Anda di halaman 1dari 5

NAME : VINKA ANGGRAENI

STUDENT ID : 017201800036
SUBJECT : CRIMINAL PROCEDURE LAW

Legal Opinion : Kasus Salah Tangkap Pengamen Cipulir

A. Kasus Posisi

1. Pada 30 Juni 2013 bertempat di jembatan layang Cipulir, Saat itu ada empat dari enam
pengamen yang merupakan anak dibawah umur, yakni Fatahillah, Arga Putra Samosir
alias Ucok, Bagus Firdaus alias Pau, dan Fikri Pribadi. Dan dua pengamen yang terhitung
sudah dewasa yaitu Andro Supriyanto dan Nurdin Prianto. Yang kemudian keenam
pengamen tersebut melaporkan penemuan mayat ke sekuriti setempat yang selanjutnya
dilaporkan ke polisi.

2. Tidak lama setelah dilaporkannya penemuan mayat itu, keenam pengamen tersebut di
datangi polisi dari Polda Metro Jaya untuk dijadikan saksi atas penemuan mayat di kolong
jembatan Cipulir yang diduga bahwa korban adalah seorang pengamen yang bernama
Diki.

3. Keenam pengamen tersebut dijadikan saksi yang selidiki secara terpisah karena
perbedaan usia.

4. Saat proses investigasi berlangsung, polisi dikabarkan melakukan kekerasan dan


penganiayaan terhadap pengamen tersebut. hal itu dilakukan untuk membuat pengamen
tersebut mengakui atas tindakan yang tidak mereka lakukan.

5. Fikri cs ( Fikri, Pau, Fatahillah dan Ucok), dituduh telah membunuh pengamen tersebut
karena telah merebut lapak untuk mengamen dan karena sikap korban (Diki) yang tidak
sopan sehingga membuat kelompok Fikri cs geram sehingga membunuhnya
menggunakan pisau lipat.

6. Dikeluarkannya hasil visum pada 5 Juli 2013, membuat mereka terancam pidana pasal 170
ayat (2) ke-3 KUHP.

7. Pada 10 oktober 2013 Fikri cs dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta
Selatan karena melakukan tindak pidana “pembunuhan yang dilakukan secara bersama-
sama”, sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam pasal 338 juncto pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP dengan pidana penjara yang terpisah : Fikri dijatuhkan pidana empat
tahun penjara, Fatahillah tiga tahun enam bulan, Ucok dan Pau tiga tahun. Sementara itu
masih tetap dilakukan pemeriksaan perkara terhadap Andro dan Nurdin.

8. Kemudian pada 28 Oktober 2013, Fikri cs mengajukan hak banding yang diajukan jaksa
penuntut umum. Akan tetapi Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menguatkan putusan PN
Jakarta Selatan Yang mengajukan banding tersebut.

9. Pada tanggal 23 Desember 2013 Fikri cs mencoba mengajukan kasasi ke Mahkamah


Agung

10. Pada tanggal 16 Januari 2014 Andro dan Nurdin diputuskan bersalah dan dijatuhkan
pidana penjara masing-masing selama tujuh tahun. Mereka akhirnya meminta banding ke
PT Jakarta.

11. Pada 14 Feruari 2014 Permohonan kasasi Fikri cs diumumkan telah ditolak Mahkamah
Agung dengan alasan sudah lewat batas tenggat waktu yang ditentukan yakni 14 hari dari
pengumuman hasil banding yang ditentukan, yakni 14 hari dari pengumuman hasil banding
yakni pada 3 Desember 2013.

12. Pada 5 Maret 2014, Pengadilan Tinggi Jakarta membebaskan Nurdin dan Andro dari
semua dakwaan dengan menimbang pernyataan lima saksi, salah satunya bernama Iyan
Pribadi yang merupakan teman pelaku pembunuh Dicky. Berdasarkan keterangan Iyan
menjelaskan bahwa pelaku sebenarnya yang telah membunuh korban ialah bernama
Chaerudin Hamzah alias Brengos dan Jubai. Iyan menuturkan bahwa dirinya bersama
brengos dan Jubai telah merencanakan pembunuhan itu untuk merampas motor Mio Soul
milik Dicky. Namun yang melakukan pembunuhan terhadap Dicky ialah Jubai.

13. Pada 6 April 2015 Fikri cs memohon agar Mahkamah Agung melakukan peninjauan
kembali dengan adanya novum yang dapat membuktikan bahwa para terpidana bukanlah
pelaku pembunuhan yang sebenarnya, yang berdasarkarn pasal 263 ayat (2) huruf a
KUHAP mengatur salah satu alasan untuk mengajukan peninjauan kembali apabila
terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat.

