Anda di halaman 1dari 14

Caroline Paskarina, Korupsi Politik dalam Kompetisi Elektoral 37

Korupsi Politik dalam Kompetisi


Elektoral
Caroline Paskarina

Kompetisi dalam pemilu telah melahirkan para pemimpin politik pilihan rakyat, tetapi jumlah
kasus korupsi politik terus meningkat. Di sisi lain, keterkaitan antara klientelisme dan korupsi
politik mulai bergeser tidak lagi berhubungan dengan praktik penyuapan skala kecil, melainkan
pada pola yang lebih sistematik dan masif berkaitan dengan kepentingan akumulasi dana untuk
mempertahankan kekuasaan. Ragam modus korupsi politik yang terjadi juga menegaskan
rentannya politik distributif di tingkat lokal sebagai akibat dari luasnya penerjemahan diskresi
kewenangan kepala daerah; pengelolaan sumber daya publik tetap berada di bawah dominasi
kepala daerah. Fenomena state capture tersebut sesungguhnya membuktikan bahwa demokrasi
elektoral yang kompetitif pada kenyataannya belum melahirkan perubahan signifikan di dalam
tata kelola pemerintahan yang menyejahterakan publik. Perubahan lebih radikal harus mulai
dilakukan untuk memperbaiki politik distributif agar akumulasi dan distribusi sumber daya publik
tidak diserap oleh segelintir orang.

Kata Kunci: korupsi politik, politik distributif, kompetisi, demokrasi elektoral, state capture

S
udah menjadi kesepakatan umum bah- merupakan upaya mengalihkan perhatian pu-
wa korupsi adalah praktik yang sangat blik dari isu politik lain. Penanganan kasus ko-
merusak sendi-sendi kehidupan bang- rupsi juga sering kali ditafsirkan sebagai wujud
sa. Korupsi diyakini sebagai penyebab menu- pertarungan kekuasaan untuk “menyingkirkan”
runnya legitimasi pemerintah, rusaknya layanan lawan politik dari arena kompetisi. Di sisi lain,
publik, bahkan merosotnya kualitas hidup umat tidak sedikit para pelaku korupsi yang berta-
manusia. Kendati demikian, perilaku korupsi rung dalam era pemilihan kepala daerah tetap
ternyata masih marak ditemukan bahkan ditang- memperoleh dukungan suara. Fenomena terse-
gapi secara permisif dengan berbagai dalih1, but menunjukkan kompleksitas persoalan ko-
antara lain, bahwa pengungkapan kasus korupsi rupsi saat ini, apalagi ketika praktik korupsi
bersinggungan dengan dinamika pertarungan
1
Hasil Survei Persepsi Korupsi Tahun 2017 yang politik dalam penyelenggaraan berbagai event
dilakukan Transparency International Indonesia pemilihan umum, baik di tingkat nasional mau-
menemukan penghambat pemberantasan korup- pun lokal.
si terbesar adalah karena korupsi bukan diang- Data dari berbagai sumber menunjukkan
gap sebagai masalah penting (skor 61.5 dari
kecenderungan meningkatnya jumlah kepala
100); lihat, “Survei Persepsi Korupsi 2017”, dalam
http://riset.ti.or.id/wp-content/uploads/2017/ daerah yang terjerat kasus korupsi sepanjang
11/IPK-2017_Sheet-Infographic_Launch.pdf, periode 2004-2018. Kendati setiap sumber me-
(diakses 17 April 2018). nyuguhkan jumlah yang berbeda-beda, karena

A R T I K E L
38 Prisma Vol. 37, No. 3, 2018

Tabel 1 Jumlah Kepala Daerah yang Terjerat Kasus Korupsi

Sumber: diolah dari berbagai data sekunder


1
Catatan: Lihat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, “Faktor-faktor Penyebab Kepala Daerah Korupsi”, dalam http://www.bpkp.go.id/puslit-
bangwas/konten/2674/16.050-Faktor-Faktor-Penyebab-Kepala-Daerah-Korupsi (diakses 10 Mei 2018).
2
Lihat, Indonesia Corruption Watch, “Outlook Korupsi Politik Indonesia 2018”, dalam https://antiko-
rupsi.org/sites/default/files/tren_korupsi_2017_0.pdf (diakses 17 April 2018).
3
Lihat, https://acch.kpk.go.id/id/datagrafis/info/kepala-daerah-terjerat-rasuah (diakses 17 April 2018).
4
Lihat, https://fokus.tempo.co/read/1060957/dalam-setahun-kpk-tangkap-8-kepala-daerah-korupsi-
untuk-pilkada (diakses 17 April 2018).

didasarkan pada status hukum pelaku dan bertambah. Pusat Penelitian dan Pengembangan
periode waktu pengumpulan data yang berbeda, Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan
maknanya menegaskan makin masifnya peri- Pembangunan2 menemukan kecenderungan
laku korupsi politik dengan modus yang relatif meningkatnya kasus korupsi yang dilakukan
sama di berbagai daerah. kepala daerah disebabkan oleh monopoli ke-
Perkembangan jumlah tersebut cukup kuasaan, diskresi kebijakan, lemahnya akun-
mengkhawatirkan bagi perjalanan demokra-
tisasi di Indonesia, khususnya dalam konteks
2
demokrasi elektoral. Sejak pemilihan kepala Lihat, Pusat Penelitian dan Pengembangan Pe-
daerah diselenggarakan secara langsung, jum- ngawasan Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, “Faktor-faktor Penyebab Kepala
lah kepala daerah yang terjerat korupsi makin
Daerah Korupsi”, dalam http://www.bpkp.go.id/
meningkat. Sejumlah riset telah mengiden- puslitbangwas/konten/2674/16.050-Faktor-
tifikasi beberapa hal yang menyebabkan jumlah Faktor-Penyebab-Kepala-Daerah-Korupsi
kepala daerah yang tersangkut korupsi terus (diakses 10 Mei 2018).

