Anda di halaman 1dari 18

TUGAS ANALISIS KASUS

PRAKTIKUM HUKUM ACARA PIDANA KHUSUS

SOAL A
Julian merupakan siswa kelas X-C SMK Harapan Mojokerto. Julian lahir di
Mojokerto, 10 Januari 2008. Julian hidup dengan kedua orang tuanya dan 2 adeknya yang
masih berumur 7 tahun dan 3 tahun. Julian tinggal di Jl. Brawijaya No. 20, Margelo, Kota
Mojokerto, Jawa Timur. Julian merupakan anak yang baik dan penurut. Tetapi semua
berubah sejak 3 tahun yang lalu saat kehadiran adeknya yang kedua. Julian merasa kurang
kasih sayang dan diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Ayah Julian seorang buruh pabrik
dan ibunya merupakan ibu rumah tangga yang setiap hari fokus kepada kedua adeknya yang
masih kecil. Hal tersebut diperkeruh dengan kondisi ekonomi keluarga Julian sejak awal
2023. Sehingga Julian sering tidak mendapatkan uang saku ketika sekolah dan permintaannya
tidak pernah dipenuhi.
Suatu ketika pada tanggal 20 Januari 2024 pukul 08.00 WIB, teman sekolah Julian
yaitu Antoni bersama kakaknya menitipkan sepeda motor (Honda New Scoopy Prestige
2023) ke Julian karena rumahnya dekat dengan Stasiun Kereta Api. Antoni bersama
kakaknya hendak ke Surabaya untuk menjenguk neneknya dan akan pulang pada tanggal 21
Januari 2024. Entah pada saat itu apa yang ada di pikiran Julian sehingga tidak lama setelah
Antoni menitipkan sepeda motornya, sekira pukul 12.30 WIB Julian izin keluar rumah
kepada ibunya dengan menggunakan sepeda motor Antoni. Kemudian pukul 15.00 WIB
Julian pulang ke rumah menggunakan gojek. Setibanya di rumah, ibunya bertanya “Sepeda
motor Antoni dimana?” Julian menjawab “Sudah diambil bu, dia pulang lebih cepat”.
Keesokan harinya pukul 09.00 WIB Antoni ke rumah Julian, tetapi yang didapati
hanya ibunya saja. Kemudian Antoni menanyakan dimana sepedanya karena ingin diambil.
Ibu Julian menjawab “Kemarin kata Julian, sepeda motornya sudah kamu ambil karena kamu
pulang lebih cepat”. Sontak Antoni kaget karena dia baru pulang dari Surabaya hari ini.
Seperti ada hal yang tidak beres, pada akhirnya Ibu Julian mencari tau keberadaan Julian dan
ternyata dia sedang di rumah neneknya. Pada akhirnya Ibu Julian bersama dengan Antoni dan
kakaknya bergegas kesana. Sesampainya disana Julian didapati sedang ketakutan. Tanpa basa
basi Antoni menanyakan keberadaan sepeda motornya, Julian menyampaikan maaf karena
sepeda motor tersebut telah ia jual kepada tetangga neneknya yaitu Bapak Budi yang
beralamat di Jl. Gajah Mada No. 07, Kota Mojokerto, kemudian dibelikan Iphone 13 dan sisa
uangnya masih ia simpan dan akan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari karena Julian
tidak mendapatkan uang saku dari orang tuanya.
Karena merasa sakit hati dan menderita kerugian sebesar Rp 22.950.000,- (dua puluh
dua juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah), Antoni langsung melaporkan perbuatan
Julian ke Polresta Mojokerto. Setelah laporan masuk dan diproses, tidak lama kemudian
Julian ditangkap di rumah neneknya Jl. Gajah Mada No. 12, Kota Mojokerto.

SOAL B
Rahmat Bagas merupakan seorang anggota TNI AD yang berpangkat Pratu, dengan
NRP 31170585181079, Jabatan Tabakpan pada Divisi Infanteri 2/Kostrad (Divif 2 Kostrad)
yang berkedudukan di Song Song, Jl. Raya Singosari, Song Song, Ardimulyo, Kec.
Singosari, Kab. Malang, Jawa Timur, dan saat ini tinggal di Asrama Divif 2 Kostrad.
Rahmat Bagas merupakan seorang anggota TNI yang rajin dalam bekerja, ia tidak
pernah meninggalkan tugasnya. Dalam keseharian Rahmat Bagas dikenal dengan pribadi
yang baik. Tetapi hal tersebut seketika berubah ketika mendapat masalah dengan teman
lettingnya yaitu Pratu Ahmad Hafid. Permasalahan tersebut dimulai ketika Ahmad Hafid
meminjam uang kepada Rahmat Bagas sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) yang akan
dikembalikan satu bulan kemudian yaitu tanggal 10 Februari 2024. Saat waktunya telah tiba,
Rahmat Bagas menagih hutang tersebut kepada Ahmad Hafid, tetapi yang didapatkan oleh
Rahmat Bagas perlakuan yang tidak enak. Rahmat Bagas dicaci maki oleh Ahmad Hafid
“Uang gk seberapa aja kok ditagih, dasar kau anjing” sambil mendorong Rahmat Bagas
hingga terjatuh.