14. Bukti- bukti tersebut diantaranya adalah beberapa video, audio rekaman dan screenshot
pengakuan dari saksi pelaku yang sebenarnya yaitu Iyan Pribadi dalam persidangan
dewasa. Mereka juga menyertakan bukti pertentangan keterangan BAP (Badan Acara
Pemerikasaan) polisi dengan fakta yang terungkap dalam persidangan. Keterangan Iyan
Pribadi tertera dalam salinan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
1273/Pid.B/2013/Pn.Jkt.Sel (bukti permohonan PK-1) dan Putusan Nomor
50/PID/2014/PT.DKI (bukti permohonan PK-2)
Hal ini tercantum dalam putusan MA yang berisi :
“.. seluruh keterangan dalam BAP tersebut diberikan para saksi dan para terdakwa di
bawah intimidasi, penyiksaan, tidak ada pendampingan kuasa hukum, sehingga
keterangan tersebut terpaksa dikarang dan tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya,
yang mana hal ini telah disampaikan di hadapan persidangan ketika mereka mencabut
keterangan dalam BAP polisi tersebut.”
Menimbang bukti tersebut dan juga kekeliruan hakim Mahkamah Agung, yang mana
ternyata permohonan Fikri cs baru diketahui terpidana 10 Desember 2013. Sehingga
seharusnya pada waktu itu permohonan kasasi masih bisa berlaku.

15. Kemudian pada 19 Januari Fikri, Pau, Fatahillah dan Ucok di bebaskan karena
menimbang adanya kekeliruan Mahkamah Agung karena mengadili dengan bukti materiil
tanpa fakta yang sebenarnya.

16. Pada 21 juni 2016 Andro dan Nurdin diibantu pengacara publik dari Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Jakarta, menggugat Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta
untuk ganti rugi atas perkara salah tangkap sebesar 1 Miliar. Gugatan itu diajukan ke
pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan.

17. Pada 9 Agustus 2016 Nurdin dan Andro memenangkan gugatan tersebut dan dinyatakan
berhak atas ganti rugi sebesar 72 juta. Kemudian tiga tahun kemudian, Fikri Cs dibantu
dengan LBH Jakarta memperjuangkan hak ganti rugi atas penahanan sebesar Rp
186.600.000 per anak. Yang dimana biaya itu mencakup total kehilangan penghasilan
sampai biaya makan selama dipenjara. Total untuk keempatnya sebesar Rp. 746.400.000.
mereka memperjuangkan ganti rugi tersebut dalam sidang praperadilan di pengadilan
negeri jakarta selatan. Selain itu pihaknya juga meminta pihak Polda Metro Jaya dan
Kejaksaan Tinggi DKI untuk mengakui semua kesalahan menangkap orang dan
melakukan tindak intimidasi.
B. ISU HUKUM

Bahwa setelah melihat kasus posisi diatas maka isu hukum yang dapat diambil adalah :
1. Telah terjadi tindakan salah tangkap oleh Kepolisian Polda Metro Jaya terhadap enam
pengamen yakni Fatahillah, Arga Putra Samosir alias Ucok, Bagus Firdaus alias Pau, Fikri
Pribadi, Andro Supriyanto dan Nurdin Prianto terkait penemuan mayat yakni bernama
Dicky di kolong jembatan Cipulir, Jakarta Selatan.
2. Polda Metro Jaya dan Kejaksaan Tinggi DKI harus mempertanggungjawabkan semua
kesalahan dalam menangkap pelaku dan melakukan tindak intimidasi dalam investigasi
mengambil keterangan.

C. ANALISIS HUKUM

Dengan melihat fakta-fakta hukum diatas maka dasar hukum yang digunkan sebagi alat bukti
oleh Fatahillah, Arga Putra Samosir alias Ucok, Bagus Firdaus alias Pau, Fikri Pribadi, Andro
Supriyanto dan Nurdin Prianto selaku korban salah tangkap yang dilakukan oleh Polda Metro
Jaya dan Kejasaan Tinggi adalah melanggar prosedur dengan adanya upaya paksa dalam
proses penyidikan dimana proses meminta keterangan saksi atau terdakwa tidak sesuai fakta
yang terjadi sebenarnya dan hanya menggunakan alat bukti materill. Hak ganti kerugian bagi
para korban salah tangka yang harus di pertanggung jawabkan karena telah membatasi hak-
hak korban salah tangkap dengan dijatuhkannya pidana dengan kurungan penjara oleh sebab
yang tidak sah, karena mengesampingkan fakta tersebut menimbulkan kekhilafan hakim yang
nyata dalam mempertimbangkan fakta dipengadilan, sehingga adanya tersangka yang
sebenarnya yakni Iyan Pribadi, Brengos dan Jubai.

