Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

AGRESI MILITER BELANDA II

Disusun Oleh :

Nama : M . zacky agustiano

Kelas : XI IPA 1

Guru Pembimbing :

Mustakim, S.Pd

SMA NEGERI 1 BATANGHARI

TAHUN PELAJARAN 2023/2024


Latar Belakang Agresi Militer II

1. Adanya Perjanjian Renville

Meski sudah melakukan perjanjian Renville sebagai bentuk


diplomasi, namun ketegangan antara Belanda dan Indonesia masih
belum berakhir. Setelah perjanjian disepakati, kedua belah pihak
malah mencurigai satu sama lain.

Bahkan Belanda menganggap perjanjian tersebut terlalu


menguntungkan pihak Indonesia. Belanda menganggap bahwa wilayah
Indonesia masih menjadi hak Belanda, apalagi saat itu Ratu
Wilhelmina menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara
persemakmuran Belanda.

2. Belanda Menuduh Indonesia Melakukan Perang Gerilya

Latar belakang agresi militer II Belanda selanjutnya adalah


Belanda yang menuduh Indonesia melakukan penyusupan dan
penyerangan. Tak hanya itu, Belanda juga menganggap Indonesia
melakukan penjarahan di wilayah yang di kuasai oleh Belanda.

Saat itu memang sempat ada gerakan perang gerilya untuk mengambil
kembali wilayah yang dikuasi oleh Belanda. Tak heran jika Belanda
menganggap Indonesia tak bisa mengurusi tentara rakyat karena
para tentara ini masih merongrong Belanda dan menimbulkan bentrok
fisik.

3. Indonesia Menuduh Belanda Tidak Mentaati Perjanjian Renville

Jika sebelumnya Belanda menuduh Indonesia tak bisa mengurusi


tentara rakyat, maka Indonesia menuduh Belanda tak mentaati
perjanjian Renville. Indonesia menganggap Belanda tak mentaati
kesepakatan bersama dan melakukan politik adu domba.

Salah satu bukti bahwa Belanda melakukan politik adu domba


menurut Indonesia adalah adanya negera federal dan
acarakonferensi federal Bandung. Tak hanya itu, Belanda juga
Kronologi Peristiwa Agresi Militer II Belanda

1. Penyerangan Yogyakarta

Dalam agresi militer II, Belanda menyerang Yogyakarta lewat udara


pada tengah malam. Tujuan agresi militer saat itu adalah
Pangkalan Udara Maguwo, yang langsung lumpuh seketika karena
persiapan Belanda yang cukup matang saat itu.

Dengan jatuhnya Pangkalan Udara Maguwo, posisi Yogyakarta menjadi


terpojok. Dalam waktu singkat, akhirnya Yogyakarta jatuh ke
tangan Belanda. Tak berhenti sampai disana, Dr. Beel, Wakil
Mahkota Agoeng di Batavia melakuan siaran pers bahwa Belanda tak
mau terikat lagi dengan Perjanjian Renville.

2. Penahanan Tokoh Perjuangan

Kronologi agresi militer II Belanda tak hanya sampai disana.


Setelah berhasil menguasai Yogyakarta, Belanda juga menangkap
tokoh perjuangan nasional. Diantara mereka yang tertangkap adalah
Seokarno, Hatta, dan beberapa pejabat penting pemerintah
Indonesia lainnya.

Setelah ditangkap, para pemimpin Indonesia ini tak bisa melakukan


perlawanan. Mereka langsung diterbangkan untuk diasingkan ke
Pulau Bangka. Meski di asingkan, tapi ternyata tokoh perjuangan
ini, terutama Soekaro, sudah menyiapkan rencana cadangan.

3. Pemerintahan Darurat di Bukit Tinggi

Ternyata Soekarno sudah memperkirakan adanya agresi militer II


Belanda. Karena itu, meski Yogyakarta jatuh, namun Indonesia
masih mampu melawan dengan adanya Pemerintah Darurat Republik
Indonesia di Bukittinggi.