A R T I K E L
Caroline Paskarina, Korupsi Politik dalam Kompetisi Elektoral 39

tabilitas, kurangnya kompetensi dalam penge- dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan
lolaan keuangan publik, serta mahalnya biaya Belanja Daerah. Kendati demikian, praktik yang
pemilihan kepala daerah. Begitu pula riset yang kerap terjadi justru menunjukkan kecende-
dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW)3 rungan partai untuk memberi dukungan kepada
dan Mietzner4 menemukan akar penyebab dari kandidat dari eksternal partai demi memenuhi
maraknya praktik korupsi yang dilakukan ke- kebutuhan partai akan dana operasional dan
pala daerah adalah ketatnya kompetisi yang biaya politik yang besar.6 Praktik-praktik tran-
berimplikasi pada biaya yang harus disiapkan saksional itulah yang disinyalir menjadi penye-
para kandidat untuk keluar sebagai pemenang bab makin maraknya korupsi politik.
dalam kompetisi elektoral. Biaya tersebut tidak Ragam modus kasus korupsi yang terung-
hanya dialokasikan pada masa kampanye, tetapi kap di Indonesia menunjukkan bahwa pembe-
juga pada masa sebelumnya, ketika kandidat rantasan korupsi tidak dapat hanya mengan-
mulai menyosialisasikan diri, hingga pada tahap dalkan mekanisme kelembagaan demokrasi
akhir pemilu, yakni mengawal hasil penghi- formal, karena mereka yang terpilih melalui
tungan suara sampai pada penetapan hasil mekanisme ini pun turut terjebak sebagai pela-
pemilu. Pada tahap itu, biaya yang perlu disiap- ku korupsi. Modus tersebut mengindikasikan
kan adalah untuk para saksi di Tempat Pemu- keterkaitan antara penyalahgunaan kewe-
ngutan Suara (TPS). Selain tahapan tersebut, nangan dan pemenangan pilkada, yang mem-
bila pasangan kandidat menyengketakan hasil buat tipe korupsi itu masuk ke dalam kategori
penghitungan suara, kandidat juga harus siap korupsi politik.7 Secara umum, korupsi didefi-
secara pendanaan, baik untuk pemberkasan, nisikan sebagai tindakan penyalahgunaan kewe-
pengacara, dan akomodasi. Kementerian Dalam nangan untuk kepentingan pribadi atau seke-
Negeri memperkirakan biaya politik yang di- lompok orang. Definisi yang lebih khusus
perlukan untuk menjadi bupati/wali kota se- mengartikan korupsi politik sebagai penggu-
besar Rp 20-30 miliar dan menjadi gubernur naan kekuasaan publik untuk memperbesar
membutuhkan Rp 20-100 miliar untuk me- keuntungan privat dengan menyintas atau me-
menangi pemilihan kepala daerah.5 ngelabui proses politik yang semestinya ditem-
Di sisi lain, partai politik yang berperan puh.8 Dennis Thompson menegaskan bahwa
strategis di dalam pencalonan tidak memiliki
sumber pendanaan yang memadai untuk me-
6
menuhi pembiayaan dalam seluruh tahap pemi- Mietzner, “Dysfunction by Design...”; Muhammad
Aqil Irham, “Korupsi Demokratis dalam Partai
lihan. Dalam UU No. 2 Tahun 2011 tentang
Politik: Studi Kasus Penyelenggaraan Pemilu-
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor kada Lampung”, dalam Masyarakat : Jurnal
2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, pasal 34 Sosiologi Vol. 21, No. 80, 2016, hal. 35–56.
disebutkan bahwa partai politik memiliki 3 7
Lihat, Paul M Heywood, Routledge Handbook of
(tiga) sumber keuangan, yakni iuran anggota, Political Corruption (London dan New York:
sumbangan yang sah menurut hukum, dan Routledge, 2015); Geoffrey C Gunn, “Comparing
Political Corruption and Clientelism”, dalam
bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan
Journal of Contemporary Asia Vol. 39, 2009, hal.
150-54; Arnold I. Heidenheimer dan Michael
3
Lihat, Indonesia Corruption Watch, “Outlook Johston (eds.), Political Corruption (New Brunswick,
Korupsi Politik Indonesia…”. USA dan London, UK: Transaction Publishers,
4
Marcus Mietzner, “Dysfunction by Design: 2007); Ting Gong dan Ian Scott (eds.), Routledge
Political Finance and Corruption in Indonesia”, Handbook of Corruption in Asia (New York:
dalam Critical Asian Studies, Vol. 47, No. 4, 2015, Routledge, 2017).
8
hal. 587-610. Doron Navot, “Real Politics and the Concept of
5
Lihat, Indonesia Corruption Watch, “Outlook Political Corruption”, dalam Political Studies
Korupsi Politik Indonesia…”. Review, Vol. 14, No. 4, 2016, hal. 544–554; Susan

A R T I K E L
40 Prisma Vol. 37, No. 3, 2018

praktik korupsi tidak hanya telah menyimpang- negara.13 Kendati proses demokrasi telah meng-
kan aturan-aturan yang berlaku,9 tetapi sebalik- hadirkan aktor-aktor baru dalam pemerintahan,
nya, aturan-aturan yang ada sering kali dimani- tetapi karakter klientelistik masih mewarnai
pulasi untuk menutup atau membenarkan pe- alokasi dan distribusi sumber daya publik. Ka-
nyimpangan tersebut, sehingga korupsi yang rena itu, korupsi politik tidak cukup dijelaskan
terjadi di ranah institusi sulit untuk diberantas. sebagai ekses dari relasi yang klientelistik,
Korupsi politik, dalam pemahaman ini, adalah tetapi perlu juga dikaitkan dengan politik dis-
praktik yang melembaga dan melibatkan je- tribusi sumber daya yang berlangsung dalam
jaring kekuasaan 10, bahkan menjadi sebuah sistem politik tersebut.
sindikat karena melibatkan aktor-aktor dari Relasi klientelistik tetap bertahan, bahkan
beragam latar belakang.11 mampu beradaptasi dengan berbagai peru-
Studi lainnya membahas tentang korupsi bahan positif, seperti demokratisasi dan per-
politik sebagai ekses dari karakter relasi kekua- tumbuhan ekonomi, karena berbagai peru-
saan yang klientelistik dan praktik-praktik pre- bahan tersebut tidak mengubah pola pengelo-
datori yang dilakukan negara. 12 Karakter ke- laan sumber daya publik yang masih tetap
kuasaan menjadi variabel penting dalam me- dikuasai oleh segelintir orang. Terlepas dari
nganalisis korupsi politik untuk menjelaskan upaya masif KPK dalam memberantas korupsi,
penyebab dan mekanisme yang dipakai untuk bertambahnya jumlah kepala daerah atau calon
melanggengkan penyalahgunaan, bahkan men- kepala daerah yang menjadi tersangka dalam
justifikasi praktik korup tersebut sebagai hal kasus korupsi menunjukkan adanya keterkaitan
yang sulit dihindari dalam konteks politik suatu antara praktik korupsi politik dengan sistem
demokrasi elektoral yang sekarang digunakan.
Secara eksplisit, Marcus Mietzner menyebut-
kan disfungsi partai politik dan persoalan pem-
Rose-Ackerman, “Political Corruption and biayaan politik sebagai akar penyebab maraknya
Democracy”, dalam Journal of International Law, korupsi politik di era demokrasi elektoral di
Vol. 14, No. 2, hal. 363-378.
9 Indonesia. 14 Sistem pemilihan dengan daftar
Lihat, Dennis F Thompson, “Two Concepts of
Corruption”, dalam Edmond J Safra Working terbuka membuat kompetisi antar-figur menjadi
Papers, No. 16, 2013. kian ketat, sementara partai politik yang seha-
10
Lihat, Wolfgang Muno, “Clientelist Corruption rusnya menjalankan fungsi rekrutmen masih
Networks: Conceptual and Empirical Appro- bekerja dengan pola oligarki. Di sisi lain, sistem
aches”, dalam Tobias Debiel dan Andrea
pendanaan politik hanya memberi akses ter-
Gawrich (eds.), (Dys-)Functionalities of Corrupt-
ion: Comparative Perspectives and Methodo - batas kepada partai untuk menggalang dana
logical Pluralism (Wiesbaden: Springer VS,
2014), hal. 33–56.
11
Jiangnan, Zhu, “Corruption Networks in China:
13
An Institutional Analysis”, dalam Ting Gong dan Gong dan Scott (eds.), Routledge Handbook of
Ian Scott (eds.), Routledge Handbook of Corruption Corruption…”; Matthew Singer, “Buying Voters
in Asia (London dan New York: Routledge, with Dirty Money: The Relationship between
2017), hal. 27-41. Clientelism and Corruption”, dalam https://sci-
12
Lihat, Richard Robison dan Vedi R Hadiz, Re- hub.tw/https://papers.ssrn.com/sol3/papers.
organizing Power in Indonesia: The Politics of cfm/Delivery.cfm/SSRN_ID1459076_code
Oligarchy in an Age of Markets (London dan New 1320082.pdf/Delivery.cfm/SSRN_ID1459076_
York: Routledge Curzon, 2004); Michael code1320082.pdf/Delivery.cfm/SSRN_
Johnston, Syndromes of Corruption: Wealth, ID1459076_code1320082.pdf/Delivery.cfm/
Power, and Democracy (United Kingdom: SSRN_ID1459076_code1320082.pdf/Delivery.
Cambridge University Press, 2005); Thompson, cfm/SSRN_ID (diakses 17 April 2018).
14
“Two Concepts of ...”. Lihat, Mietzner, “Dysfunction by Design…”.

