Oleh:
SEPTIAN DWI RIADI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelum adanya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), dalam Penjelasan Tentang Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia dinyatakan Indonesia ialah negara yang
berdasar atas hukum (rechtstaat). Hal itu semakin dikukuhkan ketika dalam
perubahan ketiga UUD NRI 1945 tertib pasal 1 ayat (3) yang menyatakan Negara
pada posisi yang strategis di dalam konstelasi ketatanegaraan, Ungkapan bahasa latin
“Quid sine leges moribus” yang bermakna apalah artinya suatu hukum jika tidak
didukung oleh perilaku yang baik dari masyarakatnya. Oleh karena itu, perlu adanya
berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara demi mewujudkan ketertiban dan
kepastian hukum yang berorientasi pada keadilan. Secara khusus penegakan hukum
dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan di dalam sistem peradilan (pidana) yang
bersifat preventif, represif dan edukatif. Penegakan hukum merupakan bagian dari
1
Marcus Priyo Gunarto dan Wahyu Sudrajat, Dekonstruksi Putusan Bebas & Putusan Lepas Dari
Segala Tuntutan Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2018, hlm. 1
2
Eddy O.S. Hiariej, Hukum Acara Pidana, Universitas Terbuka, Tangerang Selatan, 2015, hlm.1
1
pembangunan hukum yang merupakan komponen integral dari pembangunan
nasional.3
Dalam hal menegakan dan mewujudkan kepastian hukum, tindakan dari aparatur
penegak hukum harus diatur secara formal dalam bentuk suatu peraturan undang-
undang agar tindakannya tidak menyalahi aturan dan merampas Hak Asasi Manusia
(HAM). Jika penerapan hukum dilakukan tidak hati-hati, tergesa-gesa, penuh amarah
dan sewenang-wenang maka akan kontra produktif bagi ketertiban dan kesejahteraan
umat manusia.4 Dalam konteks ini, Indonesia telah memiliki aturan penegakan hukum
Acara Pidana (KUHAP). Dalam aturan ini diatur secara spesifik mengenai prosedur
hukum pidana.
Salah satu hal yang diatur dalam KUHAP adalah adanya lembaga praperadilan
yang berada dalam ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri.
Lembaga ini memiliki wewenang yang diatur dalam pasal 77-83 KUHAP. Salah satu
wewenang yang diatur dalam pasal 77 huruf a KUHAP bahwa lembaga ini dapat
menentukan sah atau tidaknya suatu penghentian penuntutan yang dilakukan oleh
dapat saja memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara
ditutup demi hukum. Dalam hal penuntut umum akan menghentikan suatu penuntutan
3
Ibid.
4
Syaiful Bakhri, Sitem Peradilan Pidana Indonesia Dalam perspektif pembaruan, teori, dan
praktik peradilan, Pusataka Pelajar, Yogyakarta, 2015, hlm.9
2
maka hal tersbut harus dtuangkan dalam bentuk surat ketetapan penghentian
penuntutan (SKP2)
Pasal 80 KUHAP mengatur dalam hal ada pihak yang merasa dirugikan karena
tersebut tidak sah maka hakim akan menyatakan bahwa SKP2 yang dikeluarkan
adalah tidak sah, dan memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan penuntutan.
Salah satu perkara yang pernah membatalkan SKP2 yang dikeluarkan oleh
02/PID.PRA/2016/PN Bgl antara Irwansyah Siregar Bin Muktar Siregar Dkk vs Jaksa
Agung Republik Indonesia Cq. Kepala Kejasaan Tinggi Bengkulu Cq. Kepala
Kejaksaan Negeri Bengkulu yang diadili oleh hakim tunggal Suparman, SH, MH.