Sebelum Belanda memasuki Yogyakarta, Soekarno sudah berkirim


surat pada Menteri Syafrudin untuk membuat pemerintahan darurat
di Bukittingi, tujuannya agar Indonesia bisa menyusun strategi
untuk melawan Belanda lewat perang gerilya.

4. Adanya Pemerintahan Militer Terpusat

Berkat adanya pemerintahan darurat di Bukittingi, perlawanan


terhadap Belanda memungkinan untuk dilakukan. Syafrudin menyusun
perlawanan dengan bantuan militer di lima wilayah, yakni Aceh,
Tapanuli, Riau, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat.

Tak hanya di wilayah Sumatera, laskar rakyat yang ada di Jawa pun
memberikan dukungan pada pemerintahan militer terpusat ini.
Dengan kerja sama yang dilakukan bersama, perlawanan yang
dilakukan kepada Belanda pun dapat terarah dengan baik.

5. Perlawanan oleh Militer Indonesia

Militer Indonesia tak menyerah walaupun Yogyakarta menjadi milik


Belanda. Petinggi militer saat itu, Panglima Besar Soedirman,
membuat rencana untuk melawan Belanda. Caranya dengan mengikut
sertakan pimpinan sipil setempat untuk bergerilya melakukan
serangan balasan.

Serangan balasan ini mencapai puncaknya 1 Maret 1949 dan membuat


Belanda cukup kalang kabut. Dengan adanya perlawanan oleh militer
Indonesia ini menunjukkan bahwa militer Indonesia tak menyerah
dan masih berjuang untuk menunjukkan eksistensi Indonesia sebagai
negara. dianggap melanggar garis dermakasi militer yang sudah
disepakati bersama.
Agresi Militer Belanda II atau yang juga disebut Operasi Kraai
(Operasi Gagak) adalah serangan militer Belanda terhadap
Indonesia secara de facto pada Desember 1948.

Belanda tetap bersikeras untuk menguasai Indonesia

Sebelumnya, Indonesia dan Belanda sudah menyepakati suatu


perjanjian bernama Perjanjian Renville, 17 Januari 1948.

Namun, Belanda melanggar perjanjian Renville tersebut.

Belanda menolak adanya pembagian kekuasaan dan tetap ingin


berkuasa atas Indonesia secara keseluruhan.

Oleh sebab itu, tanggal 18 Desember 1948, Panglima Tentara


Belanda di Hindia Belanda Jenderal Spoor menginstruksikan seluruh
tentara Belanda di Jawa dan Sumatra untuk memulai penyerangan

Hari Minggu pagi, 19 Desember 1948, Belanda mulai menyerang kota


Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota sementara Indonesia

Pesawat Belanda lepas landas dari Bandung menuju


Yogyakarta.Selagi pesawat Belanda tengah berangkat ke Yogyakarta,
Komisaris Tinggi Belanda Beel melalui radio mengumumkan bahwa
Belanda sudah tidak lagi terikat dalam Perjanjian Renville.
Sesampainya di Yogyakarta, angkatan udara dan pasukan terjun
payung dikerahkan oleh Belanda untuk membombardir lapangan
terbang Maguwo dan kawasan timur kota Yogyakarta. Serangan udara
ini membuat pasukan Indonesia tidak siap. Hanya dalam beberapa
jam, sore hari 19 Desember 1945, Yogyakarta sudah berhasil
dikuasai oleh Belanda. Setelah mendengar serangan mendadak
tersebut, Panglima TNI Jenderal Sudirman menyiarkan perintah
kilat melalui radio. Perintah Kilat bertujuan untuk melawan
musuh dengan melakukan perang rakyat semesta. Di mana para
pasukan akan hijrah dengan cara long march ke wilayah masing-
masing dan membentuk kekuatan. Soekarno bersama dengan pemimpin
lainnya juga diminta segera mengungsi dan bergabung dengan
pasukan gerilyanya. Setelah rapat kabinet, mereka menolak untuk
menungsi dan memilih tetap tinggal di Yogyakarta.

