Anda di halaman 1dari 6

PENGEMBANGAN BIOENERGI: ANTARA TANTANGAN DAN HARAPAN Oleh: Abdurraafi Maududi .

Laju pertumbuhan penduduk, tingkat ekonomi yang semakin meningkat, serta perkembangan teknologi yang semakin pesat dari waktu ke waktu mengakibatkan dunia termasuk Indonesia membutuhkan energi yang sangat besar. Bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan batu bara merupakan sumber energi utama di Indonesia. Eksploitasi energi yang berlebihan dari sumber daya alam terutama minyak bumi selama ini menyebabkan menipisnya kandungan minyak bumi tersebut, menimbulkan kerusakan lingkungan, dan krisis energi di seluruh dunia. Konsumsi bahan bakar minyak (BBM) cenderung semakin meningkat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Pada tahun 2010 menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM (2011), konsumsi BBM mencapai 61.730 ribu kilo liter (+388.241 Ribu Setara Barel Minyak). Sementara itu, cadangan minyak bumi semakin menurun dan di tahun 2010 tinggal 7,76 milyar barel. Oleh karena itu, pencarian dan pengembangan energi baru dan energi terbarukan menjadi agenda utama bidang energi di Indonesia untuk mencapai kedaulatan energi. Krisis energi ini memerlukan penanganan serius. Usaha pengembangan sumber energi alternatif termasuk bioenergi terus diupayakan dan dilakukan. Bioenergi merupakan energi terbarukan yang berasal dari biomassa. Bioenergi ini adalah salah satu bentuk energi alternatif yang prospektif untuk dikembangkan. Pengembangan bioenergi ini tidak hanya dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar minyak yang harganya terus melambung, tetapi juga dapat meningkatkan keamanan pasokan energi nasional. Pengembangan bioenergi sebagai sumber energi alternatif terbaru sangatlah prospektif mengingat melimpahnya sumber daya alam di Indonesia.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bioenergi bertansformasi menjadi bentuk yang lebih modern. Indonesia memiliki sumber daya lahan yang sangat luas untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian. Luas daratan Indonesia mencapai 188,20 juta ha, yang terdiri atas 148 juta ha lahan kering dan 40,20 juta ha lahan basah, dengan jenis tanah, iklim, fisiografi, bahan induk (volkan yang subur), dan elevasi yang beragam. Kondisi ini memungkinkan untuk pengusahaan berbagai jenis tanaman, termasuk komoditas penghasil bioenergy (Mulyani dan Irsal, 2008). Pengembangan komoditas penghasil bioenergi sangat penting untuk mengantisipasi kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di masa yang akan datang. Beberapa tanaman yang potensial sebagai penghasil bioenergi adalah kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, kapas, kanola, dan rapeseed untuk biodiesel, serta ubi kayu, ubi jalar, tebu, sorgum, sagu, aren, nipah, dan lontar untuk bioetanol (Sumaryono 2006). Menilik pada potensi negara Indonesia yang besar terutama untuk ketersediaan bahan baku, sudah sepantasnya negara Indonesia berani

memproklamirkan diri sebagai negara lumbung bioenergi dunia. Kenyataan yang disadari saat ini adalah belum optimalnya pemanfaatan potensi bioenergi yang sangat besar tersebut. Hal ini didasari bahwa Indonesia masih dihadapkan dengan berbagai tantangan yang besar dan hambatan sehingga pemanfaatan energi non fosil/energi terbarukan tersebut masih sangat rendah walaupun potensinya cukup besar. Berbagai tantangan yang dihadapi dalam pengembangan bioenergi ini, terutama pada aspek pendanaan, kesiapan masyarakat (dampak sosial), sasaran atau pasar yang akan dicapai, pengelolaan lahan (dampak lingkungan), kesiapan teknologi dan infrastruktur yang dibutuhkan dalam pengembangan dan pengelolaan bioenergi. Dana adalah hal yang harus dipersiapkan sebelum memulai pengembangan bioenergi. Bagi Indonesia, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pidato presiden Soesilo Bambang Yudhoyono di Losari tahun 2006, bahwa sumber dana pengelolaan bioenergi diperoleh dari Anggaran Pendapatan dan belanja Negara

(APBN) dan persentase terbesar didanai oleh para investor baik luar maupun luar negeri. Selanjutnya, perlu dikaji tentang sumber dana dalama pengembangan bioenergi terutama yang berasal dari investor luar negeri. Oleh karena hal ini sangat terkait dengan kemandirian bangsa dalam pengelolaan aset-aset, pengelolaan energi, dan kebutuhan hajat hidup rakyat. Sudah banyak bukti yang memperlihatkan bahwa kerjasama Indonesia dengan investor asing selalu merugikan Indonesia terutama kerjasama dalam hal energi. Lahan juga menjadi hal yang sangat penting dalam pengembangan bioenergi karena dalam pengelolaannya, beberapa tanaman yang potensial sebagai penghasil bioenergi seperti pohon jarak, kelapa sawit, jagung, tebu dan lain-lain harus ditanam sesuai dengan lahan atau tempat yang tepat dan tidak menggangu lahan pertanian. Contohnya, seperti penggunaan singkong sebagai bahan baku pengembangan bioenergi, mendesak lahan produksi singkong untuk pangan nasional, dimana kebutuhan lahan produksi singkong untuk kebutuhan pangan akhirnya semakin menipis. Sehingga hal tersebut sangat berpengaruh terhadap eksistensi pemenuhan pangan nasional karena pemanfaatan lahan untuk pengembangan bioenergi ternyata mengikis lahan pertanian. Tantangan berikutnya adalah pasar, tolak ukur keberhasilan suatu produk salah satunya adalah memiliki sasaran atau pasar yang jelas. Berdasarkan hukum permintaan dan penawaran, studi kasus pengembangan bioenergi di Indonesia saat ini, sederhananya adalah dimana permintaan masyarakat akan biofuel rendah karena masih terbiasa dengan minyak atau BBM, sementara penawaran produksi bioenergi yang diwacanakan oleh pemerintah semakin meningkat, maka harga yang ada di pasar menjadi murah. Padahal biaya untuk menghasilkan bioenergi diperkirakan tinggi, dengan komposisi benih haruslah pilihan. Kemudian adalah kesiapan akan teknologi beserta infrastruktur lain yang memadai dan canggih dalam pengembangan bioenergi mutlak diperlukan guna mencukupi kebutuhan. Namun menurut beberapa pakar penyediaan mesin, dapat dilakukan dengan cara impor. Penyediaan mesin melalui impor ini juga akan mengeluarkan biaya yang besar.