Perkara ini bermula ketika pada tanggal 18 Februari tahun 2004 pukul 19.00
WIB Novel bin Salim Baswedan menjadi Kasatreskrim Polresta Bengkulu bersama
Irwansyah Siregar bin Muktar Siregar, Dedi Nuryadi bin Alimudin, Rizal Sinurat bin
Abdul Roni Sinurat, Rusli alias Ali bin M. Rasyid, dan Doni Yefrizal Siregar bin
Abdul Rahman Siregar (selaku para tersangka pencuri sarang burung walet) di ruko
ke Polresta Bengkulu untuk proses penyidikan. Kemudian pukul 23.00 WIB Novel
selaku kasatreskrim bersama dengan Yuri Leonard Siahaan selaku Kanit I Satreskrim
5
Surat Dakwaan Terdakwa Novel Baswedan pada perkara Nomor 31/PID.B/2016/PN. Bgl
3
Polresta Bengkulu memerintahkan anggotanya yaitu Lazuardi Tanjung untuk
membawa para tersangka pencuri sarang burung walet tersebut turun dari lantai II
seseorang bernama DIMAS pelaku pencurian sarang burung walet yang melarikan
diri.
Selanjutnya anggota Satreskrim Polresta Bengkulu berdasarkan perintah dari
Novel melakukan pemborgolan, dimana 1 (satu) borgol untuk 2 (dua) orang yaitu
Irwansyah Siregar diborgol tangannya bersama dengan tangan Dedi Nuryadi, Rizal
Sinurat diborgol tangannya dengan tangan Mulia Djohani (Korban meninggal), Rusli
dengan terpal dan dijaga oleh M. Yulius Khausar, Lazuardi Tanjung, Bobi Eltarik
serta Arial Fikri, serta memerintahkan kepada anggotanya untuk mengikuti mobil
sedan putih yang didalamnya terdapat terdakwa dan Yuri Leonard Siahaan. Sesuai
perintah terdakwa, kendaraan berjalan beriringan yakni mobil sedan putih diikuti oleh
tersangka pencuri sarang burung walet tersebut dan diikuti pula oleh sebuah mobil
Toyota Kijang yang dikemudikan oleh Arief Sembiring, akan tetapi iring-iringan
4
Sesampainya di Pantai Panjang Ujung Bengkulu Novel dan Yuri Leonard
pencuri sarang burung wallet dan menyerahkannya kepada Novel yang saat itu
secara bergantian. Kemudian pada pukul 23.30 semua pelaku pencurian yang telah
pengobatan oleh Dr. Aminuddin Effendi Siregar. Sesuai dengan saran Dr. Aminuddin
bahwa Mulia Djohani alias Aan harus dirawat inap karena menderita pendarahan
yang sangat serius, namun Novel bersama Yuri Leonard Siahaan menolak saran
Djohani alias Aan, Mulia Djohani aias Aan terjatuh telungkup dan tidak sadarkan diri.
medis, namun pada pukul 00.40 WIB Mulia Djohani dinyatakan meninggal karena
Mapolres Bengkulu dan Polda Bengkulu. Dari hasil pemeriksaan kode etik tersebut,
Novel dikenai sanksi berupa teguran. Setelah insiden itu, Novel masih dipercaya
sebagai Kasat Reskrim di Polres Bengkulu hingga Oktober 2005. Baru pada 2006
5
Novel bergabung dengan KPK sebagai penyidik. Namun, pada 2012, Polresta
tidak dicabut. Polri juga beralasan kasus hampir kadaluarsa jika tidak dilanjutkan.
Namun, Novel tidak memenuhi panggilan Polisi tersebut. Bareskrim pun kembali
memanggil Novel untuk diperiksa pada 26 Februari 2015, namun Novel kembali
kepolisian karena dinilai telah mangkir dua kali dari panggilan polisi dan kemudian
dilanjutkan untuk dilakukan penahanan.8 Pada tanggal 2 Mei 2015 penahanan Novel
ditangguhkan oleh pihak kepolisian dengan jaminan orang yakni lima pimpinan
KPK.9
Hampir sekitar enam bulan sejak penangguhan penahanan Novel, kasus ini
tidak muncul lagi ke permukaan publik. Sampai kemudian pada tanggal 29 Januari
yang menangani perkara tersebut dan diikuti dengan penetapan sidang pertama yakni
Namun dalam kasus ini, penuntut umum melakukan penarikan kembali berkas
dakwaan dari PN Bengkulu pada tanggal 5 Februari 2016 empat hari setelah ketua
Februari 2016. 10
Namun disisi lain, setelah ditariknya berkas Novel dari PN Bengkulu dengan
pada tanggal 22 Februari 2016 karena kurangnya alat bukti dan kasus Novel sudah
dilakukan oleh Novel yakni Dedi Nuriadi dan dalam putusan Praperadilan Nomor
02/PID.PRA/2016/PN Bgl tanggal 31 maret 2016 yang diadili oleh hakim tunggal
Suparman dinyatakan bahwa SKP2 tersebut dinyatakan tidak sah, dan memerintahkan
10
Binsar Gultom, “Penghentian Penuntutan Kasus Novel Baswedan Cacat Hukum”,
http://harian.analisadaily.com/opini/news/penghentian-penuntutan-kasus-novel-baswedan-cacat-
hukum/218753/2016/03/03 diakses pada tanggal 08 Oktober 2018
11
Ambaranie Nadia Kemala Movanita, "Kejaksaan Hentikan Penuntutan Kasus Novel
Baswedan",https://nasional.kompas.com/read/2016/02/22/13392591/Kejaksaan.Hentikan.Penuntut
an.Kasus.Novel.Baswedan. Diakses pada tanggal 08 Oktober 2018
7
kepada termohon (Kejaksaan Negeri Bengkulu) menyerahkan berkas perkara Novel
Setelah perkara ini diputus maka secara otomatis menjadi putusan yang
berkekuatan hukum tetap, karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor
penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (2) KUHAP sehingga
terhadap putusan praperadilan tidak dapat lagi diajukan upaya hukum banding serta
adanya pasal 3 ayat (1) PERMA Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan
pengadilan.
court orders) dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk contempt of court. Oemar
Seno Adji menyebutkan bahwa disobeying court order umumnya terdiri atas
12
Saiful Munir, https://nasional.sindonews.com/read/1097504/13/skp2-dibatalkan-kpk-siap-
bantu-novel-baswedan-1459503591 diakses pada tanggal 08 Oktober 2018
8
perbuatan dari pihak lain daripada yang dimintakan, dituntut dari padanya, ataupun
tidak melakukan perbuatan apa yang diperintahkan ataupun diminta oleh suatu
proses tidak dalam kerangka “contempt of court”, khususnya yang mengenai bentuk
disobeying court order terdapa dalam KUHP suatu ketentuan pidana yang mungkin
02/PID.PRA/2016/PN Bgl”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan untuk menjadi pedoman dalam pembahasan penulisan ini, antara lain
sebagai berikut:
1. Apakah perbuatan jaksa pada Kejaksaan Negeri Bengkulu yang tidak
02/PID.PRA/2016/PN.Bgl ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka dapat dibuat
13
Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji, Peradilan Bebas & Contempt of Court, Diadit Media,
Jakarta. 2007, hlm.287
9
1. Untuk mengetahui apakah perbuatan jaksa pada Kejaksaan Negeri
lingkup dari contempt of court, khususnya mengenai kajian yuridis dari kasus
keadilan.
Kegunaan lain, untuk pemahaman penulis sesuai dengan disiplin ilmu yaitu
hukum pidana, sebab penulis melihat antara teori dan praktik pelaksanaannya sering
bertolak belakang. Dari kasus tersebut dapat diberikan gambaran jelas sekaligus
isi/aspek dari pengertian hukum pidana karena isi hukum pidana itu sangtlah luas dan
mencakup banyak segi, yang tidak mungkin untuk dimuat dalam suatu batasan
dengan suatu kalimat tertentu. Dalam memberikan batasan tentang pengertian hukum
pidana, biasanya hanya melihat dari satu atau beberapa sisi saja, sehingga selalu ada
sisi atau aspek tertentu dari hukum pidana yang tidak masuk, dan berada di luarnya.14
Walaupun dalam memberikan batasan tentang hukum pidana selalu ada aspek
hukum pidana yang berada di luarnya, namun demikian tetap berguna untuk terlebih
14
Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana 1, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm.1
10
dulu memberikan batasan tersebut. Faedah itu adalah dari batasan itu setidaknya
dapat memberikan gambaran awal tentang arti hukum pidana sebleum memahaminya
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan
mengatur ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dilarang yang
disertai ancaman pidana bagi siapa yang melakukan. Kapan dan dalam hal apa kepada
mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan
negara yang berdaulat, berisi perbuatan yang dilarang atau perbuatan yang
diperintahkan, disertai dengan sanksi pidana bagi yang melanggar atau yang tidak
mematuhi, kapan dan dalam hal apa sanksi pidana itu dijatuhkan dan bagaimana
Pengertian demikian meliputi baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana
formil.17
Sementara itu, Adami Chazawi mendefinisikan hukum pidana dengan
melakukan klasifikasi atas garis-garis besar dalam hukum pidana dengan berpijak
pada kodifikasi sebagai sumber utama dan sumber pokok hukum pidana, hukum
15
Ibid.
16
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Yogyakarta, 2009, hlm.1
17
Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2009,
hlm.4
11
pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana
terhadap dirinya, serta tindakan dan upaya-upaya yang boleh dan harus
hukum pidana materiil yang dapat juga disebut dengan hukum pidana abstrak dapat
pula disebut dengan hukum pidana dalam keadaan diam, yang sumber utamanya
adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sementara itu, hukum pidana
yang berisi/mengenai aspek ketiga disebut dengan hukum pidana formil atau disebut
juga dengan hukum pidana konkret atau hukum pidana dalam keadaan bergerak, yang
juga sering disebut dengan hukum acara pidana yang sumber pokoknya adalah
KUHAP.19
Dari berbagai pengertian hukum pidana di atas, dapat ditarik dua kesimpulan
penting20 :
18
Adami Chazawi, Loc, Cit., hlm.2
19
Ibid.
20
Eddy O.S Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2015, hlm.
16-17
12
1. Salah satu karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan bidang
dan hukum pidana formil, sedangkan pengertian hukum pidana dalam arti
acara pidana’.
Untuk masuk dalam pengertian tindak pidana, perlu diketahui terlebih dahulu
bahwa dalam melakukan pembahasan mengenai hukum pidana materiil, ada tiga
topik pokok yang akan dibahas, pertama, tindak pidana atau perbuatan pidana, kedua,
pertanggungjawaban pidana, ketiga, pemidanaan. Dalam hal ini penulis hanya akan
menjelaskan definisi dari tindak pidana karena berkaitan erat dengan topik yang akan
pidana’ menurut Noyon dan Langemeijer yang dikutip oleh Eddy Hiariej bahwa
perbuatan yang dimkasud dapat bersifat positif dan negative. Perbuatan bersifat
21
Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungan Jawab Dalam Hukum Pidana, Pidato
diucapkan pada upacara peringatan Dies Natalis ke VI Universitas Gadjah Mada, di Sitihinggil
Yogyakarta, pada tanggal 19 Desember 1955, hlm.17
13
positif berarti melakukan sesuatu, sedangkan perbuatan bersifat negative mengandung
arti tidak melakuan sesuatu. Tidak melakukan apa yang menjadi kewajibannya atau
omissions.22
Dalam pengertian perbuatan pidana tersebut di atas, Moeljatno sama sekali
menjadi bagian definisi perbuatan pidana. Masih menurut Moeljatno, pandangan yang
melakukan perbuatan pidana tadi sungguh-sungguh dijatuhi pidana atau tidak, itu
dualistis.
Berdasarkan definsi yang dibuat oleh Moeljatno, maka dapat dirumuskan
22
Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip……, Op. Cit., hlm. 122
23
Ibid.
24
Chairul Huda, Dari tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban
Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana, Kencana Prenada Meida, Jakarta, 2006, hlm.27
25
Moeljatno, Asas-Asas…., Op, Cit., hlm.69
14
pidana, Moeljatno memisahkan secara tegas antara perbuatan pidana dan
pada hakikatnya berbicara mengenai sikap batin atau niat atau mensrea pelaku yang
bahwa elemen-elemen perbuatan pidana terdiri dari memenuhi unsur delik, melawan
hukum dan dapat dicela. Pendapat yang demikian juga dikemukakan oleh Pompe
yang menyatakan, “Het strafbare feit ….. een gedraging zijn met drie algemene
pidana….. suatu kelakuan dengan tiga hal sebagai suatu kesatuan…. melawan
Schaffmeister, Keijzer, Sutorius dan Pompe, maka dapat disimpulkan bahwa elemen
memenuhi unsur delik identic dengan perbuatan itu sendiri, sedangkan gabungan
dalam pasal 2 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
26
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-prinsip……, Op, Cit., hlm,128
27
Ibid.
28
Ibid.
15
Indonesia disebutkan bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam
terkait dengan istilah jaksa dan kedua, terkait dengan istilah penuntut umum. Pasal 1
Tahun 2004 Penuntut Umum mempunyai tugas dan kewenangan dalam proses pidana
untuk melakukan penuntutan dan juga menutup perkara demi kepentingan hukum;
Pasal 1 angka 7 KUHAP menyatakan bahwa “Penuntutan adalah tindakan
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.” Secara
29
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi,
dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm.24
16
singkat penuntutan itu sendiri adalah kegiatan melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan.
Dalam hal penyidikan dianggap lengkap dan selesai sesuai dengan
pemberitahuan dari penuntut umum yang menyatakan berkas perkara telah lengkap
dari penyidik telah dinyatakan lengkap atau apabila tenggang waktu 14 hari sejak
dan tidak pula mengembalikan berkas kepada penyidik, terhitung sejak waktu
berkas perkara yang bersangkutan dari tangan penyidik kepada penuntut umum.
Setelah kewenangan yuridis beralih kepada penuntut umum, maka tanggung
jawab hukum atas berkas perkara, tersangka dan segala barang bukti atau benda
sitaan beralih ke tangan penuntut umum. Sesuai dengan pasal 140 ayat (1) KUHAP
dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan
penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Namun dalam hal
cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana atau perkara ditutup
perkara hasil penyidikan yang sudah lengkap, tetapi tersangkanya meninggal dunia
30
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penunututan, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm.359-360
17
(Pasal 77 KUHP) atau hak menuntut telah gugur kadaluwarsa (lewat
bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara
ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat
ketetapan”. Dalam ketiga hal yang disebut dalam pasal 140 ayat (2) (tidak cukup
bukti, bukan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum) perkaranya tidak perlu
penuntutan dengan cara perkara tersebut ditutup demi hukum dan dituangkan dalam
bentuk Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) sesuai dengan pasal 140 ayat
(2) KUHAP. 32
Mengenai wewenang penuntut umum untuk menutup perkara demi hukum
seperti tersebut dalam pasal 140 ayat (2) huruf a pedoman pelaksanaan KUHAP
memberi penjelasan bahwa “perkaranya ditutup demi hukum” diartikan sesuai dengan
buku I KUHP Bab VIII tentang hapusnya hak menuntut tersebut dalam pasal 76, 77,
dan 78 KUHP (non bis in idem, terdakwa meninggal dan lewat waktu)33
Selain ketiga hal yang diatur dalam pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, pasal 8
31
H.M.A. Kuffal, Hukum Acara Pidana Indonesia, Saptha Artha Jaya, jakarta,1996, hlm.124
32
Ibid.
33
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2017, hlm.163
18
Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum, atau yang
perbedaan antara perkara yang ditutup demi hukum (140 ayat (2) huruf a KUHAP)
Republik Indonesia), bahwa arti dari “menutup perkara” yang ada pada hak
dimaksud pasal 140 ayat (2) huruf a adalah lain dengan pengertian perkara
perkara yang disebut dikemudian hari: artinya terhadap perkara yang telah
Oportunitas yang dianut oleh hukum positif di negara kita dan satu-satunya pejabat
kewenangan penuntut umum sebagaimana tersebut dalam pasal 14 dari hal itu
dilakukan antara lain oleh karena perkara tersebut tidak cukup bukti untuk
dilakukan atau peristiwa tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana dan
sebagainya.
