Anda di halaman 1dari 37

TINJAUAN YURIDIS TENTANG CONTEMPT OF COURT OLEH

JAKSA PADA KEJAKSAAN NEGERI BENGKULU DALAM PERKARA

NOMOR 02/PID.PRA/2016/PN Bgl

PRA PROPOSAL TESIS

Oleh:
SEPTIAN DWI RIADI

PROGRAM STUDI (S2) ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebelum adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), dalam Penjelasan Tentang Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia dinyatakan Indonesia ialah negara yang

berdasar atas hukum (rechtstaat). Hal itu semakin dikukuhkan ketika dalam

perubahan ketiga UUD NRI 1945 tertib pasal 1 ayat (3) yang menyatakan Negara

Indonesia adalah negara hukum.1


Adapun makna dari negara hukum yaitu bahwa hukum di negara ini ditempatkan

pada posisi yang strategis di dalam konstelasi ketatanegaraan, Ungkapan bahasa latin

“Quid sine leges moribus” yang bermakna apalah artinya suatu hukum jika tidak

didukung oleh perilaku yang baik dari masyarakatnya. Oleh karena itu, perlu adanya

upaya meningkatkan kesadaran masyarakat kepada hukum dengan penegakan hukum

secara konsisten dan konsekuen.2


Penegakan hukum secara umum dapat diartikan sebagai penerapan hukum di

berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara demi mewujudkan ketertiban dan

kepastian hukum yang berorientasi pada keadilan. Secara khusus penegakan hukum

dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan di dalam sistem peradilan (pidana) yang

bersifat preventif, represif dan edukatif. Penegakan hukum merupakan bagian dari

1
Marcus Priyo Gunarto dan Wahyu Sudrajat, Dekonstruksi Putusan Bebas & Putusan Lepas Dari
Segala Tuntutan Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2018, hlm. 1
2
Eddy O.S. Hiariej, Hukum Acara Pidana, Universitas Terbuka, Tangerang Selatan, 2015, hlm.1
1
pembangunan hukum yang merupakan komponen integral dari pembangunan

nasional.3
Dalam hal menegakan dan mewujudkan kepastian hukum, tindakan dari aparatur

penegak hukum harus diatur secara formal dalam bentuk suatu peraturan undang-

undang agar tindakannya tidak menyalahi aturan dan merampas Hak Asasi Manusia

(HAM). Jika penerapan hukum dilakukan tidak hati-hati, tergesa-gesa, penuh amarah

dan sewenang-wenang maka akan kontra produktif bagi ketertiban dan kesejahteraan

umat manusia.4 Dalam konteks ini, Indonesia telah memiliki aturan penegakan hukum

pidana dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP). Dalam aturan ini diatur secara spesifik mengenai prosedur

penegakan hukum pidana serta apa saja kewenangan-kewenangan aparatur penegak

hukum pidana.
Salah satu hal yang diatur dalam KUHAP adalah adanya lembaga praperadilan

yang berada dalam ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri.

Lembaga ini memiliki wewenang yang diatur dalam pasal 77-83 KUHAP. Salah satu

wewenang yang diatur dalam pasal 77 huruf a KUHAP bahwa lembaga ini dapat

menentukan sah atau tidaknya suatu penghentian penuntutan yang dilakukan oleh

jaksa selaku penuntut umum.


Jaksa sebagai lembaga yang memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan

dapat saja memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup

bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara

ditutup demi hukum. Dalam hal penuntut umum akan menghentikan suatu penuntutan

3
Ibid.
4
Syaiful Bakhri, Sitem Peradilan Pidana Indonesia Dalam perspektif pembaruan, teori, dan
praktik peradilan, Pusataka Pelajar, Yogyakarta, 2015, hlm.9
2
maka hal tersbut harus dtuangkan dalam bentuk surat ketetapan penghentian

penuntutan (SKP2)
Pasal 80 KUHAP mengatur dalam hal ada pihak yang merasa dirugikan karena

dihentikannya suatu penuntutan, maka penyidik atau pihak ketiga yang

berkepentingan dapat mengajukan sah atau tidaknya suatu penuntutan dengan

mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri tempat dimana kejaksaan

itu berada. Dalam hal pengadilan berpendapat bahwa penghentian penuntutan

tersebut tidak sah maka hakim akan menyatakan bahwa SKP2 yang dikeluarkan

adalah tidak sah, dan memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan penuntutan.
Salah satu perkara yang pernah membatalkan SKP2 yang dikeluarkan oleh

penuntut umum adalah perkara praperadilan Pengadilan Negeri Bengkulu nomor

02/PID.PRA/2016/PN Bgl antara Irwansyah Siregar Bin Muktar Siregar Dkk vs Jaksa

Agung Republik Indonesia Cq. Kepala Kejasaan Tinggi Bengkulu Cq. Kepala

Kejaksaan Negeri Bengkulu yang diadili oleh hakim tunggal Suparman, SH, MH.
Perkara ini bermula ketika pada tanggal 18 Februari tahun 2004 pukul 19.00

WIB Novel bin Salim Baswedan menjadi Kasatreskrim Polresta Bengkulu bersama

anggotanya melakukan penangkapan terhadap Mulia Djohani alias Aan (korban),

Irwansyah Siregar bin Muktar Siregar, Dedi Nuryadi bin Alimudin, Rizal Sinurat bin

Abdul Roni Sinurat, Rusli alias Ali bin M. Rasyid, dan Doni Yefrizal Siregar bin

Abdul Rahman Siregar (selaku para tersangka pencuri sarang burung walet) di ruko

Sinar Makmur milik Liang Purnomo di Jalan S. Parman Kota Bengkulu.5


Setelah dilakukan penangkapan, pada pukul 20.00 WIB para tersangka dibawa

ke Polresta Bengkulu untuk proses penyidikan. Kemudian pukul 23.00 WIB Novel

selaku kasatreskrim bersama dengan Yuri Leonard Siahaan selaku Kanit I Satreskrim

5
Surat Dakwaan Terdakwa Novel Baswedan pada perkara Nomor 31/PID.B/2016/PN. Bgl
3
Polresta Bengkulu memerintahkan anggotanya yaitu Lazuardi Tanjung untuk

membawa para tersangka pencuri sarang burung walet tersebut turun dari lantai II

ruang Satreskrim Polresta Bengkulu untuk dinaikkan ke kendaraan operasional

Satreskrim Polresta Bengkulu berupa mobil Toyota Kijang Pick Up yang

dikemudikan oleh Budimansyah untuk kepentingan pengembangan kasus mencari

seseorang bernama DIMAS pelaku pencurian sarang burung walet yang melarikan

diri.
Selanjutnya anggota Satreskrim Polresta Bengkulu berdasarkan perintah dari

Novel melakukan pemborgolan, dimana 1 (satu) borgol untuk 2 (dua) orang yaitu

Irwansyah Siregar diborgol tangannya bersama dengan tangan Dedi Nuryadi, Rizal

Sinurat diborgol tangannya dengan tangan Mulia Djohani (Korban meninggal), Rusli

diborgol tangannya dengan tangan Doni Yefrizal Siregar, selanjutnya mereka

dinaikkan ke bak belakang kendaraan operasional Satreskrim Polresta Bengkulu.


