Anda di halaman 1dari 8

NAMA : SALSA TIARA TRI HARDIAN

NIM : 202110110311263

INSTRUKTUR : CINDY MONIQUE, S.H.

LEMBAR JAWABAN SOAL PERTEMUAN I

PRAKTIKUM HUKUM ACARA PIDANA II

SOAL A

1. PARA PIHAK TERLIBAT


a. Pelaku : Julian
Dalam kasus posisi Julian merupakan pihak yang telah menjual barang (sepeda motor
Honda New Scoopy Prestige 2023) yang merupakan milik Antoni yang dititipkan
sementara kepada Julian (Merujuk pada pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang
menyatakan bahwa pelaku tindak pidana kejahatan adalah orang yang melakukan
(pleger), menyuruh melakukan (doenplegen), dan turut serta melakukan (medepleger))
b. Korban : Antoni
Merujuk pada Pasal 1 angka 2 UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban, pihak korban dimaknai sebagai seseorang yang mengalami kerugian atau
penderitaan baik itu secara fisik, mental, dan/ atau kerugian ekonomi akibat dari suatu
tindak pidana. Dalam kasus posisi tersebut, Antoni yang menitipkan kendaraannnya
kepada Julian telah mengalami kerugian ekonomi akibat perbuatan Julian yakni
menjual kendaraan milik Antoni kepada orang lain tanpa sepengetahuan Antoni
dengan nominal kerugian sebesar Rp 22.950.000,- (dua puluh dua juta sembilan ratus
lima puluh ribu rupiah).
c. Saksi : Ibu Julian; Kakak Antoni; Bapak Budi
Pasal 1 angka 1 UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang
berbunyi “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang
suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami
sendiri” maka berdasarkan kasus posisi, pihak yang dapat dijadikan sebagai saksi
apabila merujuk pada definisi di atas adalah ibu Julian (mengetahui secara langsung
bahwa Antoni menitipkan kendaraan kepada Julian, menjadi pihak yang dimintai ijin
oleh Julian untuk pergi keluar rumah dengan membawa kendaraan milik Antoni, pihak
yang melihat bahwa Julian pulang dengan ojek online dan sudah tidak membawa
kendaraan milik Antoni lagi dengan dalih sudah dikembalikan kepada Antoni); kakak
Antoni (turut serta bersama Antoni menitipkan sepeda motor kepada Julian); serta
Bapak Budi (pihak yang membeli kendaraan milik Antoni melalui Julian).

2. LOKASI KEJADIAN
Berdasarkan uraian kasus posisi maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 2 (dua) lokasi
kejadian yakni:
a. Rumah Julian : Jl. Brawijaya No. 20, Margelo, Kota Mojokerto, Jawa Timur,
tempat awal Antoni menitipkan sepeda motor kepada Julian didampingi oleh kakak
Antoni
b. Rumah bapak Budi : Jl. Gajah Mada No. 07, Kota Mojokerto, Jawa Timur, tempat
terjadinya transaksi jual beli sepeda motor milik Antoni oleh Julian kepada bapak Budi
Dasar penentuan lokasi kejadian perkara di atas merujuk kepada Pengertian Tempat
Kejadian Perkara (TKP) di dalam petunjuk lapangan No. Pol: Skep/1205/IX/2000 tentang
Penanganan Tempat Kejadian Perkara (TKP) terbagi menjadi 2 (dua) yakni:
a. Tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi atau akibat yang ditimbulkannya.
b. Tempat-tempat lain yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dimana barang
barang bukti, tersangka atau korban dapat ditemukan.

3. WAKTU KEJADIAN
Waktu kejadian perkara dalam kasus posisi tersebut adalah sekitar pukul 12.30 – 15.00
WIB. Waktu tersebut diambil dari sejak Julian berpamitan kepada ibunya untuk pergi ke
luar dengan membawa sepeda motor Antoni hingga ketika Julian kembali ke rumah dengan
menggunakan jasa ojek online (motor Antoni sudah tidak bersama Julian)