Selain tantangan tersebut terdapat pula kekhawatiran timbulnya dampak negatif dari pengembangan energi non fosil tersebut. Kekhawatiran tersebut misalnya pemerintah mengulangi kesalahannya pada pengelolaan kelapa sawit, di mana jutaan hektar hutan dikonversikan menjadi perkebunan sawit yang tentunya akan berdampak negatif kepada lingkungan. Selain itu timbul pula kekhawatiran dari pengembangan energi terbarukan tersebut yang mana akan membawa kerugian yang besar bagi kaum petani dan ekonomi pedesaan pada satu sisi. Sementara pada sisi yang lain, keuntungan yang melimpah akan diperoleh perusahaan-perusahaan atau investor yang menanamkan modal dan

mengembangkan usahanya dari bioenergi tersebut. Berdasarkan hal-hal tersebut, maka pemerintah dalam hal ini sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pemenuhan kesejahteraan rakyat, haruslah dapat menentukan skala prioritas dalam pelaksanaan program nasional jangka panjangnya. Jika pengembangan bioenergi saat ini dilakukan sementara pemerintah tidak dengan konsisten melakukan pembenahan dalam masalahmasalah tersebut, maka semakin terpuruklah kondisi bangsa Indonesia di masa mendatang. Dengan demikian, sebagai sebuah solusi yang berharga, Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar seharusnya mampu menetapkan kebijakan dalam hal ini pemerintah yang berorientasi terhadap kebutuhan rakyat, yaitu kebijakan politik yang tidak berorientasi terhadap opini internasional dan wacana pengembangan bionergi yang gencar dilakukan saat ini, sejatinya tidak lagi berfokus pada proses pengembangan, namun dalam hal penyamaan persepsi akan untung dan ruginya jika dikembangkan. Harapannya dengan pemanfaatan bioenergi, Indonesia tidak hanya dapat meningkatkan ketahanan energinya, namun juga mempunyai kesempatan yang besar dalam memberikan kontribusi terhadap penyediaan energi bersih kepada masyarakat dunia. Sederhananya, sebagai penghasil kelapa sawit terbesar dan ekspor ke-2 dunia (Husodo, 2004), Indonesia mempunyai potensi untuk menjadi salah satu penghasil biodiesel terbesar. Selain kelapa sawit, limbah industri kelapa sawit juga memiliki potensi besar untuk diolah menjadi sumber energi. Industri lain yang mempunyai potensi dalam pengembangan bioenergi adalah industri

gula untuk pengolahan bioetanol dan penyediaan tenaga listrik nasional. Indonesia juga memiliki potensi biogas yang sangat besar. Biogas dapat dihasilkan dari berbagai limbah organik, di antaranya limbah perkotaan, limbah hewan, dan limbah industri. Pengelolaan terhadap limbah tersebut, maka limbah yang umumnya adalah masalah, menjadikan berkah karena menghasilkan biogas yang sangat bermanfaat. Jika potensi tersebut dimaksimalkan, maka Indonesia akan mampu menghemat sekitar 700 ribu ton elpiji atau setara dengan 900 juta liter minyak tanah. Oleh karena itu perlu adanya komitmen dan tanggung jawab bersama pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak terkait untuk mencari solusinya. Diharapkan dalam beberapa dekade ke depan, Indonesia dapat menjadi macan dunia dalam bidang energi dan harus pula disadari bahwa keberhasilan tidak datang dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil kerja keras dari semua pihak/stakeholders.

DAFTAR PUSTAKA Husodo, S. Y. 2004. Membangun Kemandirian Pangan. Jakarta :Yayasan Padamu Negeri. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2012. Statistik Minyak Bumi. Website: Bumi.pdf. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2012. Potensi Bioenergi di Indonesia. Website: http://www.esdm.go.id/berita/323-energi-baru-dan http://prokum.esdm.go.id/Publikasi/Statistik/Statistik Minyak

terbarukan/4530-potensi-bioenergi-di-indonesia-mencapai-49810-mw.html Mulyani, Anny dan Irsal Las. 2008. Potensi sumber daya lahan dan optimalisasi Pengembangan komoditas penghasil Bioenergi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 27(1). Sumaryono, W. 2006. Kajian Komprehensif dan Teknologi Pengembangan Bioetanol sebagai Bahan Bakar Nabati (BBN). Makalah disampaikan pada Seminar Bioenergi: Prospek bisnis dan peluang investasi. Jakarta, 6 Desember 2006. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai