PERBUATAN BERLANJUT
FAKULTAS H UKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
I.
KASUS POSISI
PERMASALAHAN
1. Apa Maksud dari Perbuatan Berlanjut?
2. Konstruksi Yuridis dari Perbuatan Berlanjut dari kasus terkait?
3. Apa konsekuensi dari Perbuatan Berlanjut?
III.
berlanjut adalah dianggap sebagai perbuatan yang dilanjutkan adalah apabila adanya
seorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana,
yang masing-masing tindak pidana itu ada hubungan satu sama lain.1
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: PT. Refika Aditama, 2002, hlm.132.
Ketentuan Pasal 64 ayat (1) KUHP yang mengatur tentang perbuatan berlanjut
(voortgezette
andeling),
tercantum
dalam
BAB
VI
tentang
Perbarengan
(concursus). Dimana dalam KUHP tidak dijelaskan mengenai arti dari perbarengan itu
sendiri,
tetapi
dari
rumusan
pasal-pasal
63
s/d
71
KUHP
diperoleh
Marpaung, L. Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika: Jakarta, 2005, hlm.32
E.Y. Kanter dan S R Sianturi, Azas-azas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, alumni AHM-PTHM:
Jakarta, 1982, hlm. 396.
4
J,E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Bina Aksara: Jakarta, 1987, hlm.219220.
3
P.A.F Lamintang dan Djisman Samosir. Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1983. hlm.48-49
Tetapi disisi lain, yakni jika kita memperhatikan kalimat penutup dari ketentuan
Pasal 64 ayat (1) KUHP, yakni ... hanya dikenakan satu aturan pidana, jika berbeda-beda,
yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat, (penjatuhan
pidana dengan sistem absorpsi) maka dari hal tersebut terlihat PADA POKOKNYA,
terbukti adanya perbuatan berlanjut tidak dapat dijadikan dasar untuk memperberat dalam
penjatuhan pidana.
Dalam pengertian apabila terbukti terdapat perbuatan berlanjut yang dilakukan
terdakwa, Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana yang lebih berat dari ancaman pidana
maksimal dalam aturan pasalnya oleh karena hukum mengatur hanya dikenakan satu
aturan pidana c.q. pidana pokok yang paling berat. Apalagi ternyata dalam praktek,
Hakim memutus biasanya dibawah ketentuan pidana maksimal.
Konsekuesi dari perbuatan berlanjut sebatas pedoman penjatuhan pidana maka
Penuntut Umum tetap harus menguraikan adanya perbuatan berlanjut dalam dakwaannya
dan Hakim dalam putusannya tetap harus mempertimbangkan ada tidaknya perbuatan
berlanjut tersebut, tetapi dalam konsepsi ini ada hal yang menguntungkan yakni
pembuktian terpenuhi atau tidaknya perbuatan berlanjut tidak berpengaruh pada
pembuktian unsur-unsur tindak pidana pokok yang didakwakan tetapi hanya berpengaruh
pada masalah pengenaan pidana yang dijatuhkan semata.
Sehingga jika ketentuan perbuatan berlanjut yang didakwakan kepada Terdakwa
tidak terbukti tetapi dakwaan pokoknya terbukti maka dakwaan tersebut haruslah tetap
dinyatakan terbukti, apabila dalam contoh kasus di atas, Terdakwa terbukti melakukan
tindak pidana korupsi tetapi perbuatan berlanjutnya tidak terbukti maka Terdakwa tetap
harus dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Lantas bagaimana legalitas dari perbuatan berlanjut yang tidak terbukti tersebut,
maka menurut Penulis aturan mengenai perbuatan berlanjut tersebut harus
dikesampingkan dan tidak dijadikan dasar bagi Hakim dalam penjatuhan pidana terhadap
terdakwa. Sebagai contoh Hakim dalam putusannya dalam menyatakan sebagai berikut :
Menimbang, bahwa dengan demikian ketentuan Pasal 64 Ayat (1) KUHP tentang
pengenaan pidana terhadap perbuatan berlanjut yang ikut didakwakan kepada
Terdakwa haruslah dikesampingkan dan tidak dijadikan dasar oleh Majelis dalam
pengenaan atau penjatuhan pidana kepada Terdakwa.
Dengan konsepsi perbuatan berlanjut bukan merupakan bentuk khusus dari tindak
pidana tetapi hanya aturan mengenai pengenaan pidana semata maka pembuktian ada
tidaknya perbuatan berlanjut seimbang dengan kedudukan / fungsi pengaturan penjatuhan
pidananya yang sebenarnya hanya memberikan pengaturan penjatuhan pidana apabila ada
perbuatan berlanjut.
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata perbuatan berlanjut menurut
pembuat undang-undang masih patut diatur, hal ini seperti yang terlihat dari RUU tentang
KUHP yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia, yakni dalam Pasal 138 RUU KUHP dinyatakan:
(1)
Analisa Kasus
Menurut Memorie van Toelichting perbuatan yang terkualifikasi sebgai perbuatan
berlanjut adalah ketika seseorang melakukan beberapa perbutan, perbuatan tersebut
masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran dan antara perbuatan-perbuatan
tersebut ada hubungan sedemikian rupa dengan kriteria sebagai berikut:
1. Harus adanya satu keputusan kehendak
2. Masing-masing perbuatan harus sejnis
3. Tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlampau lama
Syarat tersebut merupakan syarat kumulatif artinya ke 3 syarat tersebut harus terpenuhi,
jika salah satu syarat gugur maka akan menggugurkan syarat yang lainnya.
Telah terbukti dengan fakta yang ditemukan dipersidangan dimana Para Pelaku
melakukan tindak pidana pencurian motor di daerah Sekepanjang Kelurahan Cikutra
Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung, rangkaian perbuatan kedua terjadi sekitar
pukul 19.40 Wib di halaman/pekarangan rumah Jalan Sekepanjang III No. 14 Rt. 004 Rw.
011 Kelurahan Cikutra Kecamatan Cibeunying Kidul Kota Bandung.
(3) Akan tetapi jikalau kejahatan yang diterangkan dalam pasal 364, 373, 379 dan pasal
407 ayat pertama dilakukan dengan berturut-turut, serta jumlah kerugian atas kepunyaan
orang karena perbuatan itu lebih dari Rp. 25,- maka dijalankan ketentuan pidana pasal
362, 372, 378, atau 406.
sebagai contoh dalam Putusan MA No. 162 K/Kr/1962 tanggal 5 Maret 1963 dinyatakan
bahwa penghinaan-penghinaan ringan yang dilakukan terhadap lima orang pada hari-hari
yang berlainan tidak mungkin berdasar satu keputusan kehendak (wilsbesluit), maka tidak
dapat di pandang lagi satu perbuatan dan tidak dapat atas kesemua perkara diberikan satu
putusan. Dengan demikian yang menjadi pegangan untuk menentukan adanya satu
keputusan kehendak adalah perbuatan tersebut di tujukan pada satu objek tindak pidana
(object delict). Berdasarkan fakta persidangan yang telah diuraikan di atas maka unsur
satu keputusan kehendak telah terbukti.
DAFTAR PUSTAKA
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama,
2002).
Marpaung, L. Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Sinar Grafika: Jakarta, 2005).
E.Y. Kanter dan S R Sianturi, Azas-azas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya, (alumni
AHM-PTHM: Jakarta, 1982).
P.A.F Lamintang dan Djisman Samosir. Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Sinar Baru,
1983).
J,E. Jonkers, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, (Bina Aksara: Jakarta, 1987).