Novel memerintahkan kepada anggotanya untuk menutup bak mobil tersebut

dengan terpal dan dijaga oleh M. Yulius Khausar, Lazuardi Tanjung, Bobi Eltarik

serta Arial Fikri, serta memerintahkan kepada anggotanya untuk mengikuti mobil

sedan putih yang didalamnya terdapat terdakwa dan Yuri Leonard Siahaan. Sesuai

perintah terdakwa, kendaraan berjalan beriringan yakni mobil sedan putih diikuti oleh

kendaraan operasional Satreskrim Polresta Bengkulu yang didalamnya terdapat para

tersangka pencuri sarang burung walet tersebut dan diikuti pula oleh sebuah mobil

Toyota Kijang yang dikemudikan oleh Arief Sembiring, akan tetapi iring-iringan

mobil tersebut bukan bertujuan melakukan pengembangan kasus melainkan

diarahkan oleh terdakwa ke Pantai Panjang Ujung Bengkulu.

4
Sesampainya di Pantai Panjang Ujung Bengkulu Novel dan Yuri Leonard

Siahaan memerintahkan anggotanya untuk menurunkan para pelaku pencurian, atas

perintah Novel tersebut selanjutnya Lazuardi Tanjung membawa enam tersangka

pencuri sarang burung wallet dan menyerahkannya kepada Novel yang saat itu

sedang bersama dengan Yuri Leonard Siahaan yang masing-masing memegang

senjata api jenis Revolver dalam posisi berdiri.


Di tempat ini kemudian Novel bersama-sama dengan Yuri Leonard Siahaan

melakukan penembakan terhadap enam tersangka pencuri burung walet tersebut

secara bergantian. Kemudian pada pukul 23.30 semua pelaku pencurian yang telah

ditembak diatas dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Bengkulu untuk dilakukan

pengobatan oleh Dr. Aminuddin Effendi Siregar. Sesuai dengan saran Dr. Aminuddin

bahwa Mulia Djohani alias Aan harus dirawat inap karena menderita pendarahan

yang sangat serius, namun Novel bersama Yuri Leonard Siahaan menolak saran

tersebut, dan menyatakan bahwa akan dilakukan pemeriksaan lanjutan di Polresta

Bengkulu untuk dilanjutkan penyidikannya.


Pada pukul 24.00 WIB ketika dilakukan pengambilan foto terhadap Mulia

Djohani alias Aan, Mulia Djohani aias Aan terjatuh telungkup dan tidak sadarkan diri.

Kemudian Aan dibawa ke RS. Bhayangkara Bengkulu untuk dilakukan tindakan

medis, namun pada pukul 00.40 WIB Mulia Djohani dinyatakan meninggal karena

pendarahan hebat akibat luka tembak.


Terkait peristiwa ini, Novel juga sudah menjalani pemeriksaan kode etik di

Mapolres Bengkulu dan Polda Bengkulu. Dari hasil pemeriksaan kode etik tersebut,

Novel dikenai sanksi berupa teguran. Setelah insiden itu, Novel masih dipercaya

sebagai Kasat Reskrim di Polres Bengkulu hingga Oktober 2005. Baru pada 2006

5
Novel bergabung dengan KPK sebagai penyidik. Namun, pada 2012, Polresta

Bengkulu menetapkan Novel sebagai tersangka dugaan penganiayaan terkait kasus

pencurian sarang burung walet.6


Pada pertengahan Februari 2015, Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi

Humas Polri Kombes (Pol) Rikwanto menyatakan bahwa Bareskrim Polri

melanjutkan pengusutan kasus Novel. Menurut Bareskrim, status tersangka Novel

tidak dicabut. Polri juga beralasan kasus hampir kadaluarsa jika tidak dilanjutkan.

Kemudian, pada 13 Februari 2015, Bareskrim memanggil Novel untuk diperiksa.

Namun, Novel tidak memenuhi panggilan Polisi tersebut. Bareskrim pun kembali

memanggil Novel untuk diperiksa pada 26 Februari 2015, namun Novel kembali

tidak memenuhi panggilan pemeriksaan yang dilayangkan Kepolisian.7


Pada hari Jumat, tanggal 1 Mei 2015 Novel ditangkap berdasarkan surat

perintah penangkapan dengan Nomor SP.Kap/19/IV/2015/Dittipidum. oleh pihak

kepolisian karena dinilai telah mangkir dua kali dari panggilan polisi dan kemudian

dilanjutkan untuk dilakukan penahanan.8 Pada tanggal 2 Mei 2015 penahanan Novel

ditangguhkan oleh pihak kepolisian dengan jaminan orang yakni lima pimpinan

KPK.9

Hampir sekitar enam bulan sejak penangguhan penahanan Novel, kasus ini

tidak muncul lagi ke permukaan publik. Sampai kemudian pada tanggal 29 Januari

2016 Kejaksaan Negeri Bengkulu melakukan pelimpahan berkas perkara ke PN


6
Icha Rastika, “Mengingat Kembali Kasus Novel Baswedan",
https://nasional.kompas.com/read/2015/05/01/10221061/Mengingat.Kembali.Kasus.Novel.Baswe
dan diakses pada tanggal 08 Oktober 2018
7
Ibid.
8
Ibid.
9
Rakhmatulloh, “Penahanan ditangguhkan, Novel Baswedan Kembali ke KPK”
https://nasional.sindonews.com/read/996498/13/penahanan-ditangguhkan-novel-baswedan-
kembali-ke-kpk-1430565186, diakses pada tanggal 08 Oktober 2018
6
Bengkulu dan diregister dengan nomor perkara 31/PID.B/2016/PN Bgl. Pada tanggal

1 Februari 2016 Ketua PN Bengkulu mengeluarkan surat penetapan majelis hakim

yang menangani perkara tersebut dan diikuti dengan penetapan sidang pertama yakni

tanggal 16 Februari 2016.

Namun dalam kasus ini, penuntut umum melakukan penarikan kembali berkas

dakwaan dari PN Bengkulu pada tanggal 5 Februari 2016 empat hari setelah ketua

majelis hakim yang menangani perkara tersebut mengeluarkan penetapan nomor

31/Pid.B/2016/PN Bg yang berisi bahwa jadwal sidang pertama pada tanggal 16

Februari 2016. 10

Namun disisi lain, setelah ditariknya berkas Novel dari PN Bengkulu dengan

alasan untuk disempurnakan, Kejaksaan Negeri Bengkulu mengeluarkan Surat

Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) bernomor: B-03/N.7.10/Ep.1/02/2016

pada tanggal 22 Februari 2016 karena kurangnya alat bukti dan kasus Novel sudah

daluwarsa pada tanggal 19 februari 2016.11

SKP2 ini kemudian dimohonkan Praperadilan oleh korban penganiayaan yang

dilakukan oleh Novel yakni Dedi Nuriadi dan dalam putusan Praperadilan Nomor

02/PID.PRA/2016/PN Bgl tanggal 31 maret 2016 yang diadili oleh hakim tunggal

Suparman dinyatakan bahwa SKP2 tersebut dinyatakan tidak sah, dan memerintahkan

10
Binsar Gultom, “Penghentian Penuntutan Kasus Novel Baswedan Cacat Hukum”,
http://harian.analisadaily.com/opini/news/penghentian-penuntutan-kasus-novel-baswedan-cacat-
hukum/218753/2016/03/03 diakses pada tanggal 08 Oktober 2018
11
Ambaranie Nadia Kemala Movanita, "Kejaksaan Hentikan Penuntutan Kasus Novel
Baswedan",https://nasional.kompas.com/read/2016/02/22/13392591/Kejaksaan.Hentikan.Penuntut
an.Kasus.Novel.Baswedan. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2018
7
kepada termohon (Kejaksaan Negeri Bengkulu) menyerahkan berkas perkara Novel

Baswedan kepada PN Bengkulu dan melanjutkan penuntutan perkara tersebut.12

Setelah perkara ini diputus maka secara otomatis menjadi putusan yang

berkekuatan hukum tetap, karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor

65/PUU-IX-2011 yang menghapus pemberian hak banding kepada penyidik dan

penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (2) KUHAP sehingga

terhadap putusan praperadilan tidak dapat lagi diajukan upaya hukum banding serta

adanya pasal 3 ayat (1) PERMA Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan

Kembali Putusan Praperadilan yang menyatakan bahwa Putusan Praperadilan tidak

dapat diajukan peninjauan kembali.

