Anda di halaman 1dari 6

PATRICIA ANGGITA PAULIKA TUNGGAL

11000119130627
KELAS C HUKUM PELAYANAN PUBLIK

TUGAS HUKUM PELAYANAN PUBLIK


Dosen Pengampu: Henny Juliani, S.H., M.H.

Analisis Potret Pelayanan Publik:


“Maraknya Praktik Maladministrasi dalam Proses Pelayanan Publik di Indonesia”

I. Analisis
Kualitas pelayanan publik di suatu negara akan selalu menjadi hal yang menarik
untuk diperbincangkan, tak terkecuali di Indonesia. Sorotan yang besar terhadapnya ini
berkaitan dengan semakin menguatnya era keterbukaan dan demokrasi. Pelayangan kritik
yang disampaikan atas keluhan-keluhan terkait pelayanan publik kini semakin sering
terdengar. Hal ini pula yang kemudian menjadi tuntutan bagi pemerintah untuk senantiasa
memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya dalam mengatur dan mengarahkan seluruh
kegiatan pelayanan dalam upaya mencapai tujuan pelayanan yang sesuai dengan aspirasi
masyarakat.
Jika ditinjau secara definitif menurut UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik, Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga
negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan
oleh penyelenggara pelayanan publik.
Salah satu segmen pelayanan publik yang seringkali dikeluhkan oleh masyarakat
adalah pelayanan publik terkait administrasi dan birokrasi. Dilansir dari laporan The World
Competitiveness Yearbook tahun 1999, birokrasi pelayanan publik di Indonesia berada pada
kelompok negara-negara yang memiliki indeks competitiveness paling rendah di antara 100
negara paling kompetitif di dunia1. Hal ini memiliki arti kualitas birokrasi pelayanan public
Indonesia tergolong buruk dan cenderung korup.
Buruknya pelayanan publik memang bukan hal baru, fakta di lapangan masih banyak
menunjukkan hal ini. Governance And Decentralization Survey (GDS) 2002 menemukan
1
Cullen, Ronald B. & Donald P. Cushman. 2000. Transtitions to Competitive Government: Speed, Consensus,
and Performance, State University of New York Press. Hlm. 15.
tiga masalah penting yang banyak terjadi di lapangan dalam penyelenggaraan pelayanan
publik2, yaitu pertama, besarnya diskriminasi pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan masih
amat dipengaruhi oleh hubungan pertemanan, kesamaan afiliasi politik, etnis, dan agama.
Keberadaan UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang secara tegas menyatakan keharusan adanya
kesamaan pelayanan nyatanya tidak terlaksana dengan optimal.
Kedua, tidak adanya kepastian biaya dan waktu pelayanan. Ketidakpastian ini sering
menjadi penyebab munculnya KKN, sebab para pengguna jasa cenderung memilih
menyogok dengan biaya tinggi kepada penyelenggara pelayanan untuk mendapatkan
kepastian dan kualitas pelayanan. Ketiga, rendahnya tingkat kepuasan masyarakat terhadap
pelayanan publik. Yang tentu saja merupakan konsekuensi logis dari realitas diskriminasi
pelayanan dan ketidakpastian biaya dan waktu pelayanan tadi.
Realitas ini kemudian semakin membuka peluang bagi para pelayan public untuk
melakukan tindakan maladministrasi. Maladministrasi dapat diartikan sebagai “perilaku
atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk
tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau
pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan
oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil
dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.” 3
Berdasarkan data laporan tahunan yang dikeluarkan oleh Ombudsman RI, terbukti
bahwa angka laporan akan penyelenggaraan pelayanan publik yang dianggap sebagai
maladministrasi dapat dikatakan cukup tinggi. Dalam laporan tahun 2020, terdapat 7.204
laporan yang terdiri dari 6.522 laporan reguler, 559 Respon Cepat, dan 123 merupakan
Investigasi Atas Prakarsa Sendiri. Dari aspek laporan masyarakat berdasarkan dugaan
maladministrasi, instansi yang menempati urutan 3 (tiga) terbanyak yang dilaporkan adalah:
Pemerintah Daerah sebesar 39,59%, Kepolisian 11,34%, dan Badan Pertanahan Nasional
10,01%.4
Permasalahan yang sering dikeluhkan oleh masyarakat biasanya menyangkut
kelambatan atau penundaan pelayanan oleh para penyelenggara pelayanan publik. Ambil
contoh perijinan yang tidak kunjung dikeluarkan oleh pihak pemerintah daerah, masalah
2
Agus Dwiyanto dalam Ahmad Zaenal Fanani, “Optimalisasi Pelayanan Publik: Perspektif David Osborne Dan
Ted Gaebler”, makalah, tanpa tahun, hlm 1
3
Pasal 1 angka 3 UndangUndang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
4
Ombudsman RI, “Ombudsman RI Luncurkan Laporan Tahunan 2020” diakses melalui
https://ombudsman.go.id/news/r/ombudsman-ri-luncurkan-laporan-tahunan-2020 pada 6 Maret 2021 Pukul
13.57 WIB
sertifikat tanah yang tidak kunjung dilayani oleh kantor pertanahan, eksekusi putusan
pengadilan yang tidak dilaksanakan, tidak adanya perkembangan lebih lanjut terhadap
penyidikan oleh pihak kepolisian, hingga begitu lambatnya proses administrasi terkait
pembuatan KTP, Kartu Keluarga, dsb. Laporan dugaan maladministrasi dalam substansi
Penundaan berlarut ini mencapai angka 31,57% dari total aduan, yang disusul dengan
laporan akan penyimpangan prosedur sebanyak 24,77% dan tidak memberikan layanan
sebanyak 24,39% laporan.5
Praktik maladministrasi ini sangat beririsan dengan banyaknya praktik KKN. Banyak
masyarakat yang memiliki pola pikir bahwa untuk dapat mendapatkan pelayanan public
yang memadai, mereka diharuskan untuk membayar uang sogokan. Bahkan menurut data
yang dilansir oleh survei transparansi internasional, yakni Global Corruption Barometer,
sebanyak 3-% masyarakat Indonesia yang menggunakan pelayanan publik harus membayar
uang sogokan yang terjadi baik di pemerintah pusat maupun daerah. 6 Hal ini kemudian
menjadi semacam tradisi yang terus terjadi dari tahun ke tahun dalam birokrasi negara kita.
Yang kemudian menjadi pertanyaan besar adalah terkait kinerja pegawai
pemerintahan sebagai pelaku pelayanan publik. Buruknya kinerja para pelayan publik ini
sudah menjadi suatu rahasia umum. Seringkali ditemukan pekerja yang mangkir dari
tanggung jawabnya pada saat jam kerja, memanipulasi absen, hingga mendahulukan
masyarakat yang memiliki kedekatan pribadi atau mengharuskan masyarakat membayar
lebih untuk dapat menerima pelayanan.
Budaya birokrasi yang selama ini dikembangkan adalah budaya  yang lebih
menekankan pada kekuasaan, bukan pada pelayanan. Fenomena ini menjadi faktor dominan
yang menghambat proses kinerja pelayanan publik. Demikian juga dengan sistem nilai,
norma budaya dan simbol-simbol yang memperkuat kekuasaan dan posisi aparat
birokrasi. Nilai dan simbol yang diterapkan dalam kehidupan sosial aparat birokrasi lebih
menunjukkan fenomena yang menonjolkan pada status sosial tinggi. Hal ini yang kemudian
menjadi kekhawatiran besar, sebab praktik ini tidak mungkin terus dibiarkan tumbuh tanpa
pengawasan ketat dan penanggulangan tepat terhadapnya.

