Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. Hal ini
tercermin melalui Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia
(Pilkada). Pemilihan pemimpin rakyat yang diselenggarakan secara langsung menjadi salah
satu pilar utama dari proses akumulasi kehendak rakyat. Berdasarkan pasal 43 UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, setiap warga negara berhak mendapatkan
kesempatan yang sama dalam pemerintahan, baik untuk dipilih maupun memilih tanpa
diskriminasi. Namun, adanya suatu praktik politik menyebabkan terganggunya kesetaraan ini.
Politik yang dimaksud disebut sebagai politik patrimonial.
Politik patrimonial berasal dari dua kata, yaitu “politik” dan “patrimonial”. Politik
didefinisikan sebagai mendefinisikan politik sebagai kegiatan yang berhubungan dengan
kendali pembuatan keputusan publik dalam masyarakat tertentu di wilayah tertentu, di mana
kendali ini disokong lewat instrumen yang sifatnya otoritatif dan koersif (Gabriel A. Almond,
1978). Sementara itu di dalam definisi politik, istilah patrimonial mengacu pada sistem
regenerasi yang mengutamakan ikatan genealogis atau pewarisan dengan menunjuk langsung.
Di era modern ini, politik patrimonial masuk melalui jalur legal, dimana anak atau keluarga
para elite masuk institusi yang disiapkan seperti partai politik atau lembaga publik lainnya
(Seknas Fitra, 2018). Politik patrimonial mengganggu kesetaraan hak untuk dipilih karena
Dominasi kekuasaan para elite menyebabkan sulitnya orang luar untuk masuk dalam benteng
yang mereka ciptakan. Hal ini mengakibatkan terganggunya kesetaraan hak untuk dipilih
dalam Pemilu maupun Pilkada, meskipun orang luar mungkin lebih berkompeten daripada
kalangan tersebut.
Isu politik patrimonial diduga terjadi di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Selama 21
tahun lamanya, jabatan Bupati seolah-olah berputar di antara dua pasangan suami-istri saja.
Pasangan suami-istri tersebut adalah Haryanto Wibowo-Sri Hartini dan Sunarna-Sri Mulyani.
Dua tahun usai Reformasi, jabatan Bupati Klaten dipegang oleh Haryanto Wibowo dengan
wakilnya, Wisnu Hardono. Lima tahun kemudian (pada 2005), Haryanto lengser dan
posisinya digantikan oleh Sunarna. Ia menjabat selama dua periode (2005-2015) dengan salah
satu wakil, Sri Hartini (istri Haryanto). Ketika periode jabatan Sunarna habis, Sri Hartini naik
jabatan menjadi bupati Klaten. Pada 2016, ia dilantik bersama Sri Mulyani (istri dari
Sunarna). Namun, masa jabatan Sri Hartini tidak berlangsung lama. Pada akhir 2016, Sri
Hartini ditangkap KPK dengan operasi tangkap tangan (OTT) terkait kasus korupsi jual beli
jabatan. Hal ini kemudian menyebabkan Sri Mulyani naik jabatan. Hingga tahun 2020, ia
mengelola Klaten secara mandiri, tanpa diiringi keberadaan wakil bupati. Kemudian pada
tahun 2021, Sri Mulyani terpilih kembali untuk menjadi bupati Klaten periode 2021-2024.
Eksistensi politik patrimonial yang telah berlangsung lama di Kabupaten Klaten
tentunya menimbulkan berbagai pertanyaan, terlebih mengenai kebijakan kedua pasangan
suami-istri tersebut selama menjabat. Apakah kebijakan-kebijakan yang mereka ambil
berdasarkan kepentingan rakyat atau justru demi kepentingan dinasti mereka? Munculnya
pertanyaan-pertanyaan tersebut mendorong penulis untuk melakukan suatu mini riset, dengan
fokus utama terletak pada pasangan Sunarna dan Sri Mulyani. Oleh sebab itulah, penulis
mengusung mini riset yang berjudul “Pengaruh Politik Patrimonial di Kabupaten Klaten
selama Empat Periode”.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat dikemukakan adalah sebagai
berikut
1. Bagaimana politik patrimonial yang terjadi di Kabupaten Klaten?
2. Bagaimana pengaruh politik patrimonial yang terjadi selama 4 periode terhadap
masyarakat di Kabupaten Klaten?
3. Bagaimana upaya dan solusi yang dapat dilakukan masyarakat Klaten mengenai
politik patrimonial yang terjadi di Kabupaten Klaten?