34
R. Achmad S. Soemadi Pradja, Surat Dakwaan, Sinar Baru, Bandung 1985, hlm.45-46
19
Terhadap perkara yang ditutup demi kepentingan hukum tidak menutup kemungkinan
kemudian ada alasan baru (perhatikan penjelasan resmi pasal 140 ayat (2) huruf d).
3. Praperadilan
X, bagian Kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi
Pengadilan Negeri.35
Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan lembaga
pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang
mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana.
- berada dan merupakan kasatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan
Pengadilan Negeri,
35
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Pemerksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 1
36
Ibid.
20
- administratif yustisial, personil, peralatan, dan finansial bersatu dengan
penghentian penuntutan.
77 huruf a KUHAP menjadi tidak hanya sebatas pada sah tidaknya penangkapan,
21
Dalam pasal 79,80,81 KUHAP diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga
alasannya
bahwa pasal ini bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran
pemeriksaan sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan ialah
penyidik, atau penuntut umum atau pihak ketiga. Andi Hamzah berpendapat bahwa
sesuai dengan jiwa penjelasan pasal tersebut maka penyidik dapat mengajukan
22
permintaan pemeriksaan dalam hal sah atau tidaknya suatu penghentian penuntutan,
dan sebaliknya penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan dalam hal
dimaksud dalam pasal 79, pasal 80 dan pasal 81 tidak dapat dimintakan banding,
pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan. Namun, pasal ini telah
pemberian hak banding kepada penyidik dan penuntut umum sebagaimana dalam
pasal 83 ayat (2) KUHAP sehingga terhadap putusan praperadilan tidak dapat lagi
kembali, hal ini diatur dalam pasal 3 ayat (1) PERMA Nomor 4 tahun 2016 yang
Sehingga setiap putusan praperadilan yang telah dibacakan maka menjadi putusan
yang final dan mengikat, karena tidak ada upaya hukum biasa ataupun luar biasa yang
37
Andi Hamzah, Op, Cit., hlm.190
23
Secara historis contempt of court dikenal dalam common law system atau case
law. Tradisi contempt of court lahir, tumbuh dan berkembang melalui paham pada
court dipandang identic sebagai contempt of the King. Hakikatnya, aturan contempt
Dikaji dari perspektif etimologis dan harfiah contempt of court terdiri atas kata
singkat dapat dikatakan bahwa contempt of court merupakan upaya untuk melanggar,
38
Lilik Mulyadi & Budi Suharyanto, Contempt of Court di Indonesia Urgensi, Norma, Praktik,
Gagasan & Masalahnya, Penerbit Alumni, Bandung, 2016, hlm.77
39
Ibid.
24
Agung. Akan tetapi, sebenarnya ide pembentukan contempt of court telah dimulai
tahun 1978 dalam konferensi Ketua-Ketua Mahkamah Agung se Asia Pasifik, dan
Rapat Kerja Nasional dengan salah satu topik bahasannya contempt of court.40
Pada konteks di atas. Khusus dari perspektif butir empat aline keempat
contempt of court merupakan segala perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan
badan peradilan.
Dengan adanya klausula seperti perbuatan, tingkah laku dst. yang dapat
peradilan, apakah hanya ketentuan demikian sudah cukup ? Ternyata hal demikian
belum tentas, oleh karena memang oleh Undang-Undang No.14 Tahun 1985
Dengan demikian belum ada definisi yang dapat diterima umum apakah sebenarnya
yang menjadi patokan sehingga suatu delik dapat dimasukkan ke dalam delik
contempt of court. Oleh karenanya pada saat ini kiranya lebih tepat masih
suatu delik dapat dikategorikan sebagai delik terhadap penyelenggaran peradilan atau
contempt of court.41
40
Ibid.
