Anda di halaman 1dari 10

PL-4042 PERENCANAAN DAN POLITIK

THEORIES OF URBAN POLITICS


CHAPTER 9: CITIZENSHIP AND URBAN POLITICS

Disusun Oleh:
Ricky Wijaya 15016099
Elmira Azalea Nurwildan 15415038
Muhammad Refardian Imaduddin 15416003
Christian Adi Wijaya 15416028
Syahida Asma Amanina 15416043
Leonard Christy 15416044

Dosen Pengampu:
Nurrohman Wijaya, ST, MT, M.Sc

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN
KEBIJAKAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2019
Pendahuluan

Pada Chapter 9 buku Theories of Urban Politics, dijelaskan mengenai kewarganegaraan dan
politik perkotaan. Diketahui bahwa pada tahun 1990an terjadi sebuah kebangkitan minat dalam
kewarganegaraan. Terdapat tiga komponen yang mempengaruhi hal tersebut, yaitu individu,
komunitas/masyarakat, dan pemerintah, di mana terdapat permasalahan dalam hubungan antar
komponen yang ada. Bentuk dan upaya mempertahankan hubungan antar komponen merupakan hal
yang penting bagi konsep kewarganegaraan. Nantinya, konsep tersebut dapat digunakan untuk
mempermudah pemahaman terhadap dinamika politik perkotaan yang terjadi.

Pada bagian pertama Chapter 9 buku Theories of Urban Politics, dijelaskan mengenai argumen
yang menghubungkan kewarganegaraan dan politik perkotaan. Argumen tersebut berfokus pada tema-
tema identifikasi komunitas, partisipasi politik, dan pendidikan politik. Kemudian, bagian kedua
dijelaskan mengenai teori dan aturan kebangkitan minat dalam kewarganegaraan yang dilihat dari sudut
pandang antara hak individu dan sudut pandang komunitas.

Tujuan dan Metode

Adapun tujuan dan metode dari penulisan Chapter 9 pada buku yang berjudul “Theories of
Urban Politics” adalah sebagai berikut.

Tujuan : Menjelaskan hubungan keterkaitan antara individu, komunitas dan pemerintahan lokal sebagai
komponen kewarganegaraan dalam politik perkotaan.

Metode : Analisis eksplanatori yang bertujuan untuk menjelaskan mengapa suatu fenomena sosial
tertentu terjadi.

Studi Kasus

Untuk meninjau implementasi dari teori dan konsep yang dijelaskan mengenai politik
perkotaan pada kondisi yang sebenarnya terjadi, pada buku ini disisipkan beberapa studi kasus terkait
dengan bagian-bagian dalam Urban Politics. Pertama, terkait hubungan antara politik perkotaan dengan
kewarganegaraan yang dimiliki oleh masyarakat. Contoh rujukan dari hubungan antara keduanya yakni
Ibukota Negara Yunani, yakni Athena. Pada zaman Yunani Kuno (sekitar abad ke-4 M), Athena
menerapkan sistem pertemuan publik secara langsung dan debat terbuka. Konsep pertemuan ini pun
yang menjadi asal mula lahirnya sistem demokrasi dalam bernegara dan ditemukannya hubungan antara
warga negara sebagai penduduk dan sistem politik yang berlaku di wilayah tersebut.

Kota Athena pun menjadi rujukan dalam bagian lain dalam kegiatan Urban Politics atau politik
perkotaan, yakni adanya hubungan antara proses seseorang mengidentifikasi komunitas dengan status
kewarganegaraan yang dimiliki. Dijelaskan bahwa status kewarganegaraan melibatkan rasa

2
kepemilikan (sense of belonging), sehingga seseorang dapat mengidentifikasi komunitasnya dengan
segala kebutuhan dan keperluan yang harus dipenuhi agar supaya komunitas tersebut dapat menjalankan
aktivitasnya dengan baik. Di Athena pada waktu lampau, kewarganegaraan ditunjukkan melalui
partisipasi langsung dan praktik dalam proses demokrasi melalui menghadiri pertemuan publik,
membahas isu, dan menyusun keputusan tanpa adanya mediasi dari birokrasi pemerintah. Bahkan untuk
mengakomodir hal tersebut, Plato, salah satu tokoh terkenal dari Yunani, menyarankan jumlah
penduduk tidak lebih dari 5000 orang karena hal tersebut dapat mempersulit dilakukannya pertemuan
tatap muka atau demokrasi secara langsung.

