A. Latar Belakang
Belanda yang bersikeras ingin melanggengkan kekuasaannya di
Indonesia berusaha mencari dalih dan celah agar dapat mengingkari
perjanjian yang telah disepakati. Saat diadakannya perjanjian Linggarjati,
Belanda mengingkarinya dengan melancarkan Agresi militer yang pertama
kepada bangsa Indonesia.
Kemudian datang Dewan Keamanan PBB melalui KTN (Komisi Tiga
Negara) kemudian tercetuslah sebuah perjanjian yang diadakan di
pelabuhan Jakarta di sebuah kapal Amerika USS Renville.
Dengan menyetujui adanya gencatan senjata di sepanjang garis
demarkasi atau yang dikenal dengan Garis Van Mook yaitu suatu garis buatan
yang menghubungkan titik-titik terdepan pihak Belanda walaupun dalam
kenyataannya masih tetap ada banyak daerah yang dikuasai pihak Republik
di dalamnya (M.C.Ricklefs,1998,340). Hal tersebut merupakan sejarah
Perjanjian Renville.
.
PERANG GERILYA
Pada tanggal 14 Desember 1948 pasukan Belanda yang berada di Indonesia, di terutama di
Pulau Jawa melancarkan agresi militer 2 dengan sandi Operation Kraai. Serangan militer
tersebut dirancang oleh Kepala Staf Angkatan Darat Belanda di Indonesia, yakni Jenderal
Simon Spoor. Serangan militer tersebut merupakan Aksi Polisional (Politionele Acties)
merupakan sebuah upaya melumpuhkan aksi-aksi perlawanan bangsa Indonesia yang terus
berlangsung dimulainya Perjanjian Linggarjati di Istana Merdeka Jakarta pada 15 Desember
1946.
Yogyakarta sebagai ibukota negara yang juga menjadi markas Tentara Kemanan Rakyat
(TKR) menjadi sasaran utama penyerbuan tersebut. Serbuan udara dimulai pagi hari pukul
05.45, serangan pertama Lapangan Udara Maguwo. Pada pukul 06: 45, Belanda mulai
menerjunkan pasukannya , untuk mengambil alih pangkalan udara Maguwo dan Yogyakarta
secara keseluruhan.
Setelah Letnan Kolonel Simon Spoor menduduki Yogyakarta, para pemimpin republik
ditawan olehnya. Sudirman pun memimpin tentara dari medan gerilya, ia harus terus-menerus
bergerak siang dan malam, menghindari kejaran musuh.
Sehingga pasukan Belanda selalu datang terlambat. Menghancurkan tempat yang justru telah
ditinggalkan Sudirman. Hal ini terjadi terus-menerus, sehingga pada akhirnya menyadarkan
Sudirman, ternyata ada mata-mata musuh yang ikut bergerilya. Beruntung, Ia beserta
rombongan selalu selamat dari sergapan musuh, sampai akhirnya menetap di Sobo yang
dijadikan markas besar gerilya. Dari tempat ini, Serangan Umum 1 Maret 1949 dirancang.
Dari tempat ini pula berbagai penyerangan berhasil dilakukan sehingga membuat pasukan
Belanda frustasi.
Gencatan senjata kemudian disepakati sebagai hasil dari Perundingan Roem-Royen. Bung
Karno dan pemimpin politik lainnya kembali ke Yogyakarta dari pengasingan
Tanggal 20 desember 1948 panglima Jenderal Sudirman bergerilya dari Bantul sampai
Pacitan, Trenggalek, Jawa Timur. Kembali lagi ke Yogya, pada tanggal 1 April 1949 karena
dipanggil Bung Karno.