INDONESIA DALAM
MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN
Nama Anggota :
Kelas : XI MIPA 2
Agresi Militer I (19 Juli 1947)
Latar Belakang
1. Perbedaan penafsiran mengenai isi perjanjian Linggarjati
2. Belanda secara terus menerus melanggar gencatan senjata
19 juli 1947 akhirnya Den Haag memutuskan untuk melakukan agresi, dan untuk menyerbu Indonesia
kepada Letnan Van Mook
Tanggal 18 september DK PBB membentuk KTN
Agresi Militer I ini berakhir setelah DK PBB mendesak RI dan belanda untuk menghentikan pertempuran
dan mengadakan perundingan.
Perundingan tersebut dikenal dengan nama Perundingan Renville yang diadakan di kapal USS Renville.
Renville milik Amerika Serikat yang mengeluarkan perintah untuk penghentian bahan baku tembak antara
RI dan Belanda.
Agresi militer I merupakan sebuah peristiwa operasi militer pertama Belanda yang dilakukan terhadap
Republik Indonesia. Nama lain dari serangan Agresi militer belanda 1 adalah "Operatie Product" yang
dalam bahasa Indonesia berarti Operasi Produk. Serangan yang dilakukan Belanda saat agresi pertama
terhadap Indonesia terjadi di Wilayah Jawa dan Sumatera. Agresi Militer Belanda 1 terjadi pada tanggal 21
Juli 1947 sampai pada tanggal 5 Agustus 1947.
Serangan Agresi Militer yang berlangsung merupakan "aksi Polisionil" yang dilakukan Belanda dalam
rangka mempertahankan penafsiran atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia,
aksi Agresi militer belanda 1 merupakan pelanggaran dari hasil Perjanjian Linggarjati. Dalam pembahasan
kali ini, Sumber Sejarah akan mengulas secara lengkap dan singkat mengenai Agresi Militer Belanda 1.
Sub tema yang akan dibahas meliputi : Latar Belakang, Kronologi, Tujuan dan Dampak dari Agresi Militer
Belanda 1. Silahkan disimak artikel berikut ini.
Dari tuntutan yang ada tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Belanda ingin membuat dan
merencanakan negara boneka dan ingin menguasai kembali Republik Indonesia. Kemudian belanda
melanggar Perjanjian Linggarjati yang sudah disepakati sebelumnya. Atas dasar tersebut, pada tanggal 21
Juli 1947 Belanda melakukan agresi militer pertamanya dengan menggempur Indonesia. Target utama
Belanda adalah kota besar yang ada di Pulau Sumatera dan Jawa.
Sejarah Agresi Militer Belanda 1
Apa yang dilakukan para Tentara Indonesia? Serangan agresi militer Belanda 1 ini
tentunya mengejutkan pasukan TNI, kemudian mereka terpencar-pencar dan
mundur ke daerah pinggiran untuk membangun daerah pertahanan baru.
Selanjutnya pasukan TNI membatasi pergerakan pasukan khusus Belanda dengan
taktik perang gerilya. Dengan taktik ini, pasukan TNI berhasil mempersulit pasukan
Belanda.
Meskipun Belanda berhasil menduduki beberapa kota-kota penting dalam agresi militer, akan tetapi justru
membuat posisi Republik Indonesia naik di mata dunia. Banyak negara-negara yang simpati dengan
Republik Indonesia, seperti Liga Arab yang akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia sejak 18
November 1946. Agresi militer belanda 1 yang dilakukan terhadap Indonesia memunculkan permusuhan
negara-negara Liga Arab terhadap Belanda. Dengan demikian, kedudukan Republik Indonesia di Timur
Tengah secara politik meningkat.
Dewan Keamanan PBB pun ikut campur dalam masalah Agresi Militer ini, dan membentuk Komisi Tiga
Negara untuk menyelesaikan konflik melalui serangkaian perundingan, seperti Perundingan Renville dan
Perundingan Kaliurang. Akan tetapi, perundingan tersebut tetap tidak membuat Belanda luluh.
Bidang Politik : Bertujuan untuk mengepung wilayah ibu kota Republik Indonesia dan
menghilangkan de facto Republik Indonesia dengan menghapus RI dari peta.
Bidang Ekonomi: Menguasai daerah penting meliputi Jawa Timur dan Jawa
Barat yang merupakan penghasil pangan serta daerah Sumatera yang dapat
menghasilkan pertambangan dan perkebunan.
Bidang Militer : Menghapus TNI/TKR yang sudah ada di Indonesia.
Sementara itu dampak positif dari agresi militer Belanda 1 adalah posisi Indonesia
naik di mata dunia karena banyak negara-negara yang simpati terhadap Indonesia.
