Anda di halaman 1dari 15

Agresi Militer Belanda I

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa

Agresi Militer Belanda I


Operatie Product
Bagian dari Perang Kemerdekaan Indonesia

Iring-iringan truk infanteri Belanda saat Operasi Produk, Aksi


Polisionil Belanda yang pertama.

Tanggal
Lokasi
Hasil
Casus belli

21 Juli - 5 Agustus, 1947


Jawa, Sumatera
Pengambilalihan pusat ekonomiSumatera dan
pelabuhan Jawa olehBelanda
Perbedaan penafsiran Belanda dan Republik
Indonesia terhadap isiPerundingan Linggarjati

Pihak yang terlibat


Republik Indonesia

Kerajaan Belanda

Komandan
Soedirman

Simon Hendrik Spoor &


Alvin Spoor
Hubertus van Mook

Kekuatan
?500.000

200,000

Korban

150.000

6.200

"Operatie Product" (bahasa Indonesia: Operasi Produk) atau yang dikenal di Indonesia dengan
nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik
Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer ini merupakan
bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda
atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan
pelanggaran dari hasil Perundingan Linggajati.

[sunting]Latar

belakang

Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum supaya RI menarik mundur pasukan sejauh
10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.
Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang
memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda
menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam
negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia
menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggajati. Pada saat itu jumlah tentara
Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk
persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.

[sunting]Dimulainya

operasi militer

Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van Mook mengumumkan
pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama. Serangan di beberapa daerah, seperti
di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam
bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil
menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di
Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka
menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat
perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale
Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para
compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali

dari Pembantaian Westerling|pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan
tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera Barat.
Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting
dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang
membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda
dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto|Agustinus Adisutjipto,
Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo.

[sunting]Campur

tangan PBB

Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer
tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.
Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang
tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947
masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB,
yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar
konflik bersenjata dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua
resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan namaINDONESIA,
dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947,
kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta
resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara
Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya
menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi
Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan
membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini
awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia),
dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia
yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang
netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat
menunjuk Dr. Frank Graham.

Agresi Militer Belanda II

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Belum Diperiksa

Agresi Militer Belanda II


Operatie Kraai
Bagian dari Perang Kemerdekaan Indonesia

Tanggal
Lokasi
Hasil
Casus belli

19 Desember 1948 - 10 Juli 1949


Jawa, Sumatera
Penyerangan
ibukota Indonesia, Yogyakartaoleh Belanda dan
berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
Perbedaan penafsiran Belanda dan Republik
Indonesia terhadap isiPerundingan Renville

Pihak yang terlibat


Republik Indonesia

Kerajaan Belanda

Komandan
Militer : Soedirman
Politik : Syafrudin
Prawiranegara (Ketua PDRI)
Soekarno (Presiden di
Pengasingan)

Militer : Simon
Hendrik Spoor
Politik : Ratu
Juliana(Ratu Belanda) Dr.
Beel(Wakil Tinggi Mahkota
Belanda)

Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan
serangan terhadap Yogyakarta,ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad

Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan
dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin
Prawiranegara.
Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan
Udara Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat.
Dalam sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat
dengan Komisi Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.

[sunting]Serangan

ke Maguwo

Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio antara dari Jakarta menyebutkan, bahwa besok
paginya Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang penting.
Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI
memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan
terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan "Operasi Kraai" .
Pukul 2.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir memperoleh parasut mereka dan
memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul 3.45
Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian. Dia
melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah pimpinan
Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute
penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka menerima
berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan. Pukul 6.45
pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.
Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM
Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville.
Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap
Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai. Belanda
konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional".
Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di
pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5
pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang
pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan
dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan
hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan
pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25

menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik
tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.
Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh
kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade Tbeserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo
dan mulai bergerak ke Yogyakarta.
Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung
di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan
telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari.
Segera setelah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima
Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul
08.00.

