ist
MENGGELEDAH: Penyidik Tipikor Polda Sumut menggeledah gedung Dinas Pemuda dan
Olahraga Sumut, Kamis (18/7) lalu.
MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kamis (18/7) lalu, penyidik Tipikor Polda Sumut menggeledah
gedung Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Sumut. Ruangan Kadispora serta Kepala Bidang
(Kabid) Sarana Prasarana dimasuki penyidik.
Dari sana, penyidik Tipikor membawa dokumen-dokumen penting sekaitan penyidikan yang
menurut penyidik dapat menjerat tersangka lain dalam kasus korupsi proyek Sirkuit Tartan tahun
2017. Namun yang menjadi tersangka hanya Kabid Sujamrat.
Menurut pengamat hukum Julheri Sinaga SH, hal itu sah sah saja. Tapi agak tak biasa.
“Bisa-bisa saja kalau itu (satu tersangka). Tapi kecil kemungkinan itu terjadi. Saya rasa penyidik
memahami kalau perkara korupsi merupakan perkara berskala prioritas,” sebut Julheri kepada
Sumut Pos Minggu (21/7).
“Jika dikaitkan dengan azas persamaan di depan hukum, harus ada tersangka lain. Bila tidak,
maka akan jadi catatan sendiri bagi masyarakat. Nggak mungkin rasanya korupsi dilakukan
sendiri. Tidak lazim lah, pasti ada oknum-oknum lain yang kemungkinan terlibat,” sambungnya.
Menurut pandangan hukumnya, ketika nantinya penyidik tak menjerat atau menemukan adanya
tersangka lain dalam kasus korupsi Sirkuit Tartan itu, kinerja polisi bakal dipertanyakan.
“Saya rasa bila hal itu terjadi, bakal menjadi contoh buruk dalam penegakan hukum. Pasti ada
dugaan tebang pilih di situ. Karena begini, sebuah proyek melibatkan banyak orang. Riskan
rasanya seseorang melakukan penggelapan ataupun penyelewengan di situ, ya,” jelas Julheri.
“Ada atasan dan mungkin pihak lain yang mengetahui. Pasti akan diketahui banyak orang. Itu
sebuah sistem yang berjalan. Terlalu naif kalau cuma sekelas kabid yang jadi tersangka,”
tambahnya lagi.
Julheri mencontohkan kasus OTT pemotongan insentif pemungut pajak di Badan Pengelolaan
Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Siantar. Dalam kasus ini, Bendahara Pengeluaran serta
Kadis BPKAD nya ditetapkan sebagai tersangka. Nah, agaknya tak lazim bila dalam korupsi
Sirkuit Tartan hanya menjerat Sujamrat dan polisi alpa pada dugaan keterkaitan pejabat lebih
tinggi lainnya
“Publik kan melihat. Jangan sampai ada semacam tebang pilih dalam setiap penanganan kasus
korupsi. Tidak mungkin,” ungkap Julheri.
Dalam kasus ini, Julheri punya asumsi lain ketika polisi hanya menetapkan mantan Kabid Sarana
dan Prasarana itu menjadi tersangka. Ia menduga penyidik tidak berkemampuan menjerat
tersangka yang lebih tinggi jabatannya dari Sujamrat.
“Atau mungkin penyidik malas membuka perkara itu, jadi dibuka satu persatu, apalah bahasanya
itu saya bilang. Dicicil-cicil. Padahal kan penanganan kasus korupsi itu tidak seperti itu. Jadi
kalau dibandingkan dengan OTT di BPKAD Siantar menimbulkan tanda tanya dia,” terangnya.
Julheri meminta penyidik Tipikor Ditreskrimsus Polda Sumut agar menangani kasus korupsi
proyek renovasi Sirkuit Tartan ini dengan profesional dan semestinya.
“Harapan kita jangan ada tebang pilih lah, kredibilitas Polri, profesionalitasnya dipertaruhkan
kali ini. Seperti yang digaungkan Kapolri, Promoter, jangan sampai penanganan kasus Sirkuit
Tartan menimbulkan asumsi negatif masyarakat,” pungkasnya.
Diketahui, dalam dugaan korupsi Renovasi Lintasan Sirkuit Tartan Atletik PPLP Provinsi Sumut
Tahun Anggaran 2017 diduga merugikan negara Rp1,5 miliar.
Sirkuit terletak di Jalan Pembangunan, Kelurahan Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal. Pagu
anggaran sebesar Rp4.797.700.000 .