A R T I K E L
Caroline Paskarina, Korupsi Politik dalam Kompetisi Elektoral 41

bagi kegiatan-kegiatan politik, sehingga peluang jelas, sehingga tidak mengundang praktik
yang paling memungkinkan untuk digali adalah korupsi dalam rangka bersaing mempere-
melalui dana politik dari para kandidat atau dana butkan pengaruh atas kebijakan tersebut.
publik dari para kepala daerah petahana yang Dengan pembatasan itu, sistem politik sendiri
akan mencalonkan kembali atau dari para ang- sebenarnya telah menunjukkan keberpihakan
gota parlemen. pada kelompok sasaran tertentu. Namun, bagi
Artikel ini membahas bagaimana relasi kelompok-kelompok yang tidak secara langsung
klientelistik bertransformasi dalam praktik menerima manfaat dari kebijakan tersebut, bisa
demokrasi elektoral yang lebih kompetitif. juga berupaya memperoleh akses terhadap
Pembenahan sistem pembiayaan politik perlu proses kebijakan dalam bentuk memberi donasi
diimbangi dengan perubahan mendasar dalam dana kampanye secara legal maupun pe-
politik distributif sumber daya agar tidak di- nyuapan atau pemberian dana kampanye seca-
kuasai oleh segelintir elite politik yang berke- ra ilegal. Dalam konteks itu, praktik-praktik
pentingan mempertahankan relasi klientelistik korupsi politik tetap berlangsung, tetapi dires-
sebagai pembenaran untuk menggunakan sum- pons dengan lebih toleran karena publik sejak
ber daya publik bagi kepentingan pembiayaan awal telah mengetahui dan menempatkan sis-
aktivitas politiknya. Demokrasi elektoral me- tem politik sebagai institusi yang berpihak pada
mang berlangsung secara rutin, namun sirkulasi kelompok tertentu. Implikasinya, relasi klien-
kekuasaan berbasis klientelistik akan menja- telistik terbentuk di antara dua kelompok klien,
dikan pemilihan umum sebagai arena untuk yakni mereka yang secara langsung mem-
mentransaksikan sumber daya publik dengan peroleh manfaat dari kekuasaan dan mereka
dukungan suara. Untuk membahas lebih jauh yang berupaya “membeli” pengaruh dengan
argumentasi itu, artikel ini diawali dengan me- cara menyuap pembuat kebijakan. Dalam pola
metakan pemahaman terkini tentang korupsi itu, relasi klientelistik dan praktik korupsi dapat
politik, khususnya dalam konteks demokrasi terjadi bersamaan, kendati melibatkan pihak
elektoral dengan sistem kompetisi terbuka. yang berbeda. Misalnya, dalam membuat ke-
Bagian selanjutnya membahas ragam modus bijakan atau program, politisi dapat memberikan
korupsi politik yang mengindikasikan trans- program tersebut kepada pihak yang membe-
formasi klientelisme dan implikasinya terhadap rikan gratifikasi atau suap, sekaligus tetap
politik distributif sumber daya. Bagian penutup memberikan manfaat kepada para klien dalam
menyimpulkan politik distributif yang relevan bentuk program pork barrel.
untuk melawan klientelisme yang mengarah Pada pola yang kedua, dalam konteks po-
pada praktik korupsi politik. litik yang lebih kompetitif, publik akan meres-
pons dengan lebih tegas terhadap praktik-
praktik korupsi, meski publik tetap memper-
Klientelisme dan Korupsi
oleh manfaat dari kebijakan atau program yang
Politik dalam Demokrasi
dihasilkan dari praktik yang klientelistik.16
Elektoral
Kompetisi antar-aktor politik juga berdampak
Susan Rose-Ackerman membedakan dua pola pada tingginya penawaran dari pihak-pihak yang
relasi antara sistem politik dan kecenderungan berupaya memperjuangkan kepentingan ma-
korupsi.15 Pada pola pertama, sistem politik sing-masing. Kompetisi tidak hanya berlang-
menghasilkan kebijakan-kebijakan dengan sa- sung dalam arena politik untuk memperoleh
saran penerima manfaat yang dibatasi secara posisi kepemimpinan, tetapi juga di dalam

15 16
Susan Rose-Ackerman, “Political Corruption Lihat, Rose-Ackerman, “Political Corruption
and... ”. and…”.