[sunting]Pemerintahan

Darurat

Soedirman dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden. Soedirman didampingi oleh Kolonel
Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan sidang dari
pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira TNI lainnya
menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi,
akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal yang
dibahas serta keputusan yang diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung
Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman
menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya.
Menteri Laoh mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi
Presiden dan Wakil Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN
sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan
Wakil Presiden tetap dalam kota.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan
dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr.
Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil
Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara
membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian
dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa
Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI
untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A.
Maramis yang sedang berada di New Delhi.
Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut tertangkap
adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo, Menteri
Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum mengetahui
mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat kepada Mr.
Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila ini tidak dapat
dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile Government of Republic
Indonesia di New Delhi, India.
Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan kepada
seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat
diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri
Perhubungan.

[sunting]Pengasingan

Pimpinan Republik

Pada pukul 07.00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para
pemimpin republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang
jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda,
tidak satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di
dalam pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin republik. Setelah mendarat di
Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir) para pemimpin republik
baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, akan tetapi rombongan
Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi
menuju Medan, Sumatera Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat, sementara
Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua
KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul
Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara
Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.

[sunting]Gerilya

[1]

Setelah itu Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan
bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah danJawa Timur.
Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah
berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10
Juli 1949.
Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan
rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah : Tugas
pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang
garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan
gerilya yang luas.
Salah satu pasukan yang harus melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi. Pada tanggal 19 Desember
1948 bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong yang telah
ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi. Perjalanan yang jauh,
menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih dibayangi bahaya
serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat mereka bergabung dengan DI/TII karena NII telah
memproklamirkan kemerdekaannya pada wilayah-wilayah yang diduduki Belanda saat itu, dan pada
akhirnya sejarah mencatat dengan ketidakjelasan mengenai hal ini.

Perundingan Linggarjati
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa

Perundingan Linggarjati
(sumber: foto-foto.com)

Perundingan Linggarjati atau kadang juga disebut Perundingan Linggajati adalah suatu perundingan
antara Indonesia dan Belanda diLinggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status
kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15
November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947.

[sunting]Latar

Belakang

Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia
menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10
November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik
dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan
Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta
Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa,Sumatera dan Pulau Madura, namun Belanda hanya mau
mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

[sunting]Misi

pendahuluan

Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan
perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat

Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn.
Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah
perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.

[sunting]Jalannya

perundingan

Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi
Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook,dan Lord Killearn dari
Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

[sunting]Hasil

perundingan

Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi:


1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan
Madura.
2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth /Persemakmuran IndonesiaBelanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.

[sunting]Pro

dan Kontra di kalangan masyarakat Indonesia

Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya
beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partaipartai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk
mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati.

[sunting]Pelanggaran

Perjanjian

Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J.
van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada
tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan
penafsiran antara Indonesia dan Belanda.

Bandung Lautan Api


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa

Bandung Lautan Api


Bagian dari Perang Kemerdekaan Indonesia

Tanggal
Lokasi
Hasil

23 Maret 1946
Bandung
Tentara Rakyat Indonesia mundur dari Bandung

Pihak yang terlibat


Indonesia

Inggris

Komandan
Muhammad Toha

Brigadir MacDonald

Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung,
provinsi Jawa Barat,Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk
Bandung[1] membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung.
Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutudan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan
kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.

[sunting]Latar

belakang

Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945. Sejak
semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar semua senjata api
yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda
yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu
keamanan. Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam
tanggal 24 November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap
kedudukan-kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka
gunakan sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur
Jawa Barat agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.

Monumen Bandung lautan api

Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, TNI kala itu) meninggalkan kota Bandung
mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela
bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA. Keputusan untuk
membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan
Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 24
Maret 1946[2]. Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil
musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung. [rujukan?] Hari itu juga, rombongan besar
penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota
berlangsung.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat
menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul
membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran
sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di
mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam pertempuran ini Muhammad
Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk
menghancurkan gudang amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut
dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya. Staf
pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan
mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak
saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih
membubung membakar kota, sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan kekuatan pihak
Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan
perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang
nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi
yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke kota
tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.