Namun hingga tulisan ini dibuat, Kejaksaan Negeri Bengkulu belum

melaksanakan putusan praperadilan ini tanpa adanya alasan yang jelas.

Pembangkangan Kejaksaan Negeri Bengkulu ini kemudian dapat berpotensi

dikategorikan sebagai pelecehan terhadap peradilan atau contempt of court, dimana

jaksa yang seharusnya berkewajiban menjadi pelaksana atas putusan/penetapan

pengadilan, namun tidak melaksanakan kewajibannya untuk melaksanakan putusan

pengadilan.

Suatu perbuatan yang tidak menaati perintah-perintah pengadilan (disobeying

court orders) dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk contempt of court. Oemar

Seno Adji menyebutkan bahwa disobeying court order umumnya terdiri atas

12
Saiful Munir, https://nasional.sindonews.com/read/1097504/13/skp2-dibatalkan-kpk-siap-
bantu-novel-baswedan-1459503591 diakses pada tanggal 08 Oktober 2018
8
perbuatan dari pihak lain daripada yang dimintakan, dituntut dari padanya, ataupun

tidak melakukan perbuatan apa yang diperintahkan ataupun diminta oleh suatu

proses tidak dalam kerangka “contempt of court”, khususnya yang mengenai bentuk

disobeying court order terdapa dalam KUHP suatu ketentuan pidana yang mungkin

dapat dikategorisir sebagai suatu tak pematuhan perintah dari pengadilan.13

Berdasarkan latar belakang inilah, penulis ingin mengkaji dan melakukan

pendalaman lebih lanjut terhadap persoalan ini dengan judul “TINJAUAN

YURIDIS TENTANG CONTEMPT OF COURT OLEH JAKSA PADA

KEJAKSAAN NEGERI BENGKULU DALAM PERKARA NOMOR

02/PID.PRA/2016/PN Bgl”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa

permasalahan untuk menjadi pedoman dalam pembahasan penulisan ini, antara lain

sebagai berikut:
1. Apakah perbuatan jaksa pada Kejaksaan Negeri Bengkulu yang tidak

melaksanakan putusan Preperadilan Nomor 02/PID.PRA/2016/PN.Bgl

dapat dikategorikan sebagai contempt of court ?


2. Apa sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap jaksa pada Kejaksaan

Negeri Bengkulu yang tidak melaksanakan putusan Praperadilan Nomor

02/PID.PRA/2016/PN.Bgl ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka dapat dibuat

rumusan tentang tujuan dari penelitian ini ialah:

13
Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji, Peradilan Bebas & Contempt of Court, Diadit Media,
Jakarta. 2007, hlm.287
9
1. Untuk mengetahui apakah perbuatan jaksa pada Kejaksaan Negeri

Bengkulu yang tidak melaksanakan putusan Preperadilan Nomor

02/PID.PRA/2016/PN.Bgl dapat dikategorikan sebagai contempt of court.


2. Untuk mengetahui apa sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap jaksa

pada Kejaksaan Negeri Bengkulu yang tidak melaksanakan putusan

Praperadilan Nomor 02/PID.PRA/2016/PN.Bgl.


D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis dari kegunaan penelitian ini adalah untuk memahami ruang

lingkup dari contempt of court, khususnya mengenai kajian yuridis dari kasus

tersebut. Sekaligus guna pengembangan dan kemajuan ilmu hukum, khususnya

hukum Pidana, sehingga dalam praktik pelaksanaan benar-benar memenuhi rasa

keadilan.
Kegunaan lain, untuk pemahaman penulis sesuai dengan disiplin ilmu yaitu

hukum pidana, sebab penulis melihat antara teori dan praktik pelaksanaannya sering

bertolak belakang. Dari kasus tersebut dapat diberikan gambaran jelas sekaligus

memberi manfaat dalam mempelajari hukum Pidana.


E. Tinjauan Pustaka
1. Hukum Pidana dan Tindak Pidana
Ada kesukaran untuk memberikan suatu batasan yang dapat mencakup seluruh

isi/aspek dari pengertian hukum pidana karena isi hukum pidana itu sangtlah luas dan

mencakup banyak segi, yang tidak mungkin untuk dimuat dalam suatu batasan

dengan suatu kalimat tertentu. Dalam memberikan batasan tentang pengertian hukum

pidana, biasanya hanya melihat dari satu atau beberapa sisi saja, sehingga selalu ada

sisi atau aspek tertentu dari hukum pidana yang tidak masuk, dan berada di luarnya.14
Walaupun dalam memberikan batasan tentang hukum pidana selalu ada aspek

hukum pidana yang berada di luarnya, namun demikian tetap berguna untuk terlebih

14
Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana 1, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm.1
10
dulu memberikan batasan tersebut. Faedah itu adalah dari batasan itu setidaknya

dapat memberikan gambaran awal tentang arti hukum pidana sebleum memahaminya

lebih jauh dan mendalam.15


Secara luas, Moeljatno mendefinisikan hukum pidana adalah bagian dari

keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan

mengatur ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang yang

disertai ancaman pidana bagi siapa yang melakukan. Kapan dan dalam hal apa kepada

mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan

cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan.16


Eddy hiariej mendefinisikan hukum pidana sebagai aturan hukum dari suatu

negara yang berdaulat, berisi perbuatan yang dilarang atau perbuatan yang

diperintahkan, disertai dengan sanksi pidana bagi yang melanggar atau yang tidak

mematuhi, kapan dan dalam hal apa sanksi pidana itu dijatuhkan dan bagaimana

pelaksanaan pidana tersebut yang pemberlakuannya dipaksakan oleh negara.

Pengertian demikian meliputi baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana

formil.17
Sementara itu, Adami Chazawi mendefinisikan hukum pidana dengan

melakukan klasifikasi atas garis-garis besar dalam hukum pidana dengan berpijak

pada kodifikasi sebagai sumber utama dan sumber pokok hukum pidana, hukum

pidana merupakan ketentuan-ketentuan tentang:


1. Aturan umum hukum pidana dan (yang dikaitkan/berhubungan dengan)

larangan melakukan perbuatan-perbuatan (aktif/positif maupun

15
Ibid.
16
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Yogyakarta, 2009, hlm.1
17
Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2009,
hlm.4
11
pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana

(straf) bagi yang melanggar larangan itu.