A R T I K E L
42 Prisma Vol. 37, No. 3, 2018

penawaran yang diajukan kepada politisi untuk rupsi politik bisa menjadi cara bagi partai dalam
membuat kebijakan sesuai kepentingan ke- memenuhi kebutuhan dana untuk membeli
lompok tertentu. Penyimpangan yang menga- suara. Dengan keterbatasan sumber-sumber
rah pada praktik korupsi berlangsung melalui pembiayaan kampanye yang dapat diperoleh,
proses politik yang berlangsung di luar meka- korupsi menjadi solusi pragmatis bagi partai
nisme formal. Modus yang menonjol adalah politik yang menggunakan pendekatan klien-
melalui penyuapan kepada politisi. Pola yang telistik untuk tetap memperoleh suara di era
kedua itu menunjukkan bahwa korupsi masih kompetisi elektoral.
tetap berpeluang muncul dalam sistem politik Praktik klientelisme yang berlangsung
yang kompetitif. Negosiasi politik yang ber- dalam konteks elektoral sesungguhnya mem-
langsung secara informal dan tidak terpantau beri gambaran tentang bagaimana politik dis-
oleh publik menjadi arena yang rawan bagi tributif yang berlaku. Politik distributif menen-
berlangsungnya korupsi, baik dalam bentuk tukan kepada siapa partai akan memberikan
pork barrel maupun programatic politics dalam insentif, dari mana sumber insentif itu, dan cara
skala yang lebih luas. apa yang dipakai untuk mendistribusikan insen-
Pada sisi yang berbeda, Daniel Corstange tif tersebut.19 Kajian-kajian tentang klientelisme
menganalisis pola relasi klientelistik antara yang berlangsung dalam demokrasi elektoral
partai politik dan para pemilih.17 Partai politik membatasi politik distributif selama periode
menggunakan klientelisme untuk menentukan penyelenggaraan pemilu, sehingga cenderung
siapa pemilih yang perlu diberi uang sebagai lebih banyak menemukan pembelian suara
imbalan atas suara yang diberikan.18 Makin sebagai bentuk penyimpangan yang terjadi,
tinggi kadar perebutan suara, makin besar in- tetapi tidak menjelaskan perincian distribusi
sentif yang harus disiapkan partai politik untuk sumber daya dari aktor-aktor di luar partai ke
memperoleh suara dari para pemilih. Prioritas partai atau dari partai ke aktor lain, misalnya,
umumnya diarahkan kepada para pemilih yang penyelenggara pemilu. Karena lebih fokus pada
tidak mudah tergoyahkan sebagai sasaran tujuan untuk meraih suara, pola distribusinya
untuk memperoleh insentif dari partai politik. lebih banyak berbentuk persuasi dan mobi-
Modus yang banyak terjadi dalam pola klien- lisasi. Persuasi, dalam arti pemberian insentif,
telistik antara partai dan pemilih adalah pem- dilakukan kepada para loyalis, sedangkan mo-
belian suara ( vote buying). Kendati merupakan bilisasi dilakukan dengan memberikan insentif
sebuah bentuk pelanggaran dalam pemilu, kepada pemilih yang belum menentukan
praktik itu berbeda dengan korupsi politik sikap.20
karena tidak melibatkan penyalahgunaan ke- Dalam arena demokrasi elektoral yang
wenangan dalam kaitan dengan penggunaan makin kompetitif, relasi klientelistik dapat
sumber daya publik. Walaupun demikian, ko- berlangsung antara partai politik dan pemilih
serta antar-elite pembuat kebijakan dan ber-
17
bagai kelompok kepentingan. Korupsi dan
Daniel Corstange, “Clientelism in Competitive
klientelisme sering kali dikaitkan karena
and Uncompetitive Elections,” dalam Compa-
rative Political Studies, Vol. 51, No. 1, 2018, hal. keduanya mengarah pada perilaku para aktor
76-104. politik yang menyalahgunakan sumber-sumber
18
Jordan Gans-Morse, Sebastián Mazzuca, dan
Simeon Nichter. “Varieties of Clientelism:
19
Machine Politics during Elections”, dalam Ame- Gary W Cox, “Swing Voters, Core Voters and
rican Journal of Political Science, Vol. 58, No. 2, Distributive Politics”, dalam Political Repre-
2014, hal. 415–432; Susan C Stokes, et al., Brokers, sentation, 2009, hal. 342–357.
20
Voters, and Clientelism (New York: Cambridge Lihat, Cox, “Swing Voters…”; Stokes, et al.,
University Press, 2013). Brokers, Voters, and….

A R T I K E L
Caroline Paskarina, Korupsi Politik dalam Kompetisi Elektoral 43

daya publik untuk kepentingan pribadi, baik pertukaran antara diskresi kewenangan dengan
secara finansial maupun politik. Walaupun sumber daya publik tersebut berlangsung tanpa
demikian, bukan berarti keduanya identik atau diawasi oleh publik.21 Klientelisme menciptakan
memiliki hubungan kausal. Dalam konteks insentif bagi politisi untuk menolak perubahan
demokrasi elektoral yang makin kompetitif, yang akan membawa transparansi dan akun-
politisi bisa saja menyelenggarakan program- tabilitas atau memperkuat penegakan hukum,
program pembangunan yang menguntungkan bahkan politisi cenderung melemahkan ber-
bagi konstituen, tetapi praktik klientelistik itu bagai batasan pengaturan dalam sistem politik
tidak mengarah pada korupsi. Sebaliknya, prak- yang akan menganggu keberlanjutan praktik
tik korupsi seperti penyuapan atau gratifikasi klientelisme.22 Penilaian terhadap birokrasi
tidak harus berlangsung dalam relasi yang yang tidak berdasarkan kinerja juga akan ber-
klientelistik. Klientelisme akan mengarah pada dampak pada efisiensi pengelolaan sumber
korupsi politik jika terjadi penyalahgunaan daya, sehingga mendorong orang beroleh pela-
kewenangan di dalam alokasi dan distribusi yanan dengan memberi suap dan kick-back
sumber daya publik. Dalam upaya memperta- untuk memperlancar urusan dengan birokrasi.
hankan legitimasi kekuasaan, petahana juga Pada akhirnya, klientelisme akan menghasilkan
menggunakan politik distributif sebagai ins- sistem pemerintahan yang akuntabilitasnya
trumen untuk menentukan siapa yang akan lemah, pengambilan keputusan tidak dilakukan
menerima manfaat dari sumber daya yang secara transparan, dan diskresi kewenangan
tersedia. Dalam konteks itulah, kewenangan sangat tinggi. Kondisi itu juga menjadi lahan
untuk menentukan distribusi sumber-sumber subur bagi praktik korupsi politik. Dalam kon-
daya publik rentan mengarah pada korupsi disi itu, para aktor politik berpeluang besar
politik. Keterkaitan antara klientelisme dan berburu rente karena adanya kebutuhan ma-
korupsi politik mulai bergeser tidak lagi ber- syarakat untuk mengatasi birokratisasi penye-
kenaan dengan praktik-praktik penyuapan skala diaan sumber daya publik. Selain itu, lemahnya
kecil, tetapi pada pola yang lebih sistematik dan penegakan hukum juga seolah memberi pem-
masif terkait kepentingan akumulasi dana untuk benaran bagi perilaku-perilaku yang menyim-
mempertahankan kekuasaan. pang tersebut.23
Kondisi lainnya yang dapat mengubah
relasi klientelistik menjadi korupsi bersumber
Transformasi Klientelisme
dari kebutuhan untuk membiayai penyediaan
Dalam kondisi tempat penegakan hukum le- barang dan jasa publik yang akan dipertukarkan.
mah dan birokrasi terpolitisasi, relasi klien- Untuk menyediakan kebutuhan tersebut, po-
telistik berpeluang mengarah pada korupsi.
Klientelisme dan korupsi saling berkelindan 21
Matthew Singer, “Buying Voters with Dirty
memobilisasi dana untuk memperoleh sumber Money: The Relationship between Clientelism
daya yang pada gilirannya akan didistribusikan and Corruption,” dalam https://sci-hub.tw/
https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm/
oleh mesin politik, seperti partai politik, tim Delivery.cfm/SSRN_ID1459076_code1320082.
sukses, kelompok kepentingan, bahkan organi- pdf/Delivery.cfm/SSRN_ID1459076_code
sasi relawan dalam praktik politik kekinian. 1320082.pdf/Delivery.cfm/SSRN_ID145f9076
Klientelisme sering kali dikaitkan dengan ko- _code1320082.pdf/Delivery.cfm/SSRN_
rupsi karena klientelisme dapat menciptakan ID1459076_code1320082.pdf/Delivery.cfm/
SSRN_ID (diakses 17 April 2018); Stokes, et al.,
struktur politik bagi tumbuhnya korupsi. Klien-
Brokers, Voters, and….
telisme menghendaki agar politisi dan birokrat 22
Lihat, Stokes, et al., Brokers, Voters, and….
memiliki diskresi kewenangan dalam menga- 23
Lihat, Rose-Ackerman, “Political Corruption
lokasikan sumber daya dan program publik dan and…”.

