Anda di halaman 1dari 4

Nama : Arifin Yusuf P.

(07)
Kelas : XII MIPA 6
Prolog & Epilog Peristiwa 1 Maret 1949
Latar Belakang Serangan Umum 1 Maret 1949, Indonesia memang telah
memproklamirkan kemerdekaannya pada tanggal 17 agustus 1945, namun
Proklamasi kemerdekaan Indonesia itu hanya membawa Indonesia kedalam
ststus merdeka secara De Facto bukan secara De Jure.

Apa itu De Fakto? De facto berasal dari bahasa latin yg berarti “faktanya”,
“kenyataannya”, atau “dalam praktiknya” sementara de jure itu artinya
menurut atau berdasarkan hukum. Jadi, pada awal kemerdekaan Indonesia,
Republik Indonesia belum diakui secara hokum sebagai Negara yang
merdeka.

Pengakuan secara De Jure terhadap kemerdekaan Indonesia baru ada setalah


2 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pengakuan secara De Jure ini
sebagai hasil dari usaha pada masa Kabinet Sjahrir yang mengutus
rombongan yang dipimpin Haji Agus Salim ke Negara Negara Islam.

Pengakuan pertama di berikan oleh Mesir pada tanggal 1 Juni 1947 disusul
kemudian oleh Libanon (29 Juni 1947), Syiria (2 Juli 1947), Irak (16 Juli
1947), Afganistan (23 September 1947), Saudi Arabia (24 November 1947).

Negara Negara diluar yang disebutkan diatas belum mengakui kedaulatan


Republik Indonesia pada masa itu, itulah sebabnya di awal awal
kemerdekaan Indonesia masih banyak terjadi revolusi revolusi sosial di
beberapa daerah dan terjadi banyak pertempuran pertempuran sebagai bentuk
dari perlawanan dari invasi Negara Negara lain yg masih ingin menjajah dan
memiliki Indonesia, diantaranya Belanda dan Inggris.

Keinginan Belanda untuk menguasai Indonesia kembali sungguh luar biasa,


pemerintah pelarian Hindia Belanda yang berpangkal di Brisbane (Australia)
setelah Perang Dunia II berakhir, segera menyusun strategi untuk kembali ke
Indonesia dengan membonceng tentara sekutu (Inggris dan Australia) yang
diberi tugas untuk mengurus tawanan perang Jepang di Indonesia.

Setelah Perang Dunia II berakhir, menurut ketentuan sekutu wilayah


Indonesia jatuh kepada tanggung jawab Inggris (south west pacific area)
dibawah pimpinan Marsekal Mountbatten. Tugas pokok dari tentara sekutu
ini adalah melucuti Jepang dan melepaskan serta menampung tawanan
tawanan.

Atas dasar pertimbangan itulah kemudian tentara sekutu mendarat di Jakarta


pada 29 september 1945. Pada pendaratan tersebut ikut pula Van Der Plas
serta beberapa orang dari Markas Tentara Belanda dan Kompi Serdadu
Ambon.

Di wilayah Indonesia yang lain seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa


Tenggara, Sekutu mendaratkan tentara Australia dengan tugas yang sama,
kemudian baru pada bulan Juli 1946 tentara sekutu mulai meninggalkan
wilayah-wilayah tersebut.

Sayangnya, pasukan Australia tersebut meninggalkan wilayah Indonesia


dengan terlebih dahulu menyerahkan tanggung jawab terhadap pemerintahan
Hindia Belanda. Bahkan di Makassar, diadakan upacara penyerahan
tanggung jawab dari pimpinan Angkatan Perang Sekutu kepada pemerintah
Hindia Belanda dibawah pimpinan Gubernur Jenderal Dr. HJ, Van Mook.

Sementara Inggris sendiri baru meninggalkan Jawa dan Sumatera pada bulan
Desember 1946. Hal tersebut membuat Belanda merasa mampu menduduki
Indonesia kembali, sehingga kemudian mereka melakukan banyak terror dan
perebutan kekuasaan di banyak wilayah Indonesia termasuk Jakarta,
Surabaya dan Jogjakarta. Pemerintah Belanda yg datang kemudian ini
menamai dirinya Netherlands Indies Civil Administration (NICA).

Di Surabaya pendudukan tentara sekutu yg diboncengi tentara NICA


menimbulkan pertempuran hebat yang dikenal dengan pertempuran Surabaya
(10 November 1945) yang kemudian tanggal kejadiannya ditetapkan sebagai
hari pahlawan. Di Medan terjadi pertempuran yang terkenal dengan nama
Medan Area yang terjadi cukup lama dari tanggal 9 oktober 1945 hingga 15
Februari 1947.