4. MODUS OPERANDI
Pada awalnya, Antoni menitipkan kendaraannya di rumah Julian dikarenakan lokasi rumah
Julian yang dekat dengan stasiun tempat Antoni akan berangkat ke Surabaya bersama
kakaknya selama 1 hari (20 Januari – 21 Januari 2024). Modus operandi yang dilakukan
oleh Julian agar dapat menjual kendaraan milik Antoni adalah dengan cara berpura pura
mengantarkan kendaraan Antoni pada siang hari di hari Antoni menitipkan kendaraan
dengan dalih Antoni pulang lebih awal dari yang seharusnya.
5. BARANG BUKTI
Dalam perkara pidana, dikenal istilah alat bukti dan barang bukti. Keduanya memiliki
peran yang sangat penting untuk mengungkap kebenaran akan suatu peristiwa pidana yang
terjadi. KUHAP tidak menerangkan dengan jelas mengenai barang bukti. Namun, dalam
Pasal 39 KUHAP disebutkan, barang-barang yang dapat disita oleh penyidik. Barang atau
benda yang dapat dikenakan penyitaan, yaitu: 1) benda atau tagihan tersangka atau
terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai
hasil dari tindak pidana; 2) benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk
melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; 3) benda yang dipergunakan
untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; 4) benda yang khusus dibuat atau
diperuntukkan melakukan tindak pidana; 5) benda lain yang mempunyai hubungan
lansung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Berdasarkan uraian di atas, maka barang bukti pada kasus posisi tersebut adalah:
a. Sepeda motor (Honda New Scoopy Prestige 2023) milik Antoni yang dijual oleh
Julian
b. Bukti transfer pembayaran atas pembelian sepeda motor dari bapak Budi kepada
Julian sebesar Rp 22.950.000,- (dua puluh dua juta sembilan ratus lima puluh ribu
rupiah)
c. HP iPhone 13 milik Julian yang dibeli menggunakan keuntungan dari menjual sepeda
motor milik Antoni
d. Nota pembelian HP iPhone 13 milik Julian yang dibeli mengguakan keuntungan dari
menjual sepeda motor milik Antoni
e. Bukti print out tangkapan layar riwayat pemesanan ojek online oleh Julian sepulang
dari rumah bapak Budi
f. Print out rekening koran milik Julian yang menampilkan sisa uang hasil penjualan
sepeda motor Antoni kepada bapak Budi yang masih dimiliki oleh Julian

6. JENIS KASUS
Jenis kasus berdasarkan kasus posisi tersebut termasuk tindak pidana, karena yang
perbuatan Julian adalah perbuatan yang apabila belum diatur di dalam undang-undang
namun dapat dirasakan sebagai perbuatan yang melanggar tata hukum. Berbeda dengan
tindak pidana, pelanggaran adalah perbuatan yang melanggar delik undang-undang, sifat
melawan hukumnya baru dapat apabila sudah ada undang-undang yang mengaturnya.
7. PASAL DILANGGAR
Dilihat dari bentuk perbuatan yang dilakukan oleh Julian, maka dapat dikategorikan
sebagai bentuk tindak pidana penggelapan. Adapunn unsur-unsur tindak pidana
penggelapan telah dijabarkan di dalam pasal 372 KUHP yang berbunyi “Barang siapa
dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan
karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4
tahun atau pidana denda paling banyak Rp900 ribu.”
Dengan sengaja melawan hukum (menjual kendaraan milik Antoni tanpa sepengetahuan
Antoni); memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang lain (sepeda motor milik Antoni); yang ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan (Antoni menitipkan sepeda motornya kepada Julian sementara Antoni dan
kakaknya pergi ke Surabaya). Dengan terpenuhinya semua unsur di atas, maka dapat
dikatakan bahwa Julian telah melanggar pasal 372 KUHP.

8. KOMPETENSI ABSOLUT DAN RELATIF


a. Kompetensi Absolut: Kompetensi absolut dari kasus posisi tersebut adalah
Pengadilan Negeri. Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan
Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya (Pasal 2 UU No.2 Tahun
1984). Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang, memeriksa, mengadili,
memutuskan dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat
pertama (Pasal 50 UU No.2 Tahun 1986)
b. Kompetensi Relatif : Mengingat bahwa kedua lokasi kejadian berada di Mojokerto,
maka kompetensi relatifnya adalah Pengadilan Negeri Mojokerto
SOAL B

1. PARA PIHAK TERLIBAT


a. Pelaku : Rahmat Bagas
Rahmat Bagas melakukan penganiayaan berencana kepada Ahmad Hafid (Merujuk
pada pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang menyatakan bahwa pelaku tindak pidana
kejahatan adalah orang yang melakukan (pleger), menyuruh melakukan
(doenplegen), dan turut serta melakukan (medepleger))
b. Korban : Ahmad Hafid
Ahmad Hafid merupakan pihak yang dirugikan karena mengalami patah tulang
selangka sebelah kanan akibat pukulan benda tumpul, sehingga untuk saat ini tidak
dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya dan untuk proses penyembuhan
butuh waktu selama 6 sampai 8 minggu akibat perbuatan Rahmat Bagas yang
melakukan upaya balas dendam. Merujuk pada Pasal 1 angka 2 UU No. 13/2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pihak korban dimaknai sebagai seseorang
yang mengalami kerugian atau penderitaan baik itu secara fisik, mental, dan/ atau
kerugian ekonomi akibat dari suatu tindak pidana
c. Saksi : Fajar Wahyu
Pasal 1 angka 1 UU No. 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang
berbunyi “Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,
dan/atau ia alami sendiri” maka berdasarkan kasus posisi, pihak yang dapat
dijadikan sebagai saksi apabila merujuk pada definisi di atas adalah Fajar Wahyu
yang melihat langsung kejadian saat Rahmat Bagas memukul Ahmad Hafid hingga
tersungkur dengan menggunakan batang besi

2. LOKASI KEJADIAN
Berdasarkan kasus posisi, tempat kejadian perkara berada di Pos penjagaan Divif 2
Kostrad, di mana Rahmat Bagas melakukan penyerangan terhadap Ahmad Hafid.
Dasar penentuan lokasi kejadian perkara tersebut merujuk kepada pengertian Tempat
Kejadian Perkara (TKP) di dalam petunjuk lapangan No. Pol: Skep/1205/IX/2000
tentang Penanganan Tempat Kejadian Perkara (TKP) terbagi menjadi 2 (dua) yakni:
a. Tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi atau akibat yang
ditimbulkannya.
b. Tempat-tempat lain yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dimana
barang barang bukti, tersangka atau korban dapat ditemukan.