[sunting]Asal

istilah

Istilah Bandung Lautan Api menjadi istilah yang terkenal setelah peristiwa pembumihangusan tersebut.
Jenderal A.H Nasution adalah Jenderal TRI yang dalam pertemuan di Regentsweg(sekarang Jalan Dewi
Sartika), setelah kembali dari pertemuannya dengan Sutan Sjahrir di Jakarta, memutuskan strategi yang
akan dilakukan terhadap Kota Bandung setelah menerima ultimatum Inggris tersebut.

"Jadi saya kembali dari Jakarta, setelah bicara dengan Sjahrir itu. Memang dalam pembicaraan itu
di Regentsweg, di pertemuan itu, berbicaralah semua orang. Nah, disitu timbul pendapat dari
Rukana, Komandan Polisi Militer di Bandung. Dia berpendapat, Mari kita bikin Bandung Selatan
menjadi lautan api. Yang dia sebut lautan api, tetapi sebenarnya lautan air." - A.H Nasution, 1
Mei 1997
Istilah Bandung Lautan Api muncul pula di harian Suara Merdeka tanggal 26 Maret 1946.
Seorang wartawan muda saat itu, yaitu Atje Bastaman, menyaksikan pemandangan pembakaran Bandung
dari bukit Gunung Leutik di sekitar Pameungpeuk, Garut. Dari puncak itu Atje Bastaman melihat Bandung
yang memerah dari Cicadas sampai dengan Cimindi.
Setelah tiba di Tasikmalaya, Atje Bastaman dengan bersemangat segera menulis berita dan memberi judul
"Bandoeng Djadi Laoetan Api". Namun karena kurangnya ruang untuk tulisan judulnya, maka judul berita
diperpendek menjadi "Bandoeng Laoetan Api".

Puputan margarana
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa

Pertempuran Puputan Margarana


Bagian dari Perang Kemerdekaan Indonesia

Tanggal
Lokasi
Hasil

20 November 1946
Desa Adeng,Kec.Marga,Tabanan,Bali,Indonesia
Kekalahan Indonesia,Dikuasainya Bali oleh Belanda
Pendirian Negara Indonesia Timur

Pihak yang terlibat

Indonesia

Belanda

Komandan
I Gusti Ngurah Rai

Kekuatan
96 Orang

Perang Puputan Margarana Merupakan salah satu Pertempuran Rakyat Indonesia melawan kolonialisme
belanda untuk Mempertahankan Kemerdekaan.Pertempuran ini dipimpin oleh Kepala Divisi Sunda
Kecil Kolonel I Gusti Ngurah Rai.Dimana PasukanTKR di wilayah ini bertempur dengan habis habisan
untuk mengusir Pasukan Belanda yang kembali datang setelah kekalahan Jepang, untuk menguasai
kembali wilahyahnya yang direbut Jepang pada Perang Dunia ke 2, mengakibatkan kematian seluruh
Pasukan I Gusti Ngurah Rai yang kemudian dikengang sebagai Perang Puputan serta
mengakibatkan Belanda sukses mendirikanNegara Indonesia Timur.

[sunting]Peristiwa
Pada waktu staf MBO berada di desa Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk
merebut senjata polisi NICA yang ada di Kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 20
November 1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa pucuk senjata beserta pelurunya dapat direbut
dan seorang komandan polisi NICA ikut menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai. Setelah itu
pasukan segera kembali ke Desa Marga. Pada 20 November 1946 sejak pagi-pagi buta tentara Belanda
mulai nengadakan pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi
tembak-menembak antara pasukan Nica dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu
pasukan bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu, Belanda segera
mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di Bali ditambah pesawat pengebom yang
didatangkan dari Makassar. Di dalam pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai
bertekad tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan Ngurah Rai mengadakan
"Puputan" atau perang habis-habisan di desa margarana sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu
semuanya gugur, termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih kurang 400 orang
yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut pada tanggal 20 november 1946 di kenal dengan perang
puputan margarana, dan kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan
Bangsa.

Anda mungkin juga menyukai