Menurut, Direktur Kriminal Khusus Polda Sumut Kombes Rony Samtana, bukan hanya Sujamrat
yang terlibat dalam kasus ini. Ditetapkannya Sujamrat sebagai tersangka karena dia menjadi
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam proyek
ini.
Namum rangkap jabatan itu juga lah yang dianggap tidak lazim oleh penyidik. Penyidik curiga
dengan itu sehingga terus mencari bukti lain untuk menjerat pihak lain yang terlibat, termasuk
dengan melakukan penggeledahan.
Apakah dalam penggeledahan itu nantinya bakal menjerat pejabat setingkat Kadispora Sumut, ia
menjawab normatif. “Bisa saja,” terangnya.
Untuk kasus ini, Polda Sumut sendiri telah memintai keterangan 20 orang saksi sepanjang
pengusutan kasus ini. Termasuk Kepala Dinas Baharudin Siagian, pada Februari 2019 lalu.
[X CLOSE]
SUTAN
SIREGAR/SUMUT POS
MEMANCING_Seorang warga memancing dialiran sungai yang melintasi RS Columbia Medan,
beberapa waktu lalu.
MEDAN, SUMUTPOS.CO – Ketua Komisi VII DPR-RI Gus Irawan Pasaribu mengungkapkan
kekecewaannya atas pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) di semua rumah
sakit yang ada di Sumatera Utara karena tidak sesuai standar.
Hal itu diungkapkannya saat menjadi narasumber pada acara pembinaan kinerja pengelolaan
lingkungan hidup rumah sakit yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan di Hotel
Aryaduta Medan, Senin (20/11).
Gus mengatakan, limbah medis dari rumah sakit masuk dalam kategori bahan berbahaya dan
beracun. Di Sumut baru ada empat rumah sakit yang kelayakannya dengan level paling tinggi
warna biru. “Ada empat rumah sakit masuk kategori biru pada tahun 2015. Warna biru itu kalau
nilai raport siswa masih enam saja. Di bawahnya ada yang merah. Padahal kita berharap hijau.
Saya kira itu harus dicapai,” kata Gus.
Gus mengatakan, rumah sakit dengan kategori merah itu tidak proper atau tidak patuh. “Padahal
kita semua tahu limbah rumah sakit serta limbah medis mengadung racun,” kata dia.
Atas kondisi tersebutlah kemudian Gus Irawan meminta Kementerian LHK mengundang
pengelola rumah sakit untuk pengelolaan limbah.“Saya prinsipnya kalau mereka tidak bisa
dibina, tidak mau dibina ya binasakan sajalah. Karena dalam sosialisasi itu rumah sakit besar
diundang. Termasuk, misalnya rumah sakit Colombia Asia yang tarifnya kalah dengan hotel
yang kita duduki sekarang,” jelasnya.
Jika rumah sakit tersebut sebagai representasi rumah sakit terbaik di Sumut, maka sebenarnya
pengelolaan limbah mereka pun masuk kategori biru dan dikeluarkan pada tahun 2015. “Tahun
2016 belum ada. Padahal pengelolaan limbah ini sangat beresiko dan bisa masuk dalam praktik
kejahatan,” tegas Gus.
Gus Irawan mencontohkan, di Jawa Timur ada enam rumah sakit yang masuk dalam kategori
penyelidikan pihak kepolisian karena mengabaikan pengelolaan limbah B3. “Sekarang berurusan
dengan hukum. Dalam waktu dekat saya mau turun dengan tim termasuk dari Kementerian
Lingkungan Hidup ke rumah sakit yang ada di Sumut. Tujuannya bukan lagi sosialisasi tapi
penegakan hukum,” ujar Gus.
Gus meminta Kementerian LHK membuat acara sosialisasi di Sumut agar kasus Jawa Timur
tidak terjadi di daerah ini. “Ini ada 30 rumah sakit yang mereka undang tapi yang datang hanya
13 saja. Ini bukti rumah sakit di Sumut tidak konsern pada pengelolaan limbah,” ujar Gus kesal.
Padahal, lanjut di rumah sakit semakin besar kelas dan tipenya penggunaan chemical, radioaktif
dan mercuri akan lebih tinggi. Kita mau rumah sakit mengelola limbahnya dengan standar.
“Kesimpulan awal saya hari ini mereka tidak hadir pada sosialisasi untuk menghindarkan
kewajiban,” ujar Gus.