2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si

pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada

larangan perbuatan yang dilanggarnya.


3. Tindakan dan upaya-upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui

alat-alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim), terhadap yang

disangka dan didakwa sebagai pelanggar hukum pidana dalam rangka

usaha negara menentukan, menjatuhkan, dan melaksanakan sanksi pidana

terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus

dilakukan oleh tersangka/terdakwa pelanggar hukum tersebut dalam usaha

melindungi dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan negara dalam

upaya negara menegakkan hukum pidana tersebut.18


Hukum pidana yang mengandung aspek pertama dan kedua disebut dengan

hukum pidana materiil yang dapat juga disebut dengan hukum pidana abstrak dapat

pula disebut dengan hukum pidana dalam keadaan diam, yang sumber utamanya

adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sementara itu, hukum pidana

yang berisi/mengenai aspek ketiga disebut dengan hukum pidana formil atau disebut

juga dengan hukum pidana konkret atau hukum pidana dalam keadaan bergerak, yang

juga sering disebut dengan hukum acara pidana yang sumber pokoknya adalah

KUHAP.19
Dari berbagai pengertian hukum pidana di atas, dapat ditarik dua kesimpulan

penting20 :
18
Adami Chazawi, Loc, Cit., hlm.2
19
Ibid.
20
Eddy O.S Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2015, hlm.
16-17
12
1. Salah satu karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan bidang

hukum lainnya adalah sanksi pidana yang keberlakuannya dipaksakan oleh

negara. Dengan demikian hukum pidana adalah hukum publik karena

mengatur hubungan individu dengan negara.


2. Bahwa pengertian hukum pidana secara luas meliputi hukum pidana materiil

dan hukum pidana formil, sedangkan pengertian hukum pidana dalam arti

sempit hanya mencakup hukum pidana materiil. Dalam percakapan sehari-

hari maupun dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum, istilah ‘hukum

pidana’ yang dimaksud adalah hukum pidana materiil, sementara untuk

menyebut hukum pidana formil biasanya dikenal dengan istilah ‘Hukum

acara pidana’.
Untuk masuk dalam pengertian tindak pidana, perlu diketahui terlebih dahulu

bahwa dalam melakukan pembahasan mengenai hukum pidana materiil, ada tiga

topik pokok yang akan dibahas, pertama, tindak pidana atau perbuatan pidana, kedua,

pertanggungjawaban pidana, ketiga, pemidanaan. Dalam hal ini penulis hanya akan

menjelaskan definisi dari tindak pidana karena berkaitan erat dengan topik yang akan

penulis bahas dalam tesis ini.


Moeljatno mendefinisikan tindak pidana atau perbuatan pidana sebagai

perbuatan yang dilarang dalam undang-undang dan diancam dengan pidana

barangsiapa melanggar larangan itu.21 Kata ‘perbuatan’ dalam frasa ‘perbuatan

pidana’ menurut Noyon dan Langemeijer yang dikutip oleh Eddy Hiariej bahwa

perbuatan yang dimkasud dapat bersifat positif dan negative. Perbuatan bersifat

21
Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungan Jawab Dalam Hukum Pidana, Pidato
diucapkan pada upacara peringatan Dies Natalis ke VI Universitas Gadjah Mada, di Sitihinggil
Yogyakarta, pada tanggal 19 Desember 1955, hlm.17
13
positif berarti melakukan sesuatu, sedangkan perbuatan bersifat negative mengandung

arti tidak melakuan sesuatu. Tidak melakukan apa yang menjadi kewajibannya atau

tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan dikenal dengan istilah

omissions.22
Dalam pengertian perbuatan pidana tersebut di atas, Moeljatno sama sekali

tidak menyinggung mengenai kesalahan atau pertanggungjawaban pidana. Kesalahan

adalah faktor penentu pertanggungjawaban pidana karenanya tidak sepatutnya

menjadi bagian definisi perbuatan pidana. Masih menurut Moeljatno, pandangan yang

menyatukan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana adalah pandangan

monistis yang dianggapnya kuno.23


Selanjutnya secara tegas dinyatakan oleh Moeljatno, “apakah inkonkreto, yang

melakukan perbuatan pidana tadi sungguh-sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu

sudah di luar arti perbuatan pidana”24 Pandangan Moeljatno yang memisahkan

antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana dikenal dengan pandangan

dualistis.
Berdasarkan definsi yang dibuat oleh Moeljatno, maka dapat dirumuskan

elemen-elemen dari perbuatan pidana adalah sebagai berikut25:


1. Perbuatan yang terdiri dari kelakuan dan akibat
2. Hal Ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
4. Unsur melawan hukum yang objektif
5. Unsur melawan hukum yang subjektif
Elemen-elemen perbuatan pidana yang dikemukakan Moeljatno dikritik oleh

Eddy Hiariej karena ketika Moeljatni menjelaskan mengenai pengertian perbuatan

22
Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip……, Op. Cit., hlm. 122
23
Ibid.
24
Chairul Huda, Dari tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban
Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Meida, Jakarta, 2006, hlm.27
25
Moeljatno, Asas-Asas…., Op, Cit., hlm.69
14
pidana, Moeljatno memisahkan secara tegas antara perbuatan pidana dan

pertanggungjawaban pdiana. Akan tetapi, ketika berbicara menganai elemen-elemen

perbuatan pidana, Moeljatno memasukkan subjektif onrechtselement sebagai salah

satu elemen. Menurut pendapat Eddy, berbicara mengenai subjektif onrechtselement,

pada hakikatnya berbicara mengenai sikap batin atau niat atau mensrea pelaku yang

merupakan dasar pertanggungjawaban pidana. Tegasnya, pendapat Moeljatno

mengenai elemen-elemen perbuatan pidana, telah memadukan antara perbuatan

pidana dan pertanggungjawaban pidana.26


Eddy Hiariej mengutip Schaffmeister, Keijzer, dan Sutorius menyebutkan

bahwa elemen-elemen perbuatan pidana terdiri dari memenuhi unsur delik, melawan

hukum dan dapat dicela. Pendapat yang demikian juga dikemukakan oleh Pompe

yang menyatakan, “Het strafbare feit ….. een gedraging zijn met drie algemene

eigenschapen…. wederrechtelijk, aan schuld te wijten en strafbaar” (Perbuatan

pidana….. suatu kelakuan dengan tiga hal sebagai suatu kesatuan…. melawan

hukum, kesalahan yang dapat dicela dan dapat dipidana).27


Bila dilihat dari elemen-elemen perbuatan pidana yang dikemukakan oleh

Schaffmeister, Keijzer, Sutorius dan Pompe, maka dapat disimpulkan bahwa elemen

memenuhi unsur delik identic dengan perbuatan itu sendiri, sedangkan gabungan

elemen dapat dicela melahirkan pertanggungjawaban pidana.28


2. Kejaksaan Republik Indonesia
Membicarakan tentang penuntutan tentu tidak dapat terlepas dari kejaksaan

selaku lembaga pemerintahan yang berwenang untuk membuat surat dakwaan. Di

dalam pasal 2 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

26
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip……, Op, Cit., hlm,128
27
Ibid.
28
Ibid.
15
Indonesia disebutkan bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam

Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang

melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain

berdasarkan undang-undang.”. Suatu lembaga pemerintahan pasti memiliki jabatan-

jabatan tertentu di dalamnya yang berfungsi untuk menjalankam lembaga tersebut.


