Anda di halaman 1dari 3

Kelompok : 02 (Wolfgang Dobereiner)

Nama Anggota : Ainie Noor Fadhila


Aldi Fudiantoro
Alfi Fatma Banowati
Aulia Aisyah Sudrajat
Yasmine Naurah Izari
Yosefiana Aba Wowoseko
Tugas : Membuat Cerpen

Memulai

Alfi tidak peduli pada deru kendaraan yang menyentuh telinganya, atau pada bising
klakson yang terus beradu tiap menitnya. Tidak–, Ia tidak marah karena itu. Rona wajah kesal
dan percik amarah di hati Alfi disebabkan karena asap kendaraan yang terus-menerus
menghempas wajahnya. Udara yang kotor itu menyesakkan nafasnya, dan ia perlu
menyipitkan mata agar asap kendaraan tak pula merengkuh netranya. Keadaannya makin
buruk karena saat itu, terik matahari sepertinya tak berniat pergi, dan gumpalan awan tak juga
muncul untuk menghadang sinar mentari.

“Iyuh gas karbon monoksida.” Ujar Alfi sambil tetap melangkahkan kaki pada trotoar
jalan.

“Sok kimia, Al.” Balas Fiana– teman sekelas Alfi yang pulang jalan kaki bersamanya.

Pagi tadi, mereka baru saja mempelajari tentang hidrokarbon dan minyak bumi, jadi
tidak aneh bila Alfi seperti ini. Dan di kota tempat mereka tinggal, contoh-contoh dampak
negatif pembakaran hidrokarbon dengan mudahnya ditemui. Hasil pembakaran tidak
sempurna kendaraan bermotor, penumpukan karbon di piston motor, dan efek rumah kaca–,
semua itu terpampang nyata di depan mereka. Miris, tapi realita.

Alfi menundukkan kepalanya, kemudian batuk untuk entah yang keberapakalinya. Ia


menutup mulutnya dengan jemari, dan kembali mengeluh setelahnya.“Ya ampun, asapnya
diamana-mana lagi. Sampai sakit tenggorokanku gara-gara batuk terus.”

Fiana hanya menjawab, “Makanya kamu pakai masker dong.” dengan pandangan yang
tetap lurus ke depan.

“Aku nggak tahan asap ini rasanya bikin sesak napas. Andai saja kota ini masih asri
seperti dulu.”

Mereka berdua sudah tinggal di tempat ini sejak dulu–, menghabiskan masa kecil pada
kota kecil dengan sungai yang membelah pusatnya–, sebuah kota penuh memori yang
dulunya asri dan memikat hati. Dan kemudian, setelah pergantian musim yang entah
keberapa, kota itu berubah. Gumpalan asap hitam dari pabrik mulai menyaingi awan putih
pembawa hujan, kuntum-kuntum bunga yang tak sempat mekar karena terlebih dahulu layu
akibat tingginya suhu, dan kepulan asap kendaraan yang dengan senang hati menyelip di
paru-paru. Keadaan kota makin buruk.

Kendaraan-kendaraan bermotor dan pabrik-pabrik tak lelahnya memberi lingkungan


hadiah berupa zat-zat berbahaya seperti karbon monoksida, karbon dioksida, oksida belerang
juga nitrogen hasil pembakaran. Polusi udara terjadi karenanya, dan rusaknya kesehatan
penduduk kota adalah salah satu dampaknya. Pengaruh itu dirasakan pula oleh hewan dan
tumbuhan, bukan hanya manusia. Zat-zat ini menumpuk di lapisan atmosfer dan
menimbulkan efek rumah kaca yang memicu pemanasan global–, sebuah bencana yang
perlahan melahap bumi.

Alfi mengarahkan pandangannya pada tanah gersang yang menghiasi sisi-sisi jalan,
kemudian berkata, “Siapa ya kira-kira yang bisa membuat kota kita kembali asri lagi?
Setidaknya bisa menjadi lebih baik.”

“Kamu!”

“Loh,kok malah aku sih?. Memangnya aku yang membuat asap ni?”

“Ya kita lah.”

“Hah,kok jadi kita sih?. Kan bukan kita yang mebuat asap ini. Kita ajak semua orang
yang menggunakan kendaraan motor dan mobil untuk memilih menggunakan kendaraan
yang ramah lingkungan seperti sepeda atau bisa juga jalan kaki.”

Tidak ada kata terlambat jika kita ingin berubah. Kota ini bisa kembali seperti dulu.
Penduduk kota hanya perlu berusaha. Ada banyak hal yang bisa dilakukan, seperti
penghijauan, penghematan bahan bakar, pemelihaaan alat dan kualitas bahan bakar, juga
penggunaan bahan bakar alternative yang dapat diperbarui dan yang lebih ramah lingkungan,
seperti tenaga surya. Perubahan perlu dimulai.

“Ya ampun kamu ini. Kita sebagai generasi muda nggak boleh berpikir seperti itu.
Kita harus bisa menjadi generasi yang baik dan berguna bagi bangsa dan negara.” Ujar
Fiana.

“Hah, bagaimana caranya?. Aku ingin yang terbaik untuk kota kita ini. Aku juga ingin
menjadi generasi yang berguna.” Balas Alfi.

Fiana memusatkan pandangannya pada Alfi–, mencurahkan segala atensi pada teman
sejoli yang sedari tadi bersamanya. “Nah maka dari itu. Ayo mulai besok kita menanam
pohon dipinggir jalan.”

“Boleh juga. Ayo kita lakukan sebelum kota ini semakin memburuk, kita harus bisa
mulai mengurangi dampaknya dari sekarang.”

Dan tanpa mereka sadari, penanaman pohon yang mereka lakukan keesokan harinya
merupakan awal perubahan luar biasa dari kota yang mereka cinta. Sebuah langkah awal
perbaikan di masa depan. Sebuah permulaan.

Anda mungkin juga menyukai