Selanjutnya terkait dengan Urban Politics yakni hubungan antara status kewarganegaraan yang
dimiliki seseorang dengan partisipasinya dalam politik perkotaan. Dijelaskan bahwa jika meninjau
sistem politik secara umum, bentuk tindakan politik dan partisipatif yaitu pemungutan suara untuk
memilih suatu jabatan tertentu terhadap suatu wilayah, baik kepala daerah maupun negara. Banyak
negara pun menerapkan pemungutan suara secara langsung, seperti Amerika, Inggris, bahkan Indonesia
sebagai wadah partisipatif warga negara dalam politik. Terkait lingkupnya, diketahui bahwa minat
partisipasi pemilih di tingkat lokal lebih rendah daripada tingkat nasional. Hal ini dibuktikan dengan
meninjau partisipasi yang terjadi di dua negara besar yakni Inggris dan Amerika Serikat. Di Inggris,
jika dipersentasekan sebanyak 40% penduduk yang berpartisipasi di tingkat lokal dan 70%
berpartisipasi di tingkat nasional. Begitu juga yang terjadi di Amerika Serikat, jika dipersentasekan
sebanyak 25% penduduk berpartisipasi di tingkat lokal dan sisanya berminat untuk menjadi pemilih di
tingkat nasional. Namun hal tersebut tidak menandakan bahwa penduduk apatis dalam berpartisipasi
dalam tingkat lokal, karena bentuk partisipasi dilakukan dalam bentuk yang lain seperti menghadiri
diskusi terbuka dan lainnya.

Terakhir, terkait dengan hubungan politik perkotaan dengan tingkat pendidikan dan wawasan
yang dimiliki oleh penduduk. Sebelum penduduk dapat ikut berpartisipasi dalam politik suatu daerah,
seharusnya penduduk memiliki pengetahuan terkait dengan pemerintah daerahnya. Berdasarkan studi
kasus di Amerika Serikat, ditemukan fakta bahwa 100% penduduk kota dapat mengetahui Walikota
Detroit selaku kepala daerahnya, jauh lebih banyak dari 66% penduduk yang mampu mengetahui
identitas wakil presiden Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk kota lebih mengenal
kepala daerahnya dibanding kepala negaranya yang berimplikasi pada adanya indikasi tingginya
partisipatif dan interaksi pada sistem politik di lingkup lokal daripada pada lingkup yang lebih tinggi.

3
Diskusi dan Analisis

Terdapat hubungan antara kewarganegaraan dengan politik perkotaan yang memiliki sejarah
panjang dan bertumpu pada 3 hal yaitu:

1. Kewarganegaraan berasal dari identifikasi dan keanggotaan komunitas.

Marshall (1964) berargumen bahwa kewarganegaraan melibatkan rasa kepemilikan secara


langsung dengan komunitas berdasarkan loyalitas yang seragam untuk semua. Dalam demokrasi
modern, kewarganegaraan bekerja pada level yang berbeda. Kemudian, bangsa adalah kolektivitas
utama yang menetapkan status kewarganegaraan pada anggotanya, serta hak dan kewajiban juga
diturunkan dalam tingkatan lainnya seperti pada kota, kabupaten, dan negara (dalam sistem federal),
dan bahkan di tingkat supranasional, seperti Uni Eropa.

Pentingnya pemerintah lokal dan politik perkotaan bagi kewarganegaraan dapat diekspresikan
baik dalam bentuk praktik dan moral. Atas pertimbangan alasan praktik dan teknis, fungsi administrasi
dan politik didesentralisasikan ke tingkat lokal. Dalam keberjalanannya, hak untuk menerima
pendidikan gratis dijamin pada tingkat nasional, sedangkan pengelolaan sekolah diserahkan kepada
pemerintah lokal. Kewajiban untuk membayar pajak ditetapkan secara nasional, namun pengumpulan
pajak didesentralisasikan ke tingkat lokal. Argumen tersebut menunjukkan bahwa kota sebagai wadah
utama untuk kewarganegaraan menjalankan hak dan kewajibannya.