Dalam institusi Kejaksaan terdapat dua istilah yang seringkali dijumpai, pertama,

terkait dengan istilah jaksa dan kedua, terkait dengan istilah penuntut umum. Pasal 1

angka 6 KUHAP mengatur bahwa:


a) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak

sebagi penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.


b) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang undang-undang ini untuk

melakukan penuntutan dalan melaksanakan penetapan hakim.


Dari batasan tersebut diatas dapat disebutkan bahwa pengertian “jaksa”

dihubungkan dengan aspek jabatan sedangkan pengertian “Penuntut umum”

berhubungan dengan aspek “fungsi” dalam melakukan suatu penuntutan dalam

persidangan.29 Selaku lembaga yang menjalankan “fungsi penuntutan, berdasarkan

ketentuan pasal 14 KUHAP, pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2004 Penuntut Umum mempunyai tugas dan kewenangan dalam proses pidana

untuk melakukan penuntutan dan juga menutup perkara demi kepentingan hukum;
Pasal 1 angka 7 KUHAP menyatakan bahwa “Penuntutan adalah tindakan

penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang

berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan

permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.” Secara

29
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi,
dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm.24
16
singkat penuntutan itu sendiri adalah kegiatan melimpahkan perkara pidana ke

pengadilan.
Dalam hal penyidikan dianggap lengkap dan selesai sesuai dengan

pemberitahuan dari penuntut umum yang menyatakan berkas perkara telah lengkap

dari penyidik telah dinyatakan lengkap atau apabila tenggang waktu 14 hari sejak

tanggap penerimaan berkas, penuntut umum tidak menyampaikan pernyataan apa-apa

dan tidak pula mengembalikan berkas kepada penyidik, terhitung sejak waktu

tersebut dengan sendirinya menurut hukum30:


 Penyerahan berkas perkara sudah sah dan sempurna beralih kepada penuntut

umum tanpa memerlukan cara dan prosedur apa-apa lagi


 Dengan sendirinya terjadilah penyerahan “tanggung jawab hukum” atas seluruh

berkas perkara yang bersangkutan dari tangan penyidik kepada penuntut umum.
Setelah kewenangan yuridis beralih kepada penuntut umum, maka tanggung

jawab hukum atas berkas perkara, tersangka dan segala barang bukti atau benda

sitaan beralih ke tangan penuntut umum. Sesuai dengan pasal 140 ayat (1) KUHAP

dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan

penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Namun dalam hal

menurut penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak

cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana atau perkara ditutup

demi hukum, maka penuntut umum harus mengeluarkan Surat Keterangan

Penghentian Penuntutan. (pasal 140 ayat (2) butir a KUHAP)


Akan tetapi, tidak semua berkas perkara hasil penyidikan yang sudah lengkap

adalah memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke Pengadilan. Misalanya, berkas

perkara hasil penyidikan yang sudah lengkap, tetapi tersangkanya meninggal dunia

30
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penunututan, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm.359-360
17
(Pasal 77 KUHP) atau hak menuntut telah gugur kadaluwarsa (lewat

waktu/verjaring/lost by limitation) berdasarkan pasal 78 KUHP atau karena

tersangkanya tidak dapat dituntut/diadili untuk yang kedua kalinya/nebis in idem.31


Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP menyatakan bahwa, “Dalam hal penuntut

umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup

bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara

ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat

ketetapan”. Dalam ketiga hal yang disebut dalam pasal 140 ayat (2) (tidak cukup

bukti, bukan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum) perkaranya tidak perlu

dilimpahkan ke Pengadilan. Penuntut umum akan memutuskan penghentian

penuntutan dengan cara perkara tersebut ditutup demi hukum dan dituangkan dalam

bentuk Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) sesuai dengan pasal 140 ayat

(2) KUHAP. 32
Mengenai wewenang penuntut umum untuk menutup perkara demi hukum

seperti tersebut dalam pasal 140 ayat (2) huruf a pedoman pelaksanaan KUHAP

memberi penjelasan bahwa “perkaranya ditutup demi hukum” diartikan sesuai dengan

buku I KUHP Bab VIII tentang hapusnya hak menuntut tersebut dalam pasal 76, 77,

dan 78 KUHP (non bis in idem, terdakwa meninggal dan lewat waktu)33
Selain ketiga hal yang diatur dalam pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, pasal 8

UU No.15/1961 tentang UU Pokok Kejaksaan jo. pasal 35 huruf c UU Nomor

16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia memberikan kewenangan kepada

31
H.M.A. Kuffal, Hukum Acara Pidana Indonesia, Saptha Artha Jaya, jakarta,1996, hlm.124
32
Ibid.
33
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2017, hlm.163
18
Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, atau yang

lazim disebut dengan Seponering.


Bidang Penuntutan Departemen Kehakiman RI memberi penjelasan mengenai

perbedaan antara perkara yang ditutup demi hukum (140 ayat (2) huruf a KUHAP)

dengan perkara yang dikesampingkan demi hukum (Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan

Republik Indonesia), bahwa arti dari “menutup perkara” yang ada pada hak

kewenangan Penuntut Umum adalah dalam hal-hal sebagai berikut34:


1. Pengertian perkara ditutup demi hukum oleh penuntut umum sebagaimana

dimaksud pasal 140 ayat (2) huruf a adalah lain dengan pengertian perkara

dikesampingkan demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung, sebagaimana tersebut

dalam pasal 8 UU No.15/1961 tentang UU Pokok Kejaksaan;


2. Perkara dikesampingkan demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung, penuntut

umum tidak berwenang untuk mengadakan penuntutan terhadap tersangka dalam

perkara yang disebut dikemudian hari: artinya terhadap perkara yang telah

dikesampingkan demi kepentingan umum tersebut. Adanya perkara

dikesampingkan demi kepentingan umum adalah merupakan perwujudan dari Asas

Oportunitas yang dianut oleh hukum positif di negara kita dan satu-satunya pejabat

yang berwenang melakukannya adalah Jaksa Agung;


3. Sedangkan perkara ditutup demi hukum adalah merupakan salah satu

kewenangan penuntut umum sebagaimana tersebut dalam pasal 14 dari hal itu

dilakukan antara lain oleh karena perkara tersebut tidak cukup bukti untuk

dilakukan atau peristiwa tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana dan

sebagainya.

34
R. Achmad S. Soemadi Pradja, Surat Dakwaan, Sinar Baru, Bandung 1985, hlm.45-46
19
Terhadap perkara yang ditutup demi kepentingan hukum tidak menutup kemungkinan

bagi penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap tersangka apabila

kemudian ada alasan baru (perhatikan penjelasan resmi pasal 140 ayat (2) huruf d).

3. Praperadilan

Praperadilan merupakan hal baru dalam dunia peradilan Indonesia. Praperadilan

merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan KUHAP di tengah-tengah

kehidupan penegakan hukum. Praperadilan dalam KUHAP, ditempatkan dalam bab

X, bagian Kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi

Pengadilan Negeri.35

Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan lembaga

pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang

mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana.

Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya36:

- berada dan merupakan kasatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan

sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri

sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri,

- dengan demikian, Praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun

sejajar dengan Pengadilan Negeri, tapi hanya merupakan divisi dari

Pengadilan Negeri,

35
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemerksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 1
36
Ibid.
20
- administratif yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan

Pengadilan Negeri, dan berada dibawah pimpinan serta pengawasan dan

pembinaan Ketua Pengadilan Negeri,

- tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi Pengadilan

Negeri itu sendiri.

Tugas praperadilan di Indonesia terbatas. Dalam pasal 78 yang berhubungan

dengan pasal 77 KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan wewenang pengadilan

negeri memeriksa dan memutus tentang berikut:

a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan.

b. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya

dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan, adalah praperadilan.

Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua

pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.

Wewenang praperadilan bertambah setelah adanya putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dan PERMA Nomor 4 Tahun 2016 yang

memperluas kewenagan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal

77 huruf a KUHAP menjadi tidak hanya sebatas pada sah tidaknya penangkapan,

penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan; tetapi termasuk juga sah

tidaknya penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan.

21
Dalam pasal 79,80,81 KUHAP diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga

hal pokok, yaitu sebagai berikut:

a. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan

atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada

ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

b. Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian

penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut

umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan

negeri dengan menyebutkan alasannya.

c. Permintaan ganti kerugian dan atau rehabiitasi akibat tidak sahnya

penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan

atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang

berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebut

alasannya

Dalam penjelasan undang-undang, hanya pasal 80 yang diberi komentar, yaitu

bahwa pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran

melalui sarana pengawasan secara horizontal. Sebenarnya pasal 80 KUHAP itu

kueang tepat dalam perumusannya, karena yang dapat mengajukan permintaan

pemeriksaan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan ialah

penyidik, atau penuntut umum atau pihak ketiga. Andi Hamzah berpendapat bahwa

sesuai dengan jiwa penjelasan pasal tersebut maka penyidik dapat mengajukan

22
permintaan pemeriksaan dalam hal sah atau tidaknya suatu penghentian penuntutan,

dan sebaliknya penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan dalam hal

sah atau tidaknya penghentian penyidikan.37

Di dalam pasal 83 KUHAP putusan praperadilan dalam hal sebagaimana

dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat dimintakan banding,

namun dikecualikan untuk putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya

penghentian penyidikan atau penuntutan yang dapat dimintakan putusan akhir ke

pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Namun, pasal ini telah

dibatlakan oleh MK melalui putusannya nomor 65/PUU-IX/2011 yang menghapus

pemberian hak banding kepada penyidik dan penuntut umum sebagaimana dalam

pasal 83 ayat (2) KUHAP sehingga terhadap putusan praperadilan tidak dapat lagi

diajukan upaya hukum banding.

Putusan praperadilan juga tidak dapat diajukan upaya hukum peninjauan

kembali, hal ini diatur dalam pasal 3 ayat (1) PERMA Nomor 4 tahun 2016 yang

menyatakan bahwa putusan praperadilan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.

Sehingga setiap putusan praperadilan yang telah dibacakan maka menjadi putusan

yang final dan mengikat, karena tidak ada upaya hukum biasa ataupun luar biasa yang

dapat merubah putusan tersebut.

4. Pelecehan Terhadap Lembaga Peradilan / Contempt Of Court

37
Andi Hamzah, Op, Cit., hlm.190
23
Secara historis contempt of court dikenal dalam common law system atau case

law. Tradisi contempt of court lahir, tumbuh dan berkembang melalui paham pada

abad pertengahan korelasi dengan bentuk kerajaan Inggris sehingga contempt of

court dipandang identic sebagai contempt of the King. Hakikatnya, aturan contempt

of court berasal dari doktrin pure streams of justice.38

Dikaji dari perspektif etimologis dan harfiah contempt of court terdiri atas kata

contempt yang diartikan sebagai melanggar, menghina, memandang rendah. Secara

singkat dapat dikatakan bahwa contempt of court merupakan upaya untuk melanggar,

menghina, memandang rendah pengadilan. Kata contempt dalam bahasa Inggris

mengandung 5 arti, yaitu:

1. Lack of respect accompanied by a feeling of intense dislike (noin,


feeling);
2. A manner that is generally disrespectful and contemptuous (noun,
attribute);
3. Open disrespect for a person or thing. (noun, communication);
4. A willful disobedience to a disrespect for the authority of a court or
legislative body (non, act);
5. The act of contemning or despising; the feeling with which one
regards that which is esteerned mean, vile, or worthlessm disdain,
scorn (noun).39
Pada negara Indonesia, terminologi dan pengertian contempt of court dari

perspektif peraturan perundang-undangan pertama kali terdapat dalam butir empat

alinea keempat Penjelasan Umum UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

38
Lilik Mulyadi & Budi Suharyanto, Contempt of Court di Indonesia Urgensi, Norma, Praktik,
Gagasan & Masalahnya, Penerbit Alumni, Bandung, 2016, hlm.77
39
Ibid.
24
Agung. Akan tetapi, sebenarnya ide pembentukan contempt of court telah dimulai

tahun 1978 dalam konferensi Ketua-Ketua Mahkamah Agung se Asia Pasifik, dan

kemudian berlanjut tahun 1986, IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) menyelenggarakan

Rapat Kerja Nasional dengan salah satu topik bahasannya contempt of court.40

Pada konteks di atas. Khusus dari perspektif butir empat aline keempat

Penjelasan Umum UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, pengertian

contempt of court merupakan segala perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan

yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan

badan peradilan.

Dengan adanya klausula seperti perbuatan, tingkah laku dst. yang dapat

merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan

peradilan, apakah hanya ketentuan demikian sudah cukup ? Ternyata hal demikian

belum tentas, oleh karena memang oleh Undang-Undang No.14 Tahun 1985

disyaratkan adanya undang-undang tersendiri (khusus) tentang contempt of court.

Dengan demikian belum ada definisi yang dapat diterima umum apakah sebenarnya

yang menjadi patokan sehingga suatu delik dapat dimasukkan ke dalam delik

contempt of court. Oleh karenanya pada saat ini kiranya lebih tepat masih

memperhatikan atau mempergunakan delik-delik yang ada dalam KUHP sebagai

suatu delik dapat dikategorikan sebagai delik terhadap penyelenggaran peradilan atau

contempt of court.41

40
Ibid.
41
Andi Hamzah & Bambang Waluyo, Delik-Delik Terhadap Penyelenggaraan Peradilan
(Contempt Of Court), Sinar Grafika, Jakarta, 1989, hlm.12
25
Pada umumnya contempt of court diklasifikasi dalam dua bentuk yaitu civil

contempt dan criminal contempt. Pembagian yang demikian juga didasarkan atas

sebuah sikap terkait secara langsung (direct contempts) atau tak langsung (indirect

contemots) suatu perbuatan contempt of court. Tegasnya perbedaan tersebut tida

berkorelasi dengan jenis sanksi (straafsort) karena baik civil contempt maupun

criminal contempt sama-sama diancam dengan sanksi pidana (penjara atau denda),

tetapi pembedaannya didasarkan kepada jenis perbuatan yang dilakukan oleh pelaku

contempt of court (contemdor).42

Direct contempt dikualifikasi berdasarkan keberlangsungannya, yaitu saat pelaku

ada di dalam dan di luar persidangan atau di dalam dan di sekitar pengadilan.

