Anda di halaman 1dari 25

TUGAS INDIVIDU

ANALISIS KASUS PIDANA


MATA KULIAH ASAS-ASAS HUKUM PIDANA
KASUS PEMBUNUHAN BERENCANA SATE SIANIDA DI BANTUL

Ditulis oleh:
MUHAMAD ORLANDO FIRDAUS
2206064326
ASAS-ASAS HUKUM PIDANA REGULER E

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
PROGRAM SARJANA
DEPOK
APRIL 2023

1
A. Lampiran Kasus
Kasus sate sianida yang mengakibatkan meninggalnya seorang bocah berumur
10 tahun dilakukan oleh terdakwa Nani Aprilliani Nurjaman (25), divonis bersalah
dan dijatuhi hukuman 16 tahun penjara. Hakim Ketua Pengadilan Negeri (PN) Bantul
Aminuddin menilai bahwa terdakwa telah terbukti melakukan pembunuhan
berencana.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan hukuman
pidana selama 16 tahun," katanya, Senin (13/12/2021). Tuntutan tersebut lebih ringan
dua tahun dari dakwaan jaksa penuntut umum (JPU).
Kasus tersebut terjadi pada tanggal 25 April 2021. Ketika itu, Nani meracik
sate sianida untuk diberikan kepada seorang anggota Polresta Yogyakarta bernama
Tomi, warga Kapanewon, Bantul, DIY. Nani mengaku sakit hati karena merasa
dikhianati oleh Tomi yang ternyata menikahi orang lain. Menurut Nani, saat
persidangan bulan Oktober lalu, Tomi hanya memberi janji ingin menikahinya.
"Ya itu (janji nikah) awal-awal 2017, setelahnya hanya cinta, cinta, cinta,
cinta. Di awal bilang nikah dan pas ditagih katanya beda agama lah dan saya masih
labil," ucap Nani.
Lalu, pada 25 April 2021, Nani memesan ojek online untuk mengantarkan sate
yang telah dicampuri sianida ke Tomi. Akan tetapi, saat itu Nani bertemu langsung
dengan pengemudi ojol bernama Bandiman dan tidak menggunakan aplikasi.
Bandiman pun segera mengirimkan sate sianida itu ke rumah Tomi. Namun, keluarga
Tomi menolak kiriman itu karena merasa tak kenal dengan pengirimnya yang disebut
Hamid dari Pakualaman.
Bandiman pun akhirnya memutuskan untuk membawa pulang sate dan snack
milik Nani ke rumah dan disantap bersama keluarga. Setelah itu, Naba Faiz Prasetya
(10), anak kedua Bandiman, kolaps usai memakan bumbu sate bersama lontong. Naba
bahkan sempat dibawa ke RSUD Kota Yogyakarta, tetapi nyawanya tidak
terselamatkan. Setelah penyelidikan polisi, Nani akhirnya ditangkap di rumahnya di
Piyungan, Bantul, pada 30 April.

Referensi
Yuwono, Markus. “Mengungkap Jejak Kasus Nani Pengirim Sate Sianida di Bantul.”
Kompas.com, 13 Desember 2021. Tersedia pada
https://regional.kompas.com/read/2021/12/13/181024378/mengungkap-jejak-
2
kasus-nani-pengirim-sate-sianida-di-bantul?page=all#:~:text=KOMPAS.com
%20%2D%20Terdakwa%20kasus%20sate,telah%20terbukti%20melakukan
%20pembunuhan%20berencana. Diakses pada tanggal 1 April 2023.

*Note: Untuk setiap argumen yang berkaitan dengan analisis terhadap kasus akan
ditandai dengan simbol berikut.

B. Analisis Kasus
1. Tentang Tindak Pidana
 Definisi
Terdapat banyak istilah terkait tindak pidana. Di setiap negara
memiliki istilah yang berbeda-beda untuk penyebutan tindak pidana. Di
Belanda disebut strafbaar feit, Malaysia (jenayah), Prancis (la criminalite),
Jerman (kriminelle handlung), dan masih banyak lainnya. Para ahli hukum
Indonesia juga menggunakan istilah yang berbeda-beda dengan terjemahan
dalam Bahasa Belanda yaitu strafbaar feit. Kartanegara dan Andi Hamzah
menggunakan istilah delik, Moeljatno menggunakan istilah perbuatan
pidana, Utrect memilih istilah peristiwa pidana, dan ahli hukumnya
menyukai istilah tindak pidana seperti Wirjono prodjodikoro, R. Soesilo, dan
lain-lain, serta digunakan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional).
- Delik, istilah ini disukai beberapa ahli hukum karena lazim digunakan dan
dianggap netral.
- Perbuatan pidana, berbeda dengan istilah strafbaar feit (yang mencakup
perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana), istilah ini lebih cocok
dengan criminal act (perbuatan dan akibatnya, namun tidak mencakup
pertanggungjawaban pidananya). Istilah ini mengartikan seolah-olah
tindak pidana (TP) hanya perbuatan aktif, padahal terdapat juga TP yang
dialakukan dengan perbuatan pasif, seperti pada Pasal 531 KUHP dengan
tidak menolong orang sekarat.

3
- Peristiwa pidana, istilah ini telah mencakup baik perbuatan aktif,
perbuatan pasif maupun akibatnya. Namun, istilah ini cakupannya terlalu
luas karena berkaitan dengan seluruh kejadian dalam suatu peristiwa
pidana.
- Tindak pidana, istilah digunakan oleh kebanyakan para ahli hukum di
Indonesia termasuk Prof. Topo Santoso dan lazim ditemui di hampir
semua peraturan perundang-undangan.
Definisi TP merujuk pada definisi yang dikemukakan oleh para ahli
hukum pidana Belanda karena istilah awalnya berasal dari Belanda (strafbaar
feit). Terdapat beberapa definisi yang diberikan para ahli hukum pidana
Indonesia.
- “Kelakuan yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum
yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang
mampu bertanggung jawab.” (Simons)
- “Kelakuan manusia yang dirumuskan dalam UU, melawan hukum, yang
patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.” (Van Hamel)
- “Suatu kelakuan manusia yg oleh per UU an diberi pidana; jadi suatu
kelakuan manusia yg pada umumnya dilarang & diancam dengan pidana.”
(Vos)
- Pasal 12 KUHP Nasional:
(1) Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-
undangan diancam dengan sanksi pidana dan/ atau tindakan.
(2) Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu perbuatan yang
diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan
perundangundangan harus bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
(3) Setiap Tindak Pidana selalu bersifat melawan hukum, kecuali ada
alasan pembenar.

