Anda di halaman 1dari 12

POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

Praktik Politik Nepotisme dalam Pemilihan


Walikota
Political Nepotism Practices in Election Mayor
Rachman Sidharta Arisandi
Universitas Islam Majapahit
rachman.arisandy@unim.ac.id
sandyrsaei@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini memusatkan perhatian pada berbagai bentuk nepotisme politik dalam pemilihan walikota.
Penelitian teori grounded diadopsi sebagai pendekatan yang sesuai dengan tujuan penelitian, yakni
untuk menghasilkan model teoritis pada nepotisme politik dan perlawanan masyarakat. Perilaku aktor
politik utama telah membentuk jaringan politik nepotisme daerah, dengan ciri praktik-praktik koersif
dan hegemonik, konspirasi dan oligarki. Perilaku demikian mengakibatkan disafeksi politik temporer,
yang ditandai dengan rasa ketidakberdayaan, ketidaktertarikan, ketidakpercayaan, ketidakpedulian,
keterasingan, dan sinisme terhadap aktor-aktor politik, partai politik, lembaga-lembaga politik
serta proses politik lokal. Ada tiga ranah tujuan yang hendak dicapai oleh nepos dan nepotis, yaitu:
meningkatkan popularitas Nepos, mendapatkan legalitas Nepos, dan meningkatkan elektabilitas
Nepos. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa praktik nepotisme politik, baik untuk meningkatkan
popularitas, mendapatkan legalitas dan meningkatkan elektabilitas, mengakibatkan berbagai bentuk
perlawanan masyarakat, mulai dari stigmatisasi negatif, berbagai bentuk perlawanan simbolik,
transaksionalisasi dukungan dan suara, dan akhirnya perlawanan elektoral yang tercermin dalam
ketidakmauan memberikan suara bagi aktor.

Kata Kunci: Prilaku Politik Lokal, Jejaring Politik, Politik Nepotisme Daerah, Politik Disafeksi
Masyarakat, Penolakan Elektoral Masyarakat.

Abstract
This study focuses on the various forms of political nepotism in mayoral election. Grounded-theory
research adopted as the approach in accordance with the objective of the study, that is to generate a
theoretical model on the political nepotism and people’s electoral resistance. The main political actors’
behavior have formed local political networks of nepotism, which is characterized by the practices of
coercive and hegemonic power, conspiracy and oligarchy. Such behaviors resulted in a temporary
political disaffection, which is characterized by the sense of helplessness, lack of interest in, distrust,
ignorance, alienation and cynicism towards political actors, political parties, political institutions as
well as the local political process. There are three domains of interest of political nepotism that the
nepos and nepotis wanted to achieve, namely: increasing nepos’ popularity, getting nepos’ legality,
and improving nepos’ electability. The study also concludes that the practice of local political
nepotism, both to increase the popularity, to get legality, as well as to improve electability, lead to some
forms of community resistance, ranging from negative stigmatization, various symbolic resistances,
transactionalization of support and votes and finally electoral resistance reflected in the unwillingness
to vote for the actors.

Key words: Local political behavior, political network, local political nepotism, people’s political
disaffection, people’s electoral resistance.

JURNAL POLITIK 1867 VOL. 12 No. 02. 2016


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

PENDAHULUAN diteliti, karena, praktik korupsi politik tidak hanya


Tidak ada yang bisa memungkiri, setelah bertentangan dengan norma hukum dan etika
reformasi politik (1998) atau pasca orde baru, maka, politik, akan tetapi, juga bertentangan dengan
kehidupan demokrasi di Indonesia mengalami asas-asas demokrasi dan meritokrasi.
perubahan sangat mencolok. Perubahan tersebut Dalam penelitian ini, ada tiga pertanyaan
tidak hanya menyangkut perundang-undangan utama yang diajukan, yakni bagaimana para
partai politik, Pemilu Legislatif, dan Pemilihan aktor individual dan kolektiva membangun dan
Presiden, akan tetapi, juga menyangkut pemilihan menggunakan jejaring untuk praktik politik
bupati, walikota dan gubernur. nepotisme di daerahnya, kemudian, bagaimana
Sejatinya, pemilihan walikota atau bupati para aktor individual dan kolektiva melakukan
melalui pemungutan suara rakyat secara langsung, praktik politik nepotisme daerah, serta, bagaimana
dimaksudkan untuk: (1) meningkatkan peran warga masyarakat menunjukkan perlawanan
warga masyarakat dalam rekrutmen walikota terhadap praktik politik nepotisme di daerahnya.
atau bupati, (2) memperoleh walikota atau bupati Sebagaimana diketahui, meski politik
dengan legitimasi lebih tinggi, dan (3) mengurangi nepotisme telah menggejala dalam pemilihan
peluang terjadinya praktik politik uang dalam walikota atau bupati, namun, belum ada penelitian
pemilihan walikota atau bupati . spesifik yang memusatkan perhatian pada praktik
Kajian pendahuluan terhadap pemilihan politik nepotisme dalam pemilihan walikota atau
walikota atau bupati menunjukkan kecenderungan bupati, khususnya di Indonesia.
peningkatan korupsi politik yang mencakup Dalam konteks Indonesia, pemilihan
praktik politik uang (money politics), politik walikota atau bupati secara langsung telah
dinasti (dynastic politics), politik pertemanan memunculkan fenomena baru berupa patronase
(crony politics), dan politik nepotisme (nepotistic politikyang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip
politics). Jika praktik politik uang sudah demokrasi modern.Mengingat, patronase politik
menggejala ketika walikota atau bupati dipilih bisa terjadi antara seseorang yang menyediakan
secara tidak langsung oleh Dewan Perwakilan modal baik finansial maupun sosial pada calon
Rakyat Daerah selama masa orde baru, maka, walikota atau bupati dan calon wakil walikota
praktik politik pertemanan, terlebih politik dinasti atau bupati. Sementara, politik dinasti terjadi
dan politik nepotisme kian mengemuka ketika antara seseorang yang memegang jabatan politik
pemilihan walikota atau bupati dipilih secara daerah yang dengan kewenangan dan sumberdaya
langsung melalui pemilihan umum daerah. yang dimilikinya mendukung salah satu anggota
Akibat praktik politik nepotisme bisa keluarga atau kerabat untuk menjadi walikota atau
ditemukan, misalnya, dalam waktu bersamaan bupati. Sementara, nepotisme politik terjadi antara
seorang suami menjadi bupati di suatu daerah, seseorang yang memegang jabatan politik daerah
sedangkan isterinya menjadi bupati di daerah menyalahgunakan kewenangan dan sumberdaya
lain --- atau, seorang bupati yang sudah menjabat publik yang dipercayakan kepadanya untuk
dua periode kemudian digantikan oleh putra mendukung salah satu anggota keluarga atau
kandungnya --- bahkan, seorang bupati yang kerabat untuk menjadi walikota atau bupati.
sudah menjabat dua periode, kemudian digantikan Sebagaimana ditelaah oleh Skinner
oleh isterinya. (Skinner, 2006), korupsi adalah perilaku
Selaras dengan yang tersebut di atas, menyimpang dari tugas resmi suatu peran publik
banyak calon walikota atau bupati yang yang terjadi karena pengaruh hubungan pribadi,
mempunyai hubungan keluarga, baik berdasarkan seperti hubungan keluarga, keluarga dekat, dan
keturunan (consanguinity) maupun karena kelompok pribadi yang memberikan keuntungan
hubungan perkawinan (affinity).Di antara mereka, berupa uang atau kedudukan; atau melanggar
ada yang berhasil memenangkan pemilihan aturan pelaksanaan yang memberikan pengaruh
umum daerah dan disahkan menjadi walikota bagi orang yang memiliki beberapa macam
atau bupati. Fenomena praktik nepotisme politik hubungan pribadi. Korupsi mencakup pula
dalam pemilihan walikota atau bupati ini penting perilaku penyuapan, favoritisme karena hubungan