41
Andi Hamzah & Bambang Waluyo, Delik-Delik Terhadap Penyelenggaraan Peradilan
(Contempt Of Court), Sinar Grafika, Jakarta, 1989, hlm.12
25
Pada umumnya contempt of court diklasifikasi dalam dua bentuk yaitu civil
contempt dan criminal contempt. Pembagian yang demikian juga didasarkan atas
sebuah sikap terkait secara langsung (direct contempts) atau tak langsung (indirect
berkorelasi dengan jenis sanksi (straafsort) karena baik civil contempt maupun
criminal contempt sama-sama diancam dengan sanksi pidana (penjara atau denda),
tetapi pembedaannya didasarkan kepada jenis perbuatan yang dilakukan oleh pelaku
ada di dalam dan di luar persidangan atau di dalam dan di sekitar pengadilan.
contenmpt of court, dengan kata lain tidak dalam atau saat persidangan dan tidak di
lingkungan sekitar pengadilan tetapi sikap dan perbuatannya yang di luar pengadilan
tersebut baik secara aktif maupun pasif merendahkan atau menentang kekuasaan
criminal contempt dan civil contempt. Criminal contempt merupakan perbuatan yang
tetapi terhadap pihak yang mendapat kuasa dari pengadilanm dan kepada pelaku
42
Lilik Mulyadi & Budi Suharyanto, Loc. Cit., hlm.116
43
Ibid.
26
dikenakan denda sebagai ganti kerugian, Untuk criminal contempt adalah delik-delik
dan kerugian terhadap pengadilan dapat dikenakan denda atau penjara terhadap
Oemar Seno Adji membuat klasifikasi suatu perbuatan dapat dikatakan contempt
of court, yakni suatu perbuatan, tingkah laku, sikap dan atau ucapan, yang semuanya
berasal dari pengembangan kasus dan doktrin yang meliputi sub judice rule (usaha
peradilan), dan misbehaving in court (tidak berkelakuan baik dalam peradilan, baik
lebih luas, disbanding contempt of court (ansich). Oleh karena bukan hanya
penghinaan yang dilakukan pada saat dimulai sidang berlangsung, tetapi meliputi
justice). Dapat saja penghinaan terjadi pada tahap penyidikan, penuntutan, dan
(eksekusi). Dan ternyata di dalam KUHP kita sudah banyak diatur mengenai delik-
Andi Hamzah menyatakan bahwa ahli hukum Indonesia telah ada upaya untuk
44
Andi Hamzah & Bambang Waluyo, Loc, Cit., hlm.14
45
Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji, Loc, Cit., hlm.104
46
Andi Hamzah & Bambang Waluyo, Loc. Cit., hlm.14
27
Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur tentang contempt of
court, salah satunya adalah H. Haris, SH. (mantan staf ahli Jaksa Agung RI) yang
47
Ibid. hlm.16
28
menurutnya, pasal 217 KUHP tersebut dapat digolongkan sebagai delik terhadap
demikian.48
yang merupakan delik terhadap penyelenggaraan peradilan itu termuat dan tersebar di
antara beberapa bab, teteapi jika dilihat dari sistematia KUHP kita adalah sudah baik
F. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu masalah yang dihadapi dan
perlu diuji kebenarannya dengan data yang lebih lengkap dan menunjang. Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui perbuatan contempt of court oleh jaksa pada
Bgl.
Hipotesis dari penelitian ini:
Ho: Perbuatan jaksa pada Kejaksaan Negeri Bengkulu yang tidak mau melaksanakan
contempt of court.
G. Metode Penelitian
1. Objek Penelitian
48
Ibid. hlm.16
29
a. Perbuatan jaksa pada Kejaksaan Negeri Bengkulu yang tidak
Indonesia
4. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan
data-data berupa informasi (media cetak, elektronik dan internet) serta segala
sesuatu yang dapat dijadikan sebagai bahan hukum permasalah penelitian ini
termasuk juga hasil wawancara dengan para responden yaitu hakim tunggal
30
pada perkara nomor 02/PID.PRA/2016/PN Bgl, kuasa hukum pemohon dan
jaksa pada Kejaksaan Negeri Bengkulu dimana hasil dari wawancara tersebut
primer dan sekunder. Dalam penelitian ini berupa Kamus Besar Bahasa
judul tesis.