A R T I K E L
44 Prisma Vol. 37, No. 3, 2018

litisi dapat menggunakan kewenangannya untuk Ketika politisi beralih ke berbagai bentuk
menyusun program yang secara langsung pemerasan dan penyuapan untuk membiayai
bermanfaat bagi pendukungnya atau dengan klientelisme, muncul masalah baru dalam politik
cara mengubah skema penganggaran dari pro- distributif sebagai akibat dari praktik tran-
gram pemerintah ke kas pemilu. 24 Dalam kon- saksional untuk memperoleh suara. Pemilih
teks itu, relasi klientelistik yang koruptif mema- yang memiliki sumber daya besar, tetapi eng-
nipulasi politik distributif negara untuk menye- gan memberikan suara, akan memilih menye-
diakan sumber daya publik bagi kepentingan diakan dukungan material bagi politisi dengan
politik transaksional. imbalan akan memperoleh manfaat dari kebi-
Seiring dengan berkurangnya peran negara jakan atau program yang dibuat politisi, ter-
dalam perekonomian, terjadi pergeseran dalam masuk konsesi dan subsidi lain yang makin
corak politik distributif sumber daya, sehingga menguntungkan pemilik kapital.28 Hal tersebut
kewenangannya tidak lagi didominasi oleh menunjukkan bahwa pertukaran dalam relasi
negara. Jika politisi tidak dapat secara langsung klientelistik yang koruptif tidak hanya me-
menggunakan sumber daya negara untuk mem- libatkan pemberian sumber daya dengan im-
biayai praktik-praktik klientelistik, mereka akan balan suara, karena kapital yang diperoleh
mencari rente dan bentuk-bentuk korupsi lain politisi dapat digunakan oleh politisi untuk
untuk mengumpulkan dana yang diperlukan. menggali dukungan dari para konstituen. Bukan
Secara khusus, politisi dapat mengumpulkan imbalan suara yang diharapkan politisi dari para
dana yang kemudian didistribusikan oleh partai pemilik kapital, melainkan dukungan dana
kepada pemilih dengan melelang kebijakan untuk biaya politik. Pola relasi itu tidak berkait
yang akan diterbitkan dan menentukan siapa dengan upaya mempertahankan loyalitas,
yang akan mendapat kontrak pengadaan atau sehingga tampak lebih pragmatis. Di sisi lain,
menggunakan kewenangan yang mereka miliki politisi menggunakan strategi klientelistik untuk
untuk meminta suap atau gratifikasi. 25 Para memperoleh dukungan suara dari pemilih yang
pejabat partai juga dapat meminta suap atau tidak memiliki banyak sumber daya, tetapi
kick-backs dari program-program yang ditu- berpotensi memberikan suara kepada politisi
gaskan pelaksanaannya kepada birokrasi; dana tersebut. Bagi para pemilih, diberikan insentif
ini selanjutnya digunakan untuk berbagai ke- materi secara selektif sebelum dan sesudah
pentingan partai, termasuk untuk kegiatan pemilihan sebagai imbalan atas “penyerahan”
kampanye.26 Patronase juga dapat mengurangi suara mereka.29 Dalam pola relasi itu pun tidak
pengeluaran biaya kampanye lainnya dengan ada kepentingan untuk membangun loyalitas,
cara memberi imbalan kepada mereka yang karena pertukaran sumber daya dan suara
bekerja atas nama partai. 27 tersebut tuntas ketika proses pemberian suara
selesai.
Pola di atas menunjukkan bahwa kewe-
24
Lihat, Herbert Kitschelt dan Steven I Wilkinson nangan atas sumber daya publik dipakai untuk
(eds), Patrons, Clients, and Policies: Patterns of
mengakumulasi kapital yang diperlukan untuk
Democratic Accountability and Political Competit-
ion (Cambridge: Cambridge University Press,
2007). dalam Latin American Research Review, Vol. 38,
25
Lihat, Rose-Ackerman, “Political Corruption No. 3, 2003, hal. 3-36.
28
and…”. Herbert Kitschelt, “Linkages between Citizens
26
Lihat, Rose-Ackerman, “Political Corruption and Politicians in Democratic Polities”, dalam
and…”. Comparative Political Studies, Vol. 33, No. 6, 2000,
27
Steven Levitsky, “From Labor Politics to Machine hal. 845-879.
29
Politics: The Transformation of Party-Union Lihat, Kitschelt, “Linkages between Citizens
Linkages in Argentine Peronism, 1983-1999”, and…”.

A R T I K E L
Caroline Paskarina, Korupsi Politik dalam Kompetisi Elektoral 45

Tabel 2 Kasus Korupsi dengan Dugaan untuk Pendanaan Pemilu

Sumber: Indonesia Corruption Watch, “Outlook Korupsi Politik Indonesia 2018”, dalam https://
antikorupsi.org/sites/default/files/tren_korupsi_2017_0.pdf (diakses 17 April 2018).

memenuhi biaya politik dalam pemilihan. Relasi yang dilakukan oleh para kepala daerah yang
klientelistik tidak lagi bersifat dyadic seba- akan mencalonkan diri kembali atau mencalon-
gaimana dalam konsep James Scott30, tetapi kan kerabatnya dalam pemilihan berikutnya.
bergeser lebih pragmatik. Karena melibatkan Riset yang dilakukan ICW menemukan kecen-
kewenangan di dalam distribusi sumber daya derungan modus korupsi politik pasca-pemi-
publik, maka praktik korupsi yang lahir dari lihan kepala daerah secara langsung sebagai
relasi klientelistik pragmatik itu skalanya lebih berikut (lihat, Tabel 2).31
besar, seperti diindikasikan dari modus korupsi Sembilan kasus dalam Tabel 2 menunjuk-
kan adanya potensi pengumpulan dan pengem-
30
balian modal pemilu dari hasil korupsi. Per-
James C Scott, “Patron-Client Politics and
Political Change in Southeast Asia”, dalam
31
American Political Science Review, Vol. 66, 1972, Lihat, Indonesia Corruption Watch, “Outlook
hal. 91-113. Korupsi Politik Indonesia…”.