Tanpa berfikir panjang Rahmat Bagas kembali ke asrama. Sesampainya di asrama dia
merancanakan sesuatu untuk membalas perbuatan Ahmad Hafid. Tiba saatnya pada tanggal
11 Februari 2024 pukul 22.00 WIB di pos penjagaan Divif 2 Kostrad, Rahmat Bagas
melakukan aksinya. Rahmat Bagas yang melihat Ahmad Hafid melaksanakan dinas jaga
sendirian, tanpa berfikir panjang dari belakang dia memukul Ahmad Hafid menggunakan
batang besi selama 2 kali pada bagian bahu sebelah kanan hingga Ahmad Hafid tersungkur.
Teman dinas jaga Pratu Fajar Wahyu sehabis dari kamar mandi melihat kejadian tersebut
langsung berteriak minta tolong. Seketika Rahmat Hafid berlari melarikan diri. Melihat
Ahmad Hafid yang terkapar hingga tidak sadarkan diri, Fajar Wahyu meminta bantuan untuk
melarikan Ahmad Hafid ke rumah sakit terdekat. Setelah itu Fajar Wahyu melaporkan
perbuatan Rahmat Bagas ke Detasemen Polisi Militer 2/2 Kostrad (Denpom Divif 2/Kostrad).
Setelah laporan diterima dan diproses, Pratu Rahmat Bagas ditangkap tidak jauh dari
Divif 2 Kostrad sedang bersembunyi di rumah temannya. Sedangkan Pratu Ahmad Hafid
dilakukan pemeriksaan dan berdasarkan hasil Visum et Repertum Rumah Sakit TNI AD
Lawang Nomor 020/VER/II/2024 tanggal 15 Februari 2024 bahwa Pratu Ahmad Hafid
mengalami patah tulang selangka sebelah kanan akibat pukulan benda tumpul, sehingga
untuk saat ini tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya dan untuk proses
penyembuhan butuh waktu selama 6 sampai 8 minggu.

Pada tiap posisi kasus di atas, berikan analisis saudara berdasarkan teori dan dasar hukum
yang berlaku.
1. Siapa saja yang terlibat dalam kasus tersebut? Sebagai apa pihak tersebut dalam kasus
tersebut? (pelaku, saksi, korban) jelaskan alasan kualifikasinya
2. Dimana kasus tersebut terjadi?
3. Kapan kasus tersebut terjadi?
4. Bagaimana perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku (modus operandi)?
5. Barang bukti apa saja yang ada dalam kasus tersebut? Baik yang digunakan
melakukan kejahatan atau hasil dari kejahatan
6. Apakah kasus tersebut merupakan tindak pidana atau pelanggaran?
7. Melanggar pasal berapa perbuatan pelaku?
8. Bagaimana kompetensi absolut dan relatif atas permasalahan tersebut?

JAWABAN
Soal A
1. Berdasarkan pada uraian posisi kasus sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka
dapat diketahui bahwa pihak-pihak yang terlibat terdiri dari Julian, Antoni, Kakak
Antoni, Ibu Julian, Nenek Julian, dan Bapak Budi, dengan kualifikasi sebagai berikut:
a. Pelaku
Di dalam hukum pidana materiil Indonesia, ketentuan mengenai pelaku dapat
ditemui pada Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Namun pada pasal tersebut tidak
dirumuskan secara eksplisit mengenai apa yang dimaksud dengan pelaku, melainkan
hanya mengatur mengenai peranan-peranan pelaku. Apabila merujuk pada ketentuan
yang dimuat dalam Memori van Toelichting, maka pelaku atau “pleger” dapat
diartikan sebagai setiap orang (person) yang melakukan atau menimbulkan akibat
(impact) yang memenuhi rumusan delik. Sementara itu menurut Pompe, pelaku
merupakan seseorang yang melaksanakan dengan dirinya, perbuatan memenuhi
rumusan delik. Adapun di dalam kasus ini, Julian dan Bapak Budi dapat
dikualifikasikan sebagai pelaku.
Apabila mencermati uraian kasus posisi, maka perbuatan yang dilakukan oleh
Julian dapat digolongkan ke dalam tindak pidana Penggelapan, sebagaimana diatur di
dalam ketentuan Pasal 372 KUHP, yang menyatakan bahwa “Barangsiapa dengan
sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau
sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam kekuasaannya bukan
karena kejahatan, diancam karena Penggelapan, dengan pidana penjara paling lama
empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.” Perbuatan yang
dilakukan Julian dengan membawa lari sepeda motor milik Antoni yang sebelumnya
dititipkan kepadanya, dan menjual sepeda motor tersebut tanpa izin, dapat memenuhi
rumusan delik pada ketentuan tersebut, sehingga Julian dapat dinyatakan sebagai
Pelaku.
Sementara untuk Bapak Budi dapat dikualifikasikan sebagai pelaku karena
tindakannya dapat digolongkan juga ke dalam suatu rumusan delik, yakni Penadahan
sebagaimana diatur dalam Pasal 480 butir 1 KUHP. Pada pasal tersebut dinyatakan
bahwa “Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda
paling banyak sembilan ratus rupiah: barang siapa membeli, menyewa, menukar,
menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual,
menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau
menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa
diperoleh dari kejahatan penadahan.” Hal ini didasari pada pemikiran bahwa Bapak
Budi sebagai pembeli, memiliki pengetahuan atau setidaknya sepatutnya memilki
kecurigaan bahwa sepeda motor yang dibelinya diperoleh dari kejahatan. Dalam
transaksi jual beli motor bekas pakai, biasanya pembeli akan meminta dokumen-
dokumen yang sah untuk mengonfirmasi legalitas kendaraan yang dibelinya, namun
dalam hal ini Julian tentunya tidak memiliki dokumen-dokumen tersebut, sehingga
sudah sepatutnya Bapak Budi merasa curiga. Alasan lainnya adalah usia Julian yang
masih digolongkan sebagai anak di bawah umur seharusnya memicu kecurigaan bagi
Bapak Budi, karena seorang remaja berusia 16 tahun kemungkinan besar tidak
memiliki kemampuan finansial atau akses hukum untuk membeli sepeda motor baru
seperti Honda New Scoopy Prestige 2023 secara sah.