Masing-masing definisi memiliki unsur pokok yang sama, yaitu: (1) Kelakuan
yang menurut diancam pidana; (2) melawan hukum; (3) dengan kesalahan; (4)
dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

4
Berdasarkan kasus di atas, tindakan yang dilakukan oleh Nani (pelaku)
terhadap Naba (korban) dapat dituntut oleh seorang jaksa dengan
dakwaan pada Pasal 340 KUHP karena pembunuhan berencana yang
berkaitan dengan kejahatan terhadap nyawa.
 Aliran dalam Memandang Tindak Pidana
a. Aliran Monistis
Aliran yang memandang bahwa tindak pidana harus mencakup baik
perbuatannya maupun kesalahan pertanggungjawabannya. Van Hamel
menyatakan bahwa strafbaar feit merupakan kelakuan manusia yang
dirumuskan dalam undang-undang (UU), melawan hukum, dilakukan
dengan kesalahan dan patut dihukum. Maka, unsur-unsur tindak pidana
yaitu perbuatan, sifat melawan hukum, dapat dipertanggungjawabakn
kepada seseorang dan diancam dengan pidana.
b. Aliran Dualistis
Aliran yang memandang untuk memisahkan antara perbuatan pidananya
(criminal act/actus reus) dengan kesalahan/pertanggungjawabannya (mens
rea). Moeljatno berpendapat bahwa perbuatan pidana merupakan
perbuatan yang dilarang menurut suatu aturan hukum dan diancamkan
pidana kepada si pelaku.
c. Jalan Tengah
Menurut Andi Hamzah keduanya tidak perlu ditentangkan. Namun, jaksa
perlu membuktikan bagian inti delik (unsur yang dirumuskan dalam UU),
apabila tidak terbukti maka putusan bebas. Di sisi lain,
pertanggungjawaban pidana (adanya kesalahan) tidak perlu dibuktikan
karena dianggap sudah terpenuhi, tetapi bisa terjadi putusan lepas jika
penasihat hukum dapat membuktikan bahwa tidak ada kesalahan.
Dalam Pasal 340 KUHP terdapat unsur kesalahan dalam
perumusannya sehingga dapat dipahami bahwa KUHP lama kita
menganut aliran monistis yang tidak memisahkan antara perbuatan dan
pertanggungjawaban.
Sedangkan dalam KUHP Nasional, TP tidak lagi memuat tentang
kesalahannya (khususnya kesengajaan) karena dianggap setiap TP
telah memenuhi unsur kesengajaan. Jadi, terdapat pemisahan antara TP

5
dan pertanggungjawaban pidana. Terdapat pengecualian untuk
kesalahan yang berupa kealpaan, maka unsurnya akan dicantumkan
dalam rumusan.

 Unsur-Unsur Tindak Pidana


a. Unsur Objektif
Unsur ini yang berada di luar manusia seperti perbuatan/tindakan, akibat,
atau keadaan di mana tindakan dilakukan.
Dalam perumusan:
 Unsur perbuatan (aktif/pasif): mengambil barang, memanjat, dan
lain-lain (dll).
 Unsur akibat: hilangnya nyawa, rusaknya barang, dll.
 Unsur melawan hukum: secara melawan hukum, tanpa hak, dll.
 Unsur keadaan yang melekat pada tindakan: pada suatu rumah, di
waktu malam, dll.\
Luar perumusan:
 Melawan hukum secara materil (melawan hukum berdasarkan
ketentuan di luar UU).
b. Unsur Subjektif
Unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan
pelaku, termasuk keadaan si pelaku.
Dalam perumusan:
 Unsur kualitas si pelaku: barangsiapa, seorang nahkoda, dll.
 Unsur kesalahan (dolus/culpa/proparte dolus pro parte culpa):
dengan sengaja, karena kealpaanya, yang diketahui atau sepatutnya
harus diduga, dll.
 Unsur keadaan yang melekat pada pelaku: seorang ibu karena
takut, dengan rencana terlebih dahulu, dll.
Luar perumusan:
 Kesalahan dalam arti materi, yaitu dapat dipersalahkan (dicela) si
pelaku atas perbuatannya.
 Perbuatan itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku.
c. Bestanddeel (Bagian Inti)

6
Unsur-unsur yang tertulis dalam rumusan TP. Menurut Van Bemmelen,
bestanddeel itu merupakan bagian inti yang tercantum dalam rumusan TP
dalam pasal suatu UU. Maka, hanya bagian inti saja yang harus terdapat
dalam surat dakwaan dan dibuktikan dalam pengadilan.
d. Element (Unsur)
Unsur-unsur yang tidak dimuat dalam rumusan sehingga tidak perlu
dimasukkan dalam surat dakwaan dan dibuktikan oleh jaksa. Namun, tetap
harus terpenuhi agar dapat dipidana karena bagian dari
pertanggungjawaban pidana.
e. Syarat Tambahan untuk Dipidana
Unsur-unsur tambahan di luar unsur pokok dari suatu TP untuk menjadi
syarat tambahan untuk dapat dipidanannya seseorang. Contoh Pasal 123
KUHP yang unsur tambahannya berupa “jika jadi pecah perang”. Jadi
pelaku baru dapat dipidana jika kondisi tambahan tersebut terpenuhi.
f. Syarat Tambahan untuk Dapat Dituntut
Unsur-unsur yang menjadi syarat tambahan untuk dapat dituntutnya
seseorang. Misalnya pada delik aduan, seseorang baru dapat dituntut
apabila ada pengaduan. Contoh Pasal 319 KUHP terkait penghinaan si
pelaku baru dapat dituntut jika yang mengadu adalah orang-orang yang
ditentukan dalam perumusan pasal tersebut.
Pasal 340 KUHP berbunyi, “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana
lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua
puluh tahun.”
Dalam pasal tersebut dapat diketahui unsur-unsurnya sebagai berikut.
Barangsiapa = subjek orang-perorangan secara umum yang dapat
dimintai pertanggungjawaban. Dalam kasus di atas, unsur barangsiapa
dipenuhi oleh si pelaku, yakni Nani.
Sengaja = termasuk dalam unsur subjektif karena melekat pada diri si
pelaku atau yang berhubungan dengan pelaku. Sengaja/dolus
merupakan bagian dari unsur kesalahan yang memiliki makna
menghendaki dan mengetahui. Jadi, Nani melakukan TP dengan
menghendaki dan mengetahui apa yang diperbuatnya.
7
Dengan rencana lebih dahulu = unsur ini merupakan bagian dari dolus.
Dimana si pelaku memiliki waktu untuk berpikir dengan tenang dan
ada tenggang waktu antara timbulnya niat dengan pelaksanaan delik.
Dalam kasus di atas, si pelaku (Nani) telah memiliki niat sejak lama
untuk membunuh kekasihnya (Tomi) yang merupakan tujuan dari
TPnya. Hal ini dibuktikan bahwa Nani telah memesan racun sejak juli
2020 dan melakukan pencarian terkait informasi racun dengan
menggunakan ponselnya. Sedangkan pelaksanaannya baru dilakukan
pada 25 April 2021.
Merampas nyawa orang lain = unsur ini merupakan unsur akibat yang
mana masuk dalam unsur objektif karena melekat pada perbuatan si
pelaku. Unsur ini memiliki maksud bahwa atas tindakan si pelaku,
yaitu pembunuhan berencana menyebabkan terampasnya nyawa orang
lain. Dalam kasus di atas, TP pembunuhan berencana yang dilakukan
Nani dengan mengirimkan sate yang mengandung racun menyebabkan
Naba (korban) terampas nyawanya, meskipun korban bukanlah tujuan
yang dimaksud.

