Anda di halaman 1dari 2

“ARTIFICIAL INTELEGENCE SEBAGAI SUBJEK HUKUM

KEPERDATAAN DI INDONESIA”
Artificial intelegence atau sering disebut dengan AI menjadi salah
satu teknologi yang banyak disorot akhir-akhir ini implementasi AI dari
berbagai sektor kehidupan banyak memberikan dampak yang positif.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa AI turut juga memberikan dampak
negatifnya, Termasuk memberikan ancaman bagi sumber daya manusia
karena banyak pekerjaan manusia perlahan-lahan digantikan oleh AI.
Dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat dapat diperkirakan AI
akan semakin canggih dengan terobosan yang semakin inovatif dengan terus
meng upgrade dirinya diberbagai perkembangan ilmu pengetahuan.
Berdasarkan laporam “Future Of Jobs” yang telah dirilis World Economic
Forum (WEF) melansir bahwa terdapat 48% tenaga kerja yang ada diseluruh
dunia mengalami kecemasan pekerjaan mereka tergantikan oleh adanya AI.
Pada saat ini kedudukan kecerdasan buatan menjadi suatu persoalan.
Belum diketahui secara pasti serta belum ada hukum yang tegas
menyebutkan kedudukan kecerdasan buatan dimata hukum perdata
Indonesia. Keadaan ini berakibat fatal bahwa suatu kecerdasan buatan
menyebabkan kerugia serta melawan hukum. Pada tingakatanya saat ini
Indonesia kecerdasan buatan belum setara dengan tahapan manusia (AGI)
bahkan melebihi kemampuan manusia (ASI). Namun, kecerdasan buatan
akan terus berkembang, maka setidaknya perlu adanya konsep personifikasi
terhadap kecerdasan buatan yang telah dipersiapkan secara dini.
Seiring dengan kecanggihannya AI sehingga ia dapat memiliki
tanggung jawab hukum. Jika AI melakukan tindakan yang merugikan orang
lain, seperti melanggar hak cipta atau privasi, maka AI dapat dituntut secara
hukum. Namun, kedudukan hukum AI di Indonesia belum diatur secara
khusus pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) belum mampu mengakomodir kehadiran AI. Begitupun dengan
pengaturan mengenai hak cipta sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dengan demikian, legalitas AI belum
memiliki perlindungan hukum, khususnya di Indonesia. Melihat kondisi
tersebut menunjukkan adanya perkembangan teknologi yang cukup cepat
dan hukum juga tentu harus mengikuti perkembangan tersebut
AI berdasarkan pengaturan hukum yang berlaku di Indonesia
sejatinya bukanlah sebuah subjek hukum melainkan hanya sebatas objek
hukum, yang mana tentunya AI ini sendiri merupakan suatu teknologi yang
dioperasikan oleh manusia dalam pelaksanaannya, dikaitkan dengan hukum
positif maka AI dioperasikan oleh penyelenggara sistem elektronik hal
tersebut sesuai dengan yang diterangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
(PP 71/2019).
AI tidak dapat disamakan dengan badan hukum untuk menjadi sebuah subjek
hukum, dimana suatu badan hukum memiliki maksud dan tujuan yang jelas
dan tegas dalam pendiriannya dan terdapat ruang lingkup manusia, dan AI
tidak bisa berdiri secara mandiri yang sebagaimana diketahui, komputer itu
diatur dan diprogram oleh manusia dan jika komputer atau AI tersebut
mengambil suatu keputusan yang dapat disamakan seperti manusia maka
kesempurnaan dalam keputusan tersebut tidak dapat dipastikan jika tidak ada
supremasi manusia dalam pengambilan keputusan, karena komputer tidak
selalu terlepas dari kesalahan system. Hal ini diperkuat dengan pendapat
yang disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
(Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan bahwa sulit
untuk memasukkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) ke
dalam kategori subjek hukum. Hal ini dikarenakan subjek hukum yang
selama ini dikenal oleh masyarakat adalah perseorangan dan badan hukum.
“AI tidak bisa dipersonifikasikan sebagai manusia yang punya kecakapan
hukum, manusia yang punya kewenangan, dan manusia yang mengemban
hak dan kewajiban.

Anda mungkin juga menyukai