inisiatif, mekanisme dan sistem keberlanjutan yang
membentuk sebuah rejim transnasional yang kompleks. Interaksi aktor dan sistem
pengambilan keputusan terkait industri perkebunan sawit, berimplikasi pada hak-
hak atas tanah dan perubahan penggunaan lahan.
Pasar yang berkembang pesat untuk biofuel dan minyak nabati, terutama di
Cina, India, Eropa Timur, dan Timur Tengah serta Amerika Serikat telah
mendorong masuknya investasi besar di negara-negara produsen di Asia Tenggara,
Afrika dan Amerika Latin Investasi skala besar tersebut menyebabkan semakin
meningkatnya laju transfer dan pengambilalihan lahan dari pemiliknya, seperti
masyarakat lokal dan adat demi kepentingan pengembangan perkebunan kelapa
sawit.
Para petani di sekitar perkebunan skala besar menjadi termotivasi ikut
membuka kebun sawit dengan luas yang bervariasi, baik mereka yang awalnya
menjadi mitra kontrak dengan perusahaan maupun petani swadaya dengan
dukungan sumber daya dan modal sendiri. Sebagai dampak dari perkembangan
tersebut, laju perluasan sawit rakyat tahunan bahkan diduga lebih tinggi dibanding
laju perluasan yang dilakukan perusahaan besar. Secara faktual, bisnis sawit
menghasilkan keuntungan besar yang memicu produsen untuk semakin
memperluas operasinya. Tidak mengejutkan bila kemudian terjadi proses
transformasi penggunaan lahan dan kawasan yang secara bertahap terintegrasi ke
dalam pasar global
Kontestasi ruang spasial dan lahan untuk perkebunan sawit di masa
mendatang tampaknya akan tetap berlangsung, termasuk di Indonesia yang saat ini
menjadi negara produsen dan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia. Asumsi
ini berdasarkan pada rencana pemerintah pada 2015 yang menargetkan
peningkatan produksi minyak sawit mentah dua kali dari produksi saat itu menjadi
40 juta ton pada tahun 2020 (Kompas, 2015; Pusat Kebijakan Kerjasama
Perdagangan Internasional, 2015), yang membutuhkan tambahan luas 6 juta ha
perkebunan kelapa sawit. Terbangunnya industri pengolahan dengan kapasitas
yang meningkat serta program hilirisasi industri CPO (Kompas, 2015) akan
mendorong kebutuhan untuk memenuhi pasokan bahan baku, yang seringkali tidak
selalu dapat dipenuhi dari perkebunan yang ada.
Besarnya peran industri minyak sawit di dalam menopang perekonomian
nasional dan semakin meningkatnya kinerja sektor perkebunan ternyata
dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks. Salah satu tantangan tersebut
adalah adanya perkebunan kelapa sawit atau lahan untuk perkebunan yang dikuasai
perusahaan, perseorangan atau kelompok masyarakat yang berada secara ilegal di
atas kawasan hutan. Dari total luas perkebunan kelapa sawit nasional yang
mencapai 14,03 juta ha, sekitar 2,5 juta ha atau 21% nya terindikasi berada di dalam
kawasan hutan, yang terdiri dari perkebunan yang perizinan, yang menjadi bagian
penting dari tata kelola pengembangan perkebunan kelapa sawit. Setiawan,
Maryudi, Purwanto, & Lele (2016) menyatakan bahwa kompleksitas tenurial
perkebunan kelapa sawit bukan hanya terkait dengan hal-hal teknis administrasi
alokasi dan penggunaan lahan hutan dan rezim perizinan saja, tetapi juga dengan
masalah tata kelola pengembangan perkebunan kelapa sawit.
Observasi lapangan di beberapa kabupaten terpilih di kedua provinsi juga
dilakukan untuk memahami lebih dalam konteks yang diteliti melalui pengamatan
praktik-praktik penguasaan lahan dan kondisi perkebunan kelapa sawit yang
berada di kawasan hutan. Untuk melengkapi hasil wawancara dan diskusi
kelompok terfokus, kami juga melakukan analisis data sekunder dan berbagai
dokumen kebijakan terkait tata kelola perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, yang
dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah maupun perusahaan.
Analisis dilakukan untuk melihat berbagai pandangan para pihak dan sejauh mana
efektivitas instrumen dan pendekatan kebijakan di dalam menyelesaikan
permasalahan tenurial perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan.
Sebaran perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan hutan
diketahui dengan menggunakan metode analisis data spasial yang mencakup data
overlay, attribute data processing, penggabungan dan pemisahan data spasial
terhadap berbagai peta tematik seperti peta kawasan hutan, peta indikatif alokasi
kawasan hutan untuk penyediaan sumber Tanah Objek Reforma Agraria (TORA),
peta rupa bumi, digital elevation model (DEM) dari citra Shuttle Radar Topography
Mission (SRTM) dan peta perkebunan kelapa sawit hasil interpretasi citra satelit.
Pada tahap akhir, dilakukan penghitungan luas area hasil analisis data spasial dan
pembuatan layout peta hasil analisis.
Perkebunan Kelapa Sawit dan Kawasan Hutan
Gambar 14. Peta perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan dan TORA Kabupaten
Kotawaringin
Timur Provinsi Kalimantan Tengah
Sumber: Analisis spasial (2018)
1,200 4,000
3,500
1,000
a) 3,000 )n
rib
h o
u ( 800 t
2,500 (rib
a u
e 600 i
2,000 ks
ra od
as
u u
Pr
L 1,500
400
1,000
200
500
- -
Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan Perkebunan PerkebunanPerkebunan Perkebunan
Negara Rakyat Swasta Negara Rakyat Swasta Negara Rakyat Swasta
Kalteng
1997 2017
Colchester, M., & Chao, S. (2011). Oil palm expansion in South East Asia: An
overview. In M. Colchester & S. Chao (Eds.), Oil palm expansion in South
East Asia: Trends and implications for local communities and indigenous
peoples (p. 264). Moreton-in-Marsh, England: Forest Peoples Programme.
Kompas. (2015). Produksi CPO pada 2020 capai 40 juta ton. Retrieved December
4, 2017,
https://ekonomi.kompas.com/read/2015/08/06/151118626/Produksi.CPO.Pa
da.2020.Capai.40.Juta.Ton
Li, T. M. (2017). Intergenerational displacement in Indonesia’s oil palm
plantation zone. Journal of Peasant Studies, 44(6), 1160–1178.
https://doi.org/10.1080/03066150.2017.1308353
Prabowo, D., Maryudi, A., Senawi, & Imron, M. A. (2017). Conversion of forests
into oil palm plantations in West Kalimantan, Indonesia: Insights from
actors’ power and its dynamics. Forest Policy and Economics, 78, 32–39.
https://doi.org/10.1016/j.forpol.2017.01.004
Semedi, P., & Bakker, L. (2014). Between land grabbing and farmers’ benefits:
Land transfers in West Kalimantan, Indonesia. The Asia Pacific Journal of
Anthropology, 15(4), 376–390.
https://doi.org/10.1080/14442213.2014.928741
Setiawan, E. N., Maryudi, A., Purwanto, R. H., & Lele, G. (2016). Opposing
interests in the legalization of non-procedural forest conversion to oil
palm in Central Kalimantan, Indonesia. Land Use Policy, 58, 472–
481. https://doi.org/10.1016/j.landusepol.2016.08.003