Weber melihat kewarganegaraan sebagai antitesis dari loyalitas komunitas tradisional. Dia
menghubungkan persebaran kehidupan perkotaan dengan perkembangan status formal penduduk
dengan rasionalisasi kehidupan yang lebih luas. Hubungan antara komunitas dan kewarganegaraan
masih lebih kontroversial dalam menghadapi perubahan dalam kehidupan perkotaan. Adanya
perubahan akibat globalisasi dan perkembangan komunikasi mengakibatkan perubahan pada struktur
budaya yang dianut masyarakat sehingga mereka cenderung kurang terikat dengan daerah asalnya. Hal
tersebut mengakibatkan daerah tersusun atas banyak komunitas dengan identitas, asosiasi publik, dan
agenda politiknya masing-masing.

2. Tindakan anggota masyarakat dan partisipasi politik terpusat pada tingkat lokal.

Elemen lain yang terkait dalam hubungan antara kewarganegaraan dan perkotaan politik adalah
partisipasi. Partisipasi paling mungkin terjadi di level lokal di mana orang-orang hidup, bekerja,
bersosialisasi, membesarkan keluarga mereka, memanfaatkan layanan dan manfaat negara. Partisipasi
dapat dilihat sebagai komponen penting dari demokrasi karena terdapat kemungkinan bahwa politik
perkotaan dianggap sebagai pusat realisasi dan ekspresi kewarganegaraan. Terdapat konsep ladder of

4
participation (Arnstein, 1969), dimana partisipasi masyarakat berangkat dari hal sederhana seperti
beraktivitas hingga pelibatan komunitas dalam pembuatan kebijakan publik.

Demokrasi langsung dapat mengancam hak-hak individu, termasuk hak suara masyarakat
dikarenakan penuntutan atas pelibatan lebih jauh yang disertai dengan kekhawatiran akan berlebihnya
porsi pelibatan tersebut dalam penerapannya. Dalam melakukan demokrasi langsung perlu ditinjau
pemosisian kepentingan mayoritas di hadapan kepentingan mayoritas, strategi jangka panjang yang
mampu diterapkan untuk kebutuhan jangka panjang, dan menyeimbangkan kebutuhan kota. Cronin
menjelaskan bahwa demokrasi membutuhkan perpaduan yang tepat antara keyakinan bahwa
masyarakat dilindungi dan diberikan kepercayaan lebih, serta skeptisme yang selalu mempertanyakan
pemimpin serta jawaban atas kebutuhan banyak orang.

3. Pemerintah lokal dan politik perkotaan menyediakan pendidikan politik untuk warga negara

Urban Politics atau politik pada perkotaan telah lama dipandang sebagai “sekolah untuk
kewarganegaraan”. Maksud dari “sekolah untuk kewarganegaraan” yakni masyarakat dapat belajar
terkait praktik politik secara langsung. Para ahli berpendapat bahwa masyarakat dapat belajar untuk
melakukan politik dalam lingkup yang lebih kecil terlebih dahulu, sebelum dapat ikut andil dalam
kegiatan politik dalam lingkup yang lebih luas, salah satu contohnya dalam lingkup nasional.

Menurut Mill (1974), kita tidak dapat belajar sesuatu dengan hanya diberitahu bagaimana
melakukannya, tetapi dengan cara mempraktikkannya. Sama halnya dengan pembelajaran politik.
Dengan mempraktikkan pembelajaran politik pada lingkup yang lebih kecil, masyarakat dapat
menggunakan pembelajaran yang didapat pada skala yang lebih besar.