b. Korban
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, korban dapat diartikan sebagai orang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
oleh suatu tindak pidana. Di dalam kasus tersebut Antoni dapat dikualifikasikan
sebagai korban, karena Antoni telah mengalami kerugian ekonomi sebesar Rp
22.950.000,- (dua puluh dua juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah), akibat tindak
pidana pencurian yang dilakukan oleh Julian.
c. Saksi
Apabila mengacu pada ketentuan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, maka saksi dapat diartikan sebagai orang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Berdasarkan dari defenisi saksi tersebut,
maka ibu Julian, nenek Julian, dan kakak Antoni dapat menjadi saksi dalam kasus
tersebut, karena mereka memiliki informasi atau pengalaman langsung terkait dengan
pencurian yang terjadi. Misalnya, ibu Julian dapat dijadikan saksi karena ia mungkin
mendengar percakapan antara Julian dan Antoni tentang sepeda motor yang dititipkan
pada Julian. Sementara itu, nenek Julian dapat dijadikan saksi karena kemungkinan ia
mengetahui atau bahkan melihat langsung transaksi penjualan sepeda motor antara
Julian dan tetangganya, Bapak Budi. Dan kakak Antoni, dapat dijadikan saksi karena
ia mendengar percakapan antara Julian dan Antoni terkait penitipan sepeda motor
tersebut sehari sebelum kejadian.
2. Untuk menentukan di mana sebuah tindak pidana terjadi, maka penting untuk
mengetahui terlebih dahulu mengenai ajaran locus delicti. Secara umum, locus delicti
dapat diartikan sebagai tempat dilakukannya atau tempat terjadinya tindak pidana.
Tempat terjadinya tindak pidana merupakan tempat di mana pelaku melakukan tindak
pidana dan pada saat itu pula semua unsur-unsur pidana telah sempurna terjadi. Tetapi
sering pula terjadi, adanya suatu perbuatan pidana yang akibatnya tidak bersamaan
waktu terjadinya. Setelah mencermati uraian kasus posisi tersebut, saya
menyimpulkan bahwa locus delicti atau tempat terjadinya tindak pidana penggelapan
dan penadahan tersebut adalah di Jl. Gajah Mada No. 07, Kota Mojokerto, yakni
alamat rumah Bapak Budi. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit di mana
tepatnya transaksi jual beli sepeda motor antara Julian dan Bapak Budi dilakukan,
namun karena sebagian besar transaksi jual beli barang seperti sepeda motor biasanya
dilakukan di rumah atau tempat tinggal pembeli atau penjual, maka dapat diasumsikan
bahwa transaksi ini terjadi di rumah Bapak Budi. Pada alamat tersebutlah rumusan
delik penggelapan, dan penadahan yang dilakukan oleh Julian dan Bapak Budi telah
terpenuhi sehingga dapat disebut sebagai locus delicti.
3. Dalam menentukan waktu terjadinya tindak pidana, harus dipahami terlebih dahulu
mengenai ajaran tempus delicti. Tempus delicti pada dasarnya dapat diartikan sebagai
waktu terjadinya tindak pidana. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Ayat (2) KUHP
tentang ketentuan jika terjadi perubahan perundang-undangan pidana, maka tempus
delicti atau waktu dilakukannya tindak pidana menjadi penting untuk menentukan
undang-undang mana yang akan diterapkan kepada pelaku tindak pidana. Di samping
itu, tempus delicti juga penting dalam hal pelakunya belum dewasa (di bawah usia 16
tahun) sebagaimana diatur dalam Pasal 45-Pasal 47 KUHP, dan Undang-Undang
Pengadilan Anak, di mana tempus delicti digunakan untuk menyesuaikan ketentuan
yang berlaku sesuai dengan usia pelaku pada waktu melakukan tindak pidana.
Berdasarkan pada kasus tersebut, maka tempus delicti nya dapat dinyatakan pada
waktu transaksi jual beli antara Julian dan Bapak Budi dilakukan, yakni antara rentan
waktu pukul 12.30 WIB pada saat Julian izin keluar rumah kepada ibunya, sampai
dengan pukul 15.00 WIB pada saat Julian pulang ke rumah menggunakan gojek dan
tidak membawa pulang motor Antoni, tanggal 20 Januari 2024.