Contohnya negara dari Liga Arab yang kemudian mengakui kemerdekaan Indonesia
pada tanggal 18 November.
"Operatie Product (bahasa Indonesia: Operasi Produk) atau yang dikenal di Indonesia dengan
nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap
Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer ini
merupakan bagian Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan
penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi
ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggajati.
B. Latar Belakang Agresi Militer I atau Penyebab Terjadinya Agresi Militer Belanda I
Agresi militer Belanda I diawali oleh perselisihan Indonesia dan Belanda akibat perbedaan
penafsiran terhadap ketentuan hasil Perundingan Linggarjati. Pihak Belanda cenderung
menempatkan Indonesia sebagai negara persekmakmuran dengan Belanda sebagai negara induk.
Sebaliknya, pihak Indonesia tetap teguh mempertahankan kedaulatannya, lepas dari Belanda.
1. Tujuan politik Mengepung ibu kota Republik Indonesia dan menghapus kedaulatan Republik
Indonesia.
Agresi Militer Belanda I direncanakan oleh H.J. van Mook. Van Mook berencana mendirikan negara
boneka dan ingin mengenbalikan kekuasaan Belanda atas wilayah Indonesia. Untuk mencapai
tujuan iitu, pihak Belanda tidak mengakui Perundingan Linggarjati, bahkan merobek-robek kertas
persetujuan itu. Selanjutnya pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan aksi militer yang
pertama dengan menyerang daerah-daerah Republik Indonesia di Pulau Jawa dan Sumatra.
Pasukan TNI belum siap menghadang serangan yang datangna secara tiba-tiba itu. Serangan
tersebut mengakibatkan pasukan TNI terpencar-pencar. Dalam keadaan seperti itu, pasukan TNI
berusaha untuk membangun daerah pertahanan baru. Pasukan TNI kemudian melancarkan taktik
perang gerilya, ruang gerak untuk menghadapi pasukan Belanda. Dengan taktik perang gerilya,
ruang gerak pasukan Belanda berhasil dibatasi. Gerakan pasukan Belanda hanya berada di kota
besar dan jalan raya, sedangkan di luar kota, kekuasaan berada di tangan pasukan TNI.
Agresi Militer Belanda I ternyata menimbulkan reaksi yang hebat dari dunia Internasional. Pada
tanggal 30 Juli 1947. Permintaan resmi agar masalah Indonesia segera dimasukkan dalam daftar
acara Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintah
penghentian permusuhan antara kedua belah pihak. Gencatan senjata mulai berlaku tanggal 4
Agustus 1947. Guna mengawasi pelaksanaan gencatan senjata, dibentuk Komisi Konsuler yang
anggotanya terdiri atas konsul jenderal yang ada di Indonesia. Komisi Konsuler yang dikuasi oleh
Konsuler Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote dengan anggotanya Konsul Jenderal Cina,
Prancis, Australia, Belgia dan Inggris.
Komisi Konsuler itu diperkuat dengan militer Amerika Serikat dan Prancis, yaitu sebagai peninjau
militer. Dalam laporannya kepada Dewan Keamanan PBB, Komisi Konsuler menyatakan bahwa
antara tanggal 30 Juli 1947 - 4 Agustus 1947 pasukan Belanda masih mengadakan gerakan
militer. Pemerintah Indonesia menolak garis demarkasi yang dituntut oleh pemerintah Belanda
berdasarkan kemajuan pasukannya setelah perintah gencatan senjata. Namun penghentian
tembak-menembak telah dimusyawarahkan, meski belum menemukan tindakan yang dapat
mengurangi jatuhnya korban jiwa.
Kabinet Amir Syarifudin merupakan lanjutan dari kabinet syahrir. Kabinet ini berkuasa
selama 2 kali jabatan:
Alasan:
Terjadinya gencatan senjata oleh belanda atau Agresi Militer I yang ingin menguasai
wilayah-wilayah NKRI yang dianggap penting secara ekonomi oleh belanda.
Keinginan Belanda untuk menguasai perekonomian besar di Indonesia seperti hasil
perkebunan, instalasi minyak dan batu bara.