Pendidikan dalam politik melibatkan lebih dari sekedar penyampaian informasi terkait cara
kerja sistem pemerintahan. Berry et al. (1993:256) mengidentifikasi tiga elemen dalam pendidikan
warga dalam politik: dimensi praktis, mengacu pada pengetahuan terkait cara berpartisipasi, dimensi
psikologis, merujuk pada keyakinan bahwa seseorang dapat mempengaruhi sistem politik, dan dimensi
pengalaman, mengacu pada gambaran pelajaran dari aktivitas politik. Dalam sistem politik perkotaan
(lingkup lokal), masyarakat diberikan peluang untuk mengembangkan kapasitas dalam arti praktis,
psikologis dan pengalaman.

Hasil dan Temuan

Dalam buku ini disebutkan terjadi perdebatan bagaimana pendekatan terhadap


kewarganegaraan dilakukan yang cenderung berputar di antara pola liberal dan pola komunis.
Perdebatan antara teori ini berfokus pada penempatan prioritas terhadap hak individu dan keanggotaan
komunitas sebagai dasar kewarganegaraan. Para penganut prinsip komunis melihat kewarganegaraan

5
sebagai bagian dari keanggotaan komunitas dan ketentuan bersama. Sedangkan, penganut paham liberal
melihat kewarganegaraan sebagai bagian dari hak dan kebebasan individu, di mana dalam hal ini hak
merupakan sesuatu yang bersifat bawaan sejak lahir dan sesuatu yang mutlak. Sedangkan, penganut
paham komunis melihat sebagai sesuatu yang timbul dan tergantung pada keanggotaan komunitas
tersebut.

Kedua pendekatan politik ini memiliki implikasi yang berbeda terhadap peran pemerintah. Bagi
liberal, peran utama pemerintah adalah melindungi hak dari setiap individu dalam memperoleh hal-hal
mengenai ketertarikan mereka tanpa adanya intervensi dari pihak lain seperti menjamin adanya
kebebasan berpendapat dan berserikat. Bagi penganut komunis, pemerintah memiliki peran yang lebih
aktif; memberi intervensi dalam memastikan setiap warga negara dapat menggunakan hak mereka
misalnya seperti memberi tunjangan kesejahteraan. Negara menjadi sebuah perwujudan mengenai nilai
dan kebutuhan bersama.

Salah seorang ahli bernama Marshall melihat adanya evolusi dalam kewarganegaraan meliputi
tiga tahap. Pada abad ke-18, hak-hak penduduk (civil rights) muncul dan menyangkut pada kebebasan
individu (contoh: kebebasan berpendapat dan akses kepada hukum). Pada abad ke-19, hak-hak politik
yang menyangkut pada kesetaraan secara politik melalui adanya pemilihan umum dan akses yang lebih
lebar terhadap institusi politik muncul. Pada abad ke-20, hak-hak sosial yang menyangkut
kesejahteraan seperti keamanan sosial dan pelayanan lainnya berkembang. Marshall melihat tiga tipe
hak kewarganegaraan ini sebagai sesuatu yang hidup berdampingan, tetapi di lain sisi juga menunjukan
bahwa hak-hak sosial sebagai tahapan paling tinggi dalam kewarganegaraan. Kesetaraan di antara setiap
warga negara lebih dijunjung dibandingkan kebebasan setiap individu.

Sebagai contoh, negara yang menganut paham liberal adalah United States of America. Dalam
artikel berjudul “Liberalism in America” yang diterbikan oleh Intercollegiate Studies Institute
dijelaskan bahwa makna original dari liberalism dipahami dengan arti yang sesungguhnya di seluruh
dunia, kecuali pada United States of America. Bagaimana konsep liberalisme di Amerika? Liberalisme
Amerika bukanlah ideologi tertutup seperti Marxisme-Leninisme atau Sosialisme Nasional, tetapi
paham yang sudah bercampur dengan kontradiksi internal. Liberalisme Amerika sangat jelas tidak
bersifat teistik dan bahkan tidak bersifat deistik. Namun, liberalism ini tentu saja merupakan manifestasi
dari antropolatri, dari “penyembahan manusia”. Tantangan besar pertama yang ditimbulkan liberalisme
Amerika datang dari kediktatoran Nasional Sosialis yang populer secara luas. Aliansi militer Jerman
dengan Uni Soviet dan Kejatuhan Paris pada bulan Juni 1940, mengilhami kompilasi sebuah manifesto
"liberal" yang berjudul “The City of Man”.

