Keadaan Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dapat dikatakan belum stabil.
Kondisi politik di Indonesia masih dalam keadaan gonjang-ganjing dikarenakan masih banyaknya
ketegangan, kekacauan, dan berbagai insiden masih terus terjadi. Hal ini disebabkan karena masih
adanya sisa-sisa kekuatan Jepang yang setelah menyerah kepada Sekutu diwajibkan
mempertahankan status quo.
Selain menghadapi sisa kekuatan Jepang, bangsa Indonesia harus berhadapan dengan tentara Inggris
atas nama Sekutu, dan juga Nederlandsch Indië Civil Administratie (NICA) yang berhasil datang
kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu. NICA bertugas mengembalikan pemerintahan
sipil dan hukum pemerintah kolonial Hindia Belanda
Meskipun struktur pemerintahan telah terbentuk dan alat kelengkapan negara juga sudah tersedia.
seperti 12 Kementerian yang telah terbentuk, tetapi karena baru awal kemerdekaan tentu masih
banyak kekurangan. PPKI yang keanggotaannya sudah disempurnakan berhasil mengadakan sidang
untuk mengesahkan UUD dan memilih Presiden-Wakil Presiden. Bahkan untuk menjaga keamanan
negara juga telah dibentuk TNI pada 18 Agustus 1945. Wilayah Indonesia juga kemudian dibagi atas
8 Provinsi.
Pasukan TNI yang tidak pernah menyangka akan terjadinya agresi militer Belanda itu, tidak siap
untuk menghadang serangan yang datangnya secara tiba-tiba. Serangan tersebut mengakibatkan
pasukan TNI tercerai-berai. Dalam keadaan seperti itu, pasukan TNI berusaha untuk menjalin
koordinasi antar satuan dan membangun daerah pertahanan baru. Pasukan TNI melancarkan taktik
gerilya untuk menghadapi pasukan Belanda. Dengan taktik gerilya, ruang gerak pasukan Belanda
berhasil dibatasi. Gerakan pasukan Belanda hanya berada pada kota-kota besar dan jalan-jalan
raya, sedangkan di luar kota, kekuasaan berada di tangan pasukan TNI.
Agresi Militer Belanda 1 ternyata menimbulkan reaksi yang hebat dari dunia internasional. Pada
tanggal 30 Juli 1947, pemerintah India dan Australia mengajukan permintaan resmi agar masalah
Indonesia segera dimasukkan dalam daftar acara Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 1 Agustus
1947, Dewan Keamanan PBB memerintahkan penghentian dari kedua belah pihak yang mulai
berlaku tanggal 4 Agustus 1947. Untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian gencatan senjata
tersebut, maka dibentuk suatu Komisi Konsuler yang anggotanya adalah konsul jenderal yang
berada di Indonesia.
Komisi Konsuler diketuai oleh Konsul Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote dengan
anggotanya Konsul Jenderal Cina, Belgia, Prancis, Inggris, dan Australia. Komisi Konsuler itu
diperkuat dengan perwira militer Amerika Serikat dan Prancis, yaitu sebagai peninjau militer.
Dalam laporannya kepada Dewan Keamanan, Komisi Konsuler menyatakan bahwa tanggal 30
Juli 1947 sampai dengan tanggal 4 Agustus 1947 pasukan Belanda masih mengadakan gerakan
militer. Namun demikian, pemerintah dari pihak Belanda menolak dengan keras garis demarkasi
yang dituntut oleh pemerintah Indonesia.
Agresi Militer 2
Agresi Militer Belanda 2 dimulai ketika pihak Belanda yang tetap bersikukuh menguasai
Indonesia mencari dalih untuk dapat melanggar perjanjian yang telah disepakati. Bahkan pihak
Belanda menuduh jika pihak Indonesia tidak menjalankan isi perundinganRenville. Oleh karena
itu pihak TNI dan pemerintah Indonesia sudah memperhitungkan bahwa sewaktu-waktu Belanda
akan melakukan aksi militernva untuk menghancurkan republik dengan kekuatan senjata. Untuk
menghadapi kekuatan Belanda itu, didirikan Markas Besar Komando Djawa (NIBKD) vang
dipimpin oleh Kolonel Abdul Haris Nasution dan Markas Resar Ko.mando Sumatra (MBKS) yang
dipimpin oleh Kolonel Hidayat.