 Subjek Tindak Pidana


a. Manusia (naturlijk persoon)
Dalam sejarahnya, sesuai dengan KUHP Belanda (yang disalin ke dalam
KUHP Indonesia) subjek TP hanyalah manusia. Korporasi bukanlah
subjek TP. Manusia sebagai satu-satunya subjek yang diakui dapat
dipahami dari beberapa poin-poin berikut.
 Perumusan tindak pidana selalu menentukan subjeknya dengan
istilah: “barangsiapa”, “warga negara Indonesia”, “nahkoda”, dll.
Semua istilah itu merujuk pada subjek manusia saja.
 Ketentuan mengenai pertanggungjawaban pidana mensyaratkan
“kejiwaan” dari pelaku.
 Terdapat asas “nulla poena sina culpa”, yang berarti tiada pidana
tanpa kesalahan. Kesalahan tersebut hanya dapat dimiliki oleh
manusia saja sebagai pribadi kodrati, baik kesalahan sebagai unsur
TP maupun kesalahan dalam arti dapat dicela/dipersalahkan.

8
 Ketentuan terkait pidana yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP
hanya merujuk pada pidana yang dapat dijatuhkan pada manusia.
Dalam kasus di atas subjek TP merupakan manusia (Nani) karena
perumusannya menggunakan kata “barangsiapa” yang hanya bisa
ditujukan pada subjek manusia.
b. Korporasi
Dalam perkembangannya, terdapat UU pidana khusus di luar KUHP (UU
Tipikor, UU TPPU, UU TPKS) dan perUUan administratif yang memuat
ketentuan pidana (UU Psikotropika, UU ITE, UU Perbankan) yang
mengatur subjek lain selain manusia, yaitu korporasi. Termasuk pula
dalam KUHP Nasional, korporasi sudah dimasukkan dalam subjek tindak
pidana.
 Jenis-Jenis Tindak Pidana/Delik
a. Delik Kejahatan (Misdrijven)
Tindakan/perbuatan yang termasuk di dalamnya, sebelum adanya UU yang
mengatrur sudah dianggap tidak baik, mengandung ketidakadilan, patut
dilarang dan diancam pidana meskipun belum diancam pidana oleh UU,
contohnya Pasal 338 KUHP (pembunuhan). Ciri-ciri lainnya: (1)
pidananya lebih berat daripada pelanggaran, (2) percobaan kejahatan dapat
dipidana, (3) membantu kejahatan dipidana, (4) daluwarsa kejahatan lebih
Panjang daripada pelanggaran, (5) berlakunya pidana di luar Indonesisa
(Pasal 5 KUHP).
Dalam kasus di atas, pelaku didakwa dengan Pasal 340 KUHP, yang
mana pasal tersebut masuk ke dalam buku kedua tentang kejahatan.
b. Delik Sengaja/Dolus (Opzettelijk Delicten)
TP yang dilakukan dengan sengaja atau memuat unsur kesengajaan,
contohnya Pasal 338 KUHP (pembunuhan).
Pasal 340 KUHP memuat unsur kesalahan di dalamnya, yang
bentuknya berupa kesengaajaan.
c. Delik Materil (Materieel Delict)
Delik ini merumuskan pada akibatnya bukan perbuatannya. Delik ini
selesai dengan timbulnya akibat, contohnya Pasal 187 KUHP (sengaja
menimbulkan kebakaran).

9
Pasal 340 KUHP termasuk dalam delik materil karena perumusannya
berfokus pada timbulnya suatu akibat perbuatan pelaku, yaitu
terampasnya nyawa orang lain.
d. Delik Komisi (Delicta Commissiones)
Delik yang melanggar larangan dengan perbuatan aktif atau melanggar
suatu perbuatan yang dilarang oleh UU (Pasal 378 KUHP).
Dalam kasus di atas, pelaku melanggar larangan merampas nyawa
orang lain dengan pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).
e. Delik Biasa/Laporan (Gewone Delict)
Tindak pidana yang penuntutannya tidak memerlukan pengaduan. Cukup
dengan laporan dari setiap orang yang mengetahui TP tersebut (Pasal 285
KUHP).
Pasal 340 KUHP tidak memerlukan pengaduan dari subjek tertentu,
setiap orang yang mengetahui adanya pembunuhan dapat melapor.
f. Delik Umum/Komun (Delicta Commune)
Delik yang dapat dilakukan oleh setiap orang, Pasal 362 KUHP
(pencurian). Perumusan subjek biasanya seperti “barang siapa” atau
“setiap orang”.
Pasal 340 KUHP merumuskan subjeknya dengan kata “barangsiapa”,
yang berarti setiap orang dapat dituntut dengan pasal tersebut.
g. Delik Tunggal (Enkelvoudige)
Delik yang mana untuk dipidananya si pelaku maka cukup dengan satu
kali perbuatan baik aktif maupun pasif, contohnya Pasal 338 KUHP
(pembunuhan).
Dalam Pasal 340 KUHP, pelaku dapat dipidana hanya dengan satu kali
perbuatannya yang memunculkan akibat yang dillarang.
 Cara Merumuskan Tindak Pidana di KUHP
Terdapat tiga cara merumuskan tindak pidana, yaitu:
a. Disebutkan unsur-unsurnya, seperti (1) barang siapa; (2) mengambil; (3)
barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; (4) dengan
maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. Lalu disebutkan
kualifikasi/nama delik, yakni “diancam karena pencurian” (Pasal 362
KUHP).

