Oleh : Aisyah Putri Utami Azzuri (202110110311259)
Carilah kasus kejahatan Agresi uraikan unsur kejahatannya sehingga jelas bahwa kejahatan yang terjadi merupakan Kejahatan Agresi Uraikan dan jelaskan landasan hukum model penyelesain sengketa yang tepat untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Kasus Agresi Belanda - Indonesia
Kekalahan Jepang dalam perang Asia Timur Raya menyebabkan Belanda harus meninggalkan Indonesia tahun 1942. Selanjutnya setelah dijajah Jepang selama 3,5 abad lamanya, hingga akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Pada tanggal 23 Agustus 1945, pasukan Sekutu dan NICA mendarat di Aceh dan tiba di Jakarta 15 September 1945. Selain membantu Sekutu melucuti tentara Jepang, NICA dibawah pimpinan Van Mook atas perintah kerajaan Belanda membawa kepentingan lain, menjalankan pidato Ratu Wilhelmina 6 Desember 1942 mengenai pembentukan sebuah persemakmuran antara Kerajaan Belanda dan Hindia (Indonesia) dibawah naungan kerajaan Belanda. Perjanjian yang dilakukan Belanda dan Indonesia setelah kemerdekaan adalah perundingan Linggarjati, dimana Van Mook bertindak sebagai wakil Belanda, sedangkan wakil Indonesia Soetan Sjahrir, Mohammad Roem, Susanto Tirtoprojo dan A.K Gani, dan Inggris sebagai pihak penengah diwakili Lord Killearn. Dalam realitasnya, tidak sepenuhnya berjalan mulus hingga pada tanggal 15 Juli 1947, Van Mook mengeluarkan ultimatum supaya Indonesia menarik mundur pasukannya dari garis demarkasi. Indonesia menolak permintaan Belanda tersebut, yang selanjutnya pada tanggal 20 Juli 1947, Van Mook menyatakan melalui siaran radio bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil perundingan Linggarjati, yang diikuti dengan agresi militer Belanda I. Agresi militer Belanda I merupakan operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatra terhadap Indonesia yang dilaksanakan dari tanggal 21 Juli 1947 sampai dengan tanggal 5 Agustus 1947, sebagai bentuk pelanggaran Belanda terhadap perundingan Linggarjati 25 Maret 1947. Tujuan utama agresi militer Belanda adalah merebut daerahdaerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan tentara Inggris dan Australia. Pada agresi militer I ini, Belanda mengerahkan kedua pasukan khususnya, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) dibawah Westerling dan Le Para Compagnie (LPC) dibawah C. Sisselaar. Agresi Militer Belanda I berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan. Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah yang membawa obat-obatan dari Singapura, ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarno Wiryokusumo. Pemerintah Indonesia secara resmi melaporkan agresi militer Belanda ke PBB, yang dinilai telah melanggar perjanjian Linggarjati. Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, tanggal 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan dalam agenda DK-PBB. PBB langsung merespons dengan mengeluarkan Resolusi tertanggal 1 Agustus 1947 yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan. PBB mengakui eksistensi RI dengan menyebut nama Indonesia, bukan Netherlands Indies atau Hindia Belanda. Sejak Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, kemudian Resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 Agustus 1947, Resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta Resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, DK-PBB selalu menyebutkan konflik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question. Atas tekanan DK-PBB, tanggal 15 Agustus 1947 pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima Resolusi DK untuk menghentikan pertempuran. Pada tanggal 17 Agustus 1947 pemerintah Indonesia dan Belanda menerima Resolusi DK untuk melakukan gencatan senjata dan tanggal 25 Agustus 1947, DK membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN) yaitu: Australia dipilih Indonesia, Belgia dipilih Belanda dan AS sebagai pihak yang netral. Australia diwakili Richard C. Kirby, Belgia diwakili Paul Van Zeeland dan AS menunjuk Frank Graham. Gencatan senjata akhirnya tercipta, akan tapi hanya untuk sementara, dimana Belanda kembali mengingkari perjanjian yang telah disepakati dengan melakukan operasi militer yang lebih besar tanggal 19 Desember 1948, yang dikenal dengan sebutan agresi militer Belanda II. Agresi militer Belanda II berawal dari adanya serangan terhadap Yogyakarta, ibukota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibukota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat RI di Sumatra pimpinan Sjafruddin Prawiranegara. Seiring dengan penyerangan bandar udara Maguwo, tanggal 19 Desember 1948, dinyatakan bahwa Belanda tidak lagi terikat persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Indonesia di Jawa dan Sumatra, termasuk serangan terhadap ibukota RI di Yogyakarta, adalah merupakan bentuk agresi militer Belanda II. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung 25 menit, telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pengeboman serta menerjunkan pasukan payung. Segera setelah mendengar berita penangkapan dan pengasingan para pemimpin Indonesia ke Bangka dan Sumatera Utara oleh pemerintah Belanda, mengharuskan Panglima Besar Soedirman meninggalkan Yogyakarta memimpin perang gerilya selama beberapa bulan. Sekembalinya Soedirman ke Yogyakarta tanggal 10 Juli 1949 dan bersama A.H Nasution selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat totaliter membentuk kantong- kantong gerilyawan, guna melawan agresi militer Belanda II tersebut.
Landasan Hukum Model Penyelesain Sengketa
Penyelesaian sengketa internasional antara Belanda dan Indonesia dapat didasarkan pada beberapa landasan hukum internasional, antara lain Hukum internasional umum, yang mencakup prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara umum oleh negara-negara di dunia. UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), yang merupakan landasan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa wilayah. Hukum perdata internasional, yang dapat digunakan dalam penyelesaian sengketa kontrak internasional. Keputusan Mahkamah Internasional, yang dapat dijadikan acuan dalam penyelesaian sengketa internasional. Mediasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan antara pihak-pihak yang bersengketa dengan bantuan mediator. Namun, landasan hukum yang tepat untuk penyelesaian sengketa antara Belanda dan Indonesia tergantung pada jenis sengketa yang terjadi dan faktor-faktor lain yang terkait dengan kasus tersebut.