Soekarno juga memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran


Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat
Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatra Barat, apabila terjadi
sesuatu dengan pimpinan Indonesia di Yogyakarta. Pertempuran
Agresi Militer Belanda II ini telah banyak memakan korban jiwa
dan kerusakan masif bagi Indonesia. Serangan Belanda terhadap
Indonesia juga dipublikasikan hingga ke kancah internasional,
termasuk Amerika Serikat. Akibatnya, Amerika Serikat memutuskan
menghentikan dana bantuan mereka kepada Belanda. Amerika Serikat
dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai kekuatan besar juga
mendesak agar segera dilakukan gencatan senjata dan perundingan
damai secepat mungkin. Akhirnya, tanggal 7 Mei 1949, Agresi
Militer Belanda II berakhir dengan ditandatanganinya Perjanjian
Roem-Royen.

Tujuan Agresi Militer-II Belanda


Setelah adanya latar belakang agresi militer II, konflik antara
Indonesia dan Belanda semakin memanas. Akhirnya pada pertengahan
tahun 1948, Belanda memilih melakukan kembali agresi militer di
Yogyakarta dengan tujuan:

•Menghancurkan status Indonesia, yang saat itu tengah menjadi


negara kesatuan.

•Menghancurkan dan menjadikan Yogyakarta berada di bawah


kekuasaan Belanda. Saat itu Yogyakarta tengah menjadi ibu kota
Indonesia karena kondisi Jakarta yang kurang kondusif.

•Menangkap pemimpin dan tokoh pergerakan Indonesia.

Dampak Adanya Agresi Militer II


Dampak dan hasil agresi militer II Belanda dirasakan oleh kedua
belah pihak, tak hanya Belanda atau Indonesia saja. Beberapa
dampak yang terlihat secara signifikan antara lain:

1. Dampak bagi Indonesia

Serangan yang dilakukan Belanda ke Yogyakarta membuat banyak


tokoh politik Indonesia ditangkap dan diasingkan ke luar Jawa.
Hal tersebut membuat pergerakan politik semakin pelik karena
tidak adanya sosok pemimpin untuk mengkoordinir.

Tak hanya itu, Indonesia juga membantuk Pemerintahan Darurat


Republik Indonesia di Bukittinggi. Meski hanya sementara, namun
darurat pemerintahan ini berhasil mewujudkan masyarakat Indonesia
untuk tetap mengusir Belanda dari Indonesia.

Di Yogyakarta, banyak bangunan yang hancur dan rusak. Belum lagi


kerugiaan di bidang militer dengan adanya jumlah korban tewas
yang cukup besar. Adanya agresi militer II Belanda ini tentu
memberikan pukulan yang berat bagi Indonesia.

2. Dampak ke Belanda

Lalu bagaimana dengan Belanda? Apakah Belanda merasakan dampak


setelah melakukan agresi militer II dan menaklukan Yogyakarta?
Meski akhirnya mampu menguasai ibu kota Indonesia, namun Belanda
tetap melakukan pukulan telak dari militer Indonesia.

Serangan balik yang dilakukan TNI ini tentunya membuat Belanda


mengalami kerugian yang besar, baik secara materil maupun korban
jiwa. Tak hanya itu, pasukan Belanda juga mengakui bahwa mereka
merasa kewalahan menghadapi serangan balik yang dilakukan TNI.

Kewibawaan Belanda juga menurun karena penyebaran propaganda


palsu. Dalam propaganda tersebut, dikatakan bahwa Indonesia sudah
tidak ada setelah ditangkapnya tokoh pemimpin politik, namun
nyatanya TNI Indonesia mampu melakukan serangan balik.
Akhirnya Agresi Militer II Belanda
Agresi militer II Belanda baru berakhir setelah Indonesia dan
Belanda duduk bersama dalam perjanjian Roem Royen. Dengan adanya
perjanjian tersebut, agresi militer II resmi berakhir pada Mei
1949 dan gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda
disepakati.

Mengetahui latar belakang agresi militer II Belanda dapat membuat


pemahaman mengenai perjuangan kemerdekaan Indonesia lebih
mendalam. Perjuangan untuk memerdekan Indonesia secara rinci tak
hanya terjadi secara fisik, namun juga diplomasi.

Anda mungkin juga menyukai