5. Teknik Sampling
Purposive Sampling atau Sampel Bertujuan
Dilakukan dengan cara mengambil subyek bukan didasarkan atas strata
normatif dan yuridis sosiologis, artinya bahwa dalam meninjau dan membahas
uraian, pandangan atau sikap penegak hukum terhadap berlakunya suatu hukum
31
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisa deskriptif
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai latar belakang
penelitian.
dirumuskan dalam bab pertama, yakni meliputi analisis perbuatan jaksa pada
atau tidak dan sanksi pidana yang dapat dikenakan pada jaksa yang tidak
32
Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian ini dan bab yang merupakan
penutup yang berisi simpulan dari rumusan masalah dalam penelitian ini
sebagaimana yang diurai dalam pembahasan bab ketiga. Selain berisi simpulan,
bab empat juga berisi saran yang diberikan oleh peneliti terkait dengan objek
penelitian.
I. Daftar Pustaka
Buku:
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2017
Andi Hamzah & Bambang Waluyo, Delik-Delik Terhadap Penyelenggaraan
Peradilan (Contempt Of Court), Sinar Grafika, Jakarta, 1989
Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana 1, Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2014
Chairul Huda, Dari tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis
Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana, Kencana Prenada Meida, Jakarta, 2006
Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Erlangga,
Jakarta, 2009
Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2015
H.M.A. Kuffal, Hukum Acara Pidana Indonesia, Saptha Artha Jaya, jakarta,1996
Lilik Mulyadi & Budi Suharyanto, Contempt of Court di Indonesia Urgensi,
Norma, Praktik, Gagasan & Masalahnya, Penerbit Alumni, Bandung,
2016
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat
Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1996
Marcus Priyo Gunarto dan Wahyu Sudrajat, Dekonstruksi Putusan Bebas &
Putusan Lepas Dari Segala Tuntutan Hukum, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2018
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Yogyakarta, 2009
Oemar Seno Adji dan Indriyanto Seno Adji, Peradilan Bebas & Contempt of
Court, Diadit Media, Jakarta. 2007
R. Achmad S. Soemadi Pradja, Surat Dakwaan, Sinar Baru, Bandung, 1985
Syaiful Bakhri, Sitem Peradilan Pidana Indonesia Dalam perspektif pembaruan,
teori, dan praktik peradilan, Pusataka Pelajar, Yogyakarta, 2015
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan
Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2002
33
______________ Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan
KUHAP Penyidikan dan Penunututan, Sinar Grafika, Jakarta, 2014
Peraturan perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 Tentang Larangan
Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan
Putusan Pengadilan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX-2011
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
Putusan Preperadilan Nomor 02/PID.PRA/2016/PN.Bgl
Website:
Ambaranie Nadia Kemala Movanita, "Kejaksaan Hentikan Penuntutan Kasus
NovelBaswedan",
https://nasional.kompas.com/read/2016/02/22/13392591/Kejaksaan.Hentikan.
Penuntutan.Kasus.Novel.Baswedan
Binsar Gultom, “Penghentian Penuntutan Kasus Novel Baswedan Cacat
Hukum”, http://harian.analisadaily.com/opini/news/penghentian-penuntutan-
kasus-novel-baswedan-cacat-hukum/218753/2016/03/03
Icha Rastika, “Mengingat Kembali Kasus Novel Baswedan",
https://nasional.kompas.com/read/2015/05/01/10221061/Mengingat.Kembali.
Kasus.Novel.Baswedan
Rakhmatulloh, “Penahanan ditangguhkan, Novel Baswedan Kembali ke
KPK”, https://nasional.sindonews.com/read/996498/13/penahanan-
ditangguhkan-novel-baswedan-kembali-ke-kpk-1430565186
Saiful Munir, https://nasional.sindonews.com/read/1097504/13/skp2-
dibatalkan-kpk-siap- bantu-novel-baswedan-1459503591
34
Lampiran
RENCANA SUMBER BIAYA PENELITIAN
7 Print Rp.50.000
8 Penjilidan Rp.10.000
Total Rp.3.395.000
35