Pertempuran di bandung terkenal dengan Bandung Lautan Api yg mana pada


waktu itu pemerintah ddan TKR yang terdesak harus meninggalkan dan
mengosongkan Bandung selatan kemudian membakar semua fasilitas yg ada
disana agar tidak dikuasai oleh tentara sekutu dan mengatur strategi nuntuk
menggempur inggris dari luar pada tanggal 24 Maret 1946.

Pergolakan yang terjadi di Indonesia antara Inggris dan pihak Indonesia


tersebut menarik perhatian wakil dari Ukraina di PBB yang bernama
Manuilsky.
beliau kemudian mengirimkan surat kepada Dewan Keamanan PBB, yang
isinya antara lain meminta perhatian Dewan Keamanan PBB terhadap
keadaan di Indonesia. Wakil dari Belanda, van Kleffens membantah hal
tersebut, mereka beralibi bahwa tindakan tentara sekutu terhadap Indonesia
adalah sebagai bentuk perlawanan terhadap tindakan ekstrimis-ekstrimis yg
ada di Indonesia.

Gugatan Ukraina ini kemudian ditolak oleh PBB. Pergolakan pergolakan


yang terjadi pada kurun waktu tersebut pada akhirnya menghasilkan beberapa
perundingan dan perjanjian, diantaranya Konfrensi Malino (juli 1946) yang
membahas mengenai persoalan Kalimantan dan Timur Besar.

Perjanjian Linggarjati yang di tandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada


15 Nopember 1946 dan ditandatangani secara sah oleh kedua belah pihak
pada 25 Maret 1947. Salah satu “product’ dari perjanjian ini adalah
dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) dimana wilayah yg diakui
adalah RI (Jawa, Madura, dan Sumatera), Kalimantan dan Timur Besar.
Perjanjian Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948 diatas geladak
kapal perang Amerika Serikat USS Renville. Perjanjian ini dimulai tanggal 8
Desember 1947 sebagai akibat dari Agresi Militer Belanda 1 (12 Juli 1947).

Perundingan ini di tengahi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee og


Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia dan
Belgia.

Persetujuan Renville ini membawa banyak kesulitan terhadap Pemerintah RI,


TNI sebenarnya keberatan dengan keputusan dalam perjanjian ini, karena
dalam salah satu pasalnya, TNI diwajibkan untuk meninggalkan daerah
daerah strategis yang dikuasainya di daerah Jawa (Jawa Barat dan Jawa
Timur) karena termasuk dalam kekuasaan Belanda.

Daerah-daerah yang di duduki TNI yang letaknya di tengah tengah “daerah


Belanda” disebut “daerah kantong”. Daerah kantong inilah yang harus
dikosongkan.

TNI terpaksa harus meninggalkan daerah kantong menuju Yogyakarta yang


pada masa itu menjadi Ibukota Negara RI. Perjanjian Renville ini membawa
banyak kekacauan di dalam tubuh RI, munculnya pemberontakan PKI di
Madiun pada 18 September 1948 yg dipimpin oleh Muso semakin
memperlemah kedaulatan RI, keadaan ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk
melakukan Agresi Militer II untuk melenyapkan RI.
Agresi yang dipimpin oleh Jenderal Spoor dan Wakil Tinggi Mahkota Dr.
Beel menyerbu Yogyakarta pada 18 Desember 1948. Agresi ini dilakukan
belanda setelah malam sebelumnya Dr. beel berpidato bahwa Belanda sudah
tidak lagi terikat dengan perjanjian renville. Yogyakarta tidak lagi bisa
dipertahankan, Yogyakarta berhasil di duduki Belanda, pimpinan-pimpinan
RI ditangkap, dibawa ke Prapat, kemudian ke Bangka. Kemudian pimpinan-
pimpinan RI tersebut dibebaskan oleh Belanda kecuali Soekarno dan Hatta.

Taktik cerdas dan tepat saat terjadinya peristiwa ini adalah TNI tidak pernah
menyerah terhadap Belanda. Pemerintah RI dilanjutkan eksistensinya oleh
PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) dibawah pimpinan
Sjafroeddin Prawiranegara yang berpusan di Sumatrera Barat. Sedangkan
Soekarno Hatta masih menjadi tawanan Belanda.

Sedangkan TNI yang pada saat itu dibawah kepemimpinan Jendral


Soedirman sama sekali tidak menyerah dan tetap melakukan perlawanan yg
kemudian terkenal dengan taktik perang gerilya.

Kendati kondisi Jendral Soedirman lemah karena penyakit paru paru yg di


deritanya, beliau tetap memimpin perang gerilya melawan Belanda dengan
target utama merebut kembali ibukota Negara RI Jogjakarta. Puncak perang
gerilya ini adalah serangan terhadap Jogjakarta pada 1 Maret 1949 yang
kemudian dikenal dengan Serangan umum 1 Maret 1949

Anda mungkin juga menyukai