DISUSUN OLEH :
B. Analisis Kasus
Kasus malpraktek pemilu sebagai bagian dari korupsi yang terjadi pada Tahun
2019 ini sangat menarik perhatian. Kasus ini merupakan contoh kasus praktik
penyimpangan demokrasi yang ada di Indonesia . Yang kita tahu bahwa Indonesia ini
adalah negara demokrasi. Negara yang seluruh kehidupan didalamnya berlandaskan
nilai- nilai Pancasila . Tentunya dengan adanya malpraktek pemilu ini sangat
bertentangan dengan pancasila terutama pada sila ke 4 yang berbunyi “ Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. “. Malpraktek
pemilu adalah proses dimana aturan yang mengatur penyelenggaraan pemilu
dimanipulasi demi kepentingan tertentu. Hal ini juga dapat didefinisikan secara lebih
sempit yakni kecurangan dan pemalsuan hasil pemilu .Potensi korupsi dan manipulasi
sering menjadi “ momok” di setiap tahapan dalam proses pemilu.
Terdapat 3 terminologi utama mengenai malpraktek pemilu , yakni korupsi
pemilu (electoral corruption), malpraktik pemilu (electoral malpractice),dan
penyimpangan pemilu (electoral fraud).Ketiga istilah tersebut digunakan dalam
pengertian setara oleh para penulis dalam melihat hubungan antara korupsi dan
manipulasi dalam pemilu. Ciri utama yang menentukan praktik dari tiga istilah
tersebut adalah pelibatan dan penyalahgunaan lembaga pemilu untuk keuntungan
secara pribadi maupun politik (Birch, 2011b).
Pada malpraktik yang terjadi selama Pemilu Legislatif 2019 , terdapat
penganalisisan terhadap putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI ( DKPP
RI) pada bulan April hingga bulan Desember 2019. Pada analisis tersebut
mengungkapkan beberapa hal. Yang pertama adalah mengenai siapa sajakah pihak yang
terlibat dalam pengaduan malpraktek tersebut. Sumber aduan terbesar berasal dari
anggota DPR/DPRD , Calon Legislatif , dan Pengurus Partai dengan persentase sebesar
47 %. Tidak heran jika partai politik menempati posisi terbesar sebagai pengadu karena
sebagai peserta pemilu memiliki kepentingan yang erat kaitanya dengan hasil pemilu. .
Mereka membuat aduan kepada DKPP untuk melaporkan dugaan pelanggaran kode
etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu yakni KPU maupun Bawaslu. Menurut
wawancara dengan Didik Supriyanto, anggota DKPP 2020-2022, tujuan dari
pelaporan ini bukan untuk merubah hasil perolehan suara, namun lebih kepada
menghukum kesalahan penyelenggara pemilu.
Sumber aduan kedua berasal dari gabungan berbagai elemen masyarakat mulai
dari masyarakat umum, pengawas lapangan , mahasiswa , LSM , dan masih banyak yang
lainnya dengan persentase sebesar 37%. Partisipasi masyarakat menjadi elemen yang
sangat penting dalam penyelenggaraan pemilu, bukan hanya sebagai pemberi suara
namun juga berlaku sebagai pengawas pemilu . Alasan masyarakat menjadi elemen
terpenting adalah karena demokrasi ini berjalan seperti yang telah dikemukakan oleh
Abraham Lincoln yang menyatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat ,
oleh rakyat , dan untuk rakyat.Hal ini terkait juga dengan pentingnya keterlibatan
masyarakat dalam pengawasan pemilu sehingga dapat menghasilkan pemilu yang
berkualitas dan berintegritas.
Sumber aduan yang ketiga berasal dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
dengan persentase sebesar 16% dari total aduan. Aduan ini menunjukan bahwa adanya
indikasi kegagalan koordinasi antar penyelenggara pemilu, ketidaksiapan penyelenggara
pemilu, dan profesionalitas penyelenggara pemilu.
Hal kedua yang dianalisis adalah mengenai letak aduan pelanggaran kode etik.
Aduan pelanggaran kode etik terbanyak terletak di tahapan penghitungan dan
rekapitulasi dengan persentase sebesar 66% sedangkan sisanya sebesar 32% bukan
berada dalam tahapan perhitungan rekapitulasi . Dilihat dari sini, tahapan penghitungan
dan rekapitulasi merupakan tahapan yang paling rawan karena berkaitan dengan
perolehan suara yang menjadi penentu lulus tidaknya kandidat dalam pemilu.
Pelanggaran dalam tahap penghitungan dan rekapitulasi ini dikategorikan oleh
Birch (2011a) sebagai manipulation of the voting act. Tindakan manipulation of the
voting act meliputi berbagai bentuk tindakan seperti kegagalan implementasi framework
regulation, baik dalam konteks maladministration yang bersifat ketidaksengajaan
maupun electoral fraud yang bersifat kesengajaan oleh penyelenggara pemilu.
Magaloni (2006) juga menekankan bahwa salah satu tujuan dari electoral fraud adalah
mengubah hasil pemilu. Sehingga tahapan rekapitulasi suara menjadi tahapan yang
paling rawan terjadinya electoral fraud dalam pemilu.
Letak aduan kode etik pada tahap perhitungan dan rekapitulasi suara melalui
beberapa tahap. Proses diawali dari penghitungan suara di tingkat Tempat
Pemungutan Suara (TPS), yang kemudian dilanjutkan dengan rekapitulasi dan
penetapan hasil penghitungan suara ditingkat kecamatan, kabupaten, provinsi,
dan nasional.
Hal ketiga yang dianalisis adalah mengenai indikasi Electoral Fraud dan
Electoral Maladministration. Indikasi malpraktek terbesar pada tahap rekapitulasi
yang dikabulkan dalam putusan DKPP terletak pada electoral maladministration.