Tujuan:
Latar Belakang
Pada tanggal 12 Juli 1947, Terjadi gencatan senjata atau aksi polisionil oleh belanda yang di
kenal “Agresi Militer I” terhadap Indonesia. Tujuan utama dari aksi polisionil itu, yakni ingin
menguasai wilayah-wilayah NKRI yang dianggap penting secara ekonomi oleh belanda. Hal
ini menyebabkan terjadinya pertikaian besar Antara Indonesia-Belanda, yang artinya Belanda
tidak mengakui kedaulatan Republik Indonesia, sesuai perjanjian Linggarjati. Dalam waktu
yang singkat wilayah RI dapat di ambil alih oleh Belanda. Berbagai reaksi bermunculan
akibat Agresi Militer I. Belanda tidak menyangka apabila Amerika Serikat dan Inggris
memberikan reaksi yang negatif. Negara-negara seperti Arab, India, Burma, Australia juga
merupakan Negara-negara yang paling awal bersimpati kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan berbagai usaha diplomatic dan kerjasama Internasional mereka membela
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dukungan mereka dan keterampilan delegasi Indonesia
memperjuangkan hak kedaulatan bangsa berhasil menyudutkan Belanda dalam percaturan
politik Internasional. Dalam kejadian tersebut, India dan Australia mengajukan permohonan
agar masalah RI dan Belanda ini segera dibicarakan dalam sidang Dewan Keamanan PBB.
Permohonan tersebut diterima dan kemudian pada tanggal 31 Juli 1947 masalah antara
Indonesia dan Belanda dimasukkan kedalam sidang Dewan Keamanan PBB. PBB
menyerukan resolusi no.27 baik itu kepada Indonesia maupun Belanda untuk menghentikan
konflik gencatan senjata, hal itu disampaikan PBB pada tanggal 1 Agustus 1947. PBB juga
menyuruh kedua negara untuk secepatnya mencari penyelesain masalah secara damai. Untuk
sementara, waktu gencatan senjata diawasi oleh Komisi Konsuler yang diketuai oleh Konsul
Jenderal Amerika, Dr. Walter Foote, dan sebagai anggotanya ada Konsul Jenderal dari Cina,
Belgia, Prancis, dan juga Inggris. Pada tanggal 4 Agustus 1947, PBB mengeluarkan perintah
penghentian tembak menembak, namun masih belum memuaskan. Pada tanggal 15 Agustus
1947 belanda menerima resolusi PBB dan menghentikan pertempuran. Pada akhirnya tanggal
25 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB menyetujui usulan Amerika Serikat untuk
membentuk komisi jasa-jasa baik untuk Indonesia (committee of good offices for Indonesia)
yang kemudian kita kenal dengan nama Komisi Tiga Negara atau disingkat KTN.
Pada dasarnya perundingan Renville merupakan perundingan yang dilaksanakan antara pihak
delegasi Indonesia dengan pihak delegasi Belanda. Yang di mana tujuan awal diadakannya
perundingan ini adalah guna menyelesaikan segala pertikaian dan sengketa yang terjadi
antara Indonesia dengan Belanda. Untuk mengawasi pelaksanaan penghentian tembak
menembak dan mencari penyelesaian sengketa secara damai, Dewan Keamanan PBB
membentuk sebuah Komisi Jasa Baik, yang kemudian dikenal sebagai Komisi Tiga Negara
(KTN). Di mana tugas utama KTN ini adalah membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi
antara Indonesia dengan Belanda guna mencapai suatu kedamaian. Pada awalnya masalah
yang timbul dalam menghadapi persoalan yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda
adalah mengenai tempat dilaksanakannya kembali suatu perundingan baru. Belanda
mengusulkan tempat perundingan di Jakarta, namun ditolak oleh Republik Indonesia yang
menginginkan suatu tempat yang berada di luar daerah kependudukan. Lalu atas usul KTN,
perundingan dilakukan di atas sebuah kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika
Serikat “USS Renville”. Perundingan ini akhirnya berhasil dimulai, yaitu pada tangal 8
Desember 1947 di atas Kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Delegasi Republik
Indonesia dipimpin oleh Mr. Amir Syarifuddin adalah seorang tokoh Indonesia, mantan
menteri dan perdana menteri pada awal berdirinya negara Indonesia. Sedangkan delegasi
Belanda dipimpin oleh R. Abdulkadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak
kepada Belanda.. Meskipun sudah tercapai persetujuan di atas Kapal Renville, tembak-
menembak belum juga berhenti sementara KTN praktis tidak berdaya. Pada tanggal 9 Januari
1948, Belanda menyampaikan ultimatum kepada Republik Indonesia untuk segera
mengosongkan sejumlah daerah yang luas dan menarik TNI dari daerah-daerah gerilya ke
Yogyakarta. Dan di dalam suasana seperti itu, perjanjian Renville akhirnya ditandatangani
tepat pada tanggal 17 Januari 1948, disusul dengan instruksi penghentian tembak-menembak
pada tanggal 19 Januari 1948.