[X CLOSE]
Tersangka Korupsi E-KTP, Novanto Diminta
Mundur
20/07/2017 Admin-1 Sumut PosLeave a Comment on Tersangka Korupsi E-KTP, Novanto
Diminta Mundur
Para pengurus DPP Golkar, Nurdin Halid, Setya Novanto, dan Idrus Marham.
JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Ketua Umum Partai Golkar diminta konsisten terhadap pakta
integritas yang pernah dibuatnya. Khususnya pada poin keenam. Adapun isi dari poin nomor
enam itu, yakni bersedia mengundurkan diri dan atau diberhentikan dari kepengurusan DPP
Golkar apabila terlibat kasus narkoba, tindakan pidana korupsi dan atas tindakan pidana lainnya
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Saya singkat saja meminta Pak Novanto patuh kepada pakta integritas yang dibuatnya. Jangan
diputar-putar jadinya,” tegas Anggota Gerakan Muda Partai Golkar (GMPG) Syamsul Rizal saat
menggelar konferensi pers di Restoran Puang Oca, Senayan, Jakarta, Rabu (19/7).
Kata dia, tidak ada alasan lagi bagi Novanto untuk menunggu putusan inkrah agar dapat mundur
dari jabatannya. Syamsul lantas meminta ketua umumnya itu mencontoh kader Partai Golkar
sekaligus Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti.
Sebagaimana diketahui, Ridwan memilih mundur dari jabatannya sebagai gubernur sekaligus
dari Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bengkulu, setelah tertangkap tangan oleh KPK dia dan
istrinya menerima suap yang diberikan PT SMS selaku pemenang proyek jalan di Kabupaten
Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu.
“Pak Novanto harusnya mencontoh itu karena dia patuh terhadap pakta integritas,” sindir
Syamsul.
Dia mengatakan, kader-kader di daerah pun resah dengan penetapan tersangka Novanto oleh
KPK. “DPD Partai Golkar merasa malu dengan keadaan tersebut,” paparnya.
Karena itu, Syamsul meminta Novanto mendengarkan aspirasi mereka dan meletakkan
jabatannya sebagai ketua umum Partai Golkar dan ketua DPR.
“Beliau mundur saja lah dengan gentle. Bila perlu malam ini jam 12 teng mundur. Karena
dipertahankan hanya akan membuat kerusakan Partai Golkar semakin masif,” pungkasnya.
Sementara dari gedung parlemen, sejumlah fraksi mulai mengambil sikap terhadap status
tersangka Setya Novanto. Kemarin, Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Didik Murianto dengan
tegas meminta agar Novanto lebih baik meletakkan jabatannya sebagai ketua DPR.
Hal serupa disampaikan Sekretaris Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno, mundur dari jabatan
merupakan opsi yang paling layak. Namun memang, mundur tidaknya Novanto tergantung pada
sikap pribadi.
Begitu pula jika diberhentikan. Kepala Badan Keahlian DPR Johnson Rajagukguk menjelaskan,
berdasarkan kajian dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, Pasal 87 dikatakan,
pimpinan DPR dapat diberhentikan apabila, meninggal dunia, mengundurkan diri, dan
diberhentikan oleh fraksi partai politiknya di DPR.
Jika pimpinan DPR misal, tersangkut hukum, maka Pasal 87 ayat 2 huruf c menyebutkan,
pemberhentian bisa dilakukan manakala ada putusan inkrah atau dinyatakan bersalah
berdasarkan putusan pengadilan yang inkrah karena melakukan tindak pidana dengan ancaman
pidana penjara lima tahun atau lebih.
“Karena masih tersangka, tentu tidak ada pengaruh terhadap kedudukan Pak Nov (Setya
Novanto) selaku ketua DPR,” tutur Johnson
MEDAN, SUMUTPOS.CO – Pengusutan kasus dugaan penyebaran berita bohong (hoax) via
Facebook dengan tersangka Surya Hardiyanto, pemilik akun Akhuna Surya terus bergulir. Dari
pemeriksaan yang dilakukan, Subdit II/Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus
(Ditreskrimsus) Poldasu mendapati kalau Surya merupakan mantan simpatisan Hisbut Tahrir
Indonesia (HTI).
Dalam kasus ini, Surya Hardiyanto menjadi tersangka dengan dugaan tindak pidana dengan
sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong, menyesatkan, dan menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu, kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). Kasubdit
II/Cyber Crime Ditreskrimsus Poldasu, AKBP Herzoni Saragih mengatakan, dari hasil
pemeriksaan pihaknya, tersangka Surya melakukan aksinya tanpa adanya suruhan orang lain.