A R T I K E L
46 Prisma Vol. 37, No. 3, 2018

dagangan izin, suap kebijakan, hingga jual beli duanya, mahar politik diperlukan untuk biaya
jabatan dilakukan oleh kepala daerah untuk saksi dalam penghitungan suara, sehingga be-
mengumpulkan dan mengembalikan modal sarannya bervariasi tergantung jumlah pemilih
pemilu.32 Modal tersebut diperlukan untuk di wilayah tersebut. Selain kedua kasus itu,
membiayai lima proses yang umumnya dilalui tampaknya kecenderungan bakal calon untuk
kandidat dalam pemilu dan mengeluarkan mo- mengaku dimintai mahar politik oleh partai
dal besar, baik legal maupun ilegal, yakni proses mulai bertambah, sehingga isu mahar politik
pengajuan bakal calon, seleksi internal di partai perlu menjadi perhatian dalam penanganan
politik, kampanye, penghitungan suara, dan kasus korupsi politik.
proses penyelesaian sengketa. 33 Proses yang Fase berikutnya yang rawan dengan modus
pertama adalah pra-kandidasi; (para) kandidat korupsi adalah periode kampanye; kandidat
berupaya mempromosikan diri ke hadapan perlu menyiapkan banyak sumber daya untuk
publik dan partai politik untuk dicalonkan se- menyukseskan sosialisasi diri dan programnya.
bagai bakal calon kepala daerah. Dalam proses Kasus-kasus pembelian suara marak ditemukan
itu, bakal calon umumnya memerlukan biaya pada tahap itu dan pada hari pemungutan suara.
untuk membuat dan memasang alat-alat peraga Pada fase pemungutan suara, kebutuhan akan
untuk menyosialisasikan diri, misalnya, dalam biaya yang perlu disiapkan partai atau kandidat
bentuk baliho, menggelar acara-acara bersifat adalah dana untuk biaya saksi pemungutan,
populis, bahkan melakukan survei. penghitungan, dan pengawalan suara. Keber-
Kebutuhan dana juga diperlukan saat kan- adaan saksi di setiap TPS yang dibebankan
didat membangun dukungan dari partai politik kepada partai politik menjadi alasan bagi partai
pada fase nominasi atau seleksi di internal partai bersangkutan untuk meminta kandidat turut
politik.34 Partai politik tidak pernah mengakui membantu menyediakan dana bagi saksi, kare-
adanya biaya pencalonan internal, tetapi isu na partai tidak memiliki sumber dana yang
mengenai mahar politik telah beredar luas di memadai. Kebutuhan dana akan bertambah jika
masyarakat. Beberapa kasus yang sempat hasil penetapan mengarah pada sengketa. Kan-
muncul ke permukaan di antaranya pernyataan didat dan partai perlu menyiapkan sumber daya
La Nyalla Mataliti yang mengaku diminta Rp untuk mengawal proses penyelesaian seng-
170 miliar untuk mendapat dukungan partai keta.
politik dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur Untuk memenuhi kebutuhan dana terse-
2018 35 dan Siswandi, bakal calon wali kota but, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
Cirebon, yang mengaku dimintai mahar oleh tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
salah satu partai sebagai persyaratan untuk Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Pera-
memperoleh rekomendasi pencalonan dari turan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
partai tersebut. 36 Berdasarkan pernyataan ke- Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gu-
bernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-
32
Lihat, Indonesia Corruption Watch, “Outlook Undang, pasal 74 ayat (1) menyebutkan bahwa
Korupsi Politik Indonesia…”; Mietzner,
dana kampanye pasangan calon yang diusulkan
“Dysfunction by Design…”.
33
Lihat, Indonesia Corruption Watch, “Outlook partai politik atau gabungan partai politik dapat
Korupsi Politik Indonesia…”. diperoleh dari sumbangan partai politik dan/
34
Lihat ndonesia Corruption Watch, “Outlook atau gabungan partai politik yang mengusulkan
Korupsi Politik Indonesia…”. pasangan calon, sumbangan pasangan calon,
35
Lihat, https://www.liputan6.com/news/read/
dan/atau sumbangan pihak lain yang tidak me-
3223582/la-nyalla-saya-dimaki-maki-prabowo-
disuruh-bayar-uang-saksi (diakses 10 Mei 2018).
36
Lihat, http://www.pikiran-rakyat.com/jawa- cirebon-siswandi-akui-diminta-mahar-417814
barat/2018/01/13/gagal-maju-pilwalkot- (diakses 10 Mei 2018).

A R T I K E L
Caroline Paskarina, Korupsi Politik dalam Kompetisi Elektoral 47

ngikat yang meliputi sumbangan perseorangan Anggaran publik yang rawan dikorupsi
dan/atau badan hukum swasta. Sementara itu, mencakup perizinan, pemberian bantuan sosial
pada ayat (2) diatur ketentuan tentang sumber dan hibah, program alokasi dana desa, jual beli
dana kampanye untuk pasangan calon perseo- jabatan kedinasan, dan suap dalam pengadaan
rangan yang dapat diperoleh dari sumbangan barang dan jasa. Ragam modus tersebut sangat
pasangan calon, sumbangan pihak lain yang jelas mengindikasikan penyalahgunaan kewe-
tidak mengikat yang meliputi sumbangan per- nangan kepala daerah di dalam sejumlah ranah
seorangan dan/atau badan hukum swasta. pengelolaan urusan publik, seperti pengang-
Jumlah maksimal sumbangan dana kampanye garan, perekrutan pejabat daerah, pemberian
yang berasal dari pihak lain, yakni paling banyak izin sumber daya alam, pengadaan barang dan
Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah) jasa serta pembuatan peraturan kepala daerah,
dari perseorangan dan dari badan hukum swas- dan adanya dinasti kekuasaan, hal ini menye-
ta paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus babkan kepala daerah melakukan tindak pidana
lima puluh juta rupiah). Di luar sumbangan bagi korupsi melalui suap dan gratifikasi. Selain itu,
pasangan kandidat, partai politik dan/atau modus korupsi politik juga menegaskan ren-
gabungan partai politik yang mengusulkan pa- tannya politik distributif di tingkat lokal sebagai
sangan calon dan pasangan calon perseorangan akibat dari luasnya penerjemahan diskresi
dapat menerima dan/atau menyetujui sum- kewenangan kepala daerah, sehingga pengelo-
bangan yang bukan dalam bentuk uang secara laan sumber daya publik tetap berada di bawah
langsung untuk kegiatan kampanye yang jika dominasi kepala daerah. Fenomena state
dikonversi berdasar harga pasar nilainya tidak capture dalam politik distributif membuktikan
melebihi sumbangan dana kampanye dari pihak bahwa demokrasi elektoral yang kompetitif pa-
lain. da kenyataannya belum melahirkan perubahan
Batasan maksimal sumbangan dana kam- signifikan di dalam tata kelola pemerintahan
panye dalam ketentuan tersebut telah dinaik- yang menyejahterakan publik. Dalam konteks
kan dari batasan maksimal sebelumnya, yakni politik distributif yang pragmatis, kepala daerah
dari perseorangan paling banyak Rp 50 juta dan menggunakan kewenangannya untuk menjalin
badan hukum swasta paling banyak Rp 350 juta. relasi transaksional dengan para pemilik kapital,
Kenaikan batas maksimal sumbangan dana sebagaimana tergambar dari modus pemberian
kampanye tersebut menegaskan betapa mahal- izin pengelolaan sumber daya atau pengadaan
nya biaya yang diperlukan untuk dapat ber- barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
kompetisi dalam demokrasi elektoral saat ini. pendanaan politik. Akan tetapi, modus korupsi
Namun, di sisi lain, ketentuan tersebut juga politik dalam konteks kompetisi elektoral
memberi celah bagi kandidat atau partai politik memiliki keunikan, karena melalui modus ini
untuk memanfaatkan relasi klientelistik dalam sumber-sumber daya publik disalurkan kepada
mengoptimalkan sumber-sumber pendanaan kelompok-kelompok sasaran. Kendati motifnya
kampanyenya. Dari modus korupsi politik yang adalah mengoptimalkan perolehan suara dan
ditemukan oleh berbagai riset, kebutuhan pen- dukungan politik, tetapi praktik distribusi
danaan justru lebih banyak bersumber dari populis semacam itu juga berkontribusi bagi
anggaran publik atau program-program pem-
bangunan yang dipolitisasi untuk meraih du-
kungan dari pemilih.37 an Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan
dan Pembangunan, “Faktor-faktor Penyebab
Kepala Daerah…”; Indonesia Corruption Watch,
37
Hal ini ditemukan oleh beberapa riset yang dila- “Outlook Korupsi Politik Indonesia…”; Trans-
kukan oleh lembaga pemerintah maupun nonpe- parency International Indonesia, “Survei
merintah; lihat, Pusat Penelitian dan Pengembang- Persepsi Korupsi…”.