10
Pasal 340 KUHP termasuk dalam perumusan TP yang pertama. Dalam
Pasal 340 KUHP, unsur-unsur TPnya disebutkan dan terdapaat
kualifikasinya yaitu “pembunuhan dengan rencana (moord)”
b. Disebutkan kualifikasinya tanpa disebut unsur-unsurnya, seperti Pasal 351
ayat (1) KUHP yang menyebut kualifikasinya saja yaitu “penganiayaan”.
Lalu, untuk mengetahui penjelasan terkait kualifikasi tersebut dapat
melalui yurisprudensi dan doktrin (pendapat ahli hukum).
c. Disebutkan unsur-unsurnya tanpa menyebut kualifikasinya, seperti Pasal
104 KUHP.
 Berlakunya Hukum Pidana Menurut Waktu
Dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP berbunyi: “Tiada perbuatan yang dapat
dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang
telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.”
Intinya tidak ada pidana tanpa (landasan) perundang-undangan. Ketentuan ini
dikenal dengan istilah asas legalitas yang biasa disebut dengan “nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali”. Menurut Moeljatno, asas
legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung 3 pengertian, yaitu (1)
tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana kalua belum dinyatakan
dalam suatu UU; (2) untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh
digunakan analogi; (3) aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Dalam asas legalitas terkandung beberapa prinsip sebagai berikut.
a. Lex Scripta (Hukuman Didasarkan Undang-Undang Tertulis)
Menurut Cleiren dan Nijboer dan kawan-kawan (dkk), asas legalitas
berarti tidak ada kejahatan tanpa UU dan tidak ada pidana tanpa UU. Yang
berarti hukum pidana adalah hukum tertulis.
b. Lex Certa (Dirumuskan dengan Cermat dan Terperinci)
PerUUan pidana membawa dampak luas bagi mereka yang disangka
melakukan TP yang telah dirumuskan. Maka perumusannya harus
dilakukan dengan cermat dan mendetail agar tidak menyulitkan dalam
penerapannya dan tidak merugikan orang yang tidak sepatutnya dihukum.
c. Lex Praevia (Asas Larangan Berlaku Surut)
Hukum pidana dengan sanksinya yang sangat keras harus berjalan ke
depan, tidak boleh digunakan terhadap perbuatan yang telah berlalu. Asas

11
ini juga terdapat dalam Pasal 28I UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak
untuk tidak dituntu atas dasar hukum berlaku surut merupakan hak asasi
manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP juga dijelaskan bahwa jika terjadi
perubahan UU sesudah perbuatan dilakukan, maka dipakai aturan yang
paling ringan bagi terdakwa.
d. Lex Stricta (Larangan Penggunaan Analogi)
Analogi tidak diperbolehkan dalam hukum pidana, khususnya dalam
penetapan suatu perbuatan sebagai TP karena dikhawatirkan adanya
pelanggaran terhadap hak-hak individu. Adanya kekhawatiran seseorang
akan dipidana hanya karena melakukan tindakan yang mirip dengan
perbuatan lainnya yang telah diatur dalam perUUan pidana.
KUHP Indonesia merupakan salinan dari Wetboek van Strafrecht voor
Nederlands (WvS). WvS Belanda kemudian diadopsi di Indonesia dan
berlaku sejak tahun 1917 yang kemudian tetap diberlakukan pasca
kemerdekaan dengan mengubah namanya menjadi KUHP Indonesia.
Jadi, TP yang dilakukan Nani sudah diatur dan dirumuskan dengan
baik dalam KUHP Indonesia, yang mana telah berlaku sejak lama.
Sedangkan TP yang dilakukan Nani dilakukan pada tahun 2021
sehingga pemidanaan terhadap Nani tidak melanggar asas legalitas.
Waktu TP dilakukan juga penting dalam penulisan surat dakwaan dan untuk
pembuktian di pengadilan atau untuk melakukan pembelaan diri terdakwa.
Terdapat 4 teori terkait waktu TP (tempus delicti), yakni:
a) Teori/ajaran perbuatan fisik/perbuatan materil, yaitu waktu ketika
perbuatan fisik terjadi.
Berdasarkan kasus di atas, maka teori ini berlaku saat Nani
memberikan sate yang telah diracuni kepada ojek online untuk
dikirimkan kepada korban.
b) Teori bekerjanya alat, yaitu waktu ketika alat yang digunakan melakukan
TP bekerja.
Berdasarkan kasus di atas, maka alat yang digunakan untuk melakukan
TP bekerja ketika korban jatuh tak sadarkan diri setelah memakan sate
yang diracuni.
c) Teori timbulnya akibat, yaitu waktu Ketika akibat timbul/terjadi.
12
Berdasarkan kasus di atas, maka waktu TP terjadi ketika korban
kehilangan nyawanya setelah dilarikan ke RSUD Kota Yogyakarta.
d) Teori tempat yang jamak, yaitu waktu ketika perbuatan fisik
dilakukan/ketika alatnya bekerja/ketika akibat terjadi.
Gabungan dari setiap waktu TP pada ketiga teori sebelumnya.
 Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat
Pengaturan ruang tempat berlakunya hukum pidana sangat penting untuk
dipelajari. Beberapa urgensi seperti untuk:
- Mengetahui hukum pidana negara mana yang akan digunakan. Hal ini
berkaitan dengan ius puniendi atau hak negara untuk memidana karena
terdapat TP transnasional, seperti penyelundupan, human trafficking,
Illegal, Unreported dan Unregulated Fishing, dll.
- Mengetahui pengadilan negeri (PN) mana yang memiliki
yurisdiksi/kompetensi relatif untuk menangani perkara.
TP dalam kasus di atas terjadi di wilayah Kabupaten Bantul sehingga
PN yang berwenang untuk menangani kasunya adalah PN Bantul.
Terdapat asas-asas berlakunya hukum pidana menurut tempat.
a. Asas Teritorialitas/Wilayah
Berlakunya UU pidana Indonesia terhadap setiap orang yang melakukan
TP di wilayah Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 2 KUHP. UU
pidana Indonesia juga berlaku terhadap setiap orang (WNI/WNA) yang
yang melakukan TP di kapal atau pesawat udara yang terdaftarkan di
Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 3 KUHP.
TP dalam kasus di atas terjadi di Kabupaten Bantul, yang mana
merupakan wilayah negara Indonesia sehingga KUHP Indonesia
berlaku berdasarkan asas teritorialitas.
b. Asas Personalitas/Nasionalitas Aktif
Berlakunya UU pidana suatu negara disandarkan pada
kewarganegaraannya atau pelaku TP. Yang berarti aturan hukum pidana
Indonesia berlaku bagi WNI yang sedang berada di luar Indonesia yang
melakukan TP dalam beberapa pasal yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) ke-
1 KUHP.