JURNAL POLITIK 1868 VOL. 12 No. 02. 2016


POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

keluarga atau pertemanan, dan penyelewengan Jejaring dan Aktor-Aktor Politik Daerah
berupa perampasan secara tidak sah sumberdaya Berdasarkan ranah tujuan tindakan
publik untuk kepentingan pribadi maupun orang aktor individu nepotis dan nepos, terdapat tiga
lain yang memiliki hubungan pribadi dengan organisasi spasial dalam jejaring politik nepotisme
pejabat publik. daerah, yaitu: organisasi spasial popularitas,
Mengacu kepada konsep tersebut, maka, organisasi spasial legalitas, dan organisasi spasial
praktik pengistimewaan dan atau penyalahgunaan elektabilitas. Adapun, aktor utama dalam ketiga
kewenangan dan sumberdaya publik untuk organisasi spasial tersebut ditandai oleh derajat
seseorang atau lebih yang memiliki hubungan sentralitasnya dalam jejaring, yakni aktor individu
pribadi dengan pejabat publik termasuk salah nepotis atau walikota yang masih menjabat, dan
satu bentuk korupsi politik.Secara lebih khusus, selanjutnya aktor individu nepos yang tidak lain
korupsi politik demikian disebut nepotisme adalah isteri walikota yang masih menjabat.
politik. Selain praktik pengistimewaan seseorang Dalam organisasi spasial popularitas,
atau lebih yang memiliki hubungan pribadi dengan kontribusi terbesar diberikan oleh aktor individu
pejabat publik, dalam praktik nepotisme politik H.M. Shofwan selaku Sekretaris Kota Malang,
seorang pejabat publik juga menyalah-gunakan yang membawahi sejumlah Dinas-dinas daerah,
sumberdaya publik yang dipercayakan kepadanya Kantor-kantor Daerah, Badan-badan Daerah,
untuk kepentingan seseorang atau lebih yang dan lain-lain yang merupakan bagian dari aktor
memiliki hubungan pribadi dengan pejabat public kolektiva perangkat daerah. Hampir semua dinas
berhasil mendapatkan jabatan publik. atau kantor daerah berpotensi dimobilisasi oleh
Praktik politik patronase bisa berlangsung aktor individu H.M. Shofwan untuk membantu
baik antar anggota keluarga maupun tidak. popularitas isteri walikota yang masih menjabat
Politik dinasti, misalnya, merupakan bentuk sebagai aktor nepos. Kontribusi aktor individu
politik patronase khusus yang melibatkan orang H.M. Shofwan sendiri tidak dapat dipisahkan dari
tua dengan anaknya, sedang politik nepotisme hubungan transaksional yang berlangsung antara
menunjuk pada politik patronase yang melibatkan walikota dan isteri walikota. Ketika konstelasi
seorang pejabat politik dengan satu atau lebih politik belum banyak berubah, sebenarnya, H.M.
anggota keluarganya. Konsep politik nepotisme Shofwan direncanakan mendampingi isteri
memiliki cakupan lebih luas, karena mencakup walikota, untuk maju sebagai calon wakil walikota.
tiga level ke atas dan tiga level ke bawah dari Kontribusi terbesar kedua diberikan oleh
hubungan keluarga, sebagaimana dengan lebih aktor kolektiva organisasi non-pemerintah yang
mudah dicermati berdasarkan bagan yang dibentuk pemerintah (NGOGO), dengan anggota
disajikan oleh Departemen Pengadilan Kriminal paling dominan Tim Penggerak Pembinaan
Texas (Texas Department of Criminal Justice, Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Kota Malang,
2010). Secara etika, baik politik patronase, Kecamatan, hingga Kelurahan. Sebagaimana telah
politik dinasti, maupun politik nepotisme dinilai diuraikan sebelumnya, organisasi PKK dengan
bertentangan dengan tujuan ideal demokrasi efektif bisa digunakan oleh isteri walikota untuk
modern, karena, praktik mementingkan keluarga mempopulerkan dirinya, baik melalui berbagai
dan kerabat di banyak negara biasanya berujung program di seluruh wilayah kota, melalui kerjasama
pada tumbuhnya dinasti politik yang memacu dengan aktor kolektiva perangkat daerah, maupun
nepotisme dan korupsi ekonomi serta politik melalui bantuan dan kontribusi transaksional
(Agustiono, 2010). dengan aktor kolektiva media massa.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan Selain sejumlah aktor tersebut, dalam
metode deskriptif-interpretif (A. Strauss, 1987), ranah popularitas, isteri walikota juga sangat
serta grounded-theory research (A. Strauss and J. terbantu oleh kedudukannya sebagai bendahara
Corbin, 1990). Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrasi
Perjuangan (PDIP) Kota Malang, yang sekaligus
isteri Ketua DPC PDIP Kota Malang. Dengan
memanfaatkan kedudukan ini pula, maka, aktor