“Dia membuat status itu semata-mata atas kehendak sendiri. Katanya dia mendapatkan informasi
dari orangtuanya. Diketahui juga, dia merupakan aktivis HTI sejak 2015,” kata Herzoni kepada
Sumut Pos, Selasa (4/7).
Ditanya, apakah pihaknya akan mengejar pelaku penyebaran status Surya, Herzoni mengatakan,
masih ditangani. Namun, dia menyebut, hasil penyisikan kasus ini juga disampaikan kepada
Densus 88 Antiteror Mabes. “Tambahan data yang kami peroleh sudah kami teruskan ke rekan-
rekan Densus 88 Mabes Polri untuk dipastikan kembali keterlibatan dalam jaringan teroris,”
sebutnya.
Menyikapi hal ini, Direktur Polri Watch, Abdul Salam Karim alias Salum menyebut, kasus ini
pertama kali terjadi di Sumut. Dia berharap, dengan contoh kasus ini masyarakat dapat
menyaring informasi-informasi yang belum diketahui kebenarannya dan berpotensi
menimbulkan konflik SARA.
“Jadi saya harap juga ketegasan polisi, jangan cuma karena hoax kasus penyerangan Polda saja
yang ditangkap. Mudah-mudahan kasus-kasus hoax lainnya yang serupa juga harus diusut bila
sudah menimbulkan keresahan,” ujar Salum.
Menurut Salum, fenomena saat ini di dunia digital, para pengguna media sosial (medsos) jarang
sekali menyaring informasi-informasi yang belum tentu benar untuk kemudian disebarkan di
dunia maya. “Dan ini sangat berbahaya, medsos sudah menjelma menjadi media provokasi yang
cukup efektif. Sehingga perlu ada penegakan hukum yang tegas untuk mengawasinya,” sebut
Salum.
Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) pusat mendatangi Markas
Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Mapoldasu). Kunjungan tim audiensi ini ke Sumut guna
menjalankan rangkaian kegiatan identifikasi dan operasional pemulihan korban akibat terorisme
tahun 2017.
Ketua tim rombongan, Direktur Perlindungan BNPT Brigjen Pol Drs H Herwan Chaidir yang
bertemu langsung dengan Waka Polda Sumut, Brigjen Pol Agus Andrianto, mengatakan kegiatan
mereka merupakan langkah utama semenjak disahkannya Subbid baru di BNPT, yaitu Subbid
Pemulihan Korban.
“Kami dari BNPT mengucapkan duka cita sedalam-dalamnya karena ini merupakan takdir dan
kita harus menerimanya.Tujuan tim BNPT di Mapolda Sumut ini untuk menjalankan tupoksi
kami bahwa BNPT diberikan kewenangan untuk memberikan pemulihan kepada korban akibat
terorisme,” kata Herwan Chaidir, Selasa (4/7).
Banyak kasus yang terjadi di Indonesia, mulai dari yang bersifat sepele sampai dengan yang
bertaraf tinggi dan perlu diproses secara ketat. Khususnya untuk yang bersifat sepele, tidak
sedikit para pelakunya adalah ‘wong cilik’ yang buta akan hukum dan akhirnya menjadi bulan-
bulanan di pengadilan karena ketidaktahuannya dan juga faktor lain, walaupun aksi kejahatannya
dapat dikatakan sangat ringan.
Namun tidak sedikit pula para penjahat kelas kakap dapat melenggang tanpa beban atau juga
sudah dipenjara namun masih dapat bebas melakukan aktivitasnya. Berikut ini adalah beberapa
kasus di Indonesia dengan terdakwa masyarakat kaum bawah yang menurut banyak orang sangat
menggelikan.
Dikarenakan hal ini, Aspuri harus mendekam di sel Rumah Tahanan Kota Serang, Banten selama
3 bulan sambil menunggu keputusan pihak pengadilan. Dia terancam hukuman penjara selama 5
tahun maksimal.
Selain kasus-kasus di atas, masih banyak sekali kasus-kasus serupa di Indonesia yang dapat
dikatakan tajam ke bawah dan tumpul ke atas alias dapat dengan mudah menangkap, menjerat
sampai menjatuhkan hukuman kepada rakyat kecil yang notabene buta akan masalah hukum,
sedangkan seakan loyo untuk menghadapi penjahat kelas paus.
Bahkan tidak sedikit yang menyindir bahwa hukum di Indonesia tidak menggunakan azas,
“Siapa yang benar dan siapa yang salah” melainkan “Siapa yang bayar maka mudah keluar.”