A R T I K E L
48 Prisma Vol. 37, No. 3, 2018

bertahannya korupsi politik, sehingga tidak sekuensinya, tidak dapat disalurkan untuk
mengherankan jika kandidat yang telah menjadi memelihara jaringan klientelistik.
terduga koruptor masih memperoleh suara Di sisi lain, praktik klientelistik yang ko-
dalam pemilu.38 Karena itu, upaya pemberan- ruptif itu juga dikompensasi melalui program-
tasan korupsi politik harus diimbangi dengan program pembangunan populis yang diharap-
perubahan radikal dalam politik distributif agar kan dapat menambah dukungan suara dan
akses terhadap barang dan jasa publik dapat legitimasi bagi politisi.40 Kehadiran program-
tersebar dengan merata di seluruh lapisan program populis dalam jangka pendek dapat
masyarakat. memenuhi kebutuhan publik akan pelayanan,
tetapi program-program itu tidak didesain untuk
jangka panjang sehingga keberlanjutannya
Membebaskan Politik Distributif
sangat tergantung pada figur penguasa. De-
dari Jerat Korupsi
mokrasi elektoral yang dewasa ini makin kom-
Relasi klientelistik ditandai oleh kombinasi petitif telah mengubah relasi klientelisme ke
antara sasaran yang ditentukan secara khusus arah yang lebih pragmatis, tempat korupsi
dan pertukaran yang berkelanjutan.39 Dalam politik justru menjadi instrumen untuk men-
demokrasi elektoral yang kompetitif, siapa yang distribusikan sumber daya kepada publik. Per-
menjadi sasaran ditentukan oleh kapasitasnya geseran itu memunculkan wajah korupsi politik
dalam memberikan dukungan, bukan hanya yang berbeda, yang tidak lagi berfokus pada
dalam bentuk suara, tetapi juga dukungan dana praktik pemerasan (extortion) tetapi pada prak-
pemilu. Kasus-kasus korupsi politik yang te- tik pertukaran (transactional) saling mengun-
rungkap di Indonesia pasca-pemilihan langsung tungkan para pihak, bahkan para pihak yang
menunjukkan bahwa bentuk-bentuk penyim- terlibat pun dapat memilih untuk berpartisipasi
pangan yang terjadi merupakan korupsi dalam atau tidak berdasarkan pertimbangan keun-
skala masif; politisi memberi konsesi, kebi- tungan yang diperoleh.41 Klientelisme dalam
jakan, atau kontrak pengadaan barang dan jasa rezim demokrasi dipakai sebagai strategi untuk
kepada pemilik kapital yang ditujukan untuk memperkuat state capture pada aras elite
menggali sebesar mungkin potensi dana yang penguasa dengan cara mendistribusikan sum-
tersedia. Hal itu tidak mungkin disediakan oleh ber daya publik melalui program populis agar
bentuk korupsi kecil-kecilan, karena dana yang mendapat pengakuan publik. Namun, pilihan itu
dihasilkan tidak memadai untuk membiayai telah mengurangi keuntungan para elite politik
bekerjanya mesin politik pemilu dan, kon- dari ekstraksi sumber daya dan dengan demi-
kian muncul biaya politik yang lebih tinggi untuk
mengompensasi kekurangan tersebut.
38
Caroline Paskarina, “Surviving Election/: Cor- Praktik korupsi politik yang “menyamar”
ruption and Transformation Of Clientelism”, dalam relasi klientelistik dan program-program
dalam Journal of Power, Conflict, and Democracy populis menambah kompleksitas pemberan-
Journal in South and Southeast Asia, Vol. V, No. 2,
tasan korupsi, karena makin samarnya batas
2017 hal. 267-296; Luigi Manzetti dan Carole J
Wilson, “Why Do Corrupt Governments Maintain antara pelanggaran hukum dan diskresi ke-
Public Support?”, dalam Comparative Political wenangan untuk kepentingan publik. Karena
Studies Vol. 40, No. 8, 2007, hal. 949-970; dan itu, dampak dari maraknya korupsi politik tidak
Mircea Popa, “The Distributive Effects of Cor- hanya ditunjukkan dari besarnya kerugian
ruption”, dalam Political Science Research and
Methods Vol. 2, No. 02, 2014, hal. 273-296.
39 40
Allen Hicken, “Clientelism”, dalam Annual Lihat, Kitschelt, “Linkages between Citizens
Review of Political Science, Vol. 14, No. 1, 2011, and…”.
41
hal. 289-310. Popa, “The Distributive Effects of…”.