13
Asas ini terdapat pembatasan, sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1)
ke-2 bahwa hanya perbuatan yang dianggap kejahatan saja menurut
perUUan Indonesia dan menurut negara di mana pelaku melakukan
perbuatannya dianggap sebagai TP.
Asas ini tetap berlaku meski seseorang melakukan TP di negaranya lalu
beralih kewarganegaraan menjadi WNI, meski ketika melakukan TP masih
sebagai WNA sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) KUHP.
Pasal 5 ayat (1) ke-2 dibatasi untuk tidak dipidana mati bagi si pelaku, jika
menurut perUUan di mana perbuatan dilakukan tidak diancam pidana mati
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 KUHP.
c. Asas Nasionalitas Pasif
Berlakunya UU hukum pidana Indonesia bagi setiap orang (WNI/WNA)
yang melanggar/membahayakan kepentingan nasional Indonesia
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ke-1,2 dan 3. Asas ini juga berlaku
untuk subjek khusus seperti pejabat, nahkoda dan penumpang perahu
Indonesia berdasarkan Pasal 7 dan 8 KUHP.
d. Asas Universalitas
Asas ini bertujuan untuk melindungi kepentingan semua negara atau
kepentingan dunia. Asas ini diatur dalam Pasal 4 ke-2 KUHP tentang
kejahatan mengenai mata uang kertas yang dikeluarkan oleh suatu negara
atau bank. Selain itu juga diatur dalam Pasal 4 ke-4 KUHP tentang
kejahatan mengenai pembajakan kapal atau pesawat udara.
Tempat TP dapat ditentukan dengan menggunakan teori-teori tentang locus
delicti, yakni:
a) Teori/ajaran perbuatan fisik/perbuatan materil, yaitu tempat di mana
perbuatan fisik terjadi.
Berdasarkan kasus di atas, maka TP terjadi di mana Nani memberikan
sate beracun kepada pengemudi ojol untuk dikirimkan kepada korban.
b) Teori bekerjanya alat, yaitu tempat di mana alat yang digunakan
melakukan TP bekerja.
Berdasarkan kasus di atas, maka TP terjadi di rumah korban saat
korban sedang memakan sate beracun.
c) Teori timbulnya akibat, yaitu tempat di mana akibat timbul/terjadi.

14
Berdasarkan kasus di atas, maka TP terjadi di RSUD Kota Yogyakarta
saat korban kehilangan nyawanya.
d) Teori tempat yang jamak, yaitu tempat di mana perbuatan fisik
dilakukan/ketika alatnya bekerja/ketika akibat terjadi.
Gabungan dari ketiga teori sebelumnya untuk menentukan tempat
terjadinya TP.
2. Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana
 Kesalahan
Menurut Satochid, kata schuld dalam bahasa Belanda memiliki arti
“kesalahan”. Asas kesalahan merupakan asas yang fundamental dalam hukum
pidana karena “tiada pidana tanpa kesalahan”. Terdapat 4 arti kesalahan
menurut Utrecht, yaitu:
a. Kesalahan sebagai unsur delik; dalam arti kumpulan (nama generik) yang
mencakup dolus dan culpa.
Kesalahan dalam arti ini merupakan bagian dari inti delik.
Sengaja (opzet) itu berarti menghendaki (willen) dan mengetahui (weten).
Teori-teori kesengajaan:
 Teori kehendak (wils theorie) yaitu “ ada opzet apabila perbuatan
& akibat suatu delik dikehendaki oleh si pelaku”.
 Teori bayangan (voorstellings-theorie) yaitu “ada opzet apabila
pada waktu si pelaku mulai melakukan perbuatan, ada bayangan
yang terang bahwa akibat yang bersangkutan akan tercapai. Oleh
karena itu ia menyesuaikan perbuatannya dengan akibat (yang ia
bayangkan) itu”.
Pelaku dalam kasus di atas didakwa dengan Pasal 340 KUHP, yang
mana dalam perumusahannya terdapat unsur kesalahan yaitu
kesengajaan.
Terdapat 4 bentuk dolus:
1) Dolus sebagai maksud, yaitu pembuat menghendaki perbuatan dan
akibatnya karena sebagai tujuannya; tidak melakukan perbuatan jika
pembuat tahu akibatnya tidak terjadi.
Seandainya sate beracun yang dikirimkan melalui ojek online diterima
oleh Tomi. Lalu dimakan olehnya dan kehilangannya nyawanya, maka