JURNAL POLITIK 1869 VOL. 12 No. 02. 2016


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

nepotis dan aktor nepos berhasil merekayasa Mahfudz (Ketua DPD PAN kota), H. Nawi
keputusan semua Pengurus Anak Cabang (PAC) (pengusaha berpengaruh), Rendra Kresna (Ketua
PDIP untuk menetapkannya sebagai calon tunggal DPD Partai Golkar Kabupaten) dan Sofyan Edi
walikota dari DPC PDIP Kota Malang. Walau Jarwoko (Ketua DPD Partai Golkar kota), maka,
akhirnya isteri walikota gagal mendapatkan sangat tampak, jika perilaku politik elit dalam
rekomenasi dari DPP PDIP, namun, tidak diragukan jejaring politik nepotisme daerah ini berciri
lagi bahwa nama isteri walikota ini sudah sangat koersif, hegemonik, konspiratif dan oligarkis.
terkenal di kalangan anggota PDIP Kota. Fenomena perilaku elit politik daerah
Dalam organsiasi spasial legalitas, dalam jejaring yang berciri koersif, hegemonik,
kontribusi terbesar diberikan oleh aktor individu konspiratif dan oligarkhis tersebut, secara
H. Nawi, yang berhasil mempengaruhi aktor beriringan diikuti oleh disafeksi politik
individu Sofyan Edi Jarwoko dan aktor kolektiva masyarakat yang dicirikan oleh ketidak-tertarikan,
DPRD Partai Golkar untuk menjadi calon wakil ketidak-percayaan, dan ketidak-pedulian
walikota mendampingi aktor individu isteri masyarakat daerah penelitian terhadap segala
walikota sebagai calon walikota. Kenyataan ini hal yang berkaitan dengan perpolitikan daerah,
merupakan kontribusi terbesar dalam organisasi serta perasaan tidak-berdaya dalam menghadapi
spasial legalitas, karena, di DPRD, Partai Golkar perilaku elit politik, perasaan terasing dan sikap
memiliki 5 kursi. Selanjutnya, kontribusi terbesar sinis terhadap segala hal yang berkaitan dengan
kedua diberikan oleh aktor kolektiva Partai politik daerah.
Amanat Nasional (PAN) yang tidak mencalonkan Sejatinya, tidak bisa dipastikan bahwa
anggota partainya sendiri, akan tetapi, justru disafeksi politik massa timbul karena perilaku
memberikan dukungan sepenuhnya kepada isteri politik elit dalam jejaring nepotisme politik daerah.
walikota sebagai calon walikota. Sementara itu, Namun demikian, berdasarkan prinsip-prinsip
peran KPU berlangsung sebagaimana mestinya, penarikan kesimpulan secara induktif, khususnya
dengan sedikit kemudahan karena dikabarkan metode persamaan (method of agreement) dan
bahwa berkas pendaftaran pasangan calon Heri metode variasi seiring (method of concomitant
Pudji Utami dan Sofyan Edi Jarwoko terkesan variation), patut diduga, bahwa disafeksi politik
dilakukan dalam situasi serba mendesak, berupa massa yang dalam penelitian ini tampak bersifat
tulisan tangan untuk nama calon wakil walikota. sementara (temporary) karena disebabkan oleh
Dalam organisasi spasial elektabilitas, perilaku elit politik dalam jejaring nepotisme
semua aktor dalam organisasi spasial popularitas, politik daerah.
kecuali PDIP secara organisatoris, tetap Menurut metode persamaan, bila ada dua
memberikan kontribusinya bagi pasangan Heri atau lebih kejadian yang sedang diteliti memiliki
Pudji Utami dan Sofyan Edi Jarwoko. Kontribusi satu faktor yang sama, sementara, faktor yang
terpenting yang memberikan Heri Pudji Utami sama tersebut ditemukan pada semua kejadian,
memiliki nilai tawar tinggi berasal dari PAN maka, kejadian tersebut merupakan penyebab
yang memiliki 4 kursi DPRD kota. Kontribusi (atau akibat) dari gejala yang diteliti. Sementara,
tambahan diberikan oleh aktor kolektiva Partai menurut metode variasi seiring (method of
Golkar kota, aktor kolektiva PPP, partai-partai concomitant variation), apa pun fenomena yang
non-parlemen, para loyalis Peni Suparto dan Heri bervariasi secara seiring dengan cara tertentu,
Pudji Utami, serta aktor Rendra Kresna dan secara maka, antara kedua fenomena tersebut terjalin
tidak langsung aktor kolektiva Partai Golkar hubungan faktual sebab akibat (Rosidi, 2002).
Kabupaten. Secara empirik fenomena perilaku
Berkait dengan yang tersebut di atas, elit politik daerah dalam jejaring yang berciri
dengan memperhatikan jejaring politik nepotisme koersif, hegemonik, konspiratif dan oligarkis
yang digunakan oleh para aktor, khususnya Peni dalam penelitian ini secara beriringan diikuti
Suparto (Walikota), Heri Pudji Utami (isteri oleh disafeksi politik masyarakat. Karena itu,
walikota), H.M. Shofwan (Sekretaris Kota), dengan mengacu pada metode persamaan dan
Subur Triono (Bendahara DPD PAN kota), Lokh metode variasi seiring, diduga kuat, jejaring

