Anda di halaman 1dari 4

Paling tidak hal tersebut dapat terekam di dalam fakta‐fakta sebagai berikut:

1. Bagi‐bagi kekuasaan/semua “merasa” berkuasa


UU No. 22/1999 ditengarai telah mendorong terciptanya executive heavy, yang mana, tidak ada
sinergi di antara penyelenggara pemerintahan di daerah. Upaya untuk memberikan
keseimbangan kekuasaan kepada legislatif berlanjut menjadi dominasi legislatif atas eksekutif,
sehingga merasa satu berkuasa atas lainnya.
2. Pemasungan kreatifitas berkaitan dengan manajemen keuangan dan pengawasannya
Masih saja pemerintah pusat memegang kendali atas perencanaan dan anggaran melalui
mekanisme DAU, DAK, hibah dan bantuan, baik APBN maupun asing. Mekanisme pengawasan
dan pertanggungjawaban keuangan masih simpang siur antara BPK maupun BPKP di level pusat.
3. Tarik ulur urusan‐urusan pemerintahan
Masih saja terjadi tarik‐ulur dalam urusan pemerintahan seperti menyangkut redistribusi pajak
(PKB dan BBN di tingkat provinsi), serta hal‐hal yang sifatnya antar wilayah, misalnya
menyangkut jalan raya, sungai,wilayah perairan. Muncul kecenderungan ego sektoral antar
pemerintah daerah.

2. Dalam kaitan ini, terdapat beberapa hal yang harus menjadi prioritas utama dalam
pembangunan kualitas SDM antara lain, pertama, adalah sistem pendidikan yang baik dan
bermutu. Untuk mencapai hal tersebut, maka diperlukan penataan terhadap sistem pendidikan
secara menyeluruh, terutama berkaitan dengan kualitas pendidikan, serta relevansinya dengan
kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Pemerintah dalam hal ini memiliki peran penting dalam
penyelenggaraan sistem pendidikan yang efektif dan efisien, berorientasikan pada penguasaan
IPTEK serta merata di seluruh pelosok tanah air.

Kedua adalah penguatan peran agama dalam kehidupan sosial bermasyarakat dalam rangka
memperkokoh jati diri dan kepribadian bangsa (character building). Ketiga adalah peningkatan
kapasitas SDM melalui berbagai Diklat, kompetensi, pembinaan dan lain-lain. Tenaga kerja
profesional dan terampil sesuai tuntutan/kebutuhan pasar merupakan faktor keunggulan suatu
bangsa dalam menghadapi persaingan global.

Pemerintah memegang peranan penting dalam menyiapkan program-program strategis guna


menghasilkan SDM berkualitas dan siap memasuki pasar kerja. Terakhir, adalah pembinaan dan
pengembangan masyarakat terutama generasi muda. Sebagai penopang utama dalam roda
pembangunan, pemberdayaan generasi muda diharapkan dapat menciptakan generasi yang
kreatif, inovatif dan berdaya saing tinggi. Karakteristik generasi muda seperti inilah yang
diharapkan mampu berkonstribusi dan memenangkan persaingan global.

3.
Solusinya antara lain sebagai berikut:
1) Menyusun standar pelayanan dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat. Dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, mengamanatkan bahwa dalam menyusun dan
menetapkan standar pelayanan, penyelenggara wajib mengikutsertakan masyarakat dan
pihak terkait. Namun berdasarkan hasil Survei ORI pada 2016, dari total sampel sebanyak
2.233 dan tersebar pada 213 entitas, hanya terdapat 420 atau 18,81 % responden instansi
penyelenggara yanlik yang menyatakan bahwa dalam menyusun standar layanan, instansi
tersebut melibatkan masyarakat. Sedangkan sebanyak 1.751 responden atau 78,41 %
menyatakan tidak melibatkan masyarakat. Lebih dari 75 % dari total responden
penyelenggara layanan mengakui bahwa dalam proses menyusun standar layanan tidak
melibatkan masyarakat.
2) Memberikan sarana maupun mekanisme penyampaian aduan dari masyarakat. Partisipasi
masyarakat selain memberikan peniaian terhadap kepuasan layanan yang diberikan, juga
dapat menyampaikan pengaduan kepada instansi tersebut. Namun, sarana untuk
penyampaian aduan masih jarang dijumpai, terutama pelayanan dasar di tingkat
kecamatan dan kelurahan, yang notabene sebagai ujung tombak pelayanan. Tidak ada
mekanisme dan prosedur yang terlembaga, yang memungkinkan masyarakat melakukan
keluhan dan mengontrol kinerja pemerintah maupun aparaturnya.
3) Menindaklanjuti dan menyelesaikan pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat. Hal
demikian menumbuhkan sikap masyarakat yang apatis terhadap perbaikan pelayanan
publik. Pengaduan masyarakat yang masuk ke instansi, bahkan sering tidak dicatat dan
ditanggapi. Masih merujuk pada survei yang dilakukan ORI, menunjukkan bahwa
pengaduan yang tidak dicatat lebih tinggi dibandingkan pengaduan yang tidak ditanggapi.
Permasalahan pengaduan yang tidak dicatat lebih dominan pada aspek teknis seperti
sarana dan prasarana serta kemauan penyelenggara pelayanan melakukan tertib
administrasi. Permasalahan pengaduan tidak ditanggapi lebih dominan pada aspek
kompetensi dan motivasi kerja pegawai unit pengelolaan pengaduan.
4) Mewujudkan sistem pengaduan pelayanan public yang terintegrasi secara nasional.
Sehingga masyarakat tidak takut salah dalam melapor. Kendala minimnya partisipasi
masyarakat juga disebabkan adanya ketakutan "salah alamat" dalam melapor jika ada
penyimpangan dalam pelayanan publik.
5) Menjalin kerjasama antar stakeholder untuk memberikan sosialisasi pengetahuan politik
kepada masyarakat
6) Melakukan sosialiasi secara rutin ke kampus-kampus di berbagai daerah
7) Memaksimalkan peran struktur penyelenggara, pengawas, dan pelaksana perpolitikan
yang ada agar pelaksanaan politik sesuai dengan aturan yang berlaku.