4. Dalam lingkup kejahatan, modus operandi dapat diartikan sebagai operasi cara atau
teknik yang berciri khusus dari seorang penjahat dalam melakukan perbuatan
jahatnya. Modus operandi berasal dari bahasa Latin, artinya prosedur atau cara
bergerak atau berbuat sesuatu. Tindak pidana Penggelapan sepeda motor sebagaimana
dilakukan oleh Julian pada dasarnya bisa terjadi di mana saja, dan bisa dilakukan oleh
siapa saja dengan berbagai macam modus operandi yang digunakan oleh pelaku pada
saat melakukan aksi kejahatannya. Dari uraian kasus posisi yang telah dijelaskan,
maka modus operandi yang digunakan oleh Julian untuk melakukan tindak pidana
Penggelapan sepeda motor tersebut, adalah dengan memanfaatkan keadaan di mana
Antoni mempercayai dirinya untuk dititipkan sepeda motor. Julian menerima sepeda
motor yang dititipkan oleh Antoni, kemudian menjual sepeda motor tersebut kepada
Bapak Budi tanpa seizin pemiliknya, dengan maksud untuk menguasai sepeda motor
tersebut seolah-olah miliknya. Adapun modus operandi tindak pidana Penadahan yang
dilakukan oleh Bapak Budi, yakni dengan memanfaatkan situasi pada saat Julian
menawarkan sepeda motor tersebut untuk dijual, di mana meskipun kemungkinan
terdapat kecurigaan terkait asal-usul sepeda motor yang ditawarkan oleh Julian,
Bapak Budi memilih untuk membelinya tanpa pertimbangan yang cukup.
5. Pada Pasal 39 Ayat (1) KUHAP dapat dilihat beberapa barang bukti yang dapat
dilakukan penyitaan, antara lain:
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak
pidana atau untuk mempersiapkannya;
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak
pidana;
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan.
Berdasarkan urian tersebut maka barang bukti yang terdapat dalam kasus ini,
antara lain adalah:
a. Sepeda motor Honda New Scoopy Prestige 2023, sebagai benda yang
dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana Penggelapan,
sekaligus Penadahan;
b. Telepon genggam merk Iphone 13, sebagai barang yang diperoleh dari hasil
tindak pidana;
c. Uang sisa penjualan sepeda motor, sebagai barang yang diperoleh dari hasil
tindak pidana.
Di samping itu terdapat alat bukti lain sebagaimana diatur dalam Pasal 184
Ayat (1) KUHAP, yang meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk,
keterangan terdakwa. Keterangan saksi dapat dilakukan oleh ibu Julian, nenek Julian,
dan kakak Antoni. Sedangkan surat-surat, dapat berupa Surat-Surat Kendaraan
Bermotor seperti STNK dan BPKB, yang dapat membuktikan bahwa Antoni adalah
benar pemilik sah dari sepeda motor tersebut. Dan keterangan Terdakwa, yakni
keterangan Julian dan Bapak Budi di Pengadilan.
6. Mungkin yang dimaksud adalah apakah kasus tersebut merupakan kejahatan atau
pelanggaran, karena sebagaimana diatur dalam KUHP bahwa tindak pidana
diklasifikasikan menjadi dua, yakni Kejahatan (misdrif) sebagaimana diatur dalam
Buku Kedua KUHP, dan Pelanggaran (overtreding) sebagaimana diatur dalam Buku
Ketiga KUHP. Dan oleh karena tindak pidana yang dilakukan dalam kasus tersebut
merupakan tindak pidana Penggelapan sebagaimana diatur dalam Pasal 372, dan
tindak pidana Penadahan sebagaimana diatur dalam Pasal 480 butir 1, di mana pasal
tersebut merupakan cakupan dari Buku Kedua KUHP, maka kasus tersebut dapat
dikualifikasikan sebagai tindak pidana Kejahatan, dan bukan Pelanggaran. Hal ini
sejalan dengan pengertian delik Kejahatan (rechtdelict) atau delik hukum, yakni
merupakan perbuatan tidak baik yang melanggar hukum dan dirasakan melanggar
rasa keadilan.
Namun di dalam kasus ini perlu dipertimbangkan usia dari Julian yang masih
berumur 16 (enam belas) tahun, di mana terdapat perbedaan rumusan antara Pasal 45
KUHP yang menyatakan bahwa orang yang belum dewasa merupakan mereka yang
melakukan suatu perbuatan pidana sebelum berumur enam belas tahun, sehingga
menurut KUHP Julian dapat dikategorikan sebagai orang yang sudah dewasa dan
dapat diadili sesuai prosedur pidana untuk orang dewasa sebagaimana diatur dalam
KUHAP. Namun menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, pada Pasal 1 butir 3 dinyatakan bahwa Anak Berkonflik
Dengan Hukum merupakan anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Sehingga berdasarkan ketentuan UU SPPA tersebut, Julian dapat digolongkan sebagai
anak, dan prosedur pidananya dapat didasarkan pada UU SPPA.
7. Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian di atas, terdapat dua tindak pidana di dalam
uraian kasus, yakni Penggelapan dan Penadahan yang dapat diancam pidana
berdasarkan pasal:
a. Penggelapan, yakni Pasal 372 KUHP yang menyatakan bahwa “Barangsiapa
dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang
seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi berada dalam
kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan, dengan
pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah.” Pemenuhan unsur-unsur dalam delik ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
1) Unsur obyektif, yakni unsur yang terdapat di luar si pelaku tindak pidana atau
berkaitan dengan perbuatan pidananya, yang dalam pasal tersebut terdiri dari:
a) Memiliki
Memiliki di sini merupakan perbuatan materiil yang dilakukan pelaku,
yang dapat diartikan sebagai menganggap benda/barang tersebut seolah-olah
miliknya, atau mengakui benda/barang tersebut sebagai hak miliknya, atau
penguasaan barang tersebut tanpa hak. Dalam hal ini, Julian menjual sepeda
motor yang dititipkan padanya, sehingga dapat dimaknai bahwa Julian seolah-
olah menganggap dan/atau mengakui bahwa sepeda motor tersebut adalah
miliknya, sehingga ia menjualnya kepada Bapak Budi.
b) Barang yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain
Barang di sini dapat diartikan sebagai barang bergerak dan barang
berwujud, tetapi bisa juga diartikan sebagai barang yang sifatnya non fisik.