JURNAL POLITIK 1870 VOL. 12 No. 02. 2016


POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

politik nepotisme daerah yang terdiri dari para serta menyampaikan pada publik apa yang telah
elit politik daerah berperilaku koersif, hegemonik, dilakukan Heri Pudji Utami, (3) melakukan mutasi
konspiratif dan oligarkis telah menyumbang bagi pejabat di instansi-instansi strategis, baik dalam
terjadinya ketidak-tertarikan, ketidak-percayaan, arti yang paling banyak bersentuhan dengan
dan ketidak-pedulian, perasaan tidak-berdaya masyarakat maupun yang paling memberikan
menghadapi perilaku politik elit, perasaan terasing kontribusi bagi pendanaan kampanye.
dan sikap sinis masyarakat terhadap segala hal Setelah berhasil mendapatkan dukungan
yang berkaitan dengan politik daerah. Dengan dari hasil Musyawarah Kerja (Musker) PAC
kata lain, jejaring politik nepotisme daerah yang sebagai calon walikota, maka, Peni Suparto
koersif, hegemonik, konspiratif dan oligarkis telah berusaha unjuk kekuatan dukungan baik melalui
mengakibatkan gejala disafeksi politik temporer. hasil survai, mengerahkan massa pada saat
Sifat temporer dari gejala disafeksi politik pendaftaran bakal cawalikota di DPC PDIP Kota
massa tersebut dapat diidentifikasi, terutama, Malang, menekan DPD Jawa Timur dengan
setelah masa jabatan aktor utama politik nepotisme mengajukan mosi tidak percaya bersama sejumlah
daerah berakhir sehingga memungkinkan warga pengurus DPC PDIP di Jawa Timur, membangun
masyarakat untuk melakukan perlawanan tidak “kantor baru” DPC PDIP Kota Malang agar
hanya bersifat simbolik sebagaimana perlawanan isterinya mendapat rekomendasi dari DPP PDIP.
rakyat dalam jejaring politik yang bersifat koersif, Akan tetapi, upaya tersebut mengalami kegagalan.
hegemonik, konspiratif dan oligarkhis, melainkan, Karena sudah tidak memungkinkan
perlawanan nyata melalui penolakan untuk lagi untuk mencalonkan diri sebagai calon
memilih siapa pun calon yang dikehendaki oleh perseorangan atau yang lebih dikenal dengan calon
aktor utama politik nepotisme daerah. Perlawanan independen, maka, Peni Suparto menegosiasi
melalui penolakan memberikan suara untuk calon DPD PAN Kota Malang agar bisa mencalonkan
walikota hasil politik nepotisme ini pula yang isterinya. Lewat pengaturan yang dilakukan
akan dibahas lebih lanjut dan dikonsepkan sebagai oleh H. Nawi, seorang pengusaha properti yang
perlawanan elektoral. memiliki pengaruh besar dalam perpolitikan di
Malang, Peni Suparto setuju untuk memasangkan
Berbagai Taktik untuk Popularitas, Legalitas, Heri Pudji Utami dengan Sofyan Edi Jarwoko dari
dan Elektabilitas Nepos Partai Golkar. Kesediaan Sofyan Edi Jarwoko,
Melalui sejumlah siasat, Peni Suparto yang mengorbankan komunitas pendukungnya
berupaya meningkatkan popularitas Heri Pudji (PASMANTEB) yang bersifat lintas partai,
Utami, baik melalui jalur internal partai maupun disetujui tidak saja oleh Dewan Pimpinan Pusat
eksternal partai. Pada internal partai PDIP, (DPP) Partai Golkar yang cenderung pasif, begitu
upaya yang dilakukan adalah: (1) pengangkatan juga oleh Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai
isteri sendiri (nepos) sebagai fungsionaris DPC Golkar Jawa Timur. Sedianya, Sofyan Edi Jarwoko
PDIP Kota Malang, (2) merekayasa susunan akan dipasangkan dengan Muhammad Nur, yang
kepengurusan PAC PDIP dengan orang-orang ternyata tidak jadi mencalonkan diri melalui Partai
yang sejalan dengan kehendaknya, dan (3) Demokrat karena permintaan Muhammad Nur
merekayasa Musyawarah Kerja DPC PDIP Kota untuk berpasangan dengan calon dari partai selain
Malang hingga secara bulat mendukung isterinya, Partai Demokrat tidak bisa disetujui oleh DPP dan
Heri Pudji Utami sebagai calon walikota dari DPD Partai Demokrat Kota Malang. Oleh karena
PDIP Kota Malang. itu, baik Sofyan Edi Jarwoko maupun Heri Pudji
Pada eksternal partai, upaya yang dilakukan Utami, sama-sama gagal merealisasikan berbagai
oleh Peni Suparto adalah: (1) memanfaatkan komitmen politiknya dengan partai-partai lain,
NGOGO sebagai sarana meningkatkan sehingga sama-sama tidak memiliki pasangan
popularitas Heri Pudji Utami, (2) mewakilkan untuk mencalonkan diri sebagai Walikota atau
perannya sebagai Walikota Malang kepada Heri Bupati Malang pada Pemilihan Umum Kota
Pudji Utami dalam berbagai acara seremonial Malang 2013.
kedinasan, mengekspose atau menampilkan Dengan berbagai cara yang rumit dan

JURNAL POLITIK 1871 VOL. 12 No. 02. 2016


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

berliku-liku tersebut, akhirnya, Heri Pudji Utami Utami, sebagai sosok yang bisa menjadikan PKK
mendapatkan legalitas untuk pencalonan dari DPP begitu hebat bukan hanya di tingkat nasional,
PAN dan DPP Golkar karena berpasangan dengan namun juga internasional.
Sofyan Edi Jarwoko. Secara legal formal, dengan Sejumlah siasat memang tidak dapat
dukungan dari PAN dan Partai Golkar, sebenarnya, digolongkan sebagai bentuk praktik politik
pasangan Heri Pudji Utami dan Sofyan Edi nepotisme, akan tetapi, tetap saja dapat
Jarwoko sudah memenuhi persyaratan untuk digolongkan sebagai siasat untuk mensukseskan
pencalonan sebagai pasangan calon Walikota atau seorang calon walikota hasil dari praktik politik
Bupati Malang (2013-2018). Oleh karena itu, nepotisme. Karena itu, bila sebuah tindakan bisa
jika pasangan ini juga melibatkan Asosiasi Partai dinilai berdasarkan tujuan dan cara, maka, meski
Non Parlemen (APNP), maka, tujuannya bukan cara yang dilakukan tidak melanggar norma dan
untuk kepentingan legalitas, melainkan untuk etika, namun, apabila dilakukan untuk mencapai
peningkatan elektabilitas. tujuan yang melanggar norma dan etika --- maka
Memperhatikan keadaan demikian, bisa cara tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai
diduga bahwa Heri Pudji Utami tidak bisa lagi tindakan etik.
mengandalkan suara dari kader dan simpatisan Dari semua siasat tersebut, secara
PDIP dan suara dari kader PAN secara penuh. Pada permukaan memang tidak senantiasa merupakan
gilirannya, Sofyan Edi Jarwoko mendapatkan pelanggaran hukum, akan tetapi, merupakan
penolakan justru dari para relawan dan simpatisan pelanggaran etika profesional. Sebagai contoh,
yang semula bergabung dalam PASMANTEB siasat membayar media cetak dan elektronik untuk
yang memang menghendaki dirinya untuk meningkatkan elektabilitas, dari satu sisi bisa
mencalonkan sebagai walikota dan bukan wakil dipandang sebagai semata-mata hubungan bisnis,
Walikota Malang. Sejumlah gejala ini perlu dalam arti memasang iklan dan advertorial.Namun
dikemukakan, karena diduga akan berhubungan demikian, bila sudah menyangkut pemberitaan
dengan strategi peningkatan elektabilitas dan hasil yang tidak objektif atas suatu kejadian atau
akhir atau perolehan suara pasangan Heri Pudji pernyataan, sudah bisa dikategorikan sebagai
Utami dan Sofyan Edi Jarwoko. pelanggaran etika profesi jurnalistik.
Di sisi lain, Peni Suparto melakukan Sebuah catatan khusus perlu diberikan
sejumlah siasat untuk meningkatkan elektabilitas terhadap siasat memutasi pejabat instansi strategis.
isterinya dengan melakukan sejumlah siasat Sebagaimana data lapangan menunjukkan,
antara lain: (1) Membayar Media Massa Lokal, sebagai kegiatan transaksional, ternyata, beberapa
(2) Mengatur PKK agar Terkesan Hebat, (3) pejabat instansi Pemerintah Daerah justru
Mobilisasi Lembaga dan Organisasi Masyarakat, melakukan tindakan yang bisa dikategorikan
(4) Mobilisasi Lurah, Kepala Dusun, Ketua RW melanggar peraturan perundang-undangan. Di
dan Ketua RT, (5) Membentuk Tim Sukses dari antara tindakan yang bisa dikategorikan sebagai
Tokoh Berpengaruh, (6) Menyelenggarakan pelanggaran tersebut antara lain, penggunaan
Mutasi Pejabat di Instansi-Instansi Strategis, (7) lembaga pendidikan sebagai tempat dan sasaran
Mobilisasi Elit Politik Lokal dan Nasional, dan (8) berkampanye yang justru diprakarsai oleh kepala
Mengambil Cuti untuk Memimpin Tim Sukses. sekolah --- juga bisa ditemukan seorang lurah
Siasat membayar media massa lokal tidak yang atas biaya sendiri melakukan praktik politik
hanya dalam bentuk iklan dengan ukuran sangat uang dengan memberikan amplop berisi uang
besar, hingga sehalaman penuh berwarna, dalam kepada warga masyarakat agar memilih pasangan
bentuk advertorial atau iklan yang ditayangkan calon yang dikehendaki oleh walikota.
menyerupai berita, serta membentuk pemberitaan
yang isinya sejalan dengan iklan dan advertorial. Perlawanan Masyarakat terhadap Praktik
Siasat berikutnya adalah menggunakan PKK Politik Nepotisme
sebagai kendaraan politik dengan cara membuat Berbagai praktik politik nepotisme,
seolah-olah PKK Kota Malang senantiasa baik untuk mendapatkan popularitas, legalitas,
menampilkan Ketua TP PKK-nya, Heri Pudji maupun elektabilitas secara bersama-sama, baik