II. Upaya

5
Ibid.
6
Lidyana, Vadhia. “Sri Mulyani: 30% Pengguna Layanan Publik Masih Harus Bayar Sogokan”. Diakses
melalui https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5290642/sri-mulyani-30-pengguna-layanan-publik-
masih-harus-bayar-sogokan?single=1 Pada 6 Maret 2021 Pukul 17.31 WIB.
Setiap penggunaan wewenang yang mengandung unsur maladministrasi dalam
pelayanan publik membawa konsekuensi tanggung jawab pribadi dan melahirkan hak gugat
bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Hal ini disebakan bahwa maladministrasi
merupakan pelanggaran terhadap norma perilaku aparat pemerintahan. Maladministrasi
tidak selalu berwujud tindakan pejabat publik atau pegawai negari yang menyimpang atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan tetapi juga tindakan yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai kepatutan atau kesopanan dalam kehidupan masyarakat.
Atas dasar inilah, diperlukan upaya penegakan hukum secara komprehensif dalam
pencegahan praktik maladministrasi. Menurut Abdul Mukthie Fadjar terdapat empat faktor
yang harus diperhatikan dalam menegakkan hukum pelayanan publik untuk dapat
tercapainya kepastian, keadilan dan kemanfaatan, yaitu:
1. Secara substansial, peraturan hukum yang akan ditegakan harus memiliki kaidah
yang jelas dan tegas serta tidak mengandung potensi adanya multi-interprestasi.
2. Faktor struktural, dimana aparat penegak hukum harus menguasai makna kaidah-
kaidah hukum yang ada, baik tertulis maupun tidak tertulis, memiliki pengetahuan
dan wawasan yang luas, dapat mengikuti perkembangan masyarakat dan
kebutuhannya, harus mengetahui batas wewenangnya, serta mempunyai
keterampilan dalam melaksanakan tugasnyadan memiliki integritas.
3. Faktor kultural, adanya kesadaran hukum anggota masyarakat untuk menghindari
perbuatan yang dilarang, melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai warga
masyarakat dan mengerti akibat-akibat hukumnya jika melanggar hukum.
4. Faktor Manajerial, berkaitan dengan proses mengkoordinasi dan mengintegrasikan
faktor-faktor yang menentukan efektif atau tidaknya dalam menegakkan tujuan
hukum penyelenggaraan pelayanan publik. 7
Selain empat hal di atas, peran Ombudsman sebagai lembaga yang mengawasi
kewenangan penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh
penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang di selenggarakan BUMN,
BUMD maupun badan swasta yang dananya berasal dari APBN dan APBD harus
senantiasa dioptimalkan. Hal ini menjadi cukup krusial mengingat Ombudsman dapat
dikatakan merupakan benteng utama proses pencegahan dan penindakan praktik
maladaministrasi.