1.3 Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dari penulisan ini adalah sebagai berikut
1. Untuk menganalisis politik patrimonial yang terjadi di Kabupaten Klaten
2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh politik patrimonial yang terjadi selama 4
periode terhadap masyarakat di Kabupaten Klaten
3. Untuk mengetahui bagaimana upaya dan solusi yang dapat dilakukan masyarakat
Klaten mengenai politik patrimonial yang terjadi di Kabupaten Klaten
DASAR TEORI

3.1 Definisi Politik Patrimonial


Dalam keberjalanan kerangka eksekutifnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia
melangsungkan sistem pemilihan demokratis dengan asas Luber Jurdil, yaitu langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Namun, dalam penerapannya tidak dapat dimungkiri
banyak peristiwa dalam kehidupan politik di Indonesia yang secara umum terungkap di
masyarakat luas mengenai pelanggaran asas tersebut, terutama asas Jurdil (jujur dan adil).
Hal ini terlihat mulai dari banyaknya pemangku jabatan eksekutif yang sewaktu pemilu
melakukan politik uang hingga politik patrimonial.
Politik uang (money politic) sendiri adalah suatu kegiatan pelanggaran dimana
seorang maupun sekelompok orang melakukan penyuapan kepada masyarakat untuk memilih
pasangan calon tertentu pada suatu kegiatan pemilihan umum. Di lain sisi, politik patrimonial
adalah suatu praktek dimana sekelompok orang dengan hubungan kekeluargaan maupun
ikatan genealogis memangku jabatan-jabatan pemerintahan pada masa pemerintahan dan
wilayah pemerintahan tertentu melalui penunjukan secara langsung maupun tidak langsung.
Hal ini tentu menodai keadilan atau kesetaraan pada masyarakat yang pada hakikatnya
memiliki hak untuk memilih dan dipilih.
Oleh karena itu, penting untuk masyarakat dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat untuk memerangi praktik kecurangan dalam lingkup pemerintahan yang
dijabarkan di atas. Hal ini mengingat banyaknya dampak negatif yang terjadi mengikuti
praktik kecurangan tersebut. Pertama, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu
pelanggaran HAM masyarakat untuk dipilih dalam pemerintahan, hal ini dapat menyebabkan
banyak elemen masyarakat yang kemudian merasa kecewa sistem pemerintahan dan
berpotensi kehilangan rasa percaya kepada keberjalanan pemerintahan.
Selain itu, politik patrimonial juga dapat menyebabkan maraknya suap dan korupsi
dalam kerangka pemerintahan. Hal ini mengingat “ikatan kekeluargaan” antar pemangku
jabatan sehingga tindak kejahatan seperti suap dan korupsi terkesan lebih mudah antar pihak-
pihak pelanggar. Ketiga, hubungan kekeluargaan dalam kekuasaan di suatu daerah tentu
dapat meningkatkan gairah kekuasaan antar pemangku jabatan yang satu dengan anggota
keluarga lain yang juga memiliki kekuasaan pemerintahan. Hal ini sangat berpotensi
menyebabkan terbentuknya regulasi maupun aturan pemerintahan daerah yang cenderung
melebarkan sayap pemerintah dengan mencekik rakyatnya.
Politik patrimonial mungkin sedikit asing di beberapa pihak, tetapi makna
politik patrimonial sangat dipahami oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari survei yang
dilakukan penulis, dimana terdapat xx masyarakat Klaten setuju bahwa kegiatan
patrimonial terjadi di daerah tersebut dan (...)% dari masyarakat umum merasa
bahwa di daerah mereka terjadi kejadian yang sama. Sehingga perlu pendalaman
kasus politik patrimonial agar dapat mengedukasi masyarakat untuk memberantas
politik patrimonial.

3.2 Hak Politik Warga Negara


Hak politik warga negara dapat diamati dalam kehidupan bernegara, dimana warga
negara dapat dipilih dan memilih dalam pemilihan umum, dapat terlibat dalam organisasi
politik, dan memiliki kedudukan yang setara dalam gerakan politik. Hak-hak dasar politik
yang menjadi inti bagi warga negara Indonesia adalah hak berserikat, hak berkumpul, dan
hak mengemukakan pendapat (Hikam, AS). Hak politik warga negara sendiri diatur pada
UUD 1945 dalam pasal 27 ayat 1 yang membahas persamaan kedudukan masyarakat
terhadap hukum maupun pemerintahan dan pasal 28 tentang kebebasan, berkumpul,
berserikat, hingga menyatakan pendapat.
Sehingga pada dasarnya, implementasi hak-hak politik warga negara Indonesia
dijamin oleh UUD 1945, seperti hak membentuk dan memasuki organisasi politik, hak untuk
melibatkan diri dalam suatu kegiatan politik, hak untuk mengutarakan pandangan politik, dan
hak untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum. Dalam
kehidupan bernegara, hak politik sipil dikelompokkan atas dua jenis, yaitu hak politik yang
ditunjukkan oleh tingkah laku politik masyarakat yang pada implementasinya berupa hak
pilih dalam pemilihan umum maupun keterlibatan dalam organisasi politik, dan hak politik
yang ditinjau dari tingkah laku politik elit, seperti tata cara memperlakukan dan
menggunakan kekuasaan maupun bentuk hubungan kekuasaan antar elit dengan bangsa
Indonesia.