Sepeda motor yang dijual oleh Julian, seluruhnya merupakan kepunyaan
Antoni, sehingga unsur ini dapat terpenuhi.
c) Berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan
Hal ini dapat membedakan tindak pidana Penggelapan dengan
Pencurian, karena barang yang dimiliki oleh pelaku sebelumnya sudah ada
dalam kekuasaannya, dan penguasaannya tersebut sebenarnya sah karena
bukan dikuasai dari kejahatan, sehingga yang tidak sah hanyalah
kepemilikannya. Sepeda motor yang ada dalam penguasaan Julian sejak awal
telah ada dalam penguasaan Julian bukan karena penguasaan yang tidak sah,
melainkan penguasaan yang sah karena sepeda motor tersebut dititipkan oleh
Antoni kepada Julian dengan maksud agar Julian menyimpannya sementara
waktu sebelum Antoni kembali dari Surabaya.
2) Unsur subyektif, yakni unsur yang terdapat di dalam diri si pelaku (manusia),
yang meliputi kesengajaan (dolus), kealpaan (culpa), niat (voortnemen),
maksud (oogmerk), dengan rencana terlebih dahulu, dan perasaan takut
(vreess), di mana dalam pasal tersebut terdiri dari:
a) Barangsiapa
Rumusan delik baik di dalam Buku Kedua maupun Buku Ketiga
KUHP pada dasarnya dimulai dengan kata barangsiapa. Ini mengandung arti
bahwa yang dapat melakukan tindak pidana atau subyek tindak pidana pada
umumnya adalah manusia. Dengan demikian unsur ini telah terpenuhi, di
mana yang menjadi subyeknya adalah Julian.
b) Dengan sengaja dan dengan melawan hukum
Prinsip dari kesengajaan menurut Memori van Toelichting (MvT)
adalah mengetahui (weten) dan menghendaki (willen). Sedangkan melawan
hukum di sini digolongkan sebagai unsur melawan hukum yang subyektif
karena penggunaan frasa “dan dengan”, di mana sifat melawan hukumnya
lahir dari niat pelaku (kesengajaan) untuk melakukan perbuatan yang dilarang
dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan hukum pidana
(wedderchttelijkheid). Dalam kasus tersebut, Julian mengetahui bahwa sepeda
motor yang ia ambil dari Antoni adalah milik orang lain. Dia menyadari
bahwa ia tidak memiliki izin atau hak untuk menjual sepeda motor tersebut,
tetapi ia tetap melakukannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Julian
mengetahui dan menghendaki terjadinya perbuatan melawan hukum tersebut.
b. Penadahan, yakni Pasal 480 butir 1 yang menyatakan bahwa “Diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak
sembilan ratus rupiah: barang siapa membeli, menyewa, menukar, menerima
gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan,
menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan
sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari
kejahatan penadahan.” Pemenuhan unsur-unsur dalam delik ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
1) Unsur obyektif
a) Membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau
untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan,
menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu
benda
Dilihat dari penggunaan frasa “atau” dalam unsur tersebut, maka
unsur-unsur ini pada dasarnya bersifat alternatif, sehingga untuk memenuhi
bahwa perbuatannya melawan hukum, tidak harus dipenuhi semua unsur
tersebut. Dalam konteks kasus ini, perbuatan Bapak Budi dapat dikategorikan
sebagai perbuatan “membeli” sesuatu benda yang diketahuinya atau
sepatutnya harus diduga diperoleh dari kejahatan. Di dalam kasus telah
disebutkan secara eksplisit bahwa Julian telah membeli Iphone 13
menggunakan uang hasil penjualan sepeda motor dari Bapak Budi, sehingga
dalam hal ini karena Bapak Budi telah memberikan uang kepada Julian
sebagai imbalan atas sepeda motor tersebut, dan menerima sepeda motor yang
diketahuinya atau sepatutnya harus diduga diperoleh dari kejahatan, Bapak
Budi dapat dianggap melakukan pembelian barang hasil kejahatan tersebut.
b) Yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari
kejahatan
Unsur ini mengacu pada pengetahuan atau kesadaran pelaku bahwa
barang yang dibeli merupakan hasil dari kejahatan. Sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa Bapak Budi sebagai pembeli, memiliki
pengetahuan atau setidaknya sepatutnya memiliki kecurigaan bahwa sepeda
motor yang dibelinya diperoleh dari kejahatan. Dalam transaksi jual beli motor
bekas pakai, biasanya pembeli akan meminta dokumen-dokumen yang sah
untuk mengonfirmasi legalitas kendaraan yang dibelinya, namun dalam hal ini
Julian tentunya tidak memiliki dokumen-dokumen tersebut, sehingga sudah
sepatutnya bapak Budi merasa curiga. Alasan lainnya adalah usia Julian yang
masih digolongkan sebagai anak di bawah umur seharusnya memicu
kecurigaan bagi Bapak Budi, karena seorang remaja berusia 16 tahun
kemungkinan besar tidak memiliki kemampuan finansial atau akses hukum
untuk membeli sepeda motor baru seperti Honda New Scoopy Prestige 2023
secara sah.