7
Abdul Mukthie Fadjar, Keprihatinan Memudarnya Penegakan Hukum dan Kewibawaan Hukum Di Indonesia,
Makalah disampaikan pada saresehan Forum Doktor, FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA, 30 JUNI 2011, hlm.
3.
Selanjutnya diperlukan juga penerapan standar pelayanan dalam
penyelenggaraan pelayanan public yang dilakukan melalui kegiatan Penilaian
Kepatuhan terhadap Standar Pelayanan Publik, Kajian Kebijakan Publik, Indeks
Persepsi Maladministrasi, Penilaian Kompetensi Pelayanan Perizinan dan termasuk juga
kegiatan Survei Kepatuhan yang dilakukan oleh Ombudsman RI.
Tak berhenti disitu, masyarakat juga dituntut untuk memberikan partisipasinya
secara aktif dalam proses pengawasan proses pelayanan publik. Hal ini dapat dilakukan
dengan senantiasa melakukan pengaduan kepada lembaga berwenang, dalam hal ini
Ombudsman RI, jika mendapati adanya praktik maladministrasi yang dirasakan.
Pelaporan inilah yang kemudian menjadi bekal awal bagi Ombudsman RI untuk
memberikan penindakan tegas kepada pelaku-pelaku praktik maladministrasi terlapor.
DAFTAR PUSTAKA

1. Agus Dwiyanto dan Ahmad Zaenal Fanani, “Optimalisasi Pelayanan Publik:


Perspektif David Osborne Dan Ted Gaebler”, makalah, tanpa tahun.
2. Ferdika, Sonia. “Maladministrasi dalam Pelayanan Publik di Indonesia”. Fakultas
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Sriwijaya. 2019
3. Hesti Puspitosari dkk. Filosofi Pelayanan Publik, Malang, setara Pers,2011
4. Lidyana, Vadhia. “Sri Mulyani: 30% Pengguna Layanan Publik Masih Harus Bayar
Sogokan”. Diakses melalui https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-
5290642/sri-mulyani-30-pengguna-layanan-publik-masih-harus-bayar-sogokan?
single=1 Pada 6 Maret 2021 Pukul 17.31 WIB.
5. Ombudsman RI, “Ombudsman RI Luncurkan Laporan Tahunan 2020” diakses
melalui https://ombudsman.go.id/news/r/ombudsman-ri-luncurkan-laporan-tahunan-
2020 pada 6 Maret 2021 Pukul 13.57 WIB
6. Wahid, Ahmad. “Ombudsman: Perlu Standar Minimal Layanan Publik Daerah-
Kelompok Marjinal” diakses melalui https://news.detik.com/berita/d-
4819887/ombudsman-perlu-standar-minimal-layanan-publik-daerah-kelompok-
marjinal?_ga=2.168348065.1425017424.1615200602-600889822.1600912865 pada 7
Maret 2021 Pukul 12.31 WIB
7. Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara edisi revisi Jakarta, Rajawali Pers, 2011.
8. Undang-Undang RI UU no 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
9. Undang-Undang RI No 37 tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
10. Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
11. Peraturan Ombudsman RI No. 41 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pencegahan
Maladministrasi Penyelenggaraan Pelayanan Publik
12. Peraturan Presiden RI No. 76 Tahun 2013 tentang Pengaduan Pelayanan Publik

Anda mungkin juga menyukai