A R T I K E L
Caroline Paskarina, Korupsi Politik dalam Kompetisi Elektoral 49

negara, tetapi juga dari inefisiensi dalam tata daya tersebut sehingga tidak semua kalangan
kelola sumber daya publik yang berdampak dapat memperolehnya. Dengan memperta-
pada lambannya distribusi barang dan jasa. hankan eksternalitas sumber daya tersebut,
Politik distributif yang dikelola secara koruptif hanya pihak-pihak tertentu yang dapat me-
hanya akan menguntungkan individu yang manfaatkannya padahal barang tersebut akan
mampu “membayar” pemerintah untuk mem- lebih bermanfaat jika dikelola secara umum.
peroleh barang dan jasa publik yang dibu- Dengan demikian, efek korupsi pada dasarnya
tuhkannya, sehingga alokasi dan distribusi akan merusak peluang publik untuk memper-
sumber daya publik tidak ditentukan oleh oleh sumber daya dengan lebih efisien. Kendati
kemanfaatannya secara sosial.42 Hak-hak eko- ada program-program populis yang dapat men-
nomi sosial budaya merupakan yang paling jangkau sasaran lebih banyak, namun ketika
sering dilanggar, sehingga masyarakat dengan program-program itu dikelola dalam sistem
tingkat ekonomi rendah menjadi korban demi yang korup, program ini tidak menyelesaikan
kepentingan yang lebih besar, yakni kong- akar permasalahan sistem distribusi kesejah-
lomerasi dan negara.43 Masyarakat dengan teraan, yakni persoalan pembatasan akses
kelas ekonomi yang lebih rendah secara sis- publik terhadap pengelolaan sumber daya.
tematis dan struktur dilanggar hak-haknya serta Sebaliknya, sistem yang korup akan senantiasa
termiskinkan oleh sistem yang korup. Mereka mempertahankan pembatasan akses itu agar
sulit memenuhi kebutuhan hidup, seperti hak pihak-pihak yang diuntungkan sistem tersebut
atas kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas dapat menentukan siapa yang berhak dan tidak
tempat tinggal, hak atas pekerjaan dan hak berhak menerima manfaat sumber daya publik.
lainnya, karena sistem yang tidak berpihak Politik distributif yang korup tidak hanya mem-
kepada rakyat dan diperparah dengan men- batasi akses publik akan sumber daya, tetapi
jamurnya praktik korupsi. Kebutuhan pokok juga mempertahankan relasi kuasa yang mani-
untuk hidup layak hakikatnya adalah sebuah pulatif. Mereka yang memperoleh keuntungan
hak yang harus diklaim oleh warga negara dan dari sistem yang korup cenderung akan mem-
dipenuhi oleh negara, bukan hanya melalui berikan suara bagi kandidat yang dapat men-
program-program populis jangka pendek. jamin keberlanjutan sistem tersebut, sehingga
Hanya orang-orang tertentu yang dapat kendati pemilihan berlangsung dengan kom-
mengakses sumber daya publik. Kalaupun ada petitif, tetap tidak akan mampu menghilangkan
pihak lain yang memperoleh akses terhadap praktik-praktik korupsi.
sumber daya itu, biasanya adalah mereka yang Dewasa ini, korupsi politik dalam demo-
mampu mempertahankan eksternalitas sumber krasi elektoral muncul karena praktik politik
berbiaya tinggi untuk memenuhi berbagai
kebutuhan selama proses pemilihan, semen-
42
Andrei Shleifer dan Robert W Vishny, “Cor- tara partai politik sebagai instrumen utama
ruption”, dalam Quarterly Journal of Economics, dalam pemilu tidak didukung oleh sumber
Vol. 108, No. 3, 1993, hal. 599-617; juga Benjamin
A Olken dan Patrick Barron, “The Simple
pendanaan yang memadai. Regulasi pemilu juga
Economics of Extortion: Evidence from Trucking memberi peluang yang besar bagi perorangan
in Aceh”, dalam Journal of Political Economy Vol. atau badan hukum swasta memberikan sum-
117, No. 3, 2009, hal. 417-452. bangan dana kepada kandidat atau partai politik
43
Ratna Dasahasta et al ., “No Impunity, Melawan yang berkompetisi dalam pemilu. Kondisi ini
Korupsi Politik Laporan Masyarakat Sipil Ten-
menjadi celah bagi berlangsungnya siklus
tang Implementasi UNCAC Di Indonesia”, dalam
http://mappifhui.org/wp-content/uploads/ klientelisme-korupsi-klientelisme yang me-
2015/10/CSO-report-UNCAC1.pdf (diakses 1 nunjukkan state capture dalam politik distributif
Mei 2018). sumber daya publik. State capture terjadi ketika

A R T I K E L
50 Prisma Vol. 37, No. 3, 2018

berbagai kelompok politik, ekonomi, atau sosial distributif yang oligarkis. Untuk melakukan hal
berkonspirasi untuk memperoleh akses atas ini, perubahan mendasar harus dilakukan dalam
kewenangan distributif dan regulatori yang sistem kepartaian karena partai politik adalah
dimiliki negara, dengan tujuan untuk mem- sumber rekrutmen para pembuat kebijakan.
peroleh keuntungan personal. 44 Dominasi kua- Seluruh regulasi yang dihasilkan dalam tata
sa kapital dalam pendanaan politik pemilu dapat kelola pemerintahan dibuat oleh aktor-aktor
menyebabkan partai politik dan kandidat ter- yang dipromosikan oleh partai politik sebagai
kooptasi, demikian pula kontrol dari pemilih kandidat kepala daerah dan anggota legislatif.
terhadap partai politik dan kandidat tidak mung- Kendati sistem pemilu terus-menerus diper-
kin dilakukan terutama terhadap isu-isu yang baiki, tetap akan menjadi kontraproduktif bila
bertentangan dengan kepentingan pemodal. pembaruan itu tanpa diimbangi dengan pem-
Determinasi kekuatan uang di dalam politik benahan dalam pengelolaan internal partai
di Indonesia sebagai negara yang sedang me- politik, khususnya menyangkut keuangan par-
ngalami transisi politik dengan fragmentasi tai dan kewenangan dalam penentuan kandidat.
yang cukup tinggi menimbulkan ketergan- Korupsi terutama terjadi karena diskresi
tungan yang besar pada kuasa ekonomi. Hal itu kewenangan yang besar tidak diimbangi oleh
dapat menimbulkan kooptasi langsung ataupun akuntabilitas. Karena itu, perubahan mendasar
tidak langsung terhadap kekuasaan politik. yang harus segera dilakukan dalam membenahi
Fenomena kapitalis an-sich menjadi kapitalis- politik distributif sumber daya agar tidak dikoop-
politisi dan kapitalis-birokrat akan makin marak. tasi elite adalah dengan meningkatkan akun-
Fenomena itu kelak diwarnai penguasaan struk- tabilitas pengelolaan sumber daya publik.
tur atau pos anggaran tertentu dalam peme- Akuntabilitas juga harus ditegakkan di dalam
rintahan untuk posisi kaum pebisnis yang se- tubuh partai politik sebagai instrumen utama
cara tidak langsung juga memberikan kekua- dalam demokrasi elektoral, terutama proses
saan politik untuk mengakumulasikannya. Kom- pemilu yang rawan dengan praktik-praktik
posisi pendanaan yang secara dominan dikuasai korupsi, seperti pra-kandidasi, pencalonan,
oleh kelompok elite politik dan pengusaha akan kampanye, dan penghitungan suara. Proses
menciptakan struktur kebijakan yang oligarkis. seleksi dan kandidasi yang terbuka dan desen-
Partai politik dan kandidat sebagai aktor utama tralistik perlu dikembangkan oleh partai politik
kebijakan publik akan lebih mudah dikontrol untuk menunjukkan komitmennya terhadap
oleh kekuatan oligarkis itu. pemberantasan korupsi politik. Terakhir, akun-
Pemerintah harus segera menjadikan upa- tabilitas juga harus menjadi prinsip yang men-
ya pemberantasan terhadap korupsi politik dasari sistem pendanaan politik, baik dalam hal
sebagai prioritas agar tidak mereproduksi politik penentuan sumber-sumber pendanaan bagi
kegiatan partai politik di luar masa pemilu
44
Aris Trantidis dan Vasiliki Tsagkroni, “Clientelism maupun pembiayaan selama pemilu berlang-
and Corruption: Institutional Adaptation of State
sung. Karena itu, pembenahan regulasi kepar-
Capture Strategies in View of Resource Scarcity in
Greece”, dalam British Journal of Politics and taian yang menyangkut keuangan dan kewe-
International Relations, Vol. 19, No. 2, 2017, hal. nangan partai politik menjadi hal strategis yang
263-281. harus segera dilakukan secara komprehensif.•

A R T I K E L

Anda mungkin juga menyukai