2) Unsur subyektif
a) Barangsiapa
Sejalan dengan uraian sebelumnya, maka barangsiapa atau yang yang
menjadi subyek tindak pidana dalam kasus ini adalah Bapak Budi, sebagai
pembeli barang hasil kejahatan tersebut.
b) Melawan hukum
Meskipun unsur ini tidak dinyatakan dengan tegas dalam
perumusannya, misalnya dengan “melawan hukum”, namun setiap perbuatan
yang dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan hukum
pidana itu harus bersifat melawan hukum (wedderchttelijkheid), demikian pula
halnya dengan perbuatan yang dilakukan Bapak Budi yang telah melanggar
ketentuan pidana Pasal 380 butir 1 KUHP tersebut.
8. Kompetensi absolut dan kompetensi relatif dalam kasus tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Kompetensi absolut
Pada dasarnya apabila terjadi persengketaan kepentingan yang harus
diselesaikan secara hukum, pertanyaan pertama adalah di dalam peradilan macam
apakah persengketaan itu diselesaikan. Sehingga di sini yang dibicarakan adalah
permasalahan wewenang atau kompetensi absolut. Di dalam sistem peradilan
Indonesia, ketentuan mengenai kompetensi absolut ini dapat dilihat dalam Pasal 10
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
menyatakan bahwa:
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang ada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(2) Badan Peradilan yang berada di bawah MA meliputi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan
tata usaha negara.
Persengketaan antara warga masyarakat sipil biasanya termasuk di dalam
bidang badan peradilan umum, baik itu merupakan perkara perdata maupun perkara
pidana. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kasus tindak pidana Penggelapan maupun
Penadahan sebagaimana dilakukan oleh Julian dan Bapak Budi merupakan
kompetensi absolut dari badan peradilan umum, dalam hal ini Pengadilan Negeri.
Selain itu, apabila Julian digolongkan sebagai pelaku tindak pidana anak berdasarkan
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, maka
pada Pasal 6 Ayat (2) huruf b UU SPPA tersebut dinyatakan bahwa persidangan anak
dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.
b. Kompetensi relatif
Pertanyaan selanjutnya apabila terjadi suatu perkara baik itu perkara pidana,
maupun perkara perdata adalah Pengadilan Negeri mana yang berwenang untuk
menyelesaikan perkara tersebut, karena sangat dimungkinkan bahwa antara tindak
pidana yang dilakukan, domisili pelaku, dan akibatnya berada pada tempat yang
berbeda, di mana dalam hal ini Indonesia memiliki pengadilan Negeri di setiap ibu
kota kabupaten dan kotamadya. Dengan demikian untuk menentukan kompetensi
relatif ini, maka harus diperhatikan terlebih dahulu locus delicti nya. Sebagaimana
telah dianalisis di awal tadi bahwa locus delicti nya adalah bertempat di Jl. Gajah
Mada No. 07, Kota Mojokerto, maka kasus Penggelapan dan Penadahan tersebut
merupakan kompetensi relatif dari Pengadilan Negeri Mojokerto.

SOAL B
1. Berdasarkan pada uraian posisi kasus sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka
dapat diketahui bahwa pihak-pihak yang terlibat terdiri dari Rahmat Bagas, Ahmad
Hafid, Fajar Wahyu, orang yang dimintai bantuan oleh Fajar wahyu untuk membawa
Ahmad Hafid ke rumah sakit, dengan kualifikasi sebagai berikut:
a. Pelaku
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa pelaku merupakan setiap orang
(person) yang melakukan atau menimbulkan akibat (impact) yang memenuhi rumusan
delik. Sehingga dalam kasus ini, yang dapat dikualifikasikan sebagai pelaku adalah
Rahmat Bagas.
Apabila mencermati uraian kasus posisi, maka perbuatan yang dilakukan oleh
Rahmat Bagas dapat digolongkan ke dalam tindak pidana Penganiayaan berat
sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 355 Ayat (1) KUHP, yang menyatakan
bahwa “Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.” Hal ini didasarkan pada
pemikiran bahwa Penganiayaan berat sebagaimana dijelaskan pada Pasal 354
merupakan Penganiayaan yang bertujuan untuk melukai berat korbannya, di mana
tindakan Rahmat Bagas yang melakukan serangan fisik berupa memukul Ahmad
Hafid menggunakan batang besi pada bagian bahunya, hingga Ahmad Hafid
tersungkur dan akhirnya mengalami patah tulang selangka, merupakan tindakan yang
dapat disamakan dengan rumusan pasal tersebut. Selain itu, Ahmad Hafid juga
melakukannya dengan rencana terlebih dahulu sebagaimana yang ia rencanakan pada
saat dirinya berada di asrama, sehari sebelum dilakukannya tindak pidana. Atas dasar
itulah, Rahmat Bagas dapat dikualifikasikan sebagai pelaku tindak pidana.
b. Korban
Sama seperti penjelasan pada soal sebelumnya, korban merupakan orang yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan
oleh suatu tindak pidana. Dalam kasus tersebut, orang yang mengalami penderitaan
yakni berupa penderitaan fisik akibat perbuatan yang dilakukan oleh pelaku, adalah
Ahmad Hafid yang mengalami patah tulang selangka sebelah kanan akibat pukulan
benda tumpul oleh Rahmat Bagas.