Contoh negara lain yang menganut paham politik komunisme adalah Republik Rakyat
Tiongkok di China. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh All about Philosophy, dijelaskan

6
bagaimana paham komunisme tersebar di China melalui artikel yang berjudul “Rise of Communism in
China.” Bangkitnya komunisme di Tiongkok sebagian besar disebabkan oleh seorang pria bernama
Mao Zedong. Setelah berada di bawah kekuasaan panglima perang sekitar tahun 1916, banyak orang
China mulai bergabung dengan kelompok revolusioner dan partai politik dengan harapan mengubah
negara mereka. Selama dan setelah Revolusi Besar (1914-1918), China melihat beberapa gerakan yang
sangat mendorong jalan menuju komunisme.

Masa-masa kekacauan dan keputusasaan ini memainkan peran besar dalam penerimaan Mao.
Dia mendapat dukungan sekitar 85 persen dari bangsa yang merupakan petani miskin. Zedong memulai
sebuah masyarakat untuk mempelajari Marxisme dan pada tahun 1921, anggotanya memulai Partai
Komunis Tiongkok. “Mao Zedong memimpin komunis setelah tentara berhasil menyelesaikan Revolusi
dengan mengalahkan kaum nasionalis. Kemudian begitu Mao memegang kendali, Tiongkok
mencintainya dan memberikan banyak dukungan sebagai imbalan atas perubahan yang lebih baik bagi
para petani,” kata penulis Christopher van de Merwe.

Basis komunisme tradisional adalah kepemilikan dan produksi bersama. Karl Marx memulai
komunisme sebagai perjalanan menuju eskatologi rasional. Tetapi melalui komunisme Soviet (Lenin),
hal ini dibuang dan hanya ateisme dan tirani yang tersisa. Marx percaya bahwa nilai seorang pria
mencerminkan upayanya dan bahwa kondisi kesetaraan adalah "tahap terakhir dalam hidup" seseorang.
Filosofi ini menunjukkan bahwa Komunisme tidak hanya anti-Kristen, tetapi anti keilahian ilahi.

Kesimpulan

Kebangkitan minat kewarganegaraan saat ini berhubungan dengan hubungan antara individu,
komunitas, dan institusi pemerintahan. Di zaman sekarang, hubungan ketiga komponen tersebut tidak
bisa diasumsikan karena dibatasi oleh minat dan keterlibatan individu dalam dunia politik dan
kehidupan bermasyarakat, hilangnya relevansi dan koherensi dalam komunitas lokal, serta kurangnya
akses dan respon dari institusi politik lokal.

Dalam bahasan kebijakan, perhatian lebih difokuskan pada strategi dalam pelibatan individu
dalam politik perkotaan dan kehidupan bermasyarakat, membangkitkan kembali komunitas lokal, dan
menciptakan kembali pemerintahan kota. Terdapat perbedaan pendapat antara kaum liberal dan
komunis, yang dianalisis sebagai suatu bentuk kesalahpahaman. Akan lebih bijak apabila hak individu
dan keanggotaan komunitas dipandang sebagai dua ‘wajah’ dalam kewarganegaraan, dengan hubungan
antara kedua ‘wajah’ tersebut diwujudkan dengan cara yang berbeda dalam periode sejarah dan sistem
politik yang berbeda.

Penekanan pada hak-hak individu tidak berjangka panjang karena hilangnya kerangka kerja
dalam penengahan/arbitrase antara individu dan pemerintah, terbangunnya prioritas dan kriteria

7
penjatahan, serta kesulitan dalam menengahi kebutuhan yang timbul dari berbagai kelompok dan
kepentingan. Di sisi lainnya, penekanan pada keanggotaan dan partisipasi komunitas membutuhkan
pemahaman lebih atas diversitas dan hal-hal yang mendorong partisipasi individu dalam politik lokal
dan kehidupan bermasyarakat.

Perdebatan kewarganegaraan ini mendorong pemerhati kebijakan perkotaan untuk


mempertimbangkan karakter dan penentu hubungan antar komponen yaitu individu, masyarakat dan
institusi politik lokal dan pada akhirnya mampu menentukan kebijakan yang tepat untuk diaplikasikan
untuk sirkumstansi yang sifatnya khusus dan unik.