3.3 Sejarah Bupati Klaten Sejak Tahun 2000


Pemegang jabatan Bupati Klaten dan masa jabatannya terdapat dalam tabel berikut

Bupati/Wakil Bupati Masa Jabatan

H. Haryanto Wibowo / Wisnu Hardono 2000-2005

H. Sunarna, S.E.,M.Hum. / 2005-2010


Samiadji,S.E.,M.M
H. Sunarna, S.E.,M.Hum. / Hj. Sri 2010-2015
Hartini,S.E.

Drs. Jaka Sawaldi, M.M. 22 Desember 2015-17


Februari 2016

Hj. Sri Hartini,S.E. / Hj.Sri Mulyani 17 Februari 2016-20


November 2017

Hj.Sri Mulyani 20 November 2017-17


Februari 2021

Dr. A. P. Ir. Sujarwanto Dwiatmoko, MSi 25 September 2020-

5 Desember 2020

Hj. Sri Mulyani / Yoga Hardaya 26 Februari 2021-sekarang

3.4 Indikator Kinerja Pemimpin Daerah


Tolok ukur ketercapaian pemimpin daerah, terutama Bupati Klaten, dalam
menjalankan tanggung jawab dan mewujudkan tugasnya yang dibahas dalam mini riset ini
adalah:
➢ Pembangunan infrastruktur, dalam aspek ini ditinjau kebermanfaatan dan pemenuhan
pembangunan sebagai wujud pelayanan terhadap warga;
➢ Pendidikan, dalam hal ini ditinjau latar belakang pendidikan pemimpin daerah
(bupati) dan hubungannya dalam membangun daerahnya;
➢ Kesejahteraan masyarakat, dalam hal ini dipertimbangkan aspek pemenuhan
kebutuhan dasar masyarakat dan ditinjau secara ekonomi;
➢ Pelayanan umum, pada aspek ini ditinjau akses masyarakat terhadap pelayanan
umum, seperti puskesmas, transportasi publik, dan lain sebagainya;
➢ Lingkungan hidup, pada aspek ini dibahas mengenai kebersihan maupun sanitasi
dalam kehidupan sehari-hari masyarakat daerah Klaten;
➢ Internal masyarakat, dalam hal ini dibahas secara umum mengenai kehidupan
bermasyarakat secara internal.
PEMBAHASAN

1. Pengaruh politik patrimonial yang terjadi selama 4 periode terhadap masyarakat di


Kabupaten Klaten
Politik patrimonial yang terjadi selama 4 periode di Kabupaten Klaten
memberikan pengaruh kepada masyarakat Klaten. Pengaruh politik patrimonial
tersebut dapat berupa kontribusi Bupati Klaten baik Bupati Sunarno maupun Bupati
Sri Mulyani dan kinerja Bupati Sunarno dan Bupati Sri Mulyani selama menjabat
masing-masing 2 periode sebagai Bupati Klaten, kinerja tersebut dapat dinilai dengan
menggunakan indikator kinerja Pemimpin Daerah.

Diagram 1. Dampak Positif dari Kinerja Bupati Sunarno

Pada diagram 1 merepresentasikan dampak positif dari kinerja Bupati


Sunarno. Dapat dilihat bahwa sebanyak 54% responden tidak merasakan dampak
positif dari kinerja Bupati Sunarno, sebanyak 39% responden hanya sedikit
merasakan dampak positif dari kinerja Bupati Sunarno, sebanyak 7% responden yang
lumayan merasakan dampak positif dari kinerja Bupati Sunarno.
Kinerja dari Bupati Sunarno selama 2 periode masih belum terlihat di mata
masyarakat. Menurut masyarakat Klaten, kinerja Bupati Sunarno berpusat pada
pembangunan infrastruktur. Namun, pembangunan tersebut hanya terjadi pada kota
Klaten, pembangunan infrastruktur di kecamatan lainnya cenderung jarang terjadi.
Pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan oleh Bupati Sunarno selama
menjabat Bupati Klaten 2 periode adalah pembangunan masjid Al Aqsa yang terletak
di Klaten Utara.
Pada aspek pendidikan, tidak ada kemajuan yang signifikan di Kabupaten
Klaten. Pada aspek kesejahteraan masyarakat, tidak ada kebijakan atau tindakan
khusus untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, sehingga masih terdapat
masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan. Pada aspek pelayanan umum,
tidak terlalu buruk dan tidak terlalu baik pula. Pelayanan umum di Klaten dapat
dikatakan tidak ada perubahan sejak lama. Pada aspek lingkungan hidup, dapat
terbilang cukup baik dengan penataan kota yang asri. Namun, masih terdapat
beberapa tempat yang masih kumuh dan tidak terjaga.
Selama menjabat, Bupati Sunarno belum dapat terjun langsung ke masyarakat
dan dinilai kurang dapat menyerap aspirasi dari masyarakat Klaten. Penggunaan
APBD juga masih kurang efektif. Program kerja pada masa pemerintahan Bupati
Sunarno hanya melanjutkan dari bupati terdahulu dan tidak ada kebijakan yang
progresif. Masih banyak kasus yang bukannya diberantas, tetapi justru merajalela
seperti korupsi dan pungli.