Sebagaimana dibahas pada kerangka teoritik, electoral maladministrasi lebih disebabkan
oleh kelalaian yang bersifat teknis daripada sebuah kesengajaan untuk
melanggar hukum. Beberapa contoh electoral maladministration adalah tidak ditaatinya
prosedur rekapitulasi dalam pemilu, mekanisme perbaikan dokumen.
Kemudian hal terakhir yang dianalisa adalah mengenai putusan DKPP dimana
dari 75 putusan DKPP pada bulan April hingga Desember 2019 sebanyak 1 aduan atau
1% suara yang dikabulkan , 40 aduan atau 53% yang dikabulkan sebagian, dan 24 aduan
atau 46% lainnya ditolak seluruhnya. Kita perlu menganalisa indikator dikabulakn atau
tidaknya sebuah aduan , yakni tergantung pada kekuatan pembuktian dari pengadu aupun
yang teradu. Jika aduan diputus untuk dikabulkan sebagian, berarti sebagian aduan
pengadu terbukti kebenarannya. Jika aduan diputus untuk dikabulkan
seluruhnya, berarti seluruh aduan pengadu terbukti kebenarannya. Sedangkan jika
ditolak seluruhnya, berarti seluruh aduan pengadu tidak terbukti kebenarannya.
Dengan adanya hasil keputusan dari DKKP maka perlu dijatuhkan sanksi . Sanksi
ini berupa peringatan , peringatan keras, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap,
dan tidak memenuhi syarat penyelenggara pemilu. Dari 75 putusan DKPP yang
dianalisis, terdapat 23 putusan yang memberikan sanksi peringatan, empat
putusan yang memberikan sanksi peringatan keras, enam sanksi yang
memberikan sanksi peringatan/peringatan keras dan/atau pemberhentian
sementara/tetap, dan dua putusan yang memberikan sanksi tidak memenuhi syarat
sebagai penyelenggara
Banyaknya pengaduan terhadap DKPP oleh penyelenggara pemilu di tingkat
kecamatan dan kabupaten/kota pada tahap penataan ulang pemungutan suara
menunjukkan kerentanan kecurangan pemilu pada tahap ini. Berdasar pada hasil
analisis terhadap putusan DKPP sebelumnya dan juga data sekunder lain, studi ini
paling tidak berhasil menemukan dan menelaah lebih dalam kasus malprakeik pemilu di
empat daerah, yakni: Kabupaten Bekasi, Kabupaten Sleman, Kabupaten Manokwari,
dan Kota Batam. Penemuan kasus manipulasi suara ini pertama kali diadukan
oleh Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Nasional Demokrat (Nasdem)
Kabupaten Bekasi kepada Bawaslu yang kemudian ditindaklanjuti melalui mekanisme
dan prosedur penegakan hukum pemilu yang diatur dalam undang-undang pemilu
(Radar Bekasi.id, 2019). Berbeda dengan kasus yang terjadi di Kabupaten Bekasi, di
Kabupaten Sleman, Yogyakarta, salah satu anggota PPK divisi data di Kecamatan
Depok terbukti melakukan electoral fraud dalam bentuk memanipulasi perolehan suara.
Terdakwa melakukan manipulasi data dan pengubahan hasil perolehan suara dari
PPP, Partai Nasdem, Partai Berkarya, dan Nasdem pada Pemilu 2019.
Bagaimanakah cara membaca celah malpraktek pemilu di Indonesia ? Terdapat
beberapa faktor yang menyebabkan sering terdapatnya celah malpraktik di Indonesia ,
antara lain yang pertama adalah karena tahapan rekapitulasi suara yang melibatkan
penyelenggara pemilu ad-hoc cenderung lebih rawan malpraktek pemilu. Kedua,
rawannya malpraktek pemilu dalam rekapitulasi suara berjenjang selain disebabkan
faktor lemahnya integritas penyelenggara pemilu, hal ini disebabkan juga oleh
rendahnya partisipasi masyarakat untuk mengawasi. Ketiga, terjadinya perubahan
perolehan suara pemilu dalam tahapan rekapitulasi tidak hanya selalu dilandasi
atas motif transaksional dalam bentuk materi, namun juga persengkongkolan
untuk memperoleh kursi legislatif. Keempat, pola electoral fraud yang terjadi dalam
tahap rekapitulasi suara di tingkat kecamatan terjadi tidak hanya antar partai,
tapi juga kebanyakan antar kandidat dalam internal partai.
C. Solusi Kasus
Sebagai mahasiswa kita perlu ikut andil dalam permasalahan ini .Hal ini terkait
dengan tegaknya sistem pemerintahan demokrasi yang ada di Indonesia. Solusi yang
dapat dilakukan oleh mahasiswa terkait praktik penyimpangan demokrasi yang ada di
Indonesia adalah sebagai berikut :
View of Malpraktik Pemilu dan Korupsi: Analisis terhadap Proses Penghitungan dan Rekapitulasi pada
https://jurnal.kpk.go.id/index.php/integritas/article/view/720/127
Mara, S. (2018b). DEMOKRASI KOTAK KOSONG (Studi Kasus Pada Pemilukada Kota Jayapura
Tahun 2017). Jurnal Civic Education: Media Kajian Pancasila Dan Kewarganegaraan, 2(1), 54.
https://doi.org/10.36412/ce.v2i1.443
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/5c38de8a798f624eab38b1fe6f7e97ff.pd
Kelola, T., Pemilu, L., Pemilu, D., Mariska, R., & Kusmanto, H. (n.d.). TALENTA Conference Series:
https://doi.org/10.32734/lwsa.v3i3.927