D. DASAR HUKUM TERKAIT DENGAN KASUS SALAH TANGKAP PENGAMEN CIPULIR

1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman


Perumusan perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap yang termuat dalam
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu dalam
Pasal 9 ayat (1) yang berbunyi :
(1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

Berdasarkan pasal tersebut menjelaskan meskipun seseorang yang didakwa telah


melakukan suatu tindak pidana haruslah dianggap belum bersalah sampai suatu
pengadilan menyatakan kesalahannya dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, dan dengan demikian maka orang yang didakwa telah melakukan tindak
pidana harus dijamin hak asasinya.

2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia


Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
NO.XVII/MPR/1998 Tanggal 13 November 1998, menugaskan lembaga-lembaga tinggi
negara da seluruh aparatur pemerintahan untuk menghormati, menegakkan dan
menyebarluaskan pemahaman mengenai Hak Asasi Manusia kepada seluruh masyarakat.
Perumusan perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap dalam Undang-Undang
No.39 Tahun 199 dimuat dalam pasal 3 ayat (2), pasal 4, pasal 5, pasal 7, pasal 17, pasal
33 dan pasal 34.

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


(KUHP)
Pada pasal 14c ayat (1) KUHP telah memberikan perlindungan terhadap korban secara
langsung, akan tetapi pasal tersebut belum banyak berarti bagi upaya memberikan
perlindungan terhadap korban.
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) Dan Peraturan Pelaksanan KUHAP Nomor 27 Tahun 1983
Perumusan perlindungan terhadap korban salah tangkap dalam UU No. 8 Tahun 1981
tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimuat dalam pasal 1
butir 10 dan Bab X, bagian kesatu dalam pasal 77 sampai dengan pasal 83, tentang
permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi, yakni yang menjadi wewenang praperadilan
diajukan tersangka, keluarga atau penasihat hukumnya hanyalah berkenaan dengan
seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan,
atau belum diajukan ke pengadilan.
Rumusan lain yang memuat perlindungan terhadap korban salah tangkap terdapat dalam
pasal 95 sampai dengan pasal 100 KUHAP, yaitu ganti kerugian dan rehabilitasi bagi
korban akibat dari kekliruan terhadap orangnya atau korban akibat pelanggaran hukum
yang bersifat administratif, yang diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang
atau adanya kekeliruan mengenai orang atau hukumnya, yang sudah sampai pada tingkat
pemeriksaan di sidang pengadilan, menjadi wewenang hakim pengadilan negeri.

KESIMPULAN

Kedudukan korban dalam peraturan perundang-undagan tersebut relatif kurang diperhatikan


dan belum memberikan perlindungan secara langsung. Apabila korban hendak mendapatkan ganti
kerugian akibat kesalahan dalam perkara hukum, ia harus mengusahakannya sendiri baik melalui
upaya hukum praperadilan sebelum perkara pokok di proses di sidang pengadilan ataupun melalui
penggabungan perkara ganti kerugian yang dimungkinkan oleh Pasal 98-100 KUHAP. Perlindungan
terhadap korban salah tangkap dalam peraturan perundang-undangan merupakan bentuk perwujudan
atas penghormatan, penegakan dan penjaminan atas hak asai manusia.

Adanya hal-hal mengenai salah penangkapan kepada pejabat pembuat suatu peraturan
perundang-undangan, sesungguhnya diperlukan pengawasan terhadap pelaksanaan penegakan
hukum untuk menyempurnakan peraturan perundang-undangan demi terlaksananya rasa keadilan dan
kepastian hukum.

E. Dokumen Terkait Persidangan Kasus Salah Tangkap Pengamen Cipulir

1. Putusan pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 1131/Pid.An/2013/ PN.Jkt .Sel


2. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 360/PID/3013/PT.DKI
3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 188 K/Pid.Sus/2014
4. Akta Permohonan Peninjauan Kembali Nomor 06/Ket.Pan.Pid/2015/PN.Jkt.Sel
5. Salinan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
1273/Pid.B/2013/PN.Jkt.Sel (Bukti permohonan PK-1)
6. Putusan Nomor 50/PID/2014/PT.DKI (Bukti Permohonan PK-2)
7. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1055 K/Pid/2014
8. Putusan pengadilan tinggi DKI Nomor 50/PID/2014/PT.DKI

Anda mungkin juga menyukai