Sedangkan indirect contempt dikualifikasi atas ketaklangsungannya melakukan

contenmpt of court, dengan kata lain tidak dalam atau saat persidangan dan tidak di

lingkungan sekitar pengadilan tetapi sikap dan perbuatannya yang di luar pengadilan

tersebut baik secara aktif maupun pasif merendahkan atau menentang kekuasaan

kehakiman, semisal tidak menaati atau melaksanakan putusan pengadilan.43

Uraian diatas menyebutkan adanya pembedaaan contempt of court menjadi

criminal contempt dan civil contempt. Criminal contempt merupakan perbuatan yang

tidak menghormati pengadilan atau acaranya atau yang menghalangi

penyelenggaraan peradilan atau cenderung untuk menyebabkan pengadilan tidak

dihormati. Sedangkan civil contempt bukanlah delik terhadap martabat pengadilan,

tetapi terhadap pihak yang mendapat kuasa dari pengadilanm dan kepada pelaku
42
Lilik Mulyadi & Budi Suharyanto, Loc. Cit., hlm.116
43
Ibid.
26
dikenakan denda sebagai ganti kerugian, Untuk criminal contempt adalah delik-delik

dan kerugian terhadap pengadilan dapat dikenakan denda atau penjara terhadap

pembuatnya sebagai pidana.44

Oemar Seno Adji membuat klasifikasi suatu perbuatan dapat dikatakan contempt

of court, yakni suatu perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan, yang semuanya

berasal dari pengembangan kasus dan doktrin yang meliputi sub judice rule (usaha

untuk mempengaruhi hasil dari suatu pemeriksaan pengadilan), disobeying a court

order (tidak mematuhi perintah pengadilan), scandalizing in court (skandal dalam

peradilan), dan misbehaving in court (tidak berkelakuan baik dalam peradilan, baik

melalui sikap atau ucapannya).45

Delik terhadap penyelenggaraan peradilan sebenarnya mempunyai cakupan yang

lebih luas, disbanding contempt of court (ansich). Oleh karena bukan hanya

penghinaan yang dilakukan pada saat dimulai sidang berlangsung, tetapi meliputi

segala pelanggaran dalam proses peradilan (office against the administration of

justice). Dapat saja penghinaan terjadi pada tahap penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan bahkan pada saat pelaksanaan putusan pengadilan

(eksekusi). Dan ternyata di dalam KUHP kita sudah banyak diatur mengenai delik-

delik yang berkaitan dengan penyelenggaraan peradilan.46

Andi Hamzah menyatakan bahwa ahli hukum Indonesia telah ada upaya untuk

mengumpulkan delik-delik contempt of court yang tersebar di KUHP, mengingat

44
Andi Hamzah & Bambang Waluyo, Loc, Cit., hlm.14
45
Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji, Loc, Cit., hlm.104
46
Andi Hamzah & Bambang Waluyo, Loc. Cit., hlm.14
27
Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur tentang contempt of

court, salah satunya adalah H. Haris, SH. (mantan staf ahli Jaksa Agung RI) yang

menggolongkan pasal-pasal sebagai berikut merupakan bagian dari delik contempt of

court dalam KUHP47:

1. Pasal 210: menyuap hakim.


2. Pasal 216: dengan sengaja tidak menuruti perintah pejabat menurut
undang-undang.
3. Pasal 221: menyembunyikan orang yang melakukan kejahatan.
4. Pasal 222: menghalangi pemeriksaan mayat.
5. Pasal 223: melepaskan/memberi pertolongan meloloskan diri orang yang
ditahan oleh penguasa umum.
6. Pasal 224: tidak memenuhi panggilan hakim sebagai saksi, ahli atau juru
bahasa menurut undang-undang.
7. Pasal 225: tidak menyerahkan surat yang dianggap palsu.
8. Pasal 242 ayat (1): memberi keterangan palsu.
9. Pasal 220: laporan palsu.
10. Pasal 231: menarik barang dari sitaan,
11. Pasal 232: merusak segel.
12. Pasal 233: menghancurkan, merusak barang bukti dst.
13. Pasal 317: pengaduan fitnah.
14. Pasal 417: menghilangkan dst. akta, surat, daftar-daftar yang dikuasainya
karena jabatan
15. Pasal 522: dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa tidak dating
secara melawan hukum.
Andi Hamzah mengkritik H. Haris, SH. Yang tidak memasukan pasal 217 KUHP

tentang perbuatan yang menimbulkan kegaduhan di sidang pengadilan. Padahal

47
Ibid. hlm.16
28
menurutnya, pasal 217 KUHP tersebut dapat digolongkan sebagai delik terhadap

penyelenggaraan peradilan sebagaimana KUHP asing memandang sebagai

demikian.48

Memperhatikan beberapa pasal KUHP yang dapat dikualifikasikan sebagai delik

mengenai penyelenggaraan peradilan, dapat disimpulkan bahwa telah cukup bnayak

delik-delik di dalam KUHP yang dapat digolongkan sebagai demikian. Delik-delik

yang merupakan delik terhadap penyelenggaraan peradilan itu termuat dan tersebar di

antara beberapa bab, teteapi jika dilihat dari sistematia KUHP kita adalah sudah baik

sebagaimana kita meneruskan sistem Wetboek van Straftrecht (Wvs).

F. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu masalah yang dihadapi dan

perlu diuji kebenarannya dengan data yang lebih lengkap dan menunjang. Penelitian

ini dilakukan untuk mengetahui perbuatan contempt of court oleh jaksa pada

kejaksaan negeri bengkulu dalam perkara praperadilan nomor 02/pid.pra/2016/PN

Bgl.
Hipotesis dari penelitian ini:
Ho: Perbuatan jaksa pada Kejaksaan Negeri Bengkulu yang tidak mau melaksanakan

putusan Praperadilan nomor 02/PID.PRA/2016/PN Bgl tidak dapat dikategorikan

sebagai contempt of court.


H1 : Perbuatan jaksa pada Kejaksaan Negeri Bengkulu yang tidak mau melaksanakan

putusan Praperadilan nomor 02/PID.PRA/2016/PN Bgl dapat dikategorikan sebagai

contempt of court.
G. Metode Penelitian
1. Objek Penelitian
48
Ibid. hlm.16

29
a. Perbuatan jaksa pada Kejaksaan Negeri Bengkulu yang tidak

melaksanankan putusan Praperadilan Nomor 02/PID.PRA/2016/PN Bgl.


b. Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan pada jaksa yang tidak melaksanankan

putusan Praperadilan Nomor 02/PID.PRA/2016/PN Bgl.