15
TP yang dilakukannya termasuk dalam bentuk dolus sebagai maksud.
Pelaku mengehendaki perbuatannya untuk membunuh seseorang yang
dimaksud (Tomi) dan akibatnya (terampasnya nyawa Tomin)
merupakan tujuannya.
2) Dolus dengan keinsyafan kepastian, yaitu pembuat yakin untuk
mencapai akibat yang menjadi tujuannya, pasti akan timbul akibat lain
dan pembuat tidak ragu untuk itu.
Seandainya sate beracun yang dikirim oleh Nani ke kediaman Tomi
diterima, lalu dinikmati tidak hanya Tomi saja, tetapi juga keluarganya.
Maka, terampasnya nyawa keluarga Tomi merupakan akibat lain yang
muncul karena perbuatannya. Nani mengetahui dengan pasti bahwa
keluarganya akan ikut memakan sate tersebut karena dia
mengirimkannya ke rumah Tomi. Namun, hal itu tidak membuat ragu
Nani demi mencapai tujuannya (terampasnya nyawa Tomi).
3) Dolus dengan keinsyafan kemungkinan, yaitu pemubuat sadar untuk
mencapai akibat yang menjadi tujuannya, mungkin akan timbul akibat
lain dan pembuat tidak ragu untuk itu.
Dalam kasus di atas, orang yang memakan sate beracun dan
kehilangan nyawa karenanya bukanlah Tomi yang dimaksud sebagai
tujuan, melainkan anak dari pengemudi ojek online yang
mengantarkan sate tersebut (Naba). Dalam hal ini, Nani setidaknya
mengetahui bahwa ada kemungkinan orang lain akan memakan sate
tersebut. Namun, hal kemungkinan tersebut tidak membuatnya ragu
untuk tetap melakukan perbuatannya.
4) Dolus eventualis (in kauf nehmen), yaitu akibat atau keadaan yang
diketahui mungkin akan terjadi, namun tidak dikehendaki oleh si
pelaku. Perbuatannya bukanlah suatu TP, tetapi ada kemungkinan
suatu akibat yang merupakan delik terjadi.
b. Kesalahan dalam arti pertanggungjawaban pidana: ketercelaan
(verwijtbaarheid) seseorang atas perbuatan melawan hukum yang telah
dilakukannya.
Satochid menyampaikan bahwa terdapat hubungan antara jiwa si pelaku
dengan perbuatannya dan berdasarkan pada jiwa si pelaku dapat
dipersalahkan padanya. Selaras dengan penjelasan Karni yang
16
menyatakan si pembuat harus dicela karena perbuatannya yang mana
mengandung perlawanan hak (sifat melawan hukum). Dapat diketahui
berdasarkan ajaran kesalahan psikologis (keadaan psikologis si pelaku)
dan ajaran kesalahan normatif (berdasarkan penilaian dari
luar/masyarakat).
TP pembunuhan berencana yang dilakukan Nani dapat
dipersalahkan/dipertanggungjawabkan padanya karena Ia melakukan
tindakan tercela. TP tersebut merupakan perbuatan tercela baik dalam
psikologis karena perbuatannya berdasarkan jiwanya yang dapat
dipersalahkan, maupun dalam ajaran normatif berdasarkan penilaian
dari masyarakat.
c. Kesalahan dalam arti bentuk khusus, yang hanya berupa
culpa/kealpaan/kelalaian.
Schuld dalam arti sempit dapat diartikan sebagai kealpaan. Kealpaan
berlawanan dengan kesengajaan dan hal yang bersifat kebetulan. Pada
culpa unsur menghendaki selalu tidak ada, sedangkan unsur mengetahui
kadang ada/kadang tidak ada. Menurut Hazewinkel-Suringa terdapat syarat
kealpaan, yaitu kurangnya menduga-duga dan kurangnya berhati-hati.
Untuk pembuktian culpa, dapat ditentukan dengan tolak ukur orang pada
umumnya terhadap kondisi dan situasi yang sama dengan pelaku.
Jenis-jenis culpa:
1) Culpa Levis (kelalaian kecil) = apabila tolak ukurnya adalah upaya dan
kehati-hatian yang luar biasa.
2) Culpa yang disadari (bewuste culpa) = pelaku sudah membayangkan
kemungkinan timbulnya akibat yang dilarang dan sudah berusaha
untuk mencegah, namun akibat tetap terjadi.
3) Culpa yang tidak disadari (onbewuste culpa) = pelakua sama sekali
tidak pernah membayangkan kemungkinan timbulnya akibat yang
dilarang, namun terjadi akibatnya.
4) Culpa lata (kelalaian besar) = yang dapat dipidana.
d. Kesalahan yang digunakan dalam rumusan delik untuk menetapkan bahwa
pidana dapat diancamkan pada pelaku yang bersalah karena telah
melakukan tindakan tertentu.

17
Misalnya: Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain
dipidana karena bersalah melakukan pembunuhan.
Pelaku dipersalahkan karena melakukan tindakan pembunuhan.
 Pertanggungjawaban Pidana
Tiada pidana tanpa kesalahan: meskipun seseorang telah melakukan perbuatan
yang melawan hukum, namun tanpa adanya kesalahan maka dia tidak dapat
dipidana. Terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi agar dapat dipersalahkan dan
dipertanggungjawabkan, yaitu:
 Kemampuan bertanggungjawab:
pelaku melakukan perbuatannya dengan bebas, tanpa paksaan.
pelaku menginsyafi bahwa perbuatannya melawan hukum dan
mengerti perbuatan serta akibatnya.
Dalam praktiknya, setiap orang dianggap mampu bertanggung jawab,
namun terdapat penghapusan pidana bagi yang tak mampu
bertanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP.
TP yang dilakukan oleh Nani dapat dipertanggungjawabkan padanya
karena Ia melakukan perbuatannya dengan niat sendiri tanpa adanya
paksaan dari luar. Ia juga setidaknya mengetahui bahwa TP yang
dilakukannya melawan hukum baik formil maupun materil, serta
mengetahui akibat dari perbuatan yang dilakukannya.
 Ada hubungan psikis antara pelaku dan perbuatannya (dolus/culpa)
TP yang dilakukan oleh Nani dilakukan dengan sengaja karena Ia
menghendaki dan mengetahui perbuatan serta akibatnya.
 Tidak ada dasar penghapus kesalahan.
Tidak ditemukan dasar yang dapat menghapus kesalahan yang
dilakukan Nani karena semua unsurnya telah terpenuhi dan dibuktikan
di pengadilan.
3. Unsur Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana
Selain istilah wederrechtelijk/wederrechtelijkheid (melawan hukum) terdapat
istilah lainnya yaitu onrechtmatigheid (bertentangan dengan hukum). Melawan
hukum merupakan unsur TP yang objektif (unsur yang melekat pada
perbuatannya/bukan pada subjek atau pelaku). Unsur melawan hukum merupakan