1. Salah satu persoalan yang mengiringi penyelenggaraan kebijakan Otonomi Daerah adalah
maraknya praktek kolusi di dalam pemerintahan. Seiring dengan meningkatnya kewenangan
pemerintah daerah di dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan, praktek-praktek
kolusi di dalam rekrutmen tenaga kerja atau masalah perizinan menjadi bahaya yang
mengancam keberlangsungan otnomi daerah. Dalam kehidupan sehari-hari praktek kolusi ini
seakan menjadi rahasia umum, sehingga muncullah adagium bahwa selain prestasi, ada hal lain
yang menentukan kesuksesan seseorang yaitu koneksi. Rekrutmen PNS, lelang tender,
perizinan, adalah contoh tiga hal yang rawan dijangkiti oleh praktek kolusi di tingkat
pemerintahan daerah. Maraknya praktek kolusi, merupakan bukti pelanggaran atas prinsip-
prinsip di dalam good governance. Prinsip good governance apa sajakah yang dilanggar di dalam
kasus terjadinya praktek kolusi tersebut? Jelaskan jawaban Anda dengan argumentasi yang
memadai.

Jawab:
Good Governance diterjemahkan sebagai tata laksana pemerintahan yang baik. Secara
umum, good governance bisa dimaknai sebagai seperangkat proses yang berlaku pada
institusi atau organisasi, swasta atau negeri, agar keputusan yang baik bisa ditentukan dan
semua proses yang ada di dalamnya bisa terlaksana dengan baik. Walau good governance
bukan jaminan segala sesuatu berjalan sempurna, namun apabila dipatuhi akan mengurangi
tindakan penyalahgunaan kekuasaan (termasuk kolusi, korupsi dan nepotisme atau KKN).

Kolusi diartikan sebagai sikap tercela di mana penyelengara negara melakukan pemufakatan
sembunyi-sembunyi agar urusan dan kepentingan pribadinya lancar. Kolusi bukan sekedar
perbuatan tidak jujur melainkan perbuatan yang melawan hukum dan tak sesuai dengan
prinsip good governance. Jika kita merujuk pada Undang Nomor 28 Tahun 1999 maka arti
kolusi adalah "Permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara
Negara".

Kolusi dapat menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial di masyarakat serta ketidakadilan


di berbagai bidang dalam kehidupan. Proses dari pertumbuhan ekonomi serta investasi
menjadi terhambat, sehingga pengentasan akan kemiskinan pun ikut terdampak dan
terhambat.

Sedangkan Good Governance merupakan tata kepemerintahan yang baik secara umum
punya 4 prinsip utama yakni akuntabilitas, transparansi, keterbukaan dan aturan hukum.

Untuk kolusi sendiri, prinsip good governance yang dilanggar tentu saja aturan hukum dan
akuntabilitas sebab mereka yang kolusi sudah tentu sembunyi-sembunyi karena merupakan
pemufakatan jahat yang sifatnya melawan hukum. Perbuatan ini juga sudah tentu tak bisa
dipertanggungjawabkan di hadapan publik sehingga jelas menyalahi prinsip akuntabilitas.
Kolusi di dalam rekrutmen tenaga kerja mencederai prinsip transparansi, keterbukaan dan
keadilan, sehingga merugikan kelompok masyarakat yang seharusnya lebih layak untuk
mendapatkan pekerjaan. Begitu juga dalam masalah lelang tender, jika perusahaan yang
dimenangkan dalam lelang merupakan hasil dari kolusi, maka hasil dari pekerjaan yang
dilakukannya akan tidak optimal, akan ada anggaran-anggaran yang peruntukannya tidak
sesuai sehingga prinsip akuntabilitas diabaikan. Kolusi dalam masalah perizinan bahkan
dapat membawa dampak yang buruk bagi lingkungan. Sebagai contoh, jika berdasarkan
aturan hukum izin pembukaan lahan untuk pertambangan diberikan dengan persyaratan
yang ketat, namun karena kolusi, pengusaha tambang melakukan usahanya dengan tidak
bertanggung jawab, tidak melakukan program reklamasi dan sebagainya.

Sumber:
Hastangka, DKK. (2022). Pendidikan Kewarganegaraan. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka
http://eprints.undip.ac.id/1046/1/OTONOMI_DAERAH.pdf
https://ombudsman.go.id/pengumuman/r/artikel--menumbuhkan-partisipasi-masyarakat-
dalam-pengawasan-pelayanan-publik
https://www.kemenkopmk.go.id/membangun-sdm-indonesia-membangun-sinergitas

Anda mungkin juga menyukai