Diagram 2. Dampak Positif dari Kinerja Bupati Sri Mulyani

Pada diagram 2 merepresentasikan dampak positif dari kinerja Bupati Sri


Mulyani. Dapat dilihat bahwa sebanyak 54% responden tidak merasakan dampak
positif dari kinerja Bupati Sri Mulyani, sebanyak 36% responden hanya sedikit
merasakan dampak positif dari kinerja Bupati Sri Mulyani, sebanyak 9% responden
yang lumayan merasakan dampak positif dari kinerja Bupati Sri Mulyani, dan tidak
ada yang merasakan sekali dampak positif dari kinerja Bupati Sri Mulyani.
Kinerja dari Bupati Sri Mulyani selama menjabat masih belum terasa bagi
masyarakat. Menurut masyarakat Klaten, kinerja Bupati Sri Mulyani juga berpusat
pada pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan
oleh Bupati Sri Mulyani selama menjabat Bupati Klaten adalah pembangunan
terminal yang terletak di Klaten Tengah. Selain pembangunan infrastruktur,
pemberian bantuan ke masyarakat juga sering dilakukan terlebih di masa pandemi.
Namun, tidak ada bantuan yang berasal dari Klaten, melainkan bantuan dari pusat.
Dengan kata lain, pemberian bantuan masyarakat dapat disebut “penyaluran” bantuan
masyarakat.
Pada aspek pendidikan, masih sama saja dengan masa pemerintahan Bupati
Sunarno. Pada aspek kesejahteraan masyarakat, belum ada kebijakan mengenai
bantuan dan hanya bergantung pada bantuan pemerintah. Pada aspek pelayanan
umum, tidak ada perubahan dan kemajuan dari sebelumnya. Pada aspek lingkungan
hidup, dapat terbilang cukup baik jika melihat asrinya kota Klaten. Namun, masih
menjadi catatan mengenai tempat pembuangan sampah yang belum memadai.
Selama menjabat, Bupati Sri Mulyani dinilai belum dapat memaksimalkan
penggunaan APBD. Pembuatan kebijakan cenderung bertele-tele dan tidak progresif.
Masa pemerintahan Bupati Sri Mulyani dianggap penuh politik oleh masyarakat.
Selain bergantung pada pemerintah, Bupati Sri Mulyani juga bertumpu pada nama
suaminya yang tidak lain bupati sebelumnya, Bupati Sunarno.

Diagram 3. Perasaan Masyarakat terhadap Politik Patrimonial di Klaten


Pada diagram 3 merepresentasikan apa yang dirasakan masyarakat Kabupaten
Klaten terhadap politik patrimonial yang telah berlangsung selama 4 periode. Dapat
dilihat bahwa sebanyak 78% responden merasa jenuh dengan adanya politik
patrimonial, sebanyak 17.1% responden merasa biasa dengan adanya politik
patrimonial, sebanyak 2.4% responden merasa muak dengan adanya politik
patrimonial, dan 2.4% responden merasa aneh dengan adanya politik patrimonial.
Dengan persentase yang cukup besar sudah menggambarkan apa yang
masyarakat rasakan selama 4 periode ini. Perasaan jenuh yang ada menimbulkan
menurunnya tingkat keinginan masyarakat untuk berkontribusi ke Kabupaten Klaten.
Dengan rantai kepemimpinan yang hanya berputar pada Bupati Sunarno-Sri Mulyani,
masyarakat Klaten merasa percuma untuk berkontribusi. Kebijakan yang hanya
melanjutkan dari bupati terdahulu, sudah menunjukkan bahwa kontribusi masyarakat
Klaten akan cenderung rendah.

Anda mungkin juga menyukai