2. Subyek Penelitian
Yang ditujukan sebagai subyek penelitian adalah mereka yang terlibat

langsung dalam penanganan perkara Praperadilan Nomor 02/PID.PRA/2016/PN

Bgl. Adapun alasan penunjukan subyek tersebut karena dianggap mempunyai

pengetahuan. Sebab mereka yang terlibat menagani perkara ini.


a. Kepala Kejaksaan Negeri Bengkulu ( I Made Sudarmawan, SH.)
b. Penasihat hukum pemohon ( Yuliswan, SH,MH; Abdul Gani, SH, MH;

Johnson Panjaitan, SH, Luciana Lovinda, SH)


c. Hakim tunggal pada perkara ini (Suparman, SH, MH.)
3. Sumber Data Penelitian
a. Data Primer
Berupa bahan hukum yang bersifat autoritatif berupa peraturan perundang-

undangan. Dalam penelitian ini meliputi:


1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP)


3. Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik

Indonesia
4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan

Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan


b. Data Sekunder
Merupakan data yang diperoleh dari studi kepustakaan (buku-buku, Undang-

Undang, makalah dan jurnal hukum), studi dokumen (putusan pengadilan),

data-data berupa informasi (media cetak, elektronik dan internet) serta segala

sesuatu yang dapat dijadikan sebagai bahan hukum permasalah penelitian ini

termasuk juga hasil wawancara dengan para responden yaitu hakim tunggal

30
pada perkara nomor 02/PID.PRA/2016/PN Bgl, kuasa hukum pemohon dan

jaksa pada Kejaksaan Negeri Bengkulu dimana hasil dari wawancara tersebut

kemudian dituangkan dalam bentuk narasi.


c. Data Tersier
Merupakan sumber data yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan sekunder. Dalam penelitian ini berupa Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Kamus Hukum, dan Kamus Inggris Indonesia.


4. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Mengajukan pertanyaan secara langsung untuk melengkapi beberapa

keterangan yang diperoleh secara tertulis.


b. Studi Pustaka
Data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, buku-buku

literature, karangan ilmiah, serta dokumen yang ada hubungannya dengan

judul tesis.
5. Teknik Sampling
Purposive Sampling atau Sampel Bertujuan
Dilakukan dengan cara mengambil subyek bukan didasarkan atas strata

daerah, tapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Dengan memperhatikan

yakni karakteristik yang merupakan pokok populasi. Sampel yang diambil

merupakan subyek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat

dalam populasi dan melakukan dengan cermat.


6. Metode Pendekatan
Berdasarkan obyek penelitian maka peneliti menggunakan pendekatan yuridis

normatif dan yuridis sosiologis, artinya bahwa dalam meninjau dan membahas

obyek penelitian selain menitikberatkan pada aspek yuridisnya juga berdasarkan

uraian, pandangan atau sikap penegak hukum terhadap berlakunya suatu hukum

dalam kehidupan masyarakat.


7. Analisis Data

31
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif

kualitatif, cara analisa tersebut menempatkan masalah yang akan dikaji

yuridisknya terhadap perbuatan contempt of court. Sehingga menggunakan

penguraian kalimat dalam membahas data-data yang diperoleh dari hasil

penelitian, baik mengenai yuridis normative maupun yuridis sosiologis.


H. Sistematika Penulisan
Agar penulis tesis ini dapat dipahami dan mudah dimengerti oleh para

pembaca, maka tesis ini disusun secara sistematis. Adapun perincian

sistematikanya akan penulis sajikan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai latar belakang

dilakukannya penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan metode

penelitian.

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA


Dalam bab ini penulis akan menguraikan pendalaman teori mengenai Hukum

Pidana dan Tindak Pidana, teori Kejaksaan Republik Indoensia, teori

praperadilan dan konsep contempt of court di Indonesia.


BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini penulis akan melakukan analisa terhadap rumusan masalah yang telah

dirumuskan dalam bab pertama, yakni meliputi analisis perbuatan jaksa pada

Kejaksaan Negeri Bengkulu yang tidak melaksanakan putusan Praperadilan

nomor 02/PID.PRA/2016/PN Bgl masuk dalam kualifikasi contempt of court

atau tidak dan sanksi pidana yang dapat dikenakan pada jaksa yang tidak

melaksanakan putusan praperadilan nomor 02/PID.PRA/2016/PN Bgl.


BAB IV: PENUTUP

32
Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian ini dan bab yang merupakan

penutup yang berisi simpulan dari rumusan masalah dalam penelitian ini

sebagaimana yang diurai dalam pembahasan bab ketiga. Selain berisi simpulan,

bab empat juga berisi saran yang diberikan oleh peneliti terkait dengan objek

penelitian.

I. Daftar Pustaka
Buku:
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2017
Andi Hamzah & Bambang Waluyo, Delik-Delik Terhadap Penyelenggaraan
Peradilan (Contempt Of Court), Sinar Grafika, Jakarta, 1989
Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana 1, Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2014
Chairul Huda, Dari tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis
Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana, Kencana Prenada Meida, Jakarta, 2006
Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Erlangga,
Jakarta, 2009
Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2015
H.M.A. Kuffal, Hukum Acara Pidana Indonesia, Saptha Artha Jaya, jakarta,1996
Lilik Mulyadi & Budi Suharyanto, Contempt of Court di Indonesia Urgensi,
Norma, Praktik, Gagasan & Masalahnya, Penerbit Alumni, Bandung,
2016
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat
Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996
Marcus Priyo Gunarto dan Wahyu Sudrajat, Dekonstruksi Putusan Bebas &
Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2018
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Yogyakarta, 2009
Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji, Peradilan Bebas & Contempt of
Court, Diadit Media, Jakarta. 2007
R. Achmad S. Soemadi Pradja, Surat Dakwaan, Sinar Baru, Bandung, 1985
Syaiful Bakhri, Sitem Peradilan Pidana Indonesia Dalam perspektif pembaruan,
teori, dan praktik peradilan, Pusataka Pelajar, Yogyakarta, 2015
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan
Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2002

33
______________ Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan
KUHAP Penyidikan dan Penunututan, Sinar Grafika, Jakarta, 2014
Peraturan perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 Tentang Larangan
Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan
Putusan Pengadilan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX-2011
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
Putusan Preperadilan Nomor 02/PID.PRA/2016/PN.Bgl
Website:
Ambaranie Nadia Kemala Movanita, "Kejaksaan Hentikan Penuntutan Kasus
NovelBaswedan",
https://nasional.kompas.com/read/2016/02/22/13392591/Kejaksaan.Hentikan.
Penuntutan.Kasus.Novel.Baswedan
Binsar Gultom, “Penghentian Penuntutan Kasus Novel Baswedan Cacat
Hukum”, http://harian.analisadaily.com/opini/news/penghentian-penuntutan-
kasus-novel-baswedan-cacat-hukum/218753/2016/03/03
Icha Rastika, “Mengingat Kembali Kasus Novel Baswedan",
https://nasional.kompas.com/read/2015/05/01/10221061/Mengingat.Kembali.
Kasus.Novel.Baswedan
Rakhmatulloh, “Penahanan ditangguhkan, Novel Baswedan Kembali ke
KPK”, https://nasional.sindonews.com/read/996498/13/penahanan-
ditangguhkan-novel-baswedan-kembali-ke-kpk-1430565186
Saiful Munir, https://nasional.sindonews.com/read/1097504/13/skp2-
dibatalkan-kpk-siap- bantu-novel-baswedan-1459503591

34
Lampiran
RENCANA SUMBER BIAYA PENELITIAN

Nomor Peruntukan Biaya

1 Biaya rental dan print tesis Rp.100.000

2 Fotocopy sumber-sumber pustaka Rp.100.000

3 Fotocopy perbanyak tesis Rp.75.000

4 Compact Disk Rp.10.000

5 Izin Penelitian Rp.50.000

6 Transportasi Penelitian ke Bengkulu Rp.3.000.000

7 Print Rp.50.000

8 Penjilidan Rp.10.000

Total Rp.3.395.000

35

Anda mungkin juga menyukai