JURNAL POLITIK 1872 VOL. 12 No. 02. 2016


POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kolektiva perangkat daerah. Hampir semua SKPD
munculnya: (1) Stigmatisasi Negatif terhadap berpotensi dimobilisasi oleh aktor individu Sofwan
Pelaku Politik Nepotisme, (2) Resistensi Simbolik untuk membantu popularitas isteri walikota yang
terhadap Pelaku Politik Nepotime, (3) Dukungan masih menjabat sebagai aktor nepos. Kontribusi
Bersifat Transaksional bagi Pelaku Politik aktor individu Sofwan sendiri tidak dapat
Nepotisme, dan akhirnya (4) Elektabilitas Rendah dipisahkan dari hubungan transaksional yang
bagi Pelaku Politik Nepotisme. Wujud akhir dari berlangsung antara walikota dan isteri walikota.
perlawanan terhadap praktik politik nepotisme Ketika konstelasi politik belum banyak berubah,
adalah penolakan untuk memberikan suara secara sebenarnya, Sofwan direncanakan mendampingi
sukarela terhadap pasangan calon hasil nepotisme, isteri walikota untuk maju sebagai calon wakil
sehingga, meski secara permukaan tampak luar walikota.
biasa dan menimbulkan optimisme untuk menang Kontribusi terbesar kedua diberikan oleh
dalam satu putaran, ternyata, justru kalah secara aktor kolektiva NGOGO dengan anggotanya
telak dalam pemilihan umum daerah Kota Malang. yang paling dominan TP PKK Kota, Kecamatan,
Bila dikaitkan dengan seluruh uraian hingga Kelurahan. Sebagaimana telah diuraikan
sebelumnnya, bisa disimpulkan bahwa selaku sebelumnya, organisasi PKK dengan efektif
nepotis, Peni Suparto berhasil mengantar Heri bisa digunakan oleh isteri walikota untuk
Pudji Utami selaku nepos, berhasil tidak hanya mempopulerkan dirinya, baik melalui berbagai
pada tingkat peningkatan popularitas, akan tetapi, program di seluruh wilayah kota, melalui
juga pemeroleh legalitas. Namun demikian, kerja sama dengan aktor kolektiva perangkat
berbagai strategi yang diwarnai praktik politik daerah, maupun melalui bantuan dan kontribusi
nepotisme serta rekam jejak Peni Suparto sebagai transaksional dengan aktor kolektiva media massa.
walikota dua periode, telah mengakibatkan Selain sejumlah aktor tersebut, dalam ranah
perlawanan simbolik dan berujung pada popularitas, isteri walikota juga sangat terbantu
perlawanan elektoral. Sebagian besar warga Kota oleh kedudukannya sebagai bendahara DPC
Malang tidak menghendaki pengulangan gaya PDIP Kota Malang, yang sekaligus isteri Ketua
pemerintahan Peni Suparto, dan lebih-lebih lagi DPC PDIP Kota Malang. Dengan memanfaatkan
tidak menghendaki praktik politik nepotisme kedudukan ini pula, maka, aktor nepotis dan aktor
berhasil di Kota Malang. nepos berhasil merekayasa keputusan semua PAC
PDIP untuk menetapkannya sebagai calon tunggal
Praktik Politik Nepotisme dalam Tiga Ranah walikota dari DPC PDIP Kota Malang. Walau
Pemilihan Kepala Daerah akhirnya isteri walikota ini gagal mendapatkan
Berdasarkan ranah tujuan tindakan rekomendasi dari DPP PDIP, namun, tidak
aktor individu nepotis dan nepos, terdapat tiga diragukan lagi bahwa nama isteri walikota ini
organisasi spasial dalam jejaring politik nepotisme sudah sangat terkenal di kalangan anggota PDIP
daerah, yaitu: organisasi spasial popularitas, Kota Malang.
organisasi spasial legalitas, dan organisasi spasial Dalam organsiasi spasial legalitas,
elektabilitas. Dalam ketiga organisasi spasial kontribusi terbesar diberikan oleh aktor individu
tersebut, aktor utamanya ditandai dengan derajat H. Nawi yang berhasil mempengaruhi aktor
sentralitasnya dalam jejaring, yakni aktor individu individu Sofyan Edi Jarwoko dan aktor kolektiva
nepotis atau walikota yang masih menjabat, dan DPRD Partai Golkar untuk menjadi calon
aktor individu nepos yang tidak lain adalah isteri wakil walikota mendampingi aktor individu
walikota yang masih menjabat. isteri walikota sebagai calon walikota. Hal ini
Dalam organisasi spasial popularitas, merupakan kontribusi terbesar dalam organisasi
kontribusi terbesar diberikan oleh aktor individu spasial legalitas, karena di DPRD, Partai Golkar
Sofwan selaku Sekretaris Kota, yang membawahi memiliki 5 kursi. Sementara, kontribusi terbesar
sejumlah SKPD, berupa Dinas-dinas daerah, kedua diberikan oleh aktor kolektiva Partai Amanat
Kantor-kantor Daerah, Badan-badan Daerah, Nasional (PAN) yang tidak mencalonkan anggota
dan lain-lain yang merupakan bagian dari aktor partainya sendiri, namun, memberikan dukungan