c. Saksi
Saksi atau orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang
suatu tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri,
dalam kasus ini adalah Fajar Wahyu, dan orang yang dimintai bantuan oleh Fajar
Wahyu untuk membawa Ahmad Hafid ke rumah sakit. Hal ini dikarenakan Fajar
Wahyu merupakan teman dinas jaga Ahmad Hafid yang melihat langsung perbuatan
Rahmat Bagas kepada Ahmad Hafid. Sedangkan orang yang dimintai bantuan oleh
Fajar Wahyu untuk membawa Ahmad Hafid ke rumah sakit juga dapat dikategorikan
sebagai saksi yang secara tidak langsung terlibat dalam kejadian. Meskipun tidak
menyaksikan langsung perbuatan yang dilakukan oleh Rahmat Bagas, namun ia
terlibat dalam proses memberikan pertolongan kepada korban setelah kejadian terjadi.
Keterlibatannya sebagai saksi penting karena ia dapat memberikan informasi tentang
kondisi korban setelah perbuatan tersebut terjadi dan proses pertolongan yang
diberikan kepadanya. Sehingga alasan kualifikasinya sebagai saksi adalah karena ia
memiliki informasi yang relevan tentang keadaan korban setelah kejadian, yang dapat
menjadi bukti tambahan dalam penyelidikan kasus ini.
2. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pertanyaan ini berkaitan dengan
locus delicti, yakni tempat dilakukannya atau tempat terjadinya tindak pidana. Tempat
terjadinya tindak pidana merupakan tempat di mana pelaku melakukan tindak pidana
dan pada saat itu pula semua unsur-unsur pidana telah sempurna terjadi. Sehingga
sesuai dengan pengertian tersebut, maka locus delicti dalam kasus Penganiayaan yang
dilakukan oleh Rahmat Bagas kepada Ahmad Hafid adalah di pos penjagaan Divif 2
Kostrad, tempat Rahmat Bagas melakukan aksinya, yang berkedudukan di Song
Song, Jl. Raya Singosari, Song Song, Ardimulyo, Kec. Singosari, Kab. Malang, Jawa
Timur. Pada tempat tersebutlah, rumusan delik Penganiayaan berat yang dilakukan
oleh Rahmat Bagas telah terpenuhi.
3. Adapun pertanyaan mengenai kapan kasus tersebut terjadi adalah berkaitan dengan
tempus delicti atau waktu terjadinya tindak pidana. Berdasarkan pada kasus tersebut,
maka tempus delicti nya dapat dinyatakan pada waktu Rahmat Bagas melakukan
aksinya, yakni pada sekitar pukul 22.00 WIB tanggal 11 Februari 2024.
4. Modus operandi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dapat diartikan sebagai
operasi cara atau teknik yang berciri khusus dari seorang penjahat dalam melakukan
perbuatan jahatnya. Dalam kasus tersebut, modus operandi yang digunakan oleh
Rahmat Bagas selaku pelaku adalah dengan melakukan perencanaan terlebih dahulu
terhadap aksi kejahatannya, kemudian menggunakan batang besi untuk menganiaya
korbannya dengan cara memukul korban di bagian bahu sebelah kanan hingga korban
tersungkur dan akhirnya mengalami luka berat pada bagian tersebut.
5. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 39 Ayat (1) KUHAP, maka barang bukti dalam
kasus tersebut dapat meliputi batang besi sebagai alat yang dipergunakan oleh Rahmat
Bagas untuk melakukan Penganiayaan terhadap Ahmad Hafid. Selain itu, terdapat
juga alat bukti lain sebagaimana diatur dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, yang
meliputi keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa.
Keterangan saksi dapat meliputi keterangan Fajar Wahyu yang menyaksikan langsung
tindak pidana tersebut, dan juga keterangan saksi oleh orang yang membantu
membawa Ahmad Hafid ke rumah sakit. Sedangkan untuk surat keterangan Visum et
Repertum Nomor 020/VER/II/2024 tanggal 15 Februari 2024 dari Rumah Sakit TNI
AD Lawang, dapat dijadikan juga sebagai alat bukti berupa bukti medis yang
menunjukkan bahwa Ahmad Hafid mengalami patah tulang selangka sebelah kanan
akibat pukulan benda tumpul yang diberikan oleh Rahmat Bagas. Visum et Repertum
ini memperkuat bukti atas kerusakan fisik yang dialami oleh korban akibat perbuatan
pelaku. Kemudian terdapat keterangan Terdakwa, yakni keterangan Rahmat Bagas di
Pengadilan.
6. Pada kasus ini, sebagai konsekuensi dari subyek tindak pidananya yang merupakan
orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badan-badan peradilan militer, maka tindak
pidana tersebut dapat digolongkan ke dalam tindak pidana militer, sehingga hukum
materiil yang diberlakukan adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer
(KUHPM). Namun, di dalam KUHPM sendiri yakni pada Pasal 2 dinyatakan bahwa
“Terhadap tindak pidana yang tidak tercantum dalam kitab undang-undang ini, yang
dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badan-badan peradilan
militer, diterapkan hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan
yang ditetapkan dengan undang-undang (penyimpangan yang ditetapkan merupakan
tindak pidana militer murni (Zuiver Militaira Delict) sebagaimana diatur dalam Buku
Kedua KUHPM, yang hanya dilakukan oleh seorang militer, karena sifatnya yang
khusus militer).” Atas dasar ketentuan koneksitas tersebutlah kemudian diterapkan
hukum pidana umum yakni yang diatur dalam KUHP. Dan sebagaimana dijelaskan
sebelumnya bahwa KUHP mengklasifikasikan tindak pidana menjadi dua, yakni
Kejahatan (misdrif) sebagaimana diatur dalam Buku Kedua KUHP, dan Pelanggaran
(overtreding) sebagaimana diatur dalam Buku Ketiga KUHP. Dan oleh karena tindak
pidana Penganiayaan diatur dalam ketentuan Pasal 355, yang merupakan cakupan
Buku Kedua KUHP maka tindak pidana ini dapat dikualifikasikan sebagai tindak
pidana Kejahatan.
7. Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian di atas, kasus tersebut dapat
dikualifikasikan sebagai tindak pidana Penganiayaan berat, yang melanggar Pasal 355
Ayat (1) KUHP. Pada pasal tersebut dinyatakan bahwa “Penganiayaan berat yang
dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.” Pemenuhan unsur-unsur dalam delik ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Unsur obyektif, yakni unsur yang terdapat di luar si pelaku tindak pidana atau
berkaitan dengan perbuatan pidananya, yang dalam pasal tersebut adalah
“Penganiayaan berat”. Sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 354, maka
Penganiayaan berat merupakan tindakan berupa melukai berat orang lain.
Berdasarkan pada yurisprudensi, penganiayaan dapat diartikan sebagai sengaja
menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka. Adapun
yang dikategorikan sebagai luka berat berdasarkan ketentuan Pasal 90 KUHP
meliputi:
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut;
2) Tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencarian;
3) Kehilangan salah satu pancaindera;
4) Mendapat cacat berat;
5) Menderita sakit lumpuh;
6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih;
7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan
Sehingga perbuatan Rahmat Bagas yang telah menimbulkan luka berat berupa
patah tulang selangka sebelah kanan, yang menyebabkan Ahmad Hafid tidak
dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya dan untuk proses penyembuhan
butuh waktu selama 6 sampai 8 minggu, dapat dikualifikasikan sebagai
Penganiayaan berat, dan unsur ini pun telah terpenuhi.
b. Unsur subyektif, yakni unsur yang terdapat di dalam diri si pelaku (manusia),
yang meliputi kesengajaan (dolus), kealpaan (culpa), niat (voortnemen), maksud
(oogmerk), dengan rencana terlebih dahulu, dan perasaan takut (vreess). Dalam
kasus tersebut unsur subyektif adalah “dilakukan dengan rencana terlebih dahulu”.
Di mana dalam kasus ini, Rahmat Bagas telah merencanakan dengan matang
untuk melaksanakan perbuatannya sebelumnya. Sehingga, tindakan Penganiayaan
yang dilakukannya tidaklah spontan atau dilakukan secara impulsif, melainkan
telah dipertimbangkan dengan sengaja sebelumnya. Dengan demikian, maka unsur
ini telah terpenuhi.
8. Kompetensi absolut dan kompetensi relatif dalam kasus tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
a. Kompetensi absolut
Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa:
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang ada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
(2) Badan Peradilan yang berada di bawah MA meliputi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan
tata usaha negara.
Oleh karena pihak-pihak yang terlibat dalam kasus ini adalah seorang militer,
maka yang memiliki kompetensi absolut atas kasus ini adalah peradilan militer. Hal
ini didasari pada ketentuan Pasal 9 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Militer (KUHAPM) yakni Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer, yang menyatakan bahwa “Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
berwenang:
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu
melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
b. Yang berdasarkan undang-undang dengan Prajurit;
c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan
atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;
d. Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c
tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman
harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.”
Namun kendati telah diatur demikian, paradigma kewenangan tersebut telah
berubah setelah disahkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor
VII/MPR/2000, yang pada Pasal 3 Ayat (4) huruf a nya dinyatakan bahwa “Prajurit
Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal
pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal
pelanggaran hukum pidana umum.”. Dan oleh karena perbuatan pidana yang
dilakukan oleh Rahmat Bagas merupakan pelanggaran hukum pidana umum, maka
berdasarkan pada TAP MPR tersebut Rahmat Bagas dapat diadili di peradilan umum,
dalam hal ini Pengadilan Negeri.
b. Kompetensi relatif
Adapun kompetensi relatif awalnya adalah berkaitan dengan Pengadilan
Militer mana yang berwenang untuk menyelesaikan perkara tersebut. Kompetensi
relatif dalam mengadili tindak pidana militer ini awalnya didasarkan pada ketentuan
Pasal 10 KUHAPM, yang menyatakan bahwa “Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 yang:
a. Tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau
b. Terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di daerah hukumnya.
Di mana dalam konteks ini, oleh karena tempat terjadinya tindak pidana
beserta kesatuan tempat Rahmat Bagas terdaftar berkedudukan di Song Song, Jl. Raya
Singosari, Song Song, Ardimulyo, Kec. Singosari, Kab. Malang, Jawa Timur, maka
Pengadilan Militer yang memiliki kompetensi relatif atas kasus tersebut adalah
Pengadilan Militer Malang (jika ada). Sedangkan berdasarkan ketentuan TAP MPR
No. VII/MPR/2000 sebagaimana dijelaskan di atas, maka Rahmat Bagas dapat diadili
di Pengadilan Negeri, yakni Pengadilan Negeri Malang.

Anda mungkin juga menyukai