Persiapan untuk menyelenggarakan pemerintahan rniliter juga dilakukan. Dalam
pemerintahan militer, kecamatan merupakan basis utama pertahanan dengan kekuatan utama
tenaga rakyat yang ada di desa-desa. Pasukan TNI dan pejabat-pejabat pemerintah mempunyai
tugas-tugas sebagai koordinator perlawanan di desa-desa. Tempat untuk mengungsikan kepala
negara dan tokoh-tokoh pemerintah telah disiapkan. Pada hakikatnya Republik Indonesia telah
siap menghadapi Agresi Militer Belanda 2. Seperti yang telah diduga Belanda benar-benar
melakukan serangannya.
Serangan dibuka tanggal 19 Desember 1948. Dengan taktik perang kilat (blitkrieg),
Belanda melancarkan serangan di semua front di daerah Republik Indonesia. Serangan diawali
dengan penerjunan pasukan payung di Pangkalan Udara Maguwo (sekarang Adi Sucipto) dan
dengan gerak cepat berhasil menduduki kota Yogyakarta. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Moh. Hatta memutuskan untuk tetap tinggal di ibukota, walaupun mereka tahu bahwa dengan
demikian mereka akan ditawan oleh musuh. Alasannya, agar mereka dapat melakukan kegiatan
diplomasi dengan pihak Belanda.
Di samping itu, Belanda tidak mungkin menjalankan serangan secara terus-menerus
karena presiden Panglima Tertinggi Angkatan Perang Indonesia dan wakil presiden menteri
pertahanan sudah berada di tangan mereka. Sementara itu, beberapa bulan sebelum Belanda
melakukan serangan terhadap kota Yogyakarta, Jenderal Sudirman (Panglima Besar Angkatan
Perang) menderita sakit paru-paru yang sangat parah sehingga harus dirawat di rumah sakit dan
kemudian dirawat di rumah. Ia berpesan jika Belanda menyerang kembali, maka ia akan
memegang kembali pimpinan Angkatan Perang dan memimpin prajurit-prajuritnya melakukan
perlawanan gerilya.
Pertempuran Ambarawa
Pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 20 November sampai 15 Desember 1945
antara pasukan TKR melawan pasukan Sekutu. Insiden bersenjata mulai timbul di Magelang dan
meluas menjadi pertempuran ketika tentara Sekutu dan NICA membebaskan secara sepihak para
interniran Belanda di Magelang dan Ambarawa. Insiden ini berakhir pada tanggal 2 November
1945 setelah dilakukan perundingan antara Presiden Soekarno dan Brigadir Jenderal Bethel di
Magelang.
Sementara itu, secara diam-diam pasukan Sekutu meninggalkan Magelang dan mundur ke
kota Ambarawa yaitu pada tanggal 21 November 1945. Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan
Letnan Kolonel M. Sarbini segera mengadakan pengejaran. Pada saat pengunduran itu, pasukan
Sekutu mencoba menunduki dua desa di sekitar Ambarawa. Dalam pertempuran untuk
membebaskan dua desa tersebut, pada tanggal 26 November 1945 gugurlah Letnan Kolonel
Isdiman, Komandan Resimen Banyumas. Dengan gugurnya Letnan Kolonel Isdiman maka
Kolonel Soedirman, Panglima Divisi Banyumas mengambil alih pimpinan pasukan.
Pada tanggal 12 Desember 1945 dalam waktu setengah jam pasukan TKR berhasil
mengepung kedudukan musuh dalam kota. Kota Ambarawa dikepung selama 4 hari 4 malam.
Pada tanggal 15 Desember 1945, pasukan Sekutu meninggalkan kota Ambarawa dan mundur
menuju ke Semarang.
1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan
Sumatra.
2. Akan dibentuk negara federal dengan nama Indonesia Serikat yang salah satu negara
bagiannya adalah Republik Indonesia
3. Dibentuk Uni Indonesia-Belanda dengan ratu Belanda sebagai kepala uni
4. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Uni Indonesia-Belanda sebelum
tanggal 1 Januari 1949
Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani tanggal 15 November 1946 mendapat tentangan dari
partai-partai politik yang ada di Indonesia. Sementara itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan
Presiden No. 6 tahun 1946 tentang penambahan anggota KNIP untuk partai besar dan wakil dari
daerah luar Jawa. Tujuannya adalah untuk menyempurnakan susunan KNIP. Ternyata tentangan
itu masih tetap ada, bahkan presiden dan wakil presiden mengancam akan mengundurkan diri
apabila usaha-usaha untuk memperoleh persetujuan itu ditolak.