JURNAL POLITIK 1873 VOL. 12 No. 02. 2016


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

sepenuhnya kepada isteri walikota sebagai calon sejumlah organisasi sosial yang merasa berhutang
walikota. Selanjutnya, peran KPU berlangsung budi kepada aktor nepotis dan nepos.
sebagaimana mestinya dengan sedikit kemudahan Adanya aliansi temporer untuk maksud
karena dikabarkan bahwa berkas pendaftaran terbatas, baik yang dilakukan oleh aktor individu
pasangan calon Heri Pudji Utami dan Sofyan Edi maupun aktor kolektiva, tanpa pernah, misalnya
Jarwoko terkesan dilakukan dalam situasi serba meminta pendapat masyarakat atau konstituen
mendesak, berupa tulisan tangan untuk nama partai, menunjukkan ciri lain dari perilaku elit
calon wakil walikota. politik daerah, yaitu: konspiratif. Pola perilaku
Dalam organisasi spasial elektabilitas, konspiratif ini tidak saja dilakukan oleh aktor
semua aktor dalam organisasi spasial popularitas, nepotis dan nepos, akan tetapi, juga oleh aktor-
kecuali PDIP, secara organisatoris tetap aktor lain yang di antaranya adalah aktor individu
memberikan kontribusinya bagi pasangan Heri yang menjadi calon wakil walikota dari aktor
Pudji Utami dan Sofyan Edi Jarwoko. Kontribusi nepos. Aktor individu calon wakil walikota ini
terpenting yang memberikan Heri Pudji Utami bahkan sama sekali meninggalkan sekelompok
memiliki nilai tawar tinggi, berasal dari PAN besar kolektiva yang telah dengan setia dan
yang memiliki 4 kursi di DPRD kota. Kontribusi sukarela mendukungnya untuk menjadi calon
tambahan diberikan oleh aktor kolektiva Partai walikota. Tidak ada, misalnya, upaya dari aktor
Golkar kota, aktor kolektiva PPP, partai-partai calon wakil walikota untuk meminta persetujuan
non-parlemen, para loyalis Peni Suparto dan Heri dulu kepada perwakilan kolektiva pendukungnya
Pudji Utami, serta aktor Rendra Kresna dan secara mengenai keputusannya untuk berkoalisi dengan
tidak langsung aktor kolektiva Partai Golkar aktor nepos. Justru, sebaliknya, aktor calon wakil
Kabupaten Malang. walikota ini sibuk mencari rekomendasi dan
Memperhatikan jejaring politik nepotisme dukungan dari elit politik pusat dan kemudian
daerah yang digunakan oleh para aktor, khususnya elit brokerage yang akhirnya memasangkannya
Peni Suparto (Walikota), Heri Pudji Utami (isteri dengan aktor nepos.
Walikota), H.M. Shofwan (Sekretaris Kota), Perilaku elit politik daerah juga bersifat
Subur Triono (Bendahara DPD PAN kota), oligarkis, dalam arti terjadi pemusatan kekuasaan
Lokh Mahfudz (Ketua DPD PAN kota), H. Nawi pada sekelompok kecil elit politik atau elit yang
(pengusaha berpengaruh), dan Sofyan Edi Jarwoko berpengaruh di daerah. Lebih lanjut, sifat oligarkis
(Ketua DPD Partai Golkar kota), sangat tampak, ini juga mewujud dalam perilaku politik nepotisme
bahwa perilaku elit politik dalam jejaring politik yang bertujuan melestarikan kekuasaan pada
nepotisme daerah ini berciri koersif, hegemonik, sekelompok kecil elit politik yang dikehendaki
konspiratif dan oligarkis. oleh aktor nepotis, aktor nepos, dan elit-elit
Ada beberapa ciri perilaku politik aktor daerah lainnya yang bekepentingan sama atau
individu nepotis dan nepos bersama sejumlah bermaksud mengupayakan kepentingan pribadi
aktor politik lain, baik aktor individu maupun dan kelompoknya melalui kerja sama dengan
kolektiva yang membentuk jejaring politik aktor nepotis.
nepotisme daerah. Beberapa ciri perilaku politik Selanjutnya, gejala perilaku politik
elit yang paling menonjol adalah sifat koersif, elit yang koersif, hegemonik, konspiratif, dan
hegemonik, konspiratif dan oligarkis dari perilaku oligarkis tersebut telah diikuti oleh sejumlah
mereka.Aktor nepotis, misalnya, tidak segan- gejala disafeksi politik massa, berupa perasaan
segan menggunakan kekerasan yang bahkan subjektif berupa ketidak-tertarikan, ketidak-
menimbulkan semacam perasaan traumatik bagi percayaan, ketidak-pedulian, ketidak-berdayaan,
para aktivis yang berupaya melakukan kritik atau keterasingan dan sinisme masyarakat terhadap
perlawanan terhadapnya. Demikian juga melalui segala sesuatu yang bersifat politik, termasuk para
sejumlah strategi, aktor nepotis juga berhasil politisi, proses politik, partai politik, dan pranata
membangun kekuasaan hegemonik terutama tidak demokrasi lainnya, di antaranya penyelenggara
hanya bagian terbesar dari perangkat daerah dan dan pengawas pemilihan walikota.
pegawai pemerintah daerah, akan tetapi, juga Tidak bisa disimpulkan secara sederhana