3. WAKTU KEJADIAN
Berdasarkan kasus posisi, Rahmat Bagas melangsungkan aksinya pada tanggal 11
Februari 2024 pukul 22.00 WIB, tepatnya satu hari setelah Rahmat Bagas melakukan
penagihan kepada Ahmad Hafid.

4. MODUS OPERANDI
Modus operandi yang dilakukan oleh Rahmat Bagas dalam menjalankan tindakannya
adalah merencanakan penyerangan dan menyiapkan batang besi yang kemudian
digunakan untuk memukul Ahmad Hafid. Sebelum menyerang, terlebih dahulu Rahmat
Bagas memastikan Ahmad Hafid sedang sendirian/tidak ada orang lain di sekitarnya.

5. BARANG BUKTI
Dalam perkara pidana, dikenal istilah alat bukti dan barang bukti. Keduanya
memiliki peran yang sangat penting untuk mengungkap kebenaran akan suatu peristiwa
pidana yang terjadi. KUHAP tidak menerangkan dengan jelas mengenai barang bukti.
Namun, dalam Pasal 39 KUHAP disebutkan, barang-barang yang dapat disita oleh
penyidik. Barang atau benda yang dapat dikenakan penyitaan, yaitu: 1) benda atau
tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari
tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; 2) benda yang telah dipergunakan
secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; 3)
benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; 4)
benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; 5) benda lain
yang mempunyai hubungan lansung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Berdasarkan uraian di atas, maka barang bukti pada kasus posisi tersebut adalah:
a. Batang besi yang digunakan oleh Rahmat Bagas untuk memukuli Ahmad Hafiz
b. Hasil Visum et Repertum Rumah Sakit TNI AD Lawang Nomor 020/VER/II/2024
tanggal 15 Februari 2024 yang menyatakan akibat akibat fisik yang diterima oleh
Ahmad Hafid akibat perbuatan Rahmat Bagas
c. Rekaman CCTV di Pos Penjagaan Divif 2 Kostrad yang menunjukkan rekaman
saat Rahmat Bagas melangsungkan aksinya

6. JENIS KASUS
Jenis kasus berdasarkan kasus posisi tersebut menunjukkan bahwa tindakan tersebut
adalah tindakan pidana. Hal ini didasari pada pengertian dari tindak pidana dan
pelanggaran. Tindak pidana dimaknai sebagai perbuatan yang meskipun belum diatur
di dalam undang-undang, dapat diketahui sebagai perbuatan yang bertentangan dengan
tata hukum (delik hukum)S. Pelanggaran adalah perbuatan yang memerlukan dasar
undang undang terlebih dahulu sebelum dapat dikatakan sebagai pelanggaran (delik
undang undang)

7. PASAL DILANGGAR
Mengingat pelaku dari tindak kekerasan tersebut adalah berstatus anggota
militer, maka hukum yang digunakan adalah hukum pidana militer. Hukum pidana
militer adalah hukum pidana yang subjeknya “Militer” atau mereka yang berdasarkan
undang-undang dipersamakan dengan Militer. Penggunaan sebutan Militer sesuai
dengan sebutan subjek tindak pidana militer sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Militer dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Secara khusus, aturan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota TNI tertuang
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). Namun demikian,
pada praktiknya ketentuan yang digunakan bagi anggota TNI yang melakukan tindak
pidana selama dikategorikan sebagai tindak pidana umum, tetap menggunakan aturan
yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”) akan tetapi tetap
diadili di Pengadilan Militer. Dalam hal ini, anggota TNI yang melakukan pemukulan
terhadap warga dapat dikenakan Pasal 351 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3) KUHP yang
menyatakan sebagai berikut :
“(1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua tahun
delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan itu berakibat luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya lima tahun.
(3) Jika perbuatan tersebut menyebabkan matinya orang, maka yang bersalah dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.”
8. KOMPETENSI ABSOLUT DAN RELATIF
a. Kompetensi Absolut : Pasal 10 UU Peradilan Militer menyatakan:
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili tindak pidana yang
dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 yang:
1. tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau
2. terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di daerah
Maka berdasarkan pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa kompetensi absolut dari
kasus posisi tersebut adalah Pengadilan Militer
b. Kompetensi Relatif : Mengingat pengadilan militer belum tersedia di seluruh
kota di Indonesia, maka kompetensi Relatif diambil berdasarkan lokasi terdekat
yang memiliki pengadilan militer. Lokasi pengadilan militer terdejat dari lokasi
kejadian adalah Pengadilan Militer Surabaya, maka kompetensi Relatifnya adalah
Pengadilan Militer Surabaya.

Anda mungkin juga menyukai