18
unsur dari setiap TP (unsur konstitutif) yang mana menjadi syarat untuk adanya
suatu TP.
Terdapat pendapat kedua, di mana unsur melawan hukum bukan unsur konstitutif.
Berarti jaksa tidak perlu memuat unsur tersebut ke dalam dakwaan dan
membuktikannya. Dalam KUHP sekarang tidak ditegaskan bahwa unsur melawan
hukum merupakan unsur dari setiap TP. Namun, dalam KUHP Nasional telah
dirumuskan bahwa TP haruslah bersifat melawan hukum sebagaimana diatur
dalam Pasal 12.
Moeljatno memilih jalan tengah, bahwa unsur melawan hukum merupakan syarat
mutlak. Namun, bukan berarti jaksa harus selalu membuktikan setiap unsur
melawan hukum jika tidak dirumuskan. Unsur melawan hukum dianggap telah
terpenuhi, kecuali dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa.
Ajaran melawan hukum terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Ajaran sifat melawan hukum formil
Suatu perbuatan dianggap melawan hukum apabila diancam dengan pidana
dan dirumuskan sebagai suatu delik dalam UU. Sifat melawan hukum suatu
perbuatan dapat dihapus hanya berdasarkan ketentuan UU, misal Pasal 49 ayat
(1) KUHP.
TP pembunuhan berencana yang dilakukan Nani sudah jelas termasuk
dalam melawan hukum secara formil. Meskipun dalam Pasal 340
KUHP tidak disebutkan kata melawan hukum, tapi dalam praktiknya
unsur melawan hukum dianggap ada dan terpenuhi. Maka tidak perlu
ditulis dalam dakwaan dan dibuktikan, kecuali dibuktikan sebaliknya
oleh terdakwa.
b. Ajaran sifat melawan hukum materil
Suatu perbuatan dianggap melawan hukum apabila perbuatan tersebut tidak
dibolehkan/bertentangan dengan hukum tertulis atau masyarakat/hukum tidak
tertulis. Sifat melawan hukum suatu perbuatan dapat dihapus hanya
berdasarkan ketentuan hukum tertulis atau masyarakat/hukum tidak tertulis.
TP pembunuhan berencana yang dilakukan Nani jelas bertentangan
dengan UU dan norma hukum yang hidup di masyarakat. Pembunuhan
diangggap suatu tindakan yang keji dan bertentangan dengan nilai
kemanusiaan.
Ajaran sifat melawan hukum materil ini memiliki dua fungsi, yaitu:
19
 Fungsi yang negatif, artinya untuk menghapus sifat melawan hukum
karena di masyarakat/hukum tidak tertulis tidak dianggap melawan
hukum. Fungsi digunakan dalam praktik pengadilan.
Nani dapat lepas dari tuntutan seandainya dalam masyarakat tindakan
pembunuhan bukanlah tindakan melawan hukum dan merupakan
sesuatu yang wajar. Jadi ketiadaan sifat melawan hukum di masyarakat
dapat dijadikan sebagai alasan penghapus pidana.
 Fungsi yang positif, artinya menerima perbuatan yang bertentangan
dengan UU atau norma lain di luar UU sebagai suatu delik walaupun
tidak nyata diancam pidana oleh UU. Fungsi ini tidak boleh digunakan
dalam praktik pengadilan.
4. Ajaran Kausalitas
Kausalitas merupakan hubungan antara sebab dan akibat, atau hubungan antara
oorzaak (sebab) dan gevolg (akibat). Ajaran kausalitas sangat dibutuhkan dalam
beberapa jenis delik, yaitu:
a. Delik materil = delik yang perumusannya melarang timbulnya akibat, misal
Pasal 338 (pembunuhan).
Pasal 340 KUHP termasuk dalam delik materil.
b. Delik Omisi tak murni = delik yang terjadi dengan melanggar suatu larangan
yang menimbulkan akibat yang dilarang dengan perbuatan pasif, misal Pasal
194 KUHP.
c. Delik yang dikualifisir = delik yang sanksinya menjadi lebih berat karena
adanya penambahan unsur, misal Pasal 351 ayat (2) KUHP (penganiayaan
dengan luka berat).
Terdapat beberapa teori kausalitas:
1) Conditio sine qua non/Ekuivalensi (Von Buri):
Sebab adalah tiap-tiap syarat yang tak mungkin dihilangkan untuk timbulnya
akibat.
Jika dalam kasus di atas menerapkan ajaran ini, maka setiap orang
dapat menjadi pelaku, tidak hanya Nani.
2) Pembatasan Ekuivalensi dengan Ajaran Kesalahan (Van Hamel):
Teori ekuivalensi dibatasi dengan ajaran kesalahan (dolus/culpa).