Interpretasi

Berdasarkan Chapter 9 buku Theories of Urban Politics yang telah dibahas, secara umum,
terdapat tiga hal yang mampu menghubungkan kewarganegaraan dan politik perkotaan, yaitu
identifikasi komunitas, partisipasi masyarakat, dan pendidikan politik. Di Indonesia, keberjalanan
politik perkotaan telah sesuai dengan teori yang dijelaskan di buku tersebut, yaitu dipengaruhi oleh
identifikasi komunitas, partisipasi masyarakat, dan pendidikan politik, di mana ketiga hal ini memiliki
keterkaitan satu sama lain. Pada bagian ini akan dijelaskan mengenai bentuk keterhubungan ketiga hal
tersebut ditinjau dari implementasi di Indonesia.

Salah satu bentuk keterhubungan yang akan dibahas adalah hubungan antara identifikasi
komunitas dengan partisipasi masyarakat. Menurut jurnal yang ditulis oleh Muhammad Fadli dari Ilmu
Politik Universitas Hasanuddin yang berjudul “Keterlibatan Elit Lokal dalam Peningkatan Partisipasi
Politik pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Toraja Utara Tahun 2015”, terdapat elit-
elit politik sebagai “kepala” dari komunitas yang terbentuk baik secara langsung maupun tidak
langsung. Elit-elit politik seperti tokoh agama, tokoh politik, tokoh masyarakat, maupun tokoh adat ini
sangat berperan dalam mengarahkan perilaku masyarakat untuk menetapkan pilihannya dalam
pemilihan kepala daerah, sehingga hasil yang dicapai sesuai dengan harapan dari para elit politik
tersebut. Keberadaan elit-elit lokal yang disegani, diteladani, dan berkharisma mampu mempengaruhi
bentuk partisipasi dari anggota komunitasnya, maupun masyarakat daerah tersebut secara umum.
Bentuk-bentuk partisipasi masyarakat dan elit lokal di Kabupaten Toraja Utara dapat berupa menjadi
panitia pemilihan kecamatan, panitia pemungutan suara, maupun tim pemenangan calon (tim
kampanye). Apabila ditinjau dari buku tulisan Miriam Budiarjo yang berjudul “Dasar-Dasar Ilmu
Politik Edisi Revisi”, bentuk partisipasi politik yang dijalankan oleh masyarakat dan elit lokal tersebut
tergolong sebagai partisipasi politik konvensional seperti pemberian suara, diskusi politik, kegiatan
kampanye, membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, serta komunikasi individual
dengan pejabat politik dan administratif. Jika ditinjau dari piramida partisipasi politik yang digolongkan
menjadi tiga lapisan yaitu gladiators, spectators, dan apathetics, masyarakat Kabupaten Toraja Utara

8
termasuk dalam lapisan spectators. Lapisan spectators ini merupakan orang-orang yang berpartisipasi
dalam pemilihan umum, menghadiri kegiatan politik, menjadi anggota dalam kelompok kepentingan,
serta terlibat dalam diskusi politik namun tidak sebagai pejabat publik.