JURNAL POLITIK 1874 VOL. 12 No. 02. 2016


POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

bahwa disafeksi politik massa timbul karena calon walikota nepos, dan (3) untuk meningkatkan
perilaku politik elit dalam jejaring nepotisme elektabilitas calon walikota nepos .
politik daerah. Namun demikian, berdasarkan Pertama, pejabat politik nepotis melakukan
prinsip-prinsip penarikan kesimpulan secara sejumlah siasat untuk meningkatkan popularitas
induktif, patut diduga bahwa disafeksi politik calon pejabat politik nepos, baik melalui jalur
massa yang dalam penelitian ini tampak bersifat internal partai maupun eksternal partai. Pada
sementara (temporary) disebabkan oleh perilaku internal partai, upaya yang dilakukan adalah: (1)
politik elit dalam jejaring nepotisme politik daerah. pengangkatan calon pejabat politik nepos sebagai
Sifat temporer dari gejala disafeksi fungsionaris partai, (2) merekayasa susunan
politik massa tersebut dapat diidentifikasi, kepengurusan partai dengan orang-orang yang
terutama, setelah masa jabatan aktor utama sejalan dengan kehendaknya, dan (3) merekayasa
politik nepotisme daerah berakhir sehingga rapat-rapat partai hingga secara bulat mendukung
memungkinkan warga masyarakat untuk calon pejabat politik nepos sebagai calon walikota
melakukan perlawanan yang tidak hanya bersifat dari partainya.
simbolik sebagaimana perlawanan rakyat dalam Sementara, pada eksternal partai, upaya
jejaring politik yang bersifat koersif, hegemonik, yang dilakukan oleh pejabat politik nepotis
konspiratif dan oligarkis, melainkan perlawanan adalah: (1) memanfaatkan NGOGO sebagai sarana
nyata melalui penolakan untuk memilih siapa pun peningkatan popularitas calon pejabat politik
calon yang dikehendaki oleh aktor utama politik nepos, (2) mewakilkan perannya dalam berbagai
nepotisme daerah. Perlawanan melalui penolakan acara seremonial kedinasan kepada calon pejabat
memberikan suara untuk calon walikota hasil politik nepos, (3) menggunakan badan amal sosial
politik nepotisme ini pula yang akan dibahas sebagai sarana pengikat hubungan dengan pihak-
lebih lanjut dan dikonsepkan sebagai perlawanan pihak yang di- putuskan mendapatkan bantuan,
elektoral. (4) melakukan mutasi pejabat di instansi-instansi
Perilaku pejabat politik nepotis dalam strategis, baik dalam arti yang paling banyak
kasus penelitian ini juga telah meninggalkan bersentuhan dengan masyarakat maupun yang
banyak sekali jejak traumatik khususnya paling memberikan kontribusi bagi pendanaan
pada kelompok-kelompok kritis sehingga kampanye.
mengakibatkan kelumpuhan kontrol publik. Kedua, kasus penelitian ini menunjukkan
Berbagai kekerasan cenderung digunakan sebagai perjalanan panjang yang harus ditempuh baik oleh
cara untuk menyelesaikan segala bentuk konflik pejabat politik nepotis maupun calon pejabat politik
dan persaingan, sehingga, berakumulasi dan nepos untuk mendapatkan legalitas pencalonan
membentuk sebuah kekuatan yang mencekam nepos. Setelah berhasil mendapatkan dukungan
bagi kelompok-kelompok kritis. Ketika muncul dari hasil rapat partai terhadap pencalonan
keengganan di kalangan kelompok kritis untuk nepos, pejabat politik nepotis berusaha unjuk
mengamati dan mengontrol penggunaan kekuasaan, kekuatan dukungan baik melalui hasil survei,
maka, tidak lagi ditemukan kontrol publik yang mengerahkan massa pada saat pendaftaran bakal
cukup kuat hingga mampu menghindarkan cawalikota di kantor partai setempat, menekan
penyelewengan penggunaan kewenangan publik. jenjang kepengurusan partai di atasnya dengan
Kondisi yang demikian ini berpeluang untuk mengajukan mosi tidak percaya bersama sejumlah
diwujudkan, terutama, ketika pejabat politik pengurus partai, juga membangun “kantor baru”
nepotis berkeinginan memperpanjang jangka agar calon pejabat politik nepos mendapatkan
waktu kekuasaannya melalui praktik politik rekomendasi dari pengurus pusat partai. Akan
nepotisme dengan mencalonkan calon pejabat tetapi, upaya ini mengalami kegagalan.
politik nepos sebagai calon walikota. Karena tidak mungkin lagi menggunakan
Ada tiga ranah utama tujuan politik jalur independen, pejabat politik nepotis
nepotisme dalam pemilihan umum daerah, menegosiasi partai lain mencalonkan calon
yaitu: (1) untuk meningkatkan popularitas calon pejabat politik nepos, dan meminta tolong “bandar
walikota nepos, (2) untuk mendapatkan legalitas politik” agar dicarikan pasangan dari partai lain