20
Dengan ajaran ini maka faktornya dibatasi dengan kesalahan, yang
berarti hanya berlaku Nani yang melakukan perbuatannya dengan
kesengajaan.
3) Teori yang mengindividualisasi:
(Birkmeyer) dicari syarat yang paling berperan atas timbulnya akibat.
(G.E. Mulder) sebab adalah syarat yang paling dekat.
Jika dengan menggunakan ajaran ini, maka bapak korban (Bandiman)
merupakan pelakunya karena Ia yang memberikan sate kepada korban
meski tidak mengetahui sate tersebut telah diracuni.
4) Teori yang menggeneralisasi:
Dicari batasan secara umum.
Subjektif Adequat (J. Von Kries) perbuatan yang telah diketahui akibatnya
oleh pelaku.
Objektif Adequat (Rumelin) keadaan-keadaan sesudah akibat, yang mana
secara umum diketahui bahwa tindakan tersebut dapat menimbulkan akibat
tertentu.
Berdasarkan teori ini, pelakunya merupakan Nani sebab dia telah
mengetahui akibat dari tindakannya.
5) Teori Relevansi (Langemeyer):
Memilih sebab yang relevan saja, yakni yang kiranya dimaksudkan sebagai
sebab oleh pembuat UU.
Menurut teori ini, pelakunya juga merupakan Nani sebab telah
memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 340 KUHP
sebagaimana dirumuskan oleh si pembuat UU.
5. Percobaan Tindak Pidana (Poging)
Makan percobaan TP terdapat dalam Pasal 53 KUHP yang berbunyi:
“Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan
semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.”
Terdapat pengertian yang dikemukakan oleh para ahli hukum terkait percobaan
TP, yaitu:
 Tidak terpenuhinya unsur-unsur TP oleh si pelaku, yang upaya
pemenuhannya telah dimulai dengan sungguh-sungguh.
 Upaya untuk mencapai tujuan tertentu, tanpa berhasil mewujudkannya.
21
Dasar patut dipidananya percobaan:
 Teori subjektif: dasar dipidananya percobaan terletak pada sikap batin atau
watak yang berbahaya dari si pelaku.
 Teori objektif: dasar patut dipidananya percobaan terletak pada sifat
berbahayanya perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku.
Terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi:
a. Niat, oleh para sarjana disamakan dengan kesengajaan dalam tingkatannya:
- Kesengajaan dengan maksud
- Keinsyafan kepastian
- Keinsyafan kemungkinan
b. Permulaan pelaksanaan
- Tindakan atau perbuatan persiapan (belum dapat dihukum).
Ketika Nani melakukan pencarian di HPnya tentang jenis-jenis racun
dan membeli racunnya, membeli makanannya (sate), lalu
mencampurkan racun tersebut ke dalam sate. Maka tindakan yang
dilakukan oleh Nani masih dalam tahap perbuatan persiapan dan belum
dapat dihukum.
- Tindakan atau perbuatan pelaksanaan (sudah dapat dihukum).
Tahapan ini dimulai ketika Nani meminta pengemudi ojol untuk
mengirimkan sate tersebut kepada korban.
Teori objektif:
- Delik formil perbuatan pelaksanaan apabila telah dimulai perbuatan
- Delik materil perbuatan pelaksanaan dapat terjadinya akibat tanpa
memerlukan adanya tindakan lain.
Dalam kasus di atas, tindakan Nani selesai hanya dengan memberikan
sate tersebut kepada pengemudi ojol untuk dikirmkan kepada korban.
Jika sate yang dikirim oleh pengemudi ojol dan ditolak oleh Tomi,
tidak dimakan oleh anak pengemudi ojol melainkan dibuang. Maka,
dakwaan yang diajukan kepada Nani merupakan percobaan
pembunuhan terhadapa Tomi.
c. Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata karena kehendak pelaku.
- Ada penghalang fisik
- Akan ada penghalang fisik
- Keadaan-keadaan tertentu.
Jenis-jenis percobaan menurut doktrin:
1) Percobaan yang selesai/sempurna:
Apabila seseorang berkehendak melakukan kejahatan, ia telah melakukan
semua tindakan yang diperlukan, tetapi kejahatan tidak selesai karena suatu
hal.
22
Akan terjadi percobaan dalam kasus di atas seandainya sate yang
ditolak Tomi tidak dikonsumsi oleh Naba melainkan dibuang. Meski
sudah melakukan semua hal yang diperlukan untuk membunuh Tomi,
tetapi tidak selesai karena Tomi curiga dengan pengirim sate tersebut.
2) Percobaan yang tertangguh:
Apabila seseorang berkehendak melakukan kejahatan, ia telah melakukan
beberapa perbuatan, tetapi kurang melakukan satu perbuatan lagi karena
terhalang oleh suatu hal.
Seandainya Nani berhasil mengirimkan sate beracun kepada Tomi,
tetapi Tomi tidak jadi memakannya karena racun dengan warna
mencolok terlihat jelas di atas bumbu sate. Nani tidak dapat
mencampur racun ke dalam bumbu sate dengan maksimal karena
khawatir aka nada yang melihat maka melakukannya dengan terburu-
buru.
3) Percobaan yang tidak sempurna:
Apabila seseorang berkehendak melakukan kejahatan, ia telah melakukan
semua tindakan yang diperlukan, tetapi kejahatan tidak berhasil karena alat
atau objek tidak sempurna.
Seandainya sate beracun tersebut diterima dan dimakan oleh Tomi,
tetapi Tomi tidak kehilangan nyawanya melainkan hanya merasa sakit
perut. Hal ini dikarenakan racun yang digunakan untuk melakukan TP
dosisnya sedikit.
4) Percobaan yang dikualifisir:
Apabila seseorang melakukan tindak pidana sampai pada taraf percobaan,
tetapi bila dilihat tersendiri ternyata masuk dalam rumusan delik lain.
Seandainya sate beracun yang akan diberikan kepada Tomi tidak
melalui ojek online, melainkan Nani menyelinap ke rumah Tomi untuk
memletakkan sate tersebut. Namun, sate tersebut tidak jadi dimakan,
maka Nina akan didakwa dengan percobaan pembunuhan dan Pasal
167 ayat (1) KUHP.

23
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Santoso, Topo. Hukum Pidana Suatu Pengantar. Depok: Rajawali Pers, 2021.
Santoso, Topo. Asas-Asas Hukum Pidana. Depok: Rajawali Pers, 2023.

Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [Wetboek van Straftrecht], diterjemahkan oleh
Moeljatno.
Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU Nomor 1 Tahun 2023.
LN Tahun 2023 No. 1 TLN No. 6842.

Internet
Yuwono, Markus. “Mengungkap Jejak Kasus Nani Pengirim Sate Sianida di Bantul.”
Kompas.com, 13 Desember 2021. Tersedia pada
https://regional.kompas.com/read/2021/12/13/181024378/mengungkap-jejak-kasus-
nani-pengirim-sate-sianida-di-bantul?page=all#:~:text=KOMPAS.com%20%2D
%20Terdakwa%20kasus%20sate,telah%20terbukti%20melakukan%20pembunuhan
%20berencana. Diakses pada tanggal 1 April 2023.

24
Tunggul. “Terdakwa Sate Sianida Bantul Mohon HP Diamankan: Banyak Catatan Utang”
cnnindonesia.com, 14 Desember 2021. Tersedia pada
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211213141911-12-733393/terdakwa-sate-
sianida-bantul-mohon-hp-diamankan-banyak-catatan-utang. Diakses pada tanggal 2
April 2023.

25

Anda mungkin juga menyukai