Keterhubungan lain yang akan dibahas adalah hubungan antara pengetahuan politik dengan
partisipasi masyarakat. Menurut jurnal yang ditulis oleh Khoirul Saleh dan Achmat Munif dari
Universitas Sultan Fatah Demak yang berjudul “Membangun Karakter Budaya Politik dalam
Berdemokrasi”, pendidikan politik sangat mempengaruhi budaya politik yang akan terbentuk di
masyarakat. Budaya politik sendiri merupakan nilai politik yang dianut oleh masyarakat, di mana nilai
tersebut dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan tingkat pendidikan masyarakat serta pelaku politik
yang memiliki wewenang dan kuasa untuk membuat kebijakan. Pengetahuan politik masyarakat ini
menjadi salah satu dasar klasifikasi budaya politik di mana budaya politik tersebut dibagi menjadi tiga
yaitu budaya politik parokial, budaya politik kaula, dan budaya politik partisipan. Pada budaya politik
parokial, pengetahuan sistem politik masyarakat mendekati nol dan masyarakat sama sekali tidak
tertarik untuk berpartisipasi dalam perpolitikan. Pada budaya politik kaula, masyarakat sudah memiliki
pengetahuan akan sistem politik secara umum, namun masih belum berpartisipasi dalam kegiatan
politik. Sedangkan, budaya politik partisipan, masyarakat telah memiliki pengetahuan yang memadai
mengenai sistem politik secara umum dan peran pemerintah dalam membuat kebijakan, serta
berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung. Ketiga bentuk budaya politik tersebut
terdapat di berbagai lapisan masyarakat di Indonesia. Masyarakat yang berada pada tingkatan budaya
politik parokial adalah suku-suku yang berada di daerah pedalaman-pedalaman di Indonesia seperti di
daerah timur maupun daerah hutan-hutan. Masyarakat yang berada pada tingkatan budaya politik kaula
merupakan masyarakat umum Indonesia yang memahami adanya suatu permasalahan dalam politik
namun cenderung enggan untuk menyampaikan aspirasinya. Sedangkan tingkatan budaya politik
partisipatif di Indonesia tercermin melalui aksi-aksi yang dilakukan oleh mahasiswa beberapa waktu ke
belakang untuk menyampaikan berbagai aspirasi seperti keberadaan rancangan peraturan perundang-
undangan yang menurut para mahasiswa tersebut dinilai mencederai demokrasi yang telah berjalan di
Indonesia.

Keragaman tingkatan budaya politik yang dijelaskan sebelumnya, menyebabkan partisipasi


masyarakat dalam politik yang berbeda-beda. Salah satu upaya untuk menaikkan tingkatan budaya
politik yang dimiliki masyarakat adalah dengan adanya sosialisasi politik, di mana sosialisasi politik
merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik masyarakat. Sosialisasi politik memberikan
pengetahuan mengenai nilai-nilai dan sikap masyarakat terhadap sistem politik yang dijalankan. Setelah
adanya sosialisasi politik, diharapkan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam politik
meningkat. Salah satu bentuk partisipasi politik yang ideal adalah masyarakat ikut serta dalam proses
pembuatan keputusan. Namun, hal tersebut hampir tidak mungkin untuk dilakukan terutama di

9
Indonesia karena akan menimbulkan tekanan pada golongan minoritas seperti yang telah disampaikan
pada Chapter 9 buku Theories of Urban Politics yang telah dibahas dan jumlah penduduk Indonesia
yang sangat banyak baik dalam tingkatan kecamatan bahkan kabupaten/kota. Oleh karena itu,
partisipasi aktif yang dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai warga negara hanya dapat dilakukan
pada tingkatan lokal seperti desa atau kelurahan, kemudian suara dan aspirasi masyarakat yang didapat
dari tingkatan lokal tersebut disampaikan ke skala yang lebih tinggi seperti kecamatan, kota, maupun
nasional melalui sistem perwakilan.

Referensi

Judge, David. dkk. 1995. Theories of Urban Politics. London: Sage Publication Inc.

Budiarjo, Miriam. 2015. Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Fadli, M. Bailusy, M.K. 2015. Keterlibatan Elit Lokal dalam Peningkatan Partisipasi Politik pada
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Toraja Utara Tahun 2015. Makassar:
Universitas Hassanudin.

Saleh, K. Munif, A. 2015. Membangun Karakter Budaya Politik dalam Berdemokrasi. Jurnal ADDIN
Volume 9 Nomor 2.

Kuehnelt-Leddihn, Eric von. 2014. Liberalism in America. Intercollegiate Studies Institute.


https://isi.org/intercollegiate-review/liberalism-in-america/ terakhir diakses pada 3 Oktober
2019, pukul 11:48 WIB.

Rise of Communism in China. All About Philosophy. https://www.allaboutphilosophy.org/rise-of-


communism-in-china-faq.htm terakhir diakses pada 3 Oktober 2019, pukul 11:48 WIB.

10

Anda mungkin juga menyukai