1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian
wilayah Republik Indonesia
2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah
pendudukan Belanda
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di
Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta
Untuk melaksanakan tugas yang dibebankan oleh dewan keamanan PBB, dalam
pertemuannya di Sidney pada tanggal 20 oktober 1947 KTN memutuskan bahwa tugas
mereka di Indonesia adalah untuk membantu menyelesaikan sengketa antara Republik
Indonesia dan Belanda dengan cara damai. , Adapun anggota yang hadir dalam KTN tersebut
yang diwakili oleh Richard Kirby dari Australia, Paul Van Zeeland dari Belgia, Frank
Graham dari Amerika Serikat, sedangkan Indonesia diketuai oleh Amir Syarifuddin
sementara belanda diketuai oleh R. Abdulkadir Wijoyoatmojo.. Delegasi Indonesia terdiri
atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len, Moh. Roem,
Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari Abdulkadir
Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumukil, Pangran Kartanagara dan Zulkarnain.
Ternyata wakil-wakil Belanda hampir semua berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang pro
Belanda. Dengan demikian Belanda tetap melakukan politik adu domba agar Indonesia
mudah dikuasainya.
Dengan ada dan di sepakatinya perjanjian Renvile ini, dilihat justru memojokkan keadaan
bangsa kita dan justru semakin membuka peluang negara Belanda pada waktu itu untuk
menduduki sebagian besar wilayah republic Indonesia, oleh karena itu dengan adanya
perjanjian Renvile ini sangatlah memberikan berbagai dampak yang signifikan, dan berbagai
dampak tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Dalam Usaha memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Belanda
membentuk Negara-negara boneka, seperti : Negara Borneo Barat, Negara
Madura(Cakranigrat) , Negara Sumatera Timur, dan Negara Jawa Timur(Kusomo negoro),
Negara Sumatra Selatan (Abdul Malik) Negara Pasoendan (Wiranatakusuma) , . Negara
boneka tersebut tergabung dalam BFO (Bijeenkomstvoor Federal Overslag).
Latar Belakang Perjanjian Linggarjati
Pada akhir agustus 1946, Pemerintah inggis mengirimkan lord killearn ke Indonesia
untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda
Pada tanggal 7 oktober 1946 bertempat di konsulat jendral inggris di Jakarta di buka
perundingan Indonesia-belanda yang dipimpin oleh lord killearn
Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 OKTOBER) dan
meratakan jalan kea rah perundingan di linggar jati yang dimulai tanggal 11 november
1946
Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh
tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J.
van Mook,dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.
Perundingan Awal di Jakarta
Inggris mengirim diplomat Sir Archibald Clark Kerr, pada tanggaI 10 Februari 1946
diadakan perundingan Indonesia dengan Belanda di Jakarta. Indonesia diwakili oleh Perdana
menteri Sutan Syahrir dan Belanda diwakili oleh Van Mook. Van Mook mengusulkan agar
Indonesia menjadi negara persemakmuran benbentuk federasi di lingkungan kerajaan
Belanda.
Pada waktu itu Kabinet Syahrir mengalami krisis yang mengakibatkan Kabinet
Syahrir jatuh. Presiden Sukarno kemudian menunjuk Syahrir kembali sebagai Perdana
Menteri. Kabinet Syahrir II teribentuk pada tanggal 13 Maret 1946. Kabinet Syahrir II
mengajukan usul balasan dari usul-usul Van Mook agar RI harus diakui sebagai negara yang
berdaulat penuh atas wilayah Hindia Belanda.
Usulan tersebut ditolak oleh Van Mook. Pada tanggal 27 Maret 1946, Sutan Syahrir
memberikan jawaban disertai konsep persetujuan yang isi pokoknya antara lain sebagai
berikut.
1. Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de facto RI atas Jawa dan Sumatra.
2. Supaya RI dan Belanda bekerja sama membentuk RIS.
3. RIS bersama-sama dengan Nederland, Suriname, dan Curacao, menjadi peserta dalam
ikatan kenegaraan Belanda.
Konferensi Malino
Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Belanda melakukan tekan
politik dan militer di Indonesia. Tekanan politik dilakukan dengan menyelenggarakan
Konferensi Malino, yang bertujuan untuk membentuk negara-negara federal di daerah yang
baru diserahterimakan oleh Inggris dan Australia kepada Belanda. Konferensi Malino
diselenggarakan pada 15-26 juli 1946.
Pada kenyataannya pemerintah federal yang didirikan Van Mook itu tidak beda
pemerintah Hindia Belanda. Untuk itulah negara-negara federal mengadakan rapat di
Bandung pada Mei – Juli 1948. Rapat itu diberi nama Bijeenkomst voor federal Overleg
(BFO), yaitu suatu pertemuan untuk Musyawarah Federal.
BFO dimaksudkan untuk mencari solusi dari situasi politik yang genting akibat dari
perkembangan politik antara Belanda dan RI. Pertemuan Bandung juga dirancang untuk
menjadikan pemerintahan peralihan yang lebih baik daripada pemerintahan Federal
Sementara buatan Van Mook.