JURNAL POLITIK 1875 VOL. 12 No. 02. 2016


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

untuk memenuhi persyaratan mendaftarkan calon tidak langsung mengakibatkan munculnya: (1)
walikota nepos. Akhirnya, nepos yang tidak lain stigmatisasi negatif terhadap para aktor utama
adalah isteri pejabat politik nepotis bisa mendaftar politik nepotisme, (2) resistensi simbolik dan
sebagai calon walikota bersama calon wawali dari keseharian masyarakat terhadap para aktor utama
partai lain. politik nepotisme, (3) transaksionalisasi dukungan
Lewat pelbagai cara, akhirnya, calon dan suara warga terhadap calon hasil nepotisme,
walikota nepos mendapatkan legalitas untuk dan akhirnya (4) resistensi elektoral dalam bentuk
pencalonan dari dua partai yang memiliki jumlah ketidak-sediaan memilih pasangan calon hasil
kursi legislatif yang memenuhi syarat pencalonan. nepotisme.
Memperhatikan keadaan yang sedemikian, maka, Sementara, wujud akhir dari perlawanan
calon walikota nepos tahu dan tidak bisa lagi terhadap praktik politik nepotisme adalah
mengandalkan suara dari kader dan simpatisan penolakan untuk memberikan suara secara
partai yang telah memecatnya secara penuh --- sukarela terhadap pasangan calon hasil nepotisme,
juga tidak bisa mengandalkan suara dari kader sehingga, meski secara permukaan tampak luar
partai lain yang mencalonkan secara penuh. Pada biasa dan menimbulkan optimisme untuk menang
gilirannya, pasangan calon pejabat politik nepos dalam satu putaran, ternyata, justru kalah secara
mendapatkan penolakan justru dari para relawan telak dalam pemilihan umum daerah. Pergeseran
dan simpatisan yang semula bergabung dalam dari perlawanan stigmatisasi negatif, resistensi
organisasi relawan yang semula mendukungnya simbolik, transaksionalisasi dukungan menuju
untuk mencalonkan sebagai walikota, dan bukan resistensi elektoral berlangsung seiring dengan
Wakil Walikota Malang. tingkat toleransi masyarakat terhadap praktik
Ketiga, selain melalui pemanfaatan politik nepotisme. Semakin praktik politik
organisasi Pemberdayaan dan Kesejahteraan nepotisme dalam pemilihan walikota tidak dapat
Keluarga (PKK), pemanfaatan media ditoleransi masyarakat, maka, semakin mungkin
massa, pemanfaatan lembaga dan organisasi perlawanan diberikan dalam bentuk resistensi
kemasyarakatan, penggunaan sumberdaya elektoral.
pemerintah daerah, pembentukan tim pemenangan
dan juru kampanye serta mutasi pejabat daerah SIMPULAN
yang berada di bawah kewenangannya, pejabat Berdasarkan seluruh temuan penelitian dan
politik nepotis juga mengambil alih kendali proposisi yang berhasil dirumuskan, maka, dapat
strategi pemenangan dengan meninggalkan disusun sebuah model teoretik substantif model
sementara kewajibannya sebagai walikota. Semua yang menyerupai sistem sosial. Perilaku para
siasat tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan aktor utama politik daerah membentuk jejaring
elektabilitas calon walikota nepos dalam pemilihan politik nepotisme daerah dengan ciri-ciri praktik
umum daerah. kekuasaan yang koersif, hegemonik, konspiratif
Sejumlah siasat memang tidak dapat dan oligarkis, telah mengakibatkan disafeksi
digolongkan sebagai bentuk praktik politik politik masyarakat temporer dengan ciri-ciri
nepotisme, akan tetapi, tetap saja dapat ketidak-berdayaan, ketidak-tertarikan, ketidak-
digolongkan sebagai siasat untuk mensukseskan percayaan, ketidak-pedulian, rasa keterasingan,
seorang calon walikota hasil dari praktik politik dan sinisme terhadap para aktor politik, partai
nepotisme. Karena itu, bila sebuah bisa tindakan politik, pranata politik hingga proses politik
dinilai berdasarkan tujuan dan cara, maka, meski daerah.
apabila dilakukan untuk mencapai tujuan yang Secara rinci, penelitian ini menghasilkan
melanggar norma dan etika, maka, cara tersebut simpulan yang dirumuskan secara proposisional,
tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan etik. yakni perilaku aktor utama dalam jejaring politik
Berbagai praktik politik nepotisme, baik nepotisme daerah yang menunjukkan ciri-ciri
untuk meningkatkan popularitas, mendapatkan praktik kekuasaan koersif, hegemonik, konspiratif,
legalitas maupun meningkatkan elektabilitas dan oligarkis, sehingga mengakibatkan disafeksi
secara bersama-sama, baik langsung maupun politik temporer masyarakat dengan ciri-ciri

JURNAL POLITIK 1876 VOL. 12 No. 02. 2016


POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

ketidak-berdayaan, ketidak-tertarikan, ketidak- berbagai bentuk resistensi simbolikdan keseharian


percayaan, ketidak-pedulian, rasa keterasingan, masyarakat, (3) transaksionalisasi dukungan
dan sinisme masyarakat terhadap para aktor dan suara oleh warga masyarakat kepada calon
politik, partai politik, pranata politik hingga proses walikota nepos, dan akhirnya akhirnya (4)
politik daerah resistensi elektoral dalam bentuk ketidak-sediaan
Selanjutnya, praktik politik nepotisme memilih calon walikota nepos dalam pemilihan
walikota dimaksudkan untuk mencapai tiga ranah walikota.
tujuan yang bersifat maju bertahap sejalan proses
pemilihan walikota, yaitu: (1) untuk meningkatkan
popularitas calon walikota nepos, (2) untuk
mendapatkan legalitas popularitas calon walikota
nepos, dan (3) untuk meningkatkan elektabilitas
popularitas calon walikota nepos. Kepustakaan
Kemudian, ranah tujuan praktik politik
nepotisme untuk meningkatkan popularitas calon Agustino, L. 2010. Dinasti Politik Pasca Otonomi
walikota nepos dilakukan dengan: (1) melancarkan Orde Baru: Pengalaman Banten, dalam
siasat internal partai pejabat politik nepotis dan Prisma, Volume 29, Juli 2010, Jakarta:
calon pejabat politik nepos, dan (2) melancarkan LP3ES.
siasat eksternal partai pejabat politik nepotis dan
calon walikota nepos --- kemudian, ranah tujuan Rosidi, S., 2002. The History of Modern Thought,
praktik politik nepotisme untuk mendapatkan Malang: Center for Interdisciplinary Study
legalitas calon walikota nepos dilakukan dengan and Cooperation (CISC).
melakukan persuasi dan negosiasi keputusan
rekomendasi pengurus pusat partai politik sehingga Skinner, R, M. 2006. Political and Governmental
walikota selaku nepotis dan calon walikota nepos Corruption. Borgota and Mongomery,
menjadi anggota dan atau pengurus partai politik. Encyclopedia of Sociology. New York:
Selaras dengan yang tersebut di atas, MacMillan.
bila legalitas calon walikota nepos melalui
rekomendasi pengurus pusat partai gagal diperoleh, Strauss A. and Corbin J. 1990. Grounded Theory
maka, walikota nepotis dan calon walikota nepos Research: Procedures, Canons and
mengupayakan dengan menjalin hubungan Evaluative Criteria, Second Edition
transaksional dengan beberapa partai tertentu edition, California: SAGE Publications,
yang akan mencalonkan nepos, dan partai lain Inc.
yang mengajukan pasangan calon bagi nepos ---
sementara, ranah tujuan praktik politik nepotisme Strauss, A. 1987. Qualitative Analysis for Social
untuk meningkatkan elektabilitas calon walikota Scientists. Cambridge: Cambridge
nepos dilakukan oleh para aktor utama, khususnya University Press.
walikota sebagai nepotis, dengan sejumlah
tindakan penyalahgunaan kewenangan terhadap Texas Department of Criminal Justice, 2010.
sumberdaya publik dan aneka tindakan koruptif Nepotism Chart. https://www.tdcj.state.
lainnya --- kemudian, praktik politik nepotisme tx.us/divisions/hr/hr-policy/pd-26a.pdf
daerah, baik untuk meningkatkan popularitas,
mendapatkan legalitas, maupun meningkatkan
elektabilitas oleh para aktor utama, baik secara
langsung maupun tidak langsung, mengakibatkan
sejumlah bentuk perlawanan masyarakat yang
bergeser menurut tingkat toleransi masyarakat,
mulai dari: (1) berbagai stigmatisasi negatif
terhadap perilaku politik nepotis dan nepos, (2)

JURNAL POLITIK 1877 VOL. 12 No. 02. 2016


Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

JURNAL POLITIK 1878 VOL. 12 No